bab ii pengaturan tentang tanah absentee di...

26
BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI INDONESIA A." LANDREFORM DI INDONESIA A.1. Pengertian Landreform Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Pemilikan tanah pada masa sebelum UUPA tidak dibatasi, sehingga muncul tuan–tuan tanah. Sedang dipihak lain terdapat pihak yang tidak mempunyai tanah. 1 Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang- Undang Pokok Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3) 2 UUD 1945, maka terciptalah unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan dualisme hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum ada dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahanyang baru bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan yang di sebut Landreform di Indonesia. 3 Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan dasar atau perombakan untuk membentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian. 1 Mintarsih Sri Kuntarti, Op. Cit., hal. 1 2 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 3 Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di Indonesia, (Bandung:Mandar Maju, 1990), hal: 28.

Upload: trinhque

Post on 17-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

BAB II

PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI INDONESIA

A." LANDREFORM DI INDONESIA

A.1. Pengertian Landreform

Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan

penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang

terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan

bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Pemilikan tanah pada masa sebelum UUPA

tidak dibatasi, sehingga muncul tuan–tuan tanah. Sedang dipihak lain terdapat pihak

yang tidak mempunyai tanah.1

Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang- Undang Pokok

Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat (3)2 UUD 1945, maka terciptalah

unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan dualisme

hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum

ada dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahanyang baru

bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur

pertanahan yang di sebut Landreform di Indonesia.3

Landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa Inggris yang terdiri dari kata

“Land” dan “Reform”. Land artinya tanah, sedangkan Reform artinya perubahan dasar

atau perombakan untuk membentuk/membangun/menata kembali struktur pertanian.

1 Mintarsih Sri Kuntarti, Op. Cit., hal. 1 2 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan dipergunakan

sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 3 Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di Indonesia,

(Bandung:Mandar Maju, 1990), hal: 28.

Page 2: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Jadi arti Landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan pembangunan

struktur pertanian lama menuju struktur pertanian baru.4

Boedi Harsono secara tegas membedakan antara Landerform dalam arti sempit

dan Landrefrom dalam arti luas. Landreform dalam arti sempit merupakan

serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia yang meliputi

perombakan mengenai pemilikan dan penguasan tanah serta hubungan-hubungan

hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Sedangan Landreform dalam

arti luas disebut sebagai Agrarian Reform.5

Selain itu Landreform juga diartikan sebagi perubahan dasar (perombakan)

struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam, landreform meliputi

program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain

yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang dibidang sosial

ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur

pertanahan.6

A.2. Dasar Hukum Landreform

Sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 UUPA yang mengatur tentang batas

minimum dan maksimum penguasaan dan pemilikan hak atas tanah, Pemerintah telah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.56 Tahun

1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960.

Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No. 56 Prp

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (LN 1960 no. 174),

4 I Nyoman Budi Jaya, Op. Cit., hal : 9. 5 Boedi Harsono, Op. Cit., hal: 3-4 6 Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahanya, (Medan: USU,

2005), hal: 39

Page 3: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117. UU No. 56/1960 merupakan Undang-

undang landreform di Indonesia, yang mengatur tiga masalah didalamnya yaitu :7

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan

tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

3. Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

A.3. Tujuan Dan Objek Landreform

A.3.1. Tujuan Landreform

Tujuan Landreform di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)

bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum

landreform bertujuan : Untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan

petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju

masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara khusus :

berdasarkan tujuan secara umum di atas, maka landreform di Indonesia

diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus, yaitu :8

a. Tujuan Sosial Ekonomis:

1) Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan

memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada

hak milik.

2) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian

guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

7 Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 370 8 I Nyoman Budi Jaya, Op.cit, hal : 11

Page 4: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

b. Tujuan Sosial Politis:

1) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan

tanah yang luas.

2) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber

penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada

pembagian hasil yang adil.

c. Tujuan Mental Psikologis.

1) Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap

dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan

tanah.

2) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan

penggarapnya.

