bab ii. landasan teori

61
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Jalan Menurut Undang-Undang Jalan Raya N0. 13/1980 : Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas. Menurut Fendi (2009), Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat yang diperuntukkan bagi lalu lintas, berupa kendaraan bermotor maupun tidak bermotor, orang, barang, dalam bentuk apapun, maupun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkapnya bagi lalu lintas. Dalam bentuk apapun mempunyai pengertian bahwa jalan tidak terbatas pada bentuk jalan yang konvensional (pada permukaan tanah) dan di atas tanah (jalan layang). Bangunan pelengkap ialah bangunan yang tidak dapat dipisahkan dari jalan antara lain jembatan, pohon, lintas atas, lintas bawah, tempat parkir,

Upload: rido-bantoel

Post on 27-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

skripsi landasn teoru

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II. Landasan Teori

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Jalan

Menurut Undang-Undang Jalan Raya N0. 13/1980 : Jalan adalah suatu

prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu

lintas.

Menurut Fendi (2009), Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat

yang diperuntukkan bagi lalu lintas, berupa kendaraan bermotor maupun tidak

bermotor, orang, barang, dalam bentuk apapun, maupun meliputi segala bagian

jalan termasuk bangunan pelengkapnya bagi lalu lintas. Dalam bentuk apapun

mempunyai pengertian bahwa jalan tidak terbatas pada bentuk jalan yang

konvensional (pada permukaan tanah) dan di atas tanah (jalan layang). Bangunan

pelengkap ialah bangunan yang tidak dapat dipisahkan dari jalan antara lain

jembatan, pohon, lintas atas, lintas bawah, tempat parkir, gorong-gorong, tembok

penahan, dan saluran air jalan, pagar pengaman daerah milik jalan, dan patok-

patok daerah milik jalan.

Adapun tujuan diadakannya jalan adalah untuk memudahkan

pengangkutan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat lainnya,

melancarkan jalannya lalu lintas, membuka daerah-daerah yang terisolir, untuk

pertahanan daerah dan untuk meningkatkan perekonomian (Fendi, 2009). Karena

itu penetapan prioritas peningkatan ruas jalan perlu dilakukan sebagai program

Page 2: Bab II. Landasan Teori

2

pengembangan jaringan jalan mutlak dalam menilai manfaat yang diberikan dari

proyek pembangunan jalan tersebut.

Menurut Martius (2003), manfaat langsung pada proyek pengembangan

jaringan jalan antara lain terdapatnya kenaikan hasil pertanian dan perkebunan

karena kenaikan produktivitas tanah sebagai akibat dari bertambah baiknya sarana

dan prasarana transportasi. Sedangkan manfaat tidak langsung yang diperoleh

masyarakat sebagai akibat lancarnya prasarana dan sarana transportasi akan

meningkatkan kesempatan bekerja, bertambahnya kepadatan penduduk dan

meningkatnya mobilitas penduduk. Investasi pada penetapan prioritas peningkatan

ruas jalan sebagai program pengembangan jaringan jalan menunjukkan bahwa

masyarakat mendapat keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tanpa ada pembangunan atau investasi jalan hasil produksi meningkat 1% dalam

kurun waktu 3 (tiga) tahun, sedangkan dengan adanya investasi/pembangunan

jalan kenaikan produk mencapai 20% sesuai dengan kondisi dan karakteristik

suatu wilayah (Adler, 1983 dalam Martius, 2003).

Untuk mengetahui bagaimana manfaat pembangunan jaringan jalan, maka

dilakukan evaluasi. Di mana evaluasi jaringan jalan dimaksudkan untuk

mengetahui perubahan kesejahteraan maupun akses antar wilayah. Evaluasi yang

akan dilakukan adalah dengan pendekatan ekonomi atau surplus produksi hasil

pertanian dan perkebunan (Canemark, 1976, dalam Parakesit, dkk, 1998).

Menurut parakesit, dkk (1998) manfaat dari proyek tranportasi bagi orang yang

tidak menggunakan jalan tidak dapat ditunjukkan karena mereka menggunakan

Page 3: Bab II. Landasan Teori

3

analisis surplus konsumsi yang memberikan penekanan pada saving

(penghematan) BOK dan waktu tempuh.

Selanjutnya menurut Parakesit, dkk (1998), salah satu pendekatan yang

cukup tepat dalam mengevaluasikan proyek pengembangan jalan dengan lalu

lintas kecil, seperti jalan kabupaten adalah dengan Location Quotion

Analysis/LQA (Analisis pembagian lokasi). Pendekatan ini merupakan cara

permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan

tertentu atau potensi wilayah. Pada dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan

relatif antara kemampuan suatu sector di daerah yang diteliti dengan kemampuan

sektor yang sama pada daerah yang lebih luas. Satuan yang digunakan sebagai

ukuran untuk menghasilkan koefisien dapat menggunakan suatu jumlah buruh

atau hasil produksi atau satuan lain yang dapat digunakan sebagai kriteria dengan

hasil yang dapat dipertanggungjawabkan (Warpani, 1984).

2.2. Sistem Jaringan Jalan, Fungsi Jalan, dan Klasifikasi Jalan

2.2.1. Sistem Jaringan Jalan

Pada peraturan pemerintah No. 34 tahun 2006, sistem jaringan jalan

merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan

merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan

primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hirarki.

Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah

dan dengan memperhatikan keterhubungan antara kawasan dan/atau dalam

kawasan perkotaan, dan kawasan pedesaan.

Page 4: Bab II. Landasan Teori

4

Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan

pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah

ditingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang

berwujud pusat pusat kegiatan sebagai berikut :

a. Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan

wilayah, pusat kegiatan lokal sampai pusat kegiatan lingkungan.

b. Menghubungkan antar pusat kegiatan nasional.

Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang

wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara terus

menerus yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder

kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnyasampai ke persil.

2.2.2. Fungsi Jalan

Berdasarkan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970,

Fungsi Jalan terdiri dari hal berikut :

a. Jalan Utama : Melayani lalu lintas tinggi antara kota-kota penting,

sehingga harus direncanakan untuk dapat melayani lalu lintas cepat dan

berat.

b. Jalan Sekunder : Melayani lalu lintas yang cukup tinggi antara kota-kota

penting dan kota-kota yang lebih kecil serta sekitarnya.

c. Jalan Penghubung : Untuk keperluan aktivitas daerah yang juga dipakai

sebagai penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau

berlainan.

