bab ii landasan teori 2.1. konstruksi jalan rayaeprints.umm.ac.id/53828/3/bab 2.pdf · proses...
TRANSCRIPT
-
11
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Konstruksi Jalan Raya
Menurut Soedarsono (1979) konstruksi jalan raya merupakan suatu
konstruksi plat elastis yang berlapis – lapis dan terletak di atas tanah dasar.
Konstruksi jalan raya bertujuan untuk membangun sarana dan prasarana sebagai
salah satu penyedia akses transportasi berupa barang maupun jasa yang
menghubungkan antar wilayah dimana masyarakat mempunyai hak untuk
menggunakannya serta dalam penggunaannya diatur oleh hukum yang berlaku.
Konstruksi jalan raya sebagai salah satu kegiatan pembangunan moda transportasi
darat mempunyai peranan penting dalam sebuah komponen pembangunan di
dalam sektor wilayah ataupun regional yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi
sehingga menjadi salah satu unsur pengembang dari potensi – potensi sumber
daya baik yang belum ada ataupun yang sudah ada agar lebih berdaya – guna.
2.2. Pembentukan Jalan
Menurut Wignall, dkk (2003) pembentukan jalan ada beberapa cara, yaitu :
1. Ketersediaan masyarakat, artinya pemilik tanah memperbolehkan masyarakat
untuk menggunakannya sehingga tanah tersebut menjadi jalan.
2. Pengaturan berdasarkan ketetapan hukum yang berlaku.
3. Merupakan bagian dari desain pengembangan kota menurut Peraturan
Perencanaan Kota dan Daerah (Town and Country Planning Act) yang sudah
disetujui.
2.3. Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan merupakan bagian berupa struktur susunan lapisan yang
diletakkan di atas tanah dasar yang dikerjakan dari campuran bahan pengikat dan
material agregat yang berfungsi memikul beban lalu lintas di atasnya. Wignall,
dkk (2003) menjelaskan bahwa permukaan perkerasan jalan memikul beban statis
dan dinamis kemudian terdistribusi menuju lapisan dibawahnya secara vertikal
berbentuk piramida menerus sampai ke dalam lapisan tanah dasar.
-
12
Pembuatan perkerasan jalan bertujuan untuk mengurangi tegangan dan
tekanan pada tanah yang dihasilkan dihasilkan oleh beban langsung (statis) serta
beban roda kendaraan atau bergerak (dinamis) sehingga menjadi solusi agar tanah
dapat menyokong beban di atasnya. Hal ini dapat terjadi karena arah distribusi
beban yang berbentuk piramid ke arah vertikal menyebabkan peningkatan
distribusi tegangan ke seluruh lapis perkerasan, kemudian tegangan diteruskan
dari lapisan perkerasan menuju lapisan tanah dasar dengan nilai tegangan yang
relatif kecil, menyebabkan lapisan tanah dasar tidak mengalami kerusakan.
Gambar 2.1 Distribusi Beban Kendaraan (Wignall 2003:78)
2.4. Syarat – Syarat Kekuatan Perkerasan Jalan
Menurut Sukirman (1999) syarat – syarat konstruksi jalan dalam memikul
beban diatasnya diantaranya :
1. Ketebalan yang cukup untuk mendistribusikan beban menuju lapisan tanah
dasar.
2. Memiliki kekakuan untuk memikul beban di atasnya sehingga meminimalisir
defleksi.
3. Material tahan air sehingga air tidak terserap ke lapisan bawah.
4. Permukaan perkerasan harus lancar mengalirkan air.
Untuk mencakup syarat – syarat di atas, struktur perkerasan jalan harus
memperhatikan hal – hal di bawah ini, meliputi :
1. Perencanaan tebal setiap lapisan perkerasan yang dapat ditentukan sesuai
dengan kekuatan lapisan tanah dasar, jenis lapisan perkerasan, beban lalu
lintas, dan keadaan lingkungan.
-
13
2. Susunan campuran tertentu berdasarkan analisa campuran bahan berdasarkan
ketersediaan