bab ii pendekatan teoritis - repository.ipb.ac.id · sumberdaya didasarkan pada inventarisasi...

25
15 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Politik Konservasi dan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara umum konsep konservasi memiliki makna yang dinamis seiring dialektika pengetahuan para perumus konsepsi konservasi dan kontes yang melatarbelakangi dialektika pengetahuan tentang konservasi. Konsep-konsep konservasi kini mengalami perluasan definisi. Menurut MacKinnon dalam Alikodra (2010), konsep konservasi yang modern adalah suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini berdasarkan adanya dua kebutuhan; pertama, kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat. Kedua, kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Paradigma ini menggeser paradigma lama yang selama ini ada yakni memahami konservasi sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam artian tertutup bagi upaya pemanfaatan dan anti pembangunan. Paradigma yang baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan konservasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan, serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan lingkungannya (Alikodra 2010). Ini merupakan salah satu pandangan konservasi ‘klasik’ yang masih melihat manusia sebagai ancaman daripada potensi solusi bagi pengelolaan kawasan hutan.

Upload: trinhmien

Post on 24-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15�

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Politik Konservasi dan Paradigma Pengelolaan Sumberdaya Alam

Secara umum konsep konservasi memiliki makna yang dinamis seiring

dialektika pengetahuan para perumus konsepsi konservasi dan kontes yang

melatarbelakangi dialektika pengetahuan tentang konservasi. Konsep-konsep

konservasi kini mengalami perluasan definisi. Menurut MacKinnon dalam

Alikodra (2010), konsep konservasi yang modern adalah suatu pemeliharaan

sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini

berdasarkan adanya dua kebutuhan; pertama, kebutuhan untuk merencanakan

sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat. Kedua, kebutuhan untuk

melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Paradigma ini

menggeser paradigma lama yang selama ini ada yakni memahami konservasi

sebagai pelestarian demi pelestarian itu sendiri dalam artian tertutup bagi upaya

pemanfaatan dan anti pembangunan.

Paradigma yang baru memberikan saran bahwa jika suatu kawasan

konservasi dilindungi, dirancang, dan dikelola secara tepat, akan dapat memberi

keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Dengan demikian pelestarian itu sendiri

akan penting artinya dalam pembangunan sosial dan ekonomi di pedesaan dan

turut mengembangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi pusat-pusat perkotaan,

serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Penetapan dan pengelolaan

kawasan dilindungi merupakan suatu cara penting untuk dapat menjamin agar

sumberdaya alam dapat dilestarikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat

manusia sekarang dan di masa mendatang. Hal ini perlu dilakukan mengingat

pertumbuhan dan kegiatan manusia yang semakin merusak sumberdaya alam dan

lingkungannya (Alikodra 2010). Ini merupakan salah satu pandangan konservasi

‘klasik’ yang masih melihat manusia sebagai ancaman daripada potensi solusi

bagi pengelolaan kawasan hutan.

16��

Menurut Ehrlich dan Wilson dalam Alikodra (2010), manusia seharusnya

mengkhawatirkan fenomena berkurangnya keanekaragaman hayati karena tiga

alasan: Pertama, manusia sebagai homo sapiens yang merupakan species dominan

di bumi ini, sehingga sudah seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk

melindungi semuanya yang telah turut menemani tinggal di alam semesta. Kedua,

manusia menerima keuntungan ekonomi secara langsung dalam bentuk makanan,

obat-obatan, dan produk industri, dan berpotensi untuk menerima lebih lagi.

Ketiga, adanya jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem secara alami,

seperti pemeliharaan komposisi gas-gas di atmosfer, proses fotosintesa yang

membuat bumi mengalami kecukupan oksigen.

Effendi (2001) mengamati terdapatnya miskonsepsi dalam pemahaman

terhadap kawasan konservasi. Ia mengatakan bahwa miskonsepsi itu

dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kawasan konservasi merupakan

sumberdaya alam yang "hilang" dalam mendukung kepentingan pembangunan

ekonomi. Kesalahpahaman itu diperkuat ketika pemerintah menunjuk suatu areal

sebagai kawasan konservasi dan kemudian membatasi kegiatan manusia dalam

kawasan tersebut, sehingga masyarakat berpendapat bahwa kawasan konservasi

tersebut hanya sedikit saja memberi manfaat uang yang mengalir pada masyarakat

lokal atau negara. Penilaian ekonomi sumberdaya (resources valuation) dapat

digunakan sebagai peralatan kebijakan untuk membantu para perencana

pemerintahan untuk memperkuat pengelolaan kawasan konservasi dengan

mempertimbangkan nilai ekonomi dari berbagai alternatif pilihan penggunaan

lahan, termasuk kawasan konservasi.

Konservasi sumberdaya alam di kawasan TNUK bertujuan untuk

pelestarian species Badak Jawa atau popular dikenal dengan sebutan Rhino, alasan

perlindungan ini kemudian diperluas menjadi perlindungan terhadap

keanekaragaman hayati di kawasan itu sendiri. Sebagai daerah kawasan hutan

alami dengan kekayaan hutan yang melimpah bagi masyarakat yang tinggal di

sekitarnya, kawasan TNUK adalah common property yang akan mudah disalah

gunakan pemanfaatannya oleh individu atau kelompok pengguna yang bertindak

atas kepentingannya sendiri. Menurut model padang rumput milik Hardin,

pemecahan permasalahan common property untuk mencegah tragedy of common

17�

adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan sentralisasi atau privatisasi

sumberdaya alam tersebut (Hardin 1968). Selain kedua pendekatan tersebut,

Ostrom (1990) dalam Van Vugt (2002) mengemukakan pendekatan ketiga berupa

rancangan kerjasama kelembagaan yang kuat yang diorganisir dan diatur oleh

pengguna sumberdaya itu sendiri. Ostrom mengupayakan agar kelompok-

kelompok utama yang berada dalam situasi yang saling bergantung satu sama lain

ini mampu mengorganisir dan mengatur dirinya sendiri untuk memperoleh

keuntungan yang terus menerus sementara menghadapi kendala adanya kelompok

pendompleng (free rider), tak mematuhi peraturan (shirk), atau oportunis.

Pengelolaan sumberdaya dengan sistem sentralisasi merupakan salah satu

cara untuk mengatasi dilema sumberdaya. Tujuannya adalah mengatur akses

individu terhadap sumberdaya. Strategi yang dilakukan adalah dengan

meningkatkan kontrol dari pusat dan meningkatkan kontrol individu. Meskipun

demikian, sistem sentralisasi tidak selalu dianut individu pengguna karena mereka

tidak sertamerta memberikan kebebasan yang selama ini dimilikinya dalam

mengakses sumberdaya kepada pemerintah. Ini disebabkan dua hal, pertama;

individu tidak percaya sistem yang diberlakukan mampu menghentikan mereka

yang bisa menggunakan sumberdaya secara berlebihan. Kedua, individu

mengkhawatirkan adanya praktik korupsi dan eksploitasi oleh pemerintah itu

sendiri. Pada suatu masyarakat yang sebenarnya memiliki alternatif pilihan untuk

menciptakan suatu sistem pengaturan akses sumberdaya, sistem sentralisasi

menjadi sistem yang sangat tidak populer (Van Vugt 2002). Menurut Ostrom

dalam Van Vugt (2002), sistem sentralisasi tidak cukup efisien dalam mengatasi

permasalahan sumberdaya. Penyebabnya, pertama, diperlukan suatu sistem

pengawasan yang ketat untuk bisa mengontrol pasokan sumberdaya yang ada.

Kedua, pemerintah kemungkinan tidak cukup memahami pengetahuan/kearifan

lokal untuk memonitor kondisi sumberdaya dan merencanakan aturan yang

optimal dalam penggunaan dan distribusi sumberdaya (Van Vugt 2002).

