bab ii landasan teori a. citra tubuh 1. definisi citra...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Citra Tubuh
1. Definisi citra tubuh
Ada beberapa defenisi yang dikemukakan para ahli mengenai citra tubuh.
Cash (1994) menyatakan bahwa citra tubuh merupakan evaluasi dan pengalaman
afektif seseorang terhadap karakteristik dirinya, bisa dikatakan bahwa investasi
dalam penampilan merupakan bagian utama dari evaluasi diri seseorang. Cash dan
Pruzinsky (1990) menyatakan bahwa citra tubuh merupakan gabungan dari
gambaran, fantasi, dan pemaknaan individu tentang bagian dan fungsi tubuh yang
dimiliki yang merupakan bagian dari komponen gambaran diri dan dasar
representasi diri.
Schilder mendefinisikan citra tubuh sebagai gambaran tentang tubuh individu
yang terbentuk dalaam pikiran kita, atau dengan kata lain gambaran tubuh
individu menurut individu itu sendiri (Glesson & Frith, 2006). Rudd dan Lennon
(2000) menyatakan bahwa citra tubuh adalah gambaran mental yang kita miliki
tentang tubuh kita. Gambaran mental ini meliputi dua komponen, yaitu komponen
perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik, gerakan, dan performansi tubuh)
dan komponen sikap (apa yang kita rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana
perasaan ini mengarahkan pada tingkah laku). Grogan (1999) menyatakan bahwa
citra tubuh merupakan persepsi, pikiran, dan perasaan seseorang terhadap
tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh merupakan
gabungan dari gambaran mental, fantasi, sikap, pikiran, perasaan, pemaknaan, dan
persepsi serta ealuasi seseorang mengenai tubuhnya yang meliputi bentuk, ukuran,
berat, karakteristik, dan performansi tubuh. Individu dapat memiliki penilaian
positif maupun negatif terhadap citra tubuh diri.
2. Perkembangan model citra tubuh
Pemikiran bahwa tubuh yang kurus sebagai tubuh ideal banyak dipengaruhi
oleh nilai dari kebudayaan Amerika. Nilai kebudayaan Amerika mengajarkan
individualitas, kerja keras, kontrol diri, dan kesuksesan. Individu mendapat pesan
bahwa dengan melakukan diet dan olahraga yang cukup, segala sesuatu bisa
diatasi. Perempuan terkhususnya mendapat pesan bahwa dengan tubuh yang
sempurna, pekerjaan dan kehidupan pribadinya akan sukses (Barnard, 1992).
Standard kecantikan tubuh terus menerus berubah. Setiap zaman memiliki
model citra tubuh tersendiri. Seiring dengan berubahnya gambaran tentang
kecantikan, tubuh wanita juga diharapkan berubah sesuai dengan gambaran tubuh
yang ideal pada zaman tersebut. Cohen (2001) memberikan gambaran tentang
perubahan model citra tubuh yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan politik
di Amerika, yaitu;
a. Pada abad ke-18, tubuh ideal wanita yaitu tubuh yang berotot, besar, kuat, dan
sangat subur.
b. Pada abad ke-19, tubuh ideal wanita, yaitu tubuh yang lemah, lesu, dan pucat.
Universitas Sumatera Utara
c. Pada abad ke-20, tubuh ideal wanita mengalami perubahan beberapa kali,
yaitu mulai dari langsing, kuat dan berotot, keibuan, subur, serta sangat kurus
dengan payudara yang besar.
d. Pada abad ke-21, gambaran tubuh ideal wanita adalah tubuh yang kurus,
seperti seorang model. Tubuh yang kurus menjadi standard ideal. Tidak
jarang wanita melakukan sedot lemak untuk membuat bagian pinggul dan
bokong terlihat lebih kurus.
Hernita (2006) mengemukakan bahwa perkembangan standard ideal tubuh
yang terus menerus dipaparkan oleh media berdampak bagi para wanita di
berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tubuh ideal yang ditunjukkan oleh
media di Indonesia saaat ini, yaitu tubuh yang langsing dan berkulit putih bersih.
3. Komponen citra tubuh
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen citra tubuh.
Salah satunya adalah Cash (2000) yang mengemukakan adanya lima komponen
citra tubuh, yaitu :
a. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian individu
mengenai keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya, apakah menarik atau
tidak menarik, memuaskan atau tidak memuaskan.
b. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), perhatian individu terhadap
penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan
meningkatkan penampilan dirinya.
c. Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu kepuasan
individu terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti wajah, rambut,
Universitas Sumatera Utara
payudara, tubuh bagian bawah (pinggul, pantat, kaki), tubuh bagian tengah
(pinggang, perut), dan keseluruhan tubuh.
d. Overweight Preocupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), yaitu kecemasan
menjadi gemuk, kewaspadaan individu terhadap berat badan, melakukan diet
ketat, dan membatasi pola makan.
e. Self-Clasified Weight (Persepsi terhadap Ukuran Tubuh), yaitu persepsi dan
penilaian individu terhadap berat badannya, mulai dari kekurangan berat
badan sampai kelebihan berat badan.
Berdasarkan pendapat Cash yang dikemukakan di atas mengenai komponen
citra tubuh, maka dapat disimpulkan bahwa komponen citra tubuh meliputi
evaluasi dan orientasi individu terhadap penampilan tubuh, kepuasan pada bagian
tubuh tertentu, serta persepsi dan penilaian terhadap berat badan
4. Pengaruh citra tubuh terhadap perkembangan kepribadian
Citra tubuh, yaitu perasaan individu yang bersifat subjektif terhadap tubuh
diteorikan sebagai komponen utama kepribadian (Freud dalam Rierdan & Koff,
1997). Citra tubuh dianggap sebagai dasar dari perkembangan kepribadian. Hal ini
menyebabkan variasi dalam citra tubuh dihubungkan dengan perbedaan individu
dalam hal kepribadian dan pengalaman hidup. Peto (dalam Rierdan & Koff,
1997), sebagai contoh, mengemukakan teori bahwa perbedaan citra tubuh
dihubungkan dengan perbedaan tingkat harga diri dan tingkat depresi individu.
Individu yang memiliki citra tubuh positif cenderung memiliki harga diri yang
lebih tinggi serta kecenderungan depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan
individu yang memiliki citra tubuh negatif.
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan itu, Keliat (1992) menyatakan bahwa citra tubuh berhubungan
dengan kepribadian. Cara individu memandang dirinya mempunyai dampak yang
penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistis terhadap diri serta
kemampuan menerima keadaan tubuh akan membuat individu terhindar dari rasa
cemas dan meningkatkan harga diri individu. Pernyataan ini dikuatkan dengan
penelitian oleh Casper & Offer (1990) bahwa pada wanita, keinginan untuk
mengubah tubuh dan penampilan diasosiasikan dengan menurunnya tingkat harga
diri. Hal ini bisa mendorong munculnya gangguan makan. Dalam beberapa kasus,
gangguan ini bisa berkembang menjadi patologis, seperti anorexia atau bulimia
(Casper & Offer, 1990). Persepsi negatif terhadap tubuh membuat wanita tidak
bisa menghargai diri mereka sendiri. Wanita yang fokus hanya fokus pada
tubuhnya tidak akan mampu menggunakan energinya untuk aspek lain dalam
hidupnya. Usaha yang terus menerus untuk mencapai tubuh yang ideal bisa
menimbulkan obsesi terhadap makanan. Selain itu, timbul masalah psikologis
lainnya, seperti mudah marah, merasa gagal dan inferior, masalah ingatan,
kecemasan, dan gangguan penyesuaian (Barnard, 1992).
Berscheid (Papalia & Olds, 2004) menyatakan bahwa wanita yang memiliki
persepsi positif terhadap citra tubuh lebih mampu menghargai dirinya. Individu
tersebut cenderung menilai dirinya sebagai orang degan kepribadian cerdas,
asertif, dan menyenangkan. Dacey dan Kenny (1994) mengemukakan bahwa
persepsi negatif remaja terhadap citra tubuh akan menghambat perkembangan
kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun hubungan yang positif
dengan remaja lain.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh individu
memiliki pengaruh terhadap kepribadian. Individu yang memiliki citra tubuh
positif cenderung memiliki kepribadian sehat yang diasosiasikan dengan
peningkatan kualitas hidup, seperti peningkatan harga diri, kepercayaan diri, dan
kesehatan mental. Sebaliknya, individu yange memiliki citra tubuh negatif
cenderung mengembangkan kepribadianya yang tidak sehat, seperti penurunan
harga diri, kemampuan interpersonal yang buruk, bahkan dalam banyak kasus
berkembang menjadi patologis, seperti anorexia dan bulimia.
B. Penyesuaian Diri
1. Definisi penyesuaian diri
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjusment atau
personal adjustment. Haber & Runyon (1984) memberikan pengertian
penyesuaian diri sebagai tingkah laku yang ditunjukkan seseorang yang
disesuaikan dengan tuntutan situasi yang dialami. Schneiders (1984)
mengemukakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup
respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar
berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami
dalam dirinya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, adalah orang
yang dengan keterbatasan yang ada pada dirinya, belajar untuk bereaksi terhadap
dirinya, dengan cara yang matang, bermanfaat, efisien, dan memuaskan, serta
dapat menyelesaikan konflik, frustrasi, maupun kesulitan-kesulitan pribadi dan
sosial tanpa mengalami gangguan tingkah laku.
Universitas Sumatera Utara
Corsini (2002) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan modifikasi
dari sikap dan perilaku dalam menghadapi tuntutan lingkungan secara efektif.
Grasha dan Kirschenbaum (1980) mengemukakan bahwa penyesuaian diri adalah
tingkah laku yang ditunjukkan oleh seseorang yang disesuaikan dengan tuntutan
situasi yang dialami.
Gerungan (1988) mendefenisikan penyesuaian diri secara aktif dan pasif.
Secara aktif, yaitu ketika individu mempengaruhi lingkungan sesuai dengan
keinginannya. Sedangkan secara pasif, yaitu ketika kegiatan individu dipengaruhi
lingkungannya. Tidjan (dalam Kristiyanti, dkk, 1990) mengemukakan bahwa
penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mengubah tingkah laku agar
terjadi hubungan yang lebih baik antara dirinya dengan lingkungan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah
suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku yang
merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, tuntutan,
ketegangan, konflik, dan frustrasi yang dialami dalam dirinya secara matang,
bermanfaat, efisien, efektif, dan memuaskan yang disesuaikan dengan tuntutan
situasi yang dialami individu. Individu dapat mempengaruhi lingkungan secara
aktif dan pasif.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
Menurut Schneiders (1984), ada lima faktor yang dapat mempengaruhi
penyesuaian diri, yaitu:
a. Faktor kondisi fisik, yang meliputi faktor kesehatan, keturunan, bentuk tubuh,
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan fisik. Individu yang memiliki tubuh
Universitas Sumatera Utara
yang sehat akan lebih baik dalam penyesuaian dirinya. Selain itu, masalah
fisik merupakan sesuatu yang bersifat genetis atau diturunkan. Kondisi fisik
yang baik akan mendorong penyesuaian diri yang lebih baik. Persepsi
seseorang terhadap bentuk tubuh dan nilai estetika tubuhnya juga
mempengaruhi penyesuaian diri individu.
b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi perkembangan
intelektual, sosial, moral, dan kematangan emosional.
c. Faktor psikologis, yaitu faktor-faktor pengalaman individu, frustrasi, dan
konflik yang dialami, dan kondisi-kondisi psikologis seseorang dalam
penyesuaian diri.
d. Faktor lingkungan, yaitu kondisi yang ada pada lingkungan, seperti kondisi
keluarga, ekonomi, kondisi rumah, dan sebagainya.
e. Faktor budaya, termasuk adat istiadat dan agama yang turut mempengaruhi
penyesuaian diri seseorang.
3. Karakteristik penyesuaian diri
Haber dan Runyon (1984) mengemukakan beberapa karakteristik individu
yang dapat menyesuaikan diri, yaitu:
a. Memiliki persepsi yang akurat terhadap realitas
Hampir semua orang setuju bahwa persepsi yang akurat terhadap realitas
merupakan prasyarat terhadap penyesuaian diri yang baik. Individu harus tetap
mengingat bahwa persepsi setiap individu dipengaruhi oleh adanya keinginan atau
motivasi yang berbeda-beda dari setiap persepsi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Individu yang memiliki penyesuaian diri akan membuat tujuan yang realistis
yang sesuai dengan kemampuan dan kenyataan yang ada. Hambatan dalam
lingkungan dan kesempatan membuat individu menemukan bahwa individu harus
mengubah tujuannya.
b. Mampu mengatasi atau menangani stress dan kecemasan
Individu tidak dapat selalu memenuhi suatu kebutuhan dengan segera, oleh
karena itu individu harus belajar untuk dapat bertoleransi terhadap pemenuhan
kebutuhan. Individu yang dapat mengatasi hal tersebut akan mampu melakukan
penyesuaian diri karena individu tersebut mampu mengatasi masalah dan konflik
yang ada dalam diri sendiri.
c. Memiliki citra diri (self image) yang positif
Penyesuaian diri ditunjukkan dengan citra diri yang positif. Citra diri yang
positif menyebabkan individu tidak kehilangan pandangan tentang kenyataan diri
sendiri. Individu harus mau mengakui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki.
Individu juga harus mendasarkan persepsi dirinya dengan pandangan tentang
seberapa dekat dirinya dengan orang lain dan bagaimana orang lain
memperlakukannya.
d. Mampu mengekspresikan perasaan
Orang yang sehat secara emosi dapat merasakan dan mengekspresikan emosi
serta perasaan. Emosi yang ditunjukkan adalah sesuatu yang sesuai dengan
tuntutan situasi dan secara umum berada di bawah kontrol individu.
Universitas Sumatera Utara
e. Memiliki hubungan antar pribadi yang baik
Setiap orang pasti menginginkan hubungan pribadi yang baik dengan orang
lain. Individu yang memiliki penyesuaian diri menyukai dan menghormati orang
lain serta memberikan kegembiraan dengan membuat orang lain nyaman dengan
keberadaannya.
C. Remaja
1. Definisi remaja
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence berasal dari bahasa
Latin adolescere yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut
Mappiare (Mubin & Cahyadi, 2006), masa remaja berlangsung antara usia 12
tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi
pria.
Jersild mengatakan bahwa masa remaja diartikan sebagai,
” a period during which growing person makes the transition from chidhood to adulthood. ”
Dari definisi Jersild ini dapat dilihat bahwa masa remaja merupakan periode
transisi dari anak-anak menuju dewasa (Mubin & Cahyadi, 2006). Piaget
(Hurlock, 1980) mengemukakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah
usia dimana individu berintegrasi dalam masyarakat dewasa. Hall (Dacey &
Kenny, 2004) menyatakan bahwa masa remaja merupakan suatu tahap
perkembangan yang dikarakteristikkan sebagai “storm and stress’, tahap dimana
remaja sangat dipengaruhi oleh mood dan remaja tidak dapat dipercaya. Remaja
Universitas Sumatera Utara
berada diantara masa kanak-kanak dan orang dewasa dengan kondisi yang masih
belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikisnya secara maksimal
sehingga mereka masih terus berusaha menemukan posisi yang tepat di
masyarakat. Menurut Calon (Monks dkk, 1988), masa remaja menunjukkan
dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status orang dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status anak-anak.
Menurut Monks (2001), remaja adalah individu dengan batasan usia 12 tahun
sampai 21 tahun yang dibagi dalam tiga fase, yaitu:
a. Fase remaja awal : usia 12 tahun sampai 15 tahun
b. Fase remaja pertengahan : usia 15 tahun sampai 18 tahun
c. Fase remaja akhir : usia 18 tahun sampai 21 tahun
Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja
adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang dimulai dari
usia 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun
bagi pria yang dibagi ke dalam tiga fase, yaitu remaja awal, pertengahan, dan
akhir dimana individu mengalami masa storm and stress serta belum mampu
menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikisnya secara maksimal.
2. Perkembangan fisik remaja
Perkembangan fisik remaja ditandai dengan adanya suatu periode yang
disebut pubertas. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam
memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones)
yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu:
a. Follicle-Stimulating Hormone (FSH)
Universitas Sumatera Utara
b. Luteinizing Hormone (LH)
Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang perkembangan dua
jenis hormon kewanitaan, yaitu estrogen dan progesteron. Pada anak laki-laki,
Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone
(ICSH) merangsang perkembangan testosteron.
Perkembangan secara cepat dari hormon-hormon tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan sistem biologis seorang anak. Pada anak perempuan,
peristiwa pertama yang terjadi adalah telarke, yaitu terbentuknya payudara, diikuti
oleh pubarke, yaitu tumbuhnya rambut pubis dan ketiak, lalu menarke, yaitu
periode haid pertama (Ganong, 1997). Haid merupakan tanda bahwa sistem
reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga pertumbuhan otot yang cepat,
tumbuhnya rambut pubis, dan suara yang semakin halus.
Anak laki-laki juga mengalami perubahan fisik, seperti suara yang semakin
berat, pertumbuhan otot, dan pertumbuhan rambut tubuh. Perkembangan fisik
remaja akan berlangsung sangat cepat sejak awal terjadinya pubertas
(Dacey&Travers, 2004). Perubahan dan perkembangan fisik yang pesat ini
membuat remaja memperhatikan tubuhnya yang mempengaruhi interaksinya
dengan orang lain di sekitarnya, terutama teman sebayanya.
3. Citra tubuh pada remaja
Stereotype mengenai citra tubuh sudah terbentuk sejak masa kanak-kanak.
Anak laki-laki dibentuk dengan pola pikir bahwa tubuh yang ideal bagi laki-laki
adalah mesomorf. Pola pikir ini terus terbawa hingga memasuki masa remaja
sehingga persepsi negatif terhadap citra tubuh cenderung terbentuk jika tidak
Universitas Sumatera Utara
memiliki bentuk tubuh ideal yang diharapkan. Sedangkan pada anak perempuan,
sejak masa anak-anak, pola pikir individu sangat dipengaruhi oleh media. Hal ini
terus terjadi hingga remaja sehingga individu melakukan identifikasi terhadap
figur tubuh ideal yang selalu ditampilkan oleh media (Ferron, 1997).
Pubertas, jenis kelamin, dan usia mempengaruhi citra tubuh remaja. Pada
kenyataannya, remaja putera cenderung merasa lebih puas dengan perubahan
tubuhnya dibandingkan dengan remaja puteri. Remaja putera mengasosiasikan
perubahan tubuhnya dengan peningkatan kemampuan fisik dan efisiensi tubuh
(Ferron, 1997). Remaja laki-laki yang telah mengalami pubertas cenderung
memiliki self-esteem dan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengendalikan diri
mereka (O’Dea & Abraham, 2000).
Berbeda dengan remaja putera, remaja puteri mengasosiasikan perubahan
tubuhnya dengan attractiveness, apakah terlihat lebih menarik atau tidak (Ferron,
1997). Remaja puteri yang telah mengalami pubertas cenderung merasa tidak puas
dengan ukuran dan bentuk tubuh. Ketidakpuasan ini bisa menyebabkan
munculnya perasaan tidak adekuat, kehilangan kendali diri, dan rendahnya self-
esteem (O’Dea & Abraham, 2000).
Heilbrun dan Friedberg (Dacey & Kenny, 2001) menyatakan bahwa remaja
puteri pada awal pubertas atau pada tahap remaja awal belum bisa menerima
perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Pada tahap remaja tengah dan akhir,
remaja puteri sudah mulai bisa menerima perubahan tubuhnya, namun
ketidakpuasan terhadap penampilan fisik masih umum terjadi.
Universitas Sumatera Utara
4. Dinamika penyesuaian diri remaja
Penyesuaian diri bukan merupakan sesuatu yang bersifat absolut atau mutlak.
Tidak ada individu yang dapat melakukan penyesuaian dengan sempurna.
Penyesuaian diri bersifat relatif artinya harus dinilai dan dievaluasi sesuai dengan
kapasitas individu untuk memenuhi tuntutan terhadap dirinya (Agustiani, 2006).
Dinamika penyesuaian diri melibatkan sejumlah faktor psikologis dasar yang
mengantarkan individu kepada penyesuaian diri yang baik (adjustive behavior).
Menurut Ali dan Asrori (2004) ada sejumlah faktor psikologis dasar yang
memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika penyesuaian diri remaja, yaitu:
1. Kebutuhan (need)
Kebutuhan yang dimaksud merupakan kebutuhan yang bersifat internal. Dari
faktor ini, penyesuaian diri ditafsirkan sebagai suatu jenis respon yang diarahkan
untuk memenuhi tuntutan yang harus diatasi oleh individu. Tuntutan-tuntutan
untuk mengatasinya dalam sebuah prosesnya didorong secara dinamis oleh
kebutuhan-kebutuhan internal yang disebut dengan need tersebut.
2. Motivasi (motivation)
Penafsiran terhadap karakter dan tujuan respon individu dan hubungannya
dengan penyesuaian tergantung konsep-konsep yang menerangkan hakekat
motivasi, seperti melalui teori stimulus-respon, teori fisiologis, teori intrinsik,
teori motivasi tidak sadar, dan teori hedonistik.
3. Persepsi (perception)
Setiap individu dalam menjalani hidupnya selalu mengalami apa yang disebut
persepsi sebagai hasil penghayatannnya terhadap berbagai jenis perangsang
(stimulus) yang berasal dari lingkungan. Tidak jarang persepsi dipahami sebagai
Universitas Sumatera Utara
suatu pencerminan yang sempurna tentang realitas. Padahal, sebenarnya tidaklah
demikian. Davidoff (1981) mengemukakan 3 (tiga) alasan yang mendukung
bahwa persepsi itu bukanlah cermin dari realitas, yang pertama, indra yang
dimiliki manusia tidak dapat memberikan respon terhadap semua aspek yg berada
di lingkungan. Kedua, manusia seringkali melakukan persepsi terhadap stimulus
yang pada kenyataannya tidak ada. Ketiga, persepsi manusia tergantung pada apa
yang diharapkan, pengalaman yang dialaminya, dan motivasi yang ada pada
dirinya. Atkinson dan Hilgard (1983) mengatakan bahwa perspesi merupakan
proses menginterpretasikan dan mengorganisasikan pola-pola stimulus yang
berasal dari lingkungan.
Persepsi remaja memiliki pengaruh yg berarti terhadap dinamika penyesuaian
diri karena perspesi memiliki peranan penting dalam perilaku, yaitu:
a. Sebagai bagian pembentukan pengembangan sikap terhadap suatu objek atau
peristiwa yang berarti akan berpengaruh terhadap perilaku penyesuaian diri yg
lebih terarah.
b. Sebagai pengembangan fungsi kognitif, afektif, dan konatif sehingga
berpengaruh terhadap penyesuaian yang lebih utuh dan proporsional sesuai
dengan pertimbangan dan pengalaman-pengalaman yang relevan.
c. Meningkatkan keaktifan, kedinamisan, dan kesadaran terhadap lingkungan
sehingga dapat menggerakkan motivasi untuk penyesuaian diri secara lebih
sadar.
d. Meningkatkan pengamatan dan penilaian secara objektif terhadap lingkungan
sehingga perilaku penyesuaian diri lebih rasional dan realistis.
Universitas Sumatera Utara
e. Mengembangkan kemampuan pengelolaan pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari secara berkelanjutan sehingga dapat mendorong ke arah proses
sosialisasi yg semakin mantap.
4. Kemampuan (capacity)
Perkembangan kemampuan remaja dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotor juga dapat mewarnai dinamika penyesuaian diri remaja. Dinamika
penyesuaian diri remaja akan berlangsung baik jika ketiga aspek ini berkembang
dan berjalan secara harmonis.
5. Kepribadian (personality)
Remaja yang sedang menghadapi perkembangan yang pesat dari segala
aspeknya, kepribadiannya pun menjadi sangat dinamis. Kedinamisan kepribadian
remaja itu akan sangat mewarnai dinamika penyesuaian dirinya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa penyesuaian diri remaja
bersifat multifaktor, artinya dipengaruhi oleh banyak faktor. Tuntutan dari
lingkungan, terutama teman sebaya menuntut remaja untuk mampu menyesuaikan
diri. Persepsi remaja sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap sesuatu dan
caranya dalam menyesuaikan diri. Kemampuan untuk menyesuaikan diri akan
terus berkembang seiring dengan perkembangan remaja. Kepribadian dan
motivasi ikut terlibat dalam mempengaruhi penyesuaian diri remaja.
Universitas Sumatera Utara
D. Pengaruh Citra Tubuh dengan Penyesuaian Diri Remaja Putri
Citra tubuh merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan remaja. Hal
ini merupakan konsekuensi dari pubertas yang dialami (Birraux, dalam Ferron,
1997). Remaja, baik laki-laki maupun perempuan sangat memperhatikan citra
tubuh mereka (Winship dalam Dacey & Kenny, 1997). Remaja memperhatikan
dan mengembangkan image tentang seperti apa tubuh mereka. Pada umumnya,
remaja puteri lebih merasa tidak nyaman dengan dirinya dan memiliki citra tubuh
yang lebih negatif dibandingkan dengan remaja putera selama masa pubertas
(Brooks-Gunn & Paikoff, dalam Dacey & Kenny, 1997).
Heilbrun dan Friedberg (dalam Dacey & Kenny, 2001) menyatakan bahwa
remaja puteri pada awal pubertas atau pada tahap remaja awal belum bisa
menerima perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Pada tahap remaja tengah dan
akhir, remaja puteri sudah mulai bisa menerima perubahan tubuhnya, namun
ketidakpuasan terhadap penampilan fisik masih umum terjadi. Dacey & Kenny
(1994) mengemukakan bahwa persepsi negatif remaja terhadap citra tubuh akan
menghambat perkembangan kemampuan interpersonal dan kemampuan
membangun hubungan yang positif dengan remaja lain. Hal ini bisa mengganggu
penyesuaian diri remaja.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Schneider (1984),
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri remaja adalah
persepsi terhadap tubuh. Persepsi positif terhadap tubuh akan mendorong
penyesuaian diri yang baik, sebaliknya persepsi negatif akan mendorong
penyesuaian diri yang buruk.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian dari berbagai teori para ahli yang telah dikemukakan di
atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh memiliki pengaruh terhadap
penyesuaian diri remaja puteri. Persepsi positif terhadap citra tubuh akan
berkembangnya kepribadian yang sehat. Sebaliknya, persepsi negatif terhadap
citra tubuh akan menyebabkan munculnya persepsi negatif terhadap dirinya
sehingga dapat menghambat penyesuaian dirinya dengan orang lain, terutama
dengan teman sebaya.
E. Hipotesa
Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh citra
tubuh dengan penyesuaian diri pada remaja puteri. Semakin positif citra tubuh
remaja puteri, maka semakin baik penyesuaian dirinya.
Universitas Sumatera Utara