bab ii landasan teori ii.1. laporan keuanganthesis.binus.ac.id/asli/bab2/2006-2-00800-ak-bab...
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Laporan Keuangan
II.1.1. Pengertian Laporan Keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) (2002) menyatakan, “Laporan keuangan
merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang
lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi
keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya, sebagai laporan
arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan
yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga
termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan
tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis serta
pengungkapan pengaruh perubahan harga” (h. 2).
Terkait dengan pengertian laporan keuangan ini, Kieso, Weygandt, dan
Warfield (2004) berpendapat, “Financial statements are the principal means
through which financial information is communicated to those outside an
enterprise. These statements provide the company’s history quantified in money
terms. The financial statements most frequently provided are (1) the balance
sheet, (2) the income statement, (3) the statement of cash flows, and (4) the
statement of owners’ or stockholders’ equity. In addition, note disclosures are an
integral part of each financial statement” (p. 2).
8
II.1.2. Pengguna Informasi Akuntansi
Horngren, Harrison, dan Bamber (2002) menyatakan, “Decision makers
need information. The more important the decision, the greater the need for
information. Virtually all businesses and most individuals keep accounting
records to aid in making decisions” (p. 5).
IAI (2002) secara jelas menyebutkan beberapa pihak yang memanfaatkan
informasi keuangan, “Pemakai laporan keuangan meliputi investor sekarang dan
investor potensial, karyawan, pemberi pinjaman, pemasok dan kreditor usaha
lainnya, pelanggan, pemerintah serta lembaga-lembaganya, dan masyarakat” (h.
2).
II.1.3. Tujuan dan Manfaat Laporan Keuangan
Kieso et al. (2004) menyatakan, “The objectives of financial reporting are
to provide (1) information that is useful in investment and credit decisions, (2)
information that is useful in assesing cash flow prospects, and (3) information
about enterprise resources, claims to those resources, and changes in them” (p.
18).
Sedangkan IAI (2002) memberi penjelasan sebagai berikut, “Tujuan
laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang
posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian
besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan
ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas
penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka” (h. 1.2).
9
II.1.4. Jenis Laporan Keuangan
Berikut ini akan diuraikan teori-teori mengenai pengertian, manfaat, dan
keterbatasan (jika ada) dari tiap-tiap jenis laporan keuangan.
II.1.4.1. Laporan Laba Rugi
Kieso et al. (2004) berpendapat, “The income statement, often called the
statement of income or statement of earnings, is the report that measures the
success of enterprise operations for a given period of time” (p. 124).
Mengenai kegunaan dari laporan laba rugi, Kieso et al. (2004)
menyatakan, “The income statement provides investors and creditors with
information that helps them predict the amounts, timing, and uncertainty of
future cash flows. Also, the income statement helps users determine the risk
(level of uncertainty) of not achieving particular cash flow” (p. 148).
Terkait hal yang sama, IAI (2002) menyatakan, “Informasi kinerja
keuangan perusahaan, terutama profitabilitas, diperlukan untuk menilai
perubahan potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa
depan … Informasi kinerja bermanfaat untuk memprediksi kapasitas perusahaan
dalam menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada. Di samping itu,
informasi tersebut juga berguna dalam perumusan pertimbangan tentang
efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya” (p. 5).
Sedangkan mengenai keterbatasan laporan laba rugi, Kieso et al. (2004)
menyatakan, “The limitations of an income statement are: (1) The statement does
not include many items that contribute to general growth and well-being of an
10
enterprise. (2) Income numbers are often affected by the accounting methods
used. (3) Income measures are subject to estimates” (p. 148).
II.1.4.2. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan perubahan posisi keuangan dapat disajikan dalam berbagai
bentuk, diantaranya dalam bentuk laporan perubahan ekuitas. Mengenai definisi
dari laporan ini, Horngren et al. (2002) menyatakan, “The statement of owner’s
equity presents a summary of the changes that occurred in the entity’s owner’s
equity during a specific time period such as a month or a year” (p. 17).
Sedangkan IAI (2002) berpendapat, “Perubahan ekuitas perusahaan
menggambarkan peningkatan atau penurunan aktiva bersih atau kekayaan selama
periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran tertentu yang dianut dan
harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Laporan perubahan ekuitas, kecuali
untuk perubahan yang berasal dari transaksi dengan pemegang saham seperti
setoran modal dan pembayaran deviden, menggambarkan jumlah keuntungan
dan kerugian yang berasal dari kegiatan perusahaan selama periode yang
bersangkutan” (h. 1.17).
II.1.4.3. Neraca
Horngren et al. (2002) mendefinisikan neraca sebagai berikut, “The
balance sheet lists all the entity’s assets, liabilities, and owner’s equity as of a
specific date, usually the end of a month or a year” (p. 17). Mengenai hal yang
sama, Kieso et al. (2004) menyatakan, “The balance sheet, sometimes referred
to as the statement of financial position, reports the assets, liabilities, and
11
stockholders’ equity of a business enterprise at a specific date” (p. 170).
Sedangkan IAI (2002) tidak memberikan definisi atas neraca, tapi menyatakan,
“Informasi posisi keuangan terutama disediakan dalam neraca” (h. 5).
Mengenai manfaat neraca ini, IAI (2002) menyatakan, “Informasi sumber
daya ekonomi yang dikendalikan dan kemampuan perusahaan untuk
memodifikasi sumber daya ini di masa lalu berguna untuk memprediksi
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan kas (dan setara kas) di masa depan.
