bab ii landasan teori 2.1 otonomi daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/bab ii.pdf · sendiri dalam...

31
12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerah Istilah otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, yaitu “autosyang berarti sendiri/self dan “nomous” yang berarti hukum atau peraturan. Dalam Kamus Ilmiah Populer, kata otonom berarti “badan” yang mendapat hak otonomi. Sementara kata “otonomi” sendiri mengandung arti yaitu mengurus diri (rumah tangga) sendiri. Dalam Bahasa Belanda, kata “otonomi” sepadan dengan kata Zelfregering yang berarti pemerintahan sendiri dan oleh Van Vollenhoven dibagi menjadi Zelfwetgeving yang berarti membuat undang-undang sendiri, Zelfuitvoering yang berarti melaksanakan sendiri, Zelfrechtspraak yang berarti mengadili sendiri dan Zelfpolitie yang berarti memerintah sendiri (Siddiq, 2011). Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, konteks otonomi daerah merupakan otonomi yang memberikan suatu kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat secara proporsional, yang diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi lain, pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat berhukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang mempunyai hak, wewenang dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya

Upload: others

Post on 09-Nov-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

12

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Otonomi Daerah

Istilah otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, yaitu “autos”

yang berarti sendiri/self dan “nomous” yang berarti hukum atau peraturan. Dalam

Kamus Ilmiah Populer, kata otonom berarti “badan” yang mendapat hak otonomi.

Sementara kata “otonomi” sendiri mengandung arti yaitu mengurus diri (rumah

tangga) sendiri. Dalam Bahasa Belanda, kata “otonomi” sepadan dengan kata

Zelfregering yang berarti pemerintahan sendiri dan oleh Van Vollenhoven dibagi

menjadi Zelfwetgeving yang berarti membuat undang-undang sendiri,

Zelfuitvoering yang berarti melaksanakan sendiri, Zelfrechtspraak yang berarti

mengadili sendiri dan Zelfpolitie yang berarti memerintah sendiri (Siddiq, 2011).

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, konteks

otonomi daerah merupakan otonomi yang memberikan suatu kewenangan yang

luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat secara

proporsional, yang diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan

sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai

dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam

lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di sisi lain, pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat

berhukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang mempunyai hak,

wewenang dan kewajiban dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

13

sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sarundajang, 2005).

Dalam konsep pemikiran tentang otonomi daerah, terdapat sebuah

pemaknaan terhadap eksistensi otonomi dalam penyelenggaraan pemerintah

daerah. Pemikiran pertama, prinsip otonomi daerah dengan menggunakan

prinsip otonomi yang seluas-luasnya. Arti otonomi yang seluas-luasnya

mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan

daerah, memberikan pelayanan, dan memberikan peningkatan peran serta,

prakarsa dan pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pemikiran kedua, prinsip otonomi daerah dengan menggunakan

prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Arti otonomi yang nyata

merupakan suatu prinsip bahwa untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang

nyatanya telah ada serta selalu mempunyai potensi untuk terus tumbuh dan

berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah.

Sedangkan arti otonomi yang bertanggung jawab merupakan otonomi yang

penyelenggaraannya harus sejalan dengan tujuan dan maksud diberikannya

otonomi, yang pada awal mulanya otonomi digunakan untuk memberdayakan

daerah, seperti dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan

salah satu dari tujuan pembangunan nasional (Sunarno, 2008).

Sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, penyelenggaraan otonomi daerah

harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan

kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi

daerah juga harus menjalin hubungan yang serasi dan harmonis antar daerah.

Otonomi daerah dituntut untuk dapat membangun kerjasama antar daerah dalam

peningkatan kesejahteraan bersama dan mencegah adanya ketimpangan yang

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

14

tinggi antar daerah. Hal yang lebih penting lainnya adalah otonomi daerah juga

harus dapat memelihara hubungan antara pemerintah daerah dengan

pemerintah pusat. Dengan kata lain, otonomi daerah harus mampu memelihara

dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Sunarno, 2008).

2.2 Desentralisasi Fiskal

2.2.1 Definisi Desentralisasi Fiskal

Penerapan otonomi dan desentralisasi fiskal ditandai dengan

diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada

tanggal 1 Januari 2001. Seiring berjalannya waktu, kedua undang-undang

tersebut menimbulkan beberapa permasalahan dan kemudian direvisi ulang oleh

pemerintah sehingga undang-undang tersebut menjadi UU Nomor 32 Tahun

2004 tentang pemerintah daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi fiskal merupakan

penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus segala bentuk keuangannya secara

mandiri yang sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan yang

berlaku.

Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) ada tiga macam desentralisasi dalam

kaitannya dengan derajat kemandirian daerah, antara lain:

1. Deconcentration

Deconcentration merupakan pelimpahan kewewenangan dari pemeritah

pusat kepada pemerintah daerah.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

15

2. Delegation

Delegation merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan

tanggung jawab penuh kepada pemerintah pusat.

3. Devolution

Devolution merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah, dimana pemerintah daerah juga diberi

kewenangan dalam mengelola sendiri keuangan daerahnya.

2.2.2 Jenis Desentralisasi Fiskal

Terdapat dua jenis yang berlaku dalam desentralisasi fiskal yaitu

desentralisasi penerimaan dan pengeluaran, yaitu antara lain (Akai dan Sakata

dalam Valaris, 2012).

1) Desentralisasi Penerimaan

Dalam desentralisasi penerimaan terdapat beberapa fungsi dasar

penerimaan daerah yaitu untuk mengetahui besaran anggaran penerimaan

yang tersedia untuk menutupi anggaran belanja daerah. Apabila rencana

anggaran belanja daerah lebih besar dari rencana anggaran penerimaan

daerah, maka pemerintah daerah wajib untuk menutupi defisit. Sehingga,

pemerintah daerah harus jeli melihat kemampuannya dalam menggali

potensi sumber-sumber pendapatan di daerahnya.