Selanjutnya Sadjarwo dalam kedudukannya sebagai Menteri Agraria

pada pidatonya yang mengantarkan Rancangan UUPA di hadapan sidang

Pleno DPR-GR tanggal 12 September 1960 antara lain menyatakan bahwa : “

Perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum

agraria nasional terjalin erat sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk

melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan,

khususnya perjuangan rakyat tani untuk membenaskan diri dari kekangan-

kekangan feodalisme atas tanah dan pemerasan kaum modal asing. Itulah

sebabnya maka landreform di Indonesia tidak dapat di pisahkan dengan

revolusi nasional Indonesia. Oleh karenanya landeform Indonesia mempunyai

tujuan:

a. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat

tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang

Page 5: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara

revolusioner, guna merealisir keadiln sosial;

b. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadilagi tanah

sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan;

c. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga

Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita, yang berfungsi sosial.

Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privat bezit, yaitu hak milik

sebagai hak terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi

berfungsi sosial.

d. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan

penguasan secara tanah besar-besaran dengan tak terbatas, dengan

menyelenggarakan batas maksimun dan batas minimum untuk setiap

keluarga. Segai kepala keluargan dapat seorang laki-laki ataupun wanita.

Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kaptalisme atas

tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis

lemah;

e. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya

pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan

bentuk gotong-royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata

dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus di tujukan

kepada golongan tani.”9

Boedi Harsono menyatakan bahwa penyelenggaran landreform di

Indonesia mempunyai tujuan: “Untuk mempertinggi penghasilan dan taraf

hidup para petani terutama petani kecil dan petani penggarap tanah, sebagai

9 Boedi Harsono, Op.Cit. Hal: 365

Page 6: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

landasan atau prasyarat untuk menyelenggakan pembangunan ekonomi

menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

A. P Parlindungan menyatakan bahwa tujuan Landreform di Indonesia

haruslah disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karena UUPA adalah sebagai

induk dari Landreform. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga

merupakan tujuan Landreform, yaitu:

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan

keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam kerangka

masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan

hukum.

3. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum mengenai

hak-hak atas tanah abagi rakyat seluruhnya.

A.3.2. Objek Landreform

Tanah-tanah yang menjadi obyek landreform yang akan

diredistribusikan pada petani penggarap menurut ketentuan Pasal 1 PP No.

224 Tahun 1961, meliputi :

a. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana yang

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

b. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya

bertempat tinggal di luar daerah kecamatan letak tanahnya atau karena

pemilikan tanah absentee menyebabkan:

a). Penguasaan tanah yang tidak ekonomis

10 Ibid, Hal: 367

Page 7: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

b). Menimbulkan sistem penghisapan

c). Ditelantarkan

c. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya

ketentuan UUPA menjadi hapus dan beralih kepada Negara.

d. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh Negara misalnya bekas

tanah partikelir, tanah-tanah dengan Hak Guna Usaha yang telah

berakhir waktunya, dihentikan atau dibatalkan.

e. Tanah-tanah lain, tidak termasuk di dalamnya tanah-tanah wakaf dan

tanah-tanah untuk peribadatan.

Tanah-tanah obyek landreform sebelum dibagi-bagikan kepada petani

penggarap, terlebih dahulu dinyatakan sebagai tanah-tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara.

A.4. Program Landreform

Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan

pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan langkah-langkah

mengendalikan secara efektif masalah penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah

sehingga bumi, air dan ruan angkasa sesuai dengan asas adil dan merata. Untuk

mewujudkan langkah-langkah tersebut maka Pemerintah pada situasi dan kondisi saat

itu mengadaka Program Landreform.

Program Landreform meliputi:11

1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.

2. Larangan pemilikan tanah secara absentee/guntai.

11 Boedi Harsono, Op.cit, hal : 367

Page 8: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang

terkena larangan absentee/guntai, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah

Negara.

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang

digadaikan.

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan

tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Pelaksanaan landreform bertujuan melakukan penertiban dan pengaturan serta

penataan penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum pemilikan

tanah, pemilikan tanah pertanian secara absentee, tanah-tanah bekas swapraja, tanah

partikelir, tanah-tanah bekas perkebunan dan tanah-tanah negara yang di garap oleh

rakyat.12

Untuk mencegah semakin banyaknyan petani yang mempunyai tanah yang

sangat kecil dan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian dilarang

mengalihkan tanah pertanian tanpa izin.13

B." TANAH ABSENTEE SEBAGAI OBJEK LANDREFORM

B.1. Pengertian Tanah Absentee

Kata absentee berasal dari kata latin “absentee” atau “absentis”, yang berarti

tidak hadir. Absentee adalah yang tidak ada atau tidak hadir di tempatnya, atau

12 Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit. hal: 45 13 Ibid.

