keterwakilan daerahdemajusticia.org/wp-content/uploads/2019/12/...amandemen-uud-n… · wacana...
TRANSCRIPT
1
Kabinet Gelora Pembebasan KATA PENGANTAR
yukur tak terhingga kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat rahmatnya kami dari Dema Justicia bisa menyelesaikan
kajian dengan judul “Sumbangsih Pemikiran Dema Justicia untuk
Amandemen UUD NRI 1945” dengan baik. Wacana amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) bagaikan
bola panas dalam diskursus ruang publik saat ini. Banyak pihak menyuarakan
argumentasi untuk menyatakan sikap untuk mendukung maupun menolak
wacana ini. Terlepas dari itu semua, perlu kita ilhami bersama bahwa
konstitusi, in casu UUD NRI 1945, adalah hal yang sangat fundamental bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara karena posisinya sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi.
Konsekuensinya UUD NRI 1945 menjadi pembatas kekuasaan lembaga-lembaga negara yang bermuara bagi
perlindungan hak konstitusional warga negara. Oleh sebab itu, norma-norma yang diatur dalam UUD NRI 1945
harus bisa benar-benar mengakomodir secara paripurna hal-hal yang menyangkut kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Maksud dan tujuan disusunnya kajian ini adalah sebagai sumbangsih pemikiran terhadap wacana
amandemen UUD NRI 1945 terkhusus terkait kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, masa jabatan
Presiden, kewenangan dan pengawasan Mahkamah Konstitusi, dan penguatan kelembagaan Dewan Perwakilan
Daerah. Permasalahan-permasalahan di atas dirasa perlu dikaji lebih dalam karena bisa dikatakan hal-hal
tersebut menjadi isu sentral bagi ketatanegaraan Indonesia. Dalam kajian ini kami bersama memberikan dan
menuangkan gagasan-gagasan apa saja yang menurut kami perlu diambil oleh para pemegang kebijakan. Semoga
apa yang kami buat dengan keringat dan air mata optimisme bisa memberikan sumbangsih kepada Indonesia
untuk apa saja hal yang perlu dilakukan dan dibenahi.
Terakhir, saya ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang terlibat dalam penyusunan kajian ini,
semoga menjadi pengasah idealisme, pemahaman, dan kepedulian saudara-saudara sekalian terhadap negara
ini. Atas nama Tuhan Yang Maha Esa kami persembahkan kajian ini dan kami tidak menutup pintu kritik, saran,
atau masukan agar iklim dialektika itu terus kita rawat. Sekian, yang fana adalah waktu kita abadi, Hidup
Mahasiswa! yang selalu kita perjuangkan Hidup Rakyat Indonesia!.
Koordinator Kajian Amandemen UUD NRI 1945
Tariq Hidayat Pangestu
S
2
Kabinet Gelora Pembebasan
PENGUATAN DPD RI UNTUK MENINGKATKAN PERAN
KETERWAKILAN DAERAH
LATAR BELAKANG
Berangkat dari sejarah, konsep perlunya representasi sudah dimulai sejak pembahasan BPUPKI
yang kala itu menjadi anggota dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Para founding people
bangsa Indonesia memandang perlu adanya representasi yang holistik di MPR sebagai penjelmaan
seluruh rakyat.1 Selanjutnya saat berlakunya Konstitusi RIS konsepsi perwakilan daerah terus ada
dengan nama Senat RIS. Pada saat Konstitusi RIS Sistem Perwakilan sudah menganut Sistem dua kamar
(bicameral) yang terdiri dari perwakilan politik dan perwakilah kewilayahan atau Senat RIS. Senat RIS
jumlahnya yaitu 32 orang dan setiap daerah bagian diwakili oleh 2 orang. Kala itu anggota Senat
ditunjuk oleh Pemerintah daerah yang kemudian dicalonkan dengan disampaikan kepada Pusat. Senat
RIS berfungsi sebagai lembaga legislatif dan majelis penasehat pemerintah. Senat RIS ada dan
berlangsung dari adanya Konstitusi RIS tahun 1949 hingga tahun 1959.2
Kemudian dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Sukarno
mengakibatkan adanya pembubaran Konstituante yang salah satu unsur keanggotaannya adalah Senat
RIS. Pada saat itu belum terbentuk adanya MPR dan DPR. Namun dibentuklah MPRS yang terdiri dari
DPRGR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan melalui Penetapan Presiden Nomor 2
tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Utusan Daerah lebih lanjut diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 1959 yang dalam peraturan a quo utusan daerah berjumlah 94 orang yang terdiri dari
24 daerah provinsi yang diwakili 3-5 orang per provinsi. Utusan daerah-daerah tersebut diusulkan oleh
DPRD yang kemudian dipilih oleh Presiden untuk menjadi anggota MPRS.3
Setelah adanya peristiwa G30S/PKI, Soeharto menjadi Presiden dan pada saat itu keluarkan UU
Nomor 15 Tahun 1969 yaitu tentang Pemilihan Umum untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD.
Susunan MPR sendiri setelah adanya UU Pemilihan Umum tersebut tetap anggota DPR ditambah utusan
1 Yudi Latif, Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta. hlm. 428 2 Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jilid 1 (Edisi Revisi), Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, DKI Jakarta hal.16-18 3 Peratuan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1959 Tentang Susunan Majelsi Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1917)
Oleh : Ricky Raytona, Aditya Halimawan, Aqshal, & Yoseph
3
Kabinet Gelora Pembebasan
golongan-golongan dan utusan daerah-daerah yang hubungannya diatur berdasarkan ketetapan MPR
Nomor III/MPR/1978. Hal ini berlangsung hingga Pemilu terakhir pada tahun 1997.
Setelah mengalami pergolakan politik yang cukup panjang sejak 1959 yang mengembalikan
Indonesia ke bentuk negara kesatuan sampai dengan jatuhnya Soeharto dan mengantarkan Indonesia
ke masa reformasi. Saat 1998 diadakanlah Sidang Istimewa (SI) MPR yang salah satu hasilnya adalah
tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normaliasi
Kehidupan Nasonal Sebagai Haluan Negara yang mengamanatkan Pemilihan Umum paling lambat
1999. 4Terjadi amandemen UUD Tahun 1945. Dari adanya SI tersebut membuka jalan adanya
Perubahan UUD 1945 yaitu dengan adanya Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan tersebut membuat adanya
Pemilihan Umum pada tahun 1999 dan untuk melaksanakannya maka dibuatlah UU Nomor 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, serta UU Nomor 4 Tahun 1999
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. 5
Pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik yang komposisinya adalah 21 Partai yang
memperoleh kursi DPR. Kemudian komposisi MPR juga mengalami perubahan yaitu dari unsur
TNI/Polri dari 75 orang menjadi 38 orang, anggota dari Utusan Golongan 38 orang, dan terakhir Utusan
Daerah dipilih oleh DPRD Provinsi sebanyak 135 orang.6 Setelah itu dilakukan perubahan UUD 1945
walaupun terjadi pergantian kekuasaan karena memang hal tersebut amanat dari Reformasi.7
MPR hasil Pemilu 1999 telah melakukan 4 (empat) kali Perubahan UUD 1945 yaitu pada tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002. Salah satu hasil perubahan yang terakhir adalah perubahan yang
mendasar baik dari susunan kelembagaan maupun sisi kewenangan MPR itu sendiri. 8 Dari sisi
kelembagaan, MPR menjadi terdiri dari DPR dan DPD. DPD ada sejak amandemen ketiga9 dan disini
sebelumnya adalah utusan daerah, namun keterpilihannya bukan dari DPRD Provinsi atau Tingkat I
melainkan dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Kemudian dari Sisi Kedudukan, MPR tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi Negara,10 melainkan Presiden sebagai semangat untuk memperkuat Sistem
Pemerintahan Presidensial.
4 Mahkamah Konstitusi, op.cit., hal.24. 5 Ibid., hal.25. 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24) 7 Mahkamah Konstitusi, op.cit. hal.25-26. 8 Ibid, hal.25. 9 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga. 10 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat.
4
Kabinet Gelora Pembebasan
Terdapat berbagai gagasan yang ada dibalik adanya kelahiran DPD diantaranya Pertama,
pengubahan sistem perwakilan menjadi sistem bikameral (dua kamar) yaitu antara DPR dan DPD.
Kedua, meningkatkan keikutsertaan dan pengawasan terhadap jalannya politik dan pemerintahan
negara. Demikian membuat DPD sebagai penyempurna adanya check and balances antara cabang
kekuasaan di Indonesia dan utusan daerah terdahulu yang wewenangnya hanya sebatas pada sidang-
sidang MPR.11 Namun dengan memperhatikan ketentuan dalam UUD NRI 1945 setelah amandemen,
tidak terlihat konkritisasi dari gagasan tentang sistem bikameral (dua kamar) yang justru menunjukan
sistem trikameral (tiga kamar). Pertama, MPR tetap merupakan lingkungan jabatan tersendiri yang
terpisah dari DPR dan DPD.12 Kedua, DPD merupakan lembaga yang memiliki lingkungan jabatan dan
lingkungan wewenangnya sendiri. Tetapi terlihat seperti komplementer dari DPR itu sendiri. 13 Ketiga,
DPD tidak mendapatkan kewenangan legislasi secara penuh, melainkan hanya pengajuan dan
pembahasan RUU dibidang tertentu saja.14
Pada tanggal 26 Oktober 2019, Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang membuat sebuah pernyataan
bahwa perlu adanya penguatan kelembagaan dari DPD RI itu tersendiri, beliau berkata, “Pembentukan
DPD untuk mengimbangi dominasi parpol dalam lembaga perwakilan,” kata OSO di hadapan calon
anggota DPD terpilih 2019-2024 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin.15 Perlu kita ketahui DPD
adalah lembaga legislasi yang merupakan manifestasi dari sistem pemerintahan bikameral yang
bersandingan dengan DPR. DPD juga berfungsi sebagai lembaga yang berfungsi checks and balances
terhadap DPR supaya tidak terjadi sentralisasi kekuasaan akan suatu Lembaga.
Giovanni Sartori mengemukakan tiga jenis bikameral, yaitu assymetric bicameralism/weak
bicameralism/soft bicameralism apabila salah satu kamar mempunyai posisi yang dominan dibanding
kamar yang lain, symmetric bicameralism/strong bicameralism apabila kedua kamar mempunyai
kewenangan yang hampir seimbang, dan perfect bicameralism apabila kewenangan yang dimiliki kedua
kamar tersebut sama besarnya (Sartori, 1997:184).16 Bila kita tafsirkan, Indonesia menganut sistem
softbicameralism karena bila kita lihat secara konkret, DPR lebih memiliki kekuatan dibandingkan
dengan DPD itu tersendiri. Bila kita telaah pada Pasal 22D UUD 1945 dari ayat 1(satu) hingga ayat
11 Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 11945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, hal.59. 12 Pasal 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat. 13 Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Keempat. 14 Bagir Manan, op.cit., hal.61-62. 15 Fitria Chusna Farisa, “Oesman Sapta Ingatkan Pentingnya Penguatan DPD”, https://nasional.kompas.com/read/2019/08/26/12353771/oesman-sapta-ingatkan-pentingnya-penguatan-dpd, diakses 20 November 2019 16 Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Sistem Pemerintahan Republik Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.3, Hasil Penelitian
5
Kabinet Gelora Pembebasan
4(empat), DPD hanya bertugas untuk mengurus kendala di lingkup daerah karena DPD pun hanya
dianggap sebagai representasi di wilayah distrik, bukan wilayah nasional.17
Pada dasarnya, DPD berfungsi untuk menjalankan fungsi artikulasi dan fungsi agregasi untuk
daerahnya masing-masing. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan DPD yang sudah berada di
“tangan” DPR hanya akan terjadi apabila DPR berkehendak untuk meneruskan masalah-masalah
tersebut. Hal ini tentu jelas memperlihatkan bahwa DPD merupakan lembaga yang lemah karena tidak
memiliki hak untuk bisa menjalankan sebuah pertimbangan tanpa persetujuan DPR itu tersendiri. Akan
tetapi, DPD hanyalah lembaga yang merupakan representasi di sektor daerah dan bukan sektor
nasional, sehingga tidak perlu kewenangan yang penuh akan suatu negara. Di sisi lain, DPD juga
merupakan anggota legislatif yang seharusnya mempunyai hak penuh legislasi.
