bab ii pendekatan konseptual · geografi yang sama. sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan...

34
BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengembangan Masyarakat 2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua konsep yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Sementara masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998: 162 dalam Suharto, 2005): pertama, masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama” yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau kampung di wilayah desa. Kedua, masyarakat sebagai “kepentingan bersama” yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Menurut Johnson (1984) dalam Suharto (2005), pengembangan masyarakat merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro. Secara singkat, pengembangan masyarakat memiliki tempat khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998 dalam Suharto, 2005). Dalam diskursus akademis pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat lebih dikenal sebagai Community Organization atau Community Development (Gilbert dan Specht, 1981 dalam Suharto, 2005) atau bimbingan sosial masyarakat (Soetarso, 1991 dalam Suharto, 2005). Di Australia, Inggris dan beberapa negara Eropa, pengembangan masyarakat disebut sebagai pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community care) (Twelvetrees, 1993: Payne, 1986 dalam Suharto, 2005). Pengembangan Masyarakat dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya

Upload: voliem

Post on 06-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengembangan Masyarakat

2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Masyarakat

Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua

konsep yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan

merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan

manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu

ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya. Sementara masyarakat dapat

diartikan dalam dua konsep, yaitu (Mayo, 1998: 162 dalam Suharto, 2005):

pertama, masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama” yakni sebuah wilayah

geografi yang sama. Sebagai contoh sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah

perkotaan atau kampung di wilayah desa. Kedua, masyarakat sebagai

“kepentingan bersama” yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan

identitas.

Menurut Johnson (1984) dalam Suharto (2005), pengembangan

masyarakat merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang

bersifat makro. Secara singkat, pengembangan masyarakat memiliki tempat

khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat

dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial

(Mayo, 1998 dalam Suharto, 2005). Dalam diskursus akademis pekerjaan sosial,

pengembangan masyarakat lebih dikenal sebagai Community Organization atau

Community Development (Gilbert dan Specht, 1981 dalam Suharto, 2005) atau

bimbingan sosial masyarakat (Soetarso, 1991 dalam Suharto, 2005). Di Australia,

Inggris dan beberapa negara Eropa, pengembangan masyarakat disebut sebagai

pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social

treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community

care) (Twelvetrees, 1993: Payne, 1986 dalam Suharto, 2005). Pengembangan

Masyarakat dapat didefinisikan sebagai metode yang memungkinkan orang dapat

meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya

7

terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993 dalam

Suharto 2005).

2.1.1.2 Model Pengembangan Masyarakat

Jack Rothman dalam klasiknya yang terkenal, Three Models of

Community Organization Practice (1968) dalam Suharto (2005),

mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang

Pengembangan Masyarakat: (1) pengembangan Masyarakat lokal (locality

development), (2) perencanaan sosial, dan (3) aksi sosial. Paradigma ini

merupakan format ideal yang dikembangkan terutama untuk tujuan analisis dan

konseptualisasi.

Pengembangan masyarakat lokal adalah proses yang ditujukan untuk

menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi

aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Anggota masyarakat dipandang

bukan sebagai sistem klien yang bermasalah melainkan sebagai masyarakat yang

unik dan memiliki potensi. Pengembangan masyarakat lokal pada dasarnya

merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi

oleh pekerja sosial. Pekerja sosial membantu meningkatkan kesadaran dan

mengembangkan kemampuan mereka dalam mencapai tujuan-tujuan yang

diharapkan. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan

proses” (process goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product

goal). Setiap anggota masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan

dan memilih strategi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Pengembangan

kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi,

komunikasi, relasi, dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari

proses pengembangan masyarakat lokal yang bernuansa bottom-up. Model

pengembangan masyarakat dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

8

Tabel 1. Tiga Model Pengembangan MasyarakatParameter Pengembangan

Masyarakat LokalPerencanaan Sosial Aksi Sosial

Orientasi tujuan Kemandirian, integrasi dan kemampuan masyarakat (tujuan proses)

Pemecahan masalah social yang ada di masyarakat (tujuan tugas/hasil)

Perubahan struktur kekuasaan proses, lembaga dan sumber (tujuan proses &tugas)

Asumsi mengenai struktur masyarakat dan kondisi masalah

Keseimbangan, kurang kemampuan dalam relasi dan pemecahan masalah

Masalah sosial nyata: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja

Ketidakadilan, kesengsaraan, ketidakmerataan, ketidaksetaraan

Asumsi mengenai kepentingan masyarakat

Kepentingan umum atau perbedaan-perbedaan yang dapat diselaraskan

Kepentingan yang dapat diselaraskan atau konflik kepentingan

Konflik kepentingan yang tidak dapat diselaraskan: ketiadaan sumber

Konsepsi mengenai kepentingan umum

Rationalist-unitary Idealist-unitary Realist-individualist

Orientasi terhadap struktur kekuasaan

Struktur kekuasaan sebagai kolaborator, perwakilan

Struktur kekuasaan sebagai pekerja dan sponsor

Struktur kekuasaan sebagai sasaran aksi, dominasi elit kekuasaan harus dihilangkan

Sistem klien atau sistem perubahan

Masyarakat secara keseluruhan

Seluruh atau sekelompok masyarakat termasuk masyarakat fungsional

Sebagian atau sekelompok anggota masyarakat tertentu

Konsepsi mengenai klien atau penerima pelayanan

Warga masyarakat atau negara

Konsumen Korban

Peranan masyarakat Partisipan dalam proses pemecahan masalah

Konsumen atau penerima pelayanan

Pelaku, elemen, anggota

Peranan pekerja social Pemungkin, koordinator, pembimbing

Peneliti, analis, fasilitator, pelaksanaan program

Aktivis, advokasi: agitator, broker, negotiator

Media perubahan Mobilisasi kelompok-kelompok kecil

Mobilisasi organisasi formal

Mobilisasi organisasi massa dan politik

Strategi perubahan Pelibatan masyarakat dalam pemecahan masalah

Penentuan masalah dan keputusan melalui tindakan rasional para ahli

Katalis dan pengorganisasi masyarakat untuk mengubah struktur kekuasaan

Teknik perubahan konsensus dan diskusi kelompok, partisipasi, brain storming, role playing, bimbingan dan penyuluhan

Advokasi, andragogy, perumusan kebijakan, perencanaan program

Konflik atau unjuk rasa, konfrontasi atau tindakan langsung, mobilisasi massa, analisis kekuasaan, mediasi, agitasi, negosiasi, pembelaan

2.1.1.3 Asas-Asas dan Prinsip-Prinsip Pengembangan MasyarakatPengembangan masyarakat (community development) sebagai suatu

perencanaan sosial perlu berlandaskan pada asas-asas: (1) komunitas dilibatkan

dalam setiap proses pengambilan keputusan; (2) mensirnegikan strategi

9

komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait (related parties) dan partisipasi

warga; (3) membuka akses warga atas bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta

intensif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga; dan (4) mengubah prilaku

profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian, dan gagasan warga

komunitas (Ife, 1995 dalam Nasdian, 2006).

Ife (1995) dalam Nasdian (2006) memaparkan 26 prinsip pengembangan

masyarakat (community development) seperti berikut:

a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah

ekologi yaitu:

1) Holistik. Dimana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang

berorientasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada

kehidupan dan alam atau lingkungan.

2) Keberlanjutan. Program pengembangan masyarakat berada dalam

kerangka sustainability yang berupaya untuk mengurangi

ketergantungan kepada sumber daya yang tidak tergantikan dan

menciptakan alternatif serta tatanan ekologis, sosial, ekonomi, dan

politik yang berkelanjutan di tingkat lokal. Prinsip ini

membutuhkan penggunaaan secara minimal dari sumberdaya yang

tidak dapat diperbarui. Hal ini berimplikasi pada masyarakat

setempat dalam hal penggunaan lahan, gaya hidup, konservasi,

transportasi, dan lain-lain.

