keterwakilan daerahdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...amandemen-uud-n… · wacana...

42

Upload: others

Post on 16-Sep-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan
Page 2: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

1

Kabinet Gelora Pembebasan KATA PENGANTAR

yukur tak terhingga kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas berkat rahmatnya kami dari Dema Justicia bisa menyelesaikan

kajian dengan judul “Sumbangsih Pemikiran Dema Justicia untuk

Amandemen UUD NRI 1945” dengan baik. Wacana amandemen Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

bola panas dalam diskursus ruang publik saat ini. Banyak pihak menyuarakan

argumentasi untuk menyatakan sikap untuk mendukung maupun menolak

wacana ini. Terlepas dari itu semua, perlu kita ilhami bersama bahwa

konstitusi, in casu UUD NRI 1945, adalah hal yang sangat fundamental bagi

kehidupan berbangsa dan bernegara karena posisinya sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi.

Konsekuensinya UUD NRI 1945 menjadi pembatas kekuasaan lembaga-lembaga negara yang bermuara bagi

perlindungan hak konstitusional warga negara. Oleh sebab itu, norma-norma yang diatur dalam UUD NRI 1945

harus bisa benar-benar mengakomodir secara paripurna hal-hal yang menyangkut kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Maksud dan tujuan disusunnya kajian ini adalah sebagai sumbangsih pemikiran terhadap wacana

amandemen UUD NRI 1945 terkhusus terkait kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, masa jabatan

Presiden, kewenangan dan pengawasan Mahkamah Konstitusi, dan penguatan kelembagaan Dewan Perwakilan

Daerah. Permasalahan-permasalahan di atas dirasa perlu dikaji lebih dalam karena bisa dikatakan hal-hal

tersebut menjadi isu sentral bagi ketatanegaraan Indonesia. Dalam kajian ini kami bersama memberikan dan

menuangkan gagasan-gagasan apa saja yang menurut kami perlu diambil oleh para pemegang kebijakan. Semoga

apa yang kami buat dengan keringat dan air mata optimisme bisa memberikan sumbangsih kepada Indonesia

untuk apa saja hal yang perlu dilakukan dan dibenahi.

Terakhir, saya ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kajian ini,

semoga menjadi pengasah idealisme, pemahaman, dan kepedulian saudara-saudara sekalian terhadap negara

ini. Atas nama Tuhan Yang Maha Esa kami persembahkan kajian ini dan kami tidak menutup pintu kritik, saran,

atau masukan agar iklim dialektika itu terus kita rawat. Sekian, yang fana adalah waktu kita abadi, Hidup

Mahasiswa! yang selalu kita perjuangkan Hidup Rakyat Indonesia!.

Koordinator Kajian Amandemen UUD NRI 1945

Tariq Hidayat Pangestu

S

Page 3: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

2

Kabinet Gelora Pembebasan

PENGUATAN DPD RI UNTUK MENINGKATKAN PERAN

KETERWAKILAN DAERAH

LATAR BELAKANG

Berangkat dari sejarah, konsep perlunya representasi sudah dimulai sejak pembahasan BPUPKI

yang kala itu menjadi anggota dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Para founding people

bangsa Indonesia memandang perlu adanya representasi yang holistik di MPR sebagai penjelmaan

seluruh rakyat.1 Selanjutnya saat berlakunya Konstitusi RIS konsepsi perwakilan daerah terus ada

dengan nama Senat RIS. Pada saat Konstitusi RIS Sistem Perwakilan sudah menganut Sistem dua kamar

(bicameral) yang terdiri dari perwakilan politik dan perwakilah kewilayahan atau Senat RIS. Senat RIS

jumlahnya yaitu 32 orang dan setiap daerah bagian diwakili oleh 2 orang. Kala itu anggota Senat

ditunjuk oleh Pemerintah daerah yang kemudian dicalonkan dengan disampaikan kepada Pusat. Senat

RIS berfungsi sebagai lembaga legislatif dan majelis penasehat pemerintah. Senat RIS ada dan

berlangsung dari adanya Konstitusi RIS tahun 1949 hingga tahun 1959.2

Kemudian dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Sukarno

mengakibatkan adanya pembubaran Konstituante yang salah satu unsur keanggotaannya adalah Senat

RIS. Pada saat itu belum terbentuk adanya MPR dan DPR. Namun dibentuklah MPRS yang terdiri dari

DPRGR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan melalui Penetapan Presiden Nomor 2

tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Utusan Daerah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Presiden

Nomor 12 Tahun 1959 yang dalam peraturan a quo utusan daerah berjumlah 94 orang yang terdiri dari

24 daerah provinsi yang diwakili 3-5 orang per provinsi. Utusan daerah-daerah tersebut diusulkan oleh

DPRD yang kemudian dipilih oleh Presiden untuk menjadi anggota MPRS.3

Setelah adanya peristiwa G30S/PKI, Soeharto menjadi Presiden dan pada saat itu keluarkan UU

Nomor 15 Tahun 1969 yaitu tentang Pemilihan Umum untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD.

Susunan MPR sendiri setelah adanya UU Pemilihan Umum tersebut tetap anggota DPR ditambah utusan

1 Yudi Latif, Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta. hlm. 428 2 Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jilid 1 (Edisi Revisi), Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, DKI Jakarta hal.16-18 3 Peratuan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1959 Tentang Susunan Majelsi Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1917)

Oleh : Ricky Raytona, Aditya Halimawan, Aqshal, & Yoseph

Page 4: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

3

Kabinet Gelora Pembebasan

golongan-golongan dan utusan daerah-daerah yang hubungannya diatur berdasarkan ketetapan MPR

Nomor III/MPR/1978. Hal ini berlangsung hingga Pemilu terakhir pada tahun 1997.

Setelah mengalami pergolakan politik yang cukup panjang sejak 1959 yang mengembalikan

Indonesia ke bentuk negara kesatuan sampai dengan jatuhnya Soeharto dan mengantarkan Indonesia

ke masa reformasi. Saat 1998 diadakanlah Sidang Istimewa (SI) MPR yang salah satu hasilnya adalah

tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normaliasi

Kehidupan Nasonal Sebagai Haluan Negara yang mengamanatkan Pemilihan Umum paling lambat

1999. 4Terjadi amandemen UUD Tahun 1945. Dari adanya SI tersebut membuka jalan adanya

Perubahan UUD 1945 yaitu dengan adanya Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan tersebut membuat adanya

Pemilihan Umum pada tahun 1999 dan untuk melaksanakannya maka dibuatlah UU Nomor 2 Tahun

1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, serta UU Nomor 4 Tahun 1999

tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. 5

Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik yang komposisinya adalah 21 Partai yang

memperoleh kursi DPR. Kemudian komposisi MPR juga mengalami perubahan yaitu dari unsur

TNI/Polri dari 75 orang menjadi 38 orang, anggota dari Utusan Golongan 38 orang, dan terakhir Utusan

Daerah dipilih oleh DPRD Provinsi sebanyak 135 orang.6 Setelah itu dilakukan perubahan UUD 1945

walaupun terjadi pergantian kekuasaan karena memang hal tersebut amanat dari Reformasi.7

MPR hasil Pemilu 1999 telah melakukan 4 (empat) kali Perubahan UUD 1945 yaitu pada tahun

1999, 2000, 2001, dan 2002. Salah satu hasil perubahan yang terakhir adalah perubahan yang

mendasar baik dari susunan kelembagaan maupun sisi kewenangan MPR itu sendiri. 8 Dari sisi

kelembagaan, MPR menjadi terdiri dari DPR dan DPD. DPD ada sejak amandemen ketiga9 dan disini

sebelumnya adalah utusan daerah, namun keterpilihannya bukan dari DPRD Provinsi atau Tingkat I

melainkan dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Kemudian dari Sisi Kedudukan, MPR tidak lagi

menjadi lembaga tertinggi Negara,10 melainkan Presiden sebagai semangat untuk memperkuat Sistem

Pemerintahan Presidensial.

4 Mahkamah Konstitusi, op.cit., hal.24. 5 Ibid., hal.25. 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24) 7 Mahkamah Konstitusi, op.cit. hal.25-26. 8 Ibid, hal.25. 9 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga. 10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat.

Page 5: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

4

Kabinet Gelora Pembebasan

Terdapat berbagai gagasan yang ada dibalik adanya kelahiran DPD diantaranya Pertama,

pengubahan sistem perwakilan menjadi sistem bikameral (dua kamar) yaitu antara DPR dan DPD.

Kedua, meningkatkan keikutsertaan dan pengawasan terhadap jalannya politik dan pemerintahan

negara. Demikian membuat DPD sebagai penyempurna adanya check and balances antara cabang

kekuasaan di Indonesia dan utusan daerah terdahulu yang wewenangnya hanya sebatas pada sidang-

sidang MPR.11 Namun dengan memperhatikan ketentuan dalam UUD NRI 1945 setelah amandemen,

tidak terlihat konkritisasi dari gagasan tentang sistem bikameral (dua kamar) yang justru menunjukan

sistem trikameral (tiga kamar). Pertama, MPR tetap merupakan lingkungan jabatan tersendiri yang

terpisah dari DPR dan DPD.12 Kedua, DPD merupakan lembaga yang memiliki lingkungan jabatan dan

lingkungan wewenangnya sendiri. Tetapi terlihat seperti komplementer dari DPR itu sendiri. 13 Ketiga,

DPD tidak mendapatkan kewenangan legislasi secara penuh, melainkan hanya pengajuan dan

pembahasan RUU dibidang tertentu saja.14

Pada tanggal 26 Oktober 2019, Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang membuat sebuah pernyataan

bahwa perlu adanya penguatan kelembagaan dari DPD RI itu tersendiri, beliau berkata, “Pembentukan

DPD untuk mengimbangi dominasi parpol dalam lembaga perwakilan,” kata OSO di hadapan calon

anggota DPD terpilih 2019-2024 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin.15 Perlu kita ketahui DPD

adalah lembaga legislasi yang merupakan manifestasi dari sistem pemerintahan bikameral yang

bersandingan dengan DPR. DPD juga berfungsi sebagai lembaga yang berfungsi checks and balances

terhadap DPR supaya tidak terjadi sentralisasi kekuasaan akan suatu Lembaga.

Giovanni Sartori mengemukakan tiga jenis bikameral, yaitu assymetric bicameralism/weak

bicameralism/soft bicameralism apabila salah satu kamar mempunyai posisi yang dominan dibanding

kamar yang lain, symmetric bicameralism/strong bicameralism apabila kedua kamar mempunyai

kewenangan yang hampir seimbang, dan perfect bicameralism apabila kewenangan yang dimiliki kedua

kamar tersebut sama besarnya (Sartori, 1997:184).16 Bila kita tafsirkan, Indonesia menganut sistem

softbicameralism karena bila kita lihat secara konkret, DPR lebih memiliki kekuatan dibandingkan

dengan DPD itu tersendiri. Bila kita telaah pada Pasal 22D UUD 1945 dari ayat 1(satu) hingga ayat

11 Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 11945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, hal.59. 12 Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat. 13 Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat. 14 Bagir Manan, op.cit., hal.61-62. 15 Fitria Chusna Farisa, “Oesman Sapta Ingatkan Pentingnya Penguatan DPD”, https://nasional.kompas.com/read/2019/08/26/12353771/oesman-sapta-ingatkan-pentingnya-penguatan-dpd, diakses 20 November 2019 16 Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.3, Hasil Penelitian

Page 6: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

5

Kabinet Gelora Pembebasan

4(empat), DPD hanya bertugas untuk mengurus kendala di lingkup daerah karena DPD pun hanya

dianggap sebagai representasi di wilayah distrik, bukan wilayah nasional.17

Pada dasarnya, DPD berfungsi untuk menjalankan fungsi artikulasi dan fungsi agregasi untuk

daerahnya masing-masing. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan DPD yang sudah berada di

“tangan” DPR hanya akan terjadi apabila DPR berkehendak untuk meneruskan masalah-masalah

tersebut. Hal ini tentu jelas memperlihatkan bahwa DPD merupakan lembaga yang lemah karena tidak

memiliki hak untuk bisa menjalankan sebuah pertimbangan tanpa persetujuan DPR itu tersendiri. Akan

tetapi, DPD hanyalah lembaga yang merupakan representasi di sektor daerah dan bukan sektor

nasional, sehingga tidak perlu kewenangan yang penuh akan suatu negara. Di sisi lain, DPD juga

merupakan anggota legislatif yang seharusnya mempunyai hak penuh legislasi.

