bab ii landasan teori dan penelitian yang relevan a ... ii.pdfdisebabkan karena ulah manusia itu...

16
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kepercayaan Masyarakat Jawa Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-sifat manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta mempercayai adanya wujud dari alam gaib dan supernatural, dan juga pemahaman tentang hakekat hidup dan maut, dan tentang wujud dewa-dewa atau mahkluk-mahkluk halus lainnya yang mendiami alam gaib. (Koentjaraningrat, 1983 : 78). Sistem kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa erat hubungannya dengan kegiatan-kegiatan dan upacara-upacara yang berbau religius. Juga didalamnya terdapat unsur-unsur serta rangkaian dan juga alat alat yang biasa digunakan untuk kegiatan ini. Menurut Lukes E Durkheim menjelaskan Religi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Dalam masyarakat sederhana religi merupakan sumber utama kohesi sosial dalam masyarakat.(Drujetna Imam Muhni, 1994 : 128) Yang menjalankan seluruh rangkaian dari sistem kepercayaan itu adalah masyarakat. Masyarakat diambil dari bahasa Yunani yaitu socius yang berarti teman atau kawan. Arti tersebut menekankan pertemanan dan persahabatan yang kuat. Pada abad ke-19 pengertian mengenai masyarakat dikembangkan menjadi lebih cenderung ke sekelompok atau perkumpulan manusia dan komunitas yang menjadi wadah pengalaman manusia, keluarga, desa, Jemaah gereja, kota dan kelas serta perkumpulan suka rela. (Ken Plummer, 2011 : 24)

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

    A. Kepercayaan Masyarakat Jawa

    Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan

    manusia tentang sifat-sifat manusia tentang sifat-sifat Tuhan, serta mempercayai

    adanya wujud dari alam gaib dan supernatural, dan juga pemahaman tentang hakekat

    hidup dan maut, dan tentang wujud dewa-dewa atau mahkluk-mahkluk halus lainnya

    yang mendiami alam gaib. (Koentjaraningrat, 1983 : 78).

    Sistem kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa erat hubungannya

    dengan kegiatan-kegiatan dan upacara-upacara yang berbau religius. Juga didalamnya

    terdapat unsur-unsur serta rangkaian dan juga alat alat yang biasa digunakan untuk

    kegiatan ini. Menurut Lukes E Durkheim menjelaskan Religi merupakan sesuatu yang

    tidak dapat dielakkan dalam kehidupan suatu masyarakat. Dalam masyarakat

    sederhana religi merupakan sumber utama kohesi sosial dalam masyarakat.(Drujetna

    Imam Muhni, 1994 : 128)

    Yang menjalankan seluruh rangkaian dari sistem kepercayaan itu adalah

    masyarakat. Masyarakat diambil dari bahasa Yunani yaitu socius yang berarti teman

    atau kawan. Arti tersebut menekankan pertemanan dan persahabatan yang kuat. Pada

    abad ke-19 pengertian mengenai masyarakat dikembangkan menjadi lebih cenderung

    ke sekelompok atau perkumpulan manusia dan komunitas yang menjadi wadah

    pengalaman manusia, keluarga, desa, Jemaah gereja, kota dan kelas serta perkumpulan

    suka rela. (Ken Plummer, 2011 : 24)

  • Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung halaman

    kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated (paling berpengalaman atau

    pintar) diantara penduduk Indonesia yang amat beraneka. Secara etnis, Jawa

    merupakan mayoritas Indonesia, namun diantara mereka sendiri secara religius ada

    keanekaragaman, karena sekitar lima sampai sepuluh prosen menganut Islam dalam

    versi yang sudah amat sinkretis dan dijawakan, sementara sebagian besar lainnya

    menganggap dirinya Muslim Nominal, yaitu mengakui diri Islam namun tindakan dan

    pikiran mereka lebih dekat kepada tradisi Jawa Hindu. (Niels Mulder, 1980 : 1)