3) Keanekaragaman. Merupakan salah satu aspek penting prinsip

ekologis, dimana di alam keanekaragaman akan menjadi siklus

kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini

menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai permasalahan yang

ada, desentralisasi, jejaring, dan komunikasi yang setara, serta

teknologi yang mudah untuk diterapkan pad tingkat yang lebih

rendah.

4) Pembangunan bersifat Organik. Penerapan pembangunan yang

bersifat organik melalui suatu pengertian bahwa terdapat

hubungan yang kompleks antara warga komunitas dan

10

lingkungannya. Komunitas lebih organik ketimbang mekanik

karena cara kerja komunitas tidak mengikuti hukum sebab-akibat.

5) Keseimbangan. Di alam keseimbangan dinamis akan menjaga

keseimbangan alam secara keseluruhan. Dimana merubah

keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam

sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan

resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan

masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan

antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender,

responsibilitas, dan keadilan dalam hukum.

b. Prinsip keadilan sosial

6) Konfrontasi dengan Kebatilan Struktural. Prinsip ini mengakar

pada perspektif keadilan sosial dalam pengembangan masyarakat.

Seorang community workers harus dapat menyadari adanya cara

dimana tekanan pada suatu kelas, gender, dan suku bangsa

berlangsung kompleks. Seorang community workers perlu lebih

kritis tehadap latar belakang warga komunitas, ras, jenis kelamin,

sikap berdasarkan kelas warga komunitas, dan partisipasi warga

komunitas pada struktur penindasan tersebut.

7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan. Wacana

kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam

community development. Worker perlu untuk memiliki

kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan

dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif

mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus

juga memarginalkan dan menitikberdayakan sebagian orang yang

lainnya.

8) Pemberdayaan. Makna pemberdayaan adalah “membantu”

komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan

pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat

berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas.

11

9) Mendefinisikan kebutuhan. Prinsip ini sangat penting dalam

menentukan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada

dua hal dalam penentuan kebutuhan: (1) pembangunan masyarakat

dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2)

memperhatikan preseden yang ditimbulkannya dan

memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan

ekologis.

10) Hak Asasi Manusia. Program pengembangan masyarakat harus

mengacu kepada prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang

meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak untuk

ikut serta dalam kehidupan kultural, hak untuk memperoleh

perlindungan keluarga, dan hak untuk “self determination”.

c. Menghargai nilai-nilai lokal

11) Pengetahuan lokal. Prinsip ini mendasarkan pada pentingnya

untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan

masyarakat, dimana masyarakat sampai dengan kelas bawah

mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang

pengetahuan tersebut.

12) Budaya lokal. Globalisasi budaya telah mengambil identitas

budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat

menunjukan kemampuannya dalam mendukung pembangunan

masyarakat, ini mengingat bahwa budaya lokal tidaklah statis

namun dinamis. Bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi

manusia, inklusif berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh

masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

13) Sumber daya lokal. Pemanfaatan sumber daya lokal lebih baik

daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar.

Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan,

teknis, sumber daya alam akan dapat mendorong bermacam-

macam cara dalam pembangunan masyarakat.

14) Keterampilan lokal. Dalam pembangunan masyarakat “pihak luar”

harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan.

12

Memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan

masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan

masyarakat harus berjalan dua arah antara luar dan masyarakat.

15) Menghargai proses lokal. Pemaksaan solusi spesifik, struktur atau

proses dari luar komunitas jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah

satu rasionalitas dari community development bahwa segala

sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar

komunitas. Oleh karena itu pendekatan community development

tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya

dalam komunitas dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik

dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi, dan

lingkungan.

d. Proses

16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi

isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis

cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk

memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun

pendapat ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil

pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses

pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil

merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan

etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.

17) Keterpaduan Proses. Proses bekerja dikomunitas dan perlu “dekat”

dengan penelitian dan pengkajian agar proses integrasi dapat

dipertahankan.

18) Peningkatan kesadaran. Prinsip ini membantu anggota masyarakat

dalam melakukan pencarian pontensi dalam kehidupan ,

menghubungkan dengan struktur yang ada, mendiskursus

kekuatan, dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu

menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangun

hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi

tekanan dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini

13

merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga

pembangunan masyarakat.

19) Partisipasi. Partisipasi dalam pengembangan komunitas harus

menciptakan peran serta yang maksimal dengan tujuan agar semua

orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada

proses dan kegiatan masyarakat.

20) Konsensus dan kerjasama. Penerapannya adalah agar orang-orang

yang terlibat dalam proses mencari penyelesaian terhadap suatu

masalah dan betul-betul menyadari bahwa keputusan yang diambil

adalah yang baik. Pendekatan konsensus bekerja dengan

persetujuan. Tujuannya menghasilkan solusi yang menjadi milik

bersama. Pendekatan pengembangan komunitas berusaha

membuat kerjasama pada tindakan masyarakat setempat, dengan

cara membuat orang-orang bersama dan mencari untuk memberi

imbalan pada prilaku kerjasama. Dengan berkoperasi akan mampu

“sharing” perasaan dan permasalahan yang dihadapi sehingga

dalam jangka panjang akan mampu memecahkan segala persoalan

yang dihadapi bersama dalam komunitas.

21) Pembangunan Terpadu. Proses pengembangan masyarakat tidak

berjalan secara parsial, tetapi merupakan satu kesatuan proses

pembangunan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, politik,

kebudayaan, lingkungan, dan personal. Keenam aspek tersebut

penting dan saling terkait satu sama lain. Program pengembangan

masyarakat yang hanya menekankan satu aspek saja akan

menghasilkan ketidakseimbangan dalam pembangunan.

22) Tanpa Kekerasan. Prinsip ini berusaha menemukan cara untuk

melawan berbagai bentuk kekerasan atau paksaan yang nyata,

seperti: militerisme, paksaan fisik dalam bentuk-bentuk seperti

hukuman fisik, hukuman mati, kebrutalan polisi, dan lain-lain.

Pengembangan masyarakat dilaksanakan tanpa kekerasan

struktural, yakni dengan cara tanpa mengubah lembaga yang ada

dan struktur sosial masyarakat.

14

23) Inklusif. Penerapan prinsip ini menekankan agar community

workers tetap menghargai orang lain walaupun orang tersebut

berlawanan pandangan. Meskipun tidak setuju dengan gagasan,

nilai, dan politik suatu komunitas tetapi tetap menghargainya dan

berupaya merangkulnya daripada mengasingkan mereka.

24) Membangun Komunitas. Prinisip ini mencari cara dimana setiap

orang dapat memberikan kontribusi dan menjadi dihargai oleh

yang lain. Oleh karena itu, program pengembangan masyarakat

mencakup penguatan interaksi sosial di tingkat komunitas,

mengajak kebersamaan, menterjemahkan melalui dialog,

pemahaman, dan tindakan sosial.

e. Prinsip global dan lokal

25) Hubungan antara global dan lokal. Saat ini seluruh dunia tidak

bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa

lagi hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam

pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh

komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan

isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap

community worker harus bisa memahami kondisi global dengan

baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana

keduanya berinteraksi di tingkat komunitas.

26) Praktik anti penjajah. Penjajahan (kolonialisme) dapat

mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan

dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena

hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa

community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu

yang ditawarkan dan dengan menghargai suatu latar belakang

kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini

akan mengabadikan dominansi penjajah.