Sebelum amandemen, Indonesia menganut Division or Distribution of power dikarenakan MPR

sebagai perwujudan nyata dari Prinsip kedaulatan rakyat dan berkedudukan sebagai lembaga negara

tertinggi di Indonesia membagikan kekuasaan rakyat secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi

dibawahnya. Namun setelah amandemen, kedaulatan rakyat dibagikan secara horizontal sehingga

memisahkan tugas, fungsi, dan wewenang dari masing-masing lembaga tersebut (separation of power).

Lembaga-lembaga negara tersebut berkedudukan sederajat dan saling mengontrol dan mengimbangi

sebagaimana prinsip check and balances.18

Separation of Power adalah Pemisahan kekuasaan dengan membedakan lembaga-lembaga

negara baik kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam melaksanakan undang-undang

dan/atau menjalankan pemerintahan. Teori ini awalnya dicetuskan oleh Montesquie Namun Indonesia

tidak menerapkannya secara murni dikarenakan terdapat prinsip check and balances. Sedangkan check

and balances adalah prinsip pengawasan dengan cara mengontrol dan mengimbangi yang dilakukan

antara suatu lembaga dengan lembaga yang lain dalam rangka menjaga prinsip-prinsip berjalannya

lembaga negara, seperti good governance, asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan sebagainya.

Setelah amandemen UUD NRI 1945, Lembaga Kekuasaan Legislatif tetap berada di tangan MPR,

DPR, dan DPD. Namun ketiganya berdiri dan berkedudukan sederajat satu sama lain meskipun anggota

dari MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. Hal ini memperlihatkan struktur parlemen Indonesia

terdiri dari 3 pilar atau 3 kamar (trikameral).19 Ketiganya memiliki tugas dan wewenang yang berbeda.

Namun menurut Zainal Arifin Mochtar pada dasarnya memiliki kewenangan legislasi, Pengawasan atau

17 UUD RI 1945 Amandemen III(2001) 18 Jimly Asshiddiqie, 2018, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal 60. 19 Ibid., hal.61.

Page 7: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

6

Kabinet Gelora Pembebasan

Kontrol, Anggaran atau Budget, Representasi, dan Rekrutmen Jabatan Publik. Jadi bisa diambil

kesimpulan bahwa Lembaga Kekuasaan Legislatif merupakan lembaga kekuasaan dari 2 lembaga

kekuasaan lainnya dan juga memiliki fungsi legislasi, Pengawasan atau Kontrol, Anggaran atau Budget,

Representasi, dan Rekrutmen Jabatan Publik.

PERBANDINGAN WEWENANG DPD DENGAN DPR

DPR dan DPD merupakan dua lembaga yang sama – sama merupakan representasi dari rakyat.

DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan

prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation). DPD dilahirkan dan ditampilkan

sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat yang menjembatani kebijakan (policy), dan regulasi pada

skala nasional oleh pemerintah (Pusat) di satu sisi dan Daerah di sisi lain.

Menurut Pasal 71 UU No. 17 Tahun 2014 disebutkan bahwa DPR berwenang membahas

rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat

dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan

Presiden. Dari kewenangan dari DPR sendiri dapat dilihat bahwa sebenarnya ada pembatasan daripada

peran dari DPD dalam pembentukan Undang-Undang. Hal ini secara tidak langsung membuat DPD

kewenangan yang lebih rendah daripada DPR.

DPD, seperti yang telah disebutkan di atas, adalah cerminan representasi regional (regional

representative). DPD seharusnya menjadi wakil daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang,

tetapi DPD memiliki wewenang yang terbatas yaitu hanya sampai pembahasan tetapi tidak sampai pada

persetujuan. DPR berdasarkan Pasal 71 UU No. 17 Tahun 2014 butir c bisa melakukan pembahasan

sampai pada persetujuan. Sedangkan DPD menurut Pasal 249 UU No. 17 Tahun 2014 hanya dapat

mengajukan rancangan undang-undang dan hanya ikut membahas. Hal ini memunculkan kesan bahwa

peran DPD tidak terlalu penting karena pada akhirnya keputusan tetap ada pada tangan DPR dan

Presiden. Menurut John Pieris , DPD dan DPR harus memiliki kedudukan yang setara agar sistem

bikameral dapat berjalan dengan efektif dan berimbang. Kedua kamar tersebut harus memiliki

kekuasaan dan fungsi legislasi yang proporsional dan saling mendukung dalam proses pembuatan

undang-undang.

Page 8: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

7

Kabinet Gelora Pembebasan

URGENSI PENGUATAN DPD

DPD sejatinya dibentuk untuk melibatkan daerah dalam mengelola negara dengan

menyempurnakan sistem utusan daerah dan utusan golongan di MPR yang kemudian mewujudkan

sistem bikameral di dalam kekuasaan legislatif20 yang betujuan untuk mengimbangi DPR agar terwujud

check and balances di antara kedua lembaga legislatif tersebut. Dalam UU No.22 Tahun 2003 tentang

susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 41 dijelaskan bahwa DPD mempunyai fungsi-

fungsi yaitu fungsi legislasi dan fungsi pengawasan dalam bidang tertentu.Tetapi dalam prakteknya,

kewenangan-kewenangan yang dimiliki DPD ini sangat terbatas sehingga menjadi kurang terlihat dan

tidak maksimal dalam menjalankan fungsinya. Beberapa diantaranya adalah kurangnya wewenang

DPD dalam pembentukan UU.

Seperti yang sudah disebutkan juga dalam Pasal 65 ayat (3) UU No.12 Tahun 2011 bahwa

keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai pada pembicaraan tingkat I21, sementara

persetujuan tetap dilakukan oleh DPR dan Presiden. Hal ini menyebabkan kepentingan-kepentingan

daerah yang akan dituangkan dalam produk legislasi menjadi kurang terakomodir secara baik. Terasa

hampir mustahil untuk mewujudkan harapan masyarakat dan daerah dalam keadaan seperti ini. Tidak

hanya itu, dalam fungsi pengawasan pun DPD memiliki masalah yang tidak kalah pelik, karena hasil

pengawasan DPD yang diserahkan kepada DPR tidak memiliki dampak apapun karena hasil kerja DPD

tersebut hanya akan dijadikan bahan masukan dan bahan pertimbangan oleh DPR karena keputusan

akan tetap ada di tangan DPR.22

Berdasarkan penjelasan kewenangan DPD yang telah Penulis paparkan, sebenarnya terdapat

kerancuan antara UUD NRI 1945 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kerancuan tersebut yaitu pada Pasal 22D ayat (2) UUD

NRI 1945 yang menyatakan :

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan

pusat dan daerah.”

Namun di sisi lain yaitu pada Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan:

20 Manan. Bagir, 2003, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru. FH-UII Press. Yogyakarta. Hal 59-60 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5234). 22 Marzuki. Masnir, “Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya Mengefektifkan Keberadaannya”, Jurnal Hukum, Vol.15, No.1, Januari 2008.

Page 9: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

8

Kabinet Gelora Pembebasan

“Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.“

Padahal berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua)

tingkat pembicaraan. Hal ini menunjukan bahwa terdapat limitasi terhadap kewenangan DPD yaitu

terkait dengan Pembahasan sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita.

Maka dari itu Penulis memiliki ide atau gagasan semangat menguatkan DPD dengan melakukan

penjelasan lebih lanjut dengan menambahkan “….hingga tahap persetujuan..” pada Pasal 22D ayat (2)

sehingga menjadi :

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang hingga tahap persetujuan

yang berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

Hal tersebut menimbulkan keterlibatan secara penuh DPD dalam Pembahasan Undang-Undang

sebagaimana kewenangannya. Selain itu juga merubah Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan memberikan kewenangan

DPD untuk ikut membahas Undang-Undang hingga tahap Pembicaraan Tahap 2. Implikasi nyata dari

adanya penjelasan tersebut membuat DPD berwenang ikut membahas Rancangan Undang-Undang

sampai pada tahap sebelum Persetujuan sehingga membuat posisi DPR dan DPD sebagai lembaga

legislatif dan kamar dalam lembaga perwakilan sederajat.

Disini gagasan Penulis bulat yaitu memberikan kewenangan kepada DPD yaitu memberikan

persetujuan Pembentukan Undang-Undang. Namun hal tersebut tetap dilimitasi yaitu hanya yang

berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta

penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dari adanya gagasan Penulis tersebut setidaknya terdapat

beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengalami perubahan diantaranya Pasal 20 ayat (2), (4) dan

penambahan pasal pada bagian BAB VIIA Dewan Perwakilan Daerah yaitu terkait dengan kewenangan

DPR dalam menyetujui Undang-Undang yang berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber

daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.Tentu dari adanya gagasan

tersebut akan berimplikasi pada kekuatan perwakilan daerah di Pusat. DPD akan berperan dalam

pengambilan keputusan yaitu persetujuan. Hal ini tentu juga akan menguatkan eksistensi daerah di

Pusat karena pembahasan tentang urusannya.

Page 10: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

9

Kabinet Gelora Pembebasan

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2018, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Sistem Pemerintahan Republik

Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.3, Hasil Penelitian,

Fitria Chusna Farisa, “Oesman Sapta Ingatkan Pentingnya Penguatan DPD”,

https://nasional.kompas.com/read/2019/08/26/12353771/oesman-sapta-ingatkan-

pentingnya-penguatan-dpd, diakses 20 November 2019.

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia,

Jakarta.

Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Jilid 1 (Edisi Revisi), Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi, DKI Jakarta.

Manan, Bagir, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 11945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta.

Manan. Bagir, 2003, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru. FH-UII Press. Yogyakarta.

Marzuki. Masnir, “Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya Mengefektifkan Keberadaannya”,

Jurnal Hukum, Vol.15, No.1, Januari 2008.

Peratuan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1959 Tentang Susunan Majelsi

Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

1917).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran

Negara RepublikIndonesia Nomor 5234).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24)

Page 11: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

10

Kabinet Gelora Pembebasan

PENINGKATAN PENGAWASAN TERHADAP HAKIM

KONSTITUSI

Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara yang merupakan pemegang

kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA). Dikatakan bersama-sama

dengan MA karena MK tidak berada dibawah kekuasaan MA melainkan berdiri sendiri dan

berkedudukan setara dengan MA. Setara berarti tidak dibawahi kekuasaan kehakiman MA dan tidak

terintervensi oleh MA dalam menjalankan kewenangannya Keberadaan MK jauh tidak lebih lama

daripada MA sebagai lembaga tinggi negara, karena keberadaan MK di Indonesia didasari pada

perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2000an.

MA dan MK sendiri memiliki peranan penting dalam manifestasi kekuatan yudisial dalam sistem

ketatanegaraan penganut trias politica. Pembagian kekuasaan yudisial kedalam MA dan MK menjadikan

lembaga peradilan di Indonesia lebih optimal dan tepat guna sesuai fungsinya masing-masing.

Menghidupkan kekuatan judicial review bukan sebagai perwujudan absolutisme salah satu lembaga

peradilan melainkan lebih terhadap bagaimana kewenangan ini diinventarisasikan kedalam kekuasaan

yang berbeda. Pembagian dilingkup yudisial dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

sistem peradilan dan ketatanegaraan yang saling menguatkan dan menyempurnakan satu lembaga

dengan yang lainnya.

