bab ii landasan teori dan pengembangan hipotesis a ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/4342/3/bab...
TRANSCRIPT
11
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori sinyal menyatakan bahwa perusahaan yang berkualitas
baik dengan sengaja akan memberikan sinyal pada pasar, dengan
demikian pasar diharapkan dapat membedakan perusahaan yang
berkualitas baik dan buruk. Agar sinyal tersebut dapat ditangkap pasar
dan dipersepsikan dengan baik, serta tidak mudah ditiru oleh
perusahaan yang berkualitas buruk (Hartono,2005). Teori sinyal
berakar pada teori akuntansi pragmatik yang memusatkan
perhatiannya kepada pengaruh informasi terhadap perubahan perilaku
pemakai informasi.
Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah
pengumuman yang dilakukan oleh suatu emiten. Pengumuman ini
nantinya dapat mempengaruhi naik turunnya harga sekuritas
perusahaan emiten yang melakukan pengumuman (Suwardjono,
2005). Perusahaan yang memiliki keyakinan bahwa perusahaan
tersebut mempunyai prospek yang baik ke depannya akan cenderung
mengkomunikasikan berita tersebut terhadap para investor.
12
Pada penelitian ini perusahaan yang berkualitas baik nantinya
akan memberi sinyal dengan cara menyampaikan laporan keuangan
dengan tepat waktu dan memperoleh laba tinggi sehingga tingkat
pengembalian yang tinggi juga, hal ini tidak bisa ditiru oleh
perusahaan yang berkualitas buruk karena perusahaan berkualitas
buruk akan cenderung tidak tepat waktu dalam menyampaikan laporan
keuangannya dan bahkan mengalami kerugian. Pada penelitian ini
sinyal yang diberikan oleh perusahaan yang berkualitas baik dianggap
sebagai berita baik (good news), sedangkan sinyal yang diberikan oleh
perusahaan yang berkualitas buruk dianggap sebagai berita buruk (bad
news).
Penyampaian laporan keuangan berkaitan dengan teori sinyal
karena terdapatnya asimetri informasi antara manajer dan pemegang
saham mengenai prospek perusahaan di masa mendatang, sehingga
untuk meminimalkan hal tersebut perusahaan mengeluarkan sinyal-
sinyal melalui penyampaian laporan keuangan. Penyampaian
informasi melalui laporan keuangan oleh manajemen nantinya akan
diterima oleh masyarakat sebagai suatu sinyal-sinyal.
13
2. Saham dan Return Saham
a. Saham
Menurut Indriyo Gitosudarmo dan Basri (2002: 265) saham
merupakan tanda penyertaan modal pada perseroan terbatas. Ada 2
jenis saham yaitu:
1) Saham Biasa
Saham Biasa, merupakan jenis efek yang paling sering
dipergunakan oleh emiten untuk memperoleh dana dari masyarakat
dan juga merupakan jenis yang paling populer di pasar modal.
Jenis ini memiliki karakteristik seperti berikut:
a. Hak klaim terakhir atas aktiva perusahaan jika perusahaan
dilikuidasi.
b. Hak suara proporsional pada pemilihan direksi serta keputusan
lain yang ditetapkan pada Rapat Umum Pemegang Saham.
c. Dividen, jika perusahaan memperoleh laba dan disetujui di
dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
d. Hak memesan efek terlebih dahulu sebelum efek tersebut
ditawarkan kepada masyarakat.
2) Saham Preferen
Saham preferen adalah bentuk khusus dari kepemilikan
perusahaan. Saham preferen memiliki kararteristik sebagai berikut:
14
a) Pembayaran dividen dalam jumlah yang tetap.
b) Hak klaim lebih dahulu dibanding saham biasa jika
perusahaan dilikuidasi.
c) Dapat dikonversikan menjadi saham biasa.
b. Return Saham
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi (Hartono,
2014: 263). Return total merupakan return keseluruhan dari suatu
investasi dalam suatu periode tertentu. Return total sering disebut
dengan return saja. Return total terdiri dari capital gain dan dividen.
Menurut Hartono (2014: 263), return dapat dibedakan menjadi dua
yaitu:
1) Return realisasi (realized return)
Return realisasi merupakan return yang telah terjadi.
Return realisasi dihitung dengan menggunakan data historis.
Pengukuran return realisasi berguna untuk mengukur kinerja suatu
perusahaan, sebagai dasar penentuan return ekspektasi dan resiko
di masa yang akan datang. Rumus Return realiisasi menurut
Brigham & Houston (2006:410) sebagai berikut:
Return Saham =
15
Keterangan:
P1= Harga saham pada tahun sekarang
P0= Harga saham pada tahun sebelumnya
2) Return ekspektasi (expected return)
Return ekspektasi merupakan return yang diharapkan akan
diperoleh investor di masa yang akan datang. Return ekspetasi
(expected return) dapat dihitung berdasarkan beberapa cara sebagai
berikut ini.
a) Berdasarkan nilai ekspetasian masa depan.
b) Berdasarkan nilai-nilai return historis.
c) Berdasarkan model return ekspetasian yang ada.
Perhitungan Return Saham menurut Hartono (2014: 268)
adalah sebagai berikut:
Return =
+
=
16
Keterangan:
= harga saham tahun sekarang
−1 = harga saham tahun sebelumnya
= dividen tahun sekarang
Return dapat bernilai negatif maupun positif. Kadang, untuk
perhitungan tertentu, dibutuhkan suatu return yang bernilai positif.
Relatif return dapat digunakan, yaitu dengan menambah nilai 1
terhadap nilai return total, sehingga:
Relatif return = Return total + 1
=
+
=
c. Komponen Return Saham
Komponen Return saham menurut Abdul Halim (2005:34) ada
2, yaitu:
1) Untung/rugi modal (capital gain/loss) merupakan keuntungan
(kerugian) bagi investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual
17
(harga beli) di atas harga beli (harga jual) yang keduanya terjadi
di pasar sekunder.
