bab ii latar belakang terbentuknya protocol kyotoeprints.umm.ac.id/46663/3/bab ii.pdf · mekanisme...
TRANSCRIPT
24
BAB II
LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA PROTOCOL KYOTO
Pada Bab II ini peneliti akan menjelaskan mengenai bagaimana latar
belakang terbentuknya Protocol Kyoto, sebagaimana Protocol Kyoto merupakan
sebuah legal instrument atau perjanjian Internasional yang mengikat bagi negara-
negara yang berkomitmen untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim atau
Climate change. tentunya hal ini mempunyai pengaruh bagi Negara-negara
anggotanya dalam melakukan implementasi prinsip-prinsip dari Protocol Kyoto
yang di implementasikan melalui kebijakan domestik suatu Negara sebagai bentuk
aksi nyata dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim.
Peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu sejarah Protocol Kyoto sebagai
acuan dasar dalam memahami cikal bakal terbetuknya kesepakatan Kyoto atau
Protocol Kyoto dengan berpijak pada penjelasam secara terperinci terkait hal yang
melatar belakangi Protocol Kyoto terbentuk. Selanjutnya peneliti akan
menjabarkan secara terperinci terkait hasil kesepakatan dari Protocol Kyoto sebagai
cikal bakal terbentuknya mekanisme atau prinsip-prinsip dalam Protocol Kyoto.
Setelah itu peneliti akan menjelaskan mengenai prinsip-prinsip Protocol
Kyoto sebagai output dari kesepakatan tersebut, dimana dalam prinsip tersebut
terdapat beberapa mekanisme untuk melakukan implementasi dari prinsip-prnsip
Protocol Kyoto yang akan dijalankan oleh Negara anggota Protocol Kyoto.
Selanjutnya peneliti akan menjelaskan mengenai mekanisme Implementasi
Bersama Joint Implementation, Perdagangan Emisi Emission Trading, dan
Mekanisme Pembangunan atau Bersih Clean Development Mechanism sebagai
25
acuan dalam menjelaskan keterkaitan atau kesalinghubungan antara topik yang
peneliti angkat, yaitu prinsip dari Protocol Kyoto yang di implementasikan oleh
Indonesia melalui kebijakan energi nasionalnya, untuk itu peneliti akan
menjelaskan ketiga mekanisme tersebut yang merupakan cikal bakal dari ide
penting melakukan pemanfaatan dari pengembangan energi baru terbarukan. Secara
sederhana sub bab dari Prinsip-prinsip tersebut mempunyai keterkaitan satu sama
lain dengan topik yang peneliti angkat.
2.1 Sejarah Protocol Kyoto
2.1.1 Latar Belakang Protocol Kyoto
Hal yang melatar belakangi Protocol Koyoto terbentuk ialah terkait
permasalahan perubahan iklim yang diakibatkan oleh kegiatan industri yang
masif selama 150 tahun, pada dasarnya Protocol Kyoto memiliki tujuan
untuk menyatukan komitmen terkait penanggulangan permasalahan
perubahan iklim dengan mendapatkan pengakuan dari negara-negara maju
untuk bertanggung jawab atas tingginya tingkat emisi gas rumah kaca atau
GRK sebagai akibat dari kegiatan industri tersebut.1 Untuk itu dalam
Protokol ini, negara-negara maju di posisikan sebagai pemangku beban
permasalahan pengurangan emisi gas rumah kaca dan pemrakarsa
komitmen bagi negara-negara di dunia untuk berkomitmen dalam
penanggulangan permasalahan perubahan iklim dengan prinsip ‘’Common
1UNFCCC, Kyoto Protocol, diakses dalam https://unfccc.int/process-and-meetings/the-kyoto-
protocol/what-is-the-kyoto-protocol (6/1/2018, 20.45 WIB)
26
but differentiated responsibilities’’ atau tanggung jawab bersama tapi
berbeda. 2 Diharapkan hal ini menjadi kerjasama multirateral dalam rangka
mengatasi permasalahan perubahan iklim karena dalam mengatasi
permasalahan tersebut perlu melibatkan seluruh negara didunia yang tidak
hanya sebagian saja.