Informasi struktur keuangan berguna untuk memprediksi kebutuhan pinjaman di
masa depan dan bagaimana penghasilan bersih (laba) dan arus kas di masa depan
akan didistribusikan kepada mereka yang memiliki hak di dalam perusahaan;
informasi tersebut juga berguna untuk memprediksi seberapa jauh perusahaan
akan berhasil meningkatkan lebih lanjut sumber keuangannya. Informasi
likuiditas dan solvabilitas berguna untuk memprediksi kemampuan perusahaan
dalam pemenuhan komitmen keuangannya pada saat jatuh tempo” (h. 5).
Keterbatasan neraca dijelaskan oleh Kieso et al. (2004) sebagai berikut,
“The limitations of a balance sheet are: (1) the balance sheet does not reflect
current value because accountants have adopted a historical cost basis in valuing
and reporting assets and liabilities. (2) Judgements and estimates must be used
in preparing a balance sheet … (3) The balance sheet omits many items that are
of financial value to the business but cannot be recorded objectively, such as
human resources, customer base, and reputation” (p. 198).
12
II.1.4.4. Laporan Arus Kas
Horngen et al. (2002) sehubungan dengan definisi dari laporan arus kas
menyatakan, “ The statement of cash flows reports the amount of cash coming
in (cash receipts) and the amount of cash going out (cash payments or
disbursements) during a period” (pp. 17-18).
Manfaat dari laporan arus kas diungkapkan oleh Kieso et al. (2004)
sebagai berikut, “The primary pupose of the statement of cash flows is to provide
information about cash receipts and cash payments of an entity during a period.
A secondary is to report the entity’s operating, investing, and financing activities
during a period” (p. 1242).
Mengenai kegunaan informasi yang termuat dalam laporan ini, IAI (2002)
menyatakan, “Jika digunakan dalam kaitannya dengan laporan keuangan yang
lain, laporan arus kas dapat memberikan informasi yang memungkinkan para
pemakai untuk mengevaluasi perubahan dalam aktiva bersih perusahaan, struktur
keuangan (termasuk likuiditas dan solvabilitas) dan kemampuan untuk
mempengaruhi jumlah serta waktu arus kas dalam rangka adaptasi dengan
perubahan keadaan dan peluang… menilai kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan kas dan setara kas dan memungkinkan para pemakai
mengembangkan model untuk menilai dan membandingkan nilai sekarang dari
arus kas masa depan (future cash flows) dari berbagai perusahaan…
meningkatkan daya banding pelaporan kinerja operasi berbagai perusahaan
karena dapat meniadakan pengaruh penggunaan perlakuan akuntansi yang
berbeda terhadap transaksi dan peristiwa yang sama.
13
Informasi arus kas historis sering digunakan sebagai indikator dari jumlah,
waktu, dan kepastian arus kas masa depan. Di samping itu, informasi arus kas
juga berguna untuk meneliti kecermatan dari taksiran arus kas masa depan yang
telah dibuat sebelumnya dan dalam menentukan hubungan antara profitabilitas
dan arus kas bersih serta dampak perubahan harga” (h. 2.1-2.2).
II.1.4.5. Catatan atas Laporan Keuangan
Kieso et al. (2004) mengenai catatan atas laporan keuangan menyatakan,
“Notes are the means of amplifying or e×plaining the items presented in the
main body of the statements” (pp. 1274-1475). Menurut Kieso et al. (2004),
catatan atas laporan keuangan ini merupakan salah satu dari beberapa teknik
pengungkapan informasi dalam laporan keuangan. Lebih lanjut, Kieso et al.
(2004) mengidentifikasikan teknik-teknik tersebut, “These methods of disclosing
pertinent information are available: parenthetical e×planations, notes, cross
reference and contra items, and supporting schedules” (p. 187).
Mengenai manfaat catatan atas laporan keuangan ini, Kieso et al. (2004)
menyatakan, “ If the information in the main body of the financial statements
gives an incomplete picture of the performance and positions of the enterprise,
additional information that is needed to complete picture should be included in
the notes … The notes are not only helpful but also essential to understanding
the enterprise’s performance and position” (p. 42).
Hal yang serupa terkait dengan manfaat catatan atas laporan keuangan
diungkapkan oleh IAI (2002) dengan menyatakan, “Dalam rangka membantu
14
pengguna laporan memahami laporan keuangan dan membandingkannya dengan
laporan keuangan perusahaan lain, maka catatan atas laporan keuangan …” (h.
1.18).
II.2. Metode dan Teknik Analisis Laporan Keuangan
Mengenai metode dan teknik analisis laporan keuangan ini, Kieso et al.
(2004) menyatakan, “Basic financial statement analysis involves e×amining
relationships between items on the statements (ratio and percentage analysis) and
identifying trends in these relationships (comparative analysis)” (p. 1311).
Sedangkan Munawir (2002) mengklasifikasikan metode analisis menjadi
analisis horisontal dan analisis vertikal. Munawir (2002) juga menyebutkan
beberapa teknik analisis yang biasa digunakan dalam analisis laporan keuangan,
yaitu meliputi analisis perbandingan laporan keuangan, analisis trend, analisis
persentase per komponen (common size statement), analisis sumber dan
penggunaan modal kerja, analisis sumber dan penggunaan kas, analisis rasio,
analisis perubahan laba kotor dan analisis break-even.
Terkait dengan analisis horisontal, Munawir (2002) mendefinisikannya
sebagai berikut, “Analisa horisontal adalah analisa dengan mengadakan
perbandingan laporan keuangan untuk beberapa periode atau beberapa saat,
sehingga akan diketahui perkembangannya. Metode horisontal ini disebut pula
sebagai analisa dinamis” (h. 36). Kieso et al. (2004) mengenai analisis ini
menyatakan, “This approach, normally called horizontal analysis, indicates the
proportionate change over a period of time. It is especially useful in evaluating a
15
trend situation, because absolute changes are often deceiving” (p. 1310).