2) Imbal hasil (yield) merupakan pendapatan atau aliran kas yang
diterima investor secara periodik, misalnya berupa dividen atau
bunga. Yield dinyatakan dalam persentase dari modal yang
ditanamkan.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Return Saham
Menurut Agus Sartono (2009:253), ada beberapa variabel
fundamental yang mempengaruhi harga saham. Beberapa variabel
tersebut adalah:
1) Economic Value Added (EVA)
Menurut Brigham dan Houston (2013) mengemukakan
definisi EVA didasarkan pada gagasan keuntungan ekonomis
(juga dikenal sebagai penghasilan sisa/residual income )
yang menyatakan, bahwa kekayaan hanya diciptakan ketika
sebuah perusahaan meliputi biaya operasi dan biaya modal,
dalam artian sempit, EVA benar-benar hanya merupakan cara
alternatif untuk meninjau kinerja perusahaan. EVA adalah
mengukur nilai tambah yang dihasilkan suatu perusahaan dengan
cara mengurangi laba operasi setelah pajak dengan beban biaya
modal (cost of capital), dimana beban biaya modal
18
mencerminkan tingkat resiko perusahaan. EVA merupakan
indikator adanya penciptaan nilai dari suatu investasi.
Menurut van Horne (2007: 141), secara sistematis
perhitungan EVA dapat dituliskan sebagai berikut:
EVA = NOPAT – Biaya Modal
= EBIT (1-tarif pajak) – (operating capital) (biaya
modal setelah pajak)
Keterangan:
NOPAT = Net Operating Profit After Tax
EBIT = Earnings Before Interest and Tax
2) Market Value Added (MVA)
Pengertian MVA menurut Brigham dan Houston
(2010:111) adalah perbedaan antara nilai pasar ekuitas dan nilai
buku. MVA merupakan perbedaan antara nilai modal yang
ditanamkan di perusahaan sepanjang waktu dari investasi modal,
pinjaman, laba ditahan, dan uang yang bisa diambil sekarang
atau sama dengan selisih antara nilai buku dengan nilai pasar
perusahaan.
Rumus perhitungan Market Value Added (MVA) yang
dipaparkan oleh Husnan & Pudjiastuti (2006), yaitu:
19
MVA = (Jumlah saham beredar)(Harga saham) – Total modal
sendiri
3) Firm Size
Suwito dan Herawati (2005) mengatakan firm size atau
ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat
diklasifikasikan besar kecil perusahaan menurut berbagai
cara, dimana ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3
kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan
menengah (medium size) dan perusahaan kecil (small firm).
Menurut Werner R. Murhadi (2013) Firm Size diukur
dengan mentrasformasikan total aset yang dimiliki perusahaan ke
dalam bentuk logaritma natural.
Firm size = Ln Total Aset
Keterangan :
Firm Size = Ukuran Perusahaan
Ln TR = Logaritma natural dari Total Aset
4) Book to Market Ratio
Market To Book Ratio adalah ratio dari nilai perlembar
saham biasa atas nilai buku perlembar ekuitas. Nilai pasar
perlembar saham mencerminkan kinerja perusahaan di
masyarakat umum, dimana nilai pasar pada suatu saat dapat
dipengaruhi oleh pilihan dan tingkah laku dari mereka yang
terlibat dipasar, suasana psikologi yang ada dipasar, sengitnya
20
perang pengambilalihan, perubahan ekonomi, perkembangan
industri, kondisi politik, dan sebagainya (Helfert, 1997 : 290).
Rumus dari rasio book to market menurut Damodaran,
2002 :
Book to Market Ratio =
5) Debt to Equity Ratio (DER)
Pengertian Debt to Equity Ratio menurut Darsono dan
Ashari (2010:54-55) bahwa DER merupakan salah satu rasio
leverage atau solvabilitas. Rasio solvabilitas adalah rasio untuk
mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar
kewajiban jika perusahaan tersebut dilikuidasi. Rasio ini
juga disebut dengan rasio pengungkit (Leverage) yaitu
menilai batasan perusahaan dalam meminjam uang.
Rumusan untuk mencari debt to equity ratio dapat
digunakan perbandingan antara total utang dengan total ekuitas
sebagai berikut (Kasmir, 2014:158):
DER = ( )
( )
6) Kategori industri dan jenis usaha
Pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu
berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau
jenis teknologi yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut,
21
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga turut
menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin
besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi,
maka semakin beranekaragam jenis industrinya.
Variabel-variabel yang mempengaruhi harga saham tersebut
secara langsung akan berpengaruh terhadap Return saham yang akan
diterima oleh pemegang saham. Selain itu, terdapat berbagai faktor
yang mempengaruhi Return saham. Menurut Mohamad Samsul
(2006:200) secara fundamental, return saham dipengaruhi oleh kinerja
perusahaan dan kemungkinan resiko yang dihadapi perusahaan.
Kinerja perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per
saham serta beberapa rasio keuangan yang menggambarkan kekuatan
manajemen dalam mengelola perusahaan. Resiko perusahaan
tercermin dari daya tahan perusahaan dalam menghadapi siklus
ekonomi serta faktor makro ekonomi dan makro non ekonomi.
Dengan kata lain, kinerja perusahaan dan resiko yang dihadapi
dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi. Faktor makro
ekonomi antara lain:
1) Tingkat bunga umum domestik
Pengertian dari suku bunga adalah harga dari penggunaan
uang untuk jangka waktu tertentu atau harga dari penggunaan
uang yang dipergunakan pada saat ini dan akan dikembalikan
pada saat mendatang. Menurut Laksmono (2001), nilai suku
22
bunga domestik di Indonesia sangat terkait dengan tingkat suku
bunga internasional. Hal ini disebabkan oleh akses pasar
keuangan domestik terhadap pasar keuangan internasional serta
kebijakan nilai tukar mata uang yang kurang fleksibel. Menurut
Iswardono (1999), kenaikan suku bunga akan berakibat terhadap
menurunnya return saham begitu juga sebaliknya.
