bab ii landasan teori 2.1 patriarkhi -...

26
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Patriarkhi Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani, pater yang artinya bapak dan arche yang artinya kekuasaan. Ebert mendefinisikan patriarkhi sebagai organisasi dan divisi dari semua praktek dalam pengertian dalam hal gender yang mengistimewakan salah satu jenis kelamin atas yang lain dengan kontrol laki-laki atas perempuan dalam hal seksualitas, kesuburan dan tenaga kerja. 1 Lebih jauh mengenai patriarkhi akan dibahas dalam pandangan antropologi, sosiologi dan teologis. Teologis dibatasi dari dalam Alkitab. 2.1.1. Patriarkhi dari Sudut Pandang Antropologi dan Sosiologi Kehidupan sosial suatu masyarakat yang menarik tidak dapat diabaikan begitu saja sehingga kehidupan itu diamati dan dijelaskan dalam ilmu antropologi dan sosiologi. Sikap yang umum mengenai hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dapat dijelaskan oleh ilmu sosiologi yang fokusnya pada manusia dalam hubungan bermasyarakat. Status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial dijelaskan oleh ilmu antropologi yang fokusnya pada manusia yang hidup dalam suatu suku bangsa atau kebudayaan. Dalam kehidupan sosial manusia terbagi dalam kelas-kelas yang menjelaskan keberadaan dan status seseorang dalam kehidupan masyarakat. Kelas-kelas bukan hanya terbagi dalam kelas tertinggi dengan bangsawan/pemilik modal hingga kelas terendah 1 Elisabeth Scüssler Fiorenza, But She Said, Massachusetts: Beacon Press Boston, 1992, 110

Upload: hoangcong

Post on 06-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Patriarkhi

Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani, pater yang artinya bapak dan arche yang

artinya kekuasaan. Ebert mendefinisikan patriarkhi sebagai organisasi dan divisi dari

semua praktek dalam pengertian dalam hal gender yang mengistimewakan salah satu

jenis kelamin atas yang lain dengan kontrol laki-laki atas perempuan dalam hal

seksualitas, kesuburan dan tenaga kerja.1 Lebih jauh mengenai patriarkhi akan dibahas

dalam pandangan antropologi, sosiologi dan teologis. Teologis dibatasi dari dalam

Alkitab.

2.1.1. Patriarkhi dari Sudut Pandang Antropologi dan Sosiologi

Kehidupan sosial suatu masyarakat yang menarik tidak dapat diabaikan begitu

saja sehingga kehidupan itu diamati dan dijelaskan dalam ilmu antropologi dan sosiologi.

Sikap yang umum mengenai hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat dapat dijelaskan oleh ilmu sosiologi yang fokusnya pada manusia dalam

hubungan bermasyarakat. Status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial

dijelaskan oleh ilmu antropologi yang fokusnya pada manusia yang hidup dalam suatu

suku bangsa atau kebudayaan.

Dalam kehidupan sosial manusia terbagi dalam kelas-kelas yang menjelaskan

keberadaan dan status seseorang dalam kehidupan masyarakat. Kelas-kelas bukan hanya

terbagi dalam kelas tertinggi dengan bangsawan/pemilik modal hingga kelas terendah

1 Elisabeth Scüssler Fiorenza, But She Said, Massachusetts: Beacon Press Boston, 1992, 110

dengan para hamba/buruh yang lazim terjadi. Pembagian kelas-kelas ada yang

berdasarkan usia dalam suatu kelompok masyarakat yang disebut masyarakat suku tipe

tak bernegara.2 Meskipun demikian, kelas-kelas yang dimaksudkan dalam pembagian itu

hanya ditujukan untuk mengelompokkan satu jenis kelamin yakni laki-laki.3

Pembagian berdasarkan usia dapat dilihat dari suku-suku aborigin di Australia.

Laki-laki berpindah dari satu tingkat usia ke tingkat lainnya selagi mereka bertumbuh.

Mereka bertransisi dari anak menjadi pemuda, dari pemuda belum menikah menjadi

dewasa menikah dan akhirnya memasuki tua-tua. Tingkat usia ini sedemikian pentingnya

sehingga secara sosial ditandai dengan ritual berurutan dan secara fisik pada tubuh laki-

laki dalam bentuk sayatan-sayatan pada dadanya. Semua ini sekali lagi dikhususkan

untuk laki-laki.4

Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kelompok masyarakat

sejak sejarah dicatat selalu didominasi laki-laki. Perempuan sepertinya dipisahkan dalam

sebuah status atau kelas sendiri. Posisi perempuan dianggap dalam masyarakat

tergantung pada status sosial ayah atau suaminya.5 Perempuan kurang terwakili secara

sosial dalam membuat keputusan dan diremehkan di tempat mereka berada, baik di

lingkup umum yang kenyataannya dikuasai laki-laki maupun rumah tangga yang

sebenarnya tempat perempuan lebih mendominasi.

2 Peter Worsley et. al (terj.Hartono Hadikusumo), Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding Jilid 2, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, 132-133

3 ibid, 135

4 ibid, 133

5 ibid, 136

Laki-laki masih memegang peran penting dalam kelompok masyarakat. Meskipun

ada hubungan sosial yang terjalin antara laki-laki dan perempuan, semata-mata karena

perempuan dibagikan sedikit kebebasan oleh laki-laki terdekatnya (ayah atau suami)

untuk berperan dalam masyarakat demi terciptanya hubungan sosial antara laki-laki dan

perempuan. Sampai kemudian hari, gerakan sosial yang dilakukan perempuan untuk

menuntut hubungan sosial yang lebih setara dengan laki-laki berkembang.

Tidak berbeda jauh dari sisi sosiologi, antropologi melihat kekuasaan laki-laki

mendominasi kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan sekarang. Budaya

patriarkhi banyak dianut suku-suku bangsa. Perempuan berada dalam kekuasaan laki-

laki. Masyarakat yang tunduk pada budaya patriarkhi menempatkan perempuan dalam

sektor domestik sedangkan sektor publik sepenuhnya adalah milik laki-laki. Perempuan

diberikan kuasa atas rumah tangga.