Kenyataannya memang, hampir semua pengelolaan Taman Nasional di

Indonesia mengalami permasalahan baik soal pendanaan maupun dalam

menghadapi ilegal logging dan perambahan wilayah. Menurut Riyanto (2005),

beberapa kendala dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia adalah: 1)

18��

Kurangnya sumberdaya manusia yang profesional di bidang konservasi

sumberdaya alam; 2) Kondisi lapangan yang berat sehingga terjadi kesulitan

membangun infrastruktur untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan

kawasan suaka alam dan pelestarian alam; 3) Pendanaan dalam bidang

pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam masih minim,

sehingga perlu adanya dukungan dana untuk mendukung program tersebut. 4)

Peran serta masyarakat di dalam bidang konservasi sumberdaya alam hayati masih

rendah.

Menurut Sumardja (2004), kebanyakan kawasan konservasi di Indonesia

memang sangat minim sumberdaya, beberapa di antaranya bahkan tidak

menerima anggaran reguler sama sekali, dan hanya bergantung pada pendanaan

dari lembaga donor suplementer, yang memberikan dana untuk proyek yang

terbatas durasinya. Pemerintah Indonesia selama ini berupaya mencari alternatif

pencarian dana melalui program mekanisme peningkatan pendapatan konservasi

yang disebut Integrated Conservation and Development Project (ICDP) yang

didukung oleh Bank Dunia. Begitupula proyek penangkaran Badak untuk tujuan

eko-wisata yang diresmikan tahun lalu oleh Menteri Kehutanan, Gubernur Banten

hasil kolaborasi Yayasan Badak Indonesia (YABI), Internasional Rhino

Foundation (IRF) dan BTNUK yang disebutkan membutuhkan dana 6 milyar,

adalah salah satu upaya untuk mendatangkan dana bagi pengelolaan konservasi di

TNUK. Disatu sisi hal ini membantu bagi pengurusan kawasan konservasi, namun

jika hal itu menjadi ketergantungan dan pelaksanaannya tidak memahami

prasyarat konservasi secara utuh, justru akan menjadi masalah baru bagi multi

pihak yang berkepentingan dengan TNUK. Di dalam konteks kasus TNUK -dan

mungkin pada umumnya di kawasan Taman Nasional lainnya- yang menjadi

korban penderita adalah masyarakat yang hidup di pinggiran/di sekitar kawasan

konservasi, yang dipaksa dengan beragam cara untuk menyesuaikan diri dengan

tujuan dan target proyek, yang biasanya tanpa mengindahkan hak dan kepentingan

dasar subsistensi mereka. Demikianlah yang terjadi di wilayah kawasan kampung

Legon Pakis.

Proses marjinalisasi masyarakat di pinggiran kawasan hutan bukan hanya

terkait dengan persoalan rejim dan relasi kuasa yang timpang antara aparatus

19�

konservasi negara (TNUK) dengan msayarakat petani pedesaan tetapi juga terkait

dengan domain paradigmatik atau bangun susun pengetahuan yang mengendap

dalam sistem ‘ideologis’ yang dianut oleh penguasa dalam mengurus penataan

ruang di kawasan konservasi.

Setidaknya, ada tiga komponen dalam penguasaan akses hutan produksi,

yang dapat berlaku juga pada jenis hutan yang lainnya, yaitu penguasaan tanah;

penguasaan/pengendalian species, dan penguasaan tenaga kerja hutan. Ketiga

komponen ini masing-masing dapat dipikirkan sebagai jenis sumberdaya

kekuasaan (Weber, 1978) atau sebagai perwujudan kekuasaan Negara atau

perusahaan (korporasi). Dengan dalih kekuasaan dan pengendalian berdasarkan

azaz konservasi Taman Nasional dengan species utama Badak Jawa Bercula Satu

inilah, politik kawasan konservasi dilaksanakan dengan sistematis dan

menyingkirkan masyarakat dari pinggiran/dalam kawasan hutan.

Secara teoritis persoalan politik penataan dan penguasaan ruang kawasan

konservasi tidak bisa dilepaskan dari paradigma pengelolaan hutan yang dipakai

oleh otoritas pengelola Taman Nasional, sebab pandangan pengelola terhadap

hutan dan kenyataan yang hidup di dalamnya berpengaruh terhadap sistem

pengelolaan hutan yang dipakai. Setidaknya terdapat tiga kelompok pandangan

dominan dalam pengelolaan hutan; Pertama, Pandangan Berbasis Ekologis.

Kelompok ini menempatkan hutan sebagai sebuah kawasan ekosistem yang

berfungsi sebagai kawasan kehidupan tidak hanya untuk makhluk hidup yang

tinggal di dalamnya, namun secara global berfungsi juga sebagai paru-paru dunia.

Maka, keberadaan hutan dan fungsi utamanya itu harus dijaga dan dilestarikan

secara berkelanjutan, (sustainability). Kedua, pandangan Eko-Politik. Pandangan

ini melihat bahwa hutan sebagai sumberdaya alam yang memiliki nilai dan

manfaat ekonomis. Pandangan ini memberi arahan bahwa pengelolaan hutan

sebagai sumberdaya ekonomis dapat dimanfaatkan untuk kepentingan

pembangunan. Hutan dipandang sebagai sumber bahan baku produksi untuk

menghasilkan barang dan jasa yang diharapkan dapat memberikan keuntungan.

Dengan demikian, segala hal yang dianggap menghambat pencapaian tujuan

tersebut mesti dihilangkan. Ketiga, pandangan Sosial-Budaya. Padangan ini lebih

menitik beratkan pada fungsi dan potensi hutan sebagai bagian dari kehidupan

20��

keseharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Kehidupan hutan dipandang

sebagai suatu kegiatan kehidupan dengan nilai-nilai dan ritual kemasyarakatan

termasuk di dalamnya pengelolaan dan pemanfaatan hutan menuju

keberlanjutannya untuk sebesar-besarnya demi eksistensi kehidupan masyarakat

manusia di dalamnya, dan di sekitarnya.22

Dilihat dari tiga model pandangan di atas, kasus pengelolaan TNUK lebih

terlihat dominannya padangan yang kedua; nalar eko-politik. Digtum

pembangunanisme yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi mempengaruhi

cara melihat dan memperlakukan Sumberdaya Alam, dalam hal ini kuasa atas

TNUK, yang lebih berorientasi ekonomistik. Sehingga segala peluang yang dapat

menunjang pemanfaatan dalam meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya

akan terus dilakukan, baik melalui regulasi, kebijakan dan usaha-usaha ekonomis

lainnya dengan ragam pihak (pengusaha, swasta dan juga pemodal asing) yang

segaris dengan ‘ideologi’ pembangunanisme yang dianut. Sebaliknya, segala hal

yang diangap menghambat dan menghalangi pencapaian keuntungan ‘ekonomis’

ini akan dengan sengaja (baik halus maupun kasar) akan dihilang-paksakan.

Dalam sudut pandang yang serupa, model konservasi sumberdaya alam

secara teoritis jika dilihat dari aliran pemikiran (school of thought) terdapat tiga

aliran besar yang berpengaruh yaitu; konservasionis, eko-populis dan

developmentalis (Witter dan Bitmer, 2005). Aliran pemikiran pertama

(konservasionis) bergumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara

hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan

keseimbangan ekologi. Pada dasarnya pemikiran ini mengangap bahwa penduduk

setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini

berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan. Aliran

pemikiran kedua, (eko-populis) berargumen bahwa masyarakat adat dan lokal

adalah penanggung resiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga

mempunyai kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik

daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku

konservasi yang menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka

didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodoks mengenai ilmu-

������������������������������������������������������������22 Karyono, Pemberdayaan.....Op.Cit, hlm. Vii.

21�

ilmu sosial dan ilmu alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap

pengetahuan lokal. Sementara aliran ketiga (developmentalis) mempunyai

anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan,

sehingga penanganan dan kebijakanya lebih berwatak ‘pembangunanisme’.

Mereka beranggapan bahwa kaum eko-populis terlalu romantis dan memperalat

masyarakat lokal, sedang kaum konservasionis dianggap tidak memperhatikan

persoalan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan konservasi23.