2) Tingkat inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan terjadinya peningkatan
harga produk-produk secara keseluruhan. Inflasi yang tinggi
mengurangi tingkat pendapatan riil yang diperoleh investor dari
investasi. Sebaliknya,jika tingkat inflasi suatu negara mengalami
penurunan maka hal ini merupakan sinyal yang positif bagi
investor seiring dengan turunnya resiko daya beli uang dan resiko
penurunan pendapatan riil.
3) Peraturan perpajakan
Peraturan-peraturan terkait perpajakan akan mempengaruhi
return saham karena pajak merupakan beban yang akan
menurunkan laba.
4) Kebijakan khusus pemerintah yang terkait dengan perusahaan
tertentu
Pengertian kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat
atas dasar kebijakan yang bersifat luas. Menurut Werf (1997)
23
yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan
tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu.
Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku
yaitu suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh
pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang menyangkut
kepentingan umum.
5) Kurs Valuta Asing
Definisi nilai tukar atau kurs (foreign exchange rate) antara
lain dikemukakan oleh Abimanyu (2004) adalah harga mata uang
suatu negara relatif terhadap mata uang negara lain. Karena nilai
tukar ini mencakup dua mata uang, maka titik keseimbangannya
ditentukan oleh sisi penawaran dan permintaan dari kedua mata
uang tersebut.
6) Tingkat Bunga Pinjaman Luar Negeri
Utang/Pinjaman luar negeri adalah sebagian dari total
utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar
negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa
pemerintah, perusahaan atau perorangan. Bentuk utang dapat
berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah
negara lain atau lembaga keuangan internasional seperti IMF
dan Bank Dunia (Ulfa, 2017). Jadi dapat disimpulkan bahwa
tingkat bunga pinjaman luar negeri adalah tingkat suku bunga
24
yang ditentukan oleh lembaga keuangan internasional
sehubungan dengan pinjaman oleh suatu negara.
7) Kondisi perekonomian internasional
Ekonomi internasional adalah ilmu ekonomi yang
membahas akibat saling ketergantungan antara negara-negara di
dunia, baik dari segi perdagangan internasional maupun pasar
kredit internasional.
8) Siklus ekonomi
Siklus ekonomi adalah fluktuasi yang melanda produksi
lokal, pendapatan, kesempatan kerja, yang biasanya berlangsung
selama 2 sampai 10 th, yang ditandai dengan adanya kontraksi
dan ekspansi di semua sektor ekonomi. Menurut Kusnendi
(dalam Modul Makroekonomi), siklus bisnis ekonomi adalah
fluktuasi pertumbuhasn ekonomi disekitar trendnya yang
meliiputi masa depresi, recovery, boom, dan resesi.
9) Faham ekonomi
Pada beberapa negara memiliki paham ekonomi yang
berbeda-beda, karena hal ini juga dapat dipengaruhi oleh paham
ideolgi yang berbeda serta sumber daya yang dimiliki baik SDA
maupun SDM.
25
10) Peredaran uang
Uang Beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank
Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/BPR)
terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah
pusat dan bukan penduduk). Kewajiban yang menjadi komponen
Uang Beredar terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat
(di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang
dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat berharga selain
saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor
swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu
tahun.
Sedangkan faktor mikro ekonomi mencakup:
1) Laba bersih per saham (Earnings Per Share)
Komponen penting yang harus diperhatikan dalam analisis
perusahaan menurut Eduardus Tandelilin (2001 : 241) adalah
laba bersih setelah pajak per lembar saham atau lebih dikenal
dengan Earning Per Share (EPS), karena Earning Per Share
(EPS) suatu perusahaan menentukan besarnya laba bersih
perusahaan yang siap dibagikan bagi semua pemegang saham
perusahaan. Menurut Widiatmojo (2000) Earning Per Share
(EPS) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak
pada satu tahun buku dengan jumlah saham yang diterbitkan.
26
Kenaikan earning per share berarti perusahaan sedang dalam
tahap pertumbuhan atau kondisi keuangannya sedang mengalami
peningkatan dalam penjualan dan laba, atau dengan kata lain
semakin besar earning per share menandakan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih setiap lembar
saham.
Harnanto (2004:476), secara matematis rumus laba per
saham dapat dinyatakan sebagai berikut:
Laba per lembar saham =
2) Nilai buku per saham
Nilai buku per lembar saham mencerminkan nilai dari
setiap saham. Pengaruh nilai buku per lembar saham
memberikan sinyal jaminan keamanan yang tinggi atau nilai
klaim atas asset bersih perusahaan, membuat investor
bersedia untuk membayar harga saham yang lebih tinggi
(Anastasia, 2003).
Rumus dari rasio book to market atau Nilai buku per saham
menurut Damodaran, 2002 :
Book to Market Ratio =
27
3) Nilai Tambah Ekonomi (EVA)
EVA (Economic Value Added) merupakan gagasan
keuntungan ekonomis, yang menyatakan bahwa kekayaan hanya
diciptakan ketika sebuah perusahaan dapat mengendalikan
perusahaan meliputi biaya operasional dan modal. Dalam hal ini,
EVA merupakan cara yang alternatif untuk menilai kinerja
perusahaan. Dalam hal ini EVA sebagai alat pengukur kinerja
keuangan perusahaan didasarkan pada gagasan laba ekonomis
yang mengatakan bahwa kesejahteraan hanya didapatkan jika
suatu perusahaan dapat menutup biaya operasi dan biaya modal.
