bab ii. landasan teori

Upload: dinaparamita

Post on 22-Jul-2015

606 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 2.1.1

Kajian Teoritis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Salim et al. (2005) menyatakan bahwa definisi ketahanan pangan berubah

dari suatu periode ke periode berikutnya. Fenonema gagal panen global tahun 1972 dan memuncak pada krisis pangan global tahun 1974 telah menyadarkan masyarakat bahwa konsep swasembada pangan mutlak tidak menjamin ketahanan pangan suatu negara (Simatupang, 2007). Munculnya ketahanan pangan sebagai isu global telah mendorong Food and Agriculture Organization (FAO) untuk mengorganisir Konferensi Pangan Dunia tahun 1974 yang semakin

mempopulerkan ketahanan pangan sebagai kebijakan strategis setiap negara (Sage, 2002). Lebih lanjut, Rindayanti (2009) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai, kemampuan suatu negara untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup bagi penduduknya. Konsep ini merupakan turunan dari National Food Availability Paradigm (Paradigma Ketersediaan Pangan Nasional). Sesuai paradigma ini, strategi kebijakan pangan berubah menjadi swadaya pangan (self reliance), yaitu bagaimana meningkatkan kemampuan nasional sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan baik dari produksi domestik maupun impor. Pengamatan empiris menunjukkan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan pangan masih sering terjadi kasus kekurangan pangan rumah tangga dan individu, walaupun secara agregat di negara tersebut tersedia pangan dalam jumlah lebih

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

10

dari cukup. Hal ini menyebabkan pendekatan ketersediaan gagal dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Berkaitan dengan hal ini, pada pertengahan tahun 1980-an, ketahanan pangan beralih dari konsep ketersediaan pangan menjadi konsep akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Dalam buku The Poverty & Famines yang ditulis oleh Sen (1981), hal ini disebut sebagai Food Entitlement Paradigm (Paradigma Perolehan Pangan) (Maxwell et al., 2003; Boudreau et al., 2001). Paradigma ini ditopang tiga pokok pemikiran, yaitu: (1) indikator akhir ketahanan pangan adalah ketahanan pangan individu (individual food security), (2) ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan, tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu, dan (3) ketahanan pangan sebagai suatu sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi (kabupaten, lokal), rumah tangga, dan individu (Simatupang, 2007).

Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan Pangan Provinsi Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota Ketahanan Pangan Kecamatan Ketahanan Pangan Desa/Kelurahan Ketahanan Pangan Rumah TanggaKetahanan Pangan Individu Syarat keharusan Syarat keharusan dan kecukupan

Gambar 2.1 Sistem Hierarki dan Sifat Hubungan antar Agregasi Unit Pengukuran Ketahanan Pangan

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

11

Sehubungan dengan adanya perkembangan paradigma ketahanan pangan, Dewan Ketahanan Pangan (2001) menyatakan perubahan paradigma

pembangunan tercermin dari dirumuskannya paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Dalam penerapannya, perubahan paradigma pemantapan ketahanan pangan tersebut menggunakan beberapa pendekatan seperti tercermin dalam tabel 2.1. Tabel 2.1 Perubahan Paradigma Pemantapan Ketahanan PanganPendekatan Paradigma Lama Pemantapan ketahanan pangan pada tatanan makro/agregat Pola sentralistik Paradigma Baru Pemantapan ketahanan pangan rumah tangga

1. Pendekatan pengembangan

2. Pendekatan manajemen pembangunan 3. Pendekatan utama pembangunan 4. Fokus pengembangan komoditas pangan 5. Upaya mewujudkan keterjangkauan rumah tangga atas pangan

Pola desentralistis

Dominasi pemerintah

Dominasi peran masyarakat Pengembangan komoditas pangan secara keseluruhan

Bertumpu pada beras

Pengadaan pangan murah

Peningkatan daya beli

Sumber: Dewan Ketahanan Pangan (2001)

Sesuai paradigma perolehan pangan, definisi ketahanan pangan pun berubah secara kontemporer. Definisi yang diterima secara luas saat ini adalah secure access by all people at all times to adequate, safe, and nutritious foods which meets dietary and preferences for an active and a healthy life (FAO, 1998; Maxwell, 1996; Von Braun et al., 1993). Studi pustaka yang dilakukan International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyatakan sedikitnya terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan pangan (Weingartner,

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

12

2000). Berikut disajikan beberapa definisi ketahanan pangan yang sering dijadikan acuan dalam berbagai penelitian: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan: kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. 2. United States Agency for International Development/USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan produktif. 3. Food and Agriculture Organization/FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. 4. Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping

Systems/FIVIMS (2005): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan sehat. 5. Hasil Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Departemen Pertanian (1996): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga dalam jumlah, mutu, dan ragam sesuai dengan budaya setempat dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat.

