bab ii pemeroman pantai semarang
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pelabuhan dan Alur Pelayaran
Menurut Salim (1994), pelabuhan merupakan suatu lingkungan kerja yang
terdiri dari area daratan dan perairan yang dilengkapi dengan fasilitasnya untuk
berlabuh dan bertambat kapal, guna terselenggaranya bongkar muat barang serta
turun-naiknya penumpang dari suatu moda transportasi laut (kapal) ke moda
transportasi lainnya atau sebaliknya. Fasilitas pelabuhan dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu: fasilitas untuk kapal (alur pelayaran, kolam pelabuhan,
dermaga, sarana bantu navigasi dan perbaikan kapal), fasilitas untuk barang dan
penumpang (gudang transit, terminal, terminal penumpang, lapangan
penumpukan, gudang lini II, tankfarm dan silo) dan fasilitas untuk penggunaan
tanah (jaringan jalan, parking areas, jalan kereta api, lapangan penumpukan,
waiting docks dan pipa-pipa).
Alur masuk atau ke luar menuju laut merupakan salah satu faktor yang
perlu mendapat perhatian serta pertimbangan dalam pengembangan pelabuhan.
Perencanaan pembuatan alur pelayaran ditentukan oleh kapal terbesar yang akan
masuk ke pelabuhan, kondisi meteorologi dan oseanografi (Triatmojo, 1996).
Selain itu Salim (1994) juga menyatakan lebar alur pelayaran minimal 30 meter
dan maksimal 300 meter tergantung dari besar-kecilnya kapal yang akan masuk ke
pelabuhan tersebut. Perubahan arah alur sekecil mungkin dan jika melebihi dari
4
sudut 300 maka minimum radius lengkung tidak boleh kurang dari empat kali
panjang kapal terbesar yang keluar masuk pelabuhan tersebut.
2.2. Echo sounder
Sistem SONAR (Sound NAvigation and Ranging) merupakan suatu
peralatan yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang obyek-obyek
bawah air yakni dengan pemancaran gelombang suara dan pengamatan echo yang
kembali dari obyek yang bersangkutan. Secara umum sistem SONAR terdapat
dua macam yaitu sistem SONAR yang arah pemancaran gelombang suaranya
vertikal (echo sounder) dan sistem SONAR yang arah pemancaran geolombang
suaranya horisontal (sonar) (Arnaya, 1991).
Echo sounder adalah alat pemeruman (penentuan kedalaman) yang bekerja
berdasarkan prinsip perum gema. Melalui sebuah tranduser, gelombang akustik
dipancarkan ke dasar laut, kemudian dipantulkan kembali dari dasar laut yang
kemudian diterima oleh receiver. Setelah diterima receiver, sinyal diperkuat oleh
suatu amplifier. Kemudian kedalaman dasar laut dapat dihitung berdasarkan
waktu tempuh gelombang akustik (transite time) dan kecepatan rata-rata
gelombang akustik di air dalam satuan meter (Pipkins, 1987).
Selanjutnya kedalaman tersebut digambarkan dalam bentuk echogram
yang menggambarkan perubahan kedalaman terhadap waktu. Sinyal echo juga
dikirim ke digitizer untuk merubah data atau sinyal analog menjadi data atau
sinyal digital. Echo digitizer berfungsi Analog to Digital Converter (ADV)
5
sehingga memungkinkan data diolah secara digital menggunakan komputer
(Sudarto dkk, 1996).
Satu unit echo sounder jenis SIMRAD EA 300 ini terdiri dari dua unit
kabinet dan sebuah tranduser single beam. Kabinet pertama memiliki display
dengan resolusi warna yang sangat tinggi untuk menampilkan echogram secara
real time, kabinet ini juga berfungsi sebagai pengontrol untuk menjalankan echo
sounder. Kabinet yang kedua transceiver yang terdiri dari unit echo sounder
elektronik, yang terdiri dari unit transmitter dan receiver. Kabinet ini juga
dilengkapi dengan sarana hubungan paralel input-output untuk berhubungan
dengan bagian di luar echo sounder. Sinyal echo yang dihasilkan oleh tranduser
harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum sampai ke recorde oleh receiver
amplifier. Sedangkan transmitter menghasilkan pulsa listrik yang berfrekuensi dan
lebar tertentu tergantung dari desain tranduser. Kekuatan pulsa suara yang
dihasilkan oleh transmitter antara beberapa watt sampai ribuan watt (Arnaya,
1991).