3) Rasio ekuitas terhadap utang
Menurut Darsono dan Ashari (2005), Rasio ekuitas
terhadap utang atau Debt to Equity Ratio adalah rasio yang
menunjukkan persentase penyedia dana oleh pemegang saham
terhadap pemberi pinjaman. Semakin tinggi rasio, semakin
rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang
saham. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka
panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan
perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjangnya.
Rumusan untuk mencari debt to equity ratio dapat
digunakan perbandingan antara total utang dengan total ekuitas
sebagai berikut (Kasmir, 2014:158):
28
DER = ( )
( )
4) Rasio laba bersih terhadap ekuitas
Return on Equity merupakan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang
dimiliki, sehingga ROE ini ada yang menyebut sebagai
rentabilitas modal sendiri (Sutrisno, 2007). Return on Equity
merupakan alat analisis keuangan untuk mengukur
profitabilitas.
Menurut Kasmir (2015 :204) Rumus untuk mencari Return
on Equity (ROE) dapat digunakan sebagai berikut:
ROE =
5) Cash flow per saham
Cash Flow Per Share digunakan untuk menunjukkan
kemampuan dalam menjaga kestabilan sebuah perusahaan.
Komponen Cash Flow dari operasi mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap harga saham. Harga saham yang tinggi
atau meningkat memberikan signal bahwa prospek
perusahaan di masa yang akan datang akan terus membaik.
Cash flow dikatakan baik jika perusahaan tersebut secara tidak
langsung dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan dalam
29
menjalankan operasinya guna membayar dividen terhadap saham
yang dijualnya kepada para pemilik modal.
3. Earnings Per Share (EPS)
a. Pengertian Earnings Per Share (EPS)
Earnings Per Share (EPS) merupakan kemampuan perusahaan
mencetak laba berdasarkan saham yang dipunyai (Mamduh M. Hanafi
dan Abdul Halim 2009:185). Menurut James M. Reeve, dkk
(2010:187) laba per saham biasa, atau sering disingkat LPS (Earnings
Per common Share-EPS), kadang kala disebut laba dasar per saham,
adalah laba bersih per lembar saham biasa yang beredar selama
periode tertentu. Menurut pendapat lain, (Harnanto, 2004: 476) pada
dasarnya laba per saham (LPS) adalah hasil bagi dari laba bersih
dengan jumlah saham biasa yang berada dalam peredaran. Jadi,
Earnings Per Share (EPS) merupakan laba bersih per lembar saham
yang dibagikan kepada investor atas hasil dari suatu investasi mereka.
EPS yang tinggi memberikan makna perusahaan mampu
memberikan tingkat kemakmuran bagi pemegang saham dalam satu
periode. Tinggi rendahnya EPS akan menentukan tingkat return yang
diperoleh. Semakin tinggi nilai EPS menandakan semakin besar pula
laba yang disediakan untuk investor. Sehingga apabila terjadi
kenaikan EPS maka akan diikuti oleh kenaikan harga saham dan akan
meningkatkan return saham. Jika return saham yang diberikan tinggi
30
maka akan mengundang investor untuk berinvestasi ke perusahaan
yang akan meningkatkan harga saham.
b. Rumus Menghitung Earnings Per Share (EPS)
Earnings Per Share dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
1) Menurut Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim, 2009:185 rumus
EPS (untuk permodalan yang sederhana)
=
2) Menurut Carl S. Warren, James M. Reeve, dan Philip E. Fess
(2006:126) terdapat 2 rumus EPS, yaitu jika:
a) Perusahaan yang saham-sahamnya diperdagangkan di Bursa
saham biasa harus melaporkan laba per saham dalam laporan
laba ruginya. Jika tidak ada saham preferen yang beredar, laba
per saham biasa dihitung sebagai berikut:
Laba per saham biasa =
b) Ada perubahan dalam jumlah saham biasa yang beredar selama
periode berjalan, maka yang digunakan adalah rata-rata
tertimbang jumlah saham yang beredar. Jika sebuah
perusahaan memiliki saham preferen yang beredar, maka laba
31
bersih harus dikurangi dengan jumlah dividen saham preferen,
sebagai berikut:
Laba per saham biasa =
3) Harnanto (2004:476), secara matematis rumus laba per saham
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Laba per lembar saham =
Laba per saham (LPS) merupakan konsep yang
berhubungan hanya dengan saham biasa yang diterbitkan oleh
perusahaan, sehingga memungkinkan untuk lebih baik apabila
diinterpretasikan sebagai laba per lembar saham biasa. Konsep laba
per saham tidak berlaku untuk saham preferen atau saham utama,
karena pada umumnya saham preferen berhak untuk memperoleh
keuntungan tetap dan tidak berhak atas sisa laba.
Penelitian ini menggunakan EPS dasar (primary Earnings
Per Share), rumus dari Harnanto (2004:476), dengan rumus:
Laba Per Saham (LPS)=
32
c. Komponen Earnings Per Share (EPS)
Earnings Per Share (EPS) mempunyai komponen sebagai
berikut:
1) Laba adalah hasil perhitungan secara agregat, yang menunjukkan
keuntungan dari seluruh aktiva yang dikuasai oleh perusahaan
dan berasal dari berbagai macam sumber, termasuk dari para
kreditor, pemegang saham preferen dan saham biasa, serta hasil
usaha masa lalu. Kaitannya dengan hak atas laba yang dihasilkan
oleh perusahaan tersebut yaitu para kreditor dan pemodal selain
para pemegang saham biasa pada umumnya bersifat tetap,
sebagai konsekuensi dari ketentuan kontraktualnya dengan
perusahaan (Harnanto, 2004:476).