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

13

Berdasarkan definisi tersebut, ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi (Simatupang, 2007): 1. Berorientasi pada rumah tangga dan individu. 2. Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses. 3. Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, sosial, dan ekonomi. 4. Berorientasi pada pemenuhan gizi. 5. Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) tahun 1992 menjelaskan bahwa ketahanan pangan rumah tangga (household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995 dengan menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture). Menurut Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam dan memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Berdasarkan perkembangan paradigma ketahanan pangan dan berbagai definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, ketahanan pangan rumah tangga pada hakekatnya merupakan situasi dimana rumah tangga mempunyai akses secara fisik, sosial, dan ekonomi untuk memenuhi ketersediaan pangan dalam mencukupi konsumsi bagi setiap anggota rumah tangganya.

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

14

2.1.2

Kerawanan Pangan Rumah Tangga Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2007), kerawanan pangan adalah

suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat, atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan. Smith et al. (1990) menjelaskan kerawanan pangan merupakan kondisi kurangnya kecukupan pangan untuk aktif dan hidup sehat atau ketakutan tidak akan cukup untuk makan. Kerawanan pangan juga didefinisikan sebagai ketidakcukupan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan, serta ketidakteraturan dari waktu ke waktu, dapat mengarah pada kontraksi dan ketidakefektifan terhadap institusi yang mungkin memacu secara positif peningkatan produksi dan distribusi pangan (Bryceson, 1990). Robinson (1999) menyatakan bahwa kondisi rawan pangan (food insecurity) secara sederhana berarti kondisi pangan yang tidak terpenuhi untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. Dalam kondisi nyata di masyarakat tercermin dari ketersediaan dan konsumsi pangan yang tidak memadai, harga-harga pangan yang tidak terjangkau, gizi kurang, dan pada tingkat yang parah berupa kelaparan dan kematian. Kondisi kerawanan pangan dapat disebabkan karena tidak adanya akses secara fisik dan ekonomi bagi individu atau rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan produktif individu atau rumah tangga, tidak terpenuhi pangan secara cukup dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan, serta keterjangkauan harganya. Menurut Food Insecurity and Vulnerability Information and Mapping System/FIVIMS (2000), kerawanan pangan disebabkan karena tidak tersedianya pangan, ketidakcukupan daya beli, distribusi yang tidak tepat, atau pemanfaatan pangan yang tidak memadai di

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

15

tingkat rumah tangga. Radimer et al., (1992) mengidentifikasi rumah tangga rawan pangan mempunyai empat dimensi, yaitu: 1. Kuantitatif (tidak cukup pangan) 2. Kualitatif (kepercayaan pada makanan murah yang tidak bergizi) 3. Psikologis (kegelisahan tentang ketersediaan pangan atau stress yang berkaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari) 4. Sosial (memperoleh makanan melalui cara sosial seperti bantuan, membeli makanan secara kredit, dan dalam beberapa kasus seperti mencuri) WFP (2009) membedakan kerawanan pangan menjadi dua jenis, yaitu kerawanan pangan kronis (chronical food insecurity) dan kerawanan pangan mendadak (transient food insecurity). Kerawanan pangan kronis yaitu

ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri, dimana kondisi ini berakar pada kemiskinan. Kerawanan pangan mendadak yaitu penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara temporer. Hal ini disebabkan adanya bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang, dan keadaan lain yang bersifat mendadak, sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga pangan, produksi, maupun tingkat pendapatan (Baliwati, 2004). Berdasarkan berbagai definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kerawanan pangan rumah tangga pada hakekatnya merupakan situasi dimana rumah tangga tidak mempunyai akses secara fisik, sosial, dan ekonomi untuk memenuhi ketersediaan pangan sehingga mengakibatkan rendahnya tingkat konsumsi dan status gizi anggota rumah tangga.