Page 5: Bab II. Landasan Teori

5

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Raya

Klasifikasi

LHR dalam SMPFungsi Kelas

Utama I > 20.000

Sekunder II A 6.000 – 20.000

II B 1.500 – 2.000

II C < 2000

Penghubung III --

Kelas I :

1) Melayani lalu lintas cepat dan berat

2) Tidak terdapat kendaraan lambat/tak bermotor

3) Berupa jalan raya berjalur banyak

4) Jenis konstruksi perkerasan baik

5) Tingkat pelayanannya tinggi

Kelas II :

1) Mencakup semua jalan sekunder dua jalur atau lebih

2) Konstruksi aspal beton atau setaraf

3) Terdapat kendaraan lambat, tidak ada kendaraan tak bermotor

4) Untuk kendaraan lambat disediakan jalur tersendiri

Kelas II A :

1) Dua jalur atau lebih dengan permukaan aspal beton atau setaraf

2) Terdapat kendaraan lambat tanpa kendaraan tak bermotor

3) Ada 3 kelas yang berlainan sifat lalu lintasnya.

Page 6: Bab II. Landasan Teori

6

Kelas II B :

1) Dua jalur dengan konstruksi permukaan penetrasi berganda atau

setaraf

2) Terdapat kendaraan lambat tanpa kendaraan tak bermotor.

Kelas II C :

1) Dua jalur dengan konstruksi permukaan penetrasi tunggal

2) Terdapat kendaraan lambat lambat dan kendaraan tak bermotor.

Kelas III :

1) Mencakup semua jalan penghubung

2) Konstruksi jalan berlajur tunggal atau dua

3) Jenis konstruksi paling tinggi adalah peleburan dengan aspal

2.2.3. Kelas Jalan Menurut Pengelola

a. Jalan Arteri : yaitu jalan yang terletak di luar pusat perdagangan (out lying

business district)

b. Jalan Kolektor : yaitu jalan yang terletak di pusat perdagangan (central

business district)

c. Jalan Lokal : yaitu jalan yang terletak di daerah permukiman

d. Jalan Negara : yaitu jalan yang menghubungkan antara ibukota propinsi.

Biaya pembangunan dan perawatannya ditanggung oleh pemerintah pusat.

e. Jalan kabupaten : yaitu jalan yang menghubungkan antara ibukota propinsi

dengan ibukota kabupaten atau ibukota kabupaten dengan ibukota

kecamatan, juga desa dalam satu kebupaten.

Page 7: Bab II. Landasan Teori

7

2.2.4. Kelas Jalan Menurut Pengelola

Tabel 2.2 Kelas Jalan Menurut Tekanan Gandar.

Kelas Jalan Tekanan Gandar

I 7 ton

II 5 ton

III A 3,50 ton

III B 2,75 ton

IV 1,50 ton

2.3. Perencanaan Perkerasan Jalan

Perkerasan adalah lapisan kulit (permukaan) keras yang diletakkan pada

formasi tanah setelah selesainya pekerjaan tanah, atau dapat pula didefinisikan,

perkerasan adalah struktur yang memisahkan antara ban kendaraan dengan tanah

pondasi yang berada dibawahnya.

Fungsi perkerasan jalan, adalah :

1. Untuk memberikan permukaan rata/halus bagi pengendara.

2. Untuk mendistribusikan beban kendaraan diatas formasi tanah secara memadai,

sehingga melindungi tanah dari tekanan yang berlebihan.

3. Untuk melindungi formasi tanah dari pengaruh buruk perubahan cuaca.

Perencanaan Perkerasan meliputi dua hal yaitu sebagai berikut :

a) Structural Pavement Design

Yaitu untuk menentukan tebal pavement dengan komponen-komponen

berupa tebal flexible paverment yang rinciannya untuk ketebalan surface course,

base course, dan subbase caourse, sedangkan untuk tebal slab beton jenis rigid

pavement dan juga lapis pondasinya.

Page 8: Bab II. Landasan Teori

8

b) Paving Mixture Design

Yaitu untuk menentukan jenis dan kualitas bahan yang akan digunakan

untuk lapisan-lapisan perkerasan, misalnya persyaratan aspal, batu, kualitas beton,

kualitas beton aspal, dan lain-lain.

Untuk menyiapkan perkerasan perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

1) Kinerja (peformance) perkerasan

Hal ini berkaitan dengan lalu lintas, yaitu volume lalu lintas dan beban

kendaraan yang akan dilewati.

2) Umur dari kinerja atau umur rencana perkerasan

Umur rencana adalah waktu dalam tahun dihitung sejak perkerasan (jalan)

dibuka untuk lalu lintas sampai saat diperlukan perbaikan berat. Selama umur

rencana ini, perkerasan diharapkan bebas dari pekerjaan perbaikan berat.

3) Kondisi awal dan kondisi akhir perkerasan

Yaitu berkaitan dengan kondisi perkerasan (cacat/rusak) pada awal umur

rencana dan tingkat kondisi perkerasan yang masih dapat diterima pada akhir

umur rencana.

Perkerasan Lentur adalah : Perkerasan yang menggunakan aspal sebagai

bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan

menyebarkan beban lalulintas ketanah dasar yang telah dipadatkan.

Page 9: Bab II. Landasan Teori

9

2.3.1. Karakteristik Perkerasan Lentur

a) Bersifat elastis jika menerima beban, Sehingga dapat memberi

kenyamanan bagi pengguna jalan.

b) Seluruh lapisan ikut menanggung beban.

c) Penyebaran tegangan kelapisan tanah dasar sedemikian sehingga tidak

merusak lapisan tanah dasar.

d) Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal.

e) Usia rencana maksimum 20 tahun.

Gambar 2.1 Struktural Perkerasan Lentur

Gambar 2.2 Pondasi Telford

Gambar. 2.3 Pondasi Macadam

Page 10: Bab II. Landasan Teori

10

2.3.2. Metoda Deskripsi Kerusakan

a) Pengamatan Kerusakan

b) Identifikasi Tipe Kerusakan

c) Penyebab Kerusakan

d) Daya yang diperlukan untuk perbaikan.

2.3.3. Tipe-tipe Kerusakan Perkerasan Lentur

A. Deformasi

Deformasi adalah perubahan permukaan jalan dari profil aslinya (sesudah

pembangunan). Deformasi merupakan kerusakan penting dari kondisi perkerasan,

karena mempengaruhi kualitas kenyamanan lalu-lintas (kekasaran, genangan air

yang mengurangi kekesatan permukaan), dan dapat mencerminkan kerusakan

struktur perkerasan.