Keberadaan mahkamah konstitusi menciptakan kewenangan baru yang merdeka dan mandiri

sehingga lembaga ini terlepas dari lembaga apapun. Penegakan hukum tidak lagi dipegang hanya satu

kekuasaan kehakiman saja seperti yang terjadi pada tahun sebelum amandemen UUD dilakukan. Dalam

UUD 1945 pasal 24 & 25 sebelum amandemen menjelaskan sistem peradilan Indonesia hanya memiliki

satu kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung (Supreme Court). Dengan hanya satu kekuasaan

kehakiman saja maka kewenangan judicial review menjadi konsekuensi kekosongan hukum dan itu

akan mudah ditafsirkan sebagai kewenangan sepenuhnya untuk menganggap UU/Peraturan

bertentangan atau tidak relevan hanya berhenti pada hakim yang menangani kasus. Maka, sangat

diperlukan adanya hakim Konstitusi untuk menangani sesuatu yang seharusnya tidak menjadi

kewenangan hakim umum/biasa.

Oleh : Muhammad Rayhan, Shafira Dinda, & Naufal Hilmy

Page 12: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

11

Kabinet Gelora Pembebasan

Hakim Mahkamah Konstitusi

Hakim Mahkamah Konstitusi adalah hakim konstitusi yang merupakan pejabat negara yang

ditetapkan oleh presiden. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang berkompeten di lingkup ketatanegaraan

dan hukum tata negara yang didasari dari filosofi jumlahnya dianggap sebagai simbol netralitas dan

keseimbangan. Harapannya agar kekuasaan kehakiman ini mencerminkan keseimbangan dari

penyelenggaraan negara serta tidak memihak lembaga tertentu dalam menjalankan fungsinya.

Kesembilan hakim ini menjalankan wewenang konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman di Indonesia.

Hakim Mahkamah Konstitusi mengadili urusan yang menyangkut pengujian material undang-

undang pada intinya, itulah tujuan utama dari dibentuknya kekuasaan kehakiman ini. Bentuk

kewenangan seperti teknis memutus UU/Peraturan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD

yang menjadi landasan hukum paling fundamental negara dan kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam mempelajari UU/Peraturan terhadap UUD menjadi esensi dari keberadaan Hakim Konstitusi.

Membicarakan kewenangan terhadap pengujian UU dan Peraturan yang terkait erat dengan

kewenangan konstitusi secara otomatis diikuti oleh kewenangan lain yang berhubungan erat pula

dengan perilaku konstitusi. Hal itu dimaksudkan pada kewenangan lain Mahkamah Konstitusi yang

tidak hanya judicial review saja seperti yang telah dijelaskan pada pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Pengawasan Mahkamah Konstitusi

Perlu kita pahami bersama bahwa sistem pengawasan MK saat ini terdiri dari subsistem yang

saling berkorelasi yaitu subjek yang diawasi adalah Hakim Konstitusi, objek yang diawasi adalah Etika

dan Perilaku Hakim Konstitusi, subjek yang mengawasi saat ini adalah Dewan Etik Hakim Kontitusi dan

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, serta proses pengawasan dilakukan secara preventif dan

represif. Sedangkan dari perspektif independensi dengan pengawasan terhadap Etika dan Perilaku

Hakim Konstitusi dan perspektif akuntabilitas telah tercapai atau tidaknya menggunakan proses

pengawasan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan. Dewan Etik bertugas melakukan pengawasan

terhadap hakim MK jika ditenggarai melakukan pelanggaran dan Dewan ini berhak menerbitkan

peringatan tertulis kepada Hakim MK yang melakukan pelanggaran etik tersebut. Sedangkan Majelis

Kehormatan sendiri baru dibentuk jika ada pelanggaran etik oleh hakim sehingga nantinya Majelis yang

bersifat adhoc ini dibentuk berdasarkan hasil pemeriksaan Dewan Etik MK.

Pemberian kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Konstitusi terdapat dalam pasal 24 C ayat (1)

UUD RI 1945 menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

Page 13: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

12

Kabinet Gelora Pembebasan

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ditambah dengan satu kewajiban, yang diatur pada pasal 24 C ayat (2) UUD RI 1945 yaitu : “Wajib

memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini menggambarkan bagaimana

wewenang yang besar yang dipegang oleh Mahkamah Konstusi.

Dengan kewenangan besar yang dipegang oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan

tugasnya memerlukan pengawasan agar segala sesuatu yang dilaksanakan berjalan semestinya. Pada

dasarnya manifestasi dari pengawasan itu sendiri adalah menilai apakah suatu pelaksanan berjalan

secara baik terwujudnya pelaksanaan kekuasaan yang bertanggung jawab. Pengawasan terhadap

Hakim Konstititusi ini penting dilakukan karena menurut Suparman Marzuki : “Pengawasan terhadap

Hakim diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim berintegritas tinggi, jujur, dan

profesional dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya.” 23 Selain itu kita perlu

juga untuk mempertimbangkan kata kata daripada Lord Acton, yaitu absolute power corrupt absolutely.

Pengejawantahan lebih lanjut dari standar moral seorang Hakim Konstitusi yang terdapat dalam

Konstitusi tersebut diatur pada peraturan turunannya yang diatur Pasal 27 B huruf a angka 4 UU No.

8/2011 mengatur, “Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela,

keadilan, dan keneragawanan Hakim Konstitusi wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Konstitusi.” Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi ini diatur lebih rinci dalam Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi.

Selain objek yang diawasi berupa Etika dan Perilaku Hakim Konstitusi, subjek pengawasannya

berasal dari Dewan Etik dan Majelis Kehormatan, yaitu berupa pengawasan secara internal. Struktur

yang secara internal kelembagaan mengawasi Hakim Konstitusi saat ini dilaksanakan oleh Dewan Etik

Hakim Konstitusi, menurut Pasal 1 angka 2 PMK No.2/2013, “Dewan Etik Hakim Konstitusi yaitu

perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,

keluhuran martabat dan perilaku Hakim. Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

23 Suparman Marzuki, “Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman” Bunga Rampai Komisi Yudisial, Komisi Yudisial, Jakarta, 2013. h. 101.

Page 14: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

13

Kabinet Gelora Pembebasan

Konstitusi (Sapta Karsa Hutama).” Namun yang perlu digarisbawahi adalah Dewan Etik ini perlu

dipertanyakan keberadaaanya, disini terjadi seperti area yang perlu kita telaah lebih lanjut.

Dinyatakan dari definisi pada Pasal 1 angka 2 PMK No.2/2013, “Dewan Etik Hakim Konstitusi

adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi”, jika kita menelaah lebih jauh pada Pasal

9 ayat (2) menyatakan, “Keberadaan Panitia Seleksi keanggotaannya dipilih dalam Rapat Pleno Hakim

Konstitusi”. Kemudian pada Pasal 10 PMK No. 2/2013 mengatakan, “Sekretariat dari Dewan Etik juga

ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah.” Keberadaan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi ini jelas

tidak bisa terlepas dari struktur dan tindakan dari Mahkamah Konstitusi khususnya Hakim Konstitusi.

Sehinga dapat sangat jelas bahwasannya Dewan Etik Hakim Konstitusi merupakan struktur yang

diklasifikasikan sebagai pengawas internal Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Pengawasan eksternal dari lembaga ini dinyatakan sudah tidak ada lagi terkait membahas

pengawasan untuk Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal

dari MK yang melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi telah dihilangkan melalui Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006. Berdasarkan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006,

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang untuk mengawasi hakim

konstitusi dengan alasan sebagai berikut24 :

1. Penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial di dalam Pasal 28B sebelum ketentuan

mengenai Mahkamah Konstitusi di dalam Pasal 29C UUD 1945 merupakan salah satu maksud

atau original intent dari para perumus ketentuan UUD 1945 bahwa perilaku hakim konstitusi

bukanlah objek dari pengawasan Komisi Yudisial.

2. Hakim Konstitusi merupakan seseorang yang diangkat sebagai hakim untuk menjabat selama 5

(lima) tahun, sehingga setelah hakim tersebut menyelesaikan masa jabatannya maka Ia dapat

kembali kepada profesinya sebelum menjadi hakim. Hal ini berbeda dengan hakim biasa yang

dari awal berprofesi tetap menjadi seorang hakim. Selain itu, Komisi Yudisial tidak terlibat di

dalam mekanisme pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur di dalam

UUD 1945.

3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat terganggu dan tidak imparsial dikarenakan perilaku

Hakim Konstitusi dapat menjadi objek pengawasan dari Komisi Yudisial, khususnya jika MK

harus memutus sengketa kewenangan antar KY dan lembaga negara lain.

24 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 23 Agustus 2006.

Page 15: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

14

Kabinet Gelora Pembebasan

Beberapa tahun setelah dikeluarkan Putusan MK tersebut, tepatnya pada tahun 2013, Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)

Nomor 01 Tahun 2013 yang memberikan dua kewenangan baru terhadap KY, yaitu membentuk panel

ahli untuk melakukan rekrutmen hakim MK dan memfasilitasi pembentukan Majelis Kehormatan MK.

PERPU tersebut dikeluarkan karena adanya kekosongan jabatan Hakim Konstitusi pasca terjadinya

Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan

Lebak. Kemudian, PERPU tersebut disahkan oleh DPR menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas

UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU25.

Tidak lama berselang setelah UU tersebut mulai berlaku, Forum Pengacara Konstitusi serta

sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember melakukan uji materiil terhadap UU tersebut.

Seluruh permohonan oleh para pemohon dikabulkan oleh MK melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-

XII/2014 dengan alasan sebagai berikut26 :

1. Pertimbangan dari panel ahli yang dibentuk oleh KY sangat menentukan penyeleksian para calon

hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan presiden.

2. Keterlibatan KY untuk membentuk panel ahli sebagai proses penyeleksian calon hakim konstitusi

dan untuk membentuk majelis kehormatan hakim konstitusi merupakan bentuk penyelundupan

hukum yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, karena di dalam Putusan

MK tersebut menyatakan bahwa hakim konstitusi bukanlah bagian dari objek pengawasan KY.

3. Ketentuan di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 merupakan ketentuan yang didasari oleh

stigma yang timbul dalam masyarakat yang memandang setiap anggota partai politik tidak layak

menjadi hakim konstitusi pasca terjadinya Operasi Tangkap Tangan (OTT) M. Akil Mochtar yang

berasal dari politisi/anggora DPR., sehingga ketentuan tersebut dapat mencedarai hak-hak

konstitusional warga negara untuk menjadi anggota partai politik sebagaimana diatur di dalam

UUD 1945.

25 Komisi Yudisial, “KY Tidak Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi”, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/850/ky-tidak-berwenang-mengawasi-hakim-konstitusi, diakses 20 November 2019 26 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perkara pegujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 13 Februari 2014.

Page 16: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

15

Kabinet Gelora Pembebasan

Dari pembahasan ini kita dapat melihat telah terjadi kembali kekosongan hukum dalam sistem

pengawasan terhadap para Hakim Konstitusi dari lembaga eksternal, padahal telah terjadi fakta

empiris penyalahgunaan kekuasaan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi akibat lemahnya pengawasan

terhadap Hakim Konstitusi. Misalnya pada kasus Operasi Tangkap Tangan terhadap Hakim Mahkamah

Konstitusi, Patrialis Akbar menimbulkan kesan bahwa betapa minimnya pengawasan di lembaga

tertinggi pengujian konstitusi ini. Sebelum Patrialis Akbar, beberapa tahun ke belakang, sang kakap,

yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mokhtar juga diciduk oleh KPK karena kasus

korupsi.27

Saat ini hakim konstitusi di Indonesia hanya diawasi oleh perangkat yang dibentuk oleh internal

mahkamah konstitusi. MK berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi no.2 tahun 2014 tentang

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi membentuk dua perangkat yang bertugas menjaga

kehormatan hakim konstitusi yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi. Dewan etik dibentuk untuk menjaga dan menegakan kehormatan dan kode etik hakim

agung terkait laporan atau dugaan pelanggaran oleh hakim terlapor atau terduga. Dewan etik bersifat

tetap. Dewan etik terdiri dari satu orang mantan hakim agung, satu orang gurung besar bidang hukum

dan satu orang tokoh masyarakat. Dewan etik bertugas untuk mengumpulkan,mengolah, dan menelaah

laporan atau informasi tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim konstitusi. Sedanglan

Majelis Kehormatan dibentuk berdasarkan usulan dari dewan etik jika terjadi dugaan pelanggaran

berat yang dilakukan oleh hakim terlapor.