Bentuk-bentuk teror, pembatasan akses melalui regulasi, peningkatan

kontrol oleh Polhut (yang dipersenjatai dengan senjata api), dan pemaksaan dan

preasure lain dalam usaha untuk ‘mengkosongkan’ wilayah TNUK baik dengan

merelokasi warga sekitar hutan maupun mendesak dan mempersempit gerak

kehidupan pemukim di sekitar TNUK semakin hari semakin intensif dilakukan

merupakan bukti bagaimana pandangan konservanisonis masih dominan di anut

pengelola TNUK. Pada titik inilah tarik ulur ketegangan antara ruang ekonomi

dan ruang ekologi dalam mekanisme saling meniadakan (zero sum game) satu

sama lain terjadi. Program yang menekankan peningkatan ekonomi akan merusak

fungsi ekologis dan sosial dari SDA, sebaliknya, program yang mengutamakan

perlindungan SDA secara berlebihan dan abai atas fungsi ekologis dan sosialnya

berakibat pada terkurangnya manfaat ekonomi.24

Atas nama komuditas ekonomi dengan payung ‘konservasi’ berwatak

pembangunanime, kesejahteraan warga pemukiman di kawasan TNUK diabaikan,

bahkan jika perlu ‘dianggap tidak ada’. Nampaknya nalar developmentalisme juga

masih menjadi cara pandang dominan dalam mempersepsi kawasan konservasi

dan masyarakat di sekitar Taman Nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan

bagaimana minimnya pengembangan corak pandang eko-populis dalam

pengelolaan lahan konservasi. Padahal sudut pandang inilah yang memberi

peluang besar bagi penghormatan yang utuh atas ekosistem hutan beserta mahluk

hidup yang ada di sekitarnya. Dalam kerangka pemetaan paradigma pengelolaan

sumberdaya alam semacam inilah yang akan dipakai untuk melihat kontestasi

kepentingan dan aktor yang bertarung dalam konteks penataan dan penggunaan

kawasan konservasi TNUK hendak ditelisik lebih jauh dalam penelitian ini. ������������������������������������������������������������23 Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik Op.Cit.24 Kartodiharjo dan Jhamtani, Politik....,Ibid., hlm 46-47.

22  

2.2 Politik Tata Ruang dan Sumberdaya Alam

Secara normatif sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 24

Tahun 1992 (R.I 1992) tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang adalah

wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu

kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan

kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang adalah

wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak.

Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang

dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara umum, perencanaan ruang adalah

suatu penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan

hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang tersebut

dilakukan melalui proses-proses dan prosedur penyusunan serta penetapan

rencana tata ruang berdasarlan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta

mengikat semua pihak.

Dalam perkembangannya, beragam konsep-konsep tentang ruang

mengarah kepada corak pendekatan ekonomi dan juga konsep ruang sosial yang

merupakan perubahan pandang terhadap ruang dan kemudian banyak dijadikan

dasar konsep pengembangan wilayah. Konsep ruang untuk pengembangan

wilayah lebih mengarah kepada ruang sebagai komponen untuk kebutuhan

pembangunan, misalnya pemusatan konsep keterkaitan kegiatan ekonomi dan

organisasi keruangan dalam satu system menurut simpul dan jaringan. Konsep

tentang ruang yang diartikan secara absolut yang memandang ruang seperti

adanya atau menurut objek yang ada didalamnya. Ruang tidak berubah

eksistensinya walaupun sesuatu diletakkan di dalanya sehingga ruang tetap adalah

secara absolut. Konsep ruang lainnya adalah dalam kaitannya antara benda dan

energi dalam dimensi waktu. Konsep relatif inilah yang kemudian dikembangkan

kedalam konsep ruang praktis. 25.

Ruang adalah wadah yang meliputi ruangan daratan, ruang lautan dan

ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk lain yang

                                                            25 Lihat, Iswara Gautama, Tata Ruang dan Ekosistem, http://fahutanunhas.blogspot.com/2008/11/tata-ruang-dan-ekosistem.html (diunduh tanggal 27 maret 2011)

23�

hidup dan melakukan kegiatan dan melakukan serta memelihara kelangsungan

hidupnya. Masalah ruang banyak dibicarakan dalam kaitannya dengan

pembangunan menurut Ikbal yang dikutip oleh Sugandhy (1992) penekanan pada

ruang ini terjadi karena wilayah lebih diartikan sebagai space dari pada region.

Perhatian pada ruang sebagai unsur penting alam pembangunan semakin

meningkat sejalan dengan meningkatnya perhatian pada konsep pembangungan

berkelanjutan (sustainable development). Salah satu pendekatan yang berperan

besar dalam penggunaan sumberdaya alam adalah tata ruang, yang pada dasarnya

merupakan suatu alokasi sumberdaya alam ruang bagi berbagai keperluan

pembangunan agar memberi manfaat yang optimal bagi suatu wilayah (Coutrier,

1992).

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992

tentang Penataan Ruang, pasal 14 (2), yang dimaksud dengan pola pemanfaatan

ruangan adalah bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia,

sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial budaya, ekonomi, teknologi,

pertahanan, keamanan, fungsi lindung, budidaya, dan estetika lingkungan, dimensi

ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas

membentuk tata ruang. Menurut Sugandhy (1995), ruang merupakan suatu wujud

fisik wilayah dalam dimensi geografis yang dipergunakan sebagai wadah bagi

setiap usaha pemenuhan kehidupan manusia baik pemanfaatannya secara

horizontal maupun vertikal.

Dalam perpektif yang lebih kritis, politik ruang atas kawasan sumberdaya

alam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Menurut

Sangaji (2011) hubungan politik ruang dengan kapitalisme bisa dirujukkan pada

pemikiran Marx. Dalam pemikiran Marx, hubungan ruang dengan kapitalisme di

dalam karya-karyanya di bawah logika sifat ekspansi sistem ini. Dalam sebuah

kasus di Grundrisse, dikatakan bahwa ketika kapital berusaha menyingkirkan

semua hambatan spasial di seluruh permukaan planet agar supaya pasarnya

melimpah ruah, maka dalam waktu yang sama kapital berusaha untuk

melenyapkan ruang dengan waktu (to annihilate space by time), yaitu dengan

mengurangi jumlah waktu yang diperlukan untuk pergerakan atau sirkulasi

24��

[modal, tenaga kerja, barang dan jasa] dari satu tempat ke tempat lain26. Apa yang

Marx tekankan, pelenyapan hambatan spasial (spatial barrier) merupakan kunci

dari akumulasi kapital. Adalah Henri Lefebvre yang mengembangkan lebih jauh

diskusi soal ruang dan kapitalisme, melalui teorinya tentang produksi ruang

(production of space).

Buat Lefebvre, sebagaimana dikutip Sangaji (2011) produksi dan

reproduksi ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global, merupakan

kunci dari keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang nafasnya. Salah satu

tema utama Lefebvre tentang produksi ruang adalah ruang sosial (social space),

yakni manusia mengorganisir ruang dalam hubungan antar sesama. Baginya,

ruang merupakan hasil dari hubungan social.27 dan diskusi tentang ruang sosial,

bagi Lafebvre, harus didudukkan ke dalam konteks corak produksi, konsep

penting dalam materialisme sejarah (historical materialism) guna mengerti gerak

perubahan masyarakat.28

Menurut Sangaji (2011) di dalam masyarakat dengan corak produksi

kapitalis, produksi ruang berorientasi kepada kepentingan kapital; komoditi harus

bisa diproduksi dan disirkulasi secara mudah. Menurutnya, setiap masyarakat —

atau setiap corak-produksi — menghasilkan ruang untuk kebutuhannya sendiri.

Dengan kata lain, perbedaan corak produksi menciptakan ruang berlainan.

Produksi ruang di bawah feodalisme berbeda dengan produksi ruang masyarakat

kapitalis. Lefebvre menunjuk masyarakat abad pertengahan yang bercirikan corak

produksi feudal menghasilkan bentuk material ruang seperti manor, monastery,

dan katedral. Sebaliknya, dalam masyarakat kapitalis, wujud ruang bisa dilihat

dari jejaring perbankan, pusat-pusat kegiatan bisnis dan kegiatan produktif. Jadi,

perubahan dari satu corak produksi ke corak produksi lainnya akan diikuti dengan

perubahan representasi material semacam itu.