Berangkat dari latar belakang tersebut, dibawah naungan PBB pada
United Nations Framework Convention on Climate Change atau UNFCCC
Protocol Kyoto disepakati oleh Negara-negara anggota PBB di Kyoto,
Jepang, pada tanggal 11 Desember 1997, kemudian kesepakatan tersebut
mulai berlaku pada 16 Februari tahun 2005. Aturan terperici terkait
pelaksanaan kesepakatan Protocol Kyoto sebenarnya tertera melalui
konverensi anggota yang ke-7 di Marrakesh, Maroko pada tahun 2001 atau
yang dikenal sebagai Kesepakatan Marrakesh atau Marakesh Accords.
Dalam Protocol Kyoto negara dibagi menjadi tiga bagian kelompok
utama dengan komitmen yang berbeda, kelompok pertama yaitu negara
Annex satu dimana, kelompok ini merupakan negara yang memiliki
ekonomi maju yang notabenenya ialah negara industrialisasi maju.
2 Prinsip CBDR dideklarasikan pada KTT Bumi pertama tahun 1997 di Rio De Jenairo Brazil,
deklarasi tersebut menyatakan bahwa, setiap Negara mempunyai kontribusi yang berbeda-beda
terhadap degradasi lingkungan global oleh karena itu setipa Negara mempunyai kesamaan visi
dengan tanggung jawab yang berbeda. Prinsip CBDR mempunyai 2 pilar terhadap implementasiya,
pilar pertama ialah lingkungan hidup. Dalam pilar ini yang menjadi prioritas ialah Pembangunan
berkelanjutan dimana, baik negara-negara maju ataupun negara-negara berkembang dalam
melakukan pengurangan emisi GRK diwajibkan meninjau aspek pembangunan berkelanjutan
terhadap lingkungan hidup. Pilar yang terakhir adalah pembiayaan atau finansial. Dalam hal ini
negara-negara maju diminta untuk menigkatkan dukugan finansial bagi negara berkembang dimana,
negara-negara maju diharapkan dapat memfasilitasi aliran modal swasta, transfer teknologi,
kemitraaan internasional dan lain-lain untuk negara-negara berkembang. ATD Fourt World, Policy
Brief and Proposals: Common But Difeereniated Responsibilities, diakses dalam
https://sustainabledevelopment.un.org/getWSDoc.php?id (6/1/2018, 20.45 WIB)
27
Selanjutnya kelompok Anneex dua ialah negara yang terdiri dari anggota
OECD atau Organisation for Economic Cooperation and Development ,
kelompok negara Annex dua pada dasarnya juga merupakan negara-negara
maju yang mempunyai peran dalam memfasilitasi negara-negara
berkembang terkait penyediaan sumber daya keuangan untuk
memungkinkan negara berkembang melakukan kegiatan penanggulangan
pengurangan GRK sesuai dengan konvensi Protocol Kyoto. Selain itu
kelompok negara Annex dua juga diwajibkan melakukan pertukaran
informasi maupun penjalinan kerjasama dalam hal transfer teknologi terkait
permasalahan emisi GRK.
Kemudian yang terakhir ialah kelompok negara Non Annex satu,
kelompok negara ini dari negara-negara berkembang yang diakui konvensi
Protocol Kyoto, kelompok negara ini merupakan kelompok yang dinilai
membutuhkan bantuan dari kelompok negara Annex dalam hal adaptasi
maupun implementasi terkait penanggulangan pengurangan GRK. Secara
sederhana gambaran umum hal yang melatar belakangi terbentuknya
Protocol Kyoto adalah sebagai berikut:
28
Gambar 1. Timeline terbentuknya Protocol Kyoto3
Mengacu pada gambar diatas Protocol Kyoto dibentuk melalui
proses panjang dari hasil pertemuan para pemimpin dunia pada KTT Bumi
tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992.
Agenda tersebut merupakan cikal bakalterbentuknya Protocol Kyoto
dimana, negara-negara melakukan negosiasi terkait peraturan detail tentang
penanggulangan permasalahan pengurangan GRK. Sebagaimana pada saat
pertemuan tinggi tahunan dalam Converence of parties ke tiga di Kyoto,
Jepang, sebuah agenda yang diadopsi sebagai pendekatan untuk
mengurangi GRK. Adapun kepentingan dari Protocol Kyoto ialah untuk
mengatur setiap negara yang meratifikasi konvensi tersebut dalam
melakukan penanggulangan pengurangan GRK.