    Menurut James L Peakock bagi orang Jawa dewasa ini, sebenarnya mistik dan

    praktek – praktek magis – mistis senantiasa merupakan arus bawah yang amat kuat,

    Kalau bukan malah esensi dari kebudayaan mereka. Islam yang datang ke Jawa adalah

    Islam Sufi yang mudah diterima serta diserap kedalam sinkritisme Jawa. (Niels

    Mulder, 1980 1-2). Kepercayaan masyarakat Jawa tentang Roh sudah ada sejak jaman

    dulu. Kepercayaan itu masih ada hingga saat ini sebagai bentuk penghormatan kepada

    orang yang sudah meninggal. Masyarakat percaya bahwa roh orang yang telah mati

    masih berada di sekitar mereka, Roh bisa melihat orang-orang yang masih hidup tetapi

    ini tidak berlaku sebaliknya. Kepercayaan tentang Roh adalah animisme dan

    dinamisme. Animisme adalah kepercayaan adanya jiwa atau roh yang menghuni suatu

    tempat.

    Sri Winarsih dalam tulisannya menyebut Animisme merupakan religi yang

    tertua dikenal manusia yang mewarnai keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta

    merupakan wujud nyata dalam pemujaan roh nenek moyang.(Clifford Geertz, 1981 :

  • 13). Menurut (Suwardi Endraswara, 2005 : 80) roh dapat digolongkan menjadi 3 yaitu

    :

    1. Roh leluhur merupakan roh manusia yang sudah meninggal. Roh bersifat baik dan

    akan menjaga anak cucunya.

    2. Danyang merupakan roh yang menempati suatu desa, sumber mata air, bukit dan

    sebagainya. Roh ini bersifat baik dan suka menolong manusia.

    3. Lelembut merupakan roh yang paling rendah, mendiami tempat sepi, hutan, pohon dan

    batu. Seperti : jin, banaspati, genderuwo, peri dan sebagainya. Memiliki sifat jahat

    dan suka mengganggu manusia.

    Kehidupan Jawa bersifat ritualistis, perubahan- perubahan dan kejadian-

    kejadian baru harus dimasukkan secara formal ke dalam struktur keadaan yang sudah

    ada. Mereka harus diakui secara ritual dulu baru kemudian dapat diterima. (Mulder,

    1980 : 53). Sebagai bentuk hubungan yang baik karena manusia tidak bisa melihat roh

    orang yang telah mati maka bentuk hubungan dan komunikasinya adalah diwujudkan

    dalam bentuk ritual dan doa sesuai dengan kepercayaan.

    B. Prinsip Hidup

    Sifat manusia Jawa yang low profil memiliki arti tidak boleh menonjol, dan

    tidak untuk bersaing satu sama lain, yang ada mereka harus bergotong royong, saling

    berbagi, dan patuh dan menjalin hubungan baik terhadap sesama manusia, terhadap

    alam semesta, dan yang paling utama yaitu menjalin hubungan baik terhadap

    Tuhannya. Sesuai dengan falsafah orang Jawa yaitu Hamemayu Hayuning Bawana

    dalam bahasa Indonesia artinya memelihara dan mempercantik dunia. Diterjemahkan

    dengan mempercantik yang dimaksudkan sebagi usaha positif dari individu Jawa.

  • Teguh Pranoto dalam bukunya yang berjudul “Spiritualitas Kejawen” menjelaskan

    usaha mempercantik dunia yang sudah cantik ini terdapat tiga hubungan yang harus

    dilakukan setiap masing-masing manusia yaitu :

    1. Gegayutaning Manungsa karo Manungsa dalam bahasa Indonesia yakni Hubungan

    antar manusia dengan manusia. Dalam hal ini terdapat hubungan yang harmonis dalam

    masyarakat yang majemuk, Tepa Slira atau tenggang rasa yang tinggi, menghormati

    perbedaan dan mencari kesamaannya, menggalang persatuan dan kesatuan, tidak

    memaksakan kehendak sendiri pada orang lain, Bisa Rumangsa (bisa menyadari,

    mawas diri, rendah diri) dan bukan Rumangsa Bisa (menyadari bisa melakukan) dan

    lain-lain.