Kelemahan daripada sistem ini sebenarnya pengawasan yang bersifat internal. Pertanyaan

selanjutnya adalah bagaimana pengawasan internal tersebut dapat mempengaruhi dari kinerja

pengawas internal. Sebagaimana kita tahu dalam pengawasan yang menggunakan mekanisme

pengawasan fungsional seperti Dewan Etik, dibutuhkan beberapa syarat agar kerjanya dapat maksimal.

Salah satu syaratnya adalah bagaimana lembaga pengawas tersebut dapat tidak terpengaruh oleh

lembaga yang diawasi. Melihat dari kedudukan Dewan Etik yang diatur dalam Peraturan MK,

keanggotaannya pun juga ditentukan dari seleksi oleh Hakim Konstitusi, bahkan pendaanaannya juga

berasal dari MK. Hal ini akan membuat Dewan Etik tidak imparsial, padahal dalam asasnya lembaga ini

harus imparsial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada akhirnya tidak ada lembaga pengawas yang

dapat mengawasi MK dengan baik.

27 Akbar Nugroho Gumay, “OTT Patrialis Akbar Bukti Lemahnya Pengawasan MK”, https://tirto.id/ott-patrialis-akbar-bukti-lemahnya-pengawasan-mk-chHP, diakses tanggal 21 November 2019

Page 17: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

16

Kabinet Gelora Pembebasan

Solusi Pengawasan Hakim Konstitusi

Jika kita tinjau dari Mahkamah konstitusi Korea Selatan yang mempunyai banyak kesamaan

dengan MK Indonesia. Hakim konstitusi korea berdasarkan pasal 6 UU Mahkamah Konstitusi Korean

selatan diangkat oleh presiden, tiga hakim dipilih oleh Majelis Nasional, tiga hakim dinominasikan oleh

ketua MA. Setiap calon hakim yang diajukan oleh presiden dan Ketua mahakamah konstitusi harus

melalui confirmation hearing yang dilakukan oleh Majelis Nasional. Pengakatan Ketua MK Korea

Selatan dilakukan oleh Presiden dengan persetujan Majelis Nasional. Melihat banyaknya campur tangan

Majelis Nasional secara tersirat Mahkamah Konstitusi Korea Selatan diawasi oleh Majelis Nasional, ini

adalah bentuk check and balance antar kekuasaan , tetapi berdasarkan pasal 113 konstitusi Korea

Selatan, Mahkamah Konstitusi diperbolehkan membuat aturan tentang disiplin internal. Hubungan

dalam sistem pengawasan terhadap lebaga yuidisial di Kore Selatan ini sendiri secara tidak langsung

juga terjadi pada sistem check and balance di Amerika Serikat. Hal ini berkaitan dengan Badan

legislative di Amerika serikat dapat memberhentikan hakim dan dapat menentukan jumlah hakim

agung dalam Mahkamah Agung.

Maka dari itu sebenarnya, ada beberapa pilihan untuk pengawasan Hakim Konstitusi bisa

dengan merombak hubungan antara legislative dan yudikatif, status quo legislative tidak bisa

memberhentikan Hakim Agung ataupun Hakim Konstitusi, bisa dirubah dengan legislative memiliki hak

untuk memberhentikan Hakim konstitusi. Cara yang lain yang bisa dipilih adalah mengembalikan

kekuasaan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi.

Cara pertama dengan merekonstruksi hubungan antara MK dengan lembaga legislatif seperti

DPR sebenarnya adalah hal yang sulit dan riskan. Sebagaimana kita tahu MK sebagai suatu lembaga

peradilan dituntut untuk dapat independen dan imparsial dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya. Campur tangan yang besar dari DPR dapat mengganggu MK dalam melakukan tuas dan

wewenangnya secara independen dan imparsial. Terlebih sebagaimana kita tahu ada beberapa

kewenangan seperti judicial review UU, pembubaran partia politik, sengketa kewenangan lembaga

negara, dan sengeketa hasil pemilihan umum dimana semuanya berkaitan dengan DPR. Hal ini juga

akan menimbulkan ketimpangan dimana DPR mendapatkan kewenangan yang terlau besar dalam

konsep check and balances Indonesia dimana DPR dapat memilih anggota Hakim Konstitusi dan

bewenang untuk mengawasinya. Padahal Presiden dan MA sendiri tidak dapat kewenangan serupa.

Hal yang paling memungkinkan adalah memberikan kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk

mengawasi Hakim Konstitusi. Komisi Yudisial sendiri merupakan salah satu lembaga yang independen

dari ketiga cabang kekuasaan. Selain itu, Komisi Yudisal sekarang telah memiliki sistem internal,

sumber daya manusia, dan segala hal yang dibutuhkan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim,

Page 18: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

17

Kabinet Gelora Pembebasan

begitu pula dengan hakim konstitusi. Selain itu sistem pemberian sanksi dan pencopotan hakim yang

dibangun untuk mengawasi perilaku hakim dibawah MA oleh Komisi Yudisial dan MA bisa dijadikan

acuan bagaimana membentuk pengawasan hakim yang baik.

Sebenarnya sampai sekarang yang membatasi Komisi Yudisial sehingga tidak bisa mengawasi

MK hanyalah Pasal 24B ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Disitu disebutkan hanya “hakim”

saja, tanpa dijelaskan apakah Hakim Konsitusi menjadi bagian daripada “hakim” tersebut. Sehingga

pada putusannya MK menafsirkan sesuai dengan original intent “hakim” tersebut tidak melingkupi

Hakim Konstitusi. Perkara dimana MK menganggap pengawasan KY dapat membuat MK tidak inpenden

dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara (dimana KY salah satunya) sebenarnya tidak

terlalu bermasalah. Hal ini dapat ditanggulangi dari sistem pengawasan nanti yang akan dibangun.

Serta yang perlu digarisbawahi adalah pengawasan terhadap hakim hanyalah pengawasan terakit etika

dan perilakunya, sehingga seharusnya tidak mempengaruhi putusannya.

Sehingga pada akhirnya kami menawarkan untuk menambahkan frasa dalam Pasal 24B ayat (1)

UUD 1945 Negara Republik Indonesia 1945, hingga menjadi sebagai berikut :

“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mengakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim temasuk hakim konstitusi.”

Page 19: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

18

Kabinet Gelora Pembebasan

Daftar Pustaka

Komisi Yudisial, “KY Tidak Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi”, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/850/ky-tidak-berwenang-mengawasi-hakim-konstitusi,

Marzuki, Suparman, 2013, “Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman” Bunga Rampai Komisi Yudisial, Komisi Yudisial, Jakarta.

Nugroho Gumay, Akbar, “OTT Patrialis Akbar Bukti Lemahnya Pengawasan MK”, https://tirto.id/ott-

patrialis akbar-bukti-lemahnya-pengawasan-mk-chHP

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perkara pegujian Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 13 Februari 2014.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 23 Agustus 2006.

Page 20: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

19

Kabinet Gelora Pembebasan

GBHN ATAU SPPN? : SEBUAH PERBANDINGAN

PERENCANAAN NASIONAL UNTUK INDONESIA YANG IDEAL

Latar Belakang

Dasar historis dari munculnya GBHN tidak lepas dari pengaruh penjajahan Belanda. Secara

spesifik dimulai dari peristiwa politik etis abad 19 akhir dan abad ke-20 awal yang ditandai dengan

dimulainya pemenuhan kebutuhan pribumi di bidang pendidikan, pengairan, dan imigrasi. Ini adalah

salah satu bentuk kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda yang

diselenggarakan secara bertahap. Kebijakan ini memang masih menimbulkan kontroversi di mana

terdapat fungsi laten dari kebijakan politik etis seperti memudahkan para pribumi untuk menjual

tanahnya lewat hak ulayat dan hak eigendom kepada kalangan kolonial. Selain itu juga kebijakan

‘pembangunan’ bertahap ini juga secara laten menimbulkan suatu tujuan untuk menghasilkan buruh

yang kompeten namun murah.

Di saat kemerdekaan, munculnya berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang

berkelanjutan seperti Pembentukan Badan Perancang Ekonomi (Planning board) oleh Adnan Kapau

Gani dan Kasimo Plan. Planning Board adalah suatu badan perencanaan pembangunan ekonomi untuk

jangka waktu 2 hingga 3 tahun, sedangkan Kasimo Plan adalah suatu rencana pembangunan untuk

mencapai swasembada pangan, Namun perlu disayangkan pada awal masa kemerdekaan, perencanaan

pembangunan di Indonesia tidak berjalan secara efektif dikarenakan alasan utama, yakni instabilitas

politik yang ditandai dengan masifnya pemberontakan yang terstruktur dan sistematis, serta

rendahnya investasi yang masuk di Indonesia yang ditandai dengan maraknya kebijakan nasionalisasi

perusahaan dan bank Belanda yang pada akhirnya menimbulkan tingkatan investasi yang sangat

rendah.

Kembali ke konteks perencanaan pembangunan, kedua hal ini adalah awal mulanya

perencanaan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah yang pada akhirnya

bertransformasi menjadi GBHN atas dasar pasal 3 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang dilakukan

setelah munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959. Sebagai badan hukum yang merepresentasi fungsi

GBHN, dibentuklah suatu badan bernama Dewan Perancang Nasional (Dapernas) yang kini beralih

dengan nama lain, yakni bernama Bappenas, yakni Badan Pembangunan Nasional. Dapernas pada

Oleh : Hamzah, Tariq, dan Danastri

Page 21: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

20

Kabinet Gelora Pembebasan

awalnya melakukan rencana pembangunan nasional semesta 8 tahun dari tahun 1961 – 1969. Rencana

ini ditetapkan oleh MPRS yang sebelumnya telah dibuat sebagai Garis Besar Haluan Negara. Rencana

pembangunan pada saat itu sarat dengan konteks kondisi yang tengah terjadi seperti maraknya upaya

land reform sebagai salah satu landasan pembangunan di mana rancangan pembangunan dengan tegas

menolak adanya suatu penghisapan dan eksploitasi petani, nelayan, dan buruh dengan dalih

memberantas feodalisme dan kolonialisme sebagai negara yang baru merdeka dan terindikasi masih

dalam status setengah jajahan dan setengah feodal.

Pembangunan nasional adalah upaya yang diakasanakan oleh semua komponen bangsa dalam

rangka mencapai tujuan bernegara. Tujuan dari sistem Pembangunan nasional ini adalah untuk

mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan, menjamin integrasi, sinkronisasi, dan sinergi

antara fungsi-fungsi pemerintahan, menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan menjamin

tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan Untuk

mewujudkannya maka bangsa Indonesia harus mempunyai suatu dokumen pedoman untuk apa yang

ingin bangsa ini raih untuk kedepannya yang memuat rencana pembangunan. Rencana Pembangunan

ini mempunyai perbedaan pada masa sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945.

Selanjutnya setelah kejatuhan Soekarno, muncullah rezim orde baru. Dalam rezim inilah

Bappenas melakukan berbagai rencana pembangunan jangka lima tahun atau sering disebut sebagai

Repelita yang berfokus dalam membangun Indonesia dari bidang agraria hingga menjadi negara

industri. Repelita ini merupakan suatu penjabaran dari GBHN. Repelita dapat dikatakan sebagai acuan

pembangunan pemerintah sekaligus juga menjadi bahan pertimbangan kinerja pemerintah presiden

sebagai mandataris MPR. Presiden melakukan pidato tahunan sebagai bentuk pelaporan tanggung

jawab kinerja pemerintahnya dalam satu tahun terakhir (Bratakusumah, 2003). Repelita ini dibangun

secara terus menerus hingga akhir rezim Soeharto.