Page 9: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

landlord yaitu pemilik tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat

tinggal di lain tempat.14

Pemilikan tanah pertanian secara absentee atau di dalam bahasa Sunda :

“Guntai” yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar tempat tinggal yang empunya.

(“Absent” artinya tidak hadir, tidak ada di tempat).15

Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang mengatur sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”.

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224 Tahun 1961 jo. PP No. 41 Tahun 1964 berbunyi

sebagai berikut :

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”

Dari ketentuan diatas terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari

larangan kepemilikan tanaah pertanian secara absentee, antara lain:16

1. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak

tanahnya.

2. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak

tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak

tanah tersebut.

14 John M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1996), hal : 3 15 Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385

16 http://denbagusrasjid.wordpress.com/2010/09/04/kepemilikan-tanah-absentee-dan-landreform-di-indonesia/ di unduh pada tanggal 21 Mei 2013

Page 10: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

3. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang

atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan

tempat letak tanahnya.

4. Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.

Pemilikan tanah pertanian secara absentee menurut Peraturan Perundang-

undangan tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10

UUPA yang mengatur bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai

sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya di wajibkan mengerjakan atau

mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

Pemilikan tanah secara absentee dilarang oleh Undang-Undang karena letak

tanah tersebut berada diluar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal pemilik

tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanhnya secara aktif. Tetapi larangan tersebut

tidak berlaku terhadap pemilik yang tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan

kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan asal jarak tempat tinggal pemilik itu

dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkannya untuk

mengerjakan tanahnya tersebut secara efisien.17

B.2. Filosofi dan Tujuan Diadakannya Larangan Pemilikan Tanah Pertanian

Secara Absentee

Dulu sebelum di undangkannya UUPA tanah-tanah berada di tangan segelitir

tuan-tuan tanah saja, sebagian besar rakyat Indonesia sebagai petani penggarap dan

buruh tani saja. Untuk mengakhiri sistem pertuanan tanah ini, pemerintah

mengadakan Program Landreform. Salah satu Program Landreform adalah larangan

17 Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961

Page 11: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Dasar filosofi diadakannya larangan

kepemilikan tanah pertanian secara absentee di dalam Penjelasan Umum UUPA di

jelaskan bahwa pada asasnya tanah pertanian harus dikerjakan atau di usahakan secara

secara aktif oleh pemiliknya sendiri.18

Menurut Boedi Harsono, tujuan adanya larangan ini adalah agar hasil yang

diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat

pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat

tinggal di daerah penghasil.19

Pada umumnya tanah-tanah pertanian letaknya adalah di desa, sedang mereka

yang memiliki tanah secara absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Orang yang

tinggal di kota memiliki tanah pertanian di desa tentunya tidak sejalan dengan prinsip

tanah pertanian untuk petani. Orang yang tinggal di kota sudah jelas bukan bukan

termasuk kategori petani. Tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee

adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah pertanian sebagian besar

dapat dinikmati oleh masyarakat petani yang tinggal di pedesaan, bukan dinikmati

oleh orang kota yang tidak tinggal di desa.20

Gejala yang tampak adalah bahwa di satu pihak pemilik semula yang

menggantungkan hidupnya pada produk pertanian justru terdepak dari tanahnya

karena kebutuhan akan uang, dan di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan

modal yang menginginkan penumpukan tanah sebagai sarana investasi. Maka yang

terjadi adalah gejala menjadi buruh di atas tanah “miliknya” sendiri.21

18 Penjelasan Umum UUPA 19 Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385

20 Ariska Dewi, Op. Cit. Hal: 36 21 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta :

Penerbit Buku Kompas, 2005), hal : 21.

Page 12: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini, menimbulkan penggarapan

yang tidak efisien, misalnya tentang penyelenggaraannya, pengawasannya,

pengangkutan hasilnya, juga dapat menimbulkan sistem-sistem penghisapan. Ini

berarti bahwa para petani penggarap tanah milik orang lain dengan sepenuh

tenaganya, tanggung jawabnya dan segala resikonya, tetapi hanya menerima sebagian

dari hasil yang dikelolanya.