    2. Gegayutaning Manungsa karo Alam dalam bahasa Indonesia artinya hubungan antara

    manusia dengan alam semesta. Dengan menyadari bahwa alam telah banyak

    memberikan kesejahterahan pada manusia dan melalui alam maka manusia dapat

    belajar banyak darinya maka sudah seharusnya manusia berterima kasih dan

    mensyukuri kepada alam yang demikian bersahabat dan bukan sebaliknya yaitu

    kebaikan hati alam dibalas dengan merusak alam mentang-mentang alam tidak bisa

    berbicara dan melawan kesewenang-wenangan atas ulah manusia.

    3. Gegayutaning Manungsa Karo Gusti Kang Murbeng Dumadi Ingkang Akarya Jagad

    arti dalam bahasa Indonesia yaitu hubungan manusia dengan Tuhan yang Maha Esa,

    Sang Pencipta Alam. Dengan menyadari siapa diri kita ini dihadapan Tuhan Yang

    Maha Kuasa, sudah semestinya kita harus senantiasa mengikuti aturan-aturan Tuhan.

    Kejadian-kejadian yang tidak enak yang menimpa diri bangsa ini menurut pendapat

    penulis merupakan ungkapan dari perbuatan manusia yang telah banyak mengingkari

  • aturan Tuhan , bukan karena kemarahan Tuhan atau bukan pula hukuman Tuhan tetapi

    disebabkan karena ulah manusia itu sendiri yang telah begitu banyak mengingkari

    aturan Tuhan, sudah tidak lagi Aja Dumeh (jangan sok), manusia tidak lagi Eling

    (Ingat) dan sudah tidak lagi waspada tapi sudah “semau gue”. (Teguh Pranoto, 2007 :

    68-70)

    Pemikiran orang jawa yang didasari dengan paham Kejawen berfikir bahwa alam

    semesta ini memberikan begitu banyak sumbangan untuk manusia yang begitu

    banyak, sampai alam seakan ikut saja ketika manusia itu berbuat apapun terhadap

    alam.

    C. Kasedan Jati (Kematian yang Sebenar-benarnya)

    Sifat hidup itu adalah suatu saat akan mati dan kembali kepada penciptanya.

    Manusia Jawa akan mengalami Kasedan Jati atau mati yang sebenarnya-benarnya.

    Dalam hal ini adalah pemahaman tentang Sangkan Paraning Dumadi yaitu darimana

    kita berasal dan kepada siapa kita akan kembali. Tujuan mati yang sebenar-benarnya

    ini yakni menghadap Tuhan yang Maha Esa dengan terpuji dan kematian yang sejati.

    Orang akan mati ketika sudah melanggar Tata Paugeraning Urip atau aturan yang

    menciptakan kehidupan. Kasedan Jati terdapat falsafah yakni Urip Sepisan Mati

    Sepisan dalam bahasa Indonesia artinya hidup sekali dan mati sekali atau Kematian

    yakni bila semua anasir yang ada didalam tubuh kita yang terdiri dari anasir tanah, air,

    api, tanah dan roh pada waktu mati nanti dapat langsung kembali ke asalnya masing-

    masing. Jangan sampai terjadi “kekacauan” misalnya dari angin kembali ke api dan

    yang dari tanah kembali ke air dan seterusnya dan lain-lain. (Teguh Pranoto, 2007 :

    114-115).