Budaya patriarkhi yang mengikat perempuan di sektor domestik menurut

antropologi dikenal sesudah suatu masa. Jauh sebelumnya, masa matriarkhal berkembang

di suku-suku bangsa. Budaya yang membuat perempuan memegang kendali dan

mengambil peran dalam dunia publik atau kemungkinan posisi yang setara antara laki-

laki dan perempuan, sebab meskipun garis keturunan ditelusuri melalui garis ibu

(perempuan), laki-laki yang masih memegang kunci dalam urusan-urusan publik.6

Contohnya, Suku Yao di Malawi meski matrilineal, tetap memberikan kepercayaan

kepada laki-laki tertua dalam garis keturunan untuk mengelola urusan-urusan kelompok

saudari-saudari. Atau peran penting yang dimainkan ibu dan saudar-saudari raja dalam

6 ibid, 137

kerajaan di Afrika dengan memegang jabatan-jabatan kunci untuk menjamin keamanan

raja. Pertimbangannya, sebagai perempuan, saudari-saudari raja tidak dapat

menggulingkan raja dalam suatu perebutan kekuasaan.7

Dari ilmu sosial, diketahui bahwa patriarkhi telah mengakar dalam kehidupan

sosial dan mendarah daging dalam keturunan umat manusia sehingga menguasai seluruh

kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam menjalani kehidupan sosial.

Baik dalam sosiologi maupun antropologi menunjukkan bahwa kekuasaan laki-laki lebih

diakui dibandingkan kekuasaan perempuan. Perempuan dipandang lemah dan patut

dilindungi keberadaannya oleh laki-laki sehingga pergerakan perempuan dibatasi.

2.1.2. Patriarkhi dari Sudut Pandang Teologis

Peran perempuan dalam masyarakat dipengaruhi oleh Alkitab. Bach dalam

tulisannya Man’s World, Women’s Place: Sexual Politics in the Hebrew Bible

(Introduction) menyatakan bahwa karakter dan sikap yang harus ditunjukkan oleh

perempuan serta status dalam masyarakat Israel terlukis di Alkitab Ibrani ditulis sebagai

sejarah oleh sang pemenang, kelompok dominan: laki-laki. Segala cerita mengenai

perempuan di dunia dibentuk untuk kepentingan laki-laki.8 Alkitab merupakan kitab yang

berisi Firman Tuhan dan wahyu Tuhan yang dibagi atas 39 kitab Perjanjian Lama, hasil

seleksi buku-buku kesustraan Israel Kuno dari Bangsa Israel yang mempunyai sejarah

lebih dari 1000 tahun dan 27 kitab Perjanjian Baru, hasil seleksi kesusastraan agama

Kristen pada abad-abad pertama adanya agama Kristen.9

7 ibid, 137

8Alice Bach (Ed.), Women in The Hebrew Bible: a reader, New York:Routledge, 1999, xiii 9 S.Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009, 17

Ord dan Coote menyatakan bahwa kita harus sadar budaya mempengaruhi

penulisan Alkitab dan citra yang dipakai dalam Alkitab dalam mengungkapkan kenyataan

adalah citra yang bermakna bagi umat di masa Alkitab, misalnya Allah digambarkan

sebagai laki-laki sebab dalam dunia patriarkhal, laki-laki selalu menjadi penguasa.10 Hal

ini dapat dimaklumi karena bangsa Israel sebagaimana sebagian besar bangsa di dunia ini

merupakan bangsa yang menganut budaya patriarkhi. Meskipun demikian, ada ayat-ayat

dalam Alkitab yang sering dilupakan orang dalam menafsirkan Firman Tuhan mengenai

kesetaraan manusia. Kisah penciptaan manusia dalam Kejadian 1:26–27 berbunyi,

“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Ayat tersebut memberikan pernyataan bahwa Allah menciptakan manusia menurut

gambarNya. Ditegaskan kemudian, manusia yang dimaksudkan ialah laki-laki dan

perempuan. Hal ini berarti sejak awal Allah menciptakan laki-laki dan perempuan secara

bersama, menurut gambar dan rupa Allah. Dengan demikian menegaskan bahwa

manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dalam waktu yang sama dan

masing-masing menurut gambar dan rupa Allah yang menunjukkan bahwa laki-laki dan

perempuan mempunyai kesamaan derajat dihadapan Allah sejak awal mula diciptakan.

10 David Robert Ord & Robert B.Coote. APAKAH ALKITAB BENAR? Memahami Kebenaran Alkitab Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, 38-39

Versi penciptaan yang lain dalam Kejadian 2:21-2311 juga menunjukkan bahwa

laki-laki dan perempuan memang diciptakan sepadan untuk saling menolong dalam

kehidupan mereka di sebuah taman di Eden. Barulah setelah peristiwa manusia jatuh

dalam dosa karena melanggar perintah Allah untuk memakan buah dari pohon yang ada

di tengah-tengah taman akibat godaan ular (Kejadian 3:1-5), laki-laki dan perempuan

diberikan hukuman berbeda oleh Allah yang kemudian dijadikan alasan untuk

membedakan pekerjaan perempuan dan laki-laki (Kejadian 3:16-19). Hukuman Allah ini

ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus dikerjakan dan dipatuhi. Dalam hukuman ini

dinyatakan bahwa perempuan lebih berperan di rumah sebagai seorang ibu yang akan

melahirkan dengan susah payah dan laki-laki akan berperan di luar rumah sebagai pencari

nafkah dengan susah payah pula. Tafsiran ini menunjukkan secara jelas perbedaan tugas

perempuan dan laki-laki dan membenarkan perilaku laki-laki yang berkuasa atas

perempuan sepanjang masa.

Kejadian 1:27 menunjukkan manusia sebagai gambaran Allah dan manusia sebagai

laki-laki dan perempuan namun penafsiran tradisional mengabaikan poin ini. Evans

mengutip Hanson melihat dominasi dari metafora patriarkhi sebagai produk komunitas

dengan struktur patriarkhal yang menilai ketidaksetaraan seksual dan kemudian merasa

bahwa menggunakan metafora ini struktur yang tidak dapat diterima.12 Contoh yang

paling jelas dan terbawa hingga kini karena pengaruh struktur patriarkhal yang lebih

11 Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." (TB-LAI)

12 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 22

menjunjung laki-laki terdapat dalam Mazmur 68:613 menyebutkan Allah yang disembah

disapa bapak.