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

16

2.1.3

Komponen Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut WFP (2009) dan Chung et al. (1997), ketahanan pangan ditopang

oleh tiga pilar, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Sedangkan, PPK-LIPI menjelaskan 4 komponen ketahanan pangan rumah tangga, yaitu (1) kecukupan ketersediaan pangan, (2) stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, (3) aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan, dan (4) kualitas/ keamanan pangan. Maxwell dan Frankenberger (1992) menggunakan indikator proses yang mencakup ketersediaan dan akses pangan, serta indikator dampak yang mencakup penyerapan dan stabilitas pangan. Berdasarkan berbagai komponen yang dipaparkan di atas, maka komponen ketahanan pangan rumah tangga pada hakekatnya yaitu kecukupan ketersediaan pangan (K-1), kestabilan ketersediaan pangan (K-2), keterjangkauan terhadap ketersediaan pangan (K-3), dan kualitas pangan (K-4).

Kecukupan Ketersediaan Pangan (K-1) Dewan Ketahanan Pangan (DKP) menyatakan bahwa konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau ketahanan pangan dari aspek masukan, yaitu produksi dan penyediaan pangan. Penyediaan pangan mengacu pada ketersediaan bahan pangan secara fisik dalam jumlah yang cukup dan mungkin dijangkau oleh semua penduduk (Simatupang, 1999). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menjelaskan terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

17

turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia. Buckle et al., (1985) mendefinisikan kecukupan pangan sebagai kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori yang sebagian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak, sumber protein, vitamin, dan mineral. Menurut FAO (2006), food availability merupakan ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara, baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan, maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat (FIA, 2005). Lebih lanjut, Djogo (dalam Rakhman, 2007) menyatakan bahwa daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Pengukuran ketersediaan pangan dalam rumah tangga mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jarak waktu ketersediaan makanan pokok di pedesaan dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suhardjo, 1985). Hal ini hanya berlaku pada rumah tangga pertanian, sehingga memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian. Perbedaan jenis makanan pokok yang dikonsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti contoh berikut (LIPI, 2008): 1. Di daerah dengan penduduk yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, digunakan cut of point 240 hari. 2. Di daerah dengan penduduk yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, digunakan cut of point 365 hari.

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

18

WFP (2009) menggunakan ukuran kecukupan pangan yaitu rasio konsumsi normatif per kapita terhadap produksi pangan yang menunjukkan apakah suatu wilayah mengalami surplus produksi serealia dan umbi-umbian. Rata-rata produksi bersih padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar pada tingkat kabupaten dihitung menggunakan faktor konversi standar, dimana rata-rata produksi bersih ubi kayu dan ubi jalar dibagi dengan tiga. Ketersediaan bersih serealia per kapita per hari dihitung dengan membagi total ketersediaan dengan jumlah populasinya, dimana secara nasional diperoleh angka 300 gram per orang per hari. Rasio konsumsi normatif per kapita yang lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan jika rasio lebih kecil dari 1 menunjukkan surplus pangan. FAO (dalam Martianto dan Ariani, 2001) menggunakan indikator ketersediaan pangan, yaitu rata-rata ketersediaan energi untuk dikonsumsi per kapita dan peranan padi-padian serta umbi-umbian terhadap produk total energi yang tersedia untuk dikonsumsi. Pribadi (dalam Ariani, 2001) juga menyusun tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari produksi sendiri sebagai salah satu dari empat elemen untuk mencapai ketahanan pangan. Berdasarkan berbagai definisi yang dipaparkan sebelumnya, maka kecukupan ketersediaan pangan pada hakekatnya merupakan jumlah pangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam suatu rumah tangga, yang diperoleh dari diperoleh melalui produksi sendiri, pembelian, ataupun pemberian.

Kestabilan Ketersediaan Pangan (K-2) FAO (2008) menyatakan bahwa stabilitas pangan merupakan dimensi waktu dari ketahanan pangan. Apabila konsumsi makanan cukup untuk hari ini, seseorang tetap dianggap rawan pangan apabila tidak memiliki akses pangan yang Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS 19