  • Kasedan Jati atau kematian dianggap hal yang membutuhkan ritual yang

    benar-benar sesuai dengan pemahaman Kejawen , yaitu dari hari kematian (Geblag)

    hingga mengebumikan (metak). Karena pemahaman dari falsafah hidup orang Jawa

    Mati adalah menghadap Tuhan Yang Maha Esa, maka orang mati benar-benar harus

    diperlakukan dengan cara yang penuh hikmah dan kerabat yang mengurus

    memperlakukan orang yang telah mati dengan sesempurna mungkin. Sebagai orang

    yang berkeyakinan, pasti terdapat cara dan doa sebagai bagian penyempurnaan dari

    sebuah ritual. Pada serat Wirid yang mengajarkan kebatinan Islam yang umum juga

    membahas banyak tentang istilah “Kematian” yang menguraikan tanda-tanda

    kedatangan maut setahun sebelum saat kematian. Dengan demikian manusia sempurna

    sudah bisa tahu dengan pasti, bilamana ia akan meninggalkan dunia yang fana ini dan

    masuk ke dalam alam kekal. (Harun Hadiwidjono, 1975 : 50)

    Ajaran serat Wirid ini memberi instruksi tentang apa yang harus dilakukan

    manusia sempurna agar supaya ia tidak tersesat di bagian terakhir dari pangkat

    hidupnya, misalnya yang terdapat dalam halaman ke empat puluh lima serat wirid

    diuraikan demikian :

    “Keenam, jika sudah nampak warnanya sendiri, tanda bahwa kurang setengah

    bulan, disitulah tempat orang harus memuja, menanyakan kehendak Tuhan , dengan

    cara, tiap kali hendak tidur, memuja seperti tersebut di bawah ini : Ada pujaan satu

    Zatnya adalah Zatku, sifatnya adalah sifatku, namamnya adalah namaku, af’alnya

    adalah af’alku, kupuja dalam peretemuan tunggal karena “ada”ku sempurna dengan

    kuasaku, disitu pikiran nenek, anak-isteri, cucu dan sebagainya. Apa yang dipusatkan

    dalam pikiran itu adalah bahwa mereka dipersatukan (dengan dia) dia alam yang

    kekal. (Raden Ngabehi Ronggowarsito, 1935 : 45)

    Sepintas lalu uraian ini memberi kesan seolah - olah mengajarkan ajaran yang

    ortodoks, karena disebutkan tentang pemujaan serta menyanyakan kehendak Tuhan,

    tetapi pentrapannya menunjukan bahwa tak ada gagasan sedikitpun yang ortodoks.

  • Pemujaan terdiri dari mengucapkan lafal sebagai mantera yang menghasilkan kesatuan

    dengan Allah serta mempersatukan nenek moyang dan keturunannya di zaman akhirat

    (Harun Hadiwidjono, 1975 : 50-51)

    Berarti disini telah ada bentuk sinktitisme antara kepercayaan asli dengan

    penyebutan Allah yang dasarnya bukan penyebutan Tuhan dalam Kepercayaan

    Kejawen. Melihat proses islamisasi di Jawa agama Islam mulai masuk di pulau Jawa,

    diduga jauh sebelum abad XIII masehi. Pusat-pusat tertua penyebaran agama Islam

    adalah didaerah Gresik dan Surabaya. Kesimpulan ini didasarkan pada kenyataan yang

    menuturkan bahwa di Gresik terdapat banyak sekali makam Islam yang tua sekali.

    Melalui pintu gerbang daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa, seperti Gresik, Tuban,

    Jepara, dahulu merupakan pelabuhan-pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh saudagar

    -saudagar asing itulah agama Islam masuk ke daerah pesisir Jawa utara yang

    kemudian dengan berpusat di Demak, penyebarannya ke daerah-daerah lain bahkan di

    pulau lain, semakin pesat. (Ridin Sofan dkk 2000 : 229 – 230)

    Adapun yang berjasa menyebarkan Agama Islam ke Jawa adalah Sembilan

    pendakwah yang tergabung dalam satu dewan yang disebut Walisongo. Kata

    Walisongo merupakan sebuah perkataan majemuk yang berasal dari kata Wali dan

    Songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab, suatu bentuk singkatan dari Waliyullah

    yang berarti orang yang dicintai Allah. Sedangkan Songo berasal dari bahasa Jawa

    yang berarti Sembilan. Jadi, dengan demikian Walisongo berarti Wali Sembilan, yakni

    orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka dipandang sebagai ketua kelompok

    dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas mengadakan dakwah Islam di