Di sisi lain, pemilik tanah yang berada jauh dari letak tanah dan tidak

mengerjakan tanahnya tanpa menanggung segala resiko dan tanpa mengeluarkan

keringatnya akan mendapatkan bagian lebih besar dari hasil tanahnya.

B.3. Dasar Hukum yang Mengatur Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara

Absentee

Secara yuridis, dasar hukum mengenai larangan pemilikan tanah pertanian

secara absentee telah dituangkan dalam Pasal 3 PP No 224 Tahun 1961 dan PP No 41

Tahun 1964 (tambahan Pasal 3a s/d 3e). Kedua Peraturan Pemerintah ini merupakan

aturan pelaksanaan dari ketentuan yang tertuang dalam Pasal 10 UUPA, yang

bertujuan untuk mencegah terjadinya sistem pemerasan yang dilakukan terhadap

golongan ekonomi lemah.22

Dalam Pasal 10 UUPA23 telah dikemukakan bahwa yang mempunyai tanah

pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga

kemudian diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan pemilikan tanah pertanian

secara apa yang disebut absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya di luar wilayah

kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.

22 Boedi Harsono, Op. Cit. Hal: 385 23 Pasal 10 UUPA: “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian

pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”

Page 13: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Pada pokoknya dilarang memiliki tanah di luar kecamatan tempat letaknya

tanahnya. Larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di

kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan,

asal jarak tempat pemilik itu dan tanahnya, masih memungkinkannya untuk

mengerjakan tanah tersebut secara efisien.24

Menurut ketentuan Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 disebutkan bahwa:

Ayat (1) Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar kecamatan

letak tempat tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib

mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan

tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan tempat letak tanah

tersebut.

Ayat (2) Kewajiban dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pemilik tanah yang

bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan

letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal dan tanahnya masih

memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien, menurut

pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.

Ayat (3) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada ayat (2) pasal ini, maka

jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat

kediamnya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun

berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas tanahnya

kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.

Ayat (4) Ketentuan ayat (1) dan (3) tidak berlaku bagi mereka yang

menjalankan tugas Negara, menunaikan kewajiban agama atau

mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat di terima Menteri

24 Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961

Page 14: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-pejabat militer

serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang menjalankan

tugas Negara, perkecualian tersebut pada ayat ini terbatas pada

pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas maksimum

yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan menurut Undang-

Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960.

Ayat (5) Jika kewajiban tersebut pada ayat (1) dan (3) tidak dipenuhi, maka

tanah yang bersangkutan di ambil oleh Pemerintah, untuk kemudian

dibagi-bagikan menurut ketentuan Peraturan ini.

Ketentuan Pasal 3 PP No. 224 Tahun 1961 masih harus dilengkapi dengan PP

No. 41 Tahun 1964 yang memberikan ketentuan yang lebih tegas melalui Pasal 3a

sampai Pasal 3e yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3a ayat (1) Pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat atau

meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat

letak tanah itu selam 2 tahun berturut-turut, sedang dia

melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang maka

dalam jangka waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya jangka

waktu 2 tahun tersebut diatas ia diwajibkan untuk

memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang

bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu.

Pasal 3a ayat (2) Jika pemilik tanah yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini

berpindah tempat tinggal atau meninggalkan tempat

kediamannya ke luar kecamatan tempat letak tanah itu,

sedangkan ia tidak melaporkan kepada pejabat setempat yang

berwenang, maka dalam jangka waktu 2 tahun terhitung sejak

Page 15: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

ia meninggalkan tempat kediamannya itu diwajibkan untuk

memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang

bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu.

Pasal 3b ayat (1) Pegawai Negeri dan Anggota Angkatan Bersenjata serta orang

lain yang dipersamakan dengan mereka, yang telah berhenti

dalam menjalankan tugas Negara dan yang mempunyai ahak

atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya dalam

waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut

diwajibkan pindah ke kecamatan letak tanah itu atau

memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang

bertempat tinggal di kecamatan dimana letak tanah tersebut.