Sedangkan mengenai analisis vertikal, Munawir (2002) menyatakan,
“Analisa vertikal yaitu apabila laporan keuangan yang dianalisa hanya meliputi
satu periode atau satu saat saja, … Analisa vertikal ini disebut juga metode
analisa statis” (h. 36). Terkait hal yang sama, Kieso et al. (2004) menyatakan,
“Another approach, called vertical analysis, is the proportional e×pression of
each item on a financial statement in a given period to a base figure” (p. 1310).
Terhadap beragamnya teknik analisis laporan keuangan, Kieso et al.
(2004) menyatakan, “No one device is more useful than another. Every situation
faced by the investment analyst is different, and the answers needed are often
obtained only upon close e×amination of the interrelationships among all the data
provided” (p. 1306). Hal yang senada pun diungkapkan oleh Helfert seperti
yang diterjemahkan Wibowo, H. (1997), “Tidak ada rasio untuk menilai kinerja
perusahaan yang dapat memberi jawaban mutlak. Setiap pandangan yang
diperoleh bersifat relatif, karena kondisi dan operasi perusahaan sangat bervariasi
dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dan dari satu industri ke industri lain”
(h. 68).
Bagi perusahaan yang berbentuk hukum BUMN diwajibkan untuk menilai
kinerjanya berdasarkan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN. Seperti yang
diatur dalam pasal 11 Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
tanggal 4 Juni 2002, yang menyatakan, “Keputusan ini mulai berlaku untuk
penilaian Tingkat Kesehatan BUMN tahun buku 2002” (h. 5).
16
II.2.1. Analisis Rasio
II.2.1.1. Pengertian Analisis Rasio
Munawir (2002) mendefinisikan analisis rasio dengan menyatakan,
“Analisa rasio, adalah suatu metode analisa untuk mengetahui hubungan dari
pos-pos tertentu dalam neraca atau laporan rugi laba secara individu atau
kombinasi dari kedua laporan tersebut” (h. 37).
II.2.1.2. Manfaat Analisis Rasio
Kieso et al. (2004) menyatakan, “Analysis is used to predict the future, …
Also, ratio analysis identifies present strengths and weakness of a company” (p.
1311).
Terhadap berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari analisis rasio, Kieso
et al. (2004) menyatakan, “There are thousands of possible relationships that
could be calculated and trends that could be identified. If one knows only how to
calculate ratios and trends without understanding how such information can be
used, little is accomplished” (p. 1305). Untuk mendapatkan manfaat yang
optimal dari analisis rasio, Kieso et al. (2004) menawarkan langkah-langkah
yang dapat dilakukan, yaitu mendefinisikan tujuan analisis, mengidentifikasikan
rasio dan perbandingan yang dapat digunakan kemudian menganalisisnya.
II.2.1.3. Keterbatasan Analisis Rasio
Kieso et al. (2004) menjelaskan beberapa keterbatasan dari analisis rasio,
“One important limitation of ratios is that they are based on historical cost, which
can lead to distortions in measuring performance. Also, where estimated items
17
(such as depreciation and amortization) are significant, income ratios lose some
of their credibility. In addition, difficult problems of comparability e×ist because
firms use different accounting principles and procedures. Finally, it must be
recognized that a substantial amount of important information is not included in
a company’s financial statement” (p. 1311).
Dengan kalimat yang sederhana, Higgins (2001) mengingatkan dua hal
penting mengenai rasio-rasio keuangan ini, “But there are a few things to bear in
mind about ratios. First, a ratio is simply one number divided by another, so it is
unreasonable to e×pect the mechanical calculation of one or even several ratios
to automatically yield important insights into anything as comple× as a modern
corporation …
A second point to bear in mind is that a ratio has no single correct value”
(p. 55-56).
II.2.1.4. Rasio-rasio Keuangan
Kieso et al. (2004) memberikan pendapatnya mengenai klasifikasi rasio
keuangan ini, yaitu meliputi liquidity (short-term solvency) ratio, activity
(turnover or efficiency) ratio, profitability ratio, dan coverage (leverage) ratio.
Kieso et al. (2004) menyatakan manfaat dari rasio likuiditas sebagai
berikut, ”Liquidity ratio analysis measures the short-run ability of the enterprise
to pay its currently maturing obligations” (p. 1311). Sedangkan Helfert sperti
yang diterjemahkan oleh Wibowo, H. (1999) menyatakan likuiditas sebagai,
“Suatu cara untuk menguji tingkat proteksi yang diperoleh pemberi pinjaman
18
berpusat pada kredit jangka pendek yang diberikan kepada perusahaan untuk
mendanai operasi” (h. 95).
Terkait dengan rasio aktivitas, Kieso et al. (2004) menyatakan, “Activity
ratio analysis measures how effectively the enterprise is using the assets” (p.
1311). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Helfert seperti yang dialihbahasakan
oleh Wibowo, H. (1997) bahwa rasio aktivitas menunjukkan efektivitas
manajemen dalam mengelola sumber daya yang ada dalam perusahaan.
Weston et al. seperti yang diterjemahkan Sirait, A. (1997) mengenai rasio
profitabilitas menyatakan, ”… rasio profitabilitas menunjukkan pengaruh
gabungan dari likuiditas, pengelolaan aktiva, dan pengelolaan utang terhadap
hasil-hasil operasi” (h. 304). Sedangkan Kieso et al. (2004) menyatakan,
”Profitability ratio analysis measures the degree of success or failure of an
enterprise to generate revenues adequate to cover its costs of operation and
provide a return to the owners” (p. 1311).