  • daerah-daerah yang belum memeluk agama Islam di Jawa. (Ridin Sofan dkk, 2000 : 1

    - 7). Yang termasuk kelompok Walisongo (Walisanga) adalah sebagai berikut :

    1. Syekh Maulana Malik Ibrahim

    2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

    3. Sunan Giri (Raden Paku)

    4. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

    5. Sunan Bonang ( Makdum Ibrahim)

    6. Sunan Drajat

    7. Sunan Kalijaga

    8. Sunan Kudus

    9. Sunan Muria (Raden Prawata)

    Agama islam bergabung dengan kepercayaan asli Jawa maka menghasilkan

    Islam Kejawen . Kedua budaya tersebut saling berjalan beriringan dengan budaya

    Islam tetapi masih melakukan tradisi Kejawen biasanya dengan upacara selamatan.

    Perihal kematian juga dijelaskan dalam “Kitab Primbon” yang menjelaskan tentang

    kematian itu memuat empat perkara yaitu: Lunga (Pergi), Teka (Datang), Mulih

    (Pulang), Ilang (Hilang). Yang pulang dan hilang yakni ruhnya, dan yang dimaksud

    datang dan pergi yaitu jati dirinya. Kematian yang sebenarnya yaitu yang ber-pulang

    itu adalah jasadnya, dan yang hilang itu sifatnya. Wejangan orang yang meninggal

    dalam kepercayaan Kejawen yang tertulis dalam Primbon. Primbon berasal dari kata

    rimbu atau imbon yang berarti simpan atau simpanan, maka primbon berisi bermacam-

    macam catatan oleh suatu generasi ysng diturunkan ke generasi berikutnya. Dalam

    primbon perihal kematian dapat diibaratkan seperti di bawah ini :

  • Ana dene jenenge pati iku kaya srengenge, lawang pati iku kaya tanggal sapisan,

    wetuning pati iku kaya sagara banjir, lanjuting pati iku kaya lintang ngalih, bangeting

    pati iku kaya angina,lungguhing pati iku kaya gunung, kubure pati iku kaya geni,

    paugerane pati iku kaya tunggal, belabare pati iku kaya rambut tinemune pati iku iya

    suka lila,enggone pati iku eguh, pasrahe pati iku wedi eling.( Raden Ngabehi

    Ronggowarsito 61-62).

    Serat Wirid dan wejangan yang berasal dari Kitab Primbon ini adalah hasil dari

    pujangga-pujangga Jawa yang memiliki kelebihan dalam melihat sesuatu hal yang

    akan terjadi di dunia ini. Namun, semua kembali kepada siapa yang menciptakan

    kehidupan yaitu Tuhan yang Maha Esa. Manusia memang diberi kelebihan untuk bisa

    meraskan kejadian termasuk pertanda jika kematian akan datang tetapi semua berada

    pada kehendak-nya. Manusia yaitu hanya menerima apa yang telah Tuhan tuliskan

    atau dengan kata lain manusia hanya bisa menerima takdir. Tetapi manusia diberi

    kelebihan oleh Tuhan yakni bisa berfikir dan melakukan. Seperti apa tanda-tanda

    kematian itu yang bisa merasakan hanya orang yang akan mengalaminya.

    D. Petungan atau Perhitungan

    Dalam adat kematian orang Jawa mempunyai tata cara sendiri yang Njlimet

    atau rumit, berciri khas perhitungan numerologi atau Petungan yaitu menurut

    penanggalan Jawa. Petungan adalah sistem yang cukup berbelit-belit yang terletak

    pada konsep metafisis orang Jawa yang fundamental : cocog berarti sesuai,

    sebagaimana kesesuaian kunci dengan gembok, obat mujarab dengan penyakit, suatu

    pemecahan untuk soal matematik, serta penyesuaian seorang pria dan wanita yang

    akan dinikahinya. Petungan merupakan cara untuk menghindarkan semacam

    disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya akan membawa ketidakuntungan.

