bab ii pemilihan kepala daeraherepo.unud.ac.id/15843/3/0790561062-3-bab_ii.pdf · bentuk susunan...

26
36 BAB II PEMILIHAN KEPALA DAERAH Dalam bab II yang berjudul Pemilihan Kepala Daerah ini mendeskripsikan gambaran umum tentang pemilihan kepala daerah. Dalam bab II ini adapun hal- hal yang akan dibahas diantaranya: - Sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia - Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung - Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah 2.1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia Dalam sub bagian ini akan dijabarkan pemilihan kepala daerah dalam 4 era, yakni : a. Pilkada era Demokrasi Parlementer b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin c. Pilkada era Orde Baru d. Pillkada era Reformasi Dibedakannya menjadi 4 era, sebab ada perbedaan Undang-Undang Dasar yang digunakan dan sistem politik yang terjadi saat itu, sehingga mempengaruhi sistem ketatanegaraan di Indonesia, khususnya prosedur pemilihan kepala daerah.

Upload: trankhanh

Post on 02-Mar-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

36

BAB II

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Dalam bab II yang berjudul Pemilihan Kepala Daerah ini mendeskripsikan

gambaran umum tentang pemilihan kepala daerah. Dalam bab II ini adapun hal-

hal yang akan dibahas diantaranya:

- Sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia

- Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara

langsung

- Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah

2.1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Dalam sub bagian ini akan dijabarkan pemilihan kepala daerah dalam 4

era, yakni :

a. Pilkada era Demokrasi Parlementer

b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin

c. Pilkada era Orde Baru

d. Pillkada era Reformasi

Dibedakannya menjadi 4 era, sebab ada perbedaan Undang-Undang Dasar

yang digunakan dan sistem politik yang terjadi saat itu, sehingga mempengaruhi

sistem ketatanegaraan di Indonesia, khususnya prosedur pemilihan kepala daerah.

37

a. Pilkada era Demokrasi Parlementer

Pada 23 November 1945, keluarlah UU No. 1 Tahun 1945 tentang

Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah. Di dalamnya mengatur

bahwa pemilihan kepala daerah (residen, bupati, kepala kota) dilakukan melalui

pengangkatan oleh pemerintah pusat. Setelah UU No. 1 Tahun 1945 berjalan

hampir tiga tahun, ternyata dalam praktiknya dipandang kurang memuaskan,

karena isi UU tersebut sangat sederhana dan banyak hal yang menyangkut urusan

pemerintahan daerah belum terakomodir.

Sehingga, pada 10 Juli 1948 lahirlah UU No. 22 Tahun 1948, tentang

Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini dibagi 2 daerah, hal ini

sesuai dengan Pasal 1, yang membagi menjadi:

- Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri

- Daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri dan bersifat istimewa

Pada daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri, proses pemilihan kepala daerah, yakni calon gubernur, bupati, dan

walikota dipilih oleh DPRD, dari 2 sampai 4 calon yang diusulkan oleh DPRD

tersebut, pemerintah pusat akan mengangkat 1 orang diantara calon-calon yang

diusulkan tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 18 UU No. 22 Tahun 1948 tentang

Pokok Pemerintahan Daerah.

Berkaitan dengan hal ini, Bhenyamin Hoessein38 dalam Majalah FIGUR

Edisi XXII/Februari 2008, mengatakan; “Kadang kala pemerintah pusat

membelot, yang diangkat bisa saja di luar dari calon-calon yang diusulkan oleh

38 Bhenyamin Hoessein, Majalah FIGUR, Edisi XXII, Februari, 2008, h. 4

38

DPRD. Alasannya, pemerintah pusat harus mengangkat orang yang Republiken,

sebab masih ada orang-orang Indonesia yang masih pro Belanda,”

Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 ini mengatur bahwa, kepala

daerah mengemban dua jabatan sebagai wakil pemerintah pusat dan sebagai ketua

serta anggota DPRD.

Pada waktu perubahan dari Undang-Undang Dasar 1945, lalu Konstitusi

RIS, pada tahun 1950 terbitlah UUD Sementara yang berlaku mulai 15 Agustus

1950 (UUDS 1950). Berbeda dengan UUD 1945 yang hanya memuat satu pasal

saja tentang pemerintahan daerah yaitu pasal 18, maka UUDS 1950 memiliki tiga

pasal yaitu 131, 132, dan 133 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan

daerah-daerah Swapraja. Pasal 131 UUDS memuat empat hal sebagai berikut :

1. Pembagian daerah Indonesia aras daerah besar dan kecil akan merupakan

daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri

(otonom).