cukup dalam jangka waktu tertentu dan membahayakan status nutrisi. Ketersediaan pangan mengisyaratkan adanya rata-rata pasokan pangan yang cukup tersedia setiap saat. Stabilitas pangan didefinisikan sebagai kemampuan meminimalkan kesenjangan ketersediaan pangan terhadap permintaan konsumsi pangan, khususnya pada tahun atau musim sulit (DKP, 2008). Koc et al. (dalam Cook, 2006) menyatakan sebuah sistem pangan yang berkelanjutan harus membantu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. UndangUndang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menjelaskan terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata diartikan bahwa pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. Soemarmo (2003) menyatakan stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam waktu satu hari. Satu rumah tangga dikatakan memiliki ketersediaan pangan yang stabil jika mempunyai persediaan pangan dalam waktu lebih dari masa cut of point (misalnya 240 hari atau 365 hari) dan anggota rumah tangga dapat makan tiga kali sehari sesuai dengan pola kebiasaan makan setempat. Pribadi (dalam Ariani, 2001) juga menjelaskan bahwa stabilitas ketersediaan pangan harus sepanjang tahun, tanpa pengaruh musim. Frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga, salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Penelitian yang dilakukan PPK-

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

20

LIPI di beberapa daerah di Jawa Barat juga menemukan bahwa mengurangi frekuensi makan merupakan salah satu strategi rumah tangga untuk

memperpanjang ketahanan pangan mereka (Raharto, 1999 dan Romdiati, 1999). Berdasarkan berbagai definisi yang dipaparkan sebelumnya, maka kestabilan ketersediaan pangan pada hakekatnya merupakan ketersediaan pangan yang bebas dari resiko kekurangan sepanjang tahun. Dimana dalam hal ini, kestabilan ketersediaan pangan tidak dipengaruhi oleh musim tertentu.

Keterjangkauan terhadap Ketersediaan Pangan (K-3) DKP (2007) menjelaskan subsistem distribusi memegang peranan yang sangat strategis dalam rangka pemerataan pangan yang dapat diakses sampai tingkat rumah tangga. Akses atau keterjangkauan terhadap pangan merupakan salah satu unsur dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga (FAO, 1996). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menjelaskan terpenuhinya pangan dengan kondisi yang terjangkau diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan menjelaskan terjangkau adalah keadaan di mana rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses pangan sesuai dengan kebutuhan, untuk hidup yang sehat dan produktif. Maxwell et al. (2003) mendefinisikan akses atas pangan sebagai hak (entitlement) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). Akses pangan (food access) yaitu kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizi yang dapat diperoleh dari produksi sendiri, pembelian, dan bantuan pangan (USAID, 1999). Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS 21

BKP (2009) menjelaskan akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya. Aswatini et al. (2004) menjelaskan aksesibilitas terhadap pangan dapat dilihat dari beberapa hal berikut: 1. Cara rumah tangga untuk mendapatkan makanan pokok yang terbagi dalam kategori membeli, memproduksi sendiri, dan meminjam. 2. Tempat mendapatkan makanan pokok yang secara garis besar terbagi dalam dua kategori, yaitu di dalam dan di luar desa. Weingartner (2004) dan Hariyadi (2011) menjelaskan akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik, dan sosial. Akses ekonomi menyangkut pendapatan dan harga pangan, kesempatan kerja dan harga; akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi); sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. WFP (2009) menggunakan persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, persentase keluarga yang tidak dapat mengakses listrik, dan persentase infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat sebagai indikator akses terhadap pangan (food access). Sedangkan Andersen dan Lorch (1997) menyatakan akses pangan tingkat rumah tangga ditentukan oleh indikator pendapatan. Bila pendapatan rumah tangga cukup, maka tahap berikutnya bergantung pada ketersediaan pangan secara lokal atau wilayah yang ditentukan oleh operasi pasar, infrastruktur pemasaran dan informasinya. Beberapa penelitian kualitatif pada rumah tangga yang berpendapatan rendah di Amerika Serikat menunjukkan indikator kerawanan pangan rumah