2) Dividen adalah distribusi kepada pemilik atau pemegang saham
dalam suatu perseroan terbatas secara proporsional dengan
jumlah relatif kepemilikan sahamnya (Harnanto, 2004:240).
d. Macam-macam Earnings Per Share (EPS)
Macam-macam Earnings Per Share (EPS) atau laba per lembar
saham (LPS) menurut Harnanto (2004:487) yaitu:
1) LPS dasar (primary Earnings Per Share) adalah jumlah laba
yang dapat diatribusikan kepada setiap lembar saham biasa dan
sekuritas setara saham biasa yang beredar. LPS dasar yang
33
dihitung berdasar jumlah saham yang beredar dan sekuritas
ditetapkan sebagai setara saham biasa (ESSB).
2) LPS-dilusian (fully diluted Earnings Per Share) adalah jumlah
laba per saham, yang menunjukkan jumlah maksimum dilusinya
secara individual sebagai akibat dari penukaran, penggunaan, dan
penerbitan saham biasa atas surat berharga konversi, hak beli
saham, dan saham kontijensi. LPS-dilusian yang menunjukkan
penurunan LPS yang akan terjadi apabila saham biasa yang dapat
diperoleh melalui seluruh efek berpotensi saham bisa diterbitkan.
4. Economic Value Added (EVA)
a. Pengertian Economic Value Added (EVA)
Menurut van Horne (2007: 141) untuk menciptakan nilai
perusahaan harus mendapatkan pengembalian atas modal yang
diinvestasikan lebih besar dari biaya modal, melalui konsep Nilai
Tambah Ekonomi (Economic Value Added / EVA).
Pada dasarnya, EVA adalah laba ekonomi yang dihasilkan oleh
perusahaan setelah semua biaya modal dikurangkan. Secara lebih
spesifik, EVA adalah laba operasional bersih setelah pajak (Net
Operating Profit After Tax / NOPAT) dikurangi beban nilai biaya
modal untuk modal yang digunakan. Penyesuaian disarankan untuk
NOPAT agar lebih mencerminkan pendekatan kas daripada
pendekatan akuntansi akrual atas kinerja perusahaan.
34
b. Rumus Perhitungan Economic Value Added (EVA)
Menurut van Horne (2007: 141), secara sistematis perhitungan
EVA dapat dituliskan sebagai berikut:
EVA = NOPAT – Biaya Modal
= EBIT (1-tarif pajak) – (operating capital) (biaya modal
setelah pajak)
Keterangan:
NOPAT = Net Operating Profit After Tax
EBIT = Earnings Before Interest and Tax
Berbeda dengan pengukuran kinerja akuntansi yang tradisional
(seperti ROE), EVA digunakan mengukur nilai tambah yang
dihasilkan suatu perusahaan dengan cara mengurangi biaya modal
(cost of capital) yang timbul sebagai akibat investasi yang dilakukan.
Economic Value Added (EVA) yang bernilai positif menunjukkan
bahwa perusahaan telah berhasil menciptakan nilai bagi para pemilik
modal karena perusahaan mampu menghasilkan tingkat pengembalian
yang melebihi tingkat modalnya. Hal ini sejalan dengan tujuan
memaksimumkan nilai perusahaan. Sebaliknya, Economic Value
Added (EVA) yang bernilai negatif menunjukkan bahwa nilai
perusahaan menurun karena tingkat pengembalian lebih rendah dari
biaya modal. Apabila Economic Value Added (EVA) memiliki nilai
35
sama dengan nol, hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan berada
dalam titik impas. Artinya, perusahaan tidak mengalami kemunduran
dan tidak mengalami kemajuan secara ekonomi. EVA yang bernilai
positif secara umum menunjukkan terjadinya penciptaan nilai bagi
para pemegang saham, sedangkan EVA yang bernilai negatif
menunjukkan penghancuran nilai (van Horne, 2007: 141-142).
c. Kelebihan dan Kelemahan Economic Value Added (EVA)
Kelebihan konsep EVA diantaranya bermanfaat sebagai penilai
kinerja yang berfokus pada penciptaan nilai (value creation),
membuat perusahaan lebih memperhatikan struktur modal, dan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kegiatan atau proyek yang
memberikan pengembalian lebih tinggi daripada biaya modal (Hanafi,
2004: 54). Selain itu, manajemen dituntut untuk mengetahui berapa
the true cost of capital dari bisnisnya, sehingga tingkat pengembalian
bersih dari modal yang merupakan hal yang sesungguhnya menjadi
perhatian para investor dapat diperlihatkan secara jelas. Dapat
diketahui berapa jumlah sebenarnya dari modal yang diinvestasikan ke
dalam bisnis dengan tidak terpaku pada aturan-aturan akuntansi yang
memperlakukan investasi seperti pada penelitian, pengembangan, dan
pelatihan karyawan sebagai expense. Penilaian kinerja dengan
pendekatan EVA menyebabkan perhatian manajemen sesuai dengan
kepentingan pemegang saham. Dengan menggunakan EVA, para
manajer akan berpikir dan bertindak seperti halnya pemegang saham
36
yaitu memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian
dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan
dapat dimaksimumkan.
Selain memiliki kelebihan, EVA juga memiliki kelemahan yaitu
EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun
tertentu, sehingga bisa saja suatu perusahaan mempunyai EVA pada
tahun yang berlaku positif namun nilai perusahaan tersebut rendah
karena EVA di masa datang bernilai negatif. Secara konseptual, EVA
lebih unggul daripada pengukur tradisional akuntansi, namun secara
praktis belum tentu EVA dapat diterapkan dengan mudah. Proses
perhitungan EVA memerlukan estimasi atas biaya modal dan estimasi
ini sulit dilakukan terutama pada perusahaan yang belum go public
(Hanafi, 2004: 54).