Di sisi lain, meskipun struktur patriarkhal lebih banyak menunjukkan sisi maskulin,

Evans mengutip Martin Noth yang berkomentar mengenai Bilangan 11:12 (Akukah yang

mengandung seluruh bangsa ini atau akukah yang melahirkannya, ….”) yang mana Musa

menyatakan bahwa ia bukan ibu bangsa Israel. Noth mengatakan bahwa secara implisit

ini merupakan ide yang tak biasa bahwa Yahweh sendiri adalah ibu bangsa Israel dan

melihat ayat ini secara tidak langsung menghubungkan Yahweh dalam konsep feminin.14

Fakta ini tidak berarti membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam

hubungan dengan Allah melainkan mendukung hierarki dalam hubungan satu sama lain

antara laki-laki dan perempuan.15 Laki-laki dapat memandang perempuan sebagai partner

yang setara dalam setiap aspek kehidupan realitas sosial. Pandangan masyarakat bahwa

posisi laki-laki selalu berada di atas perempuan harus ditinjau ulang. Pandangan bahwa

pembagian tugas antara laki-laki dalam sektor publik dan perempuan dalam sektor

domestik perlu diperbaiki.

Manusia yakni laki-laki dan perempuan diciptakan Allah menurut gambar dan

rupaNya yang berarti bahwa laki-laki dan perempuan ini, masing-masing mewakili image

Allah yang sempurna karena itu laki-laki dan perempuan yang mewarisinya perlu

berpartner untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna. Dengan kata lain, apa yang

13 Mazmur 68:6 “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediaman-Nya yang kudus” (TB-LAI)

14 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 22

15 ibid, 22

terjadi dalam masyarakat perlu dibangun pemahaman bahwa perempuan mempunyai hak

yang sama dalam memperoleh peluang-peluang kerja yang diperoleh laki-laki. Jauh

sebelum Musa menyatakan pernyataannya itu, dalam Keluaran 15:2016 telah diakui

peranan perempuan dalam kehidupan kultus bangsa Israel. Miryam, saudara perempuan

Harun dan Musa disebut sebagai nabiah orang Israel. Musa sendiri diakui sebagai nabi

bagi bangsa Israel (Ulangan 34:10)17 dan saudara laki-lakinya Harun dipilih oleh Tuhan

menjadi imam (Keluaran 28:1)18 dikemudian hari dalam Mikha 6:419, lebih jelas

dikemukakan posisi Miryam yang setara dengan kedua saudara laki-lakinya.

Posisi Miryam yang diakui ini menjelaskan kepada kita bahwa pada masa Israel

Kuno, ketika mereka terbentuk menjadi suatu bangsa dan mempunyai pimpinan, laki-laki

dan perempuan diberikan peluang yang sama dan menjadi partner dalam melaksanakan

tugas-tugas publik. Tidak ada perbedaan mencolok yang menyatakan bahwa perempuan

identik dengan pekerjaan domestik dan laki-laki dengan pekerjaan publik. Pandangan

mengenai kerjasama antara laki-laki dan perempuan demi kelangsungan bangsa

sepertinya merupakan hal yang wajar terjadi saat itu. Miryam sebagai perempuan bekerja

sama dengan kedua saudaranya, Musa dan Harun dalam menyatakan kehendak Tuhan

untuk bangsa Israel dengan mengemban tugasnya sebagai seorang nabiah. Miryam diberi

16 Keluaran 15:20 “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari” (TB-LAI)

17 Ulangan 34:10 “Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel” (TB-LAI)

18 Keluaran 28:1 “Engkau harus menyuruh abangmu Harun bersama-sama dengan anak-anaknya datang kepadamu, dari tengah-tengah orang Israel, untuk memegang jabatan imam bagi-Ku — Harun dan anak-anak Harun, yakni Nadab, Abihu, Eleazar dan Itamar.” (TB-LAI) 19 Mikha 6:4 “Sebab Aku telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir dan telah membebaskan engkau dari rumah perbudakan dan telah mengutus Musa dan Harun dan Miryam sebagai penganjurmu” (TB-LAI)

kedudukan yang sejajar dengan saudara laki-lakinya. Pada masa ini kesetaraan antara

perempuan dan laki-laki tidak menjadi masalah karena perempuan dan laki-laki memiliki

kesempatan yang sama meskipun hanya sedikit perempuan yang terlibat dalam kehidupan

publik.

Selain Miryam, tercatat dalam kitab Perjanjian Lama pada saat bangsa Israel

berada di bawah sistem pemerintahan sebagai kerajaan disebut juga nama Hulda, seorang

nabiah yang hidup pada masa pemerintahan raja Yosia (II Raja-raja 22:14). Ia yang

ditemui ketika Yosia ingin meminta petunjuk dari Tuhan atas perkataan yang tertulis

dalam gulungan kitab Taurat yang ditemukan kembali di Bait Allah. Penting dicatat

sekali lagi bahwa perempuan pada masa itu dihargai jabatannya oleh seorang raja yang

berkuasa. Hulda yang seorang nabiah ditemui oleh rekannya seorang imam, imam Hilkia.

Tak cukup hanya seorang imam, panitera dan hamba raja Yehuda juga ikut pergi

meminta pendapat Hulda. Jelas suatu kepercayaan yang besar diberikan kepada

perempuan oleh laki-laki, meskipun sudah ada gulungan kitab yang bisa ditafsirkan

imam. Hulda sebagai perempuan dihargai perannya sebagai nabiah. Hulda dengan yang

bernubuat akan kejatuhan Yehuda dengan malapetaka yang akan menimpa kerajaan itu

dan penduduknya apabila mereka tetap berpaling dari Allah sehingga bangsa Israel

kembali menyembah Allah.

Bukti turut sertanya peran perempuan dalam perjalanan bangsa Israel menimbulkan

spekulasi bahwa budaya patriarkhi pada masa bangsa Israel hidup dalam Perjanjian Lama

tidak mendiskriminasikan perempuan begitu jauh dalam pandangan bahwa perempuan

tidak memiliki bakat dalam melaksanakan tugas publik dan lebih tepat dalam pekerjaan

domestik. Pengakuan ini lebih baik lagi jika kitab Perjanjian Baru ditelusuri dan melihat

peran serta perempuan di dalamnya. Pertama-tama dalam keempat Injil dan surat-surat

Paulus dalam Perjanjian Baru.