Dengan demikian, sebagai sistem global, menurut Lefebvre, kapitalisme

membentuk ruang abstrak (abstract space).29 Maksudnya, ruangnya dunia bisnis,

������������������������������������������������������������26 Karl Marx (1973) Grundrisse , New York , London : Penguin Books. 27 Lihat Henri Lefebvre (1991) The Production of Space, Oxford : Blackwell Publishing. 28 Marx, Op.Cit29 Lihat Henri Lefebvre (2009) Space, State, World, Minneapolis, London : University of Minnesota Press . Diskusinya tentang space merupakan sumbangan besar Lefebvre bagi critical human geography, dengan merevolusionerkan disiplin ilmu ini, dengan menganggap space sebagai

25�

baik berskala nasional mapun internasional dan ruang tentang kekuasaan uang dan

politik negara [kapitalis]. Lanjutnya, ruang abstrak bersandar pada gurita

perbankan raksasa, perbisnisan, dan pusat-pusat produksi kapitalis yang utama.

Juga intervensi spasial seperti jaringan jalan, lapangan terbang, dan jaringan

informasi, guna melipat-gandakan produksi dan sirkulasi kapital secara cepat.

Ruang abstrak merupakan basis dari akumulasi kapital. Lantas, Lefebvre

mendaftar kontradiksi-kontradiksi di dalam ruang kapitalis. Kontradiksi paling

utama adalah penghancuran ruang oleh rejim hak milik (private property) atas

semua bentuk rejim kepemilikan lainnya; komunal, feudal dan sebagainya. Juga,

menciptakan hirarki di dalam masyarakat berbasis eksploitasi kelas. Bentuk

lainnya adalah kontradiksi berbasis pusat dan pinggiran30.

Dengan dasar dan pandangan di atas, maka, dalam kontestasi politik

penataan dan penguasaan ruang, maka penting menekankan bahwa tindakan

negara dalam alokasi hutan untuk HPH, penetapan kawasan konservasi (taman

nasional) penetapan kawasan perkebunan dan areal pertambangan yang

melahirkan monopoli alat produksi adalah pelajaran konkrit dari produksi ruang

kapitalis, seperti diteorikan Lefebvre. Namun, disayangkan menurut Sangaji

(2011) bahwa diskusi soal produksi ruang ini sangat reduksionis, dan terisolasi

dari debat corak produksi kapitalis. Kondisi material ruang yang ditandai

distribusi alat produksi (dalam kasus ini tanah) yang menumpuk di tangan

segelintir kelas kapitalis hilang dari percakapan.

Pembahasannya dipangkas menjadi teknokratis, misalnya, semata

berwujud Rencana Tata Ruang (RTR) Ambil contoh paling konkrit, peta. Sebagai

�������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������alat produksi (means of production), sebagaimana dipahami dalam tradisi Marxist. Menurutnya, ruang sebagai alat produksi merupakan jaringan pertukaran dan arus pergerakan bahan baku dan energi. Dalam pengertian ini, sebagai alat produksi, tidak bisa dipisahkan dari kekuatan produksi (force of production), tehnik, dan pengetahuan; tidak boleh dilepaskan dari pembagian kerja sosial (social labour) secara internasional, dari alam, dan dari negara dan soal-soal superstruktur lainnya.30 Mengikuti pemikiran Lefebvre ini, menurut Sangaji (2011) maka alternatif terhadap ruang kapitalis adalah ruang sosialis (socialist space). Ruang sosialis bersandar pada sosialisasi alat-alat produksi, bukan di bawah penguasaan kelas kapitalis. Dan karena kegiatan produksi dalam masyarakat sosialis, seperti diteorikan Marx, adalah produksi untuk kebutuhan sosial (social needs), maka bagi Lefebvre, aspek-aspek mendasar kebutuhan sosial seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi, merupakan isu pokok yang harus dijawab dalam ruang sosialis. Tergolong dalam kebutuhan sosial ini juga pengorganisiran ulang ruang perkotaan untuk kebutuhan semua, bukan untuk segelintir. Dan jalan untuk membangun alternatif ruang sosialis adalah politik (politic of socialist space).

26��

gambaran tentang ruang yang diorganisir untuk tujuan kapital, maka pemerintah

membuat aneka peta tematik; katakanlah, peta tata guna hutan, peta

pertambangan, dan peta-peta lain. Karena peta-peta itu sering saling bertubrukan

satu dengan lain, maka dibuatkan peta “paduserasi,” mungkin dipinjam dari

kosakata “harmoni,” kerap diilusikan sebagai kultur bangsa. Di lapangan, peta-

peta yang diukir para ahli kartografi itu selalu menjadi malapetaka. Peta menjadi

alat untuk menggusur petani, bahkan dengan kekerasan mematikan. Serangan

terhadap para petani biasa dimulai dari kegiatan survei lapangan, bunyi buldozer

menggusur tanaman pertanian rakyat, hingga letupan senjata api.

Para petani melawan, karena aneka peta itu bukan saja memasukkan lahan

pertanian tetapi juga kampung yang mereka tinggali di bawah kepemilikan baru.

Peta, oleh karena itu, bukan sekedar media untuk melukiskan informasi bumi,

tetapi menjadi alat klaim kepemilikan hak milik secara eksklusif. Peta telah

menjadi alat penghancuran sistem kepemilikan non-kapitalis. Peta adalah

instrumen untuk transformasi ekonomi politik dengan segala resiko turunan yang

buruk 31. Dalam batasan konsep ruang seperti ini, politik tata ruang di kawasan

konservasi TNUK hendak ditinjau dalan penelitian ini.

2.3 Hak dan Akses atas Sumberdaya Alam

Pembatasan akses masyarakat di sekitar kawasan hutan dan Taman

Nasional merupakan salah satu penyebab dari proses mejauhkan masyarakat dari

ruang hidupnya yang mendorong terjadinya proses pemiskinan. Dalam pengertian

Ribot dan Peluso (2003: 1) akses diartikan sebagai kemampuan untuk

memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefit from things).

������������������������������������������������������������31 Diskusi yang baik soal peranan peta dan pemetaan dalam ekspansi kapitalisme secara historis diungkapkan oleh Pickles. Dia melihat peta sebagai alat untuk melindungi hak milik pribadi menyusul perkembangan kapitalisme dalam menggantikan corak produksi feudal di Eropa. Katanya, dalam proses pembuatan peta para surveyor profesional, manager perkebunan swasta, dan birokrat pemerintah memainkan peran penting dalam proses transisi itu. Di Belanda, produksi dan penggunaan peta-peta cetak pada abad 16 dan 17 secara langsung berhubungan dengan ekspansi dagang dan imperial negeri itu pada masa kejayaannya. Lihat John Pickles (2004) AHistory of Space: Cartographic reason, mapping and the geo-coded world, New York : Routledge. Lebih jauh lihat, Anto Sangaji, Kapitalisme dan Produksi Ruang,http://indoprogress.com/2011/02/28/kapitalisme-dan-produksi-ruang/ diunduh tanggal 25 Maret 2011.

27�

Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan

sebagai: hak untuk memperoleh dari sesuatu (“the right to benefit from things”).

Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a

bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai

“sekumpulan hak” (”bundle of rights”). Perbedaan ini lebih nampak jika dilihat

pada fokus telaahnya, jika pada studi properti yang ditelaah adalah relasi properti

utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses

ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dan sumberdaya termasuk di

dalamnya adalah properti tetapi tidak terbatas pada relasi propertinya saja.

Sedangkan kekuasan, dalam pengertian Ribot dan Peluso (2003),

diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan

ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk ‘bundel kekuasaan”

(bundle of powers) dan “jaringan kepentingan” (“web of powers”) yang kemudian

menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi ini adalah bahwa

kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai

mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang

atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Mengingat elemen-

elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan

akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-rubah menurut ruang dan

waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-

beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda32.