Tipe deformasi perkerasan lentur, adalah

1. Bergelombang

Bergelombang atau keriting adalah kerusakan oleh akibat terjadinya

deformasi plastis yang menghasilkan gelombang-gelombang melintang atau tegak

lurus arah perkerasan-perkerasan aspal.

Faktor penyebab kerusakan

a) Aksi lalu-lintas yang disertai dengan permukaan perkerasan atau lapis

pondasi yang tidak stabil. Disebabkan campuran lapisan aspal yang buruk.

b) Kadar air dalam lapis pondasi granuler terlalu tinggi, sehingga tidak stabil.

Page 11: Bab II. Landasan Teori

11

Resiko Lanjutan

a) Area yang mengalami kriting meluas

b) Mengurangi kenyamanan dan keselamatan berkendara

Kemungkinan cara perbaikan

a) Perbaikan yang paling baik dilakukan dengan menambal di seluruh

kedalaman.

b) Jika perkerasan mempunyai agregat pondasi dengan lapisan tipis

perawatan permukaan, maka permukaan dikasarkan, kemudian dicampur

dengan material pondasi, dan dipadatkan lagi sebelum meletakkan lapisan

permukaan kembali.

c) Jika perkerasan mempunyai tebal permukaan aspal dan pondasi melebihi

50 mm, keriting dangkal dapat dibongkar dengan mesin pengupas, diikuti

dengan lapisan tambahan dari campuran aspal panas HMA agar struktur

perkerasan lebih kuat.

2. Alur

Alur adalah deformasi permukaan aspal dalam bentuk turunya perkerasan

kearah memanjang pada lintasan roda kendaraan.

Faktor penyebab kerusakan

a) Pemadatan lapis permukaan dan pondasi kurang, sehingga akibat beban

lalulintas lapis pondasi memadat lagi

b) Kualitas campuran aspal rendah, ditandai dengan gerakan beban roda berat

Page 12: Bab II. Landasan Teori

12

c) Gerakan lateral dari suatu atau lebih dari komponen pembentuk lapis

perkerasan yang kurang padat.

d) Tanah dasar lemah atau agregat pondasi kurang tebal, pemadatan kurang,

atau terjadi pelemahan akibat infiltrasi air tanah.

Resiko Lanjutan

a) Terjadi kenaikan perkerasan secara berlebihan disepanjang sisi alur.

b) Mengurangi kenyamanan dan keselamatan berkendara

Cara perbaikan

a) Jika penyebabnya dipermukaan, perbaikan permanen dilakukan dengan

menambal diseluruh kedalaman atau penambahan lapis tambahan

(overlay) campuran aspal panas (hotmix) dengan perataan dan pelapisan

permukaan. Perbaikan alur dengan menambal permukaan, umumnya

hanya untuk perbaikan sementara.

b) Jika penyebabnya adalah lemahnya lapis pondasi atau tanah dasar,

pembangunan kembali perkerasan secara total mungkin diperlukan,

termasuk juga penambahan drainase, terutama air jika menjadi salah satu

faktor penyebab kerusakan.

3. Ambles

Ambles adalah penurunan perkerasan yang terjadi pada area terbatas yang

mungkin dapat diikuti dengan retakan. Penurunan ditandai dengan adanya

genangan air pada permukaan perkerasan yang membahayakan lalu-lintas yang

lewat.

Page 13: Bab II. Landasan Teori

13

Faktor penyebab kerusakan

a) Beban lalu-lintas berlebihan

b) Penurunan sebagian dari perkerasan akibat lapisan di bawah perkerasan

mengalami penurunan.

Resiko Lanjutan

a) Dapat memicu terjadinya retakan.

b) Mengurangi kenyamanan dan keselamatan berkendara

c) Ambles apabila digenangi air dapat mengakibatkan hydroplaning.

Cara perbaikan

a) Perawatan permukaan atau micro surfacing.

b) Untuk area kerusakan yang besar, perbaikan dapat dilakukan dengan

menambal kulitnya (permukaan), atau menambal pada seluruh kedalaman.

4. Sungkur

Sungkur adalah perpindahan permanen dan memanjang dari permukaan

perkerasan yang disebabkan oleh beban lalu-lintas.

Faktor penyebab kerusakan

a) Stabilitas campuran lapis aspal rendah. Kurangnya stabilitas campuran

dapat disebabkan oleh terlalu tingginya kadar aspal. Terlalu banyaknya

agregat halus, agregat berbentuk bulan dan licin atau terlalu lunaknya

semen aspal.

b) Terlalu banyaknya kadar air dalam lapisan pondasi granular.

c) Ikatan antara lapisan perkerasan tidak bagus.

Page 14: Bab II. Landasan Teori

14

d) Tebal perkerasan kurang..

Resiko Lanjutan

a) Area yang mengalami sungkur meluas.

b) Mengurangi kenyamanan dan keselamatan berkendara

c) Memicu terjadinya retakan dan air masuk kedalam perkerasan

Cara perbaikan

a) Perawatan yang paling baik dilakukan dengan menambal diseluruh

kedalaman.

b) Jika perkerasan mempunyai agregat pondasi dengan perawat permukaan

tipis, kasarkan permukaan, campur dengan material agregat pondasi, dan

padatkan lagi sebelum meletakkan lapisan permukaan kembali.

c) Jika perkerasan mempunyai tebal permukaan aspal dan lapis pondasi 50

mm, sungkur dangkal dapat dibongkar dengan mesin pengupas, yang iikuti

dengan lapisan tambahan campuran aspal panas (hot mix) agar

memberikan kekuatan yang cukup pada perkerasan.

5. Mengembang

Mengembang adalah gerakan keatas lokal dari perkerasan akibat

pengembang (atau pembekuan air) dari tanah dasar atau dari bagian struktur

perkerasan.

Faktor penyebab kerusakan

a) Mengembangnya material lapisan dibawah perkerasan atau tanah dasar.

Page 15: Bab II. Landasan Teori

15

b) Tanah dasar perkerasan mengembang, bila kadar air naik. Umumnya, hal

ini terjadi bila tanah pondasi berupa lempung yang mudah mengembang

oleh kenaikan kadar air.

Resiko Lanjutan

a) Memicu terjadinya keretakan.

b) Mengurangi kenyamanan dan keselamatan berkendara

Cara perbaikan

a) Menambal diseluruh kedalaman

b) Membongkar total area yang rusak dan menggantikannya dengan material

baru.

c) Perataan permukanaan dengan cara menimbulkannya dengan material

baru.

d) Sembararang cara, untuk perbaikan permanen, pada prinsipnya harus

ditujukan untuk menstabilkan kadar air dalam struktur perkerasan..