Kisah pelayanan Yesus jika ditelusuri juga tak lepas dari peran perempuan. Bahkan

sejak kehadirannya di dunia ini hingga kematian dan berita mengenai kebangkitannya,

peran serta perempuan sangat besar di dalamnya. Di samping ada Yusuf yang berperan

sebagai bapaknya, ada Maria sebagai ibunya yang melahirkan dan merawatnya.

Perempuan-perempuan yang melayani dan mengikutinya dalam pelayanannya seperti

Maria Magdalena, Yohana, Susana dan perempuan lainnya. Mereka ini membantu Yesus

dalam pelayanannya dengan menyerahkan hidup mereka dan juga harta milik mereka

demi pelayanan. Meskipun dalam kitab suci, peran mereka tidak begitu ditonjolkan

sehingga memberi kesan mereka hanya dianggap figuran dan tidak terhitung dalam

jumlah murid Yesus karena yang disebut dan dihitung sebagai murid Yesus hanyalah

duabelas murid laki-lakinya.

Meskipun demikian, hal ini tidak menghalangi perhatian Yesus kepada mereka

karena mereka perempuan. Perempuan-perempuan itupun disebut sebagai pengikut Yesus

dan diperbolehkan mengikuti dan membantu pelayanan.20 Ini menggambarkan bahwa

Yesus menghargai perempuan. Perempuan dipandang sebagai partner yang setara pada

masa pelayanannya di dunia. Yesus memberikan contoh yang baik kepada pengikutnya.

Laki-laki dapat bekerjasama dengan perempuan karena perempuan mampu melaksanakan

tugas yang sama yang dilakukan laki-laki. Tidak ada perbedaan dalam harkat dan

20 Mary J. Evans, Woman in The Bible, Illinois: Intervarsity Press Downers Grove, 1983, 49

martabat seseorang karena orang itu laki-laki atau perempuan. Semuanya mempunyai hak

untuk melakukan apa yang disukainya.

Kemudian pada masa Paulus, dalam surat-surat Paulus tercatat bahwa perempuan

tidak lagi menjadi partner yang mengimbangi laki-laki. Status perempuan turun drastis

dan dianggap kelompok masyarakat kelas rendah. Bukan karena ketidakmampuan

perempuan dalam menangani pekerjaan publik terutama dalam bidang keagamaan tetapi

karena lagi-lagi kebudayaan menjadi faktor utamanya. Budaya patriarkhi yang melekat

pada bangsa-bangsa yang menjadi tempat misi Paulus merupakan alasannya. Perempuan

dikekang kebebasannya berkarya dalam komunitas.

Perempuan, pertama-tama ialah milik ayahnya. Setelah menikah, ia merupakan

milik suaminya.21 Dengan kata lain, perempuan berada di bawah kuasa laki-laki.

Perempuan tidak bebas menentukan pilihannya. Ia harus tunduk pada suaminya. Ini

sesuai dengan pendapat Mies yang menyatakan bahwa meskipun secara harafiah

patriarkhi berarti kekuasaan bapak, sebenarnya melampaui kekuasaan bapak karena

termasuk aturan suami, bos laki-laki, laki-laki yang berkuasa dalam lembaga-lembaga

masyarakat, dalam politik dan ekonomi. Singkatnya, Mies menyebutnya sebagai ’liga

laki-laki’ (the men’s league) atau ’rumah laki-laki’ (men’s house).22

Kita bisa berpendapat bahwa pada zaman Paulus, perempuan begitu direndahkan.

Ini bisa dikatakan sebagai suatu kemerosotan dan ketidakberhasilan Paulus dalam

21 Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintah Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 38

22 Maria Mies, Patriarchy and Accumaltion on a World Scale : Women in the International Division of Labour, London: Zed Books Ltd, 1986, 37

pelayanan yang dilakukannya. Meskipun Paulus memberitakan Injil yang sama, yang

diberitakan Yesus dan mengikuti panutannya ini namun Paulus tidak berani menembus

kebudayaan komunitas tempat ia memberitakan Injil mengenai kesetaraan antara laki-laki

dan perempuan. Meski Paulus berhasil memberitakan Injil kepada bangsa non Yahudi

namun kebudayaan mereka belum bisa ditembusnya.23 Kita bisa mengatakan bahwa

Yesus dalam memberitakan Injil juga menekankan bahwa keselamatan Allah berlaku

bagi semua orang. Yesus menembus kebiasaan masyarakat tempatNya memberitakan

Injil dengan tidak membedakan perlakuan antara laki-laki dan perempuan maupun tuan

dan hamba.

Tulisan dalam keempat Injil jelas memberikan laporan bahwa Yesus lebih dekat

dengan orang-orang yang berada di lapisan menengah ke bawah, orang-orang yang

dianggap “sampah” masyarakat. Di lain pihak Paulus bisa dikatakan tergesa-gesa karena

pesan eskatologis24 yang disampaikannya kepada orang-orang yang dijangkaunya

sehingga ia lebih mementingkan Injil yang menjangkau sebanyak mungkin orang tanpa

harus repot-repot memperbaiki budaya yang ada saat itu. Atas kepentingan menjangkau

sebanyak mungkin orang untuk mengenal Injil, Paulus memasukkan aturan komunitas

tempat misinya dalam aturan kultus.

Lebih jauh Paulus menyatakan dalam aturan ibadah dengan mementingkan laki-laki

di atas segalanya dan berkuasa atas perempuan. Laki-laki yang menjadi penatua.

Perempuan dilarang memimpin laki-laki dan berbicara di depan umum meskipun itu

dengan suaminya sendiri. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin apabila dilarang 23 Anne Hommes, “Emansipasi Wanita”, Gema, Desember 1986, 12

24 David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen”, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, 205

berbicara di depan umum? Perempuan benar-benar dikekang kebebasannya. Inilah

budaya patriarkhi yang benar-benar mendekati definisinya, kekuasaan bapak/laki-laki

yang mendominasi, mensubordinasi, dan mendiskriminasikan kaum perempuan dalam

segala bidang kehidupan, baik menyangkut badannya, seksualitasnya, pekerjaannya,

maupun statusnya entah dalam keluarga, jemaat atau masyarakat. Segala bidang

kehidupan bersifat androsentris, yaitu berpusat pada laki-laki.25

Paulus tidak bisa mengikuti teladan Yesus yang sangat menjunjung kesetaraan

manusia laki-laki dan manusia perempuan.26 Paulus tidak dapat menembus budaya

komunitas tempatnya memberitakan Injil. Meskipun demikian, ada pandangan Paulus

mengenai kesetaraan yang tersirat dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, “Karena

kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak

ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada

laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus

Yesus”(Galatia 3:27-28).