Menurut Darise (2006), sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain

Pendapatan yang Sah.

a) Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah

(PAD) terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik

daerah dan hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, serta lain-lain

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

16

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah. Lain-lain Pendapatan Asli

Daerah (PAD) yang sah dapat berupa hasil penjualan kekayaan

daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga,

keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan

komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan

atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah (Darise, 2006).

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan aspek pendapatan

yang paling utama dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena nilai

dan proporsinya yang cukup dominan dan hal tersebut dapat menjadi

salah satu indikator bahwa daerah tersebut mampu atau tidaknya

dalam menggali potensi-potensi sumber pendapatan yang ada.

b) Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan dana dari hasil kebijakan

pemerintah pusat di bidang desentralisasi fiskal demi keseimbangan

fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dana

perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum

(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

1. Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah salah satu jenis dari dana

perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di

bidang desentralisasi fiskal. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dan

UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil (DBH) dibagi menjadi

dua, yaitu:

a. Dana Bagi Hasil Pajak

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 11, Dana Bagi

Hasil Pajak berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

17

Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan

Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dalam negeri.

b. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam

Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil

Sumber Daya Alam berasal dari minyak bumi, gas alam,

panas bumi, pertambangan umum (seperti batu bara, nikel,

emas, dsb), hasil hutan dan hasil perikanan. Dana Bagi Hasil

Sumber Daya Alam dilakukan antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah dimana sumber daya alam itu

berada. Maka dari itu, daerah yang tidak memiliki sumber

daya alam, pada dasarnya daerah tersebut tidak akan

memperoleh bagian atau dana bagi hasil yang dimaksud

(Darise, 2006).

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

Tujuan pengalokasian Dana Alokasi Umum adalah dalam

rangka pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di

Indonesia yang digunakan untuk mendanai kebutuhan/belanja

daerah. Dalam pelaksanaannya, Dana Alokasi Umum bertujuan

untuk pemerataan dan menetralkan adanya dampak peningkatan

ketimpangan kemampuan kueangan antar daerah sebagai akibat

Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam yang tidak merata.

(Darise, 2006).

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber

dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah-daerah

tertentu dalam rangka untuk membantu daerah untuk mendanai

kegiatan-kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah tersebut

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

18

dan sesuai dengan prioritas nasional serta sesuai dengan tujuan

dan fungsi yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Nasional (APBN) (Darise, 2006).

c) Lain-lain Pendapatan Yang Sah

Lain-lain pendapatan yang sah terdiri atas pendapatan hibah,

dana darurat, dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, bantuan

keuangan dari pemerintah lainnya dan dana bagi hasil pajak dari

provinsi ke kabupaten/kota. Dana hibah kepada daerah yang

bersumber dari luar negeri, dilakukan melalui pemerintah pusat.

Sedangkan dana darurat berasal dari APBN untuk kebutuhan yang

mendesak seperti bencana nasional atau peristiwa luar biasa lainnya

yang tidak dapat diatasi oleh APBD (Darise, 2006).

2) Desentralisasi Pengeluaran

Dengan adanya sistem otonomi daerah, maka tiap daerah dituntut

untuk menyediakan berbagai pelayanan publik yang beragam, sesuai

dengan kebutuhan daerahnya. Pembagian kewenangan antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah didasarkan pada prinsip efisiensi agar

sistem otonomi daerah dapat berjalan dengan optimal (Suparmoko, 2002).

Maka dari itu, segala bentuk pengeluaran pemerintah harus dimanfaatkan

sebaik-baiknya guna membiayai berbagai kegiatan atau tujuan yang telah

menjadi tanggung jawab daerah.

Menurut Suparmoko (2002), pengeluaran pemerintah dapat dibedakan

menjadi dua berdasarkan lingkup tujuannya, yaitu:

a. Exhaustive

Merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk pengalihan sektor-

sektor produksi dari sektor swasta ke sektor pemerintah berupa

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

19

pembelian barang dan jasa yang dapat langsung dikonsumsi maupun

untuk menghasilkan barang dan jasa lain.

b. Transfer payment

Merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk memindahkan daya beli

dari unit ekonomi yang satu ke unit ekonomi yang lain untuk

kepentingan sosial, kepada perusahaan sebagai subsidi maupun

kepada pemerintah sebagai hibah/grant.

Menurut Darise (2006), pengeluaran daerah merupakan semua

pengeluaran kas/pendapatan daerah dalam periode satu tahun anggaran

yang bersangkutan. Pengeluaran daerah meliputi belanja rutin/operasional,

belanja modal/pembangunan dan belanja yang tak terduga.

a) Belanja Rutin/Operasional

Belanja rutin/operasional merupakan pengeluaran daerah yang

manfaatnya hanya digunakan untuk satu tahun anggaran saja dan

pengeluaran tersebut tidak menambah asset atau kekayaan bagi

daerah yang bersangkutan. Belanja rutin/operasional terdiri dari:

1. Belanja administrasi umum yang terdiri dari belanja pegawai,

belanja perjalanan dinas, belanja barang dan belanja

pemeliharaan.

2. Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana.

b) Belanja Modal/Pembangunan

Belanja modal/pembangunan merupakan pengeluaran daerah

yang biasanya dipergunakan lebih dari satu tahun anggaran dan

pengeluaran tersebut akan menambah aset atau kekayaan daerah

yang bersangkutan, dimana pengeluaran tersebut selanjutnya akan

menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaan

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

20

sarana dan prasarana (Darise, 2006). Belanja modal/pembangunan

terdiri dari:

1. Belanja Publik

Belanja publik merupakan belanja mdal berupa investasi

dalam bentuk fisik yang mempunyai nilai guna atau nilai ekonomis

lebih dari satu tahun dan akan menambah aset daerah serta

manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

2. Belanja Aparatur

Belanja aparatur merupakan belanja modal yang manfaatnya

tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat, namun

manfaatnya dirasakan secara langsung oleh pihak aparatur

pemerintah. Belanja aparatur dapat menyebabkan adanya

penambahan aktiva tetap dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja

aparatur dapat memberikan manfaat pada periode yang sedang

berjalan dan periode yang akan datang.

c) Belanja Tak Terduga

Belanja tak terduga merupakan belanja yang digunakan untuk

membiayai kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Kejadian/peristiwa luar biasa yang tidak dapat diprediksi

sebelumnya, seperti bencana alam atau kejadian lainnya yang

dapat membahayakan daerah yang bersangkutan.

2. Tagihan/utang pada anggaran tahun lalu yang belum sempat

terselesaikan atau tidak tersedianya dana pengembalian tersebut

dalam anggaran pada tahun yang bersangkutan.

3. Pengembalian penerimaan yang bukan hak daerah atau

penerimaan yang dibatalkan atau kelebihan penerimaan.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

21

2.2.3 Derajat Desentralisasi Fiskal

Pada umumnya, pengukuran desentralisasi fiskal menggunakan derajat

desentralisasi fiskal atau derajat otonomi fiskal daerah yang merupakan aspek

sangat penting dalam pelaksanaan otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut

Radianto (dalam Sistiana et al, 2013) menyebutkan bahwa derajat desentralisasi

fiskal merupakan capaian kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan

asli daerahnya, seperti meningkatkan komponen pajak daerah, retribusi daerah

dan lain-lain. Analisis yang digunakan untuk mengukur derajat desentralisasi

fiskal dinamakan dengan administrative independency ratio, yaitu rasio antara

pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan dalam APBD. Untuk

melihat pengukuran derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan

pemerintah daera, dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Dimana:

TPD : Total pendapatan daerah

PAD : Pendapatan asli daerah

BHPDBP : Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

SB : Dana perimbangan (DAU, DAK, DBH)

Untuk menentukan tolak ukur derajat desentralisasi fiskal, dapat dilihat dari

skala interval berikut:

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

22

Tabel 2.1 : Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

Sumber: KKPFE UGM (dalam Sistiana et al, 2013)

Namun, salah satu pengukuran yang paling tepat dalam mengukur

kemampuan keuangan daerah adalah dengan berdasarkan perbandingan total

pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Hasil dari

perbandingan tersebut akan menunjukkan kontribusi PAD terhadap total

pendapatan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD terhadap total pendapatan

daerah, maka semakin tinggi pula kemampuan keuangan daerah dalam

menyelenggarakan desentralisasi, khususnya desentralisasi fiskal. Pendapatan

asli daerah (PAD) merupakan aspek yang sangat penting dalam menentukan

keberhasilan suatu daerah dalam menyelenggarakan desentralisasinya. Semakin

tinggi perolehan PAD, maka semakin tinggi pula kemampuan keuangan daerah

untuk membiayai belanja atau pengeluaran pemerintah dalam menjalankan roda

pemerintahan (Mahmudi, 2010).

2.3 Kemiskinan

2.3.1 Definisi Kemiskinan

Kemiskinan merupakan ketidakmampuan individu dalam memenuhi

kebutuhan standar minimum. Menurut Todaro (2011), kemiskinan merupakan

individu yang tidak mampu dalam mendapatkan sumber daya yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup individu tersebut. Selain itu, menurut Widodo (dalam

Sartika et al, 2016) menyebutkan bahwa kebutuhan standar minimum selalu

dikaitkan dengan kemiskinan, karena kemiskinan merupakan persoalan yang

DDF (%) Keterangan

0,00 - 10,00 % Sangat Kurang

10,01 - 20,00 % Kurang

20,01 - 30,00 % Sedang

30,01 - 40,00 % Cukup

40,01 - 50,00 % Baik

>50,00 % Sangat Baik

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

23

sangat mendasar yang harus segera ditangani dan penduduk miskin umumnya

tidak berpenghasilan cukup, bahkan tidak berpenghasilan sama sekali.

Penduduk miskin sangat rendah dalam kemampuan menghasilkan pendapatan

dan terbatasnya akses dalam sebuah kegiatan ekonomi sehingga cenderung

tertinggal dari masyarakat yang lainnya.

Kebutuhan pokok didasarkan pada suatu barang dan jasa yang diperlukan

oleh setiap orang untuk bisa hidup secara layak. Kebutuhan pokok tersebut

terdiri dari komposisi pangan yang bernilai gizi cukup dan mengutamakan

pangan yang mengandung minimal empat sehat lima sempurna yang

disesuaikan dengan tingkat usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keadaan iklim

dan lingkungan sekitarnya serta sandang dan papan yang layak pakai. World

Bank 2014 (dalam Sartika et al, 2016) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi

kemiskinan yaitu: pertama adalah kemiskinan itu multidimensional, artinya adalah

kemiskinan tersebut sangat bermacam-macam sehingga memiliki banyak aspek

didalamnya. Dimensi yang kedua adalah aspek-aspek kemiskinan saling

berkaitan, basic secara langsung maupun tidak langsung. Dan dimensi yang

ketiga adalah bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual

maupun secara berkelompok.