2. Bentuk susunan pemerintahan daerah otonom akan diatur dengan undang-

undang. Bentuk dan susunan itu ditetapkan dengan memperhatikan dasar

permusyawaratan dan dasar perwakilan.

3. Kepada daerah-daerah akan diberikan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur rumah tangganya.

4. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas

kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya

Dari ketentuan diatas, mendasari diterbitkannya Undang-Undang No. 1

Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 23,

menentukan :

39

(1) Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-

undang.

(2) Cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan

Undang-undang.

Dalam ketentuan tersebut, memang tidak dijabarkan secara eksplisit

bahwa pemilihan kepala daerah itu dilakukan secara langsung atau tidak. Namun

dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ini menjabarkan

bahwa pada dasarnya Undang-Undang ini mengamanatkan dilakukannya

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, sesuai dicantumkan dalam

Pasal 131 UUDS. Namun keadaan masyarakat yang baru berpindah sistem dari

federal, membuat hal ini sulit untuk direalisasikan, karena ditakutkan akan

munculnya republik-republik kecil. Adapun yang dijabarkan dalam Penjelasan

umum, yakni:

“Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud

tersebut ialah bahwa Kepala Daerah itu haruslah dipilih langsung oleh

rakyat dari Daerah yang bersangkutan. Dasar pikiran ini tercantum dalam

pasal 23 ayat 1 yang selanjutnya dalam ayat 2 ditentukan bahwa cara

pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan

Undang-undang. Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala

Daerah itu harus dipilih secara demikian, namun sementara waktu

dipandang perlu memperhatikan pula keadaan yang nyata dan

perkembangan masyarakat dewasa ini didaerah-daerah, kenyataan mana

kiranya belum sampai kepada suatu taraf, yang dapat menjamin

berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil-hasil dari pemilihan

itu yang sebaik-baiknya.”

Akhirnya, proses pemilihan kepala daerah tetap seperti yang diatur dalam

UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan walikota dipilih oleh

DPRD, satu diantaranya diangkat oleh pemerintah pusat. Namun dalam UU No. 1

Tahun 1957 ini kepala daerah tidak lagi merangkap jabatan (dual role),

40

sebagaimana dalam UU No. 22 Tahun 1948 tetapi dalam daerah otonom provinsi

terdapat kepala daerah dan wakil pemerintah, sehingga dikenal dengan istilah

dualisme personil. Yang satu menjabat jabatan dekonsentrasi, yang satunya lagi

menjabat jabatan desentralisasi.

b. Pilkada era Demokrasi Terpimpin

Situasi politik yang tidak kondusif karena berlarut-larutnya pembahasan

konstitusi baru di Konstituante yang mengalami kebutuan memakan waktu lebih

dari dua tahun, membuat Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959,

yaitu kembali ke UUD 1945.39

Berlakunya kembali UUD 1945 berarti pemerintah pusat kembali ke posisi

sentral. Sehingga otonomi yang seluas-luasnya yang berlaku ketika era demokrasi

parlementer bergeser kepada demokrasi terpimpin.

Kemudian pada September 1965 Presiden RI mengesahkan UU No. 18

Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah. Isinya tidak jauh berbeda

dengan dengan UU No. 22 Tahun 1948, dimana calon gubernur, bupati, dan

walikota dipilih oleh DPRD, satu di antaranya diangkat oleh pemerintah pusat.

Dalam prosesnya, pemerintah lebih mengutamakan kemampuan (capability)

orangnya.

c. Pilkada era Orde Baru

Memasuki era Orde Baru, pemilihan kepala daerah diatur dalam UU No. 5

Tahun 1974. UU ini merupakan koreksi dan penyesuaian dari UU No. 18 Tahun

39 Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD 1945, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, 36

41

1965. Menurut Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1974, Kepala Daerah Tingkat I

(gubernur) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikitnya tiga orang dan

sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah dimusyawarahkan dan

disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan

Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu diajukan kepada Presiden

melalui Menteri Dalam Negeri sedikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang

diantaranya.

Adapun yang tercantum dalam Pasal 15 yakni :

(1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyknya 5

(lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama

antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ Pimpinan Fraksi-fraksi

depan Menteri Dalam Negeri.

(2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui

Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah

seorang diantaranya.