Mungkin ayat ini dapat dijadikan acuan bahwa sebenarnya Paulus memandang

kesamaderajatan perempuan dan laki-laki namun melakukannya dalam praktek sangat

sulit dilakukan mengingat Paulus menyatakan hal yang bertolak belakang dalam surat-

suratnya kepada jemaat-jemaat yang berbeda, seperti dalam I Korintus 11:7 dan 927, dan

25 M. Nur Widi, Eklesiologi ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta: Kanisius, 2009, 126

26 Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintah Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 38

27 I Korintus 11:7,9 “Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki; Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki.” (TB LAI)

Titus 2:3-528. Sekali lagi kebudayaan yang dianut komunitas misinya menjadi bahan

pertimbangan Paulus dalam menetapkan aturan dalam kultus yang diperkenalkannya.29

Setidaknya ayat ini memberikan makna baru dalam sikap Paulus membuat aturan-aturan

mengenai laki-laki dan perempuan. Peranan perempuan dan statusnya dalam komunitas

pada masa Paulus ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Simone De Beauvoir dalam

tulisannya “The Second Sex”. De Beauvoir menyatakan bahwa secara hakekat perempuan

tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur

kekuasaan dalam masyarakat berada di tangan laki-laki. Masyarakat melihat segala hal

termasuk perempuan, dengan sudut pandang laki-laki. Laki-laki menciptakan imaji bagi

perempuan dalam kedaulatannya. Imaji tersebut diciptakan sesuai kebutuhan mereka.30

2.2 Kepemimpinan Partnership

Partnership merupakan istilah ketika orang-orang melakukan pekerjaan secara

bersama-sama sebagai sebuah tim dengan semangat kerjasama yang tinggi dan partisipasi

aktif. Semua anggota dari komunitas atau kelompok berbagi kepentingan yang

menguntungkan, kewajiban dan bersama menghadapi tantangan.31 Definisi

kepemimpinan adalah suatu proses yang kompleks di mana seseorang mempengaruhi

28 Titus 2:3-5 “Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya,hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang. (TB-LAI)

29 Dien Sumiyatiningsih, “Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Pemerintah Gereja di Lingkungan Gereja Kristen Jawa”, Gema, Desember 1986, 39

30 Eka Warisma Wardani, Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison dalam The Bluest Eye, Semarang: FIB UNDIP, 2009, 36

31 Parnership & Leadership dalam Viewpoint/Spring Vol.9, 2002, 1

orang-orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas atau sasaran dan mengarahkan

organisasi dengan cara yang membuatnya lebih kohesif dan masuk akal.32 Definisi yang

lain, kepemimpinan adalah sebuah tindakan melayani komunitas secara keseluruhan.

Sebagai organisasi dan sebagai individual berusaha berada di garis depan menjadi

pelopor jalan baru untuk mempertinggi kehidupan orang dengan perkembangan

ketidakmampuan, keluarga mereka dan komunitas berbagi kita.33

Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan

partnership adalah suatu proses kompleks yang dipengaruhi seseorang atau beberapa

orang dalam suatu komunitas secara keseluruhan dan bersama-sama sebagai suatu tim

yang saling berbagi kewajiban dan menghadapi tantangan secara bersama-sama dengan

keterlibatan semua anggota berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan menetapkan

arah serta bertanggung jawab atas hasil-hasil dan dampak-dampak dari tindakan

kelompok atau organisasi.

Dalam model kepemimpinan partnership, akan ditemukan sebuah demokratis dan

struktur sosial egalitarian, kemitraan sejajar antara laki-laki dan perempuan.34

Kepemimpinan partnership lahir atas kesadaran bahwa kepemimpinan tidak sepenuhnya

milik kaum yang lebih kuat, dalam hal ini kaum laki-laki melainkan milik semua orang

yang berpotensi untuk melakukan kepemimpinan baik itu laki-laki dan perempuan.

Alasan yang lain ialah bahwa dalam hal kepemimpinan membutuhkan kerjasama yang

32 Bernardine R. Wirjana &Susilo Supardo, Kepemimpinan :Dasar-dasar dan Pengembangannya, Yogyakarta: ANDI, 2005, 3

33 Op.cit

34 Riane Eisler, The Power of Partnership, California: New World Library, 2002, 5

baik antara perempuan dan laki-laki bukan sebagai atasan dan bawahan melainkan

menjadi partner dalam kepemimpinan untuk terselenggaranya keberlangsungan

organisasi atau kelompok yang dipimpin.

Kepemimpinan partnership dalam tulisan ini mengenai kerjasama antara perempuan

dan laki-laki dalam suatu kelompok atau organisasi. Kerjasama yang dilakukan tanpa

memandang satu pihak lebih lemah dari pihak yang lain melainkan kerjasama yang saling

mendukung satu sama lain demi kemajuan komunitas yang dipimpin. Kepemimpinan

tidak didominasi pihak yang dianggap kuat dalam hal ini laki-laki, tetapi memberi

kesempatan kepada perempuan yang mampu melaksanakan tugas memimpin kelompok

dengan bermitra dengan laki-laki.

2.3 Feminis Liberal

Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina yang dalam bahasa Inggris femine

artinya memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Kemudian ditambah akhiran ‘ism’

menjadi feminism yang berarti hal ikhwal mengenai perempuan atau paham mengenai

perempuan. Feminisme adalah sebuah wawasan sosial, yang berakar dalam pengalaman

kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan oleh karena jenis kelamin,

suatu gerakan yang memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dari semua bentuk

seksisme dan sebuah metode analisis ilmiah yang digunakan pada hampir semua cabang

ilmu.35

Paham Liberal ialah falsafah yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai

politik tertinggi. Liberalisme menekankan hak-hak pribadi serta kesamarataan peluang.