Tranduser single beam berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi
suara ketika pulsa akan dipancarkan dan sebaliknya akan mengubah energi suara
menjadi energi listrik ketika echo diterima. Selain itu tranduser juga berfungsi
memusatkan energi suara yang dipancarkan sebagai beam. Bentuk umum beam
adalah kerucut yang terdiri dari main lobe (bagian utama) dan beberapa side lobe
(Arnaya, 1991).
6
Gambar 1. Diagram Sederhana tentang Echo sounder (Burczynski and Ben
Yami, 1985)
Bagian alat yang mengirim bunyi atau disebut pendaya getar (tranduser)
digunakan untuk pemeruman gema biasa, bunyi yang digunakan frekuensinya
7
berkisar 1 – 12 kilocycle (Kc). Ada pula pemeruman gema jenis lain yang
dinamakan pemerum gema ultrasonic (ultra sonic echosounder), frekuensi yang
digunakan ialah 20 – 50 kilocycle (kc). Penyerapan bunyi secara kasar berbanding
lurus dengan pangkat dua frekuensinya. Karena itu bunyi ultrasonic dengan
frekuensi tinggi kurang kuat menembus lapisan air karena cepat diserap dan
sebaliknya bunyi dengan frekuensi rendah mempunyai berkas bunyi (sound beam)
yang lebar. Pemerum gema yang menggunakan berkas bunyi yang lebar
(frekuensi rendah) memiliki dua kelemahan, yaitu hasil-hasil gambar yang kurang
tajam atau kurang jelas dan hasil-hasil pengukuran yang seringkali kurang dari
kejelekan yang sebenarnya. Dari hasil-hasil pengukuran dengan pemerum gema
maka dapat dipelajari bentuk-bentuk dasar laut dengan jalan memetakan
kejelukan-kejelukan pada peta-peta batimetri (bathymetri) (Illahude, 1999).
2.3. Penempatan Transduser pada Kapal
Interpretasi data echogram sangat dipengaruhi oleh penempatan transduser
pada kapal. Karena sangat pentingnya penempatan transduser maka transduser
harus ditempatkan pada daerah aman yang tidak terganggu oleh getaran mesin,
gerakan air ataupun putaran baling-baling kapal
Burczynski dan Ben Yami (1985) menyatakan bahwa baling-baling
menimbulkan kapal akan menimbulkan noise lebih besar pada satu sisi dari pada
satu sisi yanga lain pada kapal, tergantung dari arah putarannya. Jika putarannya
searah jarum jam maka transduser sebaiknya diletakkan pada sisi kanan lunas,
tetapi jika putarannya berlwanan dengan arah jarum jam maka transduser
8
diletakkan pada sisi kiri lunas. Selain itu transduser harus diletakkan di samping
lunas pada bagian kapal terlebar dan bagian terdalam dari lambung kapal.
FAO (1980) menjelaskan bahwa posisi transduser yang ideal adalah
daerah terdalam pada kapal dan pada titik-titik bebas noise ditentukan jika noise
yang ditimbulkan oleh aliran air sepanjang lambung kapal berbeda-beda sesuai
dengan keseimbangan dan kecepatan kapal. Titik terdalam biasanya pada daerah
baling-baling atau kemudi, tetapi daerah ini paling banyak terdapat noise sehingga
tranduser lebih baik dijauhkan dari tempat tersebut. Selain itu transduser jangan
diletakkan pada haluan karena ditempat ini akan menimbulkan noise pada saat
kecepatan kapal penuh, serta gerakan vertikalnya akan mengganggu mutu dari
recording.
Menurut Wahyu dan Ridwan (1996) kondisi cuaca buruk juga akan
menimbulkan noise. Gelombang air laut serta hempasan air dapat menimbulkan
whitecaps dan busa atau busa di bawah kapal yang mengakibatkan recording
terganggu. Hal ini menjadikan alasan tambahan untuk menghindari posisi
tansduser dekat dengan haluan (bow).
2.4. Pemetaan Dasar Laut
Pemetaan dasar laut atau batimetri adalah ilmu tentang pengukuran dan
pemetaan topografi dari dasar laut. Sedangkan istilah batimetri berasal dari
Yunani, yaitu: bathy yang artinya kedalaman dan metry yang artinya ilmu
pengukuran (Pipkins, 1987).