3 Youssef Nassef, NAPAs in the co text of the UNFCCC Process, diakses dalam
https://unfccc.int/files/adaptation/napas/application/pdf/03_unfccc.pdf (6/1/2018, 21.00 WIB)
29
Setelah Protocol Kyoto diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997,
protokol ini dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998 oleh
negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Namun demikian, bagi
negara pihak yang tidak ikut menandatanganinya dapat mengaksesi
protokol tersebut setiap saat. Sesuai dengan pasal dua puluh lima, protokol
ini berlaku efektif setelah Sembilan puluh hari setelah diratifikasi oleh lima
puluh lima negara. Kesepakatan tersebut mulai berlaku pada 16 Februari
2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Pada waktu itu Protokol telah ditandatangani oleh delapan puluh empat
negara penandatangan salah satunya ialah negara Indonesia, dengan
demikian Protocol tersebut telah terbentuk dan terkait bagaimana
implementasi serta hasil kesepakatan dari agenda tersebut akan dijelaskan
pada sub bab selanjutnya.
2.1.2 Hasil kesepakatan Protocol Kyoto
Sebagaimana telah dijelaskan diatas Potocol Kyoto dibentuk dengan
tujuan untuk menjaga konsentrasi GRK agar berada pada tingkat yang tidak
membahayakan iklim bumi, oleh karena itu ksesepakatan pertama Protocol
Kyoto muncul ialah untuk mengatur penurunan emisi GRK oleh negara
maju atau negara-negara industri sebesar lima persen dibawah tingkat emisi
tahun 1990 dalam periode 2008-2012 dengan melalui mekanisme
Implementasi Bersama Joint Implementation, Perdagangan Emisi Emission
30
Trading, dan Mekanisme Pembangunan bersih Clean Development
Mechanism.4
Tiga mekanisme tersebut merupakan output dari kesepakatan
Protocol Kyoto guna mngatur negara yang meratifikasi agenda tersebut,
akan tetapi seperti yang kita ketahui masa periode implementasi mekanisme
tersebut telah usai, untuk itu pada perjalananya Protocol Kyoto dewasa ini
melakukan perpanjangan implementasi agenda tersebut dengan melakukan
agenda komitmen ke dua pada Pada bulan Desember 2012, agenda ini
merupakan sidang COP 18 UNFCCC di Doha, Qatar, yang berisi tentang
kesepakatan perpanjangan masa periode imlementasi Procol Kyoto
diperpanjang masa berlakunya hingga tahun 2020.5 Adapun tujuan
diberlakukanya masa perpanjangan periode ini guna mengisi kekosongan
hukum internasional akibat usainya masa periode kesepakatan Protocol
Kyoto yang pertama.
Namun pada masa periode kesepakatan yang ke dua pada dasarnya
tidak memiliki perubahan dalam segi prinsip maupun mekanisme, oleh
karena itu jika hal tersebut digambarkan dalam sebuah table ialah sebagai
berikut:
4Rhesa Ayu Putri Belinawati, Posisi Jepang Dalam Amandemen Doha Terhadap Protokol Kyoto,
diakse dalam (6/1/2018, 21.00 WIB)
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67222/potongan/S1-2014-297099-chapter1.pdf 5 Ibid., hal. 2.
31
Tabel 1. Perbedaan Protokol Kyoto 2008 dan 20126
Aspek Protocol Kyoto 2008 Protocol Kyoto 2012
Jumlah Emisi - Memiliki target
pengurangan emisi
GRK sebesar 5%
dibawah tingkat emisi
1990 dalam periode
2008-2012
- Memiliki target
pengurangan emisi
GRK sebesar 18%
dari tahun 1990
yang dimulai pada
tahun 2013-2020
Mekanisme - Mekanisme Joint
Impemetations
(mekanisme bersama),
Clean development
mechanism (meknisme
pembangunan bersih),
Emission Trading
(perdagangan emisi)
- Memiliki
mekanisme yang
sama dengan
sebelumnya,
namun surplus
yang didapat pada
periode
sebelumnya tidak
dapat digunakan
pada tahun 2012.
Mengacu pada table diatas bisa kita lihat bahwa pada periode
komitmen ke dua pengurangan emisi ditingkatkan menjadi delapan belas
persen yang dimulai pada tahun 2013 sampai 2020 dengan demikian hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi negara yang teah meratifikasi komitmen ke
dua tersebut mengingat mekanisme yang digunakan sama pada periode
sebelumnya. Pada hal ini tentu praktik meknisme tersebut diharapkan
nantinya dapat di jalankan dengan baik oleh negara yang telah meratifikasi.