15

2.1.1.4 Peran Serta Masyarakat

Pada prakteknya terdapat berbagai jenjang peran serta masyarakat, dimana

jenjang ini ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat dapat melakukan kontrol

terhadap seluruh proses penataan ruang. Peran serta masyarakat tertinggi adalah

peran serta yang yang benar-benar memberikan otoritas pada komunitas atau

masyarakat. sebagaimana dikatakan Arstein (1969) terdapat ladder of citizen

participation atau tangga partisipasi masyarakat. hal ini dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Tangga Partisipasi Masyarakat

no Tangga/ Tingkatan Partisipasi

Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan

1 Manipulasi Permainan oleh pihak tertentu Tak ada partisipasi2 Terapi Sekedar agar masyarakat tidak

marah atau mengobati3 pemberitahuan Sekedar pemberitahuan searah

atau sosialisasiSekedar justifikasi agar masyarakat mengiyakan4 Konsultasi Masyarakat didengar, tetapi

tidak selalu dipakai sarannya5 Penentraman Saran masyarakat diterima

namun tidak selalu dilaksanakan

6 Kemitraan Timbal balik dinegosiasikan Tingkatan kekuasaan ada di masyarakat7 Pendelegasian

kekuasaanMasyarakat diberi kekuasaan (sebagian atau seluruh program)

8 Kontrol masyarakat

Sepenuhnya dikuasai oleh masyarakat

Sumber:Arstein (1969) dalam Setiawan (2003)2

Pada tabel tersebut menjelaskan bahwa berbagai tingkatan kesertaan dapat

diidentifikasikan mulai dari tanpa partisipasi sampai pelimpahan kekuasaan.

Pengelola tradisional selalu enggan untuk melewati tingkat tanpa partisipasi dan

tokenism dengan keyakinan bahwa masyarakat biasanya apatis. Sebaliknya,

masyarakat semakin meningkat kesadarannya dengan mengharapkan partisipasi

yang lebih bermanfaat, termasuk pula pelimpahan sebagian kekuasaan.

Peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam beberapa kali selama proses

analisa dan perencanaan. Smith (1982) dalam Setiawan (2003) menyarankan

bahwa perencanaan dapat dilakukan dalam tiga tahap yakni pertama, normatif.

2 Setiawan.2003.www.psppr-ugm.net/jurnalpdf/Bobi.pdf (diakses 3 maret 2010)

16

Dimana keputusan diambil untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan.

Kedua, strategik. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan sesuai yang dapat

dilakukan. Ketiga, operasional. Dimana keputusan dibuat untuk menentukan apa

yang dilakukan. Menurut Smith banyak program partisipasi masyarakat dilakukan

pada tahap operasional. Walaupun demikian Smith dan ahli lainnya seperti Korten

(1983), Howell (1987) atau Pinkerton (1989) dalam Setiawan (2003)

menyarankan bahwa kemitraan seharusnya dilakukan lebih awal dalam proses

perencanaan, sehingga anggota masyarakat dapat terlibat dalam proses

pengambilan keputusan yang lebih awal dan penting.

2.1.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan2.1.2.1 Definisi dan Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR

Kedermawanan perusahaan menurut Saidi (2003) sesungguhnya adalah

kedermawanan sosial dalam kerangka kesadaran dan komitmen perusahaan untuk

melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab ini merupakan salah

satu dari empat bentuk tanggung jawab yang dimilikinya, tiga lainnya adalah

tanggung jawab perusahaan secara ekonomi untuk menghasilkan laba, tanggung

jawab dalam menaati hukum dan tanggung jawab etis.

Menurut pandangan konsep modern, perusahaan tidak dapat dipisahkan

dari para individu yang terlibat di dalamnya dan stakeholder di luar perusahaan.

Oleh karena itu, perusahaan bertanggung jawab secara internal bagi kelangsungan

usahanya serta memiliki tanggung jawab sosial pada publik. Menurut pandangan

ini, masyarakat adalah sumber dari segala sumber daya yang dimilikinya dan

direproduksinya. Para profesional yang bekerja memiliki tanggung jawab ganda,

kepada pemilik dan kepada publik. Konsep ini dikenal dengan non-fiduciary

responsibility.

Pada filantropi, seseorang atau suatu pihak tidak sekedar memberi untuk

memuaskan keinginan atau kebutuhan mereka. Tetapi yang penting pemberian

tersebut harus mempedulikan siapa, untuk apa, dan apa dampaknya agar benar-

benar membawa manfaat bagi yang menerima. Pada konteks perusahaan, Steiner

(1994) dalam Nursahid (2006) memberikan definisi tentang filantropi yakni

pemberian sejumlah uang, waktu, produk atau jasa untuk membantu kebutuhan

17

atau untuk mendukung bekerjanya lembaga-lembaga menuju kesejahteraan

manusia yang lebih baik.

Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR)

merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan sesuai

dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Kini

dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuntungan perusahaan

semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek

lingkungan biasa disebut (triple bottom line). Sinergi tiga elemen ini merupakan

kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.

Berdasar pada Trinidad and Tobaco Bureau of Standards (TTBS),

Corporate Social Responsibility (CSR) diartikan sebagai komitmen usaha untuk

bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan

ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan

keluarganya, komuniti lokal, dan masyarakat secara lebih luas (Sankat Clement K,

2002 dalam Zainal, 2006). Sedangkan The World Business Council for

Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen

bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja

dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-

komuniti setempat dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka

meningkatkan kualitas hidup (fox, et al, 2002 dalam Zainal, 2006). Terkait dengan

definisi tersebut, beberapa hal yang dapat digaris bawahi yakni pertama, bahwa

CSR merupakan komitmen dari bisnis atau usaha. Kedua, CSR berkontribusi

terhadap peningkatan ekonomi dan kualitas kehidupan masyarakat. Artinya bahwa

model CSR hendaknya untuk pembangunan yang berkelanjutan, dimana tanggung

jawab sosial perusahaan bukan hanya sebatas pada kedermawanan dari

perusahaan, namun menyangkut pada pengelolaan CSR sehingga dapat

memberikan dampak positif pada kualitas kehidupan komuniti lokal dan

masyarakat serta kapasitas ekonomi. Perihal ketiga yakni karyawan dan

keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas dan keseluruhan

merupakan dimensi-dimensi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan CSR.3

3 Rabin Ibnu Zainal.2006.Best Practices: Corporate Social Responsibility (CSR) “Sebuah pengalaman membangun multistakeholder engagement bagi penerapan CSR di kabupaten Muba, Sumatera Selatan”.

18

Hess dan Siciliano juga memberikan penjelasan mengenai CSR dengan

membedakannya melalui dua pendekatan yakni Classical Economy Approach dan

Activist Approach (Hess dan Sicilliano, 1996:53-55 dalam Soemanto, 2007).

Pendekatan The Classical Economy Approach melihat bahwa CSR dilakukan

dengan mematuhi peraturan dan kode etik yang berlaku dalam masyarakat, yaitu

tidak menyebabkan kerugian konsumen, pekerja, atau lingkungan sekitar, dengan

tetap mengupayakan keuntungan perusahaan. Pendekatan kedua yakni Activist

Approach melihat perusahaan memiliki tanggung jawab tidak hanya kepada

pemilik perusahaan, tetapi kepada semua pihak yang memiliki kepentingan atas

perusahaan4.

Sementara itu, Mark Goyder (Iriantara, 2004:77 dalam Rahman, 2009)

membagi bentuk CSR menjadi dua:

a) Membentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan

nilai yang menjadi acuan dari CSR. Pembagian ini merupakan tindakan

terhadap luar korporat, atau kaitannya dengan lingkungan di luar korporat

seperti komunitas dan lingkungan alam. Bagaimana sebuah korporat

menerapkan dan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas

sekitarnya.

b) Mengarah ke tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai

untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai

dengan keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. Intrepetasi yang

benar dari CSR adalah ekspresi dari tujuan perusahaan dan nilai-nilai

dalam seluruh hubungan yang dibangun. Nilai-nilai yang ada diartikan

berbeda dengan norma yang ada dalam perusahaan.