    Di pihak lain, waktu adalah getaran, suatu periode waktu tertentu merupakan hasil dari

  • koinsidensi hari dalam siklus lima dan tujuh hari, dan dalam sistem Petungan yang

    lebih cermat merupakan bagian dari Wuku minggu yang tiga puluh tujuh hari, bagian

    dari salah satu bulan dalam dua belas bulan Islam menurut perhitungan rembulan dan

    akhirnya bagian dari salah satu tahun dari perhitungan windu. (Geertz, 1981 : 39).

    Petungan sudah ada sejak dahulu, yang merupakan rangkaian hasil dari leluhur

    berdasarkan pengalaman dan perjalanan hidup tentang baik buruk kehidupan yang

    dicatat dan dihimpun dalam Primbon.

    E. Dina Geblag atau Hari Kematian

    Pada Masyarakat Jawa ketika seseorang meninggal terjadi maka hari dimana dia

    meninggal itulah yang di anggap sebagai hari yang sial atau na’as bagi keluarga yang

    ditinggalkan. Dalam istilah Jawa hari na’as ini disebut Dina Geblag, hari kematian

    seseorang. Dina Geblag adalah hari meninggalnya seseorang berdasarkan perhitungan

    kalender Jawa yaitu Pasaran. Pasaran ada lima yaitu : Legi , Pahing, Pon, Wage,

    Kliwon. Penyebutan Dina Geblag dikombinasikan dengan hari yaitu: Ahad atau

    Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu.

    Perhitungannya tidak sama dengan kalender masehi, Dina Geblag dihitung juga

    berdasarkan jam meninggalnya seseorang. Jika meninggal diantara pukul 00.00

    sampai pukul 12.00 masih terhitung tepat pada hari itu juga, namun jika meninggalnya

    diatas pukul 12.00 itu sudah masuk ke hari berikutnya dalam kalender Jawa.

    Masyarakat Jawa tidak hanya menyebut Dina Geblag dalam kalender Jawa saja tetapi

    juga menyebut hari masehinya. Misalnya seorang nenek meninggal pada hari sabtu,

    dan hari Pasarannya pahing dan meninggal pukul 10.00 maka Dina Geblag-nya yaitu

    Sabtu Pahing, tetapi jika meninggalnya pukul 18.00 maka Dina Geblag jatuh pada hari

  • Minggu Wage. Dibawah ini contoh perhitungan jatuhnya Dina Geblag : Bapak Juwari

    meninggal pada Hari Nasional hari Rabu, 21 September 2006 meninggal Pukul 16.30

    Wib maka Dina Geblag almarhum hari Kamis Pahing. Maka Dina Geblag atau hari

    na’as nya adalah hari Kamis Pahing. Hari itulah yang dianggap sebagai hari na’as atau

    hari sial oleh Keluarga Bapak Juwari. Juga merupakan hari pantangan bagi keluarga

    Almarhum. Masyarakat Dusun Toyogiri yang sebagian masyarakatnya mempercayai

    kepercayaan tradisional yakni Islam Kejawen percaya bahwa hari na’as itu akan

    membawa malapetaka bagi anak cucu dari orang yang meninggal jika melakukan

    aktifitas sehari-hari, termasuk bekerja juga berpergian jauh.

    F. Simbol atau Lambang

    Simbol atau Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan perantara

    pemahaman terhadap objek. Simbol atau lambang juga bisa diartikan sebagai sesuatu

    hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subjek pada objek. (Budiono

    Herusatoto, 2008 : 18) Dalam Dina Geblag ini, masyarakat juga menggunakan makna

    simbolis sebagai perantaranya. Sebelum ada kegiatan ke ziarah makam kerabat

    menyiapkan berbagai sesaji yang merupakan simbol dari kereligiusannya. Sistem

    upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-

    dewa atau mahkluk halus yang mendiami alam gaib. Sistem upacara religius ini

    melaksanakan dan melambangkan, menyimbolkan, konsep-konsep yang terkandung

    dalam sistem kepercayaan. Sistem upacara merupakan wujud kelakuan atau

    Behavioral Manifestation dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka

    macam upacara yang bersifat harian seperti Dina Geblag, atau musiman atau kadang-

    kala.