9
Gambar 2. Hasil Pemeruman yang Bisa Salah (Illahude, 1999)
Data batimetri yang telah teramati umumnya mempunyai informasi
tentang posisi dan kedalaman secara bersamaan. Faktor kondisi dinamis dari
wahana kapal yang membawa peralatan tersebut serta faktor lainnya sangat kecil
pengaruhnya terhadap proses pengambilan data yang berupa posisi dan
kedalaman. Selain itu data pasut pada bulan penelitian dilaksanakan sangat
diperlukan untuk menentukan referensi kedalaman (Irfan dkk, 1996).
Alat yang digunakan untuk mengetahui kedalaman dinamakan echo
sounder, dimana sistem kerjanya menggunakan pulsa suara sebagai media
pengukuran . Pulsa suara akan bergerak dari tranduser yang diletakkan di bawah
kapal menuju dasar laut dan akan kembali lagi dan diterima oleh transmiter.
10
Sehingga jangka waktu perjalanan suara akan diketahui (kecepatan suara dalam
air laut berkisar 4.800 kaki/detik atau 1.463 meter/detik), maka akan diketahui
kedalamannya secara akurat untuk menyingkap topografi dasar laut (Pipikins,
1987).
2.5. Geomorfologi Pesisir
Menurut Bird (1984), geomorfologi pesisir lebih menekankan
pembahasannya dalam bentuk lahan, evolusi dan proses-proses yang sedang
berlangsung di wilayah pesisir. Selain itu Verstappen (1983) juga menyatakan
bahwa proses-proses geomorfologi mempunyai sebuah peran yang hanya
menggabungkan bentuk yang telah ada terbentuk. Cross-section pada sebuah peta
kontur digunakan untuk scouring masa lampau. Ketika perbaharuan peta, satu hal
yang perlu dipertimbangkan yaitu kemungkinan adanya akumulasi dampak
proses-proses yang terulang atau tidak terulang. Selama kecenderungan interval
yang mungkin menghasilkan perubahan yang signifikan pada bentuk alam yang
membuatnya menjadi peta dan kegunaan peta ini pada peta topografi lengkap pada
skala 1:50.000 atau lebih kecil lagi. Kemudian dampak kemajuan proses-proses
geomorfologi adalah lambat yang normal dan kebanyakan tidak kelihatan seperti
hasil garis-garis kontur dan lukisan edisi peta pertama dapat sering digunakan
untuk merivisi peta. Peta mungkin berubah konfigurasinya pada perencanaan yang
kemungkinan hasil dari masalah seperti dari akresi pantai, erosi fluvial dan lain-
lain. Dalam pengertian kondisi topografi, pembuat peta harus tahu bahaya yang
11
menyesatkannya, seperti contohnya perbedaan pasang-surut yang ada di daerah
pantai.
Dalam geomorfologi pesisir ada tiga istilah yang serupa tetapi masing-
masing mempunyai arti yang berbeda-beda, yaitu:
- Pesisir ( coast) yaitu mintakat atau zona yang meluas, meliputi pantai dan
perluasannya ke arah darat sampai batas pengaruh laut tidak ada (Strahler
and Strahler, 1978).
- Pantai (shore) yaitu mintakat atau zona batas sebelah luar yang terkena
pengaruh gelombang menuju ke arah laut pada level pasut terendah sampai
batas pengaruh langsung gelombang terhadap daratan (Duxbury dan
Duxbury, 1994).
- Gisik (beach) yaitu deposit sedimen yang bergerak, terbatas pada tepi
pantai (backshore) tetapi sering meluas ke arah pantai depan (foreshore)
(Gross, 1993 dan Duxbury and Duxbury, 1994).
Geomorfologi telah banyak menerima pengembangan dari ilmuwan dan
perancang. Tambahan ini ada yang berupa penjelasan non-geomorfologi,
memasukkan ilmu tanah, teknik, ilmu geologi dan regional. Pada waktu yang
sama cakupan geomorfologi berangsur-angsur berkembang, penekanan sering
ditujukan pada beberapa aspek beragam yang dapat diterima hanya pada
terbatasnya perhatian (Verstappen, 1983).