Menurut Rahman (2009) Bentuk program CSR memiliki dua orientasi.

Pertama, internal yakni CSR yang berbentuk tindakan atas program yang

diberikan terhadap komunitas. Kedua, eksternal yakni CSR yang mengarah pada

tipe ideal yang berupa nilai dalam korporat yang dipakai untuk menerapkan atau

Palembang:Badan penerbit Fakultas Ekonomi Unsri di dukung oleh partenership for Governance Reform in Indonesia, Uni Eropa, dan P3EM FE Unsri.4

Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan

masyarakat”.PT Semen Gresik (Persero) Tbk

19

mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai keadaan sosial terhadap komunitas

sekitarnya.

Menurut Wibisono (2007) istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh

John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the

Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan

konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity (profit),

environmental quality (planet) dan social justice (people).

1. Profit (keuntungan)

Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap

kegiatan usaha. Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan

pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup

perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak

profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan

efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif

yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin.

2. People (masyarakat pemangku)

Menyadari bahwa masyarakat merupakan stakeholder penting bagi

perusahaan, karena dukungan mereka, terutama masyarakat sekitar, sangat

diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan

perusahaan. Maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat

lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan

manfaat sebesarnya kepada masyarakat.

3. Planet (lingkungan)

Unsur ketiga yang mesti diperhatikan juga adalah lingkungan. Jika

perusahaan ingin eksis dan akseptable maka harus disertakan pula

tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan sesuatu yang terkait

dengan seluruh bidang kehidupan. Hubungan dengan lingkungan adalah

hubungan sebab akibat. Dimana jika manusia merawat lingkungan, maka

lingkungan akan memberikan yang terbaik, begitu pula sebaliknya.

Lingkup penerapan CSR secara gagasan Prince of Wales International

Business Forum dalam Wibisono (2007) mengusung lima pilar yakni:

1. Building human capital

20

Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang

andal, di sisi lain, perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan

masyarakat.

2. Strengtening economies

Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar

terjadi pemerataan kesejahteraan.

3. Assesing social chesion

Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar, agar tidak

menimbulkan konflik.

4. Encourging good governance

Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate

Governance (GCG).

5. Protecting the environment

Mengharuskan perusahaan untuk menjaga lingkungan sekitarnya

Dalam prakteknya di lapangan, menurut Rahman (2009) suatu kegiatan

disebut CSR ketika memiliki sejumlah unsur berikut:

1. Continuity dan sustainability atau berkesinambungan dan berkelanjutan

merupakan unsur vital dari CSR. Suatu kegiatan amal yang berdasar trend

ataupun insidental, bukanlah CSR. CSR merupakan hal yang bercirikan

pada long term perspective bukan instant, happening atau pun booming.

CSR adalah suatu mekanisme kegiatan yang terencanakan, sistematis, dan

dapat dievaluasi.

2. Community empowerment atau pemberdayaan komunitas. Membedakan

CSR dengan kegiatan yang bersifat charity atau pun philantrophy semata.

Tindakan-tindakan kedermawanan meskipun membantu komunitas, tetapi

tidak menjadikannya mandiri. Salah satu indikasi dari suksesnya sebuah

program CSR adalah adanya kemandirian yang lebih pada komunitas,

dibandingkan dengan sebelum program CSR hadir.

3. Two ways. Artinya program CSR bersifat dua arah. Korporat bukan lagi

berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu

mendengarkan aspirasi dari komunitas. Ini dapat dilakukan dengan need

21

assessment, yaitu sebuah survei untuk mengetahui needs, desire, interest

dan wants dari komunitas.

Menurut Iriantara (2004) dalam Rahman (2009), ada tiga perspektif terkait

dengan CSR:

1. Kapital reputasi

Memandang penting reputasi untuk memperoleh dan mempertahankan

pasar. CSR dipandang sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk

meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan dengan menjaga

kepercayaan stakeholder.

2. Ekososial

Memandang stabilitas dan keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai

strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis korporat.

3. Hak-hak pihak lain

Memandang konsumen, pekerja, komunitas yang terpengaruh bisnisnya

dan pemegang saham, memiliki hak untuk mengetahui tentang korporat

dan bisnisnya.

2.1.2.2 Motivasi dan Bentuk Penyaluran Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan/CSR

Kedermawanan sosial perusahaan juga berhubungan dengan beberapa

hal, antara lain adalah motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan

kedermawanan sosial, cara pengambilan keputusan dan nilai-nilai yang akan

dicapai dalam memberikan sumbangan. Hal-hal tersebut merupakan hal yang

penting untuk diketahui dalam rangka menggali potensi dana lokal, karena selama

ini ada kecendrungan dana lokal lewat sumbangan sosial perusahaan tersalurkan

dalam area yang sangat variatif sesuai dengan keinginan perusahaan

penyumbang5.

Menurut Onny S Prijono (1994) dalam Saidi (2003) dicatat bahwa

sumbangan perusahaan pada dasarnya berbasis pada pemberian individu dan

cukup sulit membedakan seorang pemilik atau ekskutif puncak dengan perusahaan

yang diwakilinya. Sifatnya yang cenderung individual, motif sumbangan sosial 5

Zaim Saidi dkk.2003.Sumbangan Sosial Perusahaan “Profil dan Pola Distribusinya di Indonesia Survei 226 Perusahaan di 10 Kota. Jakarta Selatan: Piramedia

22

yang diberikan perusahaan juga berorientasi pada sesuatu yang bersifat

transendental. Sehingga dana yang tersalur dari perusahaan lebih mengarah pada

kegiatan yang bersifat transeden seperti panti asuhan, panti jompo, tempat ibadah,

dan bencana alam.

Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006) terdapat sejumlah alasan

mengapa perusahaan memiliki program-program filantropi atau kedermawanan

sosial yaitu pertama, untuk mempraktikan konsep “good corporate citizenship”.

Kedua, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ketiga, untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik. Kedermawanan sosial

biasanya di dasari dua motif sekaligus, yakni: motivasi untuk menyenangkan atau

membahagiakan orang lain (altruisme) pada satu sisi dan pada saat yang

bersamaan terjadi pula bias kepentingan perusahaan di sisi lain.

Studi PIRAC menggambarkan pola-pola kedermawan perusahaan.

Dilihat dari sifat dan bentuknya, sebagian besar sumbangan yang diberikan

perusahaan yang bersifat insidentil dan dalam bentuk natura (in-kind). Sumbangan

natura diberikan antara lain dalam bentuk: produk perusahaan, jasa profesional,

pemakaian sarana perusahaan, peralatan bekas pakai, keterlibatan perusahaan

dalam kepengurusan lembaga sosial, dorongan agar staf perusahaan menjadi

volunteer, kampanye penggalangan dana di lingkungan perusahaan, dan beriklan

di penerbitan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat. Sementara sumbangan

secara tunai diberikan dalam bentuk: hibah, joint promotion, iuran anggota,

special event, payroll giving, dan zakat perusahaan.

Sejumlah model penyaluran sumbangan juga teridentifikasi dalam studi

Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC). Ada empat model

penyaluran sumbangan, yakni: pertama, perusahaan menjalankan kedermawanan

secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial tanpa perantara.

Kedua, sumbangan diberikan melalui organisasi atau yayasan sosial yang

didirikan oleh perusahaan atau grupnya. Ketiga, perusahaan bermitra dengan

pihak lain seperti LSM, instansi pemerintah, universitas dan media massa.

Keempat, perusahaan ikut mendirikan atau mendukung suatu lembaga sosial yang

didirikan untuk tujuan tertentu.