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

22

tangga pada akses pangan, yaitu (Radimer et al., 1992; Wehler et al., 1992; dan Hamilton, 1997): 1. Perasaan ketidakpastian atau kecemasan atas makanan (situasi, sumber daya, atau pasokan). 2. Persepsi kuantitas makanan tidak cukup (untuk dewasa dan anak-anak). 3. Persepsi kualitas makanan tidak cukup (mencakup aspek keragaman makanan, kecukupan gizi, dan preferensi). 4. Laporan pengurangan asupan makanan (untuk dewasa dan anak-anak). 5. Laporan akibat kurangnya asupan makanan (untuk dewasa dan anak-anak). 6. Perasaan malu karena tidak dapat diterima secara sosial untuk mendapatkan sumber makanan. Berdasarkan berbagai definisi yang dipaparkan sebelumnya, maka keterjangkauan terhadap ketersediaan pangan pada hakekatnya merupakan kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan dan terdiri dari akses ekonomi, fisik, dan sosial. Kualitas Pangan (K-4) FAO (1996) menjelaskan kualitas pangan yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air, dan kesehatan lingkungan. Pangan yang berkualitas adalah pangan yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan bagi kehidupan yang aktif dan sehat serta memenuhi kebutuhan makanan bagi tiap individu. Ditinjau dari jenisnya, pangan yang berkualitas yaitu pangan yang aman dilihat dari segi pemenuhan nutrisi dan preferensi pangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS 23

menjelaskan terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama. FAO (2008) menyatakan pemanfaatan pangan pada umumnya dipahami sebagai cara tubuh menyerap berbagai nutrisi yang ada di dalam pangan. Energi dan asupan nutrisi yang cukup oleh individu adalah hasil dari perawatan yang baik dari hasil menyusui, persiapan makanan, keragaman makanan, dan distribusi pangan intra rumah tangga. Jika dikombinasikan dengan penggunaan biologis yang baik dari makanan yang dikonsumsi, maka hal ini menentukan status gizi individu. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 merumuskan bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia pada tingkat konsumsi sebesar 2.000 kkal per kapita per hari dan Angka Kecukupan Protein (AKP) sebesar 52 gram per kapita per hari. Sumarwan dan Sukandar (dalam Rakhman, 2007) mengukur ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dan proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan. Jika konsumsi energi dan proteinnya lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan pangan. Efektifitas konsumsi energi dan protein tergantung pada tingkat pengetahuan rumah tangga atau individu, sanitasi dan ketersediaan air bersih, fasilitas dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita (Riely et al., 1999). WFP (2009) menggunakan indikator penyerapan pangan (food utilization), yaitu angka kematian bayi waktu lahir, umur harapan hidup anak usia satu tahun, persentase anak yang kurang gizi, persentase penduduk yang dapat

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

24

mengakses air bersih, persentase penduduk yang tinggal lebih dari 5 kilometer dari puskesmas, dan persentase wanita yang buta huruf. Hardiansyah (dalam Rakhman, 2007) juga menjelaskan pengukuran ketahanan pangan berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi, sekaligus melepaskan ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras (Amang dan Sawit, 1999). Metode penghitungannya berdasarkan perhitungan jumlah pangan yang dikonsumsi dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan empat sehat lima sempurna (makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan susu) dan dihitung kuantitasnya menggunakan unit konsumen agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan. Berdasarkan berbagai definisi yang dipaparkan sebelumnya, maka kualitas pangan pada hakekatnya merupakan jumlah pangan yang aman dan cukup dari sisi kebutuhan nutrisi yang dalam hal ini adalah kalori dan protein bagi setiap individu atau anggota rumah tangga. 2.1.4 Pemetaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Agar penanganan masalah kerawanan pangan di daerah dapat lebih terfokus, maka diperlukan adanya pemetaan sebagai alat pemantauan dan analisis ketahanan pangan, dalam memberi informasi bagi pengambil kebijakan daerah agar mampu menyusun perencanaan yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efisien. Rachman et al. (2008) menjelaskan bahwa pentingnya dilakukan pemetaan ketahanan pangan berdasarkan derajat ketahanan pangan rumah tangga sampai tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Food Security and Vulnerability

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

25

Atlas (FSVA) Indonesia menurut kabupaten/kota merupakan peta tematik yang menunjukan adanya kerawanan pangan di suatu daerah yang diindikasikan oleh sembilan indikator dan dikelompokkan ke dalam tiga dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap kerawanan pangan yang bersifat kronis (chronical food insecurity) yang memerlukan penanganan jangka panjang. Peta kerawanan pangan komposit merupakan gabungan dari ketiga dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan. Dalam perhitungan untuk pemetaannya digunakan indeks dari ketiga dimensi ketahanan pangan tersebut. Adapun range indeks dan kategori dari ketahanan pangan komposit adalah sebagai berikut (WFP, 2010): Tabel 2.2 Range Indeks dan Kategori Ketahanan Pangan KompositRange Indeks I > 0,8 0,64 I < 0,8 0,48 I < 0,64 0,32 I < 0,48 0,16 I < 0,32 I < 0,16 Kategori sangat rawan pangan (prioritas 1) rawan pangan (prioritas 2) agak rawan pangan (prioritas 3) cukup tahan pangan (prioritas 4) tahan pangan (prioritas 5) sangat tahan pangan (prioritas 6)