Hingga pada akhirnya runtuhnya rezim Soeharto dan munculnya reformasi yang menjadi era

baru bagi proyek pembangunan nasional Indonesia. Setelah amandemen, GBHN dihapuskan dan

munculnya UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang

tidak jauh berbeda dengan GBHN dari segi tujuannya. Munculnya SPPN pasca-amandemen UUD 1945

dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan arah pembangunan yang sebelumnya dilaksanakan melalui

GBHN. 28

28 Christina Clarissa Intania dkk., “Academic Constitutional Drafting : Rancangan Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” Rancangan Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Page 22: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

21

Kabinet Gelora Pembebasan

Permasalahan Sistem Perencanaan Sekarang

Permasalahan utama dalam hal pembangunan nasional saat ini adalah ketidakberlanjutan dan

ketidakharmonisasi antara pusat dan daerah. Beberapa pihak menggulirkan wacana perlunya

pengadaan kembali GBHN disatu sisi dan penguatan model Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional (SPPN) saat ini. Pada kajian ini akan dibahas kedua wacana tersebut. Pertama terkait wacana

pengadaan kembali GBHN, seperti diketahui paska amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) sudah tidak berwenang membuat GBHN. Dahulu kewenangan MPR membuat GBHN berasal dari

pasal 3 UUD 1945 “Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapakan Undang-Undang Dasar dan Garis-

Garis Besar Daripada Haluan Negara”. Sehingga anggapan bahwa GBHN merupakan produk orde baru

adalah hal yang keliru karena GBHN sejatinya berasal dari Undang-Undang Dasar itu sendiri. Hilangnya

kewenangan membuat GBHN itu sendiri menjadi konsekuensi logis dari kedudukan MPR tidak lagi

sebagai lembaga tertinggi negara. Pengadaan kembali GBHN didasarkan pada isu bahwa saat ini

perencanaan pembangunan tidak berlanjut dan terkesan executive sentris. Executive sentris tersebut

membuat SPPN tidak dapat menangui kekuasaan kehakiman, legislatif, serta lembaga negara non

struktural lainnya. Menjadi permasalahan utama dalam hal pengadaan GBHN pada saat ini adalah

terbentur dengan sistem pemerintahan Indonesia, yaitu sistem presidensiil.

Salah satu kesepakatan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945 adalah mempertegas sistem presidensiil.29 Dalam sistem presidensiil menurut Giovani Sartori

salah satu cirinya adalah masa jabatan yang tetap dan tidak bisa dijatuhkan dengan alasan politis

parlemen atau dengan mosi tidak percaya.30 Sehingga apabila melihat praktek pelaksanaan GBHN

dahulu bahwa Presiden karena kedudukannya subordinat MPR, ia bisa dijatuhkan apabila dinilai gagal

dalam hal menjalankan amanat GBHN itu sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ciri utama sistem

presidensiil itu sendiri yang membedakan dengan sistem parlementer dimana kepala pemerintahan bisa

dijatuhkan dengan alasan politis.

Paska dihilangkannya GBHN, perencanaan pembangunan nasional mengacu pada Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dituangkan dalam Undang-Undang nomor 25 tahun

2004. Menurut ketentuan pasal 3 ayat 3 Undang-Undang a quo hasil SPPN itu dituangkan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Dengan demikian anggapan bahwa kekacauan dan

29 Jenedri M Gaffar, 2009, Mempertegas Sistem Presidensiil, https://mkri.id/index.php?page=download.Artikel&id=4 Diakses pada 25 November 2019 30 Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering (1997) hal. 84

Page 23: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

22

Kabinet Gelora Pembebasan

ketiadaan panduan dalam pembangunan di Indonesia sebenarnya sudah dijawab dengan adanya RPJPN

sebagai pengganti GBHN. Namun demikian harus diakui bahwa pelaksanaan RPJPN yang menjadi dasar

RPJMN dan RKP serta menjadi acuan daerah tidak seefektif pelaksanaan GBHN.31 Permasalahan ini

disebabkan karena sifat perencanaan yang cenderung executive heavy. Sistem perencanaan tersebut

mempuat penegakkan dan pelaksanaannya tergantung compliance daripada presiden dan eksekutif

secara keseluruhan.

Terkait keberlanjutan pembangunan sebenarnya bisa terselesaikan apabila visi misi Presiden

disesuaikan dengan RPJPN nasional karena hal ini juga sebenarnya telah diatur dalam ketentuan pasal

4 undang-undang a quo yang menyatakan bahwa:

“RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya

berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum,

program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas

kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara

menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi

dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. “

Kemudian terkait ketidakharmonisan pembangunan di pusat dan daerah juga pada Undang-Undang a

quo sudah memberikan penyelesaian bahwa segala produk perencanaan pembangunan daerah harus

sesuai dengan nasional. Apabila hal ini benar-benar diterapkan tentunya permasalahan ini bisa

terselesaikan.

Setelah perubahan UUD 1945, proses Pembangunan dalam pencapaian tujuan negara atau yang

disebut dengan kebijakan negara tidak lagi menggunakan GBHN. Hal ini dihapus dari kewenangan MPR

pada masa Perubahan Ketiga UUD 1945. Saat ini perencanaan pembangunan nasional tersebut terbagi

menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) untuk periode 20 tahun , Rencana

Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) untuk periode 5 tahun, dan yang terakhir adalah Rencana

Pembangunan Tahunan Nasional yang disebut juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk periode 1

tahun. Landasan Perencanaan pembangunan pasca amandemen UUD 1945 ini adalah Undang-Undang

Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)32. Inilah sistem

yang diharapkan bisa membuat keterpaduan, keberlanjutan, dan keharmonisan pembangunan nasional

untuk mencapai tujuan nasional.

31 Imam Subhkan, 2014, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal DPR RI Vol. 5 No. 2. 32 Tohadi, “ Memperkuat Legalitas Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN): Reformulasi Penyusunan RPJP Nasional dan RPJM Nasional atau Revitalisasi GBHN ?”

Page 24: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

23

Kabinet Gelora Pembebasan

Berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 2004, perencanaan pembangunan terdiri dari

empat tahapan yaitu penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, dan

evaluasi rencana33. Perencanaan-perencanaan ini diatur secara sitematis dan rinci. RPJPN merupakan

dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya

pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 ke dalam bentuk visi,

misi, dan arah pembangunan Nasional. RPJPN ini menjadi pedoman bagi RPJMN. RPJMN memuat

strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementrian/Lembaga dan lintas

Kementrian/Lembaga kewilayahana dan lintas kewilayahan , serta kerangka ekonomi makro yang

mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan. Sesuai ketentuan

pasal 14 Undang-Undang a quo RPJMN dibuat oleh Menteri berdasarkan Musrenbang kemudian dibuat

rancangan awal sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke dalam strategi

pembangunan Nasional, kebijakan umum, program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro

yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuka arah kebijakan fiskal.

Dokumen landasan perencanaan pembangunan nasional pasca amandemen UUD 1945 tidak

memiliki perbedaan jauh dengan dokumen GBHN. Dokumen GBHN dikeluarkan melalui TAP MPR. TAP

MRP menjadi formulasi GBHN yang mana pada masa itu sebagai Keputusan Negara yang merupakan

peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat

dan mempunyai sifat abstrak serta mengikat secara umum.34 Sifat keberlakuannya adalah bukan

einmalig melainkan tetap berlaku sesuai dengan ketentuannya. Hal yang berbeda dengan pola

pembangunan nasional setelah amandemen UUD 1945 yang diformulasi dalam Undang-undang nomor

25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) yang mana hal ini dibuat oleh

lembaga legislatif berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan pembentukan UU SPPN, dianggap

tidak dapat menjamin sinergisitas pembangunan antara pusat dan daerah. Hal ini disebabkan karena

tidak adanya kejelasan arah sehingga program pembangunan dapat ditafsirkan secara bebas oleh

kepala-kepala daerah.35 Padahal berdasarkan ketentuan pasal 5 Undang-Undang a quo bahwa RPJPD,

RPJMD, hingga RKPD harus berpedoman pada rencana nasional.

33 Anggraini, Yessi, dkk. “Perbandingan perencanaan pembangunan nasional sebelum dan sesudah amandemen undang-undang dasar 1945 “ Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret 2015. 34 ibid 35 Chusnul Mariyah, GBHN dan Urgensinya di Masa Depan, pada http://www.mpr.go.id/berita/read/2013/10/03/12708/sosialisasi-4-pilar-di-kampus-kuning 03/12/2013 12: 02.

Page 25: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

24

Kabinet Gelora Pembebasan

GBHN atau SPPN?

Baik itu UU No 25 Tahun 2004 tentang SPPN dengan GBHN mempunyai masing-masing

kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari SPPN tersebut yaitu yang pertama, mempunyai acuan yang

jelas dalam pembangunan nasional dan yang kedua adalah dengan sistem ini sesuai dengan sistem

presidensil berbeda dengan GBHN dimana presiden ditempatkan sebagai subordinat MPR.. Ketiga,

dalam proses pembuatan atau penyusunan dilakukan dengan penyiapan rancangan, musyawarah

untuk perencanaan pembangunan, penyusunan akhir rencana pembangunan, dan terdapat evaluasi

dalam pembangunan. Keempat, sebagai tuntutan reformasi maka pembangunan acuan yang terdapat

dalam UU No 25 Tahun 2004 mengatur secara garis besar, luas, dan umum. Hal tersebut agar

memberikan kemudahan dan memberikan perkembangan pembangunan lebih fleksibel.

Selain kelebihan-kelebihan yang sudah dipaparkan di atas, adapun kekurangan dari SPPN

terlihat dalam praktik dan implementasinya. Dalam hal pembangunan daerah juga memiliki masalah.

Acuan pembangunan daerah didasari pada SPPN, untuk rencana jangka panjang daerah mengacu pada

peraturan daerah tertentu, untuk rencana menengah daerah mengacu pada peraturan kepala daerah,

dan untuk rencana pendek atau pembangunan tahunan mengacu pada peraturan daerah. Kedua,

meskipun pengaturan perencanaan pembangunan mengacu pada UU SPPN, namun dalam UU tentang

pemerintahan daerah juga mengatur tentang perencanaan pembangunan, sehingga tidak jarang hal

tersebut menjadi permasalah dalam pembangunan yang ada di daerah. Ketiga, meskipun dalam

pembangunan nasional yang mengacu pada UU No. 25 Tahun 2004 terdapat pembangunan prioritas,

namun yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Hal tersebut dapat dipahami

karena dalam UU tentang pemilu presiden dan kepala daerah, setiap pasangan calon harus memiliki

visi dan misi. Visi dan misi ini yang akan mereka wujudkan nantinya apabila terpilih menjadi presiden

namun adanya keterbatasan masa jabatan sebagai presiden maksimal dua periode atau selama sepuluh

tahun, setelahnya ia tidak dapat meneruskan pembangunan dan diganti dengan calon berikutnya.

Apabila calon berikutnya tidak memiliki visi, dan misi yang sama dengan presiden atau kepala daerah

sebelumnya, maka perencanaan pembangunan tidak dapat berjalan secara kontinuitas. Sebagai contoh

RPJMN presiden SBY yang dianggap menghambat program Nawacita Jokowi36. Keempat, sesuai dengan

pendapat Saldi Isra dinamika pembangunan sekarang berbeda, presiden telah merancang

pembangunan sedemikian baiknya, namun ketika diserahkan ke DPR belum tentu rancangan tersebut

36Syafiul, Hadi.” RPJMN Era SBY Dinilai Hambat Nawacita Jokowi, Ini Kata Demokrat,” Nasional Tempo, https://nasional.tempo.co/read/1113959/rpjmn-era-sby-dinilai-hambat-nawacita-jokowi-ini-kata-demokrat/full&view=ok, diakses 27 November 2019

Page 26: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

25

Kabinet Gelora Pembebasan

disetujui oleh DPR37. Dalam hal ini perbedaan pandangan partai politik berpengaruh dalam hal

pengambilan kebijakan untuk pembangunan ini . Belum tentu apa yang dicita-citakan oleh presiden

diterima seluruhnya oleh DPR yang kental pengaruh partai politiknya38. Kelima, Tidak efektifnya

mekanisme kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan RPJPN dan/atau RPJMN. Mekanisme yang dapat

dilakukan masyarakat hanya melalui pemilihan umum dimana masyarakat diberikan hak untuk menilai

efektifitas kinerja kerja presiden dalam melaksanakan RPJPN dan/atau RPJMN dengan cara memilih

kembali Presiden yang bersangkutan jika dirasa efektif dan hal ini bukanlah pengawasan yang ideal.