2.3.2 Jenis-Jenis Kemiskinan

Jenis-jenis kemiskinan menurut para ahli akan diuraikan sebagai berikut:

1. Menurut Suryawati (2005), kemiskinan berdasarkan sifatnya dibagi

menjadi:

a. Natural Poverty

Natural poverty merupakan kemiskinan yang disebabkan

oleh kelangkaan sumber daya alam dan sarana prasarana

umum.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

24

b. Artifical Poverty

Artifical poverty merupakan kemiskinan yang disebabkan

oleh perubahan dalam sistem modernisasi maupaun

pembangunan, dimana masyarakat tidak bisa menguasai

sumber daya alam dan sarana prasarana yang ada secara

merata.

2. Menurut Arsyad (2010), kemiskinan terdiri dari dua jenis, yaitu:

a. Kemiskinan Absolut

Kemiskinan absolut dapat diartikan sebagai individu yang

masih memiliki pendapatan tetapi pendapatannya dianggap

belum mampu memenuhi kebutuhan minimum/kebutuhan

dasar agar dapat hidup secara layak. Kemiskinan ini diukur

dengan membandingkan tingkat pendapatan individu

dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan

minimum individu disebut sebagai garis batas kemiskinan.

b. Kemiskinan Relatif.

Kemiskinan relatif merupakan individu yang mempunyai

tingkat pendapatan yang dianggap mampu memenuhi

kebutuhan minimum/kebutuhan dasarnya tetapi tingkatannya

masih lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat

pendapatan masyarakat disekitarnya. Maka dari itu, garis

batas kemiskinan akan berubah apabila tingkat hidup dan

tingkat pendapatan masyarakatnya berubah. Sehingga,

kemiskinan relatif akan selalu bersifat dinamis dari waktu ke

waktu.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

25

2.3.3 Penyebab Kemiskinan

1. Penyebab dasar kemiskinan lainnya menurut World Bank (dalam

Winarendra, 2014) antara lain:

a. Kegagalan kepemilikan tanah dan modal.

b. Terbatasnya bahan kebutuhan dasar dan sarana prasarana.

c. Kebijakan pembangunan yang cenderung ke pembangunan

perkotaan dan di beberapa sektor tertentu.

d. Perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan

adanya sistem yang kurang mendukung.

e. Perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi,

seperti sektor ekonomi tradisional dengan ekonomi modern.

f. Rendahnya produktivitas dalam masyarakat.

g. Budaya hidup masyarakat yang buruk yang dikaitkan

dengan kemampuan individu maupun masyarakat dalam

mengelola sumber daya yang ada.

h. Tidak adanya good governance.

i. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak berwawasan

lingkungan dan atau eksploitasi secara besar-besaran.

2. Penyebab kemiskinan lainnya yang dilihat dari sisi ekonomi (Sharp et

al dalam Winarendra, 2014) antara lain:

a. Dalam lingkup mikro, kemiskinan disebabkan oleh

ketidakseragaman pola kepemilikan sumber daya sehingga

dapat menimbulkan ketimpangan pendapatan.

b. Kemiskinan disebabkan oleh perbedaan kualitas sumber daya

manusia.

c. Kemiskinan disebabkan oleh perbedaan dan terbatasnya

akses dalam modal.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

26

2.3.4 Indikator Kemiskinan

United Nations Development Programme (UNDP) dalam laporan Human

Development Report (dalam Todaro, 2011), menyebutkan bahwa ukuran

kemiskinan menggunakan Indeks Kemiskinan (Human Poverty Index) yang

diukur dalam tiga kategori, yaitu:

1. Angka harapan hidup yang diukur lebih dari 30% penduduk negara-

negara yang paling miskin akan cenderung hidup kurang dari 40

tahun.

2. Pendidikan dasar yang diukur oleh presentasi penduduk dewasa

yang buta huruf.

3. Ketetapan ekonomi (economic provisioning) yang diukur dengan

melihat presentase penduduk yang tidak mempunyai akses

terhadap pelayanan dasar seperti kesehatan dan air bersih dan juga

ditambah dengan presentase anak-anak balita yang kurang gizi.

Apabila angka Human Poverty Index (HPI) semakin rendah, maka tingkat

kesejahteraan semakin tinggi, dan begitu pula sebaliknya. Kemudian menurut

World Bank, garis kemiskinan absolut berada pada US$ 1 dan US$ 2 yang diukur

dalam PPP (Purchasing Power Parity) per harinya (Todaro, 2011).

Selain itu, terdapat metode-metode lain yang digunakan untuk mengukur

tingkat kemiskinan yang telah dikembangkan di Indonesia, antara lain (Suryawati,

2005):

1. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan dihitung

dengan menggunakan konsep kemampuan individu dalam

memenuhi kebutuhan minimum/kebutuhan dasar yang kemudian

dikur dari sisi pengeluarannya. Metode yang digunakan adalah

dengan menghitung garis batas kemiskinan yang terdiri dari dari

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

27

Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan

sisi pengeluaran tiap individu untuk memenuhi kebutuhan dasar

berupa makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilokalori per

kapita per hari yang diinterpretasikan oleh 52 jenis komoditi.

Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKNM) merupakan

sisi pengeluaran individu yang digunakan untuk memenuhi

kebutuhan dasar seperti perumahan, sandang, pendidikan dan

kesehatan yang diinterpretasikan oleh 51 jenis komoditi di daerah

perkotaan dan 47 jenis komoditi di daerah pedesaan. Maka dari itu,

individu/penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita

per bulan di bawah garis kemiskinan, maka penduduk tersebut

termasuk ke dalam kelompok penduduk miskin.

2. Menurut Sajogyo (dalam Suryawati, 2005), kemiskinan dapat diukur

berdasarkan pengeluaran yang disetarakan dengan tingkat

konsumsi beras per kapita yang terbagi menjadi 2 wilayah, yaitu:

a. Daerah pedesaan dengan kriteria sebagai berikut:

1) Tergolong penduduk miskin apabila rata-rata pengeluaran

rumah tangga lebih kecil daripada 320 kg nilai tukar beras

per orang per tahun.