Sebelum amandemen, Indonesia menganut Division or Distribution of power dikarenakan MPR
sebagai perwujudan nyata dari Prinsip kedaulatan rakyat dan berkedudukan sebagai lembaga negara
tertinggi di Indonesia membagikan kekuasaan rakyat secara vertikal kepada lembaga-lembaga tinggi
dibawahnya. Namun setelah amandemen, kedaulatan rakyat dibagikan secara horizontal sehingga
memisahkan tugas, fungsi, dan wewenang dari masing-masing lembaga tersebut (separation of power).
Lembaga-lembaga negara tersebut berkedudukan sederajat dan saling mengontrol dan mengimbangi
sebagaimana prinsip check and balances.18
Separation of Power adalah Pemisahan kekuasaan dengan membedakan lembaga-lembaga
negara baik kedudukan, tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam melaksanakan undang-undang
dan/atau menjalankan pemerintahan. Teori ini awalnya dicetuskan oleh Montesquie Namun Indonesia
tidak menerapkannya secara murni dikarenakan terdapat prinsip check and balances. Sedangkan check
and balances adalah prinsip pengawasan dengan cara mengontrol dan mengimbangi yang dilakukan
antara suatu lembaga dengan lembaga yang lain dalam rangka menjaga prinsip-prinsip berjalannya
lembaga negara, seperti good governance, asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan sebagainya.
Setelah amandemen UUD NRI 1945, Lembaga Kekuasaan Legislatif tetap berada di tangan MPR,
DPR, dan DPD. Namun ketiganya berdiri dan berkedudukan sederajat satu sama lain meskipun anggota
dari MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. Hal ini memperlihatkan struktur parlemen Indonesia
terdiri dari 3 pilar atau 3 kamar (trikameral).19 Ketiganya memiliki tugas dan wewenang yang berbeda.
Namun menurut Zainal Arifin Mochtar pada dasarnya memiliki kewenangan legislasi, Pengawasan atau
17 UUD RI 1945 Amandemen III(2001) 18 Jimly Asshiddiqie, 2018, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal 60. 19 Ibid., hal.61.
6
Kabinet Gelora Pembebasan
Kontrol, Anggaran atau Budget, Representasi, dan Rekrutmen Jabatan Publik. Jadi bisa diambil
kesimpulan bahwa Lembaga Kekuasaan Legislatif merupakan lembaga kekuasaan dari 2 lembaga
kekuasaan lainnya dan juga memiliki fungsi legislasi, Pengawasan atau Kontrol, Anggaran atau Budget,
Representasi, dan Rekrutmen Jabatan Publik.
PERBANDINGAN WEWENANG DPD DENGAN DPR
DPR dan DPD merupakan dua lembaga yang sama – sama merupakan representasi dari rakyat.
DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan
prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation). DPD dilahirkan dan ditampilkan
sebagai salah satu lembaga perwakilan rakyat yang menjembatani kebijakan (policy), dan regulasi pada
skala nasional oleh pemerintah (Pusat) di satu sisi dan Daerah di sisi lain.
Menurut Pasal 71 UU No. 17 Tahun 2014 disebutkan bahwa DPR berwenang membahas
rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden. Dari kewenangan dari DPR sendiri dapat dilihat bahwa sebenarnya ada pembatasan daripada
peran dari DPD dalam pembentukan Undang-Undang. Hal ini secara tidak langsung membuat DPD
kewenangan yang lebih rendah daripada DPR.
DPD, seperti yang telah disebutkan di atas, adalah cerminan representasi regional (regional
representative). DPD seharusnya menjadi wakil daerah dalam pembahasan rancangan undang-undang,
tetapi DPD memiliki wewenang yang terbatas yaitu hanya sampai pembahasan tetapi tidak sampai pada
persetujuan. DPR berdasarkan Pasal 71 UU No. 17 Tahun 2014 butir c bisa melakukan pembahasan
sampai pada persetujuan. Sedangkan DPD menurut Pasal 249 UU No. 17 Tahun 2014 hanya dapat
mengajukan rancangan undang-undang dan hanya ikut membahas. Hal ini memunculkan kesan bahwa
peran DPD tidak terlalu penting karena pada akhirnya keputusan tetap ada pada tangan DPR dan
Presiden. Menurut John Pieris , DPD dan DPR harus memiliki kedudukan yang setara agar sistem
bikameral dapat berjalan dengan efektif dan berimbang. Kedua kamar tersebut harus memiliki
kekuasaan dan fungsi legislasi yang proporsional dan saling mendukung dalam proses pembuatan
undang-undang.
7
Kabinet Gelora Pembebasan
URGENSI PENGUATAN DPD
DPD sejatinya dibentuk untuk melibatkan daerah dalam mengelola negara dengan
menyempurnakan sistem utusan daerah dan utusan golongan di MPR yang kemudian mewujudkan
sistem bikameral di dalam kekuasaan legislatif20 yang betujuan untuk mengimbangi DPR agar terwujud
check and balances di antara kedua lembaga legislatif tersebut. Dalam UU No.22 Tahun 2003 tentang
susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD pasal 41 dijelaskan bahwa DPD mempunyai fungsi-
fungsi yaitu fungsi legislasi dan fungsi pengawasan dalam bidang tertentu.Tetapi dalam prakteknya,
kewenangan-kewenangan yang dimiliki DPD ini sangat terbatas sehingga menjadi kurang terlihat dan
tidak maksimal dalam menjalankan fungsinya. Beberapa diantaranya adalah kurangnya wewenang
DPD dalam pembentukan UU.
Seperti yang sudah disebutkan juga dalam Pasal 65 ayat (3) UU No.12 Tahun 2011 bahwa
keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sampai pada pembicaraan tingkat I21, sementara
persetujuan tetap dilakukan oleh DPR dan Presiden. Hal ini menyebabkan kepentingan-kepentingan
daerah yang akan dituangkan dalam produk legislasi menjadi kurang terakomodir secara baik. Terasa
hampir mustahil untuk mewujudkan harapan masyarakat dan daerah dalam keadaan seperti ini. Tidak
hanya itu, dalam fungsi pengawasan pun DPD memiliki masalah yang tidak kalah pelik, karena hasil
pengawasan DPD yang diserahkan kepada DPR tidak memiliki dampak apapun karena hasil kerja DPD
tersebut hanya akan dijadikan bahan masukan dan bahan pertimbangan oleh DPR karena keputusan
akan tetap ada di tangan DPR.22
Berdasarkan penjelasan kewenangan DPD yang telah Penulis paparkan, sebenarnya terdapat
kerancuan antara UUD NRI 1945 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kerancuan tersebut yaitu pada Pasal 22D ayat (2) UUD
NRI 1945 yang menyatakan :
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah.”
Namun di sisi lain yaitu pada Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan:
20 Manan. Bagir, 2003, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru. FH-UII Press. Yogyakarta. Hal 59-60 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5234). 22 Marzuki. Masnir, “Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya Mengefektifkan Keberadaannya”, Jurnal Hukum, Vol.15, No.1, Januari 2008.
8
Kabinet Gelora Pembebasan
“Keikutsertaan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.“
Padahal berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua)
tingkat pembicaraan. Hal ini menunjukan bahwa terdapat limitasi terhadap kewenangan DPD yaitu
terkait dengan Pembahasan sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita.
Maka dari itu Penulis memiliki ide atau gagasan semangat menguatkan DPD dengan melakukan
penjelasan lebih lanjut dengan menambahkan “….hingga tahap persetujuan..” pada Pasal 22D ayat (2)
sehingga menjadi :
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang hingga tahap persetujuan
yang berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah.”
Hal tersebut menimbulkan keterlibatan secara penuh DPD dalam Pembahasan Undang-Undang
sebagaimana kewenangannya. Selain itu juga merubah Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dengan memberikan kewenangan
DPD untuk ikut membahas Undang-Undang hingga tahap Pembicaraan Tahap 2. Implikasi nyata dari
adanya penjelasan tersebut membuat DPD berwenang ikut membahas Rancangan Undang-Undang
sampai pada tahap sebelum Persetujuan sehingga membuat posisi DPR dan DPD sebagai lembaga
legislatif dan kamar dalam lembaga perwakilan sederajat.
Disini gagasan Penulis bulat yaitu memberikan kewenangan kepada DPD yaitu memberikan
persetujuan Pembentukan Undang-Undang. Namun hal tersebut tetap dilimitasi yaitu hanya yang
berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dari adanya gagasan Penulis tersebut setidaknya terdapat
beberapa pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengalami perubahan diantaranya Pasal 20 ayat (2), (4) dan
penambahan pasal pada bagian BAB VIIA Dewan Perwakilan Daerah yaitu terkait dengan kewenangan
DPR dalam menyetujui Undang-Undang yang berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.Tentu dari adanya gagasan
tersebut akan berimplikasi pada kekuatan perwakilan daerah di Pusat. DPD akan berperan dalam
pengambilan keputusan yaitu persetujuan. Hal ini tentu juga akan menguatkan eksistensi daerah di
Pusat karena pembahasan tentang urusannya.
9
Kabinet Gelora Pembebasan
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, 2018, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Sistem Pemerintahan Republik
Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13 No.3, Hasil Penelitian,
Fitria Chusna Farisa, “Oesman Sapta Ingatkan Pentingnya Penguatan DPD”,
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/26/12353771/oesman-sapta-ingatkan-
pentingnya-penguatan-dpd, diakses 20 November 2019.
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia,
Jakarta.
Mahkamah Konstitusi, 2010, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Jilid 1 (Edisi Revisi), Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, DKI Jakarta.
Manan, Bagir, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 11945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta.
Manan. Bagir, 2003, DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru. FH-UII Press. Yogyakarta.
Marzuki. Masnir, “Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya Mengefektifkan Keberadaannya”,
Jurnal Hukum, Vol.15, No.1, Januari 2008.
Peratuan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1959 Tentang Susunan Majelsi
Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
1917).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara RepublikIndonesia Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 24)
10
Kabinet Gelora Pembebasan
PENINGKATAN PENGAWASAN TERHADAP HAKIM
KONSTITUSI
Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung (MA). Dikatakan bersama-sama
dengan MA karena MK tidak berada dibawah kekuasaan MA melainkan berdiri sendiri dan
berkedudukan setara dengan MA. Setara berarti tidak dibawahi kekuasaan kehakiman MA dan tidak
terintervensi oleh MA dalam menjalankan kewenangannya Keberadaan MK jauh tidak lebih lama
daripada MA sebagai lembaga tinggi negara, karena keberadaan MK di Indonesia didasari pada
perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 2000an.
MA dan MK sendiri memiliki peranan penting dalam manifestasi kekuatan yudisial dalam sistem
ketatanegaraan penganut trias politica. Pembagian kekuasaan yudisial kedalam MA dan MK menjadikan
lembaga peradilan di Indonesia lebih optimal dan tepat guna sesuai fungsinya masing-masing.
Menghidupkan kekuatan judicial review bukan sebagai perwujudan absolutisme salah satu lembaga
peradilan melainkan lebih terhadap bagaimana kewenangan ini diinventarisasikan kedalam kekuasaan
yang berbeda. Pembagian dilingkup yudisial dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap
sistem peradilan dan ketatanegaraan yang saling menguatkan dan menyempurnakan satu lembaga
dengan yang lainnya.
Keberadaan mahkamah konstitusi menciptakan kewenangan baru yang merdeka dan mandiri
sehingga lembaga ini terlepas dari lembaga apapun. Penegakan hukum tidak lagi dipegang hanya satu
kekuasaan kehakiman saja seperti yang terjadi pada tahun sebelum amandemen UUD dilakukan. Dalam
UUD 1945 pasal 24 & 25 sebelum amandemen menjelaskan sistem peradilan Indonesia hanya memiliki
satu kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung (Supreme Court). Dengan hanya satu kekuasaan
kehakiman saja maka kewenangan judicial review menjadi konsekuensi kekosongan hukum dan itu
akan mudah ditafsirkan sebagai kewenangan sepenuhnya untuk menganggap UU/Peraturan
bertentangan atau tidak relevan hanya berhenti pada hakim yang menangani kasus. Maka, sangat
diperlukan adanya hakim Konstitusi untuk menangani sesuatu yang seharusnya tidak menjadi
kewenangan hakim umum/biasa.