6. Benjol dan Turun

Benjol adalah gerakan atau perpindahan keatas, bersifat lokal dan kecil,

dari permukaan perkerasan aspal, sedangkan penurunan yang juga berukuran

kecil, merupakan gerakan ke bawah dari permukaan perkerasan..

Faktor penyebab kerusakan

a) Tekukan atau penggembungan dari perkerasan pelat beton dibagian bawah

yang diberi lapis tambahan (overlay) dengan aspal.

b) Kenaikan oleh pembekuan es

Page 16: Bab II. Landasan Teori

16

c) Infiltrasi dan penumpukan material dalam retakan yang diikuti dengan

pengaruh beban lalu-lintas.

Resiko Lanjutan

a) Mengurangi kenyamanan dan keselamatan berkendara

Cara perbaikan

a) Coll mill

b) Penambalan dangkal, parsial atau diseluruh kedalaman.

c) Pelapis tambahan.

B. Retak

Retak dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Hal ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor dan melibatkan mekanisme yang kompleks. Secara teoritis, retak

dapat terjadi bila tegangan tarik yang terjadi pada lapisan aspal melampaui

tegangan tarik maksimum yang dapat ditahan oleh perkerasan tersebut.

Tipe retak perkerasan lentur, adalah

a) Retak memanjang

b) Retak melintang

c) Retak diagonal

d) Retak slip

e) Retak berkelok-kelok

f) Retak relatif sambungan

g) Retak kulit buaya

Page 17: Bab II. Landasan Teori

17

Prosedur pemeliharaan, umumnya bergantung pada sebab-sebab

kerusakan, lebar retak dan jumlah retak pada area yang rusak. Pada perbaikan,

penting untuk menjaga infiltrasi air (batu, dan pasir) kedalam retakan dan struktur

perkerasan yang berada dibawahnya.

C. Kerusakan di Pinggir Perkerasan

Kerusakan di pinggir perkerasan adalah retak yang terjadi di sepanjang

pertemuan antara permukaan perkerasan aspal dan bahu jalan, lebih-lebih bila

bahu jalan tidak ditutup. Kerusakan ini terjadi secara lokal atau bahkan bisa

memanjang di sepanjang jalan, dan sering terjadi di salah satu bagian jalan, atau

sudut. Akibat kerusakan pinggir adalah :

a) Lebar perkerasan berkurang

b) Kehilangan kenyamanan berkendara, dan mengakibatkan kecelakaan

c) Air masuk ke dalam lapis pondasi

d) Terjadinya alur dipinggir dapat menyebabkan erosi

Tipe Kerusakan di Pinggir Perkerasan lentur, adalah

1. Retak Pinggir

Retak pinggir biasanya terjadi sejajar dengan pinggir perkerasan dan

berjarak berkisar 0,3 – 0,6 m dari pinggir. Akibat pecah dipinggir perkerasan,

maka bagian ini menjadi tidak beraturan.

Faktor penyebab kerusakan

a) Kurangnya dukungan dari arah lateral (dari bahu jalan)

b) Drainase kurang baik

Page 18: Bab II. Landasan Teori

18

c) Kembang susut tanah di sekitarnya

d) Bahu jalan turun terhadap permukaan perkerasan

e) Seal coat lemah, adhesi permukaan ke lapis pondasi hilang

f) Konsentrasi lalu-lintas berat di dekat pinggir perkerasan

g) Adanya pohon-pohonan besar didekat pinggir perkerasan

Resiko Lanjutan

a) Kehilangan kenyamanan kendaraan, dan dapat mengakibatkan kecelakaan.

b) Air masuk ke dalam lapis pondasi

c) Terjadinya alur di pinggir dapat mengakibatkan erosi pada nahu jalan.

Cara perbaikan

a) Perbaikan tergantung pada tingkat kerusakannya. Jika bahu jalan tidak

mendukung pinggir perkerasan, maka material yang buruk dibongkar dan

digantikan dengan material baik yang dipadatkan.

b) Jika air menjadi faktor penyebab kerusakan pecah, maka harus dibuatkan

drainase

c) Penutupan retakan/penutupan permukaan

d) Penambalan parsial

2. Retak Turun

Jalur/bahu jalan turun adalah beda elevasi antara pinggir perkerasan dan

bahu jalan. Hal ini tidak dipertimbangkan penting bila selisi tinggi bahu dan

perkerasan kurang dari 10 s.d 15 mm.

Page 19: Bab II. Landasan Teori

19

Faktor penyebab kerusakan

a) Lebar perkerasan kurang

b) Bahu jalan dibangun dengan material yang kurang tahan terhadap erosi

dan abrasi

c) Penambahan lapis permukaan tanpa diikuti penambahan permukaan bahu

jalan

Resiko Lanjutan

a) Kehilangan kenyamanan kendaraan, dan dapat mengakibatkan kecelakaan.

b) Air masuk ke dalam lapis pondasi

c) Terjadinya alur di pinggir dapat mengakibatkan erosi pada nahu jalan.

Cara perbaikan

a) Untuk beda tinggi yang relatif kecil dan bahu jalan berupa aspal, maka

campuran aspal panas (hot mix) dapat ditempatkan pada bagian yang

elevasinya berbeda

b) Untuk beda tinggi yang besar, bahu jalan harus ditinggikan dengan

menghamparkan lapis tambahan.

c) Jika penyebabnya drainase yang buruk, maka dibuatkan lagi drainase yang

baik.

d) Jika bahu jalan tidak diperkeras, maka dobongkar dan material jelek

diganti dengan material yang bagus dan dipadatkan

Page 20: Bab II. Landasan Teori

20

D. Kerusakan Tekstur Permukaan

Kerusakan Tekstur Permukaan merupakan kehilangan material perkerasan

secara beransur-ansur dari lapisan permukaan ke arah bawah.

Tipe Kerusakan Tekstur Permukaan Perkerasan lentur, adalah

1) Pelapukan dan Butiran Lepas

2) Kegemukan

3) Agregat Licin

4) Pengelupasan

5) Stripping

E. Lubang

Lubang adalah lekukan permukaan perkerasan akibat hilangnya lapisan

aus dan material lapis pondasi.

Faktor penyebab kerusakan

1) Campuran material lapis permukaan yang kurang baik.