2) Tergolong penduduk sangat miskin apabila rata-rata

pengeluaran rumah tangga lebih kecil daripada 240 kg

nilai tukar beras per orang per tahun.

3) Tergolong penduduk melarat apabila rata-rata

pengeluaran rumah tangga lebih kecil daripada 180 kg

nilai tukar beras per orang per tahun.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

28

b. Daerah perkotaan dengan kriteria sebagai berikut:

1) Tergolong penduduk miskin apabila rata-rata pengeluaran

rumah tangga lebih kecil daripada 480 kg nilai tukar beras

per orang per tahun.

2) Tergolong penduduk sangat miskin apabila rata-rata

pengeluaran rumah tangga lebih kecil daripada 380 kg

nilai tukar beras per orang per tahun.

3) Tergolong penduduk melarat apabila rata-rata

pengeluaran rumah tangga lebih kecil daripada 270 kg

nilai tukar beras per orang per tahun.

2.4 Variabel-Variabel Lain Yang Ikut Mempengaruhi Kemiskinan

2.4.1 Pengeluaran Pemerintah

Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu instrument kebijakan fiskal.

Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pengeluaran atau pembayaran atas

barang dan jasa yang digunakan untuk kepentingan nasional seperti kepentingan

untuk membeli alat-alat kantor pemerintahan, persenjataan, pembangunan jalan

dan bendungan, gaji pegawai negeri dan lainnya (Samuelson dalam

Wahyuningtyas, 2010). Pengeluaran pemerintah juga merupakan salah satu

instrument untuk mengukur seberapa besar peran sektor pemerintah dan sektor

swasta.

Ada beberapa teori mengenai pengeluaran pemerintah yang telah

dikembangkan oleh para ekonom (Wahyuningtyas, 2010), antara lain:

1. Pengeluaran Pemerintah Menurut W.W Rostow dan Richard A.

Musgrave

Perkembangan pengeluaran pemerintah sejalan dengan

tahapan perkembangan ekonomi suatu negara. Secara singkatnya,

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

29

teori pengeluaran negara menjabarkan tiga tahapan yang pasti

dilalui oleh setiap negara. Pada tahap awal perkembangan ekonomi,

pengeluaran pemerintah yang besar sangat diperlukan untuk

investasi atau pembentukan modal pemerintah guna dalam

penyediaan infrastruktur seperti sarana jalan umum, kesehatan dan

pendidikan. Selanjutnya pada tahap menengah pembangunan

ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan untuk investasi

atau pembentukan modal dalam rangka meningkatkan pertumbuhan

ekonomi, namun pemerintah mengharapkan investasi dari sektor

swasta juga ikut berkembang. Tahap yang terakhir adalah tahap

lanjut pembangunan ekonomi, dimana pengeluaran pemerintah tetap

diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti

peningkatan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan jaminan

sosial.

2. Pengeluaran Pemerintah Menurut Adolph Wagner

Dalam hukum wagner, disebutkan bahwa dalam suatu

perekonomian, pengeluaran pemerintah akan meningkat apabila

pendapatan perkapita juga meningkat. Menurut Wagner, terdapat

lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah akan selalu

meningkat, antara lain:

a. Tuntutan dalam peningkatan dan perlindungan keamanan

dan pertahanan.

b. Adanya kenaikan tingkat pendapatan masyarakat.

c. Trend urbanisasi yang terus mengiringi pertumbuhan

ekonomi.

d. Perkembangan sistem demokrasi.

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

30

e. Rumitnya birokrasi yang terus mengiringi perkembangan

dalam sistem pemerintahan.

3. Pengeluaran Pemerintah Menurut Teori Peacok dan Wiserman

Teori Peacok dan Wiserman menyebutkan bahwa pemerintah

selalu berusaha untuk memperbesar pengeluaran pemerintah,

tetapi masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar.

Namun, masyarakat masih mempunyai tingak toleransi pajak, yaitu

tingkat dimana masyarakat dapat mengerti dan memahami

besarnya pajak yang dipungut oleh pemerintah untuk membiayai

kegiatan pemerintah ataupun pengadaan sarana dan prasarana

umum sehingga masyarakat mempunyai tingkat kesediaan untuk

membayar pajak.

Menurut teori Peacok dan Wiserman, suatu negara yang

mengalami perkembangan ekonomi akan menyebabkan

pemungutan pajak yang semakin meningkat meskipun tariff atau

besarnya pajak tidak berubah. Meningkatnya pendapatan yang

dihasilkan oleh penerimaan pajak akan berdampak pada

pengeluaran pemerintah yang juga semakin meningkat. Oleh sebab

itu, meningkatnya level GDP akan menyebabkan pendapatan atau

penerimaan pemerintah semakin besar dan pada akhirnya

berdaampak pada meningkatnya pengeluaran pemerintah yang

semakin besar.

2.4.2 Pertumbuhan Penduduk

Menurut Badan Pusat Statistik (2016), pertumbuhan penduduk merupakan

perubahan jumlah penduduk di wilayah tertentu dan pada waktu tertentu dari

waktu sebelumnya. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat akan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

31

menimbulkan masalah bagi kesejahteraan dan pembangunan daerah.

Pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh tiga hal berikut (Subri, 2003):

1. Fertilitas atau kelahiran adalah kemampuan seorang perempuan

secara riil untuk melahirkan atau buah hasil reproduksi yang nyata

dari seorang perempuan serta suatu tindakan reproduksi yang

menghasilkan kelahiran hidup. Fertilitas merupakan salah satu faktor

tingginya pertumbuhan penduduk selain faktor migrasi.