(3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Sedangkan Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD

dari sedikitnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya lima orang calon yang telah

dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/Pimpinan

Fraksi-Fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya hasil pemilihan itu

diajukan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sedikitnya dua orang

untuk diangkat salah seorang diantaranya.

Sebagaimana ketentuan Pasal 16, dirumuskan sebagai berikut:

42

(1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5

(lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama

antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi

dengan Gubernur Kepala Daerah.

(2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri

melalui Gubernur Kepala Daerah sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk

diangkat salah seorang diantaranya.

(3) Tatacara pelaksanaan ketentuan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur

dengan peraturan Menteri Dalam Negeri.

d. Pilkada era Reformasi

Setelah tumbangnya orde baru, penyelenggaraan pemerintahan daerah

didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-

Undang ini merubah sistem pemerintah daerah yang semula sentralistis menjadi

desentralisasi yang lebih luas. Namun mekanisme Pilkada masih menggunakan

sistem tidak langsung, sebagaimana yang digunakan dalam Undang-undang

sebelumnya. Akan tetapi meskipun dipilih oleh DPRD, pemerintah pusat tidak

berhak campur tangan sebagai aktualisasi dari desentralisasi. Begitu mendapatkan

suara terbanyak, otomatis terpilih menjadi gubernur, bupati, atau walikota.

Benyamin, mengatakan “Persoalannya gubernur merangkap dua jabatan

(dual role) sebagai pejabat desentralisasi dan dekonsentrasi. Sementara jabatan

bupati atau walikota semata-mata dalam rangka desentralisasi. Akibatnya pamor

gubernur redup di mata bupati dan walikota, karena mereka menganggap bukan

bawahan gubernur dan sama-sama dipilih langsung oleh DPRD.”40

40 Benyamin Hoessein, Loc.Cit

43

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakibatkan

Presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

melainkan oleh rakyat secara langsung, pada tahun 2004. Maka wacana pemilihan

kepala daerah secara langsung akhirnya diatur dalam Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan pengganti dari

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999.

Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 ini, Pilkada belum

dimasukkan dalam rezim pemilihan umum (Pemilu). Pilkada pertama kali

diselenggarakan pada 1 Juni 2005. Sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007

tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim

Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah.

2.2. Hubungan otonomi daerah dengan pemilihan kepala daerah secara

langsung

Cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tujuan bangsa Indonesia

bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

44

Berkaitan dengan unsur memajukan kesejahteraan (yang digaris bawahi)

yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945,

menunjukkan tipologi negara hukum Indonesia bertipologi negara kesejahteraan.

Sehingga korelasi dengan pemerintah adalah menunjukkan bahwa

penyelenggaraan negara haruslah memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa landasan konstitusional pemerintahan

daerah yakni pada pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945. Sedangkan penjabarannya secara eksplisit diatur dalam

Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 2

UU Pemerintahan Daerah, Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini

berdasarkan Pasal 18 ayat (1), (2) dan ayat (5) yang menentukan :

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan

daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan

undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah.

45

Implikasi dari ketentuan tersebut pemerintah daerah berwenang untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan. Dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah mengartikan Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Dalam teori otonomi yang berkaitan dengan pendistribusian wewenang

dalam penyelenggaraan Negara atau pemerintahan pusat dan daerah ada tiga

bentuk :

Pertama, hubungan pusat dan daerah menurut dasar dekonsentrasi territorial

Kedua, hubungan pusat dan daerah menurut dasar otonomi territorial

Ketiga, hubungan pusat dan daerah menurut dasar federal.41

Adapun yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah penyerahan

wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kemudian Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan

41 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH)

Fakultas Hukum UII, (Buku I), Yogyakarta, 2001, h. 32

46

oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu. Sedangkan Tugas pembantuan adalah

penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi

kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada

desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Adapun yang menjadi kelebihan desentralisasi, menurut Riwu Kiwo,

yaitu:

1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan

2. Keseimbangan dan keserasian daerah tidak perlu menunggu antara

bermacam-macam instruksi dari pusat.

3. Desentralisasi territorial, dapat segera mendorong dilaksanakan.

4. Dapat diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi

kepentingan tertentu, khususnya desentralisasi territorial dapat lebih

mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan dan keadaan

khusus daerah.

5. Dengan adanya desentralisasi, daerah otonom dapat merupakan

semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan

pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh Negara.

6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah

pusat.