Beberapa faktor yang diperhitungkan dalam jangka panjang adalah
aplikasi geomorfologi yang perlu diambil untuk dikaji. Pertama ada
ketidaksesuain antara skala manusia dan waktu geologi. Relief kerak bumi
12
mengalami perubahan yang rata-rata sangat lambat dan karena itu skala waktu
geologi dibutuhkan untuk merekam evolusi bentuk tanah yang secara berangsur-
angsur dari satu tipe ke tipe lainnya. Kedua adalah kenyataan bahwa ramalan
subyek dapat hanya berkembang setelah geomorfologi sungguh-sungguh tidak
dapat dihindari seperti ilmu dengan metode penelitian semestinya. Tapi sekarang
ini lebih menekankan pada penggunaan teknik survei dan pemetaan dari gambaran
geomorfologinya (Verstappen, 1983).
Menurut Duxbury dan Duxbury (1994) keseluruhan wilayah pesisir
dikelompokkan menjadi dua kategori. Klasifikasi tersebut tergantung pada
luasnya skala perubahan roman yang disebabkan oleh proses tektonik, deposisi,
erosi , vulkanik atau biologi. kategori pertama adalah pesisir yang telah dibentuk
oleh;
- Aktifitas vulkanik, pemasukann aliran-aliran lava
- Deposit sedimen yang dibawa oleh sungai-sungai, glasier dan angin
- Erosi tanah yang di bawa oleh aliran air permukaan, angin atau daerah es
- Peningkatan dan penurunan permukaan tanah akibat gempa bumi dan
pergerakan kerak bumi.
Pesisir yang dibentuk oleh proses-proses di atas di sebut Pesisir Primer (primary
coasts). Sedangkan kategori kedua yaitu pesisir yang dibentuk oleh;
- Erosi yang diakibatkan oleh gelombang, arus atau aksi pelarut air laut
- Deposisi sedimen oleh gelombang, pasut dan arus
- Alterasi oleh tumbuhan dan hewan laut.
13
Pesisir yang dibentuk oleh proses-proses di atas disebut Pesisir Sekunder
(secondary coasts).
Secondary coasts terjadi karena interaksi antara laut dan proses-proses
yang terjadi di laut, seperti gelombang besar yang menuju pantai. Gelombang
akan mengikis secara konstan dan membawanya menjauh dari pantai menuju laut.
Batuan dan karang yang terjal akan akan terkikis oleh aksi gelombang dan
terbawa menuju laut. Pada beberapa kasus, material hasil erosi yang terbawa ke
arah laut oleh gelombang dan arus menuju daerah-daerah pantai saja. Jika
material pasir terdeposit di dangkalan offshore yang sejajar dengan gisik maka
akan menghasilkan bars (Duxbury dan Duxbury 1994).
Menurut Van Zuidam dan Van Zuidam-Cancelado (1979), analisis dan
klasifikasi bentuk tanah adalah dasar untuk mempelajari terrain. Terrrain disini
mempunyai arti sebidang tanah yang dikelompokkan berdasarkan pada
kekomplekkan permukaan secara fisik dan sifat-sifat permukan tanah. Roman
terrain dibentuk oleh proses-proses alam yang mempunyai uraian komposisi dan
kelas karakteristik fisik dan kenampakan yang terjadi dimana bentuk tanah
ditemukan. Sistem analisa terrain, klasifikasi dan evaluasi yang sekarang ini telah
ada, biasanya telah ditafsirkan dengan satu tujuan spesifik pada permasalahan.
Ada tiga prinsip yang menjadi dasar tujuan:
1. Sistem harus dapat dipakai untuk survei pada berbagai cara
2. Sistem harus dapat dipakai pada pelbagai level perincian
3. Sistem harus bebas dari perbedaan antara unit-unit yang homogen
14
Dari hasil-hasil pengukuran dengan pemeruman gema maka dapat kita
pelajari bentuk-bentuk dasar laut dengan jalan memetakan kejelukan-kejelukan
pada peta batimetri dan irisan penampang dasar laut bisa digambar. Irisan
penampang melintang biasanya dilakukan pembesaran (exagration) vertikal untuk
mendapatkan gambar-gambar yang jelas dan terperinci. Karena skala vertikal
maksimum dalam ilmu oseanologi cuma beberapa kilometer. Menurut Van
Zuidam dan Van Zuidam-Cancelado (1979), cross-section merupakan salah satu
dari beberapa teknik pada klasifikasi terrain. Teknik ini berdasarkan pada profil
terrain yang dilihat dari karakteristik topografi, geomorfologi dan dan geologi.