2. Mortalitas atau kematian adalah salah satu komponen demografi

yang dapat mempengaruhi perubahan jumlah penduduk. Ukuran

kematian menunjukkan suatu angka yang digunakan sebagai dasar

dalam menentukan tinggi rendahnya kematian suatu penduduk di

suatu wilayah.

3. Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah

yang lain. Pada awalnya, migrasi akan membawa dampak positif

yaitu mengakibatkan adanya modernisasi serta memperbaiki

kehidupan seorang migran, sehingga migrasi dapat mengubah

pandangan dan perilaku seorang migran, dapat menambah

keterampilan dan membuat para migrant lebih mempunyai kreatifitas

dan inovasi. Sedangkan dampak negatif dari perilaku migrasi adalah

mengakibatkan adanya proporsi penduduk yang lebih tinggi dari laju

pertumbuhan industri dan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat

berdampak pada terbatasnya kesempatan kerja.

Teori migrasi (Todaro, 2006) juga menjadi salah satu penyebab semakin

cepatnya pertumbuhan penduduk. Migrasi semakin berkembang karena adanya

perbedaan pendapatan yang terjadi di daerah pedesaan dan perkotaan. Para

imigran telah memikirkan berbagai kesempatan-kesempatan kerja yang tersedia

dan memilih salah satu dari pilihan-pilihan jenis pekerjaan yang tersedia yang

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

32

dianggap dapat memaksimalkan manfaat yang mereka inginkan dari bermigrasi

tersebut. Pertumbuhan penduduk yang meningkat di daerah pedesaan maupun

perkotaan, dimana kondisi perekonomian yang cenderung lebih baik daripada di

daerah pedesaan akan menyebabkan terdorongnya penduduk desa untuk

melakukan migrasi ke kota dengan harapan akan memperoleh kehidupan yang

jauh lebih baik daripada di daerah pedesaan. Adanya perpindahan penduduk

atau migrasi dari desa ke kota tersebut dapat mengakibatkan bertambahnya

jumlah penduduk di daerah perkotaan yang kemudian akan berdampak pada

terbatasnya lapangan pekerjaan dan rentan tidak mendapatkan kehidupan yang

layak.

Terdapat beberapa aspek-aspek kependudukan yang perlu diperhatikan di

negara-negara ketiga atau negara berkembang (Irawan dan Suparmoko, 2002),

antara lain:

a. Angka kelahiran (fertilitas) yang cenderung lebih tinggi daripada angka

kematian (mortalitas) di tiap tahunnya.

b. Adanya ketidakseimbangan struktur umur antara penduduk berusia

muda yang cenderung lebih banyak daripada penduduk yang berusia

dewasa atau lanjut usia.

c. Urbanisasi yang tinggi akan mengakibatkan padatnya jumlah penduduk

di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, sehingga terjadi

distribusi penduduk yang tidak merata.

d. Rendahnya kualitas penduduk yang disebabkan oleh rendahnya tingkat

pendidikan atau rendahnya keterampilan dan keahlian yang dimiliki,

sehingga hal-hal tersebut dapat menghalangi pembangunan ekonomi di

suatu negara.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

33

2.5 Hubungan Desentralisasi Fiskal, Pengeluaran Pemerintah Sektor

Pendidikan dan Kesehatan Serta Pertumbuhan Penduduk Terhadap

Kemiskinan

2.5.1 Hubungan Desentralisasi Fiskal Terhadap Kemiskinan

Secara umum, desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan

wewenang dan tanggung jawab yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah, dimana hal tersebut juga menyangkut tentang sumber-

sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. Menurut Mardiasmo (dalam

Sudewi dan Wirathi, 2013) menjelaskan bahwa pengelolaan desentralisasi fiskal,

memiliki hubungan yang positif terhadap meningkatnya kesejahteraan

masyarakat. Adanya pengelolaan desentralisasi fiskal yang baik dapat

mendorong pendapatan per kapita di suatu daerah, yang dikarenakan

pemerintah daerah tidak selamanya bergantung pada dana transfer yang

diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan terus menggali

potensi penerimaan asli daerah yang lain terutama dalam hal pajak dan retribusi

daerah.

Pada umumnya salah satu kegiatan dan program dalam prioritas pemerintah

daerah adalah menekan tingkat kemiskinan, sehingga diperlukan adanya

pengelolaan desentralisasi fiskal secara optimal, dimana mempunyai tujuan

penting yaitu agar pemerintah dapat merespon lebih cepat mengenai kebutuhan-

kebutuhan dasar penduduk miskin, misalnya dalam kebutuhan untuk

memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak. Tinggi rendahnya tingkat

kemiskinan merupakan dampak langsung dan tidak langsung dari kebijakan

desentralisasi fiskal terutama dalam hal desentralisasi pengeluaran, dimana

pemerintah memiliki peran yang sangat penting melalui kebijakan-kebijakan yang

telah dibuat untuk menekan tingkat kemiskinan dan mengalokasikan secara

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

34

efektif dan efisien anggaran pengeluarannya untuk menekan tingkat kemiskinan

tersebut. (Sapulveda dan Vazques dalam Hutabarat dan Sriyono, 2016).

Hubungan desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan juga diperkuat oleh

beberapa hasil penelitian lain, yaitu penelitian Abdillah dan Mursinto (2016) yang

menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap kemiskinan

dalam jangka panjang. Hal tersebut disebabkan adanya perbaikan regulasi pada

pengelolaan desentralisasi penerimaan, misalnya dalam peningkatan PAD

(Pendapatan Asli Daerah) yang dapat mengurangi tingkat kemiskinan suatu

daerah dalam jangka panjang. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan dapat ditekan

dengan mengalokasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke dalam alokasi

belanja publik melalui program-program yang berbasis pro poor. Peneliti lain

yaitu Valaris (2012), Hutabarat dan Sriyono (2016), Kusumaningrum (2013) juga

menyatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap tingkat kemiskinan.