Oleh sebab itu dibutuhkan mekanisme kontrol yang menjaga RPJPN ataupun RPJMN berjalan efektif39

Untuk mengatasi permasalahan pembangunan disini beberapa solusi dapat ditawarkan. Pertama,

apabila ingin menghidupkan kembali GBHN perlu adanya penyesuaian dengan sistem presidensiil yang

saat ini dianut. Dalam hal ini terkait mekanisme pertanggungjawaban apabila tidak melaksanakan atau

tidak patuh terhadap GBHN maupun turunan jangka menengahnya Mekanisme yang dapat diambil

adalah Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR melainkan kepada rakyat secara langsung.

Dimana langkah yang dapat ditempuh dengan cara meningkatkan efektifitas Sidang Tahunan. Seperti

diketahui saat ini, berdasarkan konvensi ketatanegaraan pada tanggal 16 Agustus setiap tahunnya selalu

menyelenggarakan sidang tahunan. Pada sidang tahunan inilah masing-masing lembaga negara dapat

menyampaikan kinerja lembaganya selama satu tahun. Disini kinerja masing-masing lembaga negara

akan dicocokkan dengan GBHN atau turunannya. Untuk penyesuaian dengan sistem presidensiil, tidak

ada pertanggungjawaban langsung kepada MPR melainkan pada sidang ini bisa mendatangkan para ahli

yang independen untuk mengkonstantir dan mencocokkan kinerja lembaga negara ini dengan GBHN

ataupun turunannya. Hasil kajian dari tim ahli ini nantinya akan dirangkum secara komprehensif yang

kemudian akan disebarluaskan kepada publik. Hasil akhir yang bisa dicapai dari hal ini adalah publik

bisa menilai terkait kinerja masing-masing lembaga negara dan bisa memberikan penilaian bahkan lebih

jauh menjatuhkan sanksi melalui pemilu. Disinilah titik bahwa GBHN dapat sesuai dengan sistem

presidensiil yang ada.

Jika GBHN tidak dimunculkan lagi dalam UUD 1945, maka tantangan berikutnya adalah

bagaimana seharusnya SPPN dapat diterapkan dengan baik. Maka dari itu, penulis memberikan saran

untuk memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan daripada SPPN. Seperti yang kita tahu DPR tugas

37 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif, Menguatnya Model Legislatif Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. 38 Moh. Hudi, S.H., 2018, Perencanaan Pembangunan Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil (Studi Perbandingan Antara Model Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), Tesis Universitas Islam Indonesia. 39 Nugraha, Harry S.,”Urgensi Garis Besar Haluan Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” VeJ Volume 5, Nomor 1, hlm. 191-217

Page 27: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

26

Kabinet Gelora Pembebasan

untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksaanan Undang-Undang.40 Selain itu, RPJPN merupakan

produk hukum yang dibuat oleh DPR dan Presiden, hal dibuktikan dari RPJPN yang diatur dalam

Undang-Undang. Sehingga seharusnya hal yang perlu ditingkatkan disini adalah pengawasan oleh DPR

terhadap SPPN. Dengan melakukan pengawasan terhadap SPPN, hal ini akan menjamin terlaksananya

SPPN oleh pemerintah dengan baik.

40 Pasal 72 huruf d Undang-Undang 17 Tahun 2014 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Page 28: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

27

Kabinet Gelora Pembebasan

Daftar Pustaka

Anggraini, Yessi, dkk. “Perbandingan perencanaan pembangunan nasional sebelum dan sesudah

amandemen undang-undang dasar 1945 “ Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1,

Januari-Maret 2015.

Christina Clarissa Intania dkk., “Academic Constitutional Drafting : Rancangan Perubahan Kelima

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” Rancangan Perubahan Kelima

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Harry S., Nugraha, ”Urgensi Garis Besar Haluan Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” VeJ

Volume 5, Nomor 1, hlm. 191-217.

Hudi, S.H., Moh. , 2018, Perencanaan Pembangunan Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil

(Studi Perbandingan Antara Model Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional), Tesis Universitas Islam Indonesia.

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislatif, Menguatnya Model Legislatif Parlementer dalam Sistem

Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.

M Gaffar, Enedri, 2009, Mempertegas Sistem Presidensiil,

https://mkri.id/index.php?page=download.Artikel&id=4 Diakses pada 25 November 2019.

Mariyah, Chusnul, GBHN dan Urgensinya di Masa Depan, pada

http://www.mpr.go.id/berita/read/2013/10/03/12708/sosialisasi-4-pilar-di-kampus-kuning

03/12/2013 12: 02.

Sartori, Giovanni, Comparative Constitutional Engineering (1997) hal. 84

Subhkan, Imam, 2014, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal DPR RI

Vol. 5 No. 2.

Syafiul, Hadi.” RPJMN Era SBY Dinilai Hambat Nawacita Jokowi, Ini Kata Demokrat,” Nasional Tempo,

https://nasional.tempo.co/read/1113959/rpjmn-era-sby-dinilai-hambat-nawacita-jokowi-ini-

kata-demokrat/full&view=ok, diakses 27 November 2019.

Tohadi, “ Memperkuat Legalitas Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN): Reformulasi

Penyusunan RPJP Nasional dan RPJM Nasional atau Revitalisasi GBHN ?”

Page 29: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

28

Kabinet Gelora Pembebasan

Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UUD Negara Republik Indonesia 1945

Page 30: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

29

Kabinet Gelora Pembebasan

MENIMBANG EFEKTIFITAS WACANA PERUBAHAN

MASA JABATAN PRESIDEN

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidesial, menurut Rod Hague terdapat 3

unsur sistem pemerintahan presidensial dimana tidak adanya tumpang tindih antara eksekutif dan

legislatif dalam sistem pemerintahan tersebut41. Indonesia sendiri memiliki sejarah yang menarik

terkait sejarah kepresidenan dimana dapat dilihat Indonesia terbagi dalam 3 periode yaiu orde lama,

orde baru, dan reformasi. Pada masa-masa tersebut juga Indonesia memiliki sejarah unik terkait masa

jabatan Presidennya. Indonesia memiliki sejarah yang panjang juga terkait dengan wacana masa

jabatan presiden. Pada saat Presiden Soekarno menjabat, seperti yang ditetapkan pada Tap MPRS No.

III/MPRS/1963 menjelaskan bahwa Tap MPRS tersebut mengangkat Presiden Soekarno sebagai

Presiden Indonesia seumur hidup. Tap MPRS tersebut dilempar pada sidang umum kedua MPRS yang

berlangsung pada tahun 1963 di Bandung. Yang melatar belakangi munculnya Tap MPRS tersebut

menurut AM Hanafie adalah dukungan dari tokoh-tokoh 45 termasuk AM Hanafie sendiri. Motif dibalik

terbentuknya Tap MPRS tersebut adalah untuk antisipasi pihak-pihak seperti TNI dan juga PKI yang

berambisi untuk melengserkan kursi presiden.42

Setelah tahun 1968 Soekaarno lengser, Tap MPRS No. III/MPRS/1963 sudah tidak berlaku dan

sudah kembali kepada UUD 1945, jabatan presiden digantikan oleh Presiden Soeharto. Pada masa

Presiden Soeharto menjabat, pasal yang mengatur tentang masa jabatan presiden adalah pasal 7 UUD

1945 sebelum amandemen. Pasal tersebut mengatur bahwa masa menjabat presiden adalah selama 5

tahun dan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya dengan catatan tidak ada pembatasan dalam

periode menjabat.43 Hal ini disebabkan isi dalam pasal tersebut yang tidak mengatur maksimal periode

menjabat presiden, maka Presiden Soeharto-pun berkuasa di kursi presiden Indonesia selama 32

tahun. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen bukanlah satu-satunya hal yang mendorong Presiden

Soeharto dapat menjabat Presiden Indonesia dalam kurun waktu selama itu, tetapi ada faktor lain.

Faktor lain yang cukup krusial dalam melatar belakangi hal tersebut adalah karena individu yang

41 Arief Maulana, 2014, “Indonesia Menganut Sistem Presidensial, Kekuasaan Presiden Justru Seperti Dipreteli” , http://www.unpad.ac.id/2014/12/indonesia-menganut-sistem-presidensial-kekuasaan-presiden-justru-seperti-dipreteli/, diakses pada 26 November 2019 42Timur Subangun, 2019,” Asal Usul Gelar “Presiden Seumur Hidup” Sukarno Dan Motif Politiknya”, http://www.berdikarionline.com/bung-karno-bukan-diktator/, diakses pada 27 November 2019

Oleh : Havik Indradi, Kevin Atthila, & Imola

Page 31: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

30

Kabinet Gelora Pembebasan

menduduki MPR mayoritas merupakan golongan yang mendukung Soeharto. Kondisi tersebut

membuat Soeharto dapat menang dengan mudah setiap pemilihan presiden yang dilewatinya. Pada

tahun 1998, rakyat mulai resah dan merasa ada yang tidak beres pada kepemimpinan Presiden

Soeharto. Rakyat merasa sangat resah dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang berhasil menduduki

kursi kepresidenan selama 32 tahun. Keresahan rakyat tersebut memuncak, maka pada tahun 1998

terdapat aksi yang sangat besar dengan tuntutan menurunkan Presiden Soeharto dan meraih

reformasi. Pada akhirnya pada tahun 1998 juga Presiden Soeharto turun dan digantikan oleh wakilnya

yaitu B.J.Habibie.

Wacana amandemen UUD 1945 yang kelima berusaha memangkas kembali masa jabatan

presiden yang sebelumnya dapat menjabat 2 periode, dengan masing masing periodenya 5 tahun,

menjadi satu periode saja namun menjadi 7 tahun. Hal ini tentu dilatarbelakangi hal serupa yakni

mengurangi risiko kesewewenang-wenagan presiden. Refly Harun, pakar hukum tata negara,

menyampaikan argumen serupa yakni pada intinya bermaksud agar presiden tidak menaruh fokus

pada perpolitikan di tahun keduanya menjabat44. Berdasar poin amandemen yang ini kita bisa menilik

negara tetangga yang telah menerapkan masa kepresidenan hanya satu periode yakni Filipina.

Filipina mengalami masa ‘orde baru’nya dengan tonggak kepemimpinan negara oleh Ferdinand

Marcos. Hal hal serupa pada masa orba seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Terjadi

pergolakan pergantian presiden pula dimana saat itu kandidat kuat yang diamanatkan rakyat yakni

Aquino ditembak mati saat turun dari pesawat setelah kembali dari Amerika Serikat45. Hal ini memicu

amarah rakyat pada saat itu. Filipina, setelah Marcos menghilang, mencoba melakukan suatu terobosan

salah satunya ialah terobosan yang serupa yakni dikeluarkannya Konstitusi Filipina Tahun 1987. Kini

Filipina memiliki aturan dalam masa jabatan Presiden yakni hanya satu kali dengan masa jabatan

selama enam tahun. Hal ini dianggap telah menjadi suatu terobosan permasalahan kesewenang-

wenangan pemimpin. Kebijakan ini juga membawa dampak terhadap konstelasi politik yang ada di

negara tersebut. Partisipasi partai politik terbukti lebih menguat dengan semakin banyaknya partai

politik yang berkontestasi dalam pemilihan46.

Setelah presiden Soeharto turun dan rakyat berhasil meraih reformasi yang mereka inginkan,

maka UUD 1945 pun mengalami amandemen dan salah satu pasal yang berubah adalah pasal 7 dalam

44 I Made Asdhiana, et al, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/23/053300665/perubahan-masa-jabatan-presiden-ini-5-usulan-sejak-periode-soekarno?page=all, diakses pada 25 November 2019. 45 Akhmad Muawal, https://tirto.id/tumbangnya-ferdinand-marcos-soeharto-dari-filipina-cFcq?source=Line&medium=Share, diakses pada 26 November 2019. 46 Jungug Choi, “Philppines Democracies Old and New. Elections, Term Limits, and Party Systems”, Asian Survey, Volume 41, No. 3, May/June 2001.