Pasal 3c ayat (1) Jika seseorang memiliki hak atas tanah pertanian di luar

kecamatan dimana ia bertempat tinggal, yang diperolehnya dari

warisan , maka dalam jangka waktu 1 tahun terhitung sejak si

pewaris meninggal diwajibkan untuk memindahkan kepada

orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah

itu tertelak atau pindah ke kecamatan letak tanah itu.

Pasal 3d Dilarang melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas

tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang

bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan dimana

ia bertempat tinggal.

Pasal 3e Tidak di penuhinya ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal-

Pasal 3a, 3b, 3c, dan 3d mengakibatkan baik tanah maupun

pemilik tanah-tanah yang bersangkutan dikenakan ketentuan-

Page 16: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

ketentuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (5) dan (6) PP No. 224

Tahun 1961.

Di dalam pasal-pasal tersebut sudah di cantumkan secara tegas mengenai

pengaturan mengenai kepemilikan tanah pertanian secara absentee. Jika kewajiban

tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap larangan tersebut maka

tanah yang bersangkutan akan diambil alih oleh Pemerintah untuk kemudahan

diredistribusikan dalam rangka program landreform, dan kepada bekas pemilik

diberikan ganti rugi menurut ketentuan yang berlaku. Pemberian ganti rugi ini diatur

dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP No. 224 Tahun 1961.

B.4. Pengecualian Larangan Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 Tentang Pemilikan tanah

Pertanian Secara Absentee/Guntai Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri dinyatakan

bahwa pengecualian yang diberikan kepada Pegawai Sipil tersebut diberlakukan juga

kepada:25

a. Pensiunan Pegawai Negeri;

b. Janda Pegawai Negeri dan janda pensiunan Pegawai Negeri selama tidak menikah

lagi dengan seorang bukan Pegawai Negeri atau pensiunan Pegawai Negeri;

c. Karyawan dan pensiunan karyawan yang sebelum berlakunya UU No. 8 Tahun

1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah memiliki tanah pertanian secara

absentee/guntai;

d. Janda dari yang disebut opada huruf (c) selama ia tidak menikah lagi dengan

seseorang bukan Pegawai Negeri atau pensiunan Pegawai negeri.

25 Lihat PP Nomor 4 Tahun 1977

Page 17: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur tentang

seorang Pegawai Negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun,

diperbolehkan membeli tanah secara absentee seluas sampai 2/5 dari batas maksimum

penguasaan untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan.26 Dasar pertimbangan dari

ketentuan tersebut adalah bahwa dewasa ini umumnya sukar bagi para pensiunan

tersebut untuk berpindah tempat letak tanah itu meskipun pemilikan tanah itu

dimaksudkan untuk jaminan di hari tua setelah pensiun.27

C." BEKERJANYA HUKUM DALAM MASYARAKAT

C.1. Faktor-Faktor yang Mendorong Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat.

Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana

pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban

di dalam pembangunan merupakan sesuatu yang dipandang penting dan sangat

diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi sebagai sarana

untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh

perubahan terencana tersebut. Sudah tentu fungsi tersebut seyogyanya dilakukan di

samping hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial.28

Untuk memahami bekerjannya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam

masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang

seperti yang sebagian telah dikemukakan, yaitu:29

1. Fungsi hukum sebagai sosial kontrol dalam masyarakat.

Fungsi hukum sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif dari kehidupan

sosial masyarakat atau dapat di sebut pemberi definisi dari tingkah laku yang

menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larangan, perintah-perintah,

26 Lihat Pasal 6 PP Nomor 4 Tahun 1977 27 Lihat konsideran PP Nomor 4 Tahun 1977 28 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa,1986), hal 69 29 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal: 37-39

Page 18: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

pemidanaan, dan ganti rugi. Sebagai alat pengendalian sosial, hukum dianggap

berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau perilaku

yang menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang

mempunyai perilaku yang tidak baik.

2. Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah mayarakat.

Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh

Roscoe Pound a Tool of Social Enginnering. Perubahan masyarakat dimaksud

terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor

perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan didalam

melaksanakan hal itu langsung tersangkut tekanan-tekanan untuk melakukan

perubahan, dan mungkin pula menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-

lembaga lainnya.

3. Fungsi hukum sebagai simbol pengetahuan masyarakat.

Merupakan makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku warga

masyarakat tentang hukum.