Selanjutnya terkait bagaimana implementasi Protocol Kyoto akan diuraikan
pada sub bab selanjutnya.
6 Ibid., hal. 3.
32
2.2 Mekanisme Protocol Kyoto
2.2.1 Mekanisme Implementasi Bersama, Joint Implementation
Mekanisme implementasi bersama ialah kerjasama antar pihak yang
diatur dalam Protocol Kyoto artikel 6 dimana, Protocol Kyoto memberikan
izin bagi negara yang berkomitmen untuk mengurangi atau membatasi emisi
yang tergabung dalam Protokol Kyoto untuk memperoleh unit pengurangan
emisi Emission Reduction Unit atau ERU atas proyek pengurangan emisi
yang dimiliki oleh negara lain yang tergabung dalam negara anggota Annex
I.7 Praktik mekanisme ini bisa terjadi apabila negara yang memiliki
kapasitas emisi yang lebih banyak dapat membantu negara anggota Annex
satu lainya yang memiliki kekurangan dalam hal memenuhi kapasitas
emisinya melalui kegiatan proyek yang bersifat mereduksi GRK. Selain itu
jika kerjasama tersebut berhasil terselenggara, penerbitan kredit
pengurangan emisi GRK akan diterbitkan berdasarkan jumlah serapan GRK
dari penyelenggraan proyek tersebut.
Adapun detail mekanisme dari praktik proyek tersebut yang menjadi
negara tuan rumah ialah negara yang memprakarsai proyek tersebut
berjalan, perhitungan kredit pengurangan emisi GRK disebut Emission
Reduction Unit atau ERU. Dalam implementasinya negara anggota Annex
satu dapat menggunakan ERU untuk memenuhi target pengurangan emisi
GRK melalui mekanisme Protokol Kyoto dengan catatan salah satu dari
7UNFCCC, Joint Implementation, diaksse dalam https://unfccc.int/process/the-kyoto-
protocol/mechanisms/joint-implementation (6/1/2018, 22.00 WIB)
33
negara tersebut memiliki kekurangan kapasitas emisi GRK, oleh karena itu
kapasitas emisi negara Anggota Annex satu tidak akan berubah jika antar
anggota penyelenggara sama-sama memiliki kapasitas emisi yang
mumpuni, akan tetapi jika salah satu negra tersebut memiliki kekurangan
kapasitas emisi ERU akan diterbitkan.
Gambar 2. Mekanisme Joint Implemantatitons8
Dalam gambar diatas bisa diphamai bawasanya negara X dan negara
Y sama-sama anggota Annex satu dalam Protocol Kyoto dimana, negara X
memiliki kapasitas emisi GRK yang lebih dari target yang ditentukan oleh
Protocol Kyoto, untuk itu dalam praktiknya negara X bersedia menjalin
kerjasama dengan negra Y dalam hal melakukan mekanisme Joint
Implementations mealalui proyek yang bersifat mereduksi GRK. Dalam
gambar diatas negara X menjadi negara tuan rumah sebagai negara
8 CDM dalam Bagan versi Hyperlink, di akses dalam https://pub.iges.or.jp/pub_file/chartsbahasa-
indonesiapdf/download (5/8/2018, 23.00 WIB)
34
pnyelenggra. Setelah klasifikasi praktik tersebut terjadi sesuai yang
ditetapkan oleh Protocol Kyoto pada Artikel 6, negara Y akan mendapatkan
ERU, selanjutnya perhitungan pengurangan emisi GRK tersebut bisa
dihitung melalui efektifitas proyek tersebut terselenggara melalui ERU, jika
hal tersebut berjalan dengan tanpa hambatan maka para negara anggota
Annex satu akan memiliki kapasitas emisi yang sama sesuai contoh pada
gambar diatas.
2.2.2 Perdagangan Emisi, Emission Trading
Perdagangan emisi merupakan suatu mekanisme transaksi antara
negara Annex satu yang berhasil menurunkan tingkat emisi yang ditetapkan
oleh Protocol Kyoto dengan negara Annex satu juga yang tidak bisa
menurunkan target emisinya. Target ini terlihat dari level jumlah
diperbolehkannya emisi, atau jumlah yang disepakati selama periode 2008
sampai 2012, Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 yaitu:9
‘’Emission Trading as set out in Article 17 of the Kyoto Protocol,
allows counties that have emission units to spare emissions permitted them
but not to “used” to sell this excess capacity to countries that are over their
target.’’