5. Tingkat Suku Bunga
Menurut Boediono (1996:76), Suku Bunga adalah harga yang harus di
bayar apabila terjadi pertukaran antara satu Rupiah sekarang dan satu
Rupiah nanti. Adanya kenaikan suku bunga yang tidak wajar akan
menyulitkan dunia usaha untuk membayar beban bunga dan kewajiban,
karena suku bunga yang tinggi akan menambah beban bagi perusahaan
sehingga secara langsung akan mengurangi profit perusahaan.
Kasmir, (2008:131) menyatakan bunga bank adalah sebagai balas
jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional
37
kepada nasabah yang membeli atau menjual produkanya. Bunga juga dapat
diartikan harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki
simpanan) oleh pihak bank dan yang harus dibayar oleh nasabah kepada
bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Berdasarkan pengertian
tersebut suku bunga terbagi dalam dua macam yaitu sebagai berikut:
a. Bunga simpanan yaitu bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau
balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Sebagai
contoh jasa giro, bunga tabungan, dan bunga deposito.
b. Bunga pinjaman yaitu bunga yang diberikan kepada para peminjam atau
harga. Sebagai contoh bunga kredit.
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa balas jasa yang
diberikan oleh bank terhadap nasabah yang menyimpan hartanya dalam
bentuk deposito dengan simpanan jangka panjang serta adanya perjanjian
antara pihak nasabah (yang memiliki simpanan) dengan bank, semakin lama
jangka waktu penyimpanan deposito berjangka cenderung makin tinggi juga
bunganya, karena bank dapat menggunakan uang tersebut untuk jangka
waktu yang lebih lama.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat bunga, misalnya penentuan
tingkat bunga sangat tergantung kepada berapa besar pasar uang domestik
mengalami keterbukaan system dana suatu negara, dalam artian penentuan
besar penentuan finansial suatu negara yang cenderung berbeda. Faktor
yang mempengaruhi tingkat bunga global suatu negara adalah tingkat bunga
38
di luar negeri dan depresiasi mata uang dalam negeri terhadap mata uang
asing yang diperkirakan akan terjadi. Namun demikian, dalam sebuah bank
menentukan tingkat bunga bergantung hasil interaksi antara bunga simpanan
dengan bunga pinjaman yang keduanya saling mempengaruhi satu sama lain
dan kebijakan Suku Bunga di samping faktor – faktor lainnya.
Weston dan Brigham, (1990:84) menyebutkan bahwa Suku Bunga
mempengaruhi laba perusahaan dalam dua cara : (1) karena bunga
merupakan biaya, maka semakin tinggi tingkat Suku Bunga maka semakin
rendah laba perusahaan apabila hal-hal lain dianggap konstan; dan (2) Suku
Bunga mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi, karena itu mempengaruhi
laba perusahaan. Suku Bunga tidak diragukan lagi mempengaruhi investasi
portofolio karena pengaruhnya terhadap laba, tetapi yang terpenting adalah
Suku Bunga berpengaruh karena adanya persaingan di pasar modal antara
saham dan obligasi.
Pohan (2008:53), mengatakan bahwa Suku Bunga yang tinggi di
satu sisi akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga
jumlah dana perbankan akan meningkat. Sementara itu, di sisi lain Suku
Bunga yang tinggi akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh dunia
usaha sehingga mengakibatkan penurunan kegiatan produksi di dalam
negeri. Menurunnya produksi pada gilirannya akan menurunkan pula
kebutuhan dana oleh dunia usaha. Hal ini berakibat permintaan terhadap
kredit perbankan juga menurun sehingga dalam kondisi Suku Bunga yang
tinggi, yang menjadi persoalan adalah ke mana dana itu akan disalurkan.
39
Sedangkan menurut Tandelilin (2007), Suku Bunga yang terlalu tinggi akan
mempengaruhi nilai sekarang aliran kas perusahaan, sehingga kesempatan-
kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Suku Bunga yang
tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang akan ditanggung oleh
perusahaan. Di samping itu, Suku Bunga yang tinggi juga akan
menyebabkan return yang diisyaratkan investor dari suatu investasi akan
meningkat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin rendahnya Suku
Bunga maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena intensitas
aliran dana yang akan meningkat. Dengan demikian Suku Bunga dan
keuntungan yang diisyaratkan merupakan variabel penting yang sangat
berpengaruh terhadap keputusan para investor, dimana berdampak terhadap
keinginan investor untuk melakukan investasi portofolio di pasar modal
dengan Suku Bunga yang rendah.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pasar modal khususnya yang terkait dengan Return
Saham telah banyak dilakukan. Adapun penelitian-penelitian yang telah
dilakukan dan relevan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ansori (2015) dengan judul “Pengaruh
Economic Value Added dan Market Value Added terhadap Return Saham
pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia”
bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh Economic Value Added
40
dan Market Value Added terhadap Return Saham pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Dalam menentukan
sampel, penelitian tersebut menggunakan metode purposive sampling.
Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah regresi linier berganda.
Penelitian tersebut menunjukkan hasil Economic Value Added (EVA)
berpengaruh terhadap Return Saham pada perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dengan
koefisien regresi yang diperoleh yaitu dengan probabilitas tingkat
kesalahan sebesar 0,045 lebih kecil dibandingkan tingkat signifikansi yang
diharapkan yaitu sebesar 0,05. Hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian
yang menyatakan bahwa Economic Value Added berpengaruh terhadap
Return Saham.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ansori (2015), antara lain:
a. Variabel dependen adalah Return Saham.
b. Variabel independen adalah Economic Value Added (EVA).