2.5.2 Hubungan Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan Dan

Kesehatan Terhadap Kemiskinan

Salah satu peranan pemerintah adalah sebagai penyedia kebutuhan publik

di bidang pendidikan dan kesehatan, dimana hal tersebut tidak bisa disentuh oleh

sistem pasar yang disebabkan oleh adanya kegagalan pasar dan kaitannya

dengan peranan pemerintah sebagai peranan distribusi, alokasi dan stabilisasi.

Menurut Center for the Study of Living Standarts 2001 (dalam Widodo et al,

2011) menyebutkan bahwa bidang pendidikan merupakan suatu elemen

parenting dalam menanggulangi kemiskinan, memberdayakan perempuan serta

dapat mencegah anak-anak usia sekolah dari upaya eksploitasi. Pengeluaran

pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan akan memberikan kesempatan

pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih merata sehingga Sumber Daya

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

35

Manusia (SDM) yang berkualitas akan semakin meningkat. Meningkatnya

kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya

dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, sehingga hal tersebut akan

berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat dan berujung pada

pengurangan tingkat kemiskinan. Hubungan antara pengeluaran pemerintah

dengan tingkat kemiskinan diperkuat oleh beberapa penelitian yang dilakukan

oleh Muharajabdinul (2015), Trillo (2016) dan Widodo et al (2011) yang

menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan

kesehatan mampu mengurangi tingkat kemiskinan.

2.5.3 Hubungan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Kemiskinan

Menurut Maltus (dalam Saputra, 2011) penduduk suatu Negara cenderung

untuk tumbuh berdasarkan deret ukur yaitu dua kali lipat setiap 30 sampai 40

tahun. Pada saat yang sama, karena adanya hasil yang menurun dari faktor

produksi tanah, persediaan bahan pangan hanya tumbuh berdasarkan deret

hitung. Seiring berjalannya waktu, jumlah persediaan pangan tidak bisa

mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, maka pendapatan per

kapita (dalam masyarakat tani yang didefinisikan sebagai produksi pangan per

kapita) akan cenderung menurun.

Selain itu, adanya laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi tidak

hanya berdampak pada buruknya supply bahan pangan, namun juga

menyebabkan lambatnya proses pembangunan serta munculnya kendala

rendahnya kualitas sumber daya manusia yang nantinya akan berdampak pada

menurunnya pendapatan per kapita (Maier dalam Kuncoro, 2010). Hubungan

pertumbuhan penduduk terhadap kemiskinan juga diperkuat oleh penelitian dari

Mustika (2011) yang menyatakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk juga

berdampak pada besarnya tingkat kemiskinan.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

36

2.6 Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian tersebut menjadi acuan dalam

menyusun penelitian ini. Berikut merupakan beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Tabel 2.2 : Penelitian Terdahulu

No Penulis Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. Abdillah dan Mursinto

(2016)

The Effect of Fiscal Decentralization,

Economic Growth and Income

Inequality on Poverty Rate of

Indonesia’s 33 Provinces

Menggunakan dua buah model

dengan metode uji yang

berbeda. Model pertama

menggunakan metode Fixed

Effect dan model kedua

menggunakan metode Pooled

Least Square (PLS)

Dalam uji pada model pertama, desentralisasi

fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan. Namun, dalam uji pada model

kedua, desentralisasi fiskal berpengaruh

signifikan terhadap kemiskinan.

2. Banwo (2012) Fiscal Decentralization Policy and

Poverty Reduction: Lessons From

Nigeria

Menggunakan analisis regresi

OLS (Ordinary Least Square ).

Variabel desentralisasi fiskal, terutama

penerimaan pemerintah dan belanja publik

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

di Nigeria.

3. Hutabarat dan Sriyono

(2016)

Pengaruh Desentralisasi Fiskal,

Pengeluaran Pemerintah dan

Pertumbuhan Ekonomi Terhadap

Kemiskinan (Studi Kasus

Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan

Timur Tahun 2002-2013)

Penelitian tersebut

menggunakan analisis regresi

data panel dan uji statistik yaitu

uji-t, uji-F dan uji R-squared .

Variabel desentralisasi fiskal, pengeluaran

pemerintah dan pertumbuhan ekonomi

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

37

No Penulis Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian

4. Kusumaningrum (2013) Link of Fiscal Decentralization to

Poverty Reduction: Indonesian

Context

Menggunakan uji Paired Simple

Test.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan

terhadap tingkat kemiskinan, dimana hal

tersebut hanya dalam kasus di Provinsi Jawa

Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara.

5. Maharajabdinul et al

(2015)

Contribution of Fiscal Decentralization

To Poverty Reduction In Eastern

Indonesia

Menggunakan uji Structural

Equation Modelling (SEM).

Dari hasil uji tersebut, didapatkan hasil bahwa

variabel desentralisasi fiskal tidak

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

di wilayah bagian timur Indonesia. Sedangkan

variabel pengeluaran pemerintah di bidang

pendidikan dan kesehatan berpengaruh

signifikan terhadap kemiskinan.

6. Moche et al (2014) Fiscal Decentralization and Poverty in

South Africa: Evidence From Panel

Data Analysis

Penelitian tersebut

menggunakan uji GMM

(Generalized Method of

Moments.

Dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal

tidak berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan dalam jangka pendek.

7. Rao et al (1998) Fiscal Decentralization and Poverty

Alleviation in A Transitional Economy:

The Case of Viet Nam

Menggunakan analisis korelasi

dan uji statistik (uji-t, uji-F dan

uji R-square ).