Oleh : Muhammad Rayhan, Shafira Dinda, & Naufal Hilmy
11
Kabinet Gelora Pembebasan
Hakim Mahkamah Konstitusi
Hakim Mahkamah Konstitusi adalah hakim konstitusi yang merupakan pejabat negara yang
ditetapkan oleh presiden. Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang berkompeten di lingkup ketatanegaraan
dan hukum tata negara yang didasari dari filosofi jumlahnya dianggap sebagai simbol netralitas dan
keseimbangan. Harapannya agar kekuasaan kehakiman ini mencerminkan keseimbangan dari
penyelenggaraan negara serta tidak memihak lembaga tertentu dalam menjalankan fungsinya.
Kesembilan hakim ini menjalankan wewenang konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman di Indonesia.
Hakim Mahkamah Konstitusi mengadili urusan yang menyangkut pengujian material undang-
undang pada intinya, itulah tujuan utama dari dibentuknya kekuasaan kehakiman ini. Bentuk
kewenangan seperti teknis memutus UU/Peraturan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD
yang menjadi landasan hukum paling fundamental negara dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam mempelajari UU/Peraturan terhadap UUD menjadi esensi dari keberadaan Hakim Konstitusi.
Membicarakan kewenangan terhadap pengujian UU dan Peraturan yang terkait erat dengan
kewenangan konstitusi secara otomatis diikuti oleh kewenangan lain yang berhubungan erat pula
dengan perilaku konstitusi. Hal itu dimaksudkan pada kewenangan lain Mahkamah Konstitusi yang
tidak hanya judicial review saja seperti yang telah dijelaskan pada pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Pengawasan Mahkamah Konstitusi
Perlu kita pahami bersama bahwa sistem pengawasan MK saat ini terdiri dari subsistem yang
saling berkorelasi yaitu subjek yang diawasi adalah Hakim Konstitusi, objek yang diawasi adalah Etika
dan Perilaku Hakim Konstitusi, subjek yang mengawasi saat ini adalah Dewan Etik Hakim Kontitusi dan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, serta proses pengawasan dilakukan secara preventif dan
represif. Sedangkan dari perspektif independensi dengan pengawasan terhadap Etika dan Perilaku
Hakim Konstitusi dan perspektif akuntabilitas telah tercapai atau tidaknya menggunakan proses
pengawasan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan. Dewan Etik bertugas melakukan pengawasan
terhadap hakim MK jika ditenggarai melakukan pelanggaran dan Dewan ini berhak menerbitkan
peringatan tertulis kepada Hakim MK yang melakukan pelanggaran etik tersebut. Sedangkan Majelis
Kehormatan sendiri baru dibentuk jika ada pelanggaran etik oleh hakim sehingga nantinya Majelis yang
bersifat adhoc ini dibentuk berdasarkan hasil pemeriksaan Dewan Etik MK.
Pemberian kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Konstitusi terdapat dalam pasal 24 C ayat (1)
UUD RI 1945 menyatakan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
12
Kabinet Gelora Pembebasan
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik; dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ditambah dengan satu kewajiban, yang diatur pada pasal 24 C ayat (2) UUD RI 1945 yaitu : “Wajib
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaraan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini menggambarkan bagaimana
wewenang yang besar yang dipegang oleh Mahkamah Konstusi.
Dengan kewenangan besar yang dipegang oleh Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan
tugasnya memerlukan pengawasan agar segala sesuatu yang dilaksanakan berjalan semestinya. Pada
dasarnya manifestasi dari pengawasan itu sendiri adalah menilai apakah suatu pelaksanan berjalan
secara baik terwujudnya pelaksanaan kekuasaan yang bertanggung jawab. Pengawasan terhadap
Hakim Konstititusi ini penting dilakukan karena menurut Suparman Marzuki : “Pengawasan terhadap
Hakim diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim berintegritas tinggi, jujur, dan
profesional dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun dalam kesehariannya.” 23 Selain itu kita perlu
juga untuk mempertimbangkan kata kata daripada Lord Acton, yaitu absolute power corrupt absolutely.
Pengejawantahan lebih lanjut dari standar moral seorang Hakim Konstitusi yang terdapat dalam
Konstitusi tersebut diatur pada peraturan turunannya yang diatur Pasal 27 B huruf a angka 4 UU No.
8/2011 mengatur, “Untuk menjaga dan menegakkan integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
keadilan, dan keneragawanan Hakim Konstitusi wajib mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Konstitusi.” Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi ini diatur lebih rinci dalam Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi.
Selain objek yang diawasi berupa Etika dan Perilaku Hakim Konstitusi, subjek pengawasannya
berasal dari Dewan Etik dan Majelis Kehormatan, yaitu berupa pengawasan secara internal. Struktur
yang secara internal kelembagaan mengawasi Hakim Konstitusi saat ini dilaksanakan oleh Dewan Etik
Hakim Konstitusi, menurut Pasal 1 angka 2 PMK No.2/2013, “Dewan Etik Hakim Konstitusi yaitu
perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku Hakim. Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
23 Suparman Marzuki, “Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman” Bunga Rampai Komisi Yudisial, Komisi Yudisial, Jakarta, 2013. h. 101.
13
Kabinet Gelora Pembebasan
Konstitusi (Sapta Karsa Hutama).” Namun yang perlu digarisbawahi adalah Dewan Etik ini perlu
dipertanyakan keberadaaanya, disini terjadi seperti area yang perlu kita telaah lebih lanjut.
Dinyatakan dari definisi pada Pasal 1 angka 2 PMK No.2/2013, “Dewan Etik Hakim Konstitusi
adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi”, jika kita menelaah lebih jauh pada Pasal
9 ayat (2) menyatakan, “Keberadaan Panitia Seleksi keanggotaannya dipilih dalam Rapat Pleno Hakim
Konstitusi”. Kemudian pada Pasal 10 PMK No. 2/2013 mengatakan, “Sekretariat dari Dewan Etik juga
ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah.” Keberadaan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi ini jelas
tidak bisa terlepas dari struktur dan tindakan dari Mahkamah Konstitusi khususnya Hakim Konstitusi.
Sehinga dapat sangat jelas bahwasannya Dewan Etik Hakim Konstitusi merupakan struktur yang
diklasifikasikan sebagai pengawas internal Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Pengawasan eksternal dari lembaga ini dinyatakan sudah tidak ada lagi terkait membahas
pengawasan untuk Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Komisi Yudisial sebagai lembaga eksternal
dari MK yang melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi telah dihilangkan melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006. Berdasarkan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006,
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang untuk mengawasi hakim
konstitusi dengan alasan sebagai berikut24 :
1. Penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial di dalam Pasal 28B sebelum ketentuan
mengenai Mahkamah Konstitusi di dalam Pasal 29C UUD 1945 merupakan salah satu maksud
atau original intent dari para perumus ketentuan UUD 1945 bahwa perilaku hakim konstitusi
bukanlah objek dari pengawasan Komisi Yudisial.
2. Hakim Konstitusi merupakan seseorang yang diangkat sebagai hakim untuk menjabat selama 5
(lima) tahun, sehingga setelah hakim tersebut menyelesaikan masa jabatannya maka Ia dapat
kembali kepada profesinya sebelum menjadi hakim. Hal ini berbeda dengan hakim biasa yang
dari awal berprofesi tetap menjadi seorang hakim. Selain itu, Komisi Yudisial tidak terlibat di
dalam mekanisme pemilihan dan pengangkatan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur di dalam
UUD 1945.
3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dapat terganggu dan tidak imparsial dikarenakan perilaku
Hakim Konstitusi dapat menjadi objek pengawasan dari Komisi Yudisial, khususnya jika MK
harus memutus sengketa kewenangan antar KY dan lembaga negara lain.
24 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 23 Agustus 2006.
14
Kabinet Gelora Pembebasan
Beberapa tahun setelah dikeluarkan Putusan MK tersebut, tepatnya pada tahun 2013, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Nomor 01 Tahun 2013 yang memberikan dua kewenangan baru terhadap KY, yaitu membentuk panel
ahli untuk melakukan rekrutmen hakim MK dan memfasilitasi pembentukan Majelis Kehormatan MK.
PERPU tersebut dikeluarkan karena adanya kekosongan jabatan Hakim Konstitusi pasca terjadinya
Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap dua sengketa Pemilukada Gunung Mas dan
Lebak. Kemudian, PERPU tersebut disahkan oleh DPR menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU25.
Tidak lama berselang setelah UU tersebut mulai berlaku, Forum Pengacara Konstitusi serta
sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember melakukan uji materiil terhadap UU tersebut.
Seluruh permohonan oleh para pemohon dikabulkan oleh MK melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-
XII/2014 dengan alasan sebagai berikut26 :
1. Pertimbangan dari panel ahli yang dibentuk oleh KY sangat menentukan penyeleksian para calon
hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan presiden.
2. Keterlibatan KY untuk membentuk panel ahli sebagai proses penyeleksian calon hakim konstitusi
dan untuk membentuk majelis kehormatan hakim konstitusi merupakan bentuk penyelundupan
hukum yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006, karena di dalam Putusan
MK tersebut menyatakan bahwa hakim konstitusi bukanlah bagian dari objek pengawasan KY.
3. Ketentuan di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf i UU 4/2014 merupakan ketentuan yang didasari oleh
stigma yang timbul dalam masyarakat yang memandang setiap anggota partai politik tidak layak
menjadi hakim konstitusi pasca terjadinya Operasi Tangkap Tangan (OTT) M. Akil Mochtar yang
berasal dari politisi/anggora DPR., sehingga ketentuan tersebut dapat mencedarai hak-hak
konstitusional warga negara untuk menjadi anggota partai politik sebagaimana diatur di dalam
UUD 1945.
25 Komisi Yudisial, “KY Tidak Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi”, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/850/ky-tidak-berwenang-mengawasi-hakim-konstitusi, diakses 20 November 2019 26 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perkara pegujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 13 Februari 2014.
15
Kabinet Gelora Pembebasan
Dari pembahasan ini kita dapat melihat telah terjadi kembali kekosongan hukum dalam sistem
pengawasan terhadap para Hakim Konstitusi dari lembaga eksternal, padahal telah terjadi fakta
empiris penyalahgunaan kekuasaan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi akibat lemahnya pengawasan
terhadap Hakim Konstitusi. Misalnya pada kasus Operasi Tangkap Tangan terhadap Hakim Mahkamah
Konstitusi, Patrialis Akbar menimbulkan kesan bahwa betapa minimnya pengawasan di lembaga
tertinggi pengujian konstitusi ini. Sebelum Patrialis Akbar, beberapa tahun ke belakang, sang kakap,
yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mokhtar juga diciduk oleh KPK karena kasus
korupsi.27
Saat ini hakim konstitusi di Indonesia hanya diawasi oleh perangkat yang dibentuk oleh internal
mahkamah konstitusi. MK berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi no.2 tahun 2014 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi membentuk dua perangkat yang bertugas menjaga
kehormatan hakim konstitusi yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi. Dewan etik dibentuk untuk menjaga dan menegakan kehormatan dan kode etik hakim
agung terkait laporan atau dugaan pelanggaran oleh hakim terlapor atau terduga. Dewan etik bersifat
tetap. Dewan etik terdiri dari satu orang mantan hakim agung, satu orang gurung besar bidang hukum
dan satu orang tokoh masyarakat. Dewan etik bertugas untuk mengumpulkan,mengolah, dan menelaah
laporan atau informasi tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim konstitusi. Sedanglan
Majelis Kehormatan dibentuk berdasarkan usulan dari dewan etik jika terjadi dugaan pelanggaran
berat yang dilakukan oleh hakim terlapor.