23

Pada metode penyalurannya ini, ada beberapa pola kerjasama yang bisa

diterapkan perusahaan dalam bermitra dengan organisasi lain dalam menyalurkan

sumbangan. Pola pertama, perusahaan menanggung seluruh biaya yang

diperlukan, baik dana untuk disumbangkan, maupun biaya operasional untuk

menyalurkannya. Pola kedua, perusahaan hanya menyediakan dana untuk

disumbangkan, sedangkan organisasi yang menjadi mitra perusahaan hanya

menanggung biaya operasional untuk menyalurkan dana tersebut. Pola lainnya

yakni modifikasi dari pola yang terakhir disebutkan tadi yaitu selain menyediakan

dana, perusahaan juga membantu membiayai sebagian biaya operasional sehingga

beban organisasi mitra menjadi lebih ringan.

Sedangkan untuk besaran sumbangan, menyumbang (filantropi)

merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di

Indonesia. Kenyataan ini secara kasat mata dapat diindikasikan dengan berbagai

liputan di media massa yang memberitakan kegiatan sosial yang diselenggarakan

oleh berbagai perusahaan.

Menurut Zaim Saidi (2003) dalam Nursahid (2006), tipologi

kedermawanan sosial perusahaan di bagi ke dalam lima kategori: charity (amal),

image building (promosi), facility (insentif pajak), security prosperity (ketahanan

hidup atau peningkatan kesejahteraan) dan money laundering (manipulasi).

Memahami beragam motivasi kedermawanan ini penting dari prospektif etis, agar

tujuan normatif kedermawanan sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat

tidak terdiskusi dan dimanipulasi oleh kepentingan yang tidak sehat.

Menurut Blakemore (1998) dalam Nursahid (2006), kebijakan sosial

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia kendati tujuan ini sulit dan

mungkin sering kali gagal dilakukan. Blakemore juga mengemukakan prinsip-

prinsip kebijakan sosial dalam pendekatan kesejahteraan sosial dimana kebijakan

ini harus didasarkan pada prinsip: kesetaraan (equality), kebutuhan (need) dan

kebebasan (freedom). Adapun makna yang saling terkait dari prinsip-prinsip

tersebut: pertama, sebuah prinsip mungkin mempunyai makna etis atau moral.

Prinsip ini akan memperlihatkan mengenai “benar” dan “salah” terkait dengan

standar moral tertentu. Oleh karena itu kebijakan sosial harus merefleksikan

norma dan nilai masyarakat. Kedua, prinsip dilihat sebagai sebuah aturan dimana

24

dalam pengertian ini masing-masing sistem mengembangkan mekanisme

birokrasi yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan.

Transformasi menjadi upaya penting lain dalam melihat praktik

kedermawanan sosial perusahaan. Hal ini didasari bahwa sebagian besar donasi

perusahaan (menurut hasil survei PIRAC) merupakan donasi yang berbentuk

hibah sosial, sementara masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Hibah

sosial adalah bantuan kepada suatu organisasi nirlaba untuk kegiatan-kegiatan

sosial, pendidikan, sedekah atau kegiatan lain yang melayani kemaslahatan

masyarakat dengan hak pengelolaan hibah sepenuhnya pada penerima. Sedangkan

hibah pembangunan merupakan bantuan selektif kepada suatu organisasi nirlaba

yang menjalankan suatu kegiatan atau agenda yang sejalan dengan organisasi

pemberi bantuan. Tranformasi terhadap orientasi ini perlu dilakukan karena hibah

sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukan guna pemenuhan keperluan

sesaat dan sifatnya konsumtif. Oleh karena itu perlu di dorong kegiatan

kedermawanan dari aktivitas yang bersifat sedekah menuju kepada pengembangan

dan akhirnya pemberdayaan, sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 3. Karakterisasi Tahap-Tahap Kedermawanan Sosial Perusahaan

Tahapan Charity Philanthropy Corporate CitizenshipMotivasi Agama, tradisi,

adatNorma etika, hukum universal, redistribusi kekayaan

Pencerahan diri dan rekonsiliasi dengan ketertiban sosial

Misi Mengatasi masalah sesaat

Mencari dan mengatasi masalah

Memberikan kontribusi kepada masyarakat

Pengelolaan Jangka pendek, menyelesaikan masalah sesaat

Terencana, terorganisir, terprogram

Terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan

Pengorganisasian Kepanitian Yayasan/dana abadi, profesionalisasi

Keterlibatan baik dana maupun sumber daya lain

Penerima manfaat

Orang miskin Masyarakat luas Masyarakat luas dan perusahaan

Kontribusi Hibah social Hibah pembangunan Hibah (sosial maupun pembangunan) dan keterlibatan sosial

Inspirasi Kewajiban Kepentingan bersamaSumber: Zaim Saidi, “Pengembangan Kedermawanan Perusahaan, 2004, hal 57 dalam Fajar Nursahid

25

2.1.2.3 Pihak-Pihak Terkait dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/CSR

Pada implementasi tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR,

beberapa stakeholder terkait yakni pertama adalah pemerintah. Pemerintah dapat

melakukan peran dalam empat ranah yakni menyediakan data dan informasi,

memberi dukungan infrastruktur publik, melakukan sosialisasi program, dan

menginisiasi kebijakan insentif fiskal. Kedua yakni sektor privat. Perusahaan

dapat memposisikan diri sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara

matang, mengeluarkan anggaran untuk investasi sosial, menyosialisasikan, dan

membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan kebijakan pemerintah dan

masyarakat. ketiga yakni Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 6.

Perlu disepakati bahwa perusahaan atau korporat merupakan bagian dari

suatu sistem komunitas. Secara internal, perusahaan perlu mempertahankan

keberlanjutan dan eksistensi usahanya. Sedangkan di pihak lain, stakeholder

lainnya pun membutuhkan perusahaan untuk dapat berkembang, untuk itu

korporate atau perusahaan tidak bisa berdiri sendiri dikarenakan perusahaan juga

merupakan bagian dari suatu sistem komunitas.

Menurut Wibisono (2007) Stakeholders yang jamak diterjemahkan

dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan,

baik langsung maupun tidak langsung, terhadap eksistensi atau aktivitas

perusahaan dan karenanya kelompok-kelompok tersebut mempengaruhi dan/atau

dipengaruhi oleh perusahaan. Rhenald Kasali (2005) dalam Wibisono (2007)

membagi stakeholders menjadi sebagai berikut:

1. Stakeholders internal dan stakeholders eksternal

Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam

lingkungan organisasi. Misalnya karyawan, manajer, dan pemegang

saham (shareholders). Sedangkan stakeholders eksternal adalah

stakeholders yang berada di luar lingkungan konsumen organisasi

seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, penyalur

atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah,

6

Bakdi Soemanto dkk.2007.Sustainable Corporation “implikasi hubungan harmonis perusahaan dan masyarakat”.PT Semen Gresik (Persero) Tbk

26

pers, kelompok sosial masyarakat, pemerintah, pers, kelompok sosial

responsible investor, licensing partner dan lain-lain.

2. Stakeholders primer, stakeholders sekunders dan stakeholders

marjinal.

Tidak semua elemen dalam stakeholders perlu diperhatikan.

Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholders yang paling

penting disebut stakeholders primer, stakeholders yang kurang

penting disebut stakeholders sekunder dan yang bisa diabaikan

disebut stakeholders marjinal.

3. Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.

Karyawan dan konsumen dapat disebut stakeholders tradisional,

karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan

stakeholders masa depan adalah stakeholders pada masa yang akan

datang diperkirakan akan memberikan pengaruhnya pada organisasi

seperti mahasiswa, peneliti, dan konsumen potensial.

4. Proponents, opponents dan uncommitted

Diantara stakeholders ada kelompok yang memihak organisasi

(proponents), menentang organisasi (opponents), dan ada yang tak

peduli atau abai (uncommitted).