  • Masing-masing upacara terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur

    upacara, seperti misalnya berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari

    dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa dan bertapa. Acara- acara dan

    tata urut dari pada unsur-unsur tersebut adalah sudah tentu buatan manusia dahulu

    kala., dan merupakan ciptaan akal manusia. Apalagi peralatan dan upacara seperti

    misalnya gedung pemujaan (masjid, gereja, pagoda, puri dan sebagainya), patung-

    patung orang suci, patung dewa, alat bunyi-bunyian untuk membuat musik suci (orgel,

    gendering, gong, seruling suci, dan sebagainya). Semuanya adalah hasil akal manusia,

    dan oleh karena itu merupakan bagian dari kebudayaan. Walaupun demikian upacara

    agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi dan dijiwai emosi keagamaan. Disinilah

    masuk komponen pertama ialah cahaya Tuhan yang membuat upacara itu menjadi

    suatu aktivitas yang keramat. (Kontjaraningrat, 1983 : 98)

    Masyarakat Jawa menggunakan pola seperti ini untuk mewujudkan

    kesempurnaan dari rangkaian kegiatan religiusanya dalam hal ini yakni penyajian

    sesaji secara simbolik dalam rangkaian doa pada Dina Geblag. Pada hari yang

    bertepatan pada Dina Geblag ini masyarakat setempat biasa menyajikan :

    1. Wedhang atau Unjukan maksudnya adalah tamba kanggo segeran artinya obat untuk

    penyegar. (Teguh Pranoto, 2007 : 140)

    2. Endhog pitik, maksudnya wong urip ojo nganti kecele artinya orang hidup jangan

    sampai tertipu. (Teguh Pranoto, 2007 : 141)

    3. Wajik, maksudnya wani tumindak becik artinya berbuat kebaikan. (Teguh Pranoto,

    2007 : 140)

  • 4. Gedhang Raja, maksudnya dadi mukti lan mulya, artinya menjadi bahagia dan mulia.

    (Teguh Pranoto, 2007 : 142)

    5. Rokok, maksudnya bisa mekrok tanpa kedok artinya berkembang tanpa penutup.

    (Teguh Pranoto, 2007 : 145)

    6. Jajan pasar, maksudya urip yen adedasar tatanane Gusti temtu ora bakal nyasar

    artinya Hidup bila mengikuti aturan Tuhan tentu tidak akan salah jalan. (Teguh

    Pranoto, 2007 : 145)

    G. Ziarah Kubur

    Secara umum ziarah kubur berarti kunjungan ke kubur untuk memintakan ampun

    bagi si mayat. Sedang hukumnya sunah bagi laki-laki, sedangkan untuk wanita jika

    dikhawatirkan mentalnya tidak kuat, memecah tangis, lemah hati, sudah susah dam

    berkeluh kesah maka hukumnya makruh. Jika sampai berlebih-lebihan, hingga

    meratap maka haram hukumnya. Ziarah kubur bisa dilakukan satu minggu sekali atau

    bisa dilakukan disaat memperingati upacara kematian. (Muhammad Sholikhin, 2010 :

    127).

    Bunga yang dipakai untuk beziarah ke makam saat Dino Geblag antara lain

    sebagai berikut :

    1. Sekar setaman, maksudnya urip neng ndonya kaya dagelan kebak tontonan artinya

    hidup didunia seperti halnya banyak sandiwara yang juga banyak yang menyaksikan.

    (Teguh Pranoto, 2007 : 144)

    2. Sekar telon, maksudnya wong urip aja ninggal telung perkoro yaiku naluri, agami,

    nagari. Artinya hidup jangan meninggalkan tiga hal yaitu naluri, agama dan Negara.