Kelemahan daripada sistem ini sebenarnya pengawasan yang bersifat internal. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana pengawasan internal tersebut dapat mempengaruhi dari kinerja
pengawas internal. Sebagaimana kita tahu dalam pengawasan yang menggunakan mekanisme
pengawasan fungsional seperti Dewan Etik, dibutuhkan beberapa syarat agar kerjanya dapat maksimal.
Salah satu syaratnya adalah bagaimana lembaga pengawas tersebut dapat tidak terpengaruh oleh
lembaga yang diawasi. Melihat dari kedudukan Dewan Etik yang diatur dalam Peraturan MK,
keanggotaannya pun juga ditentukan dari seleksi oleh Hakim Konstitusi, bahkan pendaanaannya juga
berasal dari MK. Hal ini akan membuat Dewan Etik tidak imparsial, padahal dalam asasnya lembaga ini
harus imparsial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada akhirnya tidak ada lembaga pengawas yang
dapat mengawasi MK dengan baik.
27 Akbar Nugroho Gumay, “OTT Patrialis Akbar Bukti Lemahnya Pengawasan MK”, https://tirto.id/ott-patrialis-akbar-bukti-lemahnya-pengawasan-mk-chHP, diakses tanggal 21 November 2019
16
Kabinet Gelora Pembebasan
Solusi Pengawasan Hakim Konstitusi
Jika kita tinjau dari Mahkamah konstitusi Korea Selatan yang mempunyai banyak kesamaan
dengan MK Indonesia. Hakim konstitusi korea berdasarkan pasal 6 UU Mahkamah Konstitusi Korean
selatan diangkat oleh presiden, tiga hakim dipilih oleh Majelis Nasional, tiga hakim dinominasikan oleh
ketua MA. Setiap calon hakim yang diajukan oleh presiden dan Ketua mahakamah konstitusi harus
melalui confirmation hearing yang dilakukan oleh Majelis Nasional. Pengakatan Ketua MK Korea
Selatan dilakukan oleh Presiden dengan persetujan Majelis Nasional. Melihat banyaknya campur tangan
Majelis Nasional secara tersirat Mahkamah Konstitusi Korea Selatan diawasi oleh Majelis Nasional, ini
adalah bentuk check and balance antar kekuasaan , tetapi berdasarkan pasal 113 konstitusi Korea
Selatan, Mahkamah Konstitusi diperbolehkan membuat aturan tentang disiplin internal. Hubungan
dalam sistem pengawasan terhadap lebaga yuidisial di Kore Selatan ini sendiri secara tidak langsung
juga terjadi pada sistem check and balance di Amerika Serikat. Hal ini berkaitan dengan Badan
legislative di Amerika serikat dapat memberhentikan hakim dan dapat menentukan jumlah hakim
agung dalam Mahkamah Agung.
Maka dari itu sebenarnya, ada beberapa pilihan untuk pengawasan Hakim Konstitusi bisa
dengan merombak hubungan antara legislative dan yudikatif, status quo legislative tidak bisa
memberhentikan Hakim Agung ataupun Hakim Konstitusi, bisa dirubah dengan legislative memiliki hak
untuk memberhentikan Hakim konstitusi. Cara yang lain yang bisa dipilih adalah mengembalikan
kekuasaan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi.
Cara pertama dengan merekonstruksi hubungan antara MK dengan lembaga legislatif seperti
DPR sebenarnya adalah hal yang sulit dan riskan. Sebagaimana kita tahu MK sebagai suatu lembaga
peradilan dituntut untuk dapat independen dan imparsial dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Campur tangan yang besar dari DPR dapat mengganggu MK dalam melakukan tuas dan
wewenangnya secara independen dan imparsial. Terlebih sebagaimana kita tahu ada beberapa
kewenangan seperti judicial review UU, pembubaran partia politik, sengketa kewenangan lembaga
negara, dan sengeketa hasil pemilihan umum dimana semuanya berkaitan dengan DPR. Hal ini juga
akan menimbulkan ketimpangan dimana DPR mendapatkan kewenangan yang terlau besar dalam
konsep check and balances Indonesia dimana DPR dapat memilih anggota Hakim Konstitusi dan
bewenang untuk mengawasinya. Padahal Presiden dan MA sendiri tidak dapat kewenangan serupa.
Hal yang paling memungkinkan adalah memberikan kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk
mengawasi Hakim Konstitusi. Komisi Yudisial sendiri merupakan salah satu lembaga yang independen
dari ketiga cabang kekuasaan. Selain itu, Komisi Yudisal sekarang telah memiliki sistem internal,
sumber daya manusia, dan segala hal yang dibutuhkan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim,
17
Kabinet Gelora Pembebasan
begitu pula dengan hakim konstitusi. Selain itu sistem pemberian sanksi dan pencopotan hakim yang
dibangun untuk mengawasi perilaku hakim dibawah MA oleh Komisi Yudisial dan MA bisa dijadikan
acuan bagaimana membentuk pengawasan hakim yang baik.
Sebenarnya sampai sekarang yang membatasi Komisi Yudisial sehingga tidak bisa mengawasi
MK hanyalah Pasal 24B ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945. Disitu disebutkan hanya “hakim”
saja, tanpa dijelaskan apakah Hakim Konsitusi menjadi bagian daripada “hakim” tersebut. Sehingga
pada putusannya MK menafsirkan sesuai dengan original intent “hakim” tersebut tidak melingkupi
Hakim Konstitusi. Perkara dimana MK menganggap pengawasan KY dapat membuat MK tidak inpenden
dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara (dimana KY salah satunya) sebenarnya tidak
terlalu bermasalah. Hal ini dapat ditanggulangi dari sistem pengawasan nanti yang akan dibangun.
Serta yang perlu digarisbawahi adalah pengawasan terhadap hakim hanyalah pengawasan terakit etika
dan perilakunya, sehingga seharusnya tidak mempengaruhi putusannya.
Sehingga pada akhirnya kami menawarkan untuk menambahkan frasa dalam Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 Negara Republik Indonesia 1945, hingga menjadi sebagai berikut :
“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mengakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim temasuk hakim konstitusi.”
18
Kabinet Gelora Pembebasan
Daftar Pustaka
Komisi Yudisial, “KY Tidak Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi”, https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/850/ky-tidak-berwenang-mengawasi-hakim-konstitusi,
Marzuki, Suparman, 2013, “Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman” Bunga Rampai Komisi Yudisial, Komisi Yudisial, Jakarta.
Nugroho Gumay, Akbar, “OTT Patrialis Akbar Bukti Lemahnya Pengawasan MK”, https://tirto.id/ott-
patrialis akbar-bukti-lemahnya-pengawasan-mk-chHP
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perkara pegujian Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 13 Februari 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 perkara pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 23 Agustus 2006.
19
Kabinet Gelora Pembebasan
GBHN ATAU SPPN? : SEBUAH PERBANDINGAN
PERENCANAAN NASIONAL UNTUK INDONESIA YANG IDEAL
Latar Belakang
Dasar historis dari munculnya GBHN tidak lepas dari pengaruh penjajahan Belanda. Secara
spesifik dimulai dari peristiwa politik etis abad 19 akhir dan abad ke-20 awal yang ditandai dengan
dimulainya pemenuhan kebutuhan pribumi di bidang pendidikan, pengairan, dan imigrasi. Ini adalah
salah satu bentuk kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda yang
diselenggarakan secara bertahap. Kebijakan ini memang masih menimbulkan kontroversi di mana
terdapat fungsi laten dari kebijakan politik etis seperti memudahkan para pribumi untuk menjual
tanahnya lewat hak ulayat dan hak eigendom kepada kalangan kolonial. Selain itu juga kebijakan
‘pembangunan’ bertahap ini juga secara laten menimbulkan suatu tujuan untuk menghasilkan buruh
yang kompeten namun murah.
Di saat kemerdekaan, munculnya berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang
berkelanjutan seperti Pembentukan Badan Perancang Ekonomi (Planning board) oleh Adnan Kapau
Gani dan Kasimo Plan. Planning Board adalah suatu badan perencanaan pembangunan ekonomi untuk
jangka waktu 2 hingga 3 tahun, sedangkan Kasimo Plan adalah suatu rencana pembangunan untuk
mencapai swasembada pangan, Namun perlu disayangkan pada awal masa kemerdekaan, perencanaan
pembangunan di Indonesia tidak berjalan secara efektif dikarenakan alasan utama, yakni instabilitas
politik yang ditandai dengan masifnya pemberontakan yang terstruktur dan sistematis, serta
rendahnya investasi yang masuk di Indonesia yang ditandai dengan maraknya kebijakan nasionalisasi
perusahaan dan bank Belanda yang pada akhirnya menimbulkan tingkatan investasi yang sangat
rendah.
Kembali ke konteks perencanaan pembangunan, kedua hal ini adalah awal mulanya
perencanaan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah yang pada akhirnya
bertransformasi menjadi GBHN atas dasar pasal 3 UUD 1945 (sebelum amandemen) yang dilakukan
setelah munculnya dekrit presiden 5 Juli 1959. Sebagai badan hukum yang merepresentasi fungsi
GBHN, dibentuklah suatu badan bernama Dewan Perancang Nasional (Dapernas) yang kini beralih
dengan nama lain, yakni bernama Bappenas, yakni Badan Pembangunan Nasional. Dapernas pada
Oleh : Hamzah, Tariq, dan Danastri
20
Kabinet Gelora Pembebasan
awalnya melakukan rencana pembangunan nasional semesta 8 tahun dari tahun 1961 – 1969. Rencana
ini ditetapkan oleh MPRS yang sebelumnya telah dibuat sebagai Garis Besar Haluan Negara. Rencana
pembangunan pada saat itu sarat dengan konteks kondisi yang tengah terjadi seperti maraknya upaya
land reform sebagai salah satu landasan pembangunan di mana rancangan pembangunan dengan tegas
menolak adanya suatu penghisapan dan eksploitasi petani, nelayan, dan buruh dengan dalih
memberantas feodalisme dan kolonialisme sebagai negara yang baru merdeka dan terindikasi masih
dalam status setengah jajahan dan setengah feodal.
Pembangunan nasional adalah upaya yang diakasanakan oleh semua komponen bangsa dalam
rangka mencapai tujuan bernegara. Tujuan dari sistem Pembangunan nasional ini adalah untuk
mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan, menjamin integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
antara fungsi-fungsi pemerintahan, menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan, mengoptimalkan partisipasi masyarakat, dan menjamin
tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan Untuk
mewujudkannya maka bangsa Indonesia harus mempunyai suatu dokumen pedoman untuk apa yang
ingin bangsa ini raih untuk kedepannya yang memuat rencana pembangunan. Rencana Pembangunan
ini mempunyai perbedaan pada masa sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945.
Selanjutnya setelah kejatuhan Soekarno, muncullah rezim orde baru. Dalam rezim inilah
Bappenas melakukan berbagai rencana pembangunan jangka lima tahun atau sering disebut sebagai
Repelita yang berfokus dalam membangun Indonesia dari bidang agraria hingga menjadi negara
industri. Repelita ini merupakan suatu penjabaran dari GBHN. Repelita dapat dikatakan sebagai acuan
pembangunan pemerintah sekaligus juga menjadi bahan pertimbangan kinerja pemerintah presiden
sebagai mandataris MPR. Presiden melakukan pidato tahunan sebagai bentuk pelaporan tanggung
jawab kinerja pemerintahnya dalam satu tahun terakhir (Bratakusumah, 2003). Repelita ini dibangun
secara terus menerus hingga akhir rezim Soeharto.