Sumber: Dewan Ketahanan Pangan (2001)

Dalam penyajian peta kerawanan digunakan pola warna yang seragam dengan tiga gradasi warna merah dan tiga gradasi warna hijau. Gradasi warna merah pada peta menunjukan tingkat kerawanan pangan suatu kabupaten, dimana warna merah tua untuk sangat rawan pangan (prioritas 1), merah untuk rawan pangan (prioritas 2), dan merah muda untuk agak rawan pangan (prioritas 3). Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS 26

Sedangkan, gradasi hijau menunjukan tingkat ketahanan pangan, dimana hijau tua untuk sangat tahan pangan (prioritas 6), hijau untuk tahan pangan (prioritas 5), dan hijau muda untuk cukup tahan pangan (prioritas 4). Beberapa pemetaan ketahanan pangan rumah tangga yang lain menunjukkan sedikit perbedaan. WFP Bangladesh (1997) juga menyusun peta kerawanan pangan dengan menggunakan tujuh indikator dan empat kategori relatif kerawanan pangan, yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Peta tersebut dapat memberikan indikasi untuk menemukan tingkat kemiskinan yang tinggi dan tentunya sebagai target program pembangunan. USAID (2009) juga telah menyusun peta zona mata pencaharian untuk analisis ketahanan pangan. Fungsi utamanya adalah menyediakan disagregasi geografis untuk monitoring ketahanan pangan, analisis, dan pendukung keputusan. Selain itu, peta tersebut juga dapat mengindikasikan kondisi bahaya melalui zona rawan, bagaimana pangan serta pendapatan diakses dan apakah keduanya bergantung pada pasar. Hal ini juga terkait dengan produksi dan harga eceran yang relevan dengan mata pencaharian dan ketahanan pangan di zona tersebut.

2.2

Penelitian Terkait Beberapa penelitian terkait ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten

Gunungkidul dan daerah lainnya adalah sebagai berikut: 1. Penelitian Nurhadi (2008) tentang Pola Pangan Harapan (PPH) di Kabupaten Gunungkidul menyimpulkan bahwa secara umum pola konsumsi pangan berdasarkan kecukupan energi dan proteinnya berada di atas standar yang ditetapkan. Namun, pola konsumsi pangan karbohidrat masih bertumpu pada

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

27

beras, sedangkan untuk kelompok umbi-umbian, pangan hewani, sayuran, dan buah-buahan masih jauh dari skor harapan. 2. Penelitian Suyastiri (2008) tentang diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal di Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola diversifikasi konsumsi pangan di rumah tangga perdesaan adalah pendapatan rumah tangga, harga pangan, dan jumlah anggota keluarga. 3. Penelitian Ariani dan Rachman (2003) tentang analisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga menyimpulkan bahwa karakteristik rumah tangga rawan pangan dicirikan oleh tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri yang lebih rendah, jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak, sumber mata pencaharian utama dari sektor pertanian, tingkat konsumsi energi dan protein serta beberapa jenis pangan sumber karbohidrat dan protein yang lebih rendah. 4. Penelitian Nurlatifah (2011) tentang determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur memberikan kesimpulan bahwa delapan faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga secara signifikan adalah rata-rata lama sekolah, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, daerah tempat tinggal rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan per kapita, lapangan usaha kepala rumah tangga, dan penerimaan raskin. 5. Penelitian Aini (2010) tentang ketahanan pangan rumah tangga keluarga miskin di Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo menyimpulkan bahwa faktor daya beli pangan terbukti berhubungan dengan ketahanan pangan.