Selain itu cross-section sering juga disebut terrain-squance. Cross-section
disarankan harus mengikuti langkah-langkah seperti berikut:
1. Belahan garis harus memilih garis yang tegak lurus dengan kontur atau
berbentuk garis yang merupakan panjang lereng curam dari suatu
terrain.
2. Perkiraan posisi yang menghubungkan antara berbagai macam bantuan
dan tipe sedimen harus teridentifikasi.
3. Perkiraan posisi dari perbatasan, seperti perkiraan lokasi dari zona
transisi antara batuan bertahan dan tidak bertahan harus teridentifikasi.
4. Kemungkinan unit-unit yang istimewa dari terjadinya proses-proses
geomorfologi.
5. Perkiraan posisi lapisan-lapisan tanah (tipe tanah) harus teridentifikasi.
6. Unit-unit terrain harus digambarkan pada Icross-section pada lima
basis kondisi rangkuman.
15
Sebagai hasil dari tinjaun atas peta-peta topografi, gambar-gambar irisan
penampang maupun pemotretan bawah air laut, maka kita dapat mengenal dan
membeda-bedakan bentuk dasar laut. Ternyata bahwa morfologi dasar laut itu
cukup kompleks seperti halnya yang terdapat didaratan (Illahude, 1999).
Sedangkan tiga pendekatan utama yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam
mendesign sistem:
1. Pendekatan genetik
2. Pendekatan parametrik
3. Pendekatan bentang alam
Pendekatan genetik yang banyak diperhatikan adalah lebih menekankan
pada proses-proses yang masuk bukan bentuk tanahnya. Hasil ini pada sebuah
sistem klasifikasi komposisi dari unit-unit terrain, sistem dan daerah yang dapat
menggunakan kekerasan pada keadaan sekarang ini . pendekatan bentang alam
mungkin mempunyai tujuan yang lebih baik, terutama sekali jika didasarkan pada
prinsip geomorfologi (proses-proses lampau dan sekarang ini). Pendekatan
parametrik seringkali juga teoritis dan cenderung tidak memberi masukan untuk
sebuah pengertian yang jelas dari besarnya interaksi pada sistem ekologi (Van
Zuidam dan Van Zuidam-Cancelado 1979).
Dari segi skala atau besarnya bentuk-bentuk dasar laut maka dasar laut
dapat dibedakan menjadi tiga golongan besar (Illahude, 1999), yaitu:
a. Relief besar (macro relief), yaitu bagian dasar laut yang mempunyai
interval kedalaman 500 m. Pete-peta seperti ini bias didapatkan dari
“International Hydrographic Bureau” di Monaco. Bagian dasar laut yang
16
termasuk dalam relief ini adalah birai benua (continental margin), lubuk
samudera (oceanic basin) dan gili atau punggungan samudera (oceanic
ridge).
b. Relief pertengahan (intermediate relief), termasuk dalam golongan ini
ialah bentuk-bentuk yang berukuran vertikal beberapa ratus meter dan
ukuran horizontal beberapa puluh kilometer. Bagian dasar laut yang
termasuk ke dalam relief ini adalah jurang bawah air (submarine canyon),
jurang tengah samudera (mid ocean canyon) dan rekahan (rift).
c. Relief kecil (micro relief), dengan dikembangkannya teknik pemotretan
dasar laut (bottom topography) sebagai alat penelitian oseanologi yang
baru, maka dapatlah orang melakukan penelitian atas relief mikro pada
dasar laut. Relief kecil merupakan hasil dari prose-proses fisika, kimia
dan biologi yang terjadi pada bidang antara air laut dan tanah
Menurut Van Zuidam dan Van Zuidam-Cancelado (1979), klasifikasi
lereng dibagi dalam kelas diskripsi dan parameter sudut serta panjang lereng
sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Lereng
No. Kelas ParameterSudut lereng (%) Beda tinggi (m)
1. Rata (Hampir rata) 0 – 2 < 52. Landai 3 – 7 5 – 503. Miring 8 – 13 25 –754. Curam menengah 14 – 20 50 – 2005. Curam 21 – 55 200 - 5006. Sangat curam 56 – 140 500 – 10007. Amat sangat curam > 140 > 1000
17
Gambar 3. Bagian Dasar Laut yang Lengkap. (1) Landas Benua (continental
shelf). (2) Lereng Benua (continental slope). (3) Ampuan Benua
(continental rise). (4) Lubuk Samudera (oceanic basin).