Hingga pada akhirnya runtuhnya rezim Soeharto dan munculnya reformasi yang menjadi era
baru bagi proyek pembangunan nasional Indonesia. Setelah amandemen, GBHN dihapuskan dan
munculnya UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang
tidak jauh berbeda dengan GBHN dari segi tujuannya. Munculnya SPPN pasca-amandemen UUD 1945
dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan arah pembangunan yang sebelumnya dilaksanakan melalui
GBHN. 28
28 Christina Clarissa Intania dkk., “Academic Constitutional Drafting : Rancangan Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” Rancangan Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
21
Kabinet Gelora Pembebasan
Permasalahan Sistem Perencanaan Sekarang
Permasalahan utama dalam hal pembangunan nasional saat ini adalah ketidakberlanjutan dan
ketidakharmonisasi antara pusat dan daerah. Beberapa pihak menggulirkan wacana perlunya
pengadaan kembali GBHN disatu sisi dan penguatan model Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN) saat ini. Pada kajian ini akan dibahas kedua wacana tersebut. Pertama terkait wacana
pengadaan kembali GBHN, seperti diketahui paska amandemen Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) sudah tidak berwenang membuat GBHN. Dahulu kewenangan MPR membuat GBHN berasal dari
pasal 3 UUD 1945 “Majelis Permusyawaratan Rakyat Menetapakan Undang-Undang Dasar dan Garis-
Garis Besar Daripada Haluan Negara”. Sehingga anggapan bahwa GBHN merupakan produk orde baru
adalah hal yang keliru karena GBHN sejatinya berasal dari Undang-Undang Dasar itu sendiri. Hilangnya
kewenangan membuat GBHN itu sendiri menjadi konsekuensi logis dari kedudukan MPR tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara. Pengadaan kembali GBHN didasarkan pada isu bahwa saat ini
perencanaan pembangunan tidak berlanjut dan terkesan executive sentris. Executive sentris tersebut
membuat SPPN tidak dapat menangui kekuasaan kehakiman, legislatif, serta lembaga negara non
struktural lainnya. Menjadi permasalahan utama dalam hal pengadaan GBHN pada saat ini adalah
terbentur dengan sistem pemerintahan Indonesia, yaitu sistem presidensiil.
Salah satu kesepakatan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 adalah mempertegas sistem presidensiil.29 Dalam sistem presidensiil menurut Giovani Sartori
salah satu cirinya adalah masa jabatan yang tetap dan tidak bisa dijatuhkan dengan alasan politis
parlemen atau dengan mosi tidak percaya.30 Sehingga apabila melihat praktek pelaksanaan GBHN
dahulu bahwa Presiden karena kedudukannya subordinat MPR, ia bisa dijatuhkan apabila dinilai gagal
dalam hal menjalankan amanat GBHN itu sendiri. Hal ini tidak sesuai dengan ciri utama sistem
presidensiil itu sendiri yang membedakan dengan sistem parlementer dimana kepala pemerintahan bisa
dijatuhkan dengan alasan politis.
Paska dihilangkannya GBHN, perencanaan pembangunan nasional mengacu pada Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang dituangkan dalam Undang-Undang nomor 25 tahun
2004. Menurut ketentuan pasal 3 ayat 3 Undang-Undang a quo hasil SPPN itu dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Dengan demikian anggapan bahwa kekacauan dan
29 Jenedri M Gaffar, 2009, Mempertegas Sistem Presidensiil, https://mkri.id/index.php?page=download.Artikel&id=4 Diakses pada 25 November 2019 30 Giovanni Sartori, Comparative Constitutional Engineering (1997) hal. 84
22
Kabinet Gelora Pembebasan
ketiadaan panduan dalam pembangunan di Indonesia sebenarnya sudah dijawab dengan adanya RPJPN
sebagai pengganti GBHN. Namun demikian harus diakui bahwa pelaksanaan RPJPN yang menjadi dasar
RPJMN dan RKP serta menjadi acuan daerah tidak seefektif pelaksanaan GBHN.31 Permasalahan ini
disebabkan karena sifat perencanaan yang cenderung executive heavy. Sistem perencanaan tersebut
mempuat penegakkan dan pelaksanaannya tergantung compliance daripada presiden dan eksekutif
secara keseluruhan.
Terkait keberlanjutan pembangunan sebenarnya bisa terselesaikan apabila visi misi Presiden
disesuaikan dengan RPJPN nasional karena hal ini juga sebenarnya telah diatur dalam ketentuan pasal
4 undang-undang a quo yang menyatakan bahwa:
“RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum,
program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas
kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara
menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi
dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. “
Kemudian terkait ketidakharmonisan pembangunan di pusat dan daerah juga pada Undang-Undang a
quo sudah memberikan penyelesaian bahwa segala produk perencanaan pembangunan daerah harus
sesuai dengan nasional. Apabila hal ini benar-benar diterapkan tentunya permasalahan ini bisa
terselesaikan.
Setelah perubahan UUD 1945, proses Pembangunan dalam pencapaian tujuan negara atau yang
disebut dengan kebijakan negara tidak lagi menggunakan GBHN. Hal ini dihapus dari kewenangan MPR
pada masa Perubahan Ketiga UUD 1945. Saat ini perencanaan pembangunan nasional tersebut terbagi
menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) untuk periode 20 tahun , Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) untuk periode 5 tahun, dan yang terakhir adalah Rencana
Pembangunan Tahunan Nasional yang disebut juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk periode 1
tahun. Landasan Perencanaan pembangunan pasca amandemen UUD 1945 ini adalah Undang-Undang
Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)32. Inilah sistem
yang diharapkan bisa membuat keterpaduan, keberlanjutan, dan keharmonisan pembangunan nasional
untuk mencapai tujuan nasional.
31 Imam Subhkan, 2014, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal DPR RI Vol. 5 No. 2. 32 Tohadi, “ Memperkuat Legalitas Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN): Reformulasi Penyusunan RPJP Nasional dan RPJM Nasional atau Revitalisasi GBHN ?”
23
Kabinet Gelora Pembebasan
Berdasarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 2004, perencanaan pembangunan terdiri dari
empat tahapan yaitu penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, dan
evaluasi rencana33. Perencanaan-perencanaan ini diatur secara sitematis dan rinci. RPJPN merupakan
dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 ke dalam bentuk visi,
misi, dan arah pembangunan Nasional. RPJPN ini menjadi pedoman bagi RPJMN. RPJMN memuat
strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementrian/Lembaga dan lintas
Kementrian/Lembaga kewilayahana dan lintas kewilayahan , serta kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan. Sesuai ketentuan
pasal 14 Undang-Undang a quo RPJMN dibuat oleh Menteri berdasarkan Musrenbang kemudian dibuat
rancangan awal sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke dalam strategi
pembangunan Nasional, kebijakan umum, program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro
yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuka arah kebijakan fiskal.
Dokumen landasan perencanaan pembangunan nasional pasca amandemen UUD 1945 tidak
memiliki perbedaan jauh dengan dokumen GBHN. Dokumen GBHN dikeluarkan melalui TAP MPR. TAP
MRP menjadi formulasi GBHN yang mana pada masa itu sebagai Keputusan Negara yang merupakan
peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
dan mempunyai sifat abstrak serta mengikat secara umum.34 Sifat keberlakuannya adalah bukan
einmalig melainkan tetap berlaku sesuai dengan ketentuannya. Hal yang berbeda dengan pola
pembangunan nasional setelah amandemen UUD 1945 yang diformulasi dalam Undang-undang nomor
25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan (SPPN) yang mana hal ini dibuat oleh
lembaga legislatif berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat. Dengan pembentukan UU SPPN, dianggap
tidak dapat menjamin sinergisitas pembangunan antara pusat dan daerah. Hal ini disebabkan karena
tidak adanya kejelasan arah sehingga program pembangunan dapat ditafsirkan secara bebas oleh
kepala-kepala daerah.35 Padahal berdasarkan ketentuan pasal 5 Undang-Undang a quo bahwa RPJPD,
RPJMD, hingga RKPD harus berpedoman pada rencana nasional.
33 Anggraini, Yessi, dkk. “Perbandingan perencanaan pembangunan nasional sebelum dan sesudah amandemen undang-undang dasar 1945 “ Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1, Januari-Maret 2015. 34 ibid 35 Chusnul Mariyah, GBHN dan Urgensinya di Masa Depan, pada http://www.mpr.go.id/berita/read/2013/10/03/12708/sosialisasi-4-pilar-di-kampus-kuning 03/12/2013 12: 02.
24
Kabinet Gelora Pembebasan
GBHN atau SPPN?
Baik itu UU No 25 Tahun 2004 tentang SPPN dengan GBHN mempunyai masing-masing
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari SPPN tersebut yaitu yang pertama, mempunyai acuan yang
jelas dalam pembangunan nasional dan yang kedua adalah dengan sistem ini sesuai dengan sistem
presidensil berbeda dengan GBHN dimana presiden ditempatkan sebagai subordinat MPR.. Ketiga,
dalam proses pembuatan atau penyusunan dilakukan dengan penyiapan rancangan, musyawarah
untuk perencanaan pembangunan, penyusunan akhir rencana pembangunan, dan terdapat evaluasi
dalam pembangunan. Keempat, sebagai tuntutan reformasi maka pembangunan acuan yang terdapat
dalam UU No 25 Tahun 2004 mengatur secara garis besar, luas, dan umum. Hal tersebut agar
memberikan kemudahan dan memberikan perkembangan pembangunan lebih fleksibel.
Selain kelebihan-kelebihan yang sudah dipaparkan di atas, adapun kekurangan dari SPPN
terlihat dalam praktik dan implementasinya. Dalam hal pembangunan daerah juga memiliki masalah.
Acuan pembangunan daerah didasari pada SPPN, untuk rencana jangka panjang daerah mengacu pada
peraturan daerah tertentu, untuk rencana menengah daerah mengacu pada peraturan kepala daerah,
dan untuk rencana pendek atau pembangunan tahunan mengacu pada peraturan daerah. Kedua,
meskipun pengaturan perencanaan pembangunan mengacu pada UU SPPN, namun dalam UU tentang
pemerintahan daerah juga mengatur tentang perencanaan pembangunan, sehingga tidak jarang hal
tersebut menjadi permasalah dalam pembangunan yang ada di daerah. Ketiga, meskipun dalam
pembangunan nasional yang mengacu pada UU No. 25 Tahun 2004 terdapat pembangunan prioritas,
namun yang terjadi di lapangan tidak sesuai dengan peraturan tersebut. Hal tersebut dapat dipahami
karena dalam UU tentang pemilu presiden dan kepala daerah, setiap pasangan calon harus memiliki
visi dan misi. Visi dan misi ini yang akan mereka wujudkan nantinya apabila terpilih menjadi presiden
namun adanya keterbatasan masa jabatan sebagai presiden maksimal dua periode atau selama sepuluh
tahun, setelahnya ia tidak dapat meneruskan pembangunan dan diganti dengan calon berikutnya.
Apabila calon berikutnya tidak memiliki visi, dan misi yang sama dengan presiden atau kepala daerah
sebelumnya, maka perencanaan pembangunan tidak dapat berjalan secara kontinuitas. Sebagai contoh
RPJMN presiden SBY yang dianggap menghambat program Nawacita Jokowi36. Keempat, sesuai dengan
pendapat Saldi Isra dinamika pembangunan sekarang berbeda, presiden telah merancang
pembangunan sedemikian baiknya, namun ketika diserahkan ke DPR belum tentu rancangan tersebut
36Syafiul, Hadi.” RPJMN Era SBY Dinilai Hambat Nawacita Jokowi, Ini Kata Demokrat,” Nasional Tempo, https://nasional.tempo.co/read/1113959/rpjmn-era-sby-dinilai-hambat-nawacita-jokowi-ini-kata-demokrat/full&view=ok, diakses 27 November 2019
25
Kabinet Gelora Pembebasan
disetujui oleh DPR37. Dalam hal ini perbedaan pandangan partai politik berpengaruh dalam hal
pengambilan kebijakan untuk pembangunan ini . Belum tentu apa yang dicita-citakan oleh presiden
diterima seluruhnya oleh DPR yang kental pengaruh partai politiknya38. Kelima, Tidak efektifnya
mekanisme kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan RPJPN dan/atau RPJMN. Mekanisme yang dapat
dilakukan masyarakat hanya melalui pemilihan umum dimana masyarakat diberikan hak untuk menilai
efektifitas kinerja kerja presiden dalam melaksanakan RPJPN dan/atau RPJMN dengan cara memilih
kembali Presiden yang bersangkutan jika dirasa efektif dan hal ini bukanlah pengawasan yang ideal.