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

28

6. Penelitian Rachman et al. (2003) menyarankan implikasi kebijakan tentang pentingnya dilakukan identifikasi dan pemetaan wilayah berdasar derajat ketahanan pangan sampai tingkat kabupaten, kecamatan dan desa karena esensial untuk menetapkan prioritas dan fokus sasaran intervensi kebijakan pangan dan gizi dalam upaya pemantapan ketahanan pangan rumah tangga. 7. Penelitian Halik (2007) tentang tingkat ketahanan pangan pada masyarakat perdesaan di Kabupaten Bone menunjukkan faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan secara signifikan adalah luas lahan, pendapatan perkapita, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. 8. Penelitian Sila dan Pellokila (2001) tentang indikator sosial-ekonomi yang mempengaruhi ketahanan pangan di Tarlac, Filipina menyimpulkan bahwa produksi dan keanekaragaman pangan mempunyai dampak negatif pada ketahanan pangan, sedangkan pengeluaran untuk pangan dan jumlah anggota keluarga mempunyai dampak positifpada ketahanan pangan. 9. Penelitian Bahiigwa (1999) tentang ketahanan pangan rumah tangga di Uganda menetapkan bahwa ketahanan pangan bervariasi dari satu musim ke musim berikutnya tergantung pada pola cuaca.

2.3

Kerangka Pikir Dalam penelitian ini, ketahanan pangan rumah tangga disusun dan oleh

empat komponen (4K), yaitu kecukupan ketersediaan pangan (K-1), kestabilan ketersediaan pangan (K-2), keterjangkauan terhadap ketersediaan pangan (K-3), dan kualitas pangan (K-4). Masing-masing komponen diturunkan menjadi

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

29

beberapa indikator ketahanan pangan rumah tangga. Selain itu, masing-masing komponen dianalisis dan mempunyai kategori tersendiri. Kecukupan ketersediaan pangan (K-1) menjelaskan jumlah pangan yang tersedia dalam rumah tangga. Pangan dalam hal ini adalah kelompok bahan makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah-buahan. Kategori pada komponen ini adalah sangat cukup, cukup, dan tidak cukup. Ketersediaan pangan yang cukup adalah ketika rumah tangga menyediakan bahan makanan pokok, lauk-pauk, dan sayuran serta buah-buahan dalam jumlah yang relatif cukup. Kestabilan ketersediaan pangan (K-2) menjelaskan ketersediaan pangan yang bebas dari resiko kekurangan dalam satu tahun. Kestabilan ketersediaan pangan dikategorikan menjadi stabil, cukup stabil, dan kurang stabil. Ketersediaan pangan yang kurang stabil adalah ketika frekuensi makan kurang dari tiga kali per hari atau terjadi peralihan pangan dari pangan pokok ke pangan alternatif atau terjadi pengurangan porsi makan yang diakibatkan oleh kurangnya ketersediaan pangan rumah tangga dalam periode satu tahun. Keterjangkauan terhadap ketersediaan pangan (K-3) menjelaskan

kemudahan rumah tangga dalam berbagai cara untuk memperoleh pangan. Komponen ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu terjangkau, cukup terjangkau, dan kurang terjangkau. Dikatakan terjangkau adalah ketika rumah tangga mempunyai akses fisik, sosial, dan ekonomi untuk memenuhi ketersediaan dan konsumsi pangan bagi setiap anggota rumah tangganya. Kualitas pangan (K-4) menjelaskan jumlah pangan yang aman dan cukup dari sisi kebutuhan nutrisi untuk dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga. Komponen ini dikategorikan menjadi kualitas baik, cukup, dan rendah. Dikatakan

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

30

berkualitas baik adalah konsumsi pangan yang memenuhi kebutuhan kalori dan protein minimal bagi setiap anggota rumah tangga serta mencapai skor diversifikasi pangan melalui pola pangan harapan (PPH). Hasil analisis komponen ketahanan pangan rumah tangga selanjutnya digunakan untuk membentuk tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Berkaitan dengan identifikasinya, tingkat ketahanan pangan rumah tangga dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu sangat rawan pangan, rawan pangan, cukup tahan pangan, tahan pangan, dan sangat tahan pangan. Ketika tingkat ketahanan pangan setiap rumah tangga telah diidentifikasi, maka dapat dibuat pemetaan yang menggambarkan persebaran rumah tangga menurut tingkat ketahanan pangannya.

Kondisi Pangan Rumah Tangga

(K-1) Kecukupan Ketersediaan Pangan

(K-2) Kestabilan Ketersediaan Pangan

(K-3) Keterjangkauan terhadap Ketersediaan Pangan

(K-4) Kualitas Pangan

Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga (Identifikasi)

Pemetaan Persebaran Rumah Tangga Menurut Tingkat Ketahanan Pangan

Gambar 2.2

Kerangka Pikir

Praktik Kerja Lapangan Angkatan 51 STIS

31