7. Secara psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan

bagi daerah-daerah karena sifatnya lebih langsung ke sasaran.42

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat

terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,

pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas,

daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan

prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta

potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

42 Riwu Kiwo dalam H.M Sjaiful Rachman, Pembangunan dan Otonomi Daerah

Realisasi Program Kabinet Gotong Royong. Yayasan Pancur Siwah, 2002, h. 88

47

Mawardi Oentarto, mengemukakan bahwa pembentukan daerah otonom

dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki cirri-ciri sebagai berikut:

1. Daerah otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya

negara federasi

2. Desentralisasi dimanifestasikan dalam pembentukan daerah otonom dan

bentuk penyerahan atau pengakuan atau urusan pemerintahan yang

diberikan kepada daerah.

3. Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan terkait dengan

pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)

sesuai dengan prakarsa dan aspirasi masyarakat.43

Bagir Manan44, berpendapat, sistem otonomi riil mempunyai ciri khas,

urusan-urusan rumah tangga ditetapkan secara materiil, daerah-daerah dalam

rumah tangga dapat mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan yang

menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan

diurus oleh pemerintah pusat. Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada

faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan

rumah tangga daerah sesuai dengan keadaan masing-masing.

Adapun hak daerah dalam menyelenggarakan otonomi, yang tertuang

dalam pasal 21 Undang-undang Pemerintahan Daerah, diantaranya :

a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

b. memilih pimpinan daerah;

c. mengelola aparatur daerah;

43 Mawardi Oentarto, S, Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia,

“Kumpulan Makalah”, Program Pascasarjana UGM, 13 Mei 2002, Yogyakarta, h. 2 44 Bagir Manan, Hubungan antar Pusat dan Daerah menurut UUD 1945, (Buku II),

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 32.

48

d. mengelola kekayaan daerah;

e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya lainnya yang berada di daerah;

g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Disamping memiliki hak, terdapat pula kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yakni :

a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan

nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

c. mengembangkan kehidupan demokrasi;

d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

h. mengembangkan sistem jaminan sosial;

i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k. melestarikan lingkungan hidup;

l. mengelola administrasi kependudukan;

m. melestarikan nilai sosial budaya;

n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai

dengan kewenangannya; dan

o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Jika dikaji secara mendalam tidak semua urusan pemerintah pusat

dilimpahkan kepada daerah, karenanya otonomi dalam hal ini tidak berarti tidak

terbatas. Adapun yang menjadi urusan Propinsi dan Kabupaten/Kota tercantum

dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, yaitu:

Pasal 13

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

49

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia

potensial;

g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk

lintas kabupaten/kota;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas

kabupaten/kota;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat

dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan.

Pasal 14

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:

a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. penanganan bidang kesehatan;

f. penyelenggaraan pendidikan;

g. penanggulangan masalah sosial;

h. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. pengendalian lingkungan hidup;

k. pelayanan pertanahan;

l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. pelayanan administrasi penanaman modal;

o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan.

50

(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan

daerah yang bersangkutan.

Jika memandang otonomi secara luas maka perlu mengutip ajaran catur

Praja dari Van Vollenhoven yaitu pembentukan perundang-undangan sendiri,

melaksanakan sendiri, melakukan peradilan sendiri dan melakukan tugas

kepolisian sendiri pada otonomi daerah hanya melaksanakan tugas peradilan yang

tidak ada. Namun, Amrah Muslimin45, mengatakan bahwa Negara Indonesia

adalah Negara kesatuan pokok pangkal mengenai otonomi adalah “otonomi dalam

Negara kesatuan”.

Sedangkan pembatasan dari kewenangan daerah, diatur dalam Pasal 10

ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

yakni;

Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

45 Amrah Muslimin, Aspek-aspek Otonomi Daerah, Buku I, Bandung, Alumni, 1978,

h.15.

51

Menurut Larry Diamond dan Brian C Smith, esensi dari demokratisasi

pemerintah lokal adalah untuk memperluas kesempatan check and balances antara

pemerintah lokal dan pemerintah pusat.46

Pendapat Larry tersebut memberikan pemahaman meskipun otonomi

seluas-luasnya namun tidak berarti tanpa kontrol dari pemerintah pusat. Hal ini

sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan pembatasan kewenangan yang

tidak dapat diberikan kepada daerah.

Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antar susunan

pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman

daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman

daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan

pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan

perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai

dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam

kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi

pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang

46 Kacung Maridjan, dalam Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan

Demokrasi Lokal, Jakarta, November 2007.