Rasio leverage yang sering disebut pula rasio coverage memiliki manfaat
seperti yang dikemukakan oleh Kieso et al. (2004), yaitu “Coverage ratio
analysis measures the degree of protection afforted long-term creditors and
investors” (p. 1311). Helfert seperti yang diterjemahkan Wibowo, H. (1997)
mengenai rasio ini menyatakan bahwa rasio ini mengukur kemungkinan risiko
pemberi pinjaman dalam hubungannya dengan ketersediaan nilai aktiva yang
menjadi jaminan.
19
II.3. Penilaian Tingkat Kesehatan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, tanggal 19 Juni 2003,
tentang Badan Usaha Milik Negara memuat definisi dari beberapa istilah yang
digunakan dalam Undang-undang ini, diantaranya definisi dari Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), yaitu “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya
disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan” (h. 2).
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001, tanggal 5 Juni 2001,
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang
Perusahaan Perseroan (Persero) menyebutkan, “Perusahaan Perseroan, yang
selanjutnya disebut PERSERO adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 yang berbentuk Perseroan
Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
yang seluruh atau paling sedikit 51% saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh
Negara melalui penyertaan modal secara langsung”.
Selain itu, pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001, tanggal 5
Juni 2001, juga mendefinisikan Menteri Keuangan sebagai menteri yang
mewakili Pemerintah selaku pemegang saham Negara pada Perusahaan
Perseroan.
Pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN
mengelompokkan BUMN menjadi BUMN non jasa keuangan dan BUMN jasa
20
keuangan. Untuk kepentingan penilaian tingkat kesehatan, BUMN non jasa
keuangan dibedakan menjadi BUMN infrastruktur dan BUMN non infrastruktur,
seperti yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 1 Keputusan Menteri BUMN Nomor
KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, “Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN
yang bergerak di bidang non jasa keuangan dibedakan antara BUMN yang
bergerak dalam bidang infrastruktur selanjutnya disebut BUMN
INFRASTRUKTUR dan BUMN yang bergerak dalam bidang non infrastruktur
yang selanjutnya disebut BUMN NON INFRASTRUKTUR dengan
pengelompokkan sebagaimana pada Lampiran I” (h. 3). Pasal 4 ayat 2
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002,
menyebutkan bahwa pengelompokkan BUMN ke dalam kategori BUMN
infrastruktur dan BUMN non infrastruktur ditetapkan oleh Menteri BUMN.
Selanjutnya, pasal 5 ayat 1 Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-
100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, menyatakan, “BUMN INFRASTRUKTUR
adalah BUMN yang kegiatannya menyediakan barang dan jasa untuk
kepentingan masyarakat luas, yang bidang usahanya meliputi:
a. Pembangkitan, transmisi atau pendistribusian tenaga listrik.
b. Pengadaan dan atau pengoperasian sarana pendukung pelayanan angkutan
barang atau penumpang baik laut, udara atau kereta api.
c. Jalan dan jembatan tol, dermaga, pelabuhan laut atau sungai atau danau,
lapangan terbang dan bandara.
d. Bendungan dan irigasi.” (h. 4).
Sedangkan definisi BUMN non infrastruktur dimuat dalam pasal 5 ayat 3
21
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002,
yang menyatakan, “BUMN NON INFRASTRUKTUR adalah BUMN yang
bidang usahanya di luar bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)” (h.
4).
Penilaian tingkat kesehatan BUMN diatur dalam pasal 3 ayat 1, 2, 3 dan 4
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002,
yang menyatakan sebagai berikut:
“(1) Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN digolongkan menjadi:
a. SEHAT, yang terdiri dari:
AAA apabila total skor (TS) lebih besar dari 95
AA apabila 80 < TS < = 95
A apabila 65 < TS < = 80
b. KURANG SEHAT, yang terdiri dari:
BBB apabila 50 < TS < = 65
BB apabila 40 < TS < = 50
B apabila 30 < TS < = 40
c. TIDAK SEHAT, yang terdiri dari:
CCC apabila 20 < TS < = 30
CC apabila 10 < TS < = 20
C apabila TS < = 10
(2) Tingkat Kesehatan BUMN ditetapkan berdasarkan penilaian terhadap kinerja
Perusahaan untuk tahun buku yang bersangkutan yang meliputi penilaian:
a. Aspek Keuangan.
22
b. Aspek Operasional.
c. Aspek Administrasi.
(3) Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN sesuai keputusan ini hanya diterapkan
bagi BUMN apabila hasil pemeriksaan akuntan terhadap perhitungan
keuangan tahunan perusahaan yang bersangkutan dinyatakan dengan
kualifikasi “Wajar Tanpa Pengecualian” atau kualifikasi “Wajar Dengan
Pengecualian” dari akuntan publik atau Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan.
(4) Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN ditetapkan setiap tahun dalam
pengesahan laporan tahunan oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau
Menteri BUMN untuk Perusahaan Umum (PERUM)” (h. 3).