35 Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Maumere:Penerbit Ledalero, 2002, 28-29

Dalam pemahaman liberalisme, pelbagai aliran dengan nama “liberal” mungkin

mempunyai dasar dan pandangan yang berlainan, tetapi secara umumnya aliran-aliran ini

bersetuju dengan prinsip-prinsip berikut termasuk kebebasan berfikir dan kebebasan

bersuara, batasan kepada kuasa kerajaan, kedaulatan undang-undang, hak individu atas

harta persendirian, pasaran bebas dan sistem pemerintahan.36

Sejarah Israel yang tertulis dalam Kitab Suci dan menjadi referensi berjuta orang

penganut agama yang berasal dari komunitas ini tidak bisa dipungkiri bahkan dalam

kehidupan sekarang. Namun melihat fakta-fakta yang mencatat bahwa laki-laki dan

perempuan selayaknya berpartner sesuai dengan kehendak awal Sang Pencipta, membuat

perempuan memutuskan untuk tidak tinggal diam pada abad ini. Perempuan

memperjuangkan statusnya untuk kembali menjadi partner yang setara dengan laki-laki

dalam komunitas sekarang dengan mengobarkan paham feminisme.

Ruether menyatakan bahwa feminisme liberal berakar dalam antropologi Alkitab

dan skolastik tetapi merupakan renovasi radikal dari komponen patriarkhal dari tradisi-

tradisi di bawah pengaruh abad ke 18. Liberalisme menolak tradisi klasik yang

mengidentifikasi sifat atau perintah penciptaan dengan patriarkhi.37 Para feminis percaya

bahwa perempuan tidak dapat dirugikan karena jenis kelaminnya oleh karena itu

perempuan harus mendapat pengakuan kemartabatan sebagai manusia yang setara dengan

36 www.isomwebs.com, Liberalisme, diunduh 28 Juni 2012

37 Rosemary R. Ruether, Sexism and God-Talk, Boston: Beacon Press, 1983, 102

laki-laki. Perempuan mempunyai kesempatan untuk hidup seutuhnya dan sebebasnya

sesuai pilihan hidup sendiri.38

Perempuan berjuang untuk bisa kembali mendapat haknya melakukan hal yang

disukainya sama seperti laki-laki. Begitu banyak alasan yang bisa dikemukakan agar

perempuan bisa sebebas laki-laki dalam menentukan pilihan hidupnya namun semuanya

dapat disimpulkan dengan alasan yang sudah jelas ada dan terlupakan sejak berabad-abad

yang lalu, alasan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara untuk saling

melengkapi tugas masing-masing oleh karena itu laki-laki dan perempuan mempunyai

hak yang sama dalam melakukan segala sesuatu di dunia ini.

Feminisme liberal merupakan bentuk feminisme yang beranggapan bahwa

subordinasi kaum perempuan berakar dalam kendala-kendala legal yang mengucilkan

atau menghalangi keterlibatan penuh dan setara dari kaum perempuan dalam ajang

publik.39 Feminisme liberal berakar pada perampasan feminis dari tradisi liberal

mengenai persamaan hak yang berakar pada ajaran tentang sifat umum manusia. Feminis

liberal terfokus pada pengecualian bersejarah perempuan dari akses dan hak yang sama

dalam ruang publik dengan berusaha untuk membongkar struktur sejarah hukum

patriarkhi yang menyangkal hak-hak perempuan sebagai orang dewasa yang otonom dan

mencari persamaan penuh perempuan di depan hukum sebagai warganegara.40

Paham ini mungkin menjadi ancaman bagi laki-laki pada masa sekarang yang

begitu terbuai dengan penerimaan komunitas yang besar akan status mereka sebagai laki- 38 Gadis Arivia, Feminis:Sebuah Kata Hati, Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2006, 95

39Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, Maumere : Penerbit Ledalero, 2002, 436 40 Rosemary R. Ruether, Sexism and God-Talk, Boston: Beacon Press, 1983, 102

laki atau bisa jadi menjadi suatu jalan keluar yang baik bagi laki-laki yang merasa

terintimidasi karena harus bertindak selayaknya tuntutan komunitas untuk berperilaku

sebagai laki-laki yang berkuasa sendiri atas semesta alam dengan kembali menjadikan

perempuan partner kerja yang setara.41 Tentu saja ini masih menjadi pilihan yang sulit

dengan patriarkhi yang telah berakar begitu dalam.

Feminisme Liberal ialah teori mengenai kebebasan individual bagi perempuan.

Mary Wollstonecraft mendeskripsikan perempuan sebagai agen rasional yang

‘inferioritasnya’ disebabkan oleh pendidikan yang rendah. Hal ini bisa ditelaah dengan

persamaan kesempatan untuk perempuan. Feminisme liberal komtemporer menyepakati

optimisme Wollstonecraft bahwa akar dari penindasan perempuan terletak pada tidak

adanya hak sipil yang sama dan peluang pendidikan yang sama. Inti dari keyakinan

liberal mengenai seksualitas adalah pandangan bahwa kehidupan pribadi seseorang tidak

semestinya menjadi objek peraturan masyarakat.42

Perempuan dibatasi perannya dalam kehidupan masyarakat sehingga perempuan

tidak bisa melakukan hal-hal yang sama seperti laki-laki karena pembatasan yang dibuat

laki-laki dalam segala aspek kehidupan terhadap perempuan. Perempuan akhirnya harus

berjuang memberantas penindasan yang harus dialaminya atas ketidaktahuannya karena

sedikit kesempatan yang dimiliki untuk mendapat tempat dalam masyarakat. Feminis

liberal berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu

dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan

tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan 41 Stephen B. Boyd, The Men We Long To Be, Ohio:The Pilgrim Press, 2005, 11