c. Menggunakan metode purposive sampling dalam pengambilan sampel
dan metode analisis regresi linier untuk menganalisis data.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Catur Septiana Wulandari (2016) dengan
judul “Pengaruh Earnings Per Share (EPS), Economic Value Added
(EVA), dan Market Value Added (MVA) terhadap Return Saham pada
41
Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa
Efek Indonesia Periode 2011-2014”.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
tersebut adalah studi dokumentasi dan penelitian kepustakaan. Sedangkan
teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif, uji asumsi
klasik, analisis regresi linier sederhana, dan analisis regresi linier
berganda. Penelitian tersebut menunjukkan hasil sebagai berikut:
a. Earning Per Share (EPS) tidak berpengaruh terhadap Return Saham
pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2011-2014. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien regresi yang bernilai positif yaitu 0,178 dan t
hitung sebesar 1,712 jika dibandingkan dengan t tabel pada tingkat
signifikansi 0,05 dengan df=88 yaitu sebesar 1,662, maka t hitung
lebih besar dari t tabel (1,712<1,662).
b. Economi Value Added (EVA) tidak berpengaruh terhadap Return
Saham pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2011-2014. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien regresi yang bernilai positif yaitu 0,039 dan t
hitung sebesar 0,374 jika dibandingkan dengan t tabel pada tingkat
signifikansi 0,05 dengan df=88 yaitu sebesar 1,662 maka t hitung lebih
kecil dari t tabel (0,374<1,662).
Ada beberapa kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh
Catur Septiana Wulandari (2016) dengan penelitian ini, diantaranya:
42
a. Variabel dependen berupa Return Saham.
b. Menggunakan Earning Per Share (EPS) dan Economic Value Added
(EVA) sebagai variabel independen.
c. Sampel menggunakan perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi.
d. Teknik analisis data menggunakan analisis regresi linier berganda.
3. Rachmi Fatin (2017) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Economic Value Added (EVA), Market Value Added (MVA), Kebijakan
Dividen, dan Beta Pasar terhadap Return Saham pada Perusahaan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015”.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh Economic
Value Added (EVA), Market Value Added (MVA), Kebijakan Dividen,
dan Beta Pasar terhadap Return Saham pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive
sampling. Adapun hasil yang relevan dengan penelitian ini yaitu
Economic Value Added (EVA) tidak berpengaruh tehadap Return Saham.
Kesamaan yang terdapat pada penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Rachmi Fatin (2017) antara lain:
a. Variabel dependen berupa Return Saham
b. EVA sebagai variabel independen
43
c. Menggunakan metode purposive sampling untuk pengambilan
sampel.
4. Akbar Faoriko (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Return Saham di
Bursa Efek Indonesia”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
pengaruh Inflasi, Suku Bunga, dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Return
Saham di Bursa Efek Indonesia.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive
sampling. Adapun hasil yang relevan dengan penelitian ini yaitu Suku
Bunga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return Saham pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2008-2010, hal ini
ditunjukkan oleh distribusi t hitung sebesar -8,163 > t tabel 1,9656
dengan taraf signifikansi 5% dan nilai signifikansi (0,000) lebih kecil dari
taraf signifikansi (0,05).
Kesamaan yang terdapat pada penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Akbar Faoriko (2013) antara lain:
a. Return Saham sebagai variabel dependen
b. Tingkat Suku Bunga variabel independen
c. Menggunakan metode purposive sampling untuk pengambilan
sampel.
44
5. Penelitian yang dilakukan oleh Danny Eka Wahyu Saputra (2012)
dengan judul “Pengaruh Economic Value Added, Market Value Added,
Earning Per Share, dan Risiko Sistematik terhadap Return Saham pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode
2007-2011” Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
a. Economic value added (EVA) tidak berpengaruh terhadap return
saham perusahaan, hal ini dibuktikan dengan nilai t Economic Value
Added bernilai negatif sebesar -1,130. Hasil statistik uji t untuk
variabel EVA diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,261 lebih besar
dari toleransi kesalahan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa EVA
tidak berpengaruh terhadap Return Saham.
b. Earning Per Share (EPS) berpengaruh terhadap Return Saham
perusahaan dengan arah negatif, hal ini dibuktikan dengan nilai t EPS
bernilai negatif sebesar -2,295. Hasil statistik uji t untuk variabel EPS
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,024 lebih kecil dari toleransi
kesalahan α = 0,05. Hasil yang signifikan secara statistik berarti EPS
berpengaruh terhadap Return Saham perusahaan manufaktur di Bursa
Efek Indonesia periode 2007-2011.
Kesamaan yang terdapat pada penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Akbar Faoriko (2013) antara lain:
a. Return Saham sebagai variabel dependen
b. EVA dan EPS variabel independen.
45
6. Halim (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Makro
Ekonomi terhadap Return Saham Kapitalisasi Besar di Bursa Efek
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat suku bunga BI
dan inflasi berpengaruh negatif terhadap return saham dan nilai tukar
berpengaruh positif terhadap return saham.
Kesamaan yang terdapat pada penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Akbar Faoriko (2013) antara lain:
a. Return Saham sebagai variabel dependen
b. Tingkat Suku Bunga sebagai variabel independen
C. Pengembangan Hipotesis
1. Earnings Per Share (EPS) dan Return saham
Menurut Hartono (2010:205), Return merupakan hasil yang
diperoleh dari investasi. Return total dapat berarti Return keseluruhan
dari suatu investasi dalam periode tertentu. Return total sering disebut
dengan Return saja. Return total merupakan tingkat kembalian investasi
(Return) yang merupakan penjumlahan dari dividend yield dan capital
gain.
Menurut James M. Reeve, dkk (2010: 187) “Laba per saham biasa,
atau sering disingkat LPS (Earnings Per common Share - EPS), kadang
kala disebut laba dasar per saham, adalah laba bersih per lembar saham
biasa yang beredar selama periode tertentu. EPS yang tinggi memberikan
makna perusahaan mampu memberikan tingkat kemakmuran bagi
46
pemegang saham dalam satu periode. Tinggi rendahnya EPS akan
menentukan tingkat Return yang diperoleh. Semakin tinggi nilai EPS
menandakan semakin besar pula laba yang disediakan untuk investor.