II.4. Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Berdasarkan Keputusan
Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002,
tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN
Yang dimaksud dengan total skor (TS) dalam pasal 3 ayat 1 Keputusan
Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, adalah total
bobot atas penilaian aspek keuangan, aspek operasional, dan aspek administrasi
BUMN yang bersangkutan. Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor
KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, menguraikan mengenai total bobot
dari aspek-aspek tersebut, untuk BUMN non infrastruktur, yaitu sebagai berikut:
• Total bobot aspek keuangan : 70
• Total bobot aspek operasional : 15
23
• Total bobot aspek administrasi : 15
II.4.1 Aspek Keuangan
Indikator-indikator yang digunakan untuk menilai aspek keuangan BUMN
dan bobot dari masing-masing indikator tersebut, seperti yang diuraikan dalam
Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4
Juni 2002, adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Daftar indikator dan bobot aspek keuangan
Indikator Bobot Imbalan kepada pemegang saham (ROE) 20 Imbalan investasi (ROI) 15 Rasio kas 5 Rasio lancar 5 Collection periods 5 Rasio persediaan 5 Perputaran total aset 5 Rasio modal sendiri terhadap total aktiva 10 Total bobot 70
Indikator-indikator aspek keuangan tersebut dapat digolongkan menjadi
rasio profitabilitas, yaitu ROE dan ROI; rasio likuiditas yang terdiri dari rasio kas
dan rasio lancar; rasio aktivitas yang diwakili oleh collection periods, rasio
persediaan, dan perputaran total aset; dan rasio yang mengukur tingkat leverage,
yaitu rasio modal sendiri terhadap total aktiva.
1. Imbalan kepada pemegang saham/Return on Equity (ROE)
Rumus: Laba setelah pajak ROE =
Modal sendiri × 100%
Definisi laba setelah pajak, modal sendiri, dan aktiva tetap dalam
24
pelaksanaan, seperti yang dinyatakan dalam Lampiran II Keputusan Menteri
BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002 adalah sebagai
berikut:
“Definisi:
Laba setelah Pajak adalah Laba setelah Pajak dikurangi dengan laba hasil
penjualan dari:
• Aktiva tetap
• Aktiva Non Produktif
• Aktiva Lain-lain
• Saham Penyertaan Langsung
Modal Sendiri adalah seluruh komponen Modal Sendiri dalam neraca
perusahaan pada posisi akhir tahun buku dikurangi dengan komponen Modal
sendiri yang digunakan untuk membiayai Aktiva Tetap dalam Pelaksanaan dan
laba tahun berjalan. Dalam Modal sendiri tersebut di atas termasuk komponen
kewajiban yang belum ditetapkan statusnya.
Aktiva Tetap dalam pelaksanaan adalah posisi pada akhir tahun buku Aktiva
Tetap yang sedang dalam tahap pembangunan” (h. 1-2/18).
Kieso et al. (2004) berpendapat bahwa ROE ini “Measures profitability of
owner’s investment” (p. 201). Weston et al. seperti yang diterjemahkan Sirait,
A. (1997) juga menyatakan hal yang sama, sesuai dengan namanya rasio ini
mengukur tingkat pengembalian atas investasi pemegang saham biasa. Daftar
skor penilaian ROE untuk BUMN non infrastruktur dapat dilihat di tabel 2.2
yang terlampir dalam skripsi ini.
25
2. Imbalan investasi/Return on Investment (ROI)
Rumus: EBIT + penyusutan ROI = Capital employed
× 100%
Definisi EBIT, penyusutan, dan capital employed seperti yang dinyatakan
dalam Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
tanggal 4 Juni 2002, adalah sebagai berikut:
“Definisi:
EBIT adalah laba sebelum bunga dan pajak dikurangi laba dari hasil penjualan
dari:
• Aktiva Tetap
• Aktiva lain-lain
• Aktiva Non Produktif
• Saham penyertaan langsung
Capital Employed adalah posisi pada akhir tahun buku Total Aktiva dikurangi
Aktiva Tetap dalam pelaksanaan” (h. 2/18).
Munawir (2002) menyatakan, “Return on Investment itu sendiri adalah
salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk dapat
mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan
dalam aktiva yang digunakan untuk operasinya perusahaan untuk menghasilkan
keuntungan” (h. 89). Daftar skor penilaian ROI untuk BUMN non infrastruktrur
dapat dilihat di tabel 2.3 yang terlampir dalam skripsi ini.
26
3. Rasio kas/cash ratio
Rumus: Kas + bank + surat berharga jangka pendek Cash ratio =
Current liabilities × 100%
Daftar skor penilaian cash ratio untuk BUMN non infrastruktur dapat
dilihat di tabel 2.4 yang terlampir dalam skripsi ini.
4. Rasio lancar/current ratio
Rumus: Current assets Current ratio =
Current liabilities × 100%
Kieso et al. (2004) menyatakan manfaat dari rasio lancar, adalah untuk
“Measures short-term debt-paying ability” (p. 201). Munawir (2002) mengenai
hal yang sama berpendapat, “Current Ratio ini menunjukkan tingkat keamanan
(marjin of safety) kreditor jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk
membayar hutang-hutang tersebut” (h. 72).
Atas angka rasio lancar ini, Munawir (2002) menyatakan, “Current ratio
yang terlalu tinggi menunjukkan kelebihan uang kas atau aktiva lancar lainnya
dibandingkan dengan yang dibutuhkan sekarang atau tingkat likwiditas yang
rendah daripada aktiva lancar dan sebaliknya” (h. 72). Daftar skor penilaian
current ratio untuk BUMN non infrastruktur dapat dilihat di tabel 2.5 yang
terlampir dalam skripsi ini.
5. Collection periods (CP)
Rumus: Total piutang usaha CP =
Total pendapatan usaha × 365 hari
27
Weston et al. seperti yang diterjemahkan Sirait, A. (1997) menyebut rasio
ini sebagai DSO (day sales outstanding) dan mengenai rasio ini menyatakan,
“… guna mengetahui berapa hari hasil penjualan tertanam dalam bentuk piutang
usaha. Jadi, DSO menunjukkan berapa lama rata-rata uang hasil penjualan akan
diterima sejak penjualan dilakukan” (h. 297).