(5)Palung Samudera (oceanic trench). (6) Gili Samudera (ocenic
ridge) (Illahude, 1999)
2.6. Global Positioning System (GPS)
GPS merupakan sistem radio navigasi dalam penentuan posisi dengan
menggunakan satelit. Nama formalnya adalah NAVSTAR GPS, kependekan dari
NAVigation Sattelite Timing and Ranging Global Pisitioning System. Sistem ini
dapat bekerja pada berbagai kondisi cuaca dan didesain untuk memberikan
informasi posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti serta informasi mengenai
waktu diseluruh dunia. Sistem ini mulai direncanakan sejak tahun 1973 oleh
18
Angkatan Udara Amerika Serikat dan pengembangannya sampai sekarang
ditangani oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. GPS terdiri atas tiga
segmen utama, yaitu segmen angkasa (space segment) yang terdiri dari satelit-
satelit GPS, segmen sitem kontrol (control system segment) yang terdiri atas
stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit dan segmen pemakai (user
segment) yang terdiri atas pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah
sinyal serta pengolah data GPS. Ketiga segmen GPS ini digambarkan secara
skematik pada Gambar 4.
Gambar 4. Sistem Penentuan Posisi, GPS (Abidin, 1995)
Alat penerima GPS pada umumnya memiliki keluaran data yang dapat
dikirim ke PC secara real time melalui interface serial port RS-233C dalam format
ASCII meliputi: waktu (time), lintang (latitude)Y, bujur (longitude)/X, kualitas
data posisi PDOP (Pecision Dilution Of Position) dan data-data lainnya. Waktu
dinyatakan dalam detik berdasarkan beberapa alternatif, seperti: GPS week
19
terhitung sejak minggu dini hari, local time atau UTC time. Sedangkan lintang-
bujur dinyatakan dalam radian atau XY dinyatakan dalam meter, pada ellipsoid
WGS84 sesuai set-up ellipsoid pada penerima GPS, dan PDOP dinyatakan dalam
satuan (Sudarto dkk, 1996).
Menurut Abidin (1995) sinyal GPS harus mempunyai karakteristik
sedimikian rupa sehingga dapat mengamati sinyal yang datang dari semua arah
dan ketinggian dengan baik. Antena GPS untuk keperluan survei dan pemetaan
sebaiknya menggunakan stabilitas pusat fase yang tinggi serta daya tolak terhadap
multipatch. Multipatch yaitu fenomena dimana sinyal dari satelit tiba di antena
GPS melalui dua atau lebih lintasan yang berbeda. Dalam hal ini satu sinyal
merupakan sinyal langsung dari satelit ke antena, sedangkan yang lainnya
merupakan sinyal-sinyal tidak langsung yang dipantulkan oleh benda-benda
disekitar antena sebelum tiba di antena.
2.7. Pasut
Menurut Duxbury dan Duxbury (1994), pasut disebabkan oleh daya tarik
gravitasi antara bumi dan matahari dan antara bumi dan bulan. Pasang-surut air
laut merupakan gerak naik-turunnya air laut secara ritmik dari waktu ke waktu
meskipun tidak ada angin maupun topan, yang disertai gerakan horisontal secara
berkala (Handoyo, 1993).
Perairan Indonesia yang luas agak terbatas untuk dapat berinteraksi secara
maksimal terhadap gaya penggerak pasut, sehingga pasut di perairan Indonesia
20
merupakan cerminan reaksi sistem pasut dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia
(Pariwono dalam Ongkosongo dan Suyarso, 1989).
Menurut Nontji (1993) berbagai lokasi mempunyai ciri pasang surut yang
berbeda-beda, hal ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal seperti;
topografi dasar laut, lebar selat, bentuk teluk dan sebagainya. Pasang surut tidak
hanya akan mempengaruhi lapisan air bagian atas saja tapi juga seluruh massa air
dan energinya sangat besar. Di perairan-perairan pantai terutama di teluk-teluk
atau di selat-selat yang sempit gerakan turun-naiknya muka air laut akan
menimbulkan terjadinya arus pasang surut.