5. Silent majority dan vocal minority

Dilihat dari aktivitas stakeholders dalam melakukan komplain atau

mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan

atau dukungannya secara vokal (aktif) namun adapula yang

menyatakan secara silent (pasif).

Dwight W Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyebutkan

bahwa salah satu peluang terbaik dari isu CSR dalam kaitannya dengan peran

serikat pekerja adalah makna dari CSR sebagai tindakan sukarela untuk mematuhi

dan melampaui seluruh regulasi. Adopsi penuh konvensi ILO, deklarasi HAM,

dan deklarasi PBB dalam konferensi Rio kembali dalam persepektif CSR sudah

bukan sebagai pilihan anjuran melainkan menjadi kewajiban. Isu mengenai

perlakuan yang setara, jaminan keamanan setiap pekerja, kebebasan berserikat,

memberikan rasa hormat dengan sepenuh hati atas hak-hak politik dan hak-hak

27

sipil, pemberian kompensasi dan standar kehidupan bagi pekerja dan keluarga

secara wajar, memberikan proteksi penuh atas kesepakatan kolektif, dan

seterusnya sudah bukan lagi sebagai isu, wacana atau cita-cita. Selanjutnya,

Justice (2006) dalam Taufik Rahman (2009) menyatakan jika kesadaran akan hal

di atas sudah menjadi bagian etis dan praktis pelaku bisnis, maka serikat pekerja

atau bahkan individu pekerja bisa secara sukarela menyatakan dan mengusulkan

ide mengenai apa dan bagaimana sebaiknya CSR perusahaan. Selain sebagai

partisipati pro aktif, serikat pekerja juga bisa berperan sebagai kelompok kontrol

untuk memverifikasi laporan keberlanjutan perusahaan untuk kemudian

memberikan masukan untuk perbaikan kinerja CSR perusahaan. Menurut Luke

Wilde (2003) dalam Taufik Rahman (2009) praktik bisnis di sebuah perusahaan

hendaknya menunjukan kinerja-kinerja sebagai berikut:

1. Menghormati para pekerjanya sebagai bagian terpenting dari praktik

bisnis, terus mempromosikan, melindungi, menjamin keamanan, dan

menjamin perlindungan atas hak-hak para pekerja.

2. Perusahaan menjamin bahwa proses produksi mereka tidak melanggar

HAM dan tidak digunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan

HAM.

3. Perusahaan harus meneguhkan pandangan positif bahwa mereka memiliki

kewajiban kepada seluruh pemangku kepentingan untuk meminimumkan

dampak negatif sosial, ekonomi, dan lingkungan dari eksistensi dan

operasinya.

4. Perusahaan harus benar-benar merasa kewajiban untuk mendatangkan

dampak positif bagi kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan kepada

seluruh pemangku kepentingan (internal dan eksternal).

2.1.2.4 Cara Pandang dan Implementasi CSR7

Cara perusahaan memandang CSR atau alasan perusahaan menerapkan

CSR bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori. 1) Sekedar basa-basi dan

keterpaksaan. Artinya CSR hanya dipraktikan lebih karena faktor eksternal

(eksternal driven). 2) Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance).

7 Yusuf Wibisono.2007.Membedah Konsep CSR dan Aplikasi CSR. Gresik:Fascho Publishing.

28

CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang

memaksakannya. 3) Bukan lagi sekedar compliance tapi beyond compliance alias

compliance plus. CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang

tulus dari dalam (internal driven). Implementasi CSR itu merupakan langkah-

langkah pilihan sendiri sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh

aturan ataupun tekanan dari masyarakat.

Implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya: 1) Terkait dengan komimen pemimpin perusahaan yang dituangkan

berupa kebijakan perusahaan terkait CSR. 2) Menyangkut ukuran dan kematangan

perusahaan. Perusahaan yang besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberi

kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. 3) Regulasi dan sistem

perpajakan yang diatur pemerintah.

Perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan

pertahapan implementasi CSR sebagai berikut:

1. Tahap Perencanaan

Tahap ini terdiri dari 3 langkah utama yaitu Awareness Building, CSR

Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan

langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti

penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat dilakukan melalui

seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR assesment merupakan upaya untuk

memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang

perlu mendapatkan prioritas perhatian serta langkah-langkah yang tepat

untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR

secara efektif. Pada tahap membangun CSR manual, dilakukan melalui

bencmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli

independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu

memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh

elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu,

efektif dan efisien.

2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti

pengorganisasian sumber daya, penyusunan untuk menempatkan orang

29

sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan,

pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat

pencapaian tujuan. Tahap implementasi terdiri dari tiga langkah utama

yaitu sosialisasi, pelaksanaan, dan internalisasi.

3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi

Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk

mengukur sejauh mana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu

perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian

perusahaan dalam implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan

perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi.

4. Tahap Pelaporan

Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk

keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan

informasi material dan relevan mengenai perusahaan.

Implementasi program CSR dapat dikelola berdasarkan pola sebagai

berikut: 1) Program sentralisasi. Perusahaan sebagai pelaksana atau penyelenggara

utama kegiatan. Begitupun tempat, kegiatan berlangsung di areal perusahaan.

Pada prakteknya, pelaksanan kegiatan bisa bekerja sama dengan pihak lain

misalnya event organizer atau institusi lainnya sejauh memiliki kesamaan visi dan

tujuan. 2) Program desentralisasi. Kegiatan dilaksanakan diluar area perusahaan.

Perusahaan berperan sebagai pendukung kegiatan tersebut baik dalam bentuk

bantuan dana, material, maupun sponsorship. 3) Program Kombinasi. Pola ini

dapat terutama untuk program-program pemberdayaan masyarakat, dimana

inisiatif, pendanaan maupun pelaksanaan kegiatan dilakukan secara partisipatoris

dengan beneficiaries.

Mekanisme perencanaan implementasi program atau kegiatan CSR dapat

dilakukan sebagai berikut, yaitu: 1) Bottom Up Process, program berdasar pada

permintaan beneficiaries yang kemudian dilakukan evaluasi oleh perusahaan. 2)

Top Down Process, program berdasar pada survei atau pemeriksaan seksama oleh

perusahaan yang disepakati oleh beneficiaries. 3) Partisipatif, program dirancang

bersama antara perusahaan dan beneficiaries.

30

2.1.2.5 Hubungan Pengembangan Masyarakat dengan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan/CSR

Praktik dunia usaha di masa lampau yang cenderung berdampak negatif,

membuat wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal

dengan Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi kebutuhan untuk

mengubah citra dunia usaha yang ramah lingkungan. Menurut Edward Freeman

(1984) dalam Ambadar (2008), pada bukunya A Stakeholder Approach di era

terakhir ini pemahaman manajemen strategis berkembang, tidak hanya sekadar

menguasai pasar (pelanggan) saja, tetapi juga menguasai stakeholder (pemangku

kepentingan) yang menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Namun konsep

pemangku kepentingan itu sendiri telah mengalami banyak perubahan yang

mencolok. Jikalau dulu yang dianggap sebagai stakeholder adalah investor, dewan

direksi, manajemen, pelanggan, pemasok dan pemerintah, kini telah berkembang

menjadi lebih luas menyangkut karyawan, serikat kerja, masyarakat umum, dan

kelompok peminat khusus8.

Andrew Weiss dalam Ambadar (2008) mengungkapkan tentang

keretakan pada dasar teori stakeholder yang berubah tersebut. Namun, Chris

Laszlo, penulis The Sustainable Company (2003), dan Robert Philips, penulis

Theory and Organization Ethics (2003) dalam Ambadar (2008) menjawab kritik

Weiss tersebut sebagai akibat dari pergeseran paradigma perusahaan yang

berimpit dengan keinginan untuk mencegah terjadinya bencana sosial dan

lingkungan. Sebagai perusahaan, mereka menyadari adalah bagian dari

lingkungannya yang perlu dirawat dengan baik untuk bisa hidup bersama secara

berkelanjutan.