Oleh sebab itu dibutuhkan mekanisme kontrol yang menjaga RPJPN ataupun RPJMN berjalan efektif39
Untuk mengatasi permasalahan pembangunan disini beberapa solusi dapat ditawarkan. Pertama,
apabila ingin menghidupkan kembali GBHN perlu adanya penyesuaian dengan sistem presidensiil yang
saat ini dianut. Dalam hal ini terkait mekanisme pertanggungjawaban apabila tidak melaksanakan atau
tidak patuh terhadap GBHN maupun turunan jangka menengahnya Mekanisme yang dapat diambil
adalah Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR melainkan kepada rakyat secara langsung.
Dimana langkah yang dapat ditempuh dengan cara meningkatkan efektifitas Sidang Tahunan. Seperti
diketahui saat ini, berdasarkan konvensi ketatanegaraan pada tanggal 16 Agustus setiap tahunnya selalu
menyelenggarakan sidang tahunan. Pada sidang tahunan inilah masing-masing lembaga negara dapat
menyampaikan kinerja lembaganya selama satu tahun. Disini kinerja masing-masing lembaga negara
akan dicocokkan dengan GBHN atau turunannya. Untuk penyesuaian dengan sistem presidensiil, tidak
ada pertanggungjawaban langsung kepada MPR melainkan pada sidang ini bisa mendatangkan para ahli
yang independen untuk mengkonstantir dan mencocokkan kinerja lembaga negara ini dengan GBHN
ataupun turunannya. Hasil kajian dari tim ahli ini nantinya akan dirangkum secara komprehensif yang
kemudian akan disebarluaskan kepada publik. Hasil akhir yang bisa dicapai dari hal ini adalah publik
bisa menilai terkait kinerja masing-masing lembaga negara dan bisa memberikan penilaian bahkan lebih
jauh menjatuhkan sanksi melalui pemilu. Disinilah titik bahwa GBHN dapat sesuai dengan sistem
presidensiil yang ada.
Jika GBHN tidak dimunculkan lagi dalam UUD 1945, maka tantangan berikutnya adalah
bagaimana seharusnya SPPN dapat diterapkan dengan baik. Maka dari itu, penulis memberikan saran
untuk memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan daripada SPPN. Seperti yang kita tahu DPR tugas
37 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif, Menguatnya Model Legislatif Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. 38 Moh. Hudi, S.H., 2018, Perencanaan Pembangunan Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil (Studi Perbandingan Antara Model Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), Tesis Universitas Islam Indonesia. 39 Nugraha, Harry S.,”Urgensi Garis Besar Haluan Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” VeJ Volume 5, Nomor 1, hlm. 191-217
26
Kabinet Gelora Pembebasan
untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksaanan Undang-Undang.40 Selain itu, RPJPN merupakan
produk hukum yang dibuat oleh DPR dan Presiden, hal dibuktikan dari RPJPN yang diatur dalam
Undang-Undang. Sehingga seharusnya hal yang perlu ditingkatkan disini adalah pengawasan oleh DPR
terhadap SPPN. Dengan melakukan pengawasan terhadap SPPN, hal ini akan menjamin terlaksananya
SPPN oleh pemerintah dengan baik.
40 Pasal 72 huruf d Undang-Undang 17 Tahun 2014 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
27
Kabinet Gelora Pembebasan
Daftar Pustaka
Anggraini, Yessi, dkk. “Perbandingan perencanaan pembangunan nasional sebelum dan sesudah
amandemen undang-undang dasar 1945 “ Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 9 No. 1,
Januari-Maret 2015.
Christina Clarissa Intania dkk., “Academic Constitutional Drafting : Rancangan Perubahan Kelima
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” Rancangan Perubahan Kelima
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Harry S., Nugraha, ”Urgensi Garis Besar Haluan Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” VeJ
Volume 5, Nomor 1, hlm. 191-217.
Hudi, S.H., Moh. , 2018, Perencanaan Pembangunan Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil
(Studi Perbandingan Antara Model Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional), Tesis Universitas Islam Indonesia.
Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislatif, Menguatnya Model Legislatif Parlementer dalam Sistem
Presidensial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2010.
M Gaffar, Enedri, 2009, Mempertegas Sistem Presidensiil,
https://mkri.id/index.php?page=download.Artikel&id=4 Diakses pada 25 November 2019.
Mariyah, Chusnul, GBHN dan Urgensinya di Masa Depan, pada
http://www.mpr.go.id/berita/read/2013/10/03/12708/sosialisasi-4-pilar-di-kampus-kuning
03/12/2013 12: 02.
Sartori, Giovanni, Comparative Constitutional Engineering (1997) hal. 84
Subhkan, Imam, 2014, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal DPR RI
Vol. 5 No. 2.
Syafiul, Hadi.” RPJMN Era SBY Dinilai Hambat Nawacita Jokowi, Ini Kata Demokrat,” Nasional Tempo,
https://nasional.tempo.co/read/1113959/rpjmn-era-sby-dinilai-hambat-nawacita-jokowi-ini-
kata-demokrat/full&view=ok, diakses 27 November 2019.
Tohadi, “ Memperkuat Legalitas Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN): Reformulasi
Penyusunan RPJP Nasional dan RPJM Nasional atau Revitalisasi GBHN ?”
28
Kabinet Gelora Pembebasan
Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
UUD Negara Republik Indonesia 1945
29
Kabinet Gelora Pembebasan
MENIMBANG EFEKTIFITAS WACANA PERUBAHAN
MASA JABATAN PRESIDEN
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem presidesial, menurut Rod Hague terdapat 3
unsur sistem pemerintahan presidensial dimana tidak adanya tumpang tindih antara eksekutif dan
legislatif dalam sistem pemerintahan tersebut41. Indonesia sendiri memiliki sejarah yang menarik
terkait sejarah kepresidenan dimana dapat dilihat Indonesia terbagi dalam 3 periode yaiu orde lama,
orde baru, dan reformasi. Pada masa-masa tersebut juga Indonesia memiliki sejarah unik terkait masa
jabatan Presidennya. Indonesia memiliki sejarah yang panjang juga terkait dengan wacana masa
jabatan presiden. Pada saat Presiden Soekarno menjabat, seperti yang ditetapkan pada Tap MPRS No.
III/MPRS/1963 menjelaskan bahwa Tap MPRS tersebut mengangkat Presiden Soekarno sebagai
Presiden Indonesia seumur hidup. Tap MPRS tersebut dilempar pada sidang umum kedua MPRS yang
berlangsung pada tahun 1963 di Bandung. Yang melatar belakangi munculnya Tap MPRS tersebut
menurut AM Hanafie adalah dukungan dari tokoh-tokoh 45 termasuk AM Hanafie sendiri. Motif dibalik
terbentuknya Tap MPRS tersebut adalah untuk antisipasi pihak-pihak seperti TNI dan juga PKI yang
berambisi untuk melengserkan kursi presiden.42
Setelah tahun 1968 Soekaarno lengser, Tap MPRS No. III/MPRS/1963 sudah tidak berlaku dan
sudah kembali kepada UUD 1945, jabatan presiden digantikan oleh Presiden Soeharto. Pada masa
Presiden Soeharto menjabat, pasal yang mengatur tentang masa jabatan presiden adalah pasal 7 UUD
1945 sebelum amandemen. Pasal tersebut mengatur bahwa masa menjabat presiden adalah selama 5
tahun dan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya dengan catatan tidak ada pembatasan dalam
periode menjabat.43 Hal ini disebabkan isi dalam pasal tersebut yang tidak mengatur maksimal periode
menjabat presiden, maka Presiden Soeharto-pun berkuasa di kursi presiden Indonesia selama 32
tahun. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen bukanlah satu-satunya hal yang mendorong Presiden
Soeharto dapat menjabat Presiden Indonesia dalam kurun waktu selama itu, tetapi ada faktor lain.
Faktor lain yang cukup krusial dalam melatar belakangi hal tersebut adalah karena individu yang
41 Arief Maulana, 2014, “Indonesia Menganut Sistem Presidensial, Kekuasaan Presiden Justru Seperti Dipreteli” , http://www.unpad.ac.id/2014/12/indonesia-menganut-sistem-presidensial-kekuasaan-presiden-justru-seperti-dipreteli/, diakses pada 26 November 2019 42Timur Subangun, 2019,” Asal Usul Gelar “Presiden Seumur Hidup” Sukarno Dan Motif Politiknya”, http://www.berdikarionline.com/bung-karno-bukan-diktator/, diakses pada 27 November 2019
Oleh : Havik Indradi, Kevin Atthila, & Imola
30
Kabinet Gelora Pembebasan
menduduki MPR mayoritas merupakan golongan yang mendukung Soeharto. Kondisi tersebut
membuat Soeharto dapat menang dengan mudah setiap pemilihan presiden yang dilewatinya. Pada
tahun 1998, rakyat mulai resah dan merasa ada yang tidak beres pada kepemimpinan Presiden
Soeharto. Rakyat merasa sangat resah dengan kekuasaan Presiden Soeharto yang berhasil menduduki
kursi kepresidenan selama 32 tahun. Keresahan rakyat tersebut memuncak, maka pada tahun 1998
terdapat aksi yang sangat besar dengan tuntutan menurunkan Presiden Soeharto dan meraih
reformasi. Pada akhirnya pada tahun 1998 juga Presiden Soeharto turun dan digantikan oleh wakilnya
yaitu B.J.Habibie.
Wacana amandemen UUD 1945 yang kelima berusaha memangkas kembali masa jabatan
presiden yang sebelumnya dapat menjabat 2 periode, dengan masing masing periodenya 5 tahun,
menjadi satu periode saja namun menjadi 7 tahun. Hal ini tentu dilatarbelakangi hal serupa yakni
mengurangi risiko kesewewenang-wenagan presiden. Refly Harun, pakar hukum tata negara,
menyampaikan argumen serupa yakni pada intinya bermaksud agar presiden tidak menaruh fokus
pada perpolitikan di tahun keduanya menjabat44. Berdasar poin amandemen yang ini kita bisa menilik
negara tetangga yang telah menerapkan masa kepresidenan hanya satu periode yakni Filipina.
Filipina mengalami masa ‘orde baru’nya dengan tonggak kepemimpinan negara oleh Ferdinand
Marcos. Hal hal serupa pada masa orba seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Terjadi
pergolakan pergantian presiden pula dimana saat itu kandidat kuat yang diamanatkan rakyat yakni
Aquino ditembak mati saat turun dari pesawat setelah kembali dari Amerika Serikat45. Hal ini memicu
amarah rakyat pada saat itu. Filipina, setelah Marcos menghilang, mencoba melakukan suatu terobosan
salah satunya ialah terobosan yang serupa yakni dikeluarkannya Konstitusi Filipina Tahun 1987. Kini
Filipina memiliki aturan dalam masa jabatan Presiden yakni hanya satu kali dengan masa jabatan
selama enam tahun. Hal ini dianggap telah menjadi suatu terobosan permasalahan kesewenang-
wenangan pemimpin. Kebijakan ini juga membawa dampak terhadap konstelasi politik yang ada di
negara tersebut. Partisipasi partai politik terbukti lebih menguat dengan semakin banyaknya partai
politik yang berkontestasi dalam pemilihan46.
Setelah presiden Soeharto turun dan rakyat berhasil meraih reformasi yang mereka inginkan,
maka UUD 1945 pun mengalami amandemen dan salah satu pasal yang berubah adalah pasal 7 dalam
44 I Made Asdhiana, et al, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/23/053300665/perubahan-masa-jabatan-presiden-ini-5-usulan-sejak-periode-soekarno?page=all, diakses pada 25 November 2019. 45 Akhmad Muawal, https://tirto.id/tumbangnya-ferdinand-marcos-soeharto-dari-filipina-cFcq?source=Line&medium=Share, diakses pada 26 November 2019. 46 Jungug Choi, “Philppines Democracies Old and New. Elections, Term Limits, and Party Systems”, Asian Survey, Volume 41, No. 3, May/June 2001.
31
Kabinet Gelora Pembebasan
UUD 1945. Pada saat ini sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD 1945, presiden dan wakil presiden
menjabat 5 tahun dalam 1 periode dan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya dengan catatan
presiden dan wakil presiden tersebut hanya dapat menjabat selama 2 periode. Belakangan ini sedang
hangat muncul wacana terkait dengan penambahan masa jabatan Presiden menjadi maksimal 1 periode
dengan masa jabatan maksimal 7 tahun atau 8 tahun. Hal ini sangat menarik untuk ditelusuri karena
Indonesia sudah terbukti memiliki sejarah menarik tentang perubahan masa jabatan presiden. Dalam
masa yang cenderung demokratis seperti sekarang, seperti apakah wacana tersebut dapat berkembang.