52

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut

dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.

Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan

pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang

senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai

dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi

setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah

otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan

dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan

daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian

utama dari tujuan nasional

Dalam kaitan dengan hal tersebut, C.F Strong47 mengatakan; The essence

of a unitary state is that the sovereignity is undivided or in other words, that

powers of the central government are unrestricted, for constitution of a unitary

state does not admit of any other law making body than the central one.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu

memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain

itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan

antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama

antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah

47 C.F. Strong, Modern Political Constitution, (Sidgusick & Jackson Limited, 1952), p.

231

53

ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi

daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan

Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah

Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka

mewujudkan tujuan negara.

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah, adalah upaya

memaksimalkan hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan

hal-hal yang menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian

tuntutan mayarakat dapat diwujudkan secara nyata dengan penerapan otonomi

daerah luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan, serta memelihara

kesinambungan fiscal secara nasional. Banyak harapan yang dimungkinkan dari

penerapan otonomi daerah. Seiring dengan itu tidak sedikit pula masalah,

tantangan dan kendala yang dihadapi oleh daerah.48

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang

hendak dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian

pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan.

Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi,

pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah

wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan,

dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan

secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

48 HAW. Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2002, h. 1

54

Dalam buku The Liang Gie, dikatakan desentralisasi hanya soal teknis

pemerintahannya, yang ditujukan untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya,

seperti:49

a. Bahwa rakyat di daerah adalah berkewajiban memajukan daerahnya

b. Bahwa rakyat daerah itu lebih erat hubungannya dan lebih kenal

dengan kepentingan-kepentingan.

c. Penyelesain suatu masalah dapat dilakukan secara lebih serasi dengan

sifat dan kondisi daerah yang bersangkutan.

d. Pengurusan mengenai beberapa hal, dapat dilakukan dari tempat yang

lebih jauh dari tempat urusan yang bersangkutan.

Pemberian otonomi daerah dengan sistem desentralisasi yang memberikan

kewenangan penuh kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah

tangganya untuk kesejahteraan rakyat ternyata berimplikasi juga pada pemilihan

kepala daerah. Dikarenakan tujuan otonomi untuk kesejahteraan rakyat, maka

mekanisme terhadap Pilkada pun berubah menjadi Pilkada langsung, sehingga

memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin yang

dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dengan pemilihan langsung demikian diharapkan dapat menghasilkan

kepala daerah dan wakil kepala daerah yang betul-betul bertanggung jawab pada

rakyat. Pertanggung jawaban kepala daerah terpilih terhadap rkyat dalam bentuk

49 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,

Suatu analisa tentang masalah-masalah desentralisasi dan penyelesainnya, Jakarta, Gunung Agung

1986, jilid III, h. 38-39.

55

pelayanan dan kebijakan pembangunan, karena sesuai konsep otonomi daerah,

dimana kepala daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola

daerahnya.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sarana

pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan kabupaten/kota

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Dengan adanya Undnag-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai peran

yang sangat strategis dalam rangka mengembangkan kehidupan demokrasi,

keadilan, pemerataan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang

serasi antara pemerintah dan daerah serta antar daerah. Oleh karena itu diperlukan

figur kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mengembangkan

inovasi demi kesejahteraan rakyat.

Karenanya hakekat otonomi daerah yakni untuk kesejahteraan rakyat

sangat relevan dengan perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah yang

semula diwakili oleh DPRD menjadi langsung dipilih oleh rakyat. Sebab, adanya

jaminan dari Negara kepada rakyatnya untuk memilih calon pemimpin yang

berkualitas sehingga dapat bertanggung jawab pada konstituenny (rakyatnya).

2.3. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Kepala daerah, dalam dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentng

pemerintahan, adalah gubernur (kepala daerah provinsi), bupati (kepala daerah

kabupaten), atau walikota (kepala daerah kota). Kepala daerah dibantu oleh

56

seorang wakil kepala daerah. Sejak tahun 2005, pasangan kepala daerah dan wakil

kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Pasangan tersebut dicalonkan

oleh partai politik dan/atau independen.

Adapun yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menyangkut Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dalam Undang-undang tersebut, Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b. mengajukan rancangan Perda;

c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada

DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; dan

g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Dalam hukum administrasi antara wewenang dan kekuasaan berbeda arti.