Masyarakat menghendaki standar bisnis yang lebih tinggi daripada era-

era sebelumnya, yaitu perusahaan harus dapat melampaui “berhasil dengan baik”

dengan cara mendapatkan laba, dan “melakukannya dengan baik” dengan cara

berbuat sesuai dengan tanggung jawab sosial mereka. Tanggung jawab sosial

adalah kepedulian para manajer suatu perusahaan berkenaan dengan konsekuensi

8

Jackie Ambadar .2008.CSR dalam Praktik di Indonesia.Jakarta: PT Elex Media Komputindo

31

sosial, lingkungan, politik, manusia, dan keuangan, atas tindakan-tindakan yang

mereka ambil.

Partisipasi dunia usaha dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) adalah dengan mengembangkan program kepedulian perusahaan

kepada masyarakat di sekitarnya yang disebut tanggung jawab sosial perusahaan

atau CSR. CSR merupakan salah satu upaya untuk menciptakan keberlangsungan

usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak

keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple

bottom line).

Konsep CSR sebetulnya bukan merupakan konsep baru dalam dunia

bisnis, di tingkat internasional Philip Kotler (2005) dalam Ambadar (2008) telah

mengungkapkan bahwa CSR hendaknya bukan merupakan aktivitas yang hanya

merupakan kewajiban perusahaan secara formalitas kepada lingkungan sosialnya,

namun CSR seharusnya merupakan sentuhan moralitas perusahaan terhadap

lingkungan sosialnya sehingga CSR merupakan denyut nadi perusahaan. Dengan

demikian, CSR adalah sebuah konsep manajemen yang menggunakan pendekatan

“triple bottom line” yaitu keseimbangan antara mencetak keuntungan, harus

seiring dan berjalan selaras dengan fungsi-fungsi sosial dan pemeliharaan

lingkungan hidup demi terwujudnya pembangunan yang sustainable.

Community Development (Comdev) diyakini merupakan sebuah

aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas

charity ataupun 7 (tujuh) dimensi CSR lainnya, antara lain community relation.

Hal ini juga disebabkan karena dalam pelaksanaan comdev, terdapat kolaborasi

kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi,

produktivitas dan keberlanjutan. Dalam aktualisasi Good Corporate Citizenship,

maka kontribusi dunia usaha untuk turut serta dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat harus mengalami metamorfosis, dari aktivitas yang bersifat charity

menjadi aktivitas yang lebih menekankan pada penciptaan kemadirian

masyarakat, yakni program pemberdayaan.

Terdapat hal penting yang membedakan antara aktivitas charity dengan

philantropy antara lain bahwa dalam aktivitas philantrophy aktivitas lebih di

dorong oleh norma dan etika hukum, bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban,

32

selain itu inspirasi aktivitas adalah untuk memenuhi kepentingan semua pihak

baik perusahaan maupun komunitas. Dengan demikian tampak bahwa Comdev

merupakan ruh pelaksanaan aktivitas CSR. Pemberdayaan masyarakat (comdev)

intinya adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha

mengontrol kehidupan mereka sendiri, dan mengusahakan untuk membentuk

masa depan sesuai keinginan mereka (Shardlow, 1998 dalam Ambadar, 2008).

Comdev memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat

yang memiliki kesamaan minat untuk bekerjasama, dengan mengidentifikasi

kebutuhan bersama dan kemudian melalukan kegiatan bersama untuk memenuhi

kebutuhan tersebut. Comdev sering kali diimplementasikan dalam bentuk (a)

proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat

memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b)

kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut

dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.

Prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang dalam pengembangan masyarakat

(berdasarkan acuan dari ICSD, 2004 dalam Ambadar, 2008) antara lain:

1. Kerja sama, bertanggung jawab, mengetengahkan aktivitas komunitas

yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan, dan memobilisasi

individu-individu untuk tujuan saling tolong-menolong diri sendiri,

memecahkan masalah, integrasi sosial, dan atau tindakan sosial.

2. Pada tingkat masyarakat yang paling bawah, partisipasi harus

ditingkatkan dan mengedepankan demokrasi ideal dari partisipasi dalam

kaitannya dengan sifat apatis, frustasi, dan perasaan-perasaan yang sering

muncul berupa ketidakmampuan dan tekanan akibat kekuatan struktural.

3. Sebanyak mungkin ada kemungkinan dan kesesuaian, Comdev harus

mempercayakan dan bersandar pada kapasitas dan inisiatif dari kelompok

relevan dan komunitas lokal untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan

merencanakan serta melaksanakan pelatihan tentang tindakan, dalam hal

ini tujuannya adalah mengarah pada kepercayaan diri dalam

kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi dan mengurangi

ketergantungan pada negara, lembaga, dan intervensi profesional.

33

4. Sumber daya-sumber daya komunitas (manusia, teknik, dan finansial)

dan kemungkinan sumber daya dari luar komunitas (dalam bentuk

kerjasama dengan pemerintah, lembaga-lembaga, dan kelompok

profesional) harus dimobilisasi dan kemungkinan untuk diseimbangkan

dalam bentuk kesinambungan dalam pembangunan.

5. Kebersamaan komunitas harus dipromosikan dalam bentuk dua tipe

hubungan: (1) hubungan sosial, di dalam keberadaan kelompok dipisahkan

melalui kelas sosial atau perbedaan yang signifikan dalam status ekonomi,

suku bangsa, identitas ras, agama, gender, usia, lamanya tinggal, atau

karakteristik lainnya yang mungkin menyebabkan peningkatan atau

membuka konflik, (2) hubungan struktural, diantara pranata-pranata

tersebut, seperti sektor-sektor publik, organisasi sektor pribadi, organisasi

nirlaba atau charity, dan organisasi kemasyarakatan serta asosiasi yang

memiliki perhatian terhadap kesejahteraan sosial pada tingkat komunitas.

Aktivitas-aktivitas seperti meningkatkan perasaan solidaritas di antara

kelompok-kelompok marginal dengan mengaitkannya dengan kekuatan

perkembangan dalam sektor-sektor dan kelas sosial untuk mencari

kesempatan ekonomi, sosial, dan alternatif politik.

Undang-undang perseroan terbatas mewajibkan perusahaan yang

berbasis sumberdaya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial

perusahaan dan lingkungan. Tanggung jawab sosial yang populer dengan sebutan

CSR telah mengalami perkembangan yang pesat, dengan definisi yang makin

luas, jauh lebih luas daripada, misalnya yang di definisikan Maignan dan Ferrell “

A business acts ini socially responsible manner when its decision and account for

and balance diverse stakeholder interest”. Tanggung jawab sosial ini diarahkan

baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam,

tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk

profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung jawab sosial ini berkaitan

dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja,

meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara

lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang.

34

Arti CSR yang dikatakan Elkington mencakup tiga P (People, Planet,

Profit). Jika dibandingkan dengan kata-kata ayat 1 pasal 74 UU PT yang berbunyi

“persereoan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan

dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan

lingkungan” tentu amat sulit untuk disandingkan. Jika memakai definisi di atas,

CSR bukan hanya kewajiban perusahaan yang berbasis sumberdaya alam belaka,

tetapi semua perusahaan. Penjabarannya mungkin lebih mengarah kepada

community development yang tersirat dari judulnya “tanggung jawab sosial dan

lingkungan” dan mengaitkannya dengan perusahaan berbasis sumber daya alam.

Dalam program community development telah terjadi pergeseran paradigma dalam

pengembangan komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan

amal, berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan eksternally driven

menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi

etika dan internally driven.