Dengan pengertian semacam ini, maka konsep akses pada akhirnya ingin

melihat dan menyelidiki ‘siapa yang secara aktual memperoleh keuntungan dari

sesuatu tersebut dan melalui proses seperti apa mereka mendapatkan keuntungan

tersebut’. Akses dengan demikian menyimpan makna empiris yang fokus pada

issue ‘siapa yang mendapatkan (atau tidak mendapatkan) pemanfaatan tersebut?

Dan dengan cara apa? Maka dapat dikatakan bahwa perbedaan orang atau institusi

pemegang kekuasaan akan menggambarkan perbedaan pula pada saat ‘bundel

kekuasaan’ tersebut ditempatkan dan dikuasakan ke dalam jaringan kekuasaan

yang dibentuknya. Orang atau institusi memiliki perbedaan posisi dalam relasinya

terhdap sumberdaya alam di dalam beragam momen kesejarahan dan sekala

������������������������������������������������������������32 Nancy L. Peluso, Jesse C Ribot, (2003) “A Theory of Access”. Rural Sociology. June 3, 2003.

28��

geografis tertentu. Titik penting dari analisa akses adalah untuk memahami

mengapa sebagian orang atau institusi memperoleh keuntungan dari sebuah

sumberdaya alam atau mengapa mereka memperoleh atau tidak memperoleh

haknya terhadap sumberdaya tersebut.

Merujuk pada Ribot dan Peluso (2003) dapat dijelaskan bahwa terdapat

perbedaan signifikan antara analisa akses dan analisa property. Jika property lebih

pada pemahaman pada persoalan ‘klaim’ terhadap hak, maka studi akses lebih

pada bagaimana memahami beragam cara orang-orang memperoleh keuntungan

dari sumberdaya alam tersebut yang tak dibatasi pada relasi terhadap property.

Dengan demikian untuk memahami keduanya mesti dibandingkan terlebih dahulu

antara akses dengan property sekaligus keduanya mesti diletakan sesuai dengan

tempatnya. Pertama baik akses maupun properti memandang penting relasi

diantara orang terhadap ‘keuntungan dan nilai’ baik itu derma, akumulasinya,

transfer, dan distribusinya. Keuntungan amatlah penting karena orang, institusi,

atau masyarakat hidup untuk hal tersebut, karena keuntungan tersebut terkadang

mereka bertikai atau bekerja sama untuk hal itu. Untuk memahami perbedaannya

maka kita harus membedakan antara kemampuan dan hak.

Kemampuan berhubungan erat dengan kekuasaan, yang didefinisikan

dalam dua cara: pertama kemampuan merujuk pada kapasitas aktor untuk

mempengaruhi praktik-praktik dan gagasan orang lain (Webber 1978 dan Lukes

1986). Kedua kekuasaan sebagai sesuatu yang inheren yang muncul dari orang-

orang yang baik sengaja atau tidak timbul dari efek sebuah hubungan-hubungan

sosial. Dapat dikatakan bahwa akses merupakan semua makna-makna

kemungkinan, dimana orang mampu memperoleh keuntungan dari ‘sesuatu’.

Sementara property lebih pada pengertian klaim dan hak yang terkait pada

hukum, kebiasaan, atau konvensi yang bisa saja tak setara. Beberapa tindakan bisa

saja dianggap ilegal menurut hukum negara, atau mendapat sangsi menurut

kebiasaan atau konvensi. Akses berbeda karena ia mungkin saja tanpa sengaja

memiliki akibat terhadap hak kepemilikan atau bisa saja akses tertentu tak

mendapat sangsi secara sosial didalam wilayah hukum, kebiasaan, atau konvensi

tertentu. Dilihat dari struktur dan rasionalisasinya, relasi sebuah mekanisme akses

harus dipahami dengan melihat bahwa kemampuan memperoleh keuntungan itu

29�

dimediasikan oleh beragam hambatan yang ada, oleh kerangka politik ekonomi

dan kultural tertentu disaat akses terhadap sumberdaya tersebut diusahakan.

Menurut Blaikie (1985) tentang kualifikasi sebuah akses, maka kapital dan

identitas sosial sangat berpengaruh pada siapa yang diprioritaskan terhadap akses

sumberdaya alam. Atas dasar pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa ada nuansa

bagaimana teknologi, kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan

relasinya dapat membentuk dan mempengaruhi sebuah akses.

Dengan batasan pengertian di atas, nampak bahwa pengabaian hak dan

akses ruang hidup masyarakat di sekitar kawasan TNUK lambat laun telah

mendorong penurunan kontrol sekaligus kemampuan warga sekitar hutan untuk

mendapatkan manfaat dari sumberdaya agraria yang ada di dalam dan sekitar

TNUK. Proses ini terus berlanjut dan telah terjadi dalam jangka waktu yang cukup

lama sehingga ikut mendorong proses penciptakan kemiskinan yang berlarut, baik

dalam makna struktural maupun kultural. Kebijakan politik konservasi yang

berwatak konservasionis-developmentalistik tersebut ikut menghambat warga

sekitar hutan mendapatkan akses atas sumberdaya melimpah di sekitarnya. Di sisi

lain, kekayaan pengetahuan dan keariafan lokal33 yang telah hidup dan diyakini

lama oleh masyarakat semakin terkikis dan akhirnya luntur akibat penggerusan

paksa aturan normatif negara yang mengadopsi sistem pengelolaan hutan dari

Barat.

Ketika konflik agraria di Taman Nasional meledak, kondisi keterbatasan

(hak dan akses) masyarakat semakin berkurang, dan mendorong proses

pemiskinan yang semakin masif. Pada konteks semacam inilah proses pemiskinan

dapat terjadi berulang dan terwariskan. Secara relasional kemiskinan semacam ini

mesti dipandang sebagai hasil dari beroperasinya berbagai relasi kuasa yang

timpang ini, ketimbang sebagai produk dari proses-proses yang abnormal dan

patologis. Suatu “kepekaan ekonomi politik (a sense of political economy)

menjadi esensial” di sini untuk dapat “menyibakkan hubungan-hubungan historis

������������������������������������������������������������33 Pengertian ‘kearifan lokal’ disini “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang bertumbuh kembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di anatar warga masyarakat”. Lihat Alpha Amirrachman, “Revitalisasi Kearifan Lokal Untuk Perdamaian” dalam Alpha Amirrachman (ed.) Revitalisasi Kearifan Lokal; studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, (ICIP, Jakarta: 2007), hlm. 11.

30��

yang menciptakan ketimpangan distribusi kekuasaan, kemakmuran dan kesempatan

di tengah-tengah masyarakat” (Du Toit dalam Mosse 2007). Tanpa membongkar

struktur ketimpangan-ketimpangan politik, ekonomi sosial, budaya yang

menyelimutinya, sulit menangkap akar persoalan kemiskinan yang terjadi.

Sebab, pada umumnya, menurut Shohibuddin dan Soetarto (2009)

kemiskinan oleh para perencana pembangunan dan pengambil kebijakan lebih

sering dilihat sebagai sebuah “kondisi”, ketimbang sebuah “konsekuensi”.

Sebagai kondisi, maka parameter yang digunakan untuk melihat kemiskinan

adalah ukuran-ukuran yang statis, seperti kondisi tempat tinggal, jenis dan jumlah

asupan gizi, tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan sebagainya.

Kemiskinan merupakan “atribut negatif” dari ukuran-ukuran ini dalam suatu

gradasi. Apa yang tidak tertangkap dari konstruksi semacam itu adalah bahwa

kondisi kemiskinan, baik pada tingkat rumah tangga ataupun komunitas, memiliki

sejarah dan dinamika yang berbeda-beda. Status dan kondisi kemiskinan boleh

saja serupa pada, misalnya, berbagai komunitas adat terpencil. Akan tetapi, tanpa

memahami berbagai proses yang membentuk kemiskinan dan ketimpangan, dan

mekanisme-mekanisme sosial yang membuatnya terus bertahan dan berlanjut

(bahkan dicipta kembali), maka penetapan level-level kesejahteraan maupun

introduksi program-program pengentasan kemiskinan konvensional, tidak bakal

dapat menjawab problem kemiskinan pada akar permasalahannya. (Mosse 2007).