Jika dalam bahasa Inggris, “kekuasaan” diartikan sebagai “power”50, sedangkan

“kewenangan” dalam bahasa Inggris diartikan “authority atau competence”.51

Menurut Soerjono Soekanto, Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi

pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang kekuasaan baik dengan sukarela

atau terpaksa.52 Dilain pihak Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah

kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian kekuasaan yang

50 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Edisi Ketiga, Gramedia,

Jakarta, 1997, 313 51 Ibid, h. 614 52 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Radjawali, Jakarta, 1989, h. 241

57

sifatnya derivative. Perolehan kekuasaan secara derivative dibedakan atas delegasi

dan mandate.53

Sedangkan Kewenangan, menurut SF. Marbun, yaitu kekuasaan yang

diformalkkan baik terhadap golongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap

suatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan

legislative maupun kekuasaan pemerintah sedangkan wewenang hanya mengenai

suatu onderdil tertntu saja sehingga kewenangan merupakan kumpulan dari

wewenang-wewenang.54

Philipus M. Hadjon, memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan

istilah “wewenang” dan “bevoigheid” digunakan dalam konsep hukum privat dan

hukum publik, sedangkan wewenang selalu digunakan dalam konsep hukum

publik.55

Sedangkan Wakil kepala daerah mempunyai tugas:

a. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan

daerah;

b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi

vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil

pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan

perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan

pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;

c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan

kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;

d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di

wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah

kabupaten/kota;

e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam

penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

53 Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap

Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 39 54 SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, 1997, h. 185 55 Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, Sep-Des

1997, h. 1

58

f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang

diberikan oleh kepala daerah; dan

g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala

daerah berhalangan.

Dalam melaksanakan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab

kepada kepala daerah. Apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti,

diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan

secara terus menerus dalam masa jabatannya maka wakil kepala daerah

menggantikan kepala daerah tersebut.

Dengan demikian posisi wakil kepala daerah hanyalah sebagai “ban serep”

dari kepala daerah, “Dalam perspektif hukum tata negara tidak dapat kita pungkiri

bahwa posisi wakil kepala daerah hanyalah sebagai ban serep saja. Tugas dan

fungsi wakil kepala daerah hanya residu dari tugas dan fungsi kepala daerah

karena hal-hal yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan oleh

Sekretaris Daerah.”56

M. Solly Lubis dalam bukunya Hukum Tata Negara, menyatakan “tugas”

adalah kekuasaan dalam rangka pelaksanaan pemerintah negara sesuai dengan

tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam konstitusi aturan-aturan

pelaksanaanya.57

Adapun yang menjadi kewajiban bagi kepala daerah dan wakil kepala

daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yakni:

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia;

56 Dilema Wakil Kepala Daerah, Batampost.co.id, 1 Maret 2010 57 Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandiri Maju, Bandung, 1992, h. 26

59

b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

d. melaksanakan kehidupan demokrasi;

e. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

f. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah;

g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;

i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan

daerah;

j. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah

dan semua perangkat daerah;

k. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan

daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

Selain mempunyai kewajiban tersebut, kepala daerah mempunyai

kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah

kepada Pemerintah yang disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri (untuk Gubernur) atau kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur

(untuk bupati/walikota) untuk digunakan sebagai dasar melakukan evaluasi

penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut

sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memberikan laporan keterangan

pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Untuk melancarkan dalam menjalankan tugas dan wewenang kepala

daerah dan wakil kepala daerah, maka Kepala daerah dan wakil kepala daerah

dilarang:

a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi

diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan

kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau

mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;

60

b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik

negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;

c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya,

baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan

daerah yang bersangkutan;

d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang

dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau

tindakan yang akan dilakukannya;

e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan,

kecuali mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan

f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;

g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota

DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.

Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, berakhirnya jabatan kepala

daerah dan wakil kepala daerah dikarenakan berhenti dan diberhentikan.

Berhentinya kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, karena:

a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri; atau

c. diberhentikan.

Sedangkan diberhentikannya Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, karena:

a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;

b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;

c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil

kepala daerah;

d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah;

e. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah;

f. melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

61

Dari kepala daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota, yang memiliki

fungsi ganda yakni sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat adalah

Gubernur. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil

Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam kedudukannya

tersebut, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur memiliki tugas dan wewenang,

yakni:

a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah

kabupaten/kota;

b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan

kabupaten/kota;

c. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas

pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Sedangkan tindak lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang

Gubernur diatas, diatur dalam Peraturan Pemerintah.