Dapat disimpulkan bahwa perencanaan dan

pengalokasian desentralisasi fiskal secara

efektif dan efisien akan dapat mengurangi

kemiskinan, sehingga dapat dikatakan bahwa

desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan

terhadap kemiskinan.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

38

No Penulis Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian

8. Sudewi dan Wirathi

(2013)

Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan

Pertumbuhan Ekonomi Terhadap

Kemiskinan Provinsi Bali

Menggunakan uji statistik (uji-t,

uji-F dan uji R-square ).

Secara parsial dan simultan, variabel

desentralisasi fiskal dan pertumbuhan

ekonomi berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan di Provinsi Bali tahun 2003-2011.

9. Suwandi (2015) Fiscal Decentralization and Poverty in

Papua Province

Menggunakan analisis uji

statistik (uji-t, uji-F dan uji R-

square ).

Secara parsial dan simultan, variabel

desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan

terhadap kemiskinan di Provinsi Papua.

10. Trillo (2016) Poverty Alleviaton in Federal

Systems: The Case of Mexico

Penelitian yang dilakukan oleh

Trillo hanya menggunakan

metode Fixed Effect dan uji

statistik.

Dari hasil regresi yang dilakukan oleh Trillo,

didapatkan hasil bahwa pengeluaran

pemerintah di bidang pendidikan dan

kesehatan berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan di Mexico.

11. Valaris (2012) Fiscal Decentralization and Its Effect

on Poverty Evidence From Panel

Data on The Lower 48 American

States

Penelitian tersebut

menggunakan metode Fixed

Effect dan uji statistik

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan

terhadap tingkat kemiskinan.

12. Widodo et al (2011) Analisis Pengaruh Pengeluaran

Pemerintah di Sektor Pendidikan dan

Kesehatan Terhadap Pengentasan

Kemiskinan Melalui Peningkatan

Pembangunan Manusia di Provinsi

Jawa Tengah

Analisis variabel IPM sebagai

variabel moderator

menggunakan uji Moderated

Regression Analysis (MRA), uji

residual, uji pure moderator dan

uji nilai selisih mutlak.

Sedangkan analisis variabel IPM

sebagai variabel intervening

(mediating) menggunakan uji

Path Analysis dan uji Sobel.

Variabel pengeluaran pemerintah di sektor

pendidikan dan kesehatan berpengaruh

signifikan terhadap kemiskinan dalam jangka

panjang.

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

39

Sumber: Dari berbagai sumber (dirangkum)

No Penulis Judul Metode Penelitian Hasil Penelitian

13. Saputra (2011) Analisis Pengaruh Jumlah Penduduk,

PDRB, IPM, Pengangguran Terhadap

Tingkat Kemiskinan di

Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Menggunakan metode Fixed

Effect , uji asumsi klasik dan uji

statistik.

Variabel jumlah penduduk berpengaruh

signifikan dan positif terhadap kemiskinan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap

pertambahan jumlah penduduk dapat

mengakibatkan semakin tingginya

kemiskinan.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

40

2.7 Kerangka Pikir

Secara garis besar, kerangka pikir penelitian ini dapat disampaikan

sebagai berikut:

Gambar 2.1 : Kerangka Pikir Penelitian

Sumber: Berbagai sumber (dirangkum)

UU No. 32 Tahun 2004

UU No. 33 Tahun 2004

Desentralisasi Fiskal Variabel Pendukung

Pengeluaran

Pemerintah

Pertumbuhan

Penduduk

Kemiskinan

Sektor Pendidikan Sektor Kesehatan

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

41

Kerangka pikir penelitian ini adalah berawal dari munculnya UU Nomor

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun

2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang merupakan

sebagai dasar dari munculnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Dalam desentralisasi fiskal, terdapat pengaturan dalam mengelola keuangan

daerahnya masing-masing yang sebagaimana pemerintah daerah mengelola

secara maksimal Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)nya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah daerah

akan terus meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah terutama

Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta mengelola dan memanfaatkan

pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan publik secara efektif dan efisien,

terutama untuk kebutuhan belanja publik di bidang pendidikan dan

kesehatan yang merupakan salah satu prioritas utama pemerintah daerah

dalam mempercepat proses pembangunan. Selain itu, fokus pemerintah

yang lain dalam mempercepat proses pembangunan daerah adalah untuk

menekan laju pertumbuhan penduduk. Sebuah penelitian menunjukkan

bahwa tingginya laju pertumbuhan penduduk dapat menyebabkan semakin

tingginya tingkat kemiskinan dan pada akhirnya akan berujung pada suatu

tuntutan untuk terus mengeluarkan pengeluaran pemerintah (belanja publik)

guna mempercepat proses pembangunan, dimana kemiskinan merupakan

salah satu faktor penyebab terhambatnya pembangunan daerah. Maka dari

itu, pengelolaan dalam penerimaan dan pengeluaran daerah, pemanfaatan

pengeluaran pemerintah (belanja publik di bidang pendidikan dan

kesehatan) dan penekanan laju pertumbuhan penduduk merupakan salah

satu fokus pemerintah daerah dalam mempercepat pembangunan daerah,

dalam hal ini mengerucut pada upaya mengurangi tingkat kemiskinan.

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Otonomi Daerahrepository.ub.ac.id/2840/3/BAB II.pdf · sendiri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan peraturan perundang-undangan

42

2.8 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teori dan penelitian terdahulu yang

telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis menarik hipotesis sebagai anggapan

sementara sebagai berikut.

1. Diduga bahwa variabel desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan

terhadap kemiskinan.

2. Diduga bahwa variabel pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

3. Diduga bahwa variabel pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

4. Diduga bahwa variabel pertumbuhan penduduk berpengaruh signifikan

terhadap kemiskinan.