2.4 Gerakan dan Perlawanan Petani

Sebelum mendefinisikan perlawanan dan gerakan, ada baiknya untuk

mengupas sedikit tentang siapa yang di sebut dengan petani. Dan sebenarnya,

perdebatan tentang petani sudah berlangsung lama baik dalam lingkup

internasional maupun dalam negeri sendiri.34 Tentu saja terdapat ragam definisi

������������������������������������������������������������34 Dalam kajian di luar negeri, perdebatan mengenai definisi tentang petani sudah berlangsung lama (dekade pertengahan tahun 20-an). Ini dapat dilihat bagaimana pro dan kontranya para ilmuwan mengenai teori Chayanov yang terkenal dengan “The Theory of Peasant Economy”. Dalam kajian dalam negeri dapat dilihat semenjak awal berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kajianilmiah tentang pemberontakan petani ini menjadi perbincangan pda tahun 1980-an, misalnya karya Sartono Kartodirjo tentang Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Dan memuncak perdebatan tentangnya pada saat kaum tani memiliki organisasi besar nasional, yaitu Barisan tani Indonesia (BTI) yang kemudian ‘berafiliasi’ pada Partai Komunis Indonesia, mesipun pada mulanya adalah organisasi yang terpisah dari PKI.

31�

tentang kelompok yang disebut petani itu, sejak Wolf, Scott, Popkins, Shanin,

Peige, Ellis, Wood dan seterusnya. Namun setidaknya jika hendak disajikan

sebagian untuk menjadi rujukan dalam makalah ini, khususnya dalam rangka

mencari letak relevansinya petani di Indonesia, penulis mengambil definisi dari

dua tokoh; Amri Marzali (Antropolog) dan Sajogyo (Sosiolog), meskipun

keduanya juga tidak imun dari rujukan tokoh-tokoh di atas.

Dalam pandangan Marzali35, terdapat tiga pendekatan untuk

mendefinisikan petani yang coba dirangkumnya dari beberapa literatur, yakni:

pertama, petani adalah mereka -penduduk- yang mendiami pedesaan secara

umum, tidak peduli apapun pekerjaan mereka. Ilmuwan yang menganut

pendekatan ini adalah Gillian Hart (1986), Robert Hefner (1990) dan Paul

Alexander dan kawan-kawan (1991). Kedua, petani adalah penduduk pedesaan

yang hanya bekerja di sektor pertanian sehingga penduduk desa yang tidak

bekerja di sektor pertanian tidak dapat dikatakan sebagai petani36, dan ketiga,

petani adalah mereka yang memiliki lahan pertanian, yang menggarap sendiri

lahan tersebut dalam rangka menghasilkan produk dan produk itu digunakan

untuk memenuhi keperluan hidupnya, bukan untuk di jual. Ilmuwan yang

menganut pendekatan ini adalah Eric Wolf 37 dan Frank Ellis.

Ringkasnya, dari ketiga pendekatan di atas, Marzani mencoba

merumuskan petani dalam proses perkembangan tingkat sosio-kultural masyarakat

manusia dan sistem ekonominya. Menurut proses perkembangannya, petani

terdiri dari tiga, yaitu: pertama, secara umum masyarakat petani berada di antara

masyarakat primitif dan masyarakat modern, kedua, masyarakat petani adalah

masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas-komunitas pedesaan, dan

ketiga, dari sudut perkembangan mode of production, termasuk mata pencaharian

hidup dan tekno-logi peralatan, masyarakat petani berada pada tahap transisi

antara petani primitif dan petani farmer.

������������������������������������������������������������35. Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. 36. Pendekatan kedua ini banyak dianut oleh para peneliti di Indonesia dan Malaysia, seperti: James C. Scott (1976) dan Wan Hashim (1984). .37 Seorang ilmuwan yang berdisiplin ilmu antropologi. Bukunya yang terkenal berjudul “Petani: Suatu Tinjauan Antropologi” yang diterbitkan oleh CV. Rajawali, Jakarta.

32��

Selain itu, berangkat dari dua sudut pandang yang berbeda berdasarkan

sistem ekonominya. Marzali membagi dua pandangan ilmuwan yang berbeda satu

sama lain acuannya. Pertama, berangkat dari pendapat Firth, Marzali mengatakan

bahwa petani mengacu pada suatu sistem ekonomi yang khas yang memfokuskan

pada sistem ekonomi petani, yaitu sistem ekonomi dengan teknologi dan

keterampilan sederhana, sistem pembagian kerja yang sederhana, hubungan

dengan pasar yang sangat terbatas, alat produksi dikuasai dan diorganisasikan

secara non-kapitalsitik, skala produksi kecil, hubungan produksi lebih bersifat

personal dan keagamaan lebih diutamakan dari pada aspek materi, dan

seterusnya.38 Untuk para aktor-aktornya, petani yang dimaksudkan oleh Firth

adalah seluruh masyarakat pedesaan di negara-negara sedang berkembang beserta

sistem eknominya.39

Kedua, berangkat dari pendapat Wolf dan Ellis, Marzali mengatakan

bahwa petani setidaknya mengacu pada jenis mata pencaharian hidup yang khas.

Wolf 40 berpendapat bahwa yang disebut petani adalah mereka yang masuk pada

golongan petani pemilik-penggarap. Pendapat ini kemudian disempurnakan oleh

Ellis yang berpendapat bahwa petani adalah rumah tangga petani yang hidup dari

tanah milik sendiri dan dikerjakan sendiri, terkait kepada pasar secara partial, dan

pasar tersebut tidak sempurna.

Sementara itu, Sajogyo berdasarkan studi empirik yang ia lakukan (Survei

Agro Ekonomi/SAE), definisi petani cenderung kepada pendapat yang dikemukan

oleh ilmuwan Antropologi, Ekonomi Moral (Scott), Marx dan Weber dengan

beberapa unsur-unsurnya. Unsur-unsur tersebut, yaitu: pertama, petani adalah

komunitas yang mempunyai pola budaya spesifik (antropologi), kedua, petani

merujuk ke sifat ketergantungan sosial tinggi yang mencirikan komunitas petani,

ketiga, petani cenderung dekat dengan garis subsistensi (dahulukan selamat),

keamanan (security) dan kesejahteraan (welfare), keempat, petani adalah mereka–

petani–yang menguasai dan memiliki tanah.41 Dari SAE yang dilakukan oleh

������������������������������������������������������������38. Firth dalam Amri Marzali dalam tulisan yang berjudul “Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia” diterbitkan oleh Journal Antropologi No. 54. 39 Ibid.40 Ibid.41 MT Felix Sitorus et. al.(Penyunting), Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi,(Yayasan Akatiga: Bandung, Cetakan Pertama, 2002). hlm. 36.

33�

Sajogyo dan beberapa pengertian petani di atas, Sajogyo membagi tiga lapisan

sosial masyarakat petani di pedesaan Jawa, yaitu: petani kaya/pengusaha petani

(kepemilkan lahan seluas 0,5-1 Ha dan di atas 1 Ha), petan gurem (kepemilikan

lahan di bawah 0,5 Ha) dan buruh tani (tidak memiliki lahan sama sekali).

Sedangkan dalam kajian Studi Dinamika Pedesaan (SDP), petani didefinisikan

pada dua fokus, pertama, petani adalah pengusaha-pengolah tanah, dan kedua,

petani adalah mereka-petani-yang menguasai/memiliki tanah.

Dari segi aktifitas, petani adalah orang yang terlibat langsung dalam proses

cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam. Dalam

formasi sosial dewasa ini yakni negara, pasar, dan masyarakat sipil, kelompok

terakhirlah yang paling tidak memiliki kekuasaan. Diantara jumlah penduduk

Indonesia yang paling banyak mengisi formasi sosial terutama kelompok

masyarakat sipil dan yang paling tidak memiliki kekuasaan adalah kaum petani.