Perdagangan emisi seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal
17 Protokol Kyoto mengizinkan negara yang mempunyai jatah emisi untuk
9UNFCCC, Greenhouse gas emissions a new commodity, diaksse dalam
https://unfccc.int/process/the-kyoto-protocol/mechanisms/emissions-trading (6/1/2018, 23.00 WIB)
35
menyisakan jatahnya, tetapi tidak untuk menjual sisa unit emisi tersebut
kepada negara lain yang telah melampaui target emisi mereka.
Secara sederhana praktik kerjasama Emission Trading atau IET ialah
perdagangan unit-unit kredit yang ada dalam klasifikasi Protocol Kyoto
seperti ERU Emission Reduction Unit, AAU Assigned amount unit, RMU
A Removal Unit, CER A Certified Emission Reduction. Pada konteks ini
komoditas perdagangan baru telah tercipta dalam bentuk pengurangan atau
penghilangan emisi. Sebagaimana karbondioksida merupakan GRK yang
menjadi pokok pembahasan merujuk ke perdagangan karbon. Beberapa unit
yang dapat dijual dibawah aturan Protocol Kyoto ialah sebagai berikut:10
1. A Removal Unit atau RMU ialah klasifikisasi perhitungan dalam hal
pengurangan emisi GRK melalui kegiatan proyek aforestasi dan
reforestasi yang merupakan kegiatan kehutanan.
2. An Emission Reduction Unit ERU diadakan atas proyek Joint
Implementation. perhitungan kredit pengurangan emisi GRK melalui
proyek kerjasama anatar negara anggota Annex satu.
3. A Certified Emission Reduction CER diadakan atas proyek
mekanisme pembangunan bersih dalam segi kerjasama proyek
kegiatan aforestasi dan reforestasi.
4. Assigned amount unit AAU ialah klasifikasi perhitungan dari
Protocol Kyoto untuk negara anggota Annex satu yang dihitung dari
10 Daga Ardianto, Protocol Kyoto, diakses dalam http://e-journal.uajy.ac.id/2837/3/2HK08058.pdf
(6/1/2018, 24.00 WIB)
36
jumlah total emisi dasar pertahun dan meliki target yang ditentukan.
Jika target tersebut terlampaui maka berhak melakukan kegiaan
transfer emisi antar pihak anggota Annex satu.
Gambar 3. Mekanisme Perdagangan Emisi11
Gambar tersebut menjelaskan bahwa adanya mekanisme
perdagangan bersama mengakibatkan peningkatan target maupun
penurunan dalam mereduksi GRK. Hal ini berlaku pada sesama negara
anggota Annex satu yang melakukan perdagangan emisi dalam bentuk uni-
unit yang sudah dijelaskan sebelumnya dibawah protokol Kyoto di artikel
17 yang bertujuan untuk membantu negara anggota Annex satu dalam
melakukan pemunuhan target pengurangan GRK. Signifikasi dari prktik
kegiatan IET tersebut bisa kita lihat dari setelah IET tersebut ada, dengan
11 CDM dalam Bagan, Loc. Cit., hal.10
37
adanya IET negara yang kurang memenuhi kapasitas emisinya terbantu
dalam segi pelaksanaan proyek dan nominal sebagaimana gambar diatas
paparkan.
2.2.3 Mekanisme Pembangunan Bersih, Clean Development
Mechanism
Mekanisme pembanguna bersih atau MPB merupakan mekanisme
yang diatur dalam artikel 12 Protocol Kyoto. Pada mekanisme ini, Protocol
Kyoto memberikan izin bagi negara Annex satu dalam
mengimplementasikan proyek pengurangan emisi pada negara berkembang
yaitu negara non Annex, dimana proyek tersebut harus menghasilkan CER
atau Certified Emission Reduction, dengan kata lain unit-unit yang
diperoleh melalui kegiatan tersebut dapat dikonversi menjadi unit
pengurangan emisi yang harus ditambahkan pada jatah emisi para Pihak
negara Annex satu maupun non Annex.12 Tujuan dari MPB ini pada
dasarnya guna membantu negara-negara maju Annex satu untuk memenuhi
target kapasitas emisinya dalam mereduksi GRK melalui implementasi
kegiatan proyek yang bersifat mereduksi GRK dengan negara-negara non
Annex satu. Kemudian menghitung nilai GRK yang dapat direduksi atau
diserap sebagai kredit yang dapat diperjual belikan.