4. Fungsi hukum sebagai instrumen politik.

Dapat dipahami bahwa dalam sistem hukum di Indonesia peraturan perundang-

undangan merupakan produk bersama DPR dengan pemerintah sehingga antara

hukum dan politik amat susah di pisahkan.

5. Fungsi hukum sebagai alat integrasi.

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai berbagai kepentingan dari warganya.

Diantara kepentingan itu ada yang sesuai dengan kepentingan lain dan ada juga

yang tidak sesuai sehingga menyulut konflik dengan kepentingan lain oleh karena

itu, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah terjadi konflik.

Page 19: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Dalam beberapa peraturan atau kebijakan hukum yang dibuat oleh Pemerintah

sering tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan tujuan yang ingin dicapai.

Kenyataan yang demikian disebabkan karena hukum tidak akan dapat berjalan atau

berfungsi dengan sendirinya tanpa ditunjang oleh kondisi sosial, politik, ekonomi, dan

budaya masyarakat setempat. Sehingga berfungsinya hukum harus melibatkan juga

beberapa faktor, yaitu:30

1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus sistematis, tidak bertentangan baik

secara vertikal maupun secara horizontal dan dalam pembuatannya harus

disesuaikan dengan persyaratan yuridis yang telah ditentukan;

2. Penegak hukum haruslah mempunyai pedoman berupa peraturan yang tertulis

yang menyangkut ruang lingkup tugasnya dengan menentukan batas-batas

kewenangan dalam pengambilan kebijaksanaan, yang paling penting adalah

kualitas petugas memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum ;

3. Adanya fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum

yang telah ditetapkan. Fasilitas disini terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai

faktor pendukung untuk mencapai tujuan ;

4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.

Upaya penegakan hukum erat kaitannya dengan faktor bekerjanya hukum.

Adapun faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:31

1. Faktor hukumnya sendiri/peraturan itu sendiri.

Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan

masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum semakin penting.

Oleh karena hukum mempunyai fungsi di dalam masyarakat. Fungsi hukum yang

30 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1993), hal : 14 31 Soerjono Soekanto, Op.cit hal : 5

Page 20: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

diharapkan adalah melakukan usaha untuk menggerakkan rakyat agar bertingkah

laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu keadaan masyarakat yang

dicita-citakan.

Semakin hukum itu dipakai dengan efektif untuk mengarahkan tingkah

laku manusia, semakin berhasil pula pembangunan itu dijalankan. Suatu sikap

tindakan atau perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap tindak atau perilaku

pihak lain menuju pada tujuan yang dikehendaki, artinya apabila pihak lain

tersebut mematuhi hukum.32

2. Faktor petugas/penegak hukum.

Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup

ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas,

menengah, dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan

hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan

tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Faktor petugas

dalam memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan

sudah baik, tetapi kualitas penegak hukumnya rendah maka akan ada masalah.

Demikian sebaliknya, apabila peraturanya buruk, sedangkan kualitas penegak

hukumnya baik mungkin pula akan timbul masalah-masalah.33

32 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, (Bandung : Remadja Karya, 1988), hal

:3 33 Zainuddin Ali, Op. Cit, hal: 63-64

Page 21: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum.

Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan

tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama saran fisik yang berfungsi

sebagai faktor pendorong.34

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum dapat berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut

antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi

yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dll. Apabila hal

tersebut tidak terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuan.35

4. Faktor masyarakat.

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga

masyarakat. Yang dimaksud disini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu

peraturan perundang-undangan, yang sering disebut derajad kepatuhan masyarakat

terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan36

C.2. Perubahan Sosial Masyarakat Mendorong Terjadinya Pembaharuan

Hukum.

Bisa terjadi suatu hukum tidak berjalan karena masyarakat berubah. Dalam

kehidupan bermasyarakat selalu terdapat proses atau interaksi sosial, dan dalam

interaksi sosial tersebut pasti terjadi perubahan-perubahan baik dalam hubungan itu

sendiri maupun dalam nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku

organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat,

34 Ibid. 35 Ariskha Dewi, Op. Cit. Hal: 49 36 Zainiddin Ali, Op. Cit. Hal: 64

Page 22: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

kekuasaan/ wewenang, dan sebagainya.37 Menurut Lawang (1984) perubahan sosial

merupakan proses dimana dalam suatu sistem sosial terdapat perbedaaan-perbedaan

yang dapat diukur yang dapat terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu.