Sedangkan gerakan radikalisasi petani merupakan gambaran gerakan

tindakan yang dilakukan oleh dan dengan cara-cara khas kaum petani. Tindakan

perlawanan dan kekerasan dapat dilakukan karena beberapa asumsi antara lain,

perasaan kecewa yang terakumulasi karena system yang dianggap tidak

memberikan nilai keadilan. Dari ketidakadilan tersebut memunculkan

kesenjangan sosial dan terakumulasi menjadi sebuah momen anarkis para pelaku

kerusuhan, pendudukan, dan penguasaan. Model gerakan radikalisasi yang

ditampilkan petani adalah model gerakan Perlawanan Nekad (meminjam istilah

Anton Lucas), walaupun perlawanan mereka tergolong pasif namun seringkali

juga menampilkan dengan model gerakan fisik dengan melakukan upaya-upaya

menentang, pendudukan perusahaan, pengumpulan massa dengan jumlah ribuan

orang.

Sejak peralihan zaman dari orde lama menuju orde baru dan reformasi,

kaum petani merupakan sebuah kekuatan besar yang ngambang sehingga sangat

sarat potensi sebagai komoditi politik. Pangan sebagai produksi petani merupakan

komoditi politik dari rejim ke rejim pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya

kebijakan pemerintah yang jarang memihak petani, maka kondisi ini akan

menciptakan potensi-potensi radikalisasi petani yang memungkinkan mengarah

pada terjadinya revolusi oleh kaum petani. Dan kondisi-kondisi tersebut sangat

34��

dipengaruhi oleh kesenjangan dan ketidakadilan kebijakan yang dilakukan oleh

rejim penguasa yang ada. Banyak kasus-kasus yang tidak pula terselesaikan

menyangkut eksisistensi diri sebuah komunitas, tentu saja dalam hal ini sangat

merugikan petani. Dan fenomena-fenomena demikian menyulut, terkumpul dalam

diri dan menjadi pilar-pilar perlawanan menjadi potensi radikalisasi petani menuju

lahirnya revolusi kaum petani.

Kehadiran petani sebagai suatu komunitas mempunyai ciri-ciri dinamika

yang tidak dapat disamakan dengan komunitas lainnya dalam masyarakat. Jika

ditelusuri lebih jauh lagi, dinamika petani sangat terkait dengan sistem ekonomi,

sosial, budaya dan politik yang mereka anut dan sudah mejadi kepercayaan yang

melekat. Sistem ekonomi petani secara khusus didefinisikan oleh Wolf dan Ellis

yang mengatakan bahwa petani (peasant) memiliki arti yang khas yaitu petani

subsis-tensi yang hidup dari usaha pengelolahan tanah milik sendiri.42 Petani

dengan sosial-kutural, menurut Marzali, terdiri dari: (1) secara umum masyarakat

peasant berada di antara masyarakat primitif dan masyarakat modern; (2) peasant

adalah masyarakat yang hidup menetap dalam kominitas-komunitas pedesaan; dan

(3) peasant berada pada tahapan transisi antara petani primitif dan farmer.43

Sementara itu, dari dimensi politik penjelasan Kuntowijoyo dapat menjadi

acuan yang baik. Kuntowijoyo mengatakan bahwa terdapat dua tesis untuk

memahami keterlibatan politik dari petani, pertama, tesis yang menekankan

adanya polarisasi masyarakat pedesaan yang susunan kelasnya terdiri atas tuan

tanah dan petani penggarap, yang keduanya berada dalam kedudukan

kesenjangan, dan kedua, tesis yang menekankan ketegangan kultural, yaitu antara

mereka yang kuat agama (santri) dan yang tidak taat beragama (abangan).44

Pendapat Kuntowijoyo di atas, diperkuat dengan penelitian sejarah yang

dilakukan oleh Kartodirdjo mengenai pemberontakan petani Banten. Menurutnya,

pemberontakan petani Banten tidak hanya berkisar pada persoalan konflik

ekonomi dari stratifikasi sosial tertentu, akan tetapi lebih dari itu, pemberontakan

yang terjadi tidak lain merupakan suatu konflik sosial–budaya yang kemudian

������������������������������������������������������������42. Wolf dan Ellis dalam Marzali, A., Konsep Peisan dan Kajian Masyarakat Pedesaan di Indonesia, Journal Antropologi No. 54, 1993. 43. Marzali, Ibid, 1993. 44. Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, Bentang,Yogyakarta, 2002.

35�

berimbas kepada konflik politik/kekuasaan, yang akhirnya melahirkan sebuah

pertarungan sosial antara stratifikasi sosial yang ada di masyarakat Banten saat

itu.45

Untuk itu, fenomena konflik atau pemberontakan di atas, dari sudut

pandang agraria, menurut Sitorus (2002) tidak dapat dipisahkan dengan struktur

agraria, yang mana antara subyek atau pelaku (baca: petani) tidak dapat

dipisahkan dengan obyek atau sumber-sumber agrariaya. Subyek agraria dapat

dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) komunitas (sebagai satu kesatuan dari unit-

unit rumah tangga); (2) pemerintah (sebagai representasi negara); dan (3) swasta

(private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber

agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria tersebut melalui

institusi penguasaan/pemilikan (tenure institutions). Hubungan pemanfaatan

tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja, dalam

hubungan-hubungan agraria. Sekaligus dimensi kerja itu menunjuk pada

artikulasi kepentingan-kepentingan sosial eko-nomi masing-masing subyeknya

berkenaan dengan penguasaan/pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria

tersebut.46

Dalam ranah teoritik khazanah perlawanan petani dalam ruang lingkup

gerakan sosial pedesaan dapat dikategorikan secara garis besar menjadi dua;

Pertama gerakan sosial pedesaan lama yang berbasis teori klasik petani. Kedua,

dapat dikategorikan sebagai kelompok teori Gerakan Sosial Pedesaan Baru

(GSPB) dengan ciri-ciri tertentu. Untuk kategori gerakan social pedesaan lama

sebagiman dirumuskan oleh beberapa teoritikus klasik (Shohibuddin, 2009) di

antaranya; (1) Scott (1976/1979) menjelaskan ciri-ciri khusus Ekonomi Moral

yaitu: Tatanan sosial yang didasari oleh tertib moral subsistensi yang memberikan

jaminan keamanan subsistensi minimum. Dan Risk aversion sebagai karakter

pokok masyarakat tradisional. Sehingga ciri Pemberontakan Petaninya adalah: a)

Tatanan kolonialisme melahirkan: eksploitasi, diferensiasi sosial, dislokasi

agraraia dan kemerosotan moral. b) Pemberontakan petani: respon niscaya untuk

������������������������������������������������������������45 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984. 46. MT Felix Sitorus et. al.(Peny.), Op.Cit, hlm. 36.

36��

mengembalikan tatanan moral yang diporak-porandakan oleh penetrasi

kapitalisme. (2) Popkin (1979) petani Rasional: a) Masyarakat tradisional yang

ditandai solidaritas moral adalah ilusi.

Masyarakat pra-kapitalis tak kurang eksploitatif ketimbang kolonialisme.

b) Para petani memiliki rasionalistas untuk memberikan tanggapan yang berbeda-

beda atas kapitalisme yang menyediakan berbagai kesempatan yang berbeda-beda.

Perlawanan petani bukan bersifat restorative, tetapi: a) Petani melakukan

perlawanan dalam upaya mencari jalan untuk mejinakan kapitalisme, lalu bekerja

di dalam kapitalisme yang telah dijinakkan itu. b) Dalam upaya ini, para

pemimpin gerakan dan elit sosial bertindak sebagai entrepreneur politik. (3) Paige

(1975) Kepentingan kelas: a) Petani berada pada situasi nyata di dalam suatu

proses produksi, misalnya organisasi dan struktur kerja, ekologi produksi dan

lainnya. b) Inilah yang mendasari kepentingan kelas yang berbeda-beda yang

tidak ada kaitannya dengan rasionalitas atau moralitas tindakan mereka. Ciri

Ekonomi Moral masih melekat yang menimbulkan: a) Pemberontakan agraria dan

bentuk-bentuk ekspresi perlawanan petani akan terjadi manakala: (i) suatu kelas

penguasa tanah berkuasa melulu atas dasar penguasaan tanahnya, (ii) para petani

dihambat kemungkinan mobilitas vertikal, (iii) kondisi kerja dan karakter

pedesaan petani memungkinkan pembentukan solidaritas. b) Perlawanan petani

itu, tergantung pada tipe struktur kelas agraria yang melingkupi, bisa mengambil

bentuk rebellion, labour reform movement, dan commodity reform movement.