Munawir (2002) menafsirkan rasio ini sebagai berikut, “… semakin besar
day’s receivable suatu perusahaan semakin besar pula risiko kemungkinan tidak
tertagihnya pihutang, dan kalau perusahaan tidak membuat cadangan terhadap
kemungkinan kerugian yang timbul karena tidak tertagihnya pihutang (allowance
for bad debts) berarti perusahaan telah memperhitungkan labanya terlalu besar
(overstated)” (h. 76).
Daftar skor penilaian collection periods untuk BUMN non infrastruktur
dapat dilihat di tabel 2.6 yang terlampir dalam skripsi ini. Skor yang digunakan,
dipilih yang terbaik dari kedua skor menurut table 2.6. Lampiran II Keputusan
Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, memberikan
contoh penerapan terkait dengan pemilihan skor tersebut di atas, yaitu “PT “A”
(BUMN Non Infra) pada tahun 1999 memiliki collection periods 120 hari dan
pada tahun 1998 sebesar 127 hari. Sesuai tabel di atas, maka skor tahun 1999
menurut:
- Tingkat Collection periods : 4
- Perbaikan Collection periods (7 hari) : 1,8
Dalam hal ini, dipilih skor yang lebih besar yaitu : 4” (h. 5/18).
28
6. Perputaran Persediaan (PP)
Rumus: Total persediaan PP =
Total pendapatan usaha × 365 hari
Munawir (2002) menyatakan, “Turn over ini menunjukkan berapa kali
jumlah persediaan barang dagangan diganti dalam satu tahun (dijual dan
diganti)… Tingkat perputaran persediaan mengukur perusahaan dalam
memutarkan barang dagangannya, dan menunjukkan hubungan antara barang
yang diperlukan untuk menunjang atau mengimbangi tingkat penjualan yang
ditentukan” (h. 78).
Mengenai angka rasio perputaran persediaan, Helfert dengan alih
bahasanya Wibowo, H. (1997) menyatakan, “Secara umum dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi jumlah perputaran semakin baik, karena tingkat persediaan
yang rendah sering kali ditafsirkan sebagai suatu risiko minimal dari persediaan
yang tidak dapat dijual dan mengindikasikan pemanfaatan modal yang efisien.
Meskipun demikian, angka perputaran persediaan yang melampaui batas
dari angka rata-rata perusahaan sejenis dalam lingkungannya, menandakan
adanya kekurangan persediaan dan buruknya pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan, sehingga dengan demikian terdapat risiko ketidakunggulan
kompetitif” (h. 81).
Daftar skor penilaian perputaran persediaan dapat dilihat di tabel 2.7 yang
terlampir dalam skripsi ini. Skor yang digunakan, dipilih yang terbaik dari kedua
skor menurut tabel 2.7.
29
7. Perputaran total aset/Total Asset Turnover (TATO)
Rumus: Total pendapatan TATO = Capital employed
× 100%
Definisi total pendapatan seperti yang dinyatakan dalam Lampiran II
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002,
adalah sebagai berikut, “Total Pendapatan adalah Total Pendapatan Usaha dan
Non Usaha tidak termasuk pendapatan hasil penjualan Aktiva Tetap” (h. 6/18).
Weston et al. seperti yang diterjemahkan Sirait, A. (1997) menyatakan,
”Rasio perputaran total aktiva (total assets turnover), yang merupakan rasio
pengelolaan aktiva yang terakhir, mengukur perputaran, atau pemanfaatan, dari
semua aktiva perusahaan” (h. 299).
Daftar skor penilaian perputaran total aset dapat dilihat di tabel 2.8 yang
terlampir dalam skripsi ini. Skor yang digunakan, dipilih yang terbaik dari kedua
skor menurut tabel 2.8.
8. Rasio Total Modal Sendiri terhadap Total Aset/TMS terhadap TA
Rumus: Total modal sendiri TMS terhadap TA =
Total aset × 100 %
Definisi total modal sendiri dan total aset seperti yang dinyatakan dalam
Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4
Juni 2002, adalah sebagai berikut:
“Definisi:
Total Modal Sendiri adalah seluruh komponen Modal Sendiri pada akhir tahun
30
buku diluar dana-dana yang belum ditetapkan statusnya.
Total Asset adalah Total Asset dikurangi dengan dana-dana yang belum
ditetapkan statusnya pada posisi akhir tahun buku yang bersangkutan” (h.
7/18).
Terkait dengan rasio ini, Munawir (2002) menyatakan, “Rasio ini
menunjukkan pentingnya dari sumber modal pinjaman (relative importance of
borrowed fund), dan margin of protection atau tingkat keamanan yang dimiliki
oleh kreditor” (h. 82). Daftar skor penilaian rasio modal sendiri terhadap total
aset dapat dilihat di tabel 2.9 yang terlampir dalam skripsi ini.
II.4.2. Aspek Operasional
Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian Tingkat Kesehatan BUMN menyatakan
bahwa indikator-indikator aspek operasional yang dinilai meliputi unsur-unsur
kegiatan yang dianggap paling dominan dalam rangka menunjang keberhasilan
operasi sesuai dengan visi dan misi perusahaan. Jumlah indikator aspek
operasional yang digunakan minimal 2 dan maksimal 5 untuk setiap tahunnya,
dimana apabila dipandang perlu indikator-indikator yang digunakan untuk
penilaian dari satu tahun ke tahun berikutnya dapat berubah.