Hukum dibuat oleh masyarakat untuk masyarakat. Jika suatu hukum yang di

buat disuatu masa tidak di kehendaki lagi karena adanya perubahan, maka hukum

tersebut harus dicabut/dihapus, atau diganti dengan hukum yang baru. Jika tidak maka

nampaknya hukum tersebut tidak berjalan atau tidak efektif.

M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science

Perspective, 1975 menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur

hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-undangan)

dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung berjalannya

sistem hukum di suatu negara. Secara realitas sosial, keberadaan sistem hukum yang

terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat pengaruh,

apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun

revolusi.

Jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan menemui banyak kendala

baik itu yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat maupun

persoalan penegakan hukum (law enforcement). Tuntutan perubahan yang terjadi

mendorong hukum, untuk melakukan pemulihan-pemulihan terhadap eksistensinya

dalam masyarakat. Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti

“irama” hukum yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras

dengan kehidupan masyarakat.38

37 Rianto Adi, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012). Hal: 106 38http://www.uin-malang.ac.id di unduh pada tanggal 20 Mei 2013

Page 23: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

Menurut Robert Sutterland ada 4 faktor yang menyebabkan perubahan sosial

(Social Change):

1. Inovation: karena ada pembaharuan.

2. Ivention: penemuan teknologi di bidang industri, mesin, dst.

3. Adaptation: suatu proses meniru suatu cultur, gaya yang ada di masyarakat lain.

4. Adopsim: ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.

Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada dewasa

ini merupakan suatu gejala yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke

bagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern dengan

taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-penemuan baru di

bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain kejadian

yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain

yang bertempat tinggal jauh dari pusat terjadinya peristiwa tersebut di atas.

Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah,

pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial,

kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya.39

Lajunya perubahan sosial yang membawa dampak pada perubahan hukum

tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan secara langsung berupa peraturan

perundang-undangan. Persoalan ini sudah masuk dalam ranah mekanisme dalam

lembaga perwakilan rakyat. Tetapi kebutuhan masyarakat agar hukum mampu

mengikuti sedemikian besar agar jaminan keadilan, kepastian hukum dapat terus

terpelihara.

39 http://bantur.malangkab.go.id di unduh pada tanggal 20 Mei 2013

Page 24: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

D." TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN

Teori hukum murni adalah teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang

hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupaka teori hukum

umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional maupun internasional

tertentu, namun ia menyajikan teori penafsiran. Sebagai sebuah teori, ia terutama

dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya

menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana hukum itu ada, bukan bagaimana

ia semestinya ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi), bukan politik hukum.40

Menurut asal-usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk

pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu ajaran

yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari

negara-negara totaliter.41

Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk

peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen teori hukum murni adalah teori hukum

positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan “apakah

hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah hukum yang seharsunya?”. Karena titik tolak

yang demikian itulah maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana

lazimnya dipersoalkan hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Dasar pokok teori

Kelsen adalah sebagai berikut :42

1. Tujuan teori tentang hukum, adalah untuk mengurangi kekalutan dan

meningkatkan kesatuan (unity).

2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehandak, keinginan. Ia adalah pengetahuan

tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.

40 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusamedia, 2011). Hal: 1. 41 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Abadi, 2006). Hal: 278. 42 Ibid, hal: 279.

Page 25: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan

persoalan efektivitas norma-norma hukum.

5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari

isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.

6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu seperti

antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk

membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi,

politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus

terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan

menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilan

sebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murni tidak dapat menjawab tentang

pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab

secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat,

keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi

kesadaran atasnya.43

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang

bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin

berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan

“apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan

43 http://saifulanam99.blogspot.com/2013/01/teori-hukum-murni-dan-permasalahannya.html di unduh pada tanggal 18 September 2013.

Page 26: BAB II PENGATURAN TENTANG TANAH ABSENTEE DI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8337/3/T1_312009044_BAB II.pdf · menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”10

menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa

ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.44

Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang

berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah,

politik, dan bahkan juga etika. Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum.

Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain.

Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks

formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang

benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht).

44 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 2005). Hal 1-3.