42 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, 249

dalam akademi, forum maupun pasar. Ditekankan bahwa masyarakat patriarkhal

mencampuradukkan seks dan gender dan menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang

dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak bagi perempuan.43

Friedan dalam bukunya The Second Stage menawarkan pendekatan dengan

menggunakan ide androgini untuk melawan kecenderungan masyarakat tradisional yang

menghargai secara tinggi sifat maskulin dan merendahkan sifat feminin.44 Friedan

mendorong laki-laki dan perempuan untuk bekerja menuju masa depan yang androgin,

yang di dalamnya semua manusia akan mengkombinasikan di dalam dirinya sifat mental

dan perilaku yang maskulin dan feminin.45

2.4. Budaya Patriarkhi Israel

Kita harus sadar bahwa budaya mempengaruhi penulisan Alkitab dan citra yang

dipakai dalam Alkitab dalam mengungkapkan kenyataan adalah citra yang bermakna bagi

umat di masa Alkitab, misalnya Allah digambarkan sebagai laki-laki karena mengingat

dalam dunia patriarkhal, laki-laki selalu menjadi penguasa.46 Riwayat ini berakibat juga

pada agama dan gereja yang merupakan sejarah milik laki-laki dan mengesampingkan

perempuan. Sejarah Israel mula-mula selalu berorientasi pada laki-laki dan

mengesampingkan perempuan. Sebagaimana yang terdapat dalam Alkitab dan buku-buku

sejarah, bangsa Israel merupakan keturunan dari Abraham yang disebut sebagai bapak

semua orang percaya dan pahlawan iman dalam Alkitab. Kisah Abraham ini merupakan

43 Rosemarie Putnam Tong, Feminis Thought, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006, 48-49

44 ibid, 50

45 ibid, 46

46 David Robert Ord & Robert B.Coote. APAKAH ALKITAB BENAR? Memahami Kebenaran Alkitab Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, 38-39

bukti bahwa laki-laki lebih diperhitungkan sebagai seseorang yang berpengaruh dan

mempunyai kuasa daripada perempuan. Para pahlawan iman dalam sejarah Israel sebagai

bangsa dan kultus menonjolkan laki-laki seperti Abraham dan Musa, meskipun ada juga

Sara (istri Abraham) dan Zipora (istri Musa) dalam cerita, namun mereka tidak ikut

disebut sebagai pahlawan iman. Peran mereka hanya sebagai istri dari suami mereka.

Laki-laki dalam bangsa Israel mempunyai peran yang sangat penting untuk

mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dengan menjadi pemimpin/kepala dalam

keluarga maupun kaumnya. Laki-laki yang telah berkeluarga merupakan seorang tuan

dalam keluarganya, tuan atas perempuan (istrinya), anak-anak, hamba-hambanya, ternak

dan harta miliknya. Singkatnya, laki-laki yang berkuasa atas semua yang bergerak

maupun tak bergerak. Dalam kehidupan Israel kuno, keluarga membentuk unit sosial

yang mendasar dan yang paling penting ialah gabungan keluarga atau keluarga yang

diperluas. Kadang-kadang sebanyak tiga generasi hidup dalam sebuah rumpun keluarga.

Keluarga yang teramat besar membentuk suatu kaum atau klan. Kerajaan Israel Kuno

sendiri terbentuk dari keluarga besar yang terdiri dari semua keluarga di Israel Kuno.47

Di dalam rumah tangga ini, otoritas tertinggi dipegang sang bapak keluarga.

Setiap perkataan yang keluar dari mulutnya mengandung otoritas memerintah. Anak laki-

laki yang sulung diberi bagian dua kali lipat dari harta bapaknya, memperoleh status dan

otoritas istimewa, sebagai contoh ialah ucapan berkat Ishak kepada Yakub “Jadilah tuan

atas saudara-saudaramu dan anak-anak ibumu akan sujud kepadamu” (Kej 27:29).48

47 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 39

48 ibid, 38

Sistem legal dari masyarakat patriarkhal, dalam peraturan mengenai warisan merugikan

perempuan karena hanya laki-laki yang mewarisi harta milik keluarga yang diturunkan

dari bapak kepada anak laki-laki dan jika tidak mempunyai anak laki-laki barulah

diturunkan kepada anak perempuan yang kemudian wajib menikah dengan laki-laki dari

lingkungan keluarga sendiri dengan demikian akan mengabadikan nama sang bapak.49

Dalam perihal berumah tangga, motivasi ekonomi lebih penting dari pada alasan

romantik. Tujuan utama berumah tangga adalah untuk mempunyai dan membesarkan

anak. Saat anak perempuannya menikah, sang bapak mendapat mahar pengantin yang

dianggap sebagai ganti rugi hilangnya anak perempuan. Perempuan adalah kaum

subordinat. Seorang istri memanggil suaminya dengan sebutan “tuan”. Suami adalah

majikan atas istrinya.50Kaum perempuan memegang peranan di latar belakang saja. Para

pria selalu merindukan kehadiran perempuan di sisi mereka, untuk dijadikan istri yang

ideal yang melahirkan anak-anak dalam keluarga. Perempuan ditempatkan pada pusat

keluarga sebagai penjaga keluarga dan menjadi ibu yang melahirkan anak, membesarkan

mereka, dan mengurusi segala tetek bengek keperluan hidup sehari-hari.

Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga bukanlah peran yang mudah dan

ringan. Seorang ibu yang hendak melahirkan anaknya harus mengalami pengalaman

“susah payah” seperti yang telah diingatkan kepada Hawa (Kejadian 3:16)51, dan

49 ibid, 56

50 ibid, 60-61

51 Kej 3:16, “Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; …” (TB-LAI)

mengandung resiko meninggal dunia pada waktu proses kelahiran itu berlangsung52

namun seorang perempuan Israel harus memiliki anak demi kelangsungan hidup keluarga

karena Israel merupakan masyarakat pronatalis.53 Para ibu Israel mempunyai beban moril

dalam keluarga Israel karena meskipun anak yang dilahirkannya dihargai dan dianggap

sebagai karunia Tuhan dan berkat dariNya, mempunyai anak laki-laki lebih disukai

dibandingkan dengan mempunyai anak perempuan dengan alasan anak laki-laki yang

akan meneruskan nama keluarga dan membantu bekerja di pertanian keluarga.54

Kaum perempuan melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat dan dirancang

kaum lelaki, karena pada hakikatnya mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan

keputusan itu,55 karakter dan sikap yang harus ditunjukkan oleh perempuan serta status

dalam masyarakat Israel terlukis di Alkitab Ibrani ditulis sebagai sejarah oleh sang

pemenang, kelompok dominan: laki-laki. Segala cerita mengenai perempuan di dunia

dibentuk untuk kepentingan laki-laki.56 Patut diakui bahwa Alkitab ditulis dan disusun

laki-laki yang tidak punya perhatian khusus pada peran perempuan dan hanya fokus pada

aspek kehidupan laki-laki yang di dalamnya perempuan tidak terlibat langsung dan

sumbangsih perempuan hanya minimal. Aturan-aturan dalam masyarakat lebih ditujukan