    (Teguh Pranoto, 2007 : 144)

  • 3. Sekar kantil, maksudnya tansah kumantil artinya selalu mengikuti. (Teguh Pranoto,

    2007 : 144)

    4. Sekar kenanga, maksudnya kenane dalan swarga, ora mung luru bandha donya.

    Artinya mendapatkan jalan surga, tidak hanya mencari harta di dunia. (Teguh Pranoto,

    2007 : 144)

    5. Sekar mawar, maksudnya manungsa urip bisa sumebar. Artinya manusia hidup

    hendaknya dapat berkembang. (Teguh Pranoto, 2007 : 144)

    6. Sekar melathi, maksudnya luru dalane mukti artinya mencari jalannya kebahagiaan.

    (Teguh Pranoto, 2007 : 144)

    7. Menyan madu dupa wangi, maksudnya nyuwun bagas waras slamet rahayu, rejeki

    tansah lumintu mbayu mili artinya memohon kekuatan, kesehatan, selamat sejahtera

    rejeki yang seperti air mengalir tanpa henti. (Teguh Pranoto, 2007 : 140)

    H. Tahlilan

    Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata halla (yuhallili,

    tahlilan) , yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Tahilan dalam istilah

    Islam-Jawa, dalam bahsa Indonesia yaitu “Bertahlil”. Adalah menggunakan atau

    memakai bacaan tahlil tersebut untuk maksud tertentu. Jika dianalogkan ke dalam

    istilah ke-Indonesiaan tahlil dan tahlillan semisal dengan ungkapan Klambi (baju)

    sebagai alat pakaian, maka klamben adalah memakai baju sebagai alat penutup aurat

    atau menutup bagian tubuh tertentu. (Muhammad Sholikhin, 2010 : 151)

    I. Penelitian yang Relevan

    Hasil penelitian Sri Winarsih yang berjudul Bentuk Sinkritisme Jawa Islam

    Dalam Rangkaian Upacara Kematian Nyewu Dina Di Desa Lembu, Kecamatan

  • Bancak, Kabupaten Semarang mengemukakan bahwa dalam masyarakat Jawa masih

    kental adat istiadat atau yang dihormati dan diyakini sebagai suatu keharusan yang

    harus dilaksanakan sampai sekarang adalah adat yang berhubungan dengan kematian.

    Salah satu upacara kematian adalah upacara memperingati seribu hari atau Nyewu

    Dina dari kematian seseorang yang dilaksanakan untuk terakhir kalinya dalam

    rangkaian upacara Kematian.

    Upacara Nyewu Dino dilakukan untuk mengirim do’a kepada ahli waris yang

    sudah meninggal dan untuk mengetahui bentuk sinkritisme Jawa Islam pada upacara

    tersebut. Terdapat bentuk sinkritisme Jawa Islam dalam Upacara Nyewu Dina berupa ;

    doa atau donga dalam bentuk bahasa Jawa dan Islam serta adanya bentuk pemujaan

    kepada roh yang telah meninggal dunia dengan ditandai persembahan sesaji kepada

    roh orang yang meninggal. Pemujaan ini tampak diyakini oleh masyarakat yang

    ketentraman dan kedamaian hidup di dunia serta bebas darigangguan atau ancaman

    yang bersumber pada keharmonisan hubungan antara yang memuja dan yang dipuja.

    Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bentuk-bentuk sinkritisme Jawa Islam

    yaitu terdapat sesaji, doa Islam yang diterjemahkan dalam doa Jawa.

    Yang membedakan penelitian yang berjudul Bentuk Sinkritisme Jawa Islam Dalam

    Rangkaian Upacara Kematian Nyewu Dina Di Desa Lembu, Kecamatan Bancak,

    Kabupaten Semarang dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu penelitian diatas

    membahas dan menguraikan kegiatan-kegiatan adat kematian yang dilakukan masyarakat

    setelah jenazah dikuburkan yaitu 1000 hari atau Nyewu Dino, sedangkan penelitian Makna

    Dina Geblag dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang

  • Kabupaten Semarang adalah penelitian ini menguraikan tentang tradisi Dina Geblag yaitu

    hari kematian seseorang pada masyarakat Jawa