2) Air masuk kedalam lapis pondasi lewat retakan dipermukaan perkerasan

yang tidak segera diutup

3) Beban lalu lintas yang mengakibatkan disintregrasi lapis pondasi

4) Tercabutnya aspal pada lapisan aus akibat melekat pada ban kendaraan.

Data yang diperlukan untuk perbaikan

1) Kedalaman lubang

2) Jumlah lubang

3) Luas lubang

Page 21: Bab II. Landasan Teori

21

Cara Perbaikan

1) Perbaikan permanen dilakukan dengan penambahan di seluruh kedalaman

2) Perbaikan sementara dilakukan dengan membersikan lubang dan

mengisinya dengan campuran aspal dingin yang khusus untuk tambalan.

F. Tambalan dan tambalan Galian Utilitas

Tambalan adalah penutupan bagian perkerasan yang mengalami perbaikan.

Kerusakan tambalan dapat diikuti/tidak diikuti oleh hilangnya kenyamanan

kendaraan (kegagalan fungsional) atau rusaknya struktur perkerasan. Rusaknya

tambalan menimbulkan distorsi, disintegrasi, retak atau terkelupas antara

tambalan dan permukaan perkerasan asli.

Faktor penyebab kerusakan

1) Amblesnya tambalan umumnya disebabkan kurangnya pemadatan material

urugan lapis pondasi atau tambalan material aspal..

2) Cara pemasangan material bawah buruk

3) Kegagalan dari perkerasan di bawah tambalan dan sekitarnya

Data yang diperlukan untuk perbaikan

1) Luas masing-masing tambalan

2) Jumlah tambalan dalam area yang diperhatikan

Cara Perbaikan

1) Perbaikan atau penggantian tambalan diseluruh kedalaman untuk

perbaikan permanen

2) Dilakukan penambalan permukaan untuk perbaikan sementara

Page 22: Bab II. Landasan Teori

22

2.3.4. Metode - Metode Perkerasan Lentur

Perkerasan lentur adalah konstruksi perkerasan yang terdiri dari lapisan-

lapisan perkerasan yang dihampar di atas tanah dasar yang dipadatkan. Lapisan

perkerasan tersebut dapat menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya.

Kekuatan konstruksi perkerasan ini ditentukan oleh kemampuan penyebaran

tegangan dari setiap lapisannya, yang ditentukan oleh tebal lapisan tersebut dan

kekuatan tanah dasarnya.

Sesuai dengan namanya, perkerasan lentur ini bila diberikan beban maka

perkerasan akan melendut/ melentur. Struktur perkerasan lentur ini terdiri atas

beberapa lapisan dengan material tertentu, dimana masing-masing lapisan akan

menerima beban dari lapisan di atasnya dan menyebarkan ke lapisan di bawahnya.

Banyak metode-metode perencanaan perkerasan lentur yang dapat

digunakan. Berikut ini diuraikan beberapa metoda perencanaan perkerasan lentur

yang mengacu ke standar asional dan yang digunakan di Indonesia, yaitu

program RDS, Metoda Analisa Komponen (Tata cara Perencanaan Tebal

Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Analisa Metode Komponen, SNI 03-1732-

1989), Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Pd-T01-2002-B).

1. Metode Analisa Komponen

Perencanaan tebal perkerasan menggunakan Metoda Analisa Komponen

sering dipakai di Indonesia. Metode ini dibakukan dalam Standar Nasional

Indonesia (SNI 03-1732-1989), dan banyak dipakai dalam perencanaan tebal

Page 23: Bab II. Landasan Teori

23

perkerasan baik yang berupa perencanaan jalan baru maupun perencanaan tebal

lapis tambah (overlay).

Metode Analisa Komponen ini merupakan metoda yang didasarkan

kepada perhitungan empiris dimana untuk masing-masing lapisan dari sistem

perkerasan yang ada mempunyai kekuatan struktural tertentu yang diwakili oleh

koefisien relatif. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam penggunaan

metoda ini antara lain : lalu lintas, tanah dasar dan lingkungan. Prinsip-prinsip

perencanaan perkerasan lentur menggunakan metode Analisa Komponen sebagai

berikut :

A. Lalu Lintas

1) Jumlah jalur dan koefisien distribusi kendaraan (C)

Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu arus jalan

yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda bats jalur,

maka jumlah jalur ditentulan dari lebar perkerasan menurut Tabel 2.3 dibawah ini

Tabel 2.3 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)L ˂ 5,50 m 1 jalur

5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur

Koefesien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat

pada jalur rencana ditentukan menurut Tabel 2.3 dibawah ini :

Page 24: Bab II. Landasan Teori

24

Tabel 2.4 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Jumlah Lajur

Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat *)1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah

1 jalur 1,00 1,0 1,0 1,0002 jalur 0,60 0,50 0,70 0,5003 jalur 0,40 0,40 0,50 0,4754 jalur - 0,30 - 0,4505 jalur - 0,25 - 0,4256 jalur - 0,20 - 0,400

*) Berat total < 5 ton, misalnya mobil penumpang, pick up, mobil hantaran

*) Berat total > 5 ton, misalnya bus, truk, traktor, semi tailer, trailer

2) Angka ekivalen beban sumbu kendaraan (E)

Angka ekivalen sumbu tunggal

= ( Beban satu sumbu tunggal dalam Kg) 4 .......................... (1)

8160

Angka ekivalen sumbu ganda

= 0,086 (Beban satu sumbu tunggal dalam Kg)4 .......................... (2)

8160

Untuk angka ekivalen (E) beban sumbu kendaraan dapat dilihat pada Tabel

2.5 berikut ini :

Page 25: Bab II. Landasan Teori

25

Tabel 2.5. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

Beban Sumbu Angka EkivalenKg Lb Sumbu Tunggal Sumbu Ganda

1000 2205 0,0002 -2000 4409 0,0036 0,00033000 6614 0,0183 0,00164000 8818 0,0577 0,00505000 11023 0,1410 0,01216000 13228 0,2923 0,02517000 15432 0,5415 0,04668000 17637 0,9238 0,07948160 18000 1,0000 0,08609000 19841 1,4798 0,127310000 22046 2,2555 0,194011000 24251 3,3022 0,284012000 26455 4,6770 0,402213000 28660 6,4419 0,554014000 30864 8,6647 0,745215000 33069 11,4184 0,982016000 35276 14,7815 1,2712

3) Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-rumus Lintas Ekivalen

a) Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR)

LHR setiap jenis kendaraan yang ditentukan pada awal umur rencana,

yang dihitung untuk dua arah pada jalan tanpa median atau masing-masing

arah pada jalan dengan median..

b) Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

; ..,.......................................................... (3)

Dimana : j = jenis kendaraan

c) Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

; ............................................................... (4)

dimana UR = umur rencana, i = perkembangan lalu lintas

Page 26: Bab II. Landasan Teori

26

d) Lintas Ekivalen Tengah (LET)

LET = ½ x LEP + LEA .......................................................... (5)

e) Lintas Ekivalen Rencana (LER)

LER = LET x FP . ....................................................................... (6)

Faktor penyesuaian (FP) tersebut di atas ditentukan dengan rumus :

FP = UR/10

B. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR (California Bearing

Ratio)

1) Daya Dukung Tanah (DDT) dan CBR (California Bearing Ratio)

Daya dukung tanah ditentukan berdasarkan Grafik 2.1 korelasi antara DDT

dengan nilai CBR

Grafik 2.1. Daya Dukung Tanah (DDT) dan CBR

Page 27: Bab II. Landasan Teori

27

Catatan : Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar kesebelah kiri diperoleh

nilai DDT

C. Faktor Regional (FR)

Keadaan lapangan mencakup permeabilitas tanah, perlengkapan drainase,

bentuk alinyemen serta persentase kendaraan berat 13 ton, dan kendaraan yang

berhenti, sedangkan keadaan iklim mencakup curah hujan rata-rata pertahun.

Pengaruh keadaan lapangan yang menyangkut permeabilitas tanah dan

perlengkapan drainase dapat dianggap sama, dengan demikian dalam penentuan

tebal perkerasan ini, faktor Regional hanya dipengaruhi oleh bentuk alinyemen

(kelandaian dan tikungan), presentase kendaraan berat dan berhenti serta iklim

(curah hujan) dapat dilihat pada tabel 2.6 sebagai berikut :

Tabel 2.6 Faktor Regional (FR)

Kelandaian I( < 6 %)

Kelandaian II( < 6 - 10 %)

Kelandaian III( > 10 %)

% Kendaraan Berat % Kendaraan Berat % Kendaraan Berat≤ 30% ˃ 30% ≤ 30% ˃ 30% ≤ 30% ˃ 30%

Iklim I ˂ 900 mm/th 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 -2,5Iklim II ˃ 900 mm/th 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3.0 – 3,5

Catatan : Pada bagian – bagian jalan tertentu, seperti persimpangan,

pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5. Pada

daerah rawa FR ditambah dengan 1,0.

D. Index Permukaan (IP)

Indek Permukaan ini menyatakan nilai daripada kerataan/kehalusan serta

kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas

Page 28: Bab II. Landasan Teori

28

yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut

dibawah ini :

IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat

sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan.

IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak

terputus) .

IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap

IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil dan baik

Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana, perlu

dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas

ekivalen rencana (LER), menurut Tabel 2.7 dibawah ini :

Tabel 2.7 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP)

LER = Lintas Ekivalen Rencana *)

Klasifikasi Jalan

Lokal Kolektor Arteri tol

< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -

10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -

100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -

> 1000 -- 2,0 – 2,5 2,5 2,5

* ) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal

Catatan : Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT/jalan murah atau jalan

darurat maka IP dapat diambil 1,0.

Page 29: Bab II. Landasan Teori

29

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) perlu

dipertimbangkan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehausan serta kekokohan)

pada awal umu rencana, menurut Tabel 2.8 dibawah ini :

Tabel 2.8 Indeks Permukaan Pada Awal Umum Rencana (IPo)

Jenis Permukaan IPoRoughness *)

(mm/km)LASTON ≥ 4 ≤ 1000

3,9 – 3,5 ˃ 1000LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 ˃ 2000HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000

3,4 – 3,0 ˃ 2000BURDA 3,9 – 3,5 ˂ 2000BURTU 3,4 – 3,0 ˂ 2000LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000

29 – 2,5 ˃ 3000LATASBUM 29 – 2,5BURAS 29 – 2,5LATASIR 29 – 2,5JALAN TANAH ≤ 2,4JALAN KERIKIL ≤ 2,4

*) Alat pengukur roughness yang dipakai adalah roughometer NAASRA, yang

dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 station wagon, dengan kecepatan

kendaraan ± 32 km per jam.

Gerakan sumbu belakang dalam arah vertikal dipindahkan pada alat roughometer

melalui kabel yang dipasang ditengah-tengah sumbu belakang kendaraan, yang

selanjutnya dipindahkan kepada counter melaui “flexible drive”.

Setiap putaran counter adalah sama dengan 15,2 mm gerakan vertikal antara

sumbu belakang body kendaraan. Alat pengukur roughness type lain dapat

Page 30: Bab II. Landasan Teori

30

digunakan dengan mengkalibrasi hasil yang diperoleh terhadap roughometer

NAASRA.

E. Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Karakteristik material yang akan digunakan sangat mempengaruhi tebal

lapisan yang akan menggunakan material tersebut. Satu lapisan pada struktur

perkerasan biasanya dibuat dengan menggunakan satu jenis material. Banyak jenis

material yang dapat digunakan, material dengan kualitas yang lebih rendah

umumnya digunakan sebagai lapisan bawah. Semakin rendah mutu material

semakin bawah letaknya dari permukaan perkerasan jalan.

Jenis dan kualitas material yang digunakan untuk masing-masing lapis

perkerasan akan menentukan nilai Koefisien Kekuatan Relatif (a) dari material

tersebut. Nilai ini digunakan untuk menentukan tebal masing-masing lapisan yang

menggunakan material tersebut. Kekuatan relatif suatu material merupakan suatu

nilai yang memperhitungkan kekuatan bahan yang akan digunakan sebagai

material untuk lapis permukaan, lapis pondasi dan lapis pondasi bawah. Besarnya

Koefisien Kekuatan Relatif berbagai jenis bahan yang biasanya digunakan sebagai

bahan perkerasan pada struktur perkerasan jalan termuat dalam Tabel 2.9

Koefisien Kekuatan Relatif (a) dalam buku standar Bina Marga.

Page 31: Bab II. Landasan Teori

31

Tabel 2.9 Koefesien Kekuatan Relatif (a)

F. Index Tebal Perkerasan (ITP)

Indeks Tebal Perkerasan (ITP) merupakan nilai kekuatan material beserta

dimensinya yang sesuai dengan tingkat beban lalu lintas (jumlah lintas ekuivalen

total) dengan koreksi daya dukung tanah, faktor regional dan Indeks Permukaan

perkerasan (IP). Sehubungan dengan hal-hal tersebut, untuk perencanaan tebal

perkerasan menggunakan Metoda Analisa Komponen, nilai ITP dapat dihitung

dengan menggunakan nomogram.