52 Wilson Nadeak, Perempuan-Perempuan Pemberani, Bandung:Lembaga Literatur Baptis, 2005, 10-11

53 pronatalis, mematuhi perintah Allah dengan serius mengenai “beranakcuculah dan bertambah banyak” dalam Kej 1:28 (King & Stager, 45) 54 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 46 55 Wilson Nadeak, Perempuan-Perempuan Pemberani, Bandung:Lembaga Literatur Baptis, 2005, 5 56Alice Bach (Ed.), Women in The Hebrew Bible: a reader, New York:Routledge, 1999, xiii

pada laki-laki. Perempuan menjalankan otoritasnya dalam rumah tangga sebagai seorang

ibu.57

Tanggung jawab lain yang dibebankan pada perempuan ialah penyediaan makanan

dan pakaian.58 Perempuan mengambil bagian juga dalam aktivitas komunitas sehari-hari

termasuk peribadatan. Perempuan digambarkan menari, menyanyi dan memainkan alat

musik. Perempuan mengambil bagian dalam perayaan panen dan ada juga rujukan dalam

Alkitab (2 Samuel 6:19)59 bahwa perempuan ikut dalam sajian makan korban.60

Meskipun demikian, perempuan hanyalah sekedar partisipan dalam peribadatan karena

kultus dan segala hal yang berhubungan dengan keagamaan merupakan lembaga milik

kaum laki-laki dan keimaman secara ekslusif adalah milik laki-laki. Dibawah rezim

keimaman laki-laki, dinyatakan bahwa perempuan tidak memiliki hak dalam dunia

politik dan juga tidak memiliki hak dalam dunia keagamaan.61

Sebelum krisis, kehidupan awal bangsa Israel agak egaliter perihal kesetaraan

dalam kehidupan masyarakat yang berarti bahwa baik perempuan dan laki-laki bekerja

untuk kelangsungan hidup mereka dalam bidang pertanian, mengingat bangsa Israel

57 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 55 58 penggambaran istri yang ideal terdapat dalam Ams 31:10-29, berkaitan dengan berbagai peran perempuan dalam rumah tangga

59 Dalam 2 Sam 6:19 ketika Daud membawa Tabut ke dalam kota Daud, “dibagikannya kepada seluruh bangsa itu, kepada seluruh khalayak ramai Israel, baik laki-laki maupun perempuan, kepada masing-masing seketul roti bundar, sekerat daging, dan sepotong kue kismis”

60 Philip J. King & Lawrence E. Stager, Kehidupan Orang Israel Alkitabiah (terj.Robert Setio), Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010, 58

61 Robert B. Coote & David R. Ord, Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimaman (terj.Jesicca Pattinasarany), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011, 87

menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Semua orang melakukan pekerjaan di

lapangan baik laki-laki maupun perempuan melakukan jenis pekerjaan yang sebagian

besar sama. Dalam mempertahankan ekonomi keluarga tidak ada pilihan lain selain

bekerja keras untuk mendapatkan makanan yang cukup, meskipun demikian perubahan

situasi mengharuskan strategi baru untuk bertahan hidup karena lebih banyak orang yang

diperlukan untuk bekerja agar dapat bertahan hidup.62

Sebelumnya telah disebutkan bahwa kelahiran seorang anak sangat berharga bagi

keluarga Israel namun bukan berarti menjadi suatu hal yang mudah dilakukan tanpa biaya

dan resiko karena pada masa itu melahirkan merupakan kejadian yang berbahaya dan

mengancam jiwa sehingga melahirkan adalah penyebab utama kematian di kalangan

perempuan. Strategi dibutuhkan agar setiap orang dapat bekerja setiap hari dan

melahirkan anak akan memberikan satu pekerja di masa depan dalam pertukaran

mempertaruhkan kehidupan seorang perempuan yang penting bagi kelangsungan hidup

keluarga sekarang hanya ketika kebutuhan untuk pertumbuhan penduduk agar mencapai

tingkat yang lebih tinggi sehingga masuk akal melakukan segala kemungkinan untuk

mendorong pertumbuhan tanpa mempedulikan yang lain.63

Pada akhirnya harus menciptakan hukum dan tradisi baru. Dalam sistem baru, ibu

hamil menerima tingkat perlindungan yang lebih besar. Peraturan yang baru ini

mengurangi kejadian keguguran dan meningkatkan angka kelahiran namun pergeseran ini

berakibat pada berubahnya peran perempuan. Perempuan bukan lagi sebagai mitra yang

62 Jon L. Berquist, Reclaiming Her Story : the witness of women in the Old Testament, St.Louis-Missouri : Chalice Press, 1992,18

63 ibid, 19

sejajar dengan pria dalam segala bidang karena perempuan sekarang menerima

perlindungan khusus dari hukum. Kelangsungan hidup masyarakat bergantung pada

perempuan sehingga keterlibatan perempuan dalam tugas lapangan harus dikurangi.64

Solusi dalam masalah telah terselesaikan. Perubahan yang terjadi sangat efektif

dalam menyelesaikan krisis yang terjadi namun setelah populasi telah cukup meningkat,

hukum-hukum yang telah ditetapkan tidak berubah lagi. Krisis yang memaksa

ketidaksetaraan sementara telah menjadi permanen karena menyadari fakta bahwa

peristiwa tersebut menimbulkan kekuasaan yang menguntungkan bagi pihak laki-laki

dalam masyarakat. 65 Maka budaya dan hukum yang awalnya bertujuan baik demi

meningkatkan populasi masyarakat telah disalahgunakan bertahun-tahun setelahnya demi

keuntungan pihak pemenang yang dominan. Laki-laki tetap berkuasa dan melakukan

setiap pekerjaan di lapangan dan perempuan harus menetap di dalam rumah karena

perempuan harus dilindungi, namun tentunya dengan alasan yang berbeda sekarang.

64 ibid

65 ibid, 20