Penilaian atas indikator aspek operasional ini dijelaskan dalam Lampiran II
Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002,
yaitu sebagai berikut, “Penilaian terhadap masing-masing indikator dilakukan
secara kualitatif dengan kategori penilaian dan penetapan skornya sebagai
31
berikut:
Baik sekali (BS) : skor = 100% × Bobot indikator yang digunakan
Baik (B) : skor = 80% × Bobot indikator yang digunakan
Cukup (C) : skor = 50% × Bobot indikator yang digunakan
Kurang (K) : skor = 20% × Bobot indikator yang digunakan
Definisi untuk masing-masing kategori penilaian secara umum adalah sebagai
berikut :
- Baik sekali : Sekurang-kurangnya mencapai standar normal atau diatas normal
baik diukur dari segi kualitas (waktu, mutu dan sebagainya) dan kuantitas
(produktivitas, rendemen dan sebagainya).
- Baik : Mendekati standar normal atau sedikit dibawah standar normal namun
telah menunjukkan perbaikan baik dari segi kuantitas (produktivitas, rendemen
dan sebagainya) maupun kualitas (waktu, mutu dan sebagainya).
- Cukup : Masih jauh dari standar normal baik diukur dari segi kualitas (waktu,
mutu dan sebagainya) namun kuantitas (produktivitas, rendemen dan
sebagainya) dan mengalami perbaikan dari segi kualitas dan kuantitas.
- Kurang : Tidak tumbuh dan cukup jauh dari standar normal” (h. 8/18).
Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
tanggal 4 Juni 2002, juga menguraikan mengenai mekanisme penetapan
indikator dan penilaian masing-masing bobot, yaitu indikator aspek operasional
ditetapkan oleh RUPS pada pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan (RKAP) Tahunan perusahaan setelah mempertimbangkan usulan
tentang indikator dan bobot indikator aspek operasioanal yang diusulkan oleh
32
Komisaris/Dewan Pengawas. Sedangkan RUPS dalam pengesahan laporan
keuangan akan menetapkan penilaian terhadap aspek operasional setelah
memperhatikan penilaian kinerja perusahaan yang disampaikan oleh
Komisaris/Dewan Pengawas.
II.4.3. Aspek Administrasi
Indikator dan bobot aspek administrasi yang digunakan oleh BUMN non
infrastruktur seperti yang dinyatakan dalam Lampiran II Keputusan Menteri
BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, tentang Penilaian
Tingkat Kesehatan BUMN, adalah sebagai berikut:
Tabel 2.10 Daftar indikator dan bobot aspek administrasi
Indikator Bobot Laporan Perhitungan Tahunan 3 Rancangan RKAP 3 Laporan Periodik 3 Kinerja PUKK 6 Total 15
1. Laporan perhitungan tahunan
Terkait dengan laporan perhitungan tahunan, Lampiran II Keputusan
Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, menyatakan,
“Standar waktu penyampaian perhitungan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan harus sudah
diterima oleh Pemegang Saham untuk PERSERO atau Menteri BUMN untuk
PERUM paling lambat akhir bulan kelima sejak tanggal tutup buku tahun yang
bersangkutan” (h. 10/18). Daftar penilaian waktu penyampaian laporan audit
33
dapat dilihat di tabel 2.11 yang terlampir dalam skripsi ini.
2. Rancangan RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan)
Pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 dan pasal 27
ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1998 seperti yang dikutip dalam
Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4
Juni 2002, menyatakan, “RUPS untuk PERSERO atau Menteri BUMN untuk
PERUM dalam pengesahan rancangan RKAP tahunan harus sudah diterima 60
hari sebelum memasuki tahun anggaran yang bersangkutan” (h. 11/18). Daftar
penilaian waktu penyampaian rancangan RKAP dapat dilihat di tabel 2.12 yang
terlampir dalam skripsi ini.
3. Laporan periodik
Terkait dengan Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-
100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, menyatakan, “Laporan periodik
Triwulanan harus diterima oleh Komisaris/Dewan Pengawas dan Pemegang
Saham untuk PERSERO atau Menteri BUMN untuk PERUM paling lambat 1
(satu) bulan setelah berakhirnya periode laporan” (h. 12/18). Laporan periodik
sekurang-kurangnya terdiri dari laporan pelaksanaan RKAP, laporan pelaksanaan
proyek pengembangan, laporan pelaksanaan anak perusahaan, laporan
pelaksanaan penugasan (jika ada), dan laporan pelaksanaan PUKK. Daftar
penilaian waktu penyampaian laporan periodik dapat dilihat di tabel 2.13 yang
terlampir dalam skripsi ini.
4. Kinerja PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi)
Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002,
34
tanggal 4 Juni 2002, menyatakan bahwa Kinerja Pembinaan Usaha Kecil dan
Koperasi (PUKK) dinilai berdasarkan 2 indikator, yaitu:
Tabel 2.14 Indikator untuk menilai kinerja PUKK
Indikator Skor Efektivitas penyaluran 3 Tingkat kolektibilitas pengembalian pinjaman 3 Total 6
a. Efektivitas penyaluran
Rumus:
Jumlah dana yang disalurkan Efektivitas penyaluran =Jumlah dana yang tersedia
× 100%
Definisi jumlah dana yang disalurkan, dan jumlah dana yang tersedia
seperti yang dinyatakan dalam Lampiran II Keputusan Menteri BUMN Nomor
KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, adalah sebagai berikut:
“Definisi:
Jumlah dana tersedia adalah seluruh dana pembinaan yang tersedia dalam
tahun bersangkutan yang terdiri atas:
• Saldo awal
• Pengembalian pinjaman
• Setoran eks pembagian laba yang diterima dalam tahun yang
bersangkutan (termasuk alokasi dari dana PUKK BUMN lain, jika ada)
• Pendapatan bunga dari pinjaman PUKK
Jumlah dana yang disalurkan adalah seluruh dana yang disalurkan kepada
usaha kecil dan koperasi dalam tahun yang bersangkutan yang terdiri dari
35
hibah dan bantuan pinjaman, termasuk dana penjaminan (dana yang
dialokasikan untuk menjamin pinjaman usaha kecil dan koperasi kepada
Lembaga Keuangan)” (h. 13/18). Daftar penilaian tingkat penyerapan dana
PUKK dapat dilihat di tabel 2.15 yang terlampir dalam skripsi ini.