Page 32: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

31

Kabinet Gelora Pembebasan

UUD 1945. Pada saat ini sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden

menjabat 5 tahun dalam 1 periode dan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya dengan catatan

presiden dan wakil presiden tersebut hanya dapat menjabat selama 2 periode. Belakangan ini sedang

hangat muncul wacana terkait dengan penambahan masa jabatan Presiden menjadi maksimal 1 periode

dengan masa jabatan maksimal 7 tahun atau 8 tahun. Hal ini sangat menarik untuk ditelusuri karena

Indonesia sudah terbukti memiliki sejarah menarik tentang perubahan masa jabatan presiden. Dalam

masa yang cenderung demokratis seperti sekarang, seperti apakah wacana tersebut dapat berkembang.

Dimana jika dilihat kondisi pemerintahan sekarang dengan masa jabatan yang diatur sudah cukup baik

dalam menjalakan kepemimpinan presiden. Sehingga, wacana yang muncul tersebut akankah lebih

memaksimalkan pekerjaan presiden atau semakin memperburuk kondisi sehingga akan menimbulkan

wacana baru lagi.

Sebagaimana dipahami, Pasal 7 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden

memegang masa jabatan selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya

untuk satu kali masa jabatan”. Frasa tersebut merupakan produk dari Rapat Paripurna Sidang Umum

MPR pada 19 Oktober 1999 dalam rangka amandemen pertama naskah UUD 1945. Naskah awal UUD

1945 sebelum amandemen berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa

lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Tidak dapat dipungkiri, norma tersebut membuka

peluang bagi para Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat sebelum adanya amandemen UUD

tersebut untuk menjabat lebih dari dua kali. Lahirnya amandemen ini tidak dapat dinafikan merupakan

salah satu dari tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan yang diserukan pada tahun 1998,

yang akhirnya mengakhiri rezim Orde Baru Soeharto yang telah menjabat selama kurang lebih 32

tahun.

Dari Pasal 7 UUD NRI 1945 hasil amandemen diatas, kita dapat mencermati adanya semangat

untuk memberi pembatasan terhadap potensi kesewenang-wenangan Presiden atau Wakil Pesiden

dalam memegang kekuasaan atas pemerintahan negara Indonesia. Pun dengan demikian, pembatasan

masa jabatan ini juga menegaskan pendapat Giovanni Sartori mengenai ciri sistem presidensial. Sartori

mengungkapkan tiga ciri dari sistem presidensial, yakni (1) Presiden dipilih langsung oleh rakayat

untuk masa jabatan tertentu; (2) Dalam masa jabatannya Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh

parlemen; (3) Presiden memimpin langsung pemerintahan yang dibentuknya47. Hal ini sejalan dengan

semangat amandemen UUD 1945 untuk menguatkan sistem presidensial di Indonesia.

47 A. Rasyid Al Atok, “Penguatan Kedudukan dan Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Perubahan UUD 1945”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 24, No. 1, Februari 2011.

Page 33: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

32

Kabinet Gelora Pembebasan

Wacana amandemen UUD NRI 1945 untuk kelima kalinya memantik isu diubahnya kembali

masa jabatan Presiden dari status quo dengan beberapa alternatif periode. Pakar Hukum Tata Negara

Refly Harun mengutarakan pendapatnya mengenai perubahan masa jabatan Presiden RI. Sebagaimana

dibahas sebelumnya, Refly mengusulkan agar masa jabatan Presiden diubah menjadi satu periode saja

dengan jangka waktu enam sampai tujuh tahun, atau lebih dari satu periode namun tidak dijabat secara

berturut-turut48. Hal ini akan mengurangi potensi terganggunya kinerja presiden dalam melaksanakan

program kerjanya dalam bidang pemerintahan dibandingkan sibuk mengurus hal-hal yang berbau

politis. Dengan kedua alternatif itu yang memungkinkan tidak adanya calon petahana, presiden akan

dapat lebih fokus dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurangi pemanfaatan aparatur

negara untuk terlibat dalam kampanye politik praktis bagi kepentingan petahana.

Perlu dicermati pula bahwa rezim hukum Pemilihan Umum Indonesia mencakup pelaksanaan

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota legislatif secara serentak yang

ditegaskan dengan putusan MK49. Dalam bagian Pendapat Mahkamah pada Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, dinyatakan bahwa original intent daripada penyusunan

amandemen UUD 1945 utamanya pada norma mengenai Pemilihan Umum pada tahun 1999-2002

adalah melaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan anggota

legislatif. Hal ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi suara publik yang memilih dalam pesta

demokrasi dan meminimalisir permainan politik transaksional yang lazim terjadi dalam jeda waktu

antara Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang ndiselenggarakan

setelahnya. Hal ini rawan terjadi demi kepentingan partai-partai politik dan para calon Presiden serta

Wakil Presiden untuk meraih jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi ini

menjadi dasar dari pembentukan norma Pemilu serentak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dimana Pemilu tahun 2019 sudah diselenggarakan secara

serentak. Dengan demikian, apabila dilakukan perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden

yang saat ini berjalan yakni 5 tahun menjadi lebih dari 5 tahun tentunya akan berdampak pada

perubahan sistem penyelenggaraan pemilu serta perubahan masa jabatan anggota legislatif.

Perlu dipahami kembali pula bahwa di Indonesia, Presiden dan Wakil presiden harus dipilih

dalam satu paket pemilihan dalam Pemilu. hal ini dikarenakan, secara politik, Presiden dan Wakil

Presiden adalah satu kesatuan institusi politik50. Pun dalam sistem preisdensial, keduanya tidak dapat

48 Febrianto Adi Saputro, “Soal Masa Jabatan Presiden, Ini Usulan Refly Harun”, https://www.republika.co.id/berita/q1gvwn377/soal-masa-jabatan-presiden-ini-usulan-refly-harun, diakses 25 November 2019. 49 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 50 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika

Page 34: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

33

Kabinet Gelora Pembebasan

dijatuhkan oleh alasan politik semata. Wakil Presiden berposisi sebagai “cadangan” apabila dalam

menjalankan masa jabatannya, Presiden tidak bisa melanjutkan baktinya hingga masa jabatan selesai.

Selain itu, Wakil Presiden bertugas mendampingi dan mewakili Presiden dalam urusan kenegaraan.

Peran vital ini membuat norma Pemilihan Presiden bermakna satu kesatuan dengan pemilihan Wakil

Presiden pula. Sehingga, wacana perubahan masa jabatan Presiden juga akan berdampak pada

perubahan masa jabatan Wakil Presiden pula.

Dari wacana perubahan masa jabatan presiden ini, kita juga dapat mengkaji beberapa implikasi

yang mungkin terjadi apabila terdapat perubahan pada jangka waktu presiden untuk menjabat. Dari

segi partisipasi publik dalam penyaluran hak demokrasi dalam pemilu, masa jabatan presiden secara

Single Term yang menghilangkan peluang petahana untuk mencalonkan diri kembali dapat menutup

peluang masyarakat untuk tidak memilih kembali petahana dalam periode jabatan selanjutnya. Dengan

demikian, munculnya kandidat-kandidat baru juga memberikan lebih banyak kesempatan bagi pemilih

untuk mengevaluasi kinerja presiden dan wakil presiden periode sebelumnya dan menjadikan hal

tersebut sebagai tantangan bagi para kandidat presiden dan wakil presiden selanjutnya dalam

mempersiapkan pemerintahan dibawah kepemimpinan mereka. Masa jabatan presiden dalam periode

tunggal juga berpotensi meberikan ruang bagi presiden dan wakil presiden yang menjabat untuk bisa

lebih fokus dalam menjalankan jabatannya tanpa mebawa beban untuk mengikuti dan mendapatkan

jabatan dalam periode kedua apabila mencalonkan diri kembali. Di satu sisi, tidak menutup

kemungkinan bahwa perbedaan pandangan dari satu presiden dan presiden berikutnya dapat

memunculkan perbedaan susunan program dan kebijakan yang akan diambil, sehingga pengawasan

terhadap keberlanjutan program dan kebijakan pemerintah perlu diperkuat agar sesuai dengan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional .

Dalam hal perubahan masa jabatan presiden memunculkan wacana lebih dari dua periode

seperti yang saat ini berlaku, maka secara politis hal ini dapat membuka peluang munculnya hegemoni

politik dalam waktu yang lebih panjang. Seperti kita ketahui, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945

dinyatakan bahwa “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hal ini dapat

dimaknai bahwa partai politik pengusung petahana dapat memegang pengaruh kembali apabila

petahana terpilih dalam periode selanjutnya, serta memunculkan potensi kuatnya pengaruh petahana

di parlemen. Dari sini, perlu dilihat bagaimana dampak politis tersebut terhadap efektivitas check and

balances legislatif pada eksekutif.

Page 35: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

34

Kabinet Gelora Pembebasan

Dari beberapa pembahasan diatas, dapat dipahami bahwa memang tidak ada ketentuan baku

yang melekat tentang berapa lama masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang ideal. Kembali lagi

bahwa wacana amandemen terbatas kelima UUD NRI 1945 tidak boleh melupakan nilai-nilai mendasar

yang mewujud dalam UUD NRI 1945 yang ada saat ini. Amandemen UUD NRI 1945 pada tahun 1999-

2002 dimaksudkan untuk menguatkan sistem presidensial serta berimplikasi pada menguatnya

hubungan saling mengawasi dan mengimbangi antar cabang kekuasaan negara51. Maka, perubahan

kembali terhadap UD NRI 1945 harus memperhatikan poin pembatasan potensi kesewenang-

wenangan eksekutif, menguatnya fungsi check and balances antar cabang kekuasaan negara, serta

mengakomodir sebanyak mungkin semangat demokrasi oleh warga negara Republik Indonesia.

51 Chrisdianto Eko Purnomo, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010

Page 36: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

35

Kabinet Gelora Pembebasan

Daftar Pustaka

Adi Saputro, Febrianto, “Soal Masa Jabatan Presiden, Ini Usulan Refly Harun”, https://www.republika.co.id/berita/q1gvwn377/soal-masa-jabatan-presiden-ini-usulan-refly-harun,

Akhmad Muawal, https://tirto.id/tumbangnya-ferdinand-marcos-soeharto-dari-filipina-cFcq?source=Line&medium=Share

Al Atok, Rasyid, “Penguatan Kedudukan dan Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Perubahan UUD

1945”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 24, No. 1, Februari 2011.

Asdhiana, I Made, et al, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/23/053300665/perubahan-masa-jabatan-presiden-ini-5-usulan-sejak-periode-soekarno?page=all

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika

Choi, Jungug, “Philppines Democracies Old and New. Elections, Term Limits, and Party Systems”, Asian

Survey, Volume 41, No. 3, May/June 2001.

Eko Purnomo, Chrisdianto, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik

Ketatanegaraan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010

Maulana, Arief, 2014, “Indonesia Menganut Sistem Presidensial, Kekuasaan Presiden Justru Seperti Dipreteli” , http://www.unpad.ac.id/2014/12/indonesia-menganut-sistem-presidensial-kekuasaan-presiden-justru-seperti-dipreteli/

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

Subangun, Timur, 2019, ” Asal Usul Gelar “Presiden Seumur Hidup” Sukarno Dan Motif Politiknya”, http://www.berdikarionline.com/bung-karno-bukan-diktator/

Page 37: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

36

Kabinet Gelora Pembebasan

URGENSI MEMBERIKAN KEWENANGAN MK UNTUK

MENGADILI CONSTITUTIONAL COMPLAINT

Pengaduan konstitusional adalah salah satu bentuk upaya hukum perlindungan hak-hak konstitusional

warga negara dalam sistem ketatanegaraan.52 Mekanisme pengaduan konstitusional baru dilakukan dan

diterima oleh mahkamah konstitusi jika semua jalan penyelesaian melalui proses peradilan yang tersedia untuk

persaoalan tersebut telah tidak ada lagi.53 Bahwa pengaduan konstitusional sejatinya hadir sebagai mekanisme

perlindungan terhadap hak kosntitusional yang lebih paripurna.