12 UNFCCC, The Clean Development Mechanism, diakses dalam https://unfccc.int/process-and-
meetings/the-kyoto-protocol/mechanisms-under-the-kyoto-protocol/the-clean-development-
mechanism#main-content (6/1/2018, 24.00 WIB)
38
Sebagaimana Insitute for global environmental strategis atau IGES
dan Kementrian Lingkungn Hidup Indonesia memaparkan bahwa pada
dasarnya minat negara-negara anggota Protocol Kyoto cukup tinggi dalam
menjalankan MPB dan perbaikan dalam aturan-aturan terus berlanjut akan
tetapi banyak investor yang merupakan negara maju Annex satu dan
pengembang proyek yang masih merasa kesulitan dalam melaksanakan
MPB. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi penghalang
dalam pelaksanaan MPB diantaranya ialah faktor kemampuan suatu negara
dalam menarik minat investor asing. Faktor ini dikarenakan belum siapnya
negara berkembang atau negara non Annex untuk menjadi negara tuan
rumah proyek MPB. Adapun sebabnya dikarenakan belum matangnya
perkembangan institusi, kompleksnya sistem pengesahan untuk suatu
proyek, kurangnya pegalaman pegawai pemerintah serta kurangnya
koordinasi kementrian terhadap institusi pemerintah lainya yang berkaitan.
13 Mengacu pada permasalahan tersebut penting kiranya untuk memperbaiki
situasi di negara tuan rumah dalam membantu perkembangan proyek MPB
dan memberikan kontribusi terhadap usaha global dalam mengatasi
permasalahan perubahan iklim.
Dalam konteks ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia
untuk melaksanakan proyek MPB, Indonesia merupakan negara non Annex
satu tentunya Indonesia memiliki keinginan untuk menarik minat investor
13Insitute for global environmental strategis IGES, Panduan kegiatan MPB Indonesia, diakses dalam
https://pub.iges.or.jp/pub_file/panduanmpbpdf/download
(5/8/2018, 24.00 WIB)
39
asing dalam hal pelaksanaan kerjasama MPB melalui proyek yang akan
dijalankan. Tahun 2002 indonesia memiliki potensi pengurangan emisi
GRK sebesar 23-24 juta ton CO2-eq per tahun dalam sektor kehutanan dan
energi.14 Untuk itu dalam konteks ini pemerintah Indonesia diharapkan
mampu untuk memanfaatkan potensi tersebut dengan cara mendukung
sepenuhnya melalui pembentukan peraturan institusional yang kongkrit dan
kokoh guna mampu memanfaatkan peluang tersebut dan secara tidak
langsung akan menrik investor asing dalam melakukan proyek MPB di
Indonesia.
Selanjutnya terkait praktik detail MPB terselenggra terdapat 6 jenis
GRK berdasarkan klasifikasi Protocol Kyoto diantaranya Karbondioksida
(CO2), Metana (CH4), Nitrogenoksida (N2O), Hidroflorokarbon (HFCs),
Perflorokarbon (PFCs), Sulfur heksaflorida (SF6), ke enam jenis GRK
tersebut dapat dikonversi terhadap pengurangan emisi GRK dengan
mengacu pada sektor proyek yang akan dijalankan. Adapun gambara
mekanisme MPB terselenggara ialah sebagai berikut:
14 Ibid.
40
Gambar 4. Mekanisme Pembangunan Bersih15
Mengacu pada gambar diatas negara berkembang non Annex satu
menjadi negara tuan rumah dimana, lokasi kegiatan proyek tersebut
dijalankan, scenario dasar gambar diatas menjelaskan negara non Annex
satu mempunyai potensi kapasitas emisi yang mumpuni kemudian
mendapatkan perhatian minat dari negara Annex satu, selanjutnya
penyusunan pelaksanan konsep akan di sodorkan pada Protocol Kyoto
tentunya melalui klasifikasi yang telah ditetapkan, jika mendapat
persetujuan dari Procol Kyoto maka CER Certified Emission Reduction
akan diterbitkan. Tentunya proyek MPB ini merupakan proyek yang saling
menguntungkan bagi negara Annex satu maupun non Annex, akan tetapi
perlu diperhatikan pula kelayakan proyek yang harus dipenuhi.