Dimana jika dilihat kondisi pemerintahan sekarang dengan masa jabatan yang diatur sudah cukup baik
dalam menjalakan kepemimpinan presiden. Sehingga, wacana yang muncul tersebut akankah lebih
memaksimalkan pekerjaan presiden atau semakin memperburuk kondisi sehingga akan menimbulkan
wacana baru lagi.
Sebagaimana dipahami, Pasal 7 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden
memegang masa jabatan selama lima tahun, dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya
untuk satu kali masa jabatan”. Frasa tersebut merupakan produk dari Rapat Paripurna Sidang Umum
MPR pada 19 Oktober 1999 dalam rangka amandemen pertama naskah UUD 1945. Naskah awal UUD
1945 sebelum amandemen berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Tidak dapat dipungkiri, norma tersebut membuka
peluang bagi para Presiden dan Wakil Presiden yang menjabat sebelum adanya amandemen UUD
tersebut untuk menjabat lebih dari dua kali. Lahirnya amandemen ini tidak dapat dinafikan merupakan
salah satu dari tuntutan reformasi dalam segala bidang kehidupan yang diserukan pada tahun 1998,
yang akhirnya mengakhiri rezim Orde Baru Soeharto yang telah menjabat selama kurang lebih 32
tahun.
Dari Pasal 7 UUD NRI 1945 hasil amandemen diatas, kita dapat mencermati adanya semangat
untuk memberi pembatasan terhadap potensi kesewenang-wenangan Presiden atau Wakil Pesiden
dalam memegang kekuasaan atas pemerintahan negara Indonesia. Pun dengan demikian, pembatasan
masa jabatan ini juga menegaskan pendapat Giovanni Sartori mengenai ciri sistem presidensial. Sartori
mengungkapkan tiga ciri dari sistem presidensial, yakni (1) Presiden dipilih langsung oleh rakayat
untuk masa jabatan tertentu; (2) Dalam masa jabatannya Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh
parlemen; (3) Presiden memimpin langsung pemerintahan yang dibentuknya47. Hal ini sejalan dengan
semangat amandemen UUD 1945 untuk menguatkan sistem presidensial di Indonesia.
47 A. Rasyid Al Atok, “Penguatan Kedudukan dan Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Perubahan UUD 1945”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 24, No. 1, Februari 2011.
32
Kabinet Gelora Pembebasan
Wacana amandemen UUD NRI 1945 untuk kelima kalinya memantik isu diubahnya kembali
masa jabatan Presiden dari status quo dengan beberapa alternatif periode. Pakar Hukum Tata Negara
Refly Harun mengutarakan pendapatnya mengenai perubahan masa jabatan Presiden RI. Sebagaimana
dibahas sebelumnya, Refly mengusulkan agar masa jabatan Presiden diubah menjadi satu periode saja
dengan jangka waktu enam sampai tujuh tahun, atau lebih dari satu periode namun tidak dijabat secara
berturut-turut48. Hal ini akan mengurangi potensi terganggunya kinerja presiden dalam melaksanakan
program kerjanya dalam bidang pemerintahan dibandingkan sibuk mengurus hal-hal yang berbau
politis. Dengan kedua alternatif itu yang memungkinkan tidak adanya calon petahana, presiden akan
dapat lebih fokus dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurangi pemanfaatan aparatur
negara untuk terlibat dalam kampanye politik praktis bagi kepentingan petahana.
Perlu dicermati pula bahwa rezim hukum Pemilihan Umum Indonesia mencakup pelaksanaan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan anggota legislatif secara serentak yang
ditegaskan dengan putusan MK49. Dalam bagian Pendapat Mahkamah pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, dinyatakan bahwa original intent daripada penyusunan
amandemen UUD 1945 utamanya pada norma mengenai Pemilihan Umum pada tahun 1999-2002
adalah melaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan anggota
legislatif. Hal ini bertujuan untuk memperkuat legitimasi suara publik yang memilih dalam pesta
demokrasi dan meminimalisir permainan politik transaksional yang lazim terjadi dalam jeda waktu
antara Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang ndiselenggarakan
setelahnya. Hal ini rawan terjadi demi kepentingan partai-partai politik dan para calon Presiden serta
Wakil Presiden untuk meraih jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi ini
menjadi dasar dari pembentukan norma Pemilu serentak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dimana Pemilu tahun 2019 sudah diselenggarakan secara
serentak. Dengan demikian, apabila dilakukan perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden
yang saat ini berjalan yakni 5 tahun menjadi lebih dari 5 tahun tentunya akan berdampak pada
perubahan sistem penyelenggaraan pemilu serta perubahan masa jabatan anggota legislatif.
Perlu dipahami kembali pula bahwa di Indonesia, Presiden dan Wakil presiden harus dipilih
dalam satu paket pemilihan dalam Pemilu. hal ini dikarenakan, secara politik, Presiden dan Wakil
Presiden adalah satu kesatuan institusi politik50. Pun dalam sistem preisdensial, keduanya tidak dapat
48 Febrianto Adi Saputro, “Soal Masa Jabatan Presiden, Ini Usulan Refly Harun”, https://www.republika.co.id/berita/q1gvwn377/soal-masa-jabatan-presiden-ini-usulan-refly-harun, diakses 25 November 2019. 49 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 50 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika
33
Kabinet Gelora Pembebasan
dijatuhkan oleh alasan politik semata. Wakil Presiden berposisi sebagai “cadangan” apabila dalam
menjalankan masa jabatannya, Presiden tidak bisa melanjutkan baktinya hingga masa jabatan selesai.
Selain itu, Wakil Presiden bertugas mendampingi dan mewakili Presiden dalam urusan kenegaraan.
Peran vital ini membuat norma Pemilihan Presiden bermakna satu kesatuan dengan pemilihan Wakil
Presiden pula. Sehingga, wacana perubahan masa jabatan Presiden juga akan berdampak pada
perubahan masa jabatan Wakil Presiden pula.
Dari wacana perubahan masa jabatan presiden ini, kita juga dapat mengkaji beberapa implikasi
yang mungkin terjadi apabila terdapat perubahan pada jangka waktu presiden untuk menjabat. Dari
segi partisipasi publik dalam penyaluran hak demokrasi dalam pemilu, masa jabatan presiden secara
Single Term yang menghilangkan peluang petahana untuk mencalonkan diri kembali dapat menutup
peluang masyarakat untuk tidak memilih kembali petahana dalam periode jabatan selanjutnya. Dengan
demikian, munculnya kandidat-kandidat baru juga memberikan lebih banyak kesempatan bagi pemilih
untuk mengevaluasi kinerja presiden dan wakil presiden periode sebelumnya dan menjadikan hal
tersebut sebagai tantangan bagi para kandidat presiden dan wakil presiden selanjutnya dalam
mempersiapkan pemerintahan dibawah kepemimpinan mereka. Masa jabatan presiden dalam periode
tunggal juga berpotensi meberikan ruang bagi presiden dan wakil presiden yang menjabat untuk bisa
lebih fokus dalam menjalankan jabatannya tanpa mebawa beban untuk mengikuti dan mendapatkan
jabatan dalam periode kedua apabila mencalonkan diri kembali. Di satu sisi, tidak menutup
kemungkinan bahwa perbedaan pandangan dari satu presiden dan presiden berikutnya dapat
memunculkan perbedaan susunan program dan kebijakan yang akan diambil, sehingga pengawasan
terhadap keberlanjutan program dan kebijakan pemerintah perlu diperkuat agar sesuai dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional .
Dalam hal perubahan masa jabatan presiden memunculkan wacana lebih dari dua periode
seperti yang saat ini berlaku, maka secara politis hal ini dapat membuka peluang munculnya hegemoni
politik dalam waktu yang lebih panjang. Seperti kita ketahui, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945
dinyatakan bahwa “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Hal ini dapat
dimaknai bahwa partai politik pengusung petahana dapat memegang pengaruh kembali apabila
petahana terpilih dalam periode selanjutnya, serta memunculkan potensi kuatnya pengaruh petahana
di parlemen. Dari sini, perlu dilihat bagaimana dampak politis tersebut terhadap efektivitas check and
balances legislatif pada eksekutif.
34
Kabinet Gelora Pembebasan
Dari beberapa pembahasan diatas, dapat dipahami bahwa memang tidak ada ketentuan baku
yang melekat tentang berapa lama masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang ideal. Kembali lagi
bahwa wacana amandemen terbatas kelima UUD NRI 1945 tidak boleh melupakan nilai-nilai mendasar
yang mewujud dalam UUD NRI 1945 yang ada saat ini. Amandemen UUD NRI 1945 pada tahun 1999-
2002 dimaksudkan untuk menguatkan sistem presidensial serta berimplikasi pada menguatnya
hubungan saling mengawasi dan mengimbangi antar cabang kekuasaan negara51. Maka, perubahan
kembali terhadap UD NRI 1945 harus memperhatikan poin pembatasan potensi kesewenang-
wenangan eksekutif, menguatnya fungsi check and balances antar cabang kekuasaan negara, serta
mengakomodir sebanyak mungkin semangat demokrasi oleh warga negara Republik Indonesia.
51 Chrisdianto Eko Purnomo, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik Ketatanegaraan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010
35
Kabinet Gelora Pembebasan
Daftar Pustaka
Adi Saputro, Febrianto, “Soal Masa Jabatan Presiden, Ini Usulan Refly Harun”, https://www.republika.co.id/berita/q1gvwn377/soal-masa-jabatan-presiden-ini-usulan-refly-harun,
Akhmad Muawal, https://tirto.id/tumbangnya-ferdinand-marcos-soeharto-dari-filipina-cFcq?source=Line&medium=Share
Al Atok, Rasyid, “Penguatan Kedudukan dan Pembatasan Kekuasaan Presiden dalam Perubahan UUD
1945”, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Th. 24, No. 1, Februari 2011.
Asdhiana, I Made, et al, https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/23/053300665/perubahan-masa-jabatan-presiden-ini-5-usulan-sejak-periode-soekarno?page=all
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika
Choi, Jungug, “Philppines Democracies Old and New. Elections, Term Limits, and Party Systems”, Asian
Survey, Volume 41, No. 3, May/June 2001.
Eko Purnomo, Chrisdianto, “Pengaruh Pembatasan Kekuasaan Presiden Terhadap Praktik
Ketatanegaraan di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 2, April 2010
Maulana, Arief, 2014, “Indonesia Menganut Sistem Presidensial, Kekuasaan Presiden Justru Seperti Dipreteli” , http://www.unpad.ac.id/2014/12/indonesia-menganut-sistem-presidensial-kekuasaan-presiden-justru-seperti-dipreteli/
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
Subangun, Timur, 2019, ” Asal Usul Gelar “Presiden Seumur Hidup” Sukarno Dan Motif Politiknya”, http://www.berdikarionline.com/bung-karno-bukan-diktator/
36
Kabinet Gelora Pembebasan
URGENSI MEMBERIKAN KEWENANGAN MK UNTUK
MENGADILI CONSTITUTIONAL COMPLAINT
Pengaduan konstitusional adalah salah satu bentuk upaya hukum perlindungan hak-hak konstitusional
warga negara dalam sistem ketatanegaraan.52 Mekanisme pengaduan konstitusional baru dilakukan dan
diterima oleh mahkamah konstitusi jika semua jalan penyelesaian melalui proses peradilan yang tersedia untuk
persaoalan tersebut telah tidak ada lagi.53 Bahwa pengaduan konstitusional sejatinya hadir sebagai mekanisme
perlindungan terhadap hak kosntitusional yang lebih paripurna.