Secara konseptual pengujian konstitusional tidak sama dengan pengujian konstitusionalitas undang-

undang atau judicial review, melainkan ketika membahas pengujian konsitusional tercakup di dalamnya

mekanisme pengaduan konstitusional.54 Pada status quo Mahkamah Konstitusi Indonessia hanya berwenang

untuk melakukan judicial review saja dan belum memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan

konstitusional. Padahal apabila dicermati bahwa alasan utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah agar

UUD NRI 1945 yang didalamnya terdapat hak-hak konstitusional benar-benar dijalankan atau ditegakkan

dalam praktik.55

Perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara merupakan hal yang wajib dilakukan oleh

negara sebagai salah satu prinsip negara hukum itu sendiri. Secara historis bahwa hak-hak individu disini

apabila telah masuk dalam konstitusi tentunya akan mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, sehingga

pentaatan terhadap hak-hak tersebut dapat dipaksakan salah satunya dengan putusan pengadilan.56 Alasan

selanjutnya mengapa Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya memiliki kewenangan mengadili perkara

pengaduan konstitusional karena dalam praktik banyak terdapat pelanggaran terhadap hak konstitusional

warga negara yang faktor penyebabnya bukan dikarenakan inkonstitusionalitas norma undang-undang namun

disebabkan karena adanya perbuatan atau kelalaian lembaga negara.57

Beberapa kasus pelanggaran hak konstitusional warga negara yang tidak tertangani karena tidak ada

lembaga untuk menyalurkan constitutional complaint atau pengaduan konstitusional adalah terbitnya Surat

Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jamaah

52 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 1 53 Victor Ferreres C, 2004, Is The European Model of Constitutional Review in Crisis?, paper presented for the 12th annual conference on ‘the individual Vs. the State. 54 Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-model Pengujuan Konstitusional di Berbagai Negara, Konpres, Jakarta. hlm. 7 55 Jimly Asshiddiqie, 2006, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal MK RI, Jakarta. 56 Imtiaz Omar, 1998, Constitutional Law, Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-Canberra-Melbourne-Perth. Hlm.245 57 I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 5

Oleh : Tariq Hidayat, Cora Kristin, & Ricko Aldebarant

Page 38: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

37

Kabinet Gelora Pembebasan

Ahmadiyah Indonesia (JAI) di provinsi tersebut,58 Sehingga berdasarkan data terhadap surat maupun

permohonan yang masuk di kepaniteraan MK pada 2005 sebanyak 48 perkara hingga apabila melihat tahun

2010 terdapat 29 perkara dan pada 2017 terdapat 7 perkara yang secara subtansial merupakan bentuk

pengaduan konstitusional.59 Dari data ini dapat disimpulkan dua hal pertama bahwa ada urgensi untuk

menambah kewenangan mengadili pengaduan konstitusional warga negara dan apabila melihat jumlah yang

semakin menurut lumrah saja karena apabila perkara diajukan ke Mahkamah Konstitusi putusannya akan

‘tidak dapat diterima’ karena tidak adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk itu. Meskipun menurut

hasil wawancara dengan Prof. Ni’matul Huda beberapa kali MK memutus permohonan pengaduan

konstitusional melalui jalur judicial review seperti pada perkara nomor 20/PUU-XVII/2019 terkait E-KTP dan

Surat keterangan E-KTP bisa digunakan untuk mencoblos di pemilu 2019.

Berangkat dari hal ini dan kebutuhan masyarakat akan perlindungan hak konstitusionalnya, dirasa

perlu agar Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pengaduan konstitusional. Alasan

selanjutnya adalah bahwa dengan tidak adanya kewenangan mengadili perkara pengaduan konstitusional oleh

Mahkamah Konstitusi kontradiktif dengan sejarah kelahiran Mahkamah Konstitusi itu sendiri yaitu untuk

menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis yang ciri utamanya adanya perlindungan terhadap hak

konstitusional warga negara.60 Alasan terakhir adalah apabila melihat negara dengan sistem peradilan

Mahkamah Konstitusinya mirip dengan Indonesia seperti Jerman dan Korea Selatan telah memasukkan

kewenangan ini guna perwujudan perlindungan terhadap konstitusional kepada warga negaranya berjalan

secara maksimal.61 Sehingga berdasarkan alasan-alasan di atas perlu untuk Mahkamah Konstitusi untuk

diberikan kewenangan mengadili perkara-perkara pengaduan konstitusional atau constitutional complaint

sebagai perwujudan keseriusan negara untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum itu sendiri dan

bermuara pada perlindungan yang optimal terhadap hak konstitusional warga negara.

PERBANDINGAN

Jerman

Dalam pasal 93 (Federal Constitutional Court) ayat (1) angka 4a dan 4b menyebut bahwa pelanggaran

oleh pembuat kebijakan terhadap hak-hak dasar seseorang menjadi sebab diberlakukannya pengaduan

konstitusional di Jerman62. Lembaga yang memiliki wewenang dalam menangani dan mengadili pengaduan

58 http://www.republika.co.id. 02/03/2011, diakses tanggal 27 November 2019. 59 http://setara-institute.org/kinerja-mahkamah-konstitusi-ri-2016-2017/ dan http://panmohamadfaiz.com. Diakses pada 27 November 2019. 60 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 61 I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 6-9. 62 Zulkarnain, Ridlwan, “Pengaduan Konstitusional di Negara Federal Jerman”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 3,

September-Desember 2011

Page 39: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

38

Kabinet Gelora Pembebasan

konstitusional di Jerman ialah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, hal ini sesuai dengan amanat pasal 93

ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundesrepublik Deutchland (amandemen ke-19, 29 Januari 1969)63. Dalam

mekanisme pengaduan konstitusional di Jerman, yang dapat mengajukan pengaduan konstitusional ialah siapa

saja yang merasa hak dasarnya telah dilanggar oleh pejabat publik. Sedangkan, tindakan pejabat publik

tersebut merupakan objek dari pengaduan konstitusional. Warga negara yang ingin mengajukan pengaduan

konstitusional sebelumnya sudah harus menempuh terlebih dahulu jalur hukum seperti pada pengadilan

khusus hingga pengadilan tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi Federal Jerman

adalah jalan hukum tertinggi yang ditempuh setelah melalui tahapan beracara di tingkat-tingkat sebelumnya64.

Akan tetapi, hal tersebut dapat dikecualikan untuk beberapa hal, yaitu apabila hal yang diadukan mengandung

relevansi umum serta apabila keharusan untuk melalui tahapan beracara di tingkat-tingkat sebelumnya justru

akan memberikan dampak negatif bagi pemohon pengaduan65. Penerapan pengaduan konstitusi di Jerman ini

memiliki keterkaitan positif dengan pelaksanaan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara Jerman.

Amerika Serikat

Berbeda dengan Jerman yang memberlakukan model pengujian konstitusional yang tersentralisasi,

Amerika Serikat mempraktikkan pengujian konstitusional yang menyebar sehingga semua tingkatan

pengadilan di Amerika Serikat dapat melakukan pengujian konsitusionalitas undang-undang maupun

perbuatan pejabat publik. Hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi berupa munculnya kemungkinan

perbedaan pandangan tiap pengadilan, akan masalah yang sama, sehingga dalam hal ini Mahkamah Agung

berperan untuk menyatukan pandangan terkait hal konstitusionalitas yang mendasar. Mahkamah Agung di

Amerika Serikat berperan sebagai pengawal konstitusi karena tidak adanya Mahkamah Konstitusi dalam

negara tersebut, sehingga Mahkamah Agung di dalam Amerika Serikat berperan dalam mengawal hak-hak

konstitusional warganya serta menjamin diberlakukannya Konstitusi Amerika Serikat sebagai hukum yang

tertinggi66.

Pengaduan Konstitusional secara formal tidaklah dikenal di Amerika Serikat, karena AS tidak

memisahkan antara pengujian konstitusionalitas perundang-undangan dan pengujian konstitusionalitas

perbuatan. Kedua hal tersebut bisa diuji secara terpisah maupun diuji bersamaan sekaligus, sehingga dari sini

dapat dikatakan bahwa meskipun pengaduan konstitusional tidaklah dikenal secara formal, akan tetapi praktik

63 Gugun El Guyanie, “Urgensi Pengujian Constitutional Complaint Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, IN RIGHT

Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 1, 2013 64 Zulkarnain, Ridlwan, Op. cit. 65 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran

Hak-Hak Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 416 66 Ibid.

Page 40: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

39

Kabinet Gelora Pembebasan

pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review) di Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa

karakternya lebih kepada pengaduan konstitusional67,

Korea Selatan

Korea Selatan adalah negara di Asia yang sudah lama menerapkan mekanisme pengaduan

konstitusional dengan Pengadilan Konstitusi sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal

tersebut didasarkan pada pasal 68 ayat (1) dan (2) The Constitutional Court Act of Korea. Kewenangan yang

dimiliki Mahkamah Konstitusi Korea dalam mengadili pengaduan konstitusional lebih terbatas dari

kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman, hal ini karena badan hukum di Korea

tidaklah memiliki legal standing, selain itu putusan pengadilan biasa tidak dapat dijadikan objek pengaduan,

dan pengaduan undang-undang meskipun dimungkinkan dalam undang-undang, akan tetapi baru dapat

dilakukan setelah tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan68.

Indonesia

Berbeda dengan tiga negara di atas, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak memiliki

kewenangan dalam mengadili pengaduan konstitusional. Hal ini menimbulkan konsekuensi berupa tidak

adanya mekanisme apabila terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional oleh para pejabat publik, padahal sudah

tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh. Sehingga pemberian wewenang kepada Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia untuk mengadili pengaduan konstitusional adalah hal yang perlu dilakukan69.

Kesimpulan

Hal yang perlu diperhatikan apabila Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan mengadili perkara

pengaduan konstitusional tentunya potensi kasus yang masuk akan sangat besar seperti yang terjadi di

Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Hal ini disebabkan karena potensi pelanggaran hak konstitusional akan

lebih besar apabila terkait pelaksanaan suatu undang-undang mengingat banyaknya pejabat publik yang

menjalankan suatu ketentuan dari undang-undang tersebut. Namun, hal ini tidak menjadi suatu permasalahan

apabila negara ingin benar-benar hadir secara optimal untuk memberikan perlindungan hak konstitusional.

Terkait permasalahan pertama, banyaknya kasus yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dapat dimaknai dua

hal yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelindung hak

konstitusional warga negara dan sebagai refleksi oleh para pejabat publik bahwa dengan banyaknya kasus

yang masuk terkait perkara pengaduan konstitusional menandakan bahwa kegiatan yang mereka kerjakan

67 Ibid. 68 Ibid. 69 Ibid.

Page 41: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

40

Kabinet Gelora Pembebasan

tidak sesuai dan butuh pembenahan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan pelanggaran-

pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.

Amandemen Pasal 24C UUD NRI 1945:

“ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat

final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, menguji perkara pengaduan

konstitusional, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil

pemilihan umum.”

Page 42: KETERWAKILAN DAERAHdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...Amandemen-UUD-N… · Wacana amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan

41

Kabinet Gelora Pembebasan

Daftar Pustaka

Ferreres C, Victor, 2004, Is The European Model of Constitutional Review in Crisis?, paper presented for the 12th annual conference on ‘the individual Vs. the State.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Model-model Pengujuan Konstitusional di Berbagai Negara, Konpres, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal MK RI, Jakarta.

Omar, Imtiaz, 1998, Constitutional Law, Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-Canberra-Melbourne-Perth.

http://www.republika.co.id. 02/03/2011, diakses tanggal 27 November 2019.

http://setara-institute.org/kinerja-mahkamah-konstitusi-ri-2016-2017/ dan http://panmohamadfaiz.com. Diakses pada 27 November 2019.

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Zulkarnain, Ridlwan, “Pengaduan Konstitusional di Negara Federal Jerman”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 3,

September-Desember 2011.

El Guyanie, Gugun, “Urgensi Pengujian Constitutional Complaint Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, IN RIGHT

Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 1, 2013.

Gede Palguna, I Dewa, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-

Hak Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta.

UUD NRI 1945