Sifat pasut di suatu perairan seringkali ditentukan dengan menggunakan
rumus Formzahl. Menurut Hutabarat dan Evans (1985), dengan menggunakan
rumus tersebut untuk setiap stasiun yang ada, sifat pasut di perairan Indonesia
dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Pasut tunggal yang mendominasi perairan Indonesia sebelah barat
2. Pasut ganda yang mendominasi perairan Indonesia sebelah timur.
Pengaruh kombinasi antara bulan dan matahari terhadap pasut menyebabkan dua
keadaan pasut (Pipkins, 1987);
1. Spring tides yaitu pasut yang mempunyai tunggang air paling tinggi,
terjadi dua kali tiap bulannya ketika daya tarik gravitasi bulan dan
matahari terhadap pasut sama kuatnya.
2. Neap tides yaitu pasut yang mempunyai tunggang air paling rendah,
terjadi dua kali tiap bulannya ketika posisi bulan, bumi dan matahari
membentuk sudut 900.
21
Gambar 5. Peta Sifat-sifat Pasang-surut ASEAN (Ongkosongo dan Suyarso,
1989)
22
Metode analisis pasang surut menurut Dronkers dalam Renopalupi (1998)
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Metode harmonik (Harmonic methods) yaitu metode yang didasarkan pada
periodesitas fenomena pasang surut.
2. Metode karakteristik (Characteristic methods) yaitu melakukan
pendekatan yang berbeda dalam mencari solusi dari persamaan gelombang
panjang. Sifat-sifat periodik dari pasut tidak penting dalam metode ini.
Fenomena pasut diperhitungkan secara menyeluruh, karena itu pengaruh
alam yang tidak periodik seperti pengaruh keadaan meteorologi dapat
lebih mudah dimasukkan dalam metode karakteristik. Metode ini sesuai
untuk menerangkan masalah tersebut karena dapat menggambarkan secara
rinci perambatan gelombang dan menunjukkan ketergantungan solusi
persamaan pasut terhadap kondisi batas dan kondisi awal.
3. Metode numerik (Numerical methods) yaitu metode yang menggunakan
solusi yang berasal dari teori karakteristik. Untuk mendapatkan nilai-nilai
konstanta dari pasut, daerah penelitian dibagi menjadi grid tertentu (set of
lattice point). Dengan pembagian tersebut persamaan-persamaan
digantikan dengan persamaan finite-difference. Metode ini telah banyak
dikembangkan terutama dengan bantuan komputer untuk menurunkan
persamaan matematika yang rumit. Tetapi untuk penelitian aspek fisik dari
perambatan pasut, metode numerik tidak menghasilkan gambaran secara
rinci seperti pada metode karakteritik.
23
Gerakan vertikal pasut dianggap sebagai gerakan harmonik yang tidak sederhana.
Dimana gerakan harmonik tersebut diakibatkan oleh periodesitas dari gaya
pembangkit pasut. Oleh karena itu dapat dibuat kurva gelombang yang mirip
dengan kurva sinusoidal. Gerakan pasut dikatakan harmonik yang tidak sederhana
karena kurva pasut berulang secara periodik namun tidak sesuai dengan
sebelumnya. Dalam teori ini ketinggian muka air laut yang dipengaruhi oleh
pasang surut merupakan hasil penjumlahan dari komponen-komponen gaya
penggerak pasut (The Hyydrographer of the Navy dalam Palit, 1992).
2.8. Hubungan Muka Laut Rata-rata (MLR) dengan Echo sounder
Menurut Ongkosongo dan Suyarso (1989) dan Pugh (1987) kedudukan
permukaan laut rata-rata setiap saat berubah sesuai dengan perubahan posisi dari
benda-benda di langit serta kerapatan (densitas) air laut di tempat tersebut sebagai
akibat perubahan salinitas, suhu dan tekanan atmosfer. Perubahan permukaan laut
setiap waktu didifinisikan sebagai MLR ditambah komponen pasang dan
gelombang.
Selain itu Pugh (1987) juga menambahkan bahwa perubahan MLR dalam
jangka pendek dipengaruhi oleh gaya gravitasi penyebab pasang dan cuaca.
Secara langsung dan tidak langsung MLR dipengaruhi oleh cuaca, terutama
perubahan musiman dan tahunan oleh angin dan penasan matahari.
Dalam survei hidrografi dikenal istilah MLR sejati dan MLR sementara.