15 Ibid., hal. 39
41
Terkait aspek kelayakan, proyek MPB diharuskan dapat memenuhi
penghasilan penyerapan GRK yang terukur secara nyata, dimana akan ada
perbedaan antara awal terselenggranya proyek tersebut berjalan dan pada
prosesnya menghasilkan penguran emisi GRK atau tidak, sehingga konversi
perhitungan tersebut bisa dijalankan. Selanjutnya aspek yang lain ialah
proyek MPB harus sejalan dengan kebijakan lingkungan nasional negara
tuan rumah dan juga dengan tujuan akhir pembangunan berkelanjutan yang
telah ditetapkan oleh Negara tersebut. Melaui Insitute for global
environmental strategis atau IGES dan Kementrian Lingkungn Hidup
Indonesia menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan proyek tersebut tidak dapat terselenggra diantaranya, Proyek
yang emisi karbonnya berkurang akibat pemanfaatan fasilitas nuklir, Proyek
yang telah memperoleh bantuan resmi ODA Official development
assistance dari Negara Annex satu.
Proyek yang bersangkutan telah dimulai antara 1 Januari 2000
hingga tanggal kegiatan proyek CDM pertama di dunia didaftarkan 18
November 2004, Proyek yang didaftarkan ke Badan Pengawas Eksekutif
CDM Executive Board sebelum tanggal 31 Desember 2005 dan yang
terakhir ialah Proyek yang memiliki bukti sah sebagai kegiatan CDM pada
tahap awal desain. 16 Berdasar pada aspek tersebut jika suatu negara telah
melaksanakan salah satu atau lebih dari aspek tersebut secara otomatis baik
negara Annex satu mapun negara non Annex tidak dapat melaksanakan
16 Ibid.
42
proyek MPB atau dengan kata lain tidak memenuhi peratura Protocol Kyoto
dan tidak mempunyai legalitas pengurangan emisi GRK.
Selanjutnya dalam pelaksanaan proyek MPB terdapat klasifikasi
yang harus dipenuhi. Berikut gambran klasifikasi proyek MPB :
Gambar 5. Klasifikasi Mekanisme Pembangunan Bersih17
Pada gambar diatas proyek MPB dapat diklasifikasikan menjadi 2
kategori, kategori pertama ialah Reduksi emisi GRK yang mempunyai 2 sub
proyek biasa dan kecil, dimana proyek reduksi emisi GRK ini pada tataran
aspek non kehutanan. Sedangkan kategori yang kedua ialah Sekuturasi
penyerapan karbon melalui aspek kehutanan dan memiliki sub proyek biasa
dan kecil. Pada proses klasifikasi diatas terdapat contoh proyek yang
memenuhi syarat MPB yang dipaparkan melalui gambar table sebagai
berikut:
17 Ibid., hal. 40
43
Tabel 2. Contoh kategori proyek CDM18
NO RUANG LINGKUP
SEKTORAL
CONTOH
PROYEK
1 Industri penghasil energi
(terbarukan/tak terbarukan)
Energi terbarukan Tenaga angina,
Matahari, Air dan
Panas Bumi
Energi tak
terbarukan
Pembangkit termal
yang menggunakan
batu bara dan bahan
bakar fosil
2 Distribusi Energi Listrik Jalur Transmisi dan
distribusi
3 Pemakaian Energi Efisiensi Energi Peralatan yang
pemakaian
energinya sangat
efisien dan fasilitas
penerangan
4 Industri Manufaktur Efisiensi Energi
Peralatan yang
pemakaian
energinya sangat
efisien
Penggantian jenis
bahan bakar
Batu bara diganti
gas alam,
pemakaian batu
bara berteknologi
bersih
18 Ibid.
Em
issi
on R
educt
ions
Act
ivit
ies
44
Contoh kategori proyek yang memenuhi syarat MPB ialah contoh
proyek kategori pertama dalam klasifikasi MPB, dimana tujuan dari contoh
proyek tersebut merupakan aktivitas yang dapat dilakukan dalam rangka
mengkonversi pengurangan emisi GRK melalui pelaksanan proyek yang
akan dilakukan, untuk itu jika negara Annex satu maupun non Annex dapat
memenuhi aspek klasifikasi dan aspek kelayakan yag telah ditetapkan
selanjutnya melalui Badan Pengawas Eksekutif CDM Executive Board
akan menerbitkan CER sebagai legalitas proyek tersebut terlaksana.