Sedangkan kategori kedua, yang dapat dikategorikan sebagai kelompok

teori Gerakan Sosial Pedesaan Baru umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut;

(1) Webster (2004): a) Aksi kolektif pedesaan tidak lagi dapat disempitkan

sekedar sebagai perjuangan-perjuangan petani. b) Garis batas spasial dari petani

yang pernah ada telah diporak-porandakan oleh migrasi musiman; mobilitas

petani generasi muda; diversifikasi dan komodifikasi produksi agraria; munculnya

pola-pola konsumsi baru dengan berbagai implikasi budaya, sosial dan ekonomi

yang menyertainya; dan tentunya, akses kepada bentuk-bentuk baru transmisi

budaya dengan telivisi, radio, dan kadangkala juga, yang lebih mutakhir adalah

internet. (2) Petras (1997): Suatu generasi baru pimpinan petani yang terdidik

muncul dan berkembang lebih setahun belakangan ini dengan kemampuan

37�

organisasi yang handal. Pemahaman yang canggih perihal politik internasional

dan nasional serta komitmen untuk menciptakan sejumlah kader yang tangguh

secara politik.”

(3) Fauzi (2005) ciri-ciri gerakan sosial pedesaan baru: a) Basis sosial

gerakan adalah campuran antara unsur desa-kota, baik dalam arti fisik maupun

dalam berbagai urat nadi, organ dan kegiatan gerakan; b) Kepemimpinan diisi

oleh orang-orang dengan kemampuan intelektual yang mencengangkan, yang

mampu menganalisa kombinasi hubungan yang relatif kompleks dari gejala lokal

ke global, mikro ke makro, dan sebaliknya; c) Taktik-taktik utamanya sangat

beragam dan mengisi banyak arena pertarungan; d) Posisi strategisnya umumnya

“otonom” dari partai politik dan negara, tetapi memiliki kombinasi hubungan

yang khas dengan ragam kekuatan gerakan sosial di sektor lain; e) Ideologinya

tidak hanya menjawab diskriminasi kelas sosial, tetapi juga untuk menghadapi

perkara identitas (ras/etnis/kebudayaan), ekologi dan jender; f) Daya jelajahnya

kosmopolitan, yang utamanya ditandai oleh pembangunan solidaritas dan aksi

global.

Dilihat dari konteks yang melahirkan dan menghadirkan perlawanan

petani dari dua tradisi teori gerakan sosial pedesaan di atas menurut Fauzi (2008)

dapat dibedakan menjadi dua kategori, pertama; bagi kelompok peneliti gerakan

agraria seperti Peige (1975), Scott (1976), Popkins (1979) mencari konteksnya

pada makro struktural yang mendorong pembentukan gerakan petani. Dengan

caranya sendiri-sendiri mereka menekankan ekspansi kapitalisme barat yang

imperalistik (imperialistic western capitalism) dan merosotnya hubungan patron-

client sebagai promotor pokok gerakan tani. Golongan kedua, merujuk pada

Moore (1966) dan dikembangkan lebih jauh oleh Wood (2003), menjelaskan

bahwa konteks tersebut mesti dilihat dengan cara membedah lebih dulu

bagaimana “proses modernisasi itu sendiri”, derajat dan bentuk yang khas dari

komersialisasi dapat mempertinggi atau membuka kemungkinan terjadinya

pemberontakan petani melawan kelas-kelas di atasnya. Dengan kata lain

perbedaan dua golongan ini terletak pada perbedaan analisis tentang konteks

38��

kemasyarakatan itu dan cara bagaimana perubahan kemasyarakatan itu

dihadirkan.47

2.5 Aksi Kolektif

Menurut Tilly (1978) “ragam-ragam tindakan kolektif” didefiniskan

sebagai “sarana alternatif” untuk bertindak bersama-sama atas kepentingan

bersama”. Ragam-ragam perlawanan kolektif berakar dalam –memang merupakan

produk dari– keadaan sejarah dan lingkungan tertentu. Bentuk perlawanan

tergantung pada sifat-hakekat dan genaralitas keluhan dan jenis “senjata” (sosial,

politis atau teknologi secara luas) yang dipunyai oleh pembangkang (Scott, 1985).

Misalnya, banyak tindak kekerasan rakyat timbul sebagai tanggapan terhadap

kekerasan yang dilakukan oleh kelas penguasa/negara. Tetapi ekspresi perlawanan

diredam oleh kekuatan otoritas yang ditentangnya maupun oleh ragam

pengendalian yang digunakan otoritas itu. Seperti pernah dikemukakan Scott

(1976), ”resiko pemberontakan sebanding dengan kuasa koersif negara dan

kemauan negara menggunakan kuasa demikian”.

Dalam The Oxford Dictionary of Sociology, aksi kolektif (collective

action) didefinisikan sebagai: “sebuah tindakan yang dilakukan oleh sekolompok

orang tertentu, baik secara langsung atau atas nama pribadi melalui suatu

organisasi. Yang masing-masing anggotanya memiliki kesamaan kepentingan

untuk berbagi dan mengejar tujuan atau cita-cita bersama. (Marshall, 1998).

Dalam tindakan bersama mensyaratkan satu prinsip berupa kesadaran bersama

untuk saling bekerja sama dalam mencapai satu tujuan tertentu yang telah melalui

kesepakatan bersama. Definisi semacam in merupakan pengertian yang diperluas

meliputi baik “kelompok utama” (primary groups) yang para anggotanya telah

mengenal satu dengan lainnya, serta “kelompok sekunder” (secondary groups)

yang memiliki ukuran yanglebih besar dan memiliki susunan struktur yang lebih

formal.

������������������������������������������������������������47 Noer Fauzi “Dari Okupasi tanah Menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan (SPP) di garut Jawa Barat” dalam, S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed) Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Gramedia: Jakarta, 2008), hlm. 439.

39�

Tindakan kolektif yang memiliki sifat dinamis dan mengalami perubahan

seiring konteks lokalnya, biasanya juga mencakup upaya bersama dari masyarakat

untuk menyusun aturan-aturan dan struktur pengambilan keputusan menurut

kepentingan lokalnya sendiri. Misalnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya

alam, yang termasuk disusun dan disepakati bersama dalam tindakan kolektif ini

adalah soal aturan dan tata tertib tentang bagaimana larangan dan pembolehan

(mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang), dalam pemanfaatan,

penggunaan dan pengeloaan sumberdaya alam, serta perangkat proses untuk

memonitor, pemberian sangsi, dan cara-cara penyelesaian sengketa (Ostrom

1992).

Di dalam kelompok primary groups dan tindakan setiap individu berada

sangat dekat dan selalu dalam pengawasan atau observasi orang lain serta

mekanisme keadaban di masyarakat seperti solidaritas, resiprositas, dan bentuk-

bentuk tekanan sosial yang mendasrkan pada norma-norma umum dan nilai-nilai

yang berlaku dan disepakati bersama. Sedangkan di dalam kelompok secondary

groups, sebuah keputusan bersama tidak bisa lagi diambil dan diputuskan hanya

oleh kesepakatan kelompok, tetapi menuntut sebuah perwakilan yang nantinya

merepresentasikan dan bertindak atas nama kelompok. Dengan penjelasan seperti

ini, penting untuk dicatat bahwa sebuah aksi kolektif tidak selalu membutuhkan

sebuah organisasi, walaupun organisasi dapat membuat sebuah aksi kolektif dapat

bekerja lebih efektif atau efisien untuk pelaksanaan beberapa tugas tertentu

(Meinzen-Dick, Raju, dan Gulati 2000).