Secara konseptual pengujian konstitusional tidak sama dengan pengujian konstitusionalitas undang-
undang atau judicial review, melainkan ketika membahas pengujian konsitusional tercakup di dalamnya
mekanisme pengaduan konstitusional.54 Pada status quo Mahkamah Konstitusi Indonessia hanya berwenang
untuk melakukan judicial review saja dan belum memiliki kewenangan untuk mengadili perkara pengaduan
konstitusional. Padahal apabila dicermati bahwa alasan utama dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah agar
UUD NRI 1945 yang didalamnya terdapat hak-hak konstitusional benar-benar dijalankan atau ditegakkan
dalam praktik.55
Perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara merupakan hal yang wajib dilakukan oleh
negara sebagai salah satu prinsip negara hukum itu sendiri. Secara historis bahwa hak-hak individu disini
apabila telah masuk dalam konstitusi tentunya akan mengikat seluruh cabang kekuasaan negara, sehingga
pentaatan terhadap hak-hak tersebut dapat dipaksakan salah satunya dengan putusan pengadilan.56 Alasan
selanjutnya mengapa Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya memiliki kewenangan mengadili perkara
pengaduan konstitusional karena dalam praktik banyak terdapat pelanggaran terhadap hak konstitusional
warga negara yang faktor penyebabnya bukan dikarenakan inkonstitusionalitas norma undang-undang namun
disebabkan karena adanya perbuatan atau kelalaian lembaga negara.57
Beberapa kasus pelanggaran hak konstitusional warga negara yang tidak tertangani karena tidak ada
lembaga untuk menyalurkan constitutional complaint atau pengaduan konstitusional adalah terbitnya Surat
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/94/KPTS/013/2011 tentang Larangan Aktivitas Jamaah
52 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 1 53 Victor Ferreres C, 2004, Is The European Model of Constitutional Review in Crisis?, paper presented for the 12th annual conference on ‘the individual Vs. the State. 54 Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-model Pengujuan Konstitusional di Berbagai Negara, Konpres, Jakarta. hlm. 7 55 Jimly Asshiddiqie, 2006, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal MK RI, Jakarta. 56 Imtiaz Omar, 1998, Constitutional Law, Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-Canberra-Melbourne-Perth. Hlm.245 57 I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 5
Oleh : Tariq Hidayat, Cora Kristin, & Ricko Aldebarant
37
Kabinet Gelora Pembebasan
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di provinsi tersebut,58 Sehingga berdasarkan data terhadap surat maupun
permohonan yang masuk di kepaniteraan MK pada 2005 sebanyak 48 perkara hingga apabila melihat tahun
2010 terdapat 29 perkara dan pada 2017 terdapat 7 perkara yang secara subtansial merupakan bentuk
pengaduan konstitusional.59 Dari data ini dapat disimpulkan dua hal pertama bahwa ada urgensi untuk
menambah kewenangan mengadili pengaduan konstitusional warga negara dan apabila melihat jumlah yang
semakin menurut lumrah saja karena apabila perkara diajukan ke Mahkamah Konstitusi putusannya akan
‘tidak dapat diterima’ karena tidak adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk itu. Meskipun menurut
hasil wawancara dengan Prof. Ni’matul Huda beberapa kali MK memutus permohonan pengaduan
konstitusional melalui jalur judicial review seperti pada perkara nomor 20/PUU-XVII/2019 terkait E-KTP dan
Surat keterangan E-KTP bisa digunakan untuk mencoblos di pemilu 2019.
Berangkat dari hal ini dan kebutuhan masyarakat akan perlindungan hak konstitusionalnya, dirasa
perlu agar Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pengaduan konstitusional. Alasan
selanjutnya adalah bahwa dengan tidak adanya kewenangan mengadili perkara pengaduan konstitusional oleh
Mahkamah Konstitusi kontradiktif dengan sejarah kelahiran Mahkamah Konstitusi itu sendiri yaitu untuk
menegakkan prinsip negara hukum yang demokratis yang ciri utamanya adanya perlindungan terhadap hak
konstitusional warga negara.60 Alasan terakhir adalah apabila melihat negara dengan sistem peradilan
Mahkamah Konstitusinya mirip dengan Indonesia seperti Jerman dan Korea Selatan telah memasukkan
kewenangan ini guna perwujudan perlindungan terhadap konstitusional kepada warga negaranya berjalan
secara maksimal.61 Sehingga berdasarkan alasan-alasan di atas perlu untuk Mahkamah Konstitusi untuk
diberikan kewenangan mengadili perkara-perkara pengaduan konstitusional atau constitutional complaint
sebagai perwujudan keseriusan negara untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum itu sendiri dan
bermuara pada perlindungan yang optimal terhadap hak konstitusional warga negara.
PERBANDINGAN
Jerman
Dalam pasal 93 (Federal Constitutional Court) ayat (1) angka 4a dan 4b menyebut bahwa pelanggaran
oleh pembuat kebijakan terhadap hak-hak dasar seseorang menjadi sebab diberlakukannya pengaduan
konstitusional di Jerman62. Lembaga yang memiliki wewenang dalam menangani dan mengadili pengaduan
58 http://www.republika.co.id. 02/03/2011, diakses tanggal 27 November 2019. 59 http://setara-institute.org/kinerja-mahkamah-konstitusi-ri-2016-2017/ dan http://panmohamadfaiz.com. Diakses pada 27 November 2019. 60 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 61 I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 6-9. 62 Zulkarnain, Ridlwan, “Pengaduan Konstitusional di Negara Federal Jerman”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 3,
September-Desember 2011
38
Kabinet Gelora Pembebasan
konstitusional di Jerman ialah Mahkamah Konstitusi Federal Jerman, hal ini sesuai dengan amanat pasal 93
ayat (1) butir 42 Grundgesetz Bundesrepublik Deutchland (amandemen ke-19, 29 Januari 1969)63. Dalam
mekanisme pengaduan konstitusional di Jerman, yang dapat mengajukan pengaduan konstitusional ialah siapa
saja yang merasa hak dasarnya telah dilanggar oleh pejabat publik. Sedangkan, tindakan pejabat publik
tersebut merupakan objek dari pengaduan konstitusional. Warga negara yang ingin mengajukan pengaduan
konstitusional sebelumnya sudah harus menempuh terlebih dahulu jalur hukum seperti pada pengadilan
khusus hingga pengadilan tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi Federal Jerman
adalah jalan hukum tertinggi yang ditempuh setelah melalui tahapan beracara di tingkat-tingkat sebelumnya64.
Akan tetapi, hal tersebut dapat dikecualikan untuk beberapa hal, yaitu apabila hal yang diadukan mengandung
relevansi umum serta apabila keharusan untuk melalui tahapan beracara di tingkat-tingkat sebelumnya justru
akan memberikan dampak negatif bagi pemohon pengaduan65. Penerapan pengaduan konstitusi di Jerman ini
memiliki keterkaitan positif dengan pelaksanaan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara Jerman.
Amerika Serikat
Berbeda dengan Jerman yang memberlakukan model pengujian konstitusional yang tersentralisasi,
Amerika Serikat mempraktikkan pengujian konstitusional yang menyebar sehingga semua tingkatan
pengadilan di Amerika Serikat dapat melakukan pengujian konsitusionalitas undang-undang maupun
perbuatan pejabat publik. Hal tersebut akan menimbulkan konsekuensi berupa munculnya kemungkinan
perbedaan pandangan tiap pengadilan, akan masalah yang sama, sehingga dalam hal ini Mahkamah Agung
berperan untuk menyatukan pandangan terkait hal konstitusionalitas yang mendasar. Mahkamah Agung di
Amerika Serikat berperan sebagai pengawal konstitusi karena tidak adanya Mahkamah Konstitusi dalam
negara tersebut, sehingga Mahkamah Agung di dalam Amerika Serikat berperan dalam mengawal hak-hak
konstitusional warganya serta menjamin diberlakukannya Konstitusi Amerika Serikat sebagai hukum yang
tertinggi66.
Pengaduan Konstitusional secara formal tidaklah dikenal di Amerika Serikat, karena AS tidak
memisahkan antara pengujian konstitusionalitas perundang-undangan dan pengujian konstitusionalitas
perbuatan. Kedua hal tersebut bisa diuji secara terpisah maupun diuji bersamaan sekaligus, sehingga dari sini
dapat dikatakan bahwa meskipun pengaduan konstitusional tidaklah dikenal secara formal, akan tetapi praktik
63 Gugun El Guyanie, “Urgensi Pengujian Constitutional Complaint Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, IN RIGHT
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 1, 2013 64 Zulkarnain, Ridlwan, Op. cit. 65 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran
Hak-Hak Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 416 66 Ibid.
39
Kabinet Gelora Pembebasan
pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review) di Amerika Serikat telah menunjukkan bahwa
karakternya lebih kepada pengaduan konstitusional67,
Korea Selatan
Korea Selatan adalah negara di Asia yang sudah lama menerapkan mekanisme pengaduan
konstitusional dengan Pengadilan Konstitusi sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk mengadili. Hal
tersebut didasarkan pada pasal 68 ayat (1) dan (2) The Constitutional Court Act of Korea. Kewenangan yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi Korea dalam mengadili pengaduan konstitusional lebih terbatas dari
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman, hal ini karena badan hukum di Korea
tidaklah memiliki legal standing, selain itu putusan pengadilan biasa tidak dapat dijadikan objek pengaduan,
dan pengaduan undang-undang meskipun dimungkinkan dalam undang-undang, akan tetapi baru dapat
dilakukan setelah tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan68.
Indonesia
Berbeda dengan tiga negara di atas, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tidak memiliki
kewenangan dalam mengadili pengaduan konstitusional. Hal ini menimbulkan konsekuensi berupa tidak
adanya mekanisme apabila terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional oleh para pejabat publik, padahal sudah
tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh. Sehingga pemberian wewenang kepada Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia untuk mengadili pengaduan konstitusional adalah hal yang perlu dilakukan69.
Kesimpulan
Hal yang perlu diperhatikan apabila Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan mengadili perkara
pengaduan konstitusional tentunya potensi kasus yang masuk akan sangat besar seperti yang terjadi di
Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Hal ini disebabkan karena potensi pelanggaran hak konstitusional akan
lebih besar apabila terkait pelaksanaan suatu undang-undang mengingat banyaknya pejabat publik yang
menjalankan suatu ketentuan dari undang-undang tersebut. Namun, hal ini tidak menjadi suatu permasalahan
apabila negara ingin benar-benar hadir secara optimal untuk memberikan perlindungan hak konstitusional.
Terkait permasalahan pertama, banyaknya kasus yang masuk ke Mahkamah Konstitusi dapat dimaknai dua
hal yaitu bahwa Mahkamah Konstitusi benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pelindung hak
konstitusional warga negara dan sebagai refleksi oleh para pejabat publik bahwa dengan banyaknya kasus
yang masuk terkait perkara pengaduan konstitusional menandakan bahwa kegiatan yang mereka kerjakan
67 Ibid. 68 Ibid. 69 Ibid.
40
Kabinet Gelora Pembebasan
tidak sesuai dan butuh pembenahan untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan pelanggaran-
pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara.
Amandemen Pasal 24C UUD NRI 1945:
“ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, menguji perkara pengaduan
konstitusional, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.”
41
Kabinet Gelora Pembebasan
Daftar Pustaka
Ferreres C, Victor, 2004, Is The European Model of Constitutional Review in Crisis?, paper presented for the 12th annual conference on ‘the individual Vs. the State.
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Model-model Pengujuan Konstitusional di Berbagai Negara, Konpres, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Peradilan Konstitusi di Sepuluh Negara, Sekretariat Jenderal MK RI, Jakarta.
Omar, Imtiaz, 1998, Constitutional Law, Butterworths, Sydney-Adelaide-Brisbane-Canberra-Melbourne-Perth.
http://www.republika.co.id. 02/03/2011, diakses tanggal 27 November 2019.
http://setara-institute.org/kinerja-mahkamah-konstitusi-ri-2016-2017/ dan http://panmohamadfaiz.com. Diakses pada 27 November 2019.
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Zulkarnain, Ridlwan, “Pengaduan Konstitusional di Negara Federal Jerman”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 5, No. 3,
September-Desember 2011.
El Guyanie, Gugun, “Urgensi Pengujian Constitutional Complaint Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, IN RIGHT
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 3, No. 1, 2013.
Gede Palguna, I Dewa, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-
Hak Konstitusional, Sinar Grafika, Jakarta.
UUD NRI 1945