MLR sementara harian pada umumnya ditentukan melalui pengamatan kedudukan
air laut setiap jam selama satu hari, mulai dari jam 00 sampai jam 23 (24 Jam).
24
MLR harian ini biasanya dipengaruhi oleh cuaca. Untuk MLR bulanan didapat
dari pengamatan MLR harian selama satu bulan. Sedangkan MLR sejati dikenal
dengan MLR tahunan dan besarnya didapat dari MLR selama satu tahun.
Perubahan MLR tahunan antara lain disebabkan oleh perubahan ketinggian dasar
laut, sehingga perubahan dasar laut secara tidak langsung dapt diketahui melalui
perubahan MLR tahunan. Untuk mendapatkan MLR sejati harus diadakan
pengamatan kedudukan permukaan laut selama 18,6 tahun (Ongkosongo dan
Suyarso, 1989).
Pasang surut dan muka laut rata-rata di sebelah Utara Pelabuhan Tanjung
Emas Semarang sangat berpengaruh pada saat pemeruman gema dengan
menggunakan echo sounder. Hal tersebut disebabkan oleh muka laut rata-rata
setiap jam, hari dan bulan berbeda sehingga akan berpengaruh terhadap
kedalaman yang didapat dari pemeruman gema setiap jam, hari dan bulan yang
berbeda. Muka air laut rata-rata di perairan sebelah Utara Pelabuhan Tanjung
Emas Semarang dipengaruhi oleh musim tenggara (musim timur)
2.9. Hubungan Suhu dan Salinitas dengan Sistem Echo Sounder
Menurut Herunadi dkk (1996) dalam bidang oseanografi, parameter suhu
dan salinitas merupakan parameter yang sangat penting. Karena melalui kedua
parameter tersebut ditambah dengan tekanan maka rahasia laut dapat diketahui,
yang salah satunya yaitu fenomena perambatan suara di air laut. Fenomena suara
tersebut berkaitan dengan pulsa suara yang dipancarkan oleh tranduser.
25
Kecepatan suara di air selain dipengaruhi oleh suhu dan salinitas, juga
dipengaruhi oleh kedalaman (Arnaya, 1991). Secara umum Urick (1983)
merekomentasikan rumus kecepatan suara sebagai berikut:
C = 1449,34 + 4,56T – 0,046T2 + (1,38 – 0,01T) X (S – 35) + D/61
dimana T adalah suhu (0C), S adalah salinittas (0/00) dan D adalah kedalaman.
Gambaran tentang pengaruh suhu dan sallinitas terhadap kecepatan suara dapat
dilihat pada Gambar 6.
Menurut Illahude (1999) dan Arnaya (1991) absorpsi gelombang suara (α)
atau koefisien attenuation disebabkan oleh absorpsi dari proses kimia di dalam air
laut yang menyebabkan acoustic loss. Absorpsi dipengaruhi oleh frekuensi (f),
dimana makin tinggi frekuensinya, absorpsi juga makin besar. Secara umum dapat
dikatakan bahwa makin tinggi salinitas maka α juga makin tinggi dan makin
tinggi suhu maka α makin rendah.Selain itu absorpsi suara di dalam air juga
dipengaruhi oleh partikel-partikel yang ada di dalam medium perairan yang
bersangkutan.
Air laut bukan merupakan medium yang homogen karena mengandung
sejumlah lapisan dengan densitas berbeda yang menyebabkan variasi suhu dan
salilnitas pada kedalaman yang berbeda. Hal tersebut menyebabkan gelombang
suara akan direfraksikan pada saat melalui suatu batas densitas yang berbeda.
Kecepatan suara berubah menurut kedalaman jika gelombang suara yang
bersangkutan mengenai suatu wave front. Menurut hukum Snell dengan
perbedaan lapisan air tersebut maka arah gelombang suara akan membelok.
26
Gambar 6. Hubungan antara Kecepatan suara, Suhu dan Salinitas (Mitson, 1983)
Pengaruh fenomena pembelokan suara di atas terhadap penggunaan echo
sounder mungkin tidak terlalu besar pengaruhnya karena arah transmisi suara
vertikal ke bawah, tetapi untuk sonar mungkin lebih besar pengaruhnya karena
biasanya lapisan air dengan perbedaan suhu dan salinitas yang besar terjadi secara
horizontal (Mitson, 1983).
27