b. Tingkat kolektibilitas pengembalian pinjaman
Rumus:
Rata-rata tertimbang kolektibilitas pinjaman PUKK Jumlah pinjaman yang disalurkan
× 100%
Definisi rata-rata tertimbang kolektibilitas pinjaman PUKK, dan jumlah
pinjaman yang disalurkan seperti yang dinyatakan dalam Lampiran II Keputusan
Menteri BUMN Nomor KEP-100/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, adalah
sebagai berikut:
“Definisi:
Rata-rata tertimbang kolektibilitas pinjaman PUKK adalah perkalian antara
bobot kolektibilitas (%) dengan saldo pinjaman untuk masing-masing kategori
kolektibilitas sampai dengan periode akhir tahun buku yang bersangkutan.
Bobot masing-masing tingkat kolektibilitas adalah sebagai berikut:
• Lancar 100%
• Kurang lancar 75%
• Ragu-ragu 50%
• Macet 0%
Jumlah pinjaman yang disalurkan adalah seluruh pinjaman kepada Usaha Kecil
dan Koperasi sampai dengan periode akhir tahun buku yang bersangkutan” (h.
36
14/18). Daftar penilaian tingkat pengembalian dana PUKK dapat dilihat di
tabel 2.16 yang terlampir dalam skripsi ini.
II.5. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP)
Pasal 1 Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor
101/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Perusahaan, mendefinisikan RKAP sebagai berikut, “Rencana Kerja
dan Anggaran Perusahaan (RKAP) adalah penjabaran tahunan dari Rencana
Jangka Panjang (RJP) BUMN”.
Selanjutnya dalam pasal 3 Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor 101/MBU/2002, tanggal 4 Juni 2002, menyatakan bahwa sekurang-
kurangnya RKAP terdiri dari:
1. Rencana kerja perusahaan
2. Anggaran perusahaan,
3. Proyeksi keuangan pokok perusahaan, dan anak perusahaan,
4. Hal-hal lain yang memerlukan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS).
II.6. Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
Program Kemitraan merupakan program yang wajib dilaksanakan oleh
BUMN, seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 Keputusan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003,
tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan
Program Bina Lingkungan yang menyatakan, “BUMN wajib melaksanakan
37
Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Keputusan ini” (h. 2).
Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor
KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, mendefinisikan Program Kemitraan
BUMN sebagai berikut, “Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil yang
selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan
dana dari bagian laba BUMN” (h. 2).
Pasal 1 Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor
KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, juga menyatakan bahwa BUMN
yang melaksanakan Program Kemitraan ini disebut BUMN Pembina dan
Program Kemitraan ini akan dikelola oleh suatu unit organisasi khusus yang
dinamakan Unit Program Kemitraan dan Program BL dimana unit ini merupakan
bagian dari BUMN Pembina yang bertanggung jawab langsung pada Direksi
BUMN Pembina.
Terkait dengan dana Program Kemitraan, pasal 8 ayat 1 Keputusan Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni
2003, menyatakan, “Dana Program Kemitraan bersumber dari:
a. Penyisihan laba setelah pajak sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 3%
(tiga persen);
b. Hasil bunga pinjaman, bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program
Kemitraan setelah dikurangi beban operasional;
c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada” (h. 4).
38
Selanjutnya, pasal 8 ayat 3 Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, menyebutkan bahwa
besarnya dana Program Kemitraan yang berasal dari penyisihan laba setelah
pajak, untuk BUMN berbentuk hukum Persero, ditetapkan oleh RUPS.
Terkait dengan pembukuan dana Program Kemitraan, pasal 8 ayat 6
Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-
236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, tentang Program Kemitraan Badan Usaha
Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan menyatakan,
“Pembukuan dana Program Kemitraan dan Program BL dilaksanakan secara
terpisah dari pembukuan BUMN Pembina” (h. 4).
Pasal 19 ayat 1 dan 2 Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, tentang Program Kemitraan
Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
menyebutkan bahwa setiap BUMN Pembina wajib menyusun laporan pelaksanaan
Program Kemitraan dimana laporan tersebut terdiri dari Laporan Triwulanan dan
Laporan Tahunan. Mengenai isi dari laporan pelaksanaan tersebut, pasal 19 ayat 4
Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP-
236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, tentang Program Kemitraan Badan Usaha
Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan menyebutkan,
“Laporan Triwulanan dan Laporan Tahunan Program Kemitraan dan Program BL
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memuat:
a. Realisasi pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL, dirinci menurut
wilayah binaan.
39
b. Realisasi anggaran Program Kemitraan dan Program BL, terdiri atas sumber
dana, dana yang tersedia dan realisasi penggunaan dana sesuai dengan
pelaksanaan Program Kemitraan dan BL sebagaimana dimaksud pada huruf a.
c. Perhitungan Pendapatan dan Beban Program Kemitraan.
d. Neraca Program Kemitraan.
e. Perkembangan usaha Mitra Binaan.
f. Masalah yang dihadapi dan langkah-langkah penyelesaiannya” (h. 7).
Laporan Tahunan Pelaksanaan Program Kemitraan tersebut harus diaudit,
dimana auditor yang melakukan audit ini akan ditunjuk oleh RUPS seperti yang
diatur dalam pasal 21 Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor KEP-236/MBU/2003, tanggal 17 Juni 2003, tentang Program Kemitraan
Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.