Apabila terjadi kenaikan EPS maka akan diikuti oleh kenaikan harga
saham dan akan meningkatkan Return Saham. Berdasarkan uraian
tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat pengaruh positif
Earnings Per Share (EPS) terhadap Return Saham.
Teori tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hanief
(2017) tentang Analisis Pengaruh Earning Per Share Dan Leverage
Terhadap Return Saham Studi Empiris Di Bursa Efek Indonesia Periode
2010 -2014 yang menyatakan bahwa Variabel Earning Per Share
berpengaruh positif terhadap return saham.
H1 = Earnings Per Share (EPS) berpengaruh positif terhadap Return
Saham.
2. Economic Value Added (EVA) dan Return saham
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi, Hartono
(2010: 205). Return total dapat berarti Return keseluruhan dari suatu
investasi dalam periode tertentu. Return total sering disebut dengan
Return saja. Return total merupakan tingkat kembalian investasi (Return)
yang merupakan penjumlahan dari dividend yield dan capital gain.
Pengukuran kinerja keuangan yang umumnya dilakukan dengan
menganalisa laporan keuangan memiliki banyak kelemahan yaitu
47
mengabaikan adanya biaya modal sehingga sulit untuk mengetahui
apakah suatu perusahaan telah berhasil menciptakan nilai atau tidak.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka Joel Stren dan Bennet Stewart
mengembangkan ukuran kinerja lainnya, yaitu Economic Value Added
(EVA). Menurut Horne dan Wachowicz (2007:141), EVA adalah cara
untuk menghitung laba ekonomi yang dikembangkan oleh perusahaan
konsultan Stern Stewart & Co.
Konsep laba ekonomi (atau laba sisa-residual income) telah
dibahas dalam berbagai literatur ekonomi selama lebih dari 100 tahun.
EVA diperkenalkan pada akhir era tahun 1980-an. Pada dasarnya, EVA
adalah laba ekonomi yang dihasilkan perusahaan setelah semua biaya
modal dikurangkan.
EVA mencerminkan laba residu yang tersisa setelah biaya dari
seluruh modal, termasuk modal ekuitas, telah dikurangkan, sedangkan
laba akuntansi ditentukan tanpa mengenakan beban untuk modal ekuitas.
Perusahaan yang memiliki EVA tinggi cenderung dapat lebih menarik
investor untuk berinvestasi di perusahaan tersebut, karena semakin tinggi
nilai EVA maka semakin tinggi pula nilai perusahaan. Hal itu
mencerminkan pula laba perusahaan yang tinggi. Apabila laba
perusahaan tinggi maka Return yang diberikan kepada penyandang dana
juga tinggi. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil kesimpulan
bahwa terdapat pengaruh positif Economic Value Added (EVA) terhadap
Return Saham.
48
Penelitian yang mendukung pernyataan tersebut adalah penelitian
yang dilakukan oleh Ansori (2015) yang menyatakan Economic Value
Added (EVA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return Saham
pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Sehingga hipotesis yang kedua yaitu:
H2 = Economic Value Added (EVA) berpengaruh positif terhadap Return
Saham.
3. Tingkat Suku Bunga dan Return saham
Menurut Nopirin (1996) suku bunga adalah biaya yang harus
dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan
imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Tingkat suku bunga
adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau
harga dari penggunaan uang yang dipergunakan pada saat ini dan akan
dikembalikanpada saat mendatang (Herman, 2003). Keynes (Boediono,
1985) berpendapat bahwa tingkat suku bunga ditentukan oleh permintaan
dan penawaran uang. Apabila penawaran uang tetap, semakin tinggi
pendapatan nasional semakin tinggi tingkat suku bunga. Tingkat suku
bunga yang tinggi dapat mempengaruhi investasi walaupun pengaruhnya
sangat terbatas (Iswardono,1999 dalam Sugeng, 2004). Menurut
Iswardono (1999, dalam Sugeng, 2004), kenaikan suku bunga akan
berakibat terhadap menurunnya return saham begitu juga sebaliknya.
Dalam menghadapi kenaikan suku bunga, para pemegang saham
akan menahan sahamnya sampai tingkat suku bunga kembali pada
49
tingkat yang dianggap normal. Kenaikan suku bunga akan sangat
berpengaruh bagi pelaku pasar modal. Akibat meningkatnya suku bunga,
para pemilik modal akan lebih senang untuk menginvestasikan uangnya
di bank dari pada berinvestasi dalam bentuk saham (Dornbusch
&Fischer, 1992).
Konsep teori yang dikemukakan oleh beberapa peneliti diatas
diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Hayat dan Nisar
Ahmed (2014) yang menunjukkan hasil bahwa tingkat suku bunga
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham, sehingga
hipotesis ketiga sebagai berikut:
H3 = Tingkat Suku Bunga berpengaruh negatif terhadap Return Saham.
D. Paradigma Penelitian
Variabel independen (X) dalam penelitian ini terdiri dari Earning Per
Share (EPS), Economic Value Added (EVA) dan Tingkat Suku Bunga.
Sedangkan variabel dependen (Y) berupa Return Saham. Adapun
keterkaitan antarvariabel X dan Y dapat digambarkan sebagai berikut.
50
Gambar 2.1
Paradigma Penelitian
H1
H2
H3
Sumber : Data di Olah
Keterangan:
= Pengaruh masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen secara parsial, yaitu pengaruh Earning
Per Share (EPS) (X1) terhadap Return Saham (Y),
pengaruh Economic Value Added (EVA) (X2) terhadap
Return Saham (Y), terhadap Return Saham (Y) dan
pengaruh Tingkat Suku Bunga (X3) terhadap Return
Saham (Y).
X1 = Earning Per Share
(EPS)
X2 = Economic Value
Added (EVA)
X3 = Tingkat Suku
Bunga
Y = Return Saham