Program CSR yang berkelanjutan dapat membantu menciptakan

kehidupan dimasyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan

tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus

membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya tercipta

kemandirian. Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore

dalam Chairil, N Siregar (2007) menyatakan bahwa di dalam masyarakat terdapat

stratifikasi sosial dimana stratifikasi sosial itu dibutuhkan masyarakat demi

kelangsungan hidup yang membutuhkan berbagai pekerjaan. Tanpa adanya

stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan

sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Agar

masyarakat dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada

pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan. Kondisi ini

dapat diatasi dengan program yang bersifat holistik sehingga dapat membangun

tingkat kepercayaan dalam diri masyarkat, untuk itu di dukung oleh program CSR

yang berkelanjutan9.

9

Chairil N. Siregar.Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility pada Masyarakat Indonesia.jurnal sosioteknologi edisi 12 tahun 6 desember 2007

35

2.2 Kerangka Pemikiran

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970,

yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang

berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum,

penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk

berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Dengan demikian apabila

perusahaan melakukan program CSR yang berkelanjutan, maka perusahaan akan

berjalan dengan baik.

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Analisis Pola Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Upaya Pengembangan MasyarakatKeterangan pada bagan alir:

= ada hubungan

= saling berhubungan

Dampak bagi masyarakat/komunitas

Partisipasi masyarakat

Tingkat lapisan masyarakat:a.atasb.menengahc.bawah

Prinsip Pengembangan Masyarakat

Pola Pelaksanaan CSR

Prinsip CSR:a.Profitb.Peoplec.planet

Kebijakan CSR PT Holcim Indonesia Tbk

Model Penyaluran

Mekanisme Pelaksanaan Program CSR

StakeholderPerusahaan

Pandangan perusahaan terhadap CSR:

Motivasi Pelaksanaan CSR

36

2.3 Hipotesis Pengarah

Kebijakan dan prinsip CSR dalam upaya pengembangan masyarakat

mempengaruhi pola pelaksanaan CSR yang meliputi motivasi, pandangan

perusahaan, stakeholder, mekanisme pelaksanaan, dan model penyaluran.

2.4 Hipotesis Uji

Ada hubungan antara perbedaan lapisan masyarakat berdasarkan ekonomi dengan

tingkat partisipasi masyarakat dalam program CSR dan dampak yang diterimanya.

2.5 Definisi Konseptual

Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Prinsip pengembangan masyarakat adalah konsep dasar mengenai

perencanaan, proses, dan hasil yang dilakukan dalam upaya

memberdayakan masyarakat agar terjadi peningkatan kemandirian dan

yang kesejahteraan yang berkelanjutan.

2. Kebijakan CSR perusahaan adalah pedoman dasar perusahaan (visi, misi,

dan peraturan) yang berupa dokumen tertulis yang menjadi landasan atau

acuan dalam pelaksanaan program CSR.

3. Profit menggambarkan kondisi ekonomi perusahaan, dimana perusahaan

memiliki komitmen sumberdaya finansial untuk mempertahankan

keberlanjutan operasional perusahaan.

4. People menggambarkan kondisi sosial (masyarakat), dimana perusahaan

memiliki komitmen untuk turut serta memperhatikan internal dan

eksternal stakeholders yang ada di sekitar perusahaan.

5. Planet menggambarkan kondisi lingkungan, dimana perusahaan memiliki

komitmen untuk turut memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan

meminimilkan atau mengelola dampak negatif yang ditimbulkan dari

usaha yang dilakukan.

37

6. Pola pelaksanaan CSR adalah bentuk pelaksanaan CSR yang dilakukan

oleh suatu perusahaan dilihat berdasar motivasi, cara pandang perusahaan

terhadap CSR, stakeholders, mekanisme dan tipe penyaluran CSR.

7. Motivasi CSR adalah alasan atau suatu hal yang mendasari pihak

peusahaan melakukan suatu program atau kegiatan CSR. Motivasi dalam

pelaksanaan suatu program tersebut antara lain: charity, dimana

berdasarkan pada agama, tradisi dan adat budaya masyarakat setempat

yang bersifat jangka pendek, selain ada juga motivasi philantrophy yang

melihat dari norma etika dan hukum yang berlaku di Indonesia (universal)

dilakukan secara terencana dan terorganisir, dan motivasi corporate

citizenship yang bertujuan untuk merekonsiliasi dengan ketertiban sosial

antara perusahaan dan pihak masyarakat degnan memberi kontribusi

kepada masyarakat yang terinternalisasi dalam kebijakan perusahaan.

8. Pandangan perusahaan terhadap CSR adalah suatu cara melihat,

mendefinisikan, dan mengembangkan konsep CSR pada proses

pelaksanaannya.

9. Stakeholders adalah individu maupun kelompok yang dapat

mempengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuan

10. Mekanisme Pelaksanaan Program CSR adalah cara kerja dalam

pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Cara kerja ini

dapat dibentuk dari perusahaan (Top down), dari inisiatif masyarakat

(bottom up) atau secara partisipatif.

11. Model Penyaluran CSR adalah tipe penyaluran dalam pelaksanaan

program CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Tipe penyaluran

CSR ini dapat berbentuk langsung melaksanakan sendiri atau terlibat

langsung (inisiatif dari perusahaan), membuat yayasan, bermitra, atau

melakukan konsensus.

38

2.6 Definisi Operasional

1. Lapisan masyarakat adalah tingkat perbedaan ekonomi yang ada di dalam

masyarakat berdasarkan kepada pendapatan.

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah

diikuti oleh responden. Diukur berdasarkan jenjang pendidikan formal

terakhir dengan enam kategori yakni SD, SLTP, SMA, S1, S2, dan lainnya.

3. Tingkat pendapatan adalah rata-rata hasil kerja berupa uang yang diperoleh

warga tiap bulan. Tingkat pendapatan diukur berdasarkan batas UMR kota

Bogor tahun 2010 adalah Rp 873.231 dan dikategorikan:

Rendah : < Rp.873.231

Sedang : Rp. 873.231 s/d 1.300.000

Tinggi : > Rp. 1.300.000

4. Tingkat partisipasi masyarakat adalah beragam tingkatan yang

menggambarkan mengenai tipe partipasi masyarakat terhadap suatu

program atau kegiatan. Tipe ini terdiri atas delapan tingkat yaitu tipe

manipulatif, tipe terapi, tipe pemberitahuan, tipe konsultasi, tipe

penentraman, tipe kemitraan, tipe pendelegasian kekuasaan dan tipe kontrol

masyarakat.

Tingkat partisipasi rendah, yaitu skor 1-3

Tingkat partisipasi sedang, yaitu skor 4-6

Tingkat partisipasi tinggi, yaitu skor 7-9

5. Dampak bagi masyarakat merupakan perubahan yang dirasakan masyarakat

setelah menerima program atau suatu kegiatan dalam upaya pengembangan

masyarakat. dampak ini terdiri dari dampak sosial dan dampak ekonomi.

6. Dampak sosial adalah perubahan yang dirasakan oleh masyarakat setelah

menerima program atau kegiatan pada variabel kepercayaan warga

terhadap perusahaan, kerja sama masyarakat, solidaritas warga, akses

terhadap pendidikan, kesempatan warga dalam mengambil keputusan.

Dampak sosial rendah, yaitu skor 5-8

Dampak sosial sedang, yaitu skor 9-11

Dampak sosial tinggi, yaitu skor 12-15

39

7. Dampak ekonomi adalah perubahan yang dirasakan masyarakat setelah

menerima program CSR pada variabel kesempatan kerja, kesempatan

berusaha, pendapatan, akses lembaga keuangan, dan kesejahteraan warga.

Dampak ekonomi rendah, yaitu skor 5-8

Dampak ekonomi sedang, yaitu skor 9-11

Dampak ekonomi tinggi, yaitu skor 12-15