Ada sembilan nomogram yang dapat digunakan, masing-masing untuk

nilai IPo dan IPt yang berbeda. Setelah nilai ITP didapat, tebal masing-masing

Page 32: Bab II. Landasan Teori

32

lapisan pada struktur perkerasan jalan dapat ditentukan dengan menggunakan

Koefisien Kekuatan Relatif (a). Koefisien kekuatan relatif ini menggambarkan

hubungan empiris antara ITP dan ketebalan dan mengukur kemampuan relatif dari

bahan secara fungsi dari komponen struktural perkerasan. Tebal masing-masing

lapisan pada struktur perkerasan dapat ditentukan dengan mengunakan

persamaan:

ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3 ............................................. (7)

a1, a2, a3 dan an = Koefisien kekuatan relatif bahan masing-

masing lapisan

D1, D2, D3 dan Dn = Tebal masing-masing lapis perkerasan

Perkerasan

Tabel 2.10 Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan

Page 33: Bab II. Landasan Teori

33

G. Penentuan Tebal Lapis Tambah

Metode Analisa Komponen dapat juga digunakan untuk penentuan tebal

overlay, yaitu lapis perkerasan tambahan yang dipasang di atas konstruksi

perkerasan yang ada dengan tujuan untuk meningkatkan kekuatan struktur

perkerasan, agar dapat melayani lalu lintas yang direncanakan selama kurun

waktu yang akan datang. Kebutuhan overlay dihitung berdasarkan persamaan

sebagai berikut:

ITPoverlay = ITP – ITPeksisting ........................................ (8)

Ho = ITPeksisting ……......................................... (9)

ao

ITP eksisting diperkirakan dengan mengetahui ketebalan (Dx) dan jenis

masing-masing lapisan (ax) pada perkerasan eksisting tersebut. Nilai hasil kali ax

dan Dx untuk masing-masing lapisan harus dikoreksi terhadap nilai kondisi

kerusakan yang ada pada perkerasan eksisting menggunakan Tabel 2.11 yang

terdapat dalam buku standar Bina Marga.

Tabel 2.11 Nilai Kondisi Perkerasan Jalan

Page 34: Bab II. Landasan Teori

34

2. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Pt -T01-2002-B)

Selain beberapa metoda perencanaan yang telah dikenal, pada tahun 2002

telah disusun Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Pt-T01-2002-B)

yang merupakan adopsi dan adaptasi dari metoda perencanaan AASHTO tahun

1993. Perencanaan menggunakan Pt-T01-2002-B ini dibandingkan dengan

Metoda Analisa Komponen yang telah dikenal sebelumnya mulai menggunakan

beberapa parameter mekanistik seperti Modulus Elastisitas. Penggunaan Modulus

Elastisitas ini nantinya akan dikonversi menjadi besaran koefisien kekuatan relatif

(a) untuk masing-masing bahan pembentuk lapisan perkerasan.

Karena pada metode ini telah menggunakan parameter mekanistik dengan

tidak meninggalkan parameter empiris, maka metode ini disebut dengan metode

Mekanistik – Empiris. Selain itu juga pada pedoman ini telah dikenalkan

pengaruh dari sistem drainase dalam perencanaan tebal perkerasan jalan.

Pengaruh faktor lingkungan lebih banyak difokuskan kepada besaran

temperatur yang nantinya juga akan mempengaruhi dari nilai Modulus Elastisitas

terutama untuk lapisan beraspal. Perbedaan pedoman Pt-T01-2002-B

dibandingkan dengan metoda sebelumnya adalah pada penggunaan alat Falling

Weight Deflectometer (FWD) yang akan digunakan dalam perencanaan tebal lapis

tambah. Juga pada pedoman ini diperkenalkan konsep-konsep tentang Reliabilitas,

Standard Normal Deviate, dan Standard Error. Karena rumus-rumus dan formula

yang digunakan merupakan adopsi dari AASHTO tahun 1993, maka pada

pedoman ini masih menggunakan satuan Imperial Unit. Prinsip-prinsip

perencanaan perkerasan lentur menggunakan metode ini sebagai berikut :

Page 35: Bab II. Landasan Teori

35

a. Tanah Dasar

Kekuatan tanah dasar diberikan dalam parameter Modulus Resilien. Ada

beberapa cara menentukan nilai Modulus Reslien tanah dasar ini antara lain

dengan mengkorelasikannya dengan nilai CBR (California Bearing Ratio)

MR = 1500 x CBR ………………........................................ (10)

MR = Modulus Resilien Tanah Dasar (psi).

CBR = nilai CBR tanah dasar (%)

b. Lapis Pondasi Bawah

Lapis Pondasi Bawah adalah lapisan struktur perkerasan jalan yang

terletak antara tanah dasar dan Lapis Pondasi. Lapis Pondasi Bawah ini bisa

terdiri dari lapisan granular dengan spesifikasi tertentu, dan campuran bersemen

dengan spesifikasi tertentu.

c. Lapis Pondasi

Sama seperti Lapis Pondasi Bawah, Lapis Pondasi juga bisa terdiri dari

lapisan granular, campuran bersemen, maupun campuran beraspal dengan

spesifikasi tertentu.

d. Koefisien Kekuatan Relatif

Kekuatan relatif didapat dengan mengkorelasikannya terhadap parameter

mekanistik, yaitu modulus. Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis

perkerasan, estimasi kekuatan relatif dikelompokkan kedalam 5 kategori yaitu

beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi granular (granular base), lapis

Page 36: Bab II. Landasan Teori

36

pondasi bawah granular (granular sub base), cement treated base, dan asphalt

treated base.

Untuk lapis permukaan aspal beton, perkiraan koefisien kekuatan

relatifnya didasarkan atas besaran modulus elastisitasnya. Apabila Modulus

Elastisitas nya lebih besar dari 440,000 psi maka lapisan beraspal akan bertambah

kaku tetapi akan sangat rentan terhadap terjadinya retak lelah (fatigue cracks).

Untuk lapis pondasi granular, koefisien kekuatan relatif a2 dapat diperkirakan

dengan menggunakan persamaan di bawah :

a2 = 0.249 (log10 EBS) – 0.977 ........................................... (11)

a2 = koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular.

EBS = Modulus Elastisitas lapis pondasi granular.

Sedangkan untuk mendapatkan nilai koefisien relatif dari lapis pondasi

bawah granular diberikan dengan menggunakan persamaan di bawah :

a3 = 0.249 (log10 EBS) – 0.839............................... (12)

Sedangkan untuk koefisien relatif lapis pondasi bersemen dan lapis

pondasi beraspal mengggunakan grafik yang terdapat dalam tata cara perencanaan

lentur (Pt-T01-2002-B) yang memberikan hubungan antara koefisien relatif dan

parameter-parameter pengujian.

Page 37: Bab II. Landasan Teori

37

e. Lalu Lintas

1) Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan

Untuk mencari angka ekivalen beban gandar sumbu kendaraan roda

ganda dilakukan dengan menggunakan tabel yang terdapat dalam tata cara

perencanaan lentur (Pt-T01-2002-B). Sedangkan untuk roda tunggal

menggunakan persamaan di bawah :

Angka ekivalen roda tunggal : .... (13)

2) Reliabilitas

Reliabilitas dimaksudkan untuk mengakomodasi beberapa

ketidakpastian dalam melakukan perencanaan pada perkerasan lentur.

Tingkat reabilitas yang tinggi merujuk pada lalu lintas yang padat dan

begitu juga sebaliknya. Tabel 2.12 di bawah memberikan rekomendasi

tingkat reliabilitas yang digunakan untuk berbagai klasifikasi jalan.

TABEL 2.12 REKOMENDASI TINGKAT REABILITAS

Klasifikasi JalanRekomendasi Tingkat ReabilitasPerkotaan Antar Kota

Bebas Hambatan 85 -99.9 80 - 99.9Arteri 80 - 99 75 – 95

Kolektor 80 - 95 75 – 95Lokal 50 - 80 50 -80

3) Lalu Lintas Pada Lajur Rencana

Lalu lintas pada lajur rencana (W18) diberikan dalam nilai kumulatif

beban gandar standar seperti pada rumus berikut ini :

W18 = D0 x DL x W18 ..................................................(14)

Page 38: Bab II. Landasan Teori

38

DD = faktor distribusi arah

DL = faktor distrbusi lajur

W18 = beban gandar standar komulatif untuk dua arah

Sedangkan untuk kumulatif beban gandar standar selama umur

rencana diberikan pada persamaan berikut ini:

....................................................... (15)

Wt = kumulatif beban gandar standar

W18 = beban ganda standar

n = umur pelayanan

g = perkembangan lalu lintas

4) Koefisien Drainase

Dalam perencanaan ini diperkenalkan konsep koefisien drainase untuk

mengakomodasi kualitas sistem drainase yang dimiliki perkerasan jalan.

Tabel 2.13 di bawah memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas

drainase.

Tabel 2.13 Koefisien Drainase

Kualitas Drainase Air Hilang DalamBaik Sekali 2 Jam

Baik 1 HariSedang 1 MingguJelek 1 Bulan

Jelek Sekali Air tidak mengalir

Page 39: Bab II. Landasan Teori

39

Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam

perencanaan dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang

dimodifikasi. Faktor untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini

adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks

Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif

(a) dan ketebalan (D). Di bawah memperlihatkan nilai koefisien drainase

(m) yang merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu selama

setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar air yang

mendekati jenuh.

TABEL. 2.14 KUALITAS DRAINASE

Kualitas Drainase

Persen waktu struktur perkerasan dipengaruhioleh kadar air yang mendekati jenuh

< 1% 1% - 5% 5% - 25% > 25%Baik sekali 1.40 - 1.30 1.35 - 1.25 1.30 - 1.20 1.20

Baik 1.35 - 1.25 1.25 - 1.15 1.15 - 1.00 1.00Sedang 1.25 - 1.15 1.15 - 1.05 1.00 - 0.80 0.80Jelek 1.15 - 1.05 1.05 - 0.80 0.80 - 0.60 0.60

Jelek sekali 1.05 - 0.95 0.80 - 0.75 0.60 - 0.40 0.40

5) Indeks Permukaan

Kondisi permukaan jalan yang diharapkan pada saat jalan dibuka

dinyatakan sebagai Indeks Permukaan Awal (IPo). Indeks ini tergantung

pada jenis perkerasan yang digunakan sebagai lapis permukaan jalan.

Dalam menentukan Indeks Permukaan pada Awal umur rencana (IPo)

perlu diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan dan kondisinya seperti

diberikan pada Tabel 2.15 berikut :

Tabel 2.15 Indeks Permukaan

Page 40: Bab II. Landasan Teori

40

Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (m/km)

Laston≥ 4 ≤ 1

3.9 – 3.5 > 1

Lasbutag 33.9 – 3.5 ≤ 23.4 – 3.0 > 2

Lapen Makadam3.4 – 3.0 ≤ 32.9 – 2.5 >3

Indeks permukaan ini menyatakan nilai kenyamanan dan kekuatan

perkerasan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas

yang lewat. Sedangkan Indeks Permukaan Akhir (IPt) adalah kondisi akhir

permukaan jalan setelah dilewati kendaraan selama umur rencananya.

Dalam menentukan indeks permukaan akhir (IPt) perlu dipertimbangkan

faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan seperti pada Tabel 2.16 di bawah:

Tabel 2.16 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi JalanLokal Kolektor Arteri Bebas Hambatan1.0 - 1.5 1.5 - 2.0 2.0 - 2.5 2.5

6) Perhitungan Tebal Perkerasan

Dalam penentuan tebal perkerasan, membutuhkan nomogram untuk

menentukan Struktural number rencana yang diperlukan. Nomogram

tersebut dapat dipergunakan apabila dipenuhi kondisi-kondisi berikut ini :

a) Perkiraan lalu-lintas masa datang (W18) adalah pada akhir umur

rencana,

b) Reliability (R).

c) Overall standard deviation (S0),

Page 41: Bab II. Landasan Teori

41

d) Modulus resilien efektif (effective resilient modulus) material tanah

dasar (MR),

e) Design serviceability loss (ΔPSI = IP0 – IPt).

f) Perhitungan perencanaan tebal perkerasan dalam pedoman ini

didasarkan pada kekuatan relatif masing-masing lapisan perkerasan,

dengan rumus sebagai berikut :

ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3 .................................................... (16)

a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan

D1, D2, D3 = Tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)

Jika kualitas drainase dipertimbangkan, maka persamaan di atas

dimodifikasi menjadi :

ITP = a1.D1 + a2 .D2. m2 + a3. D3. m3 m2 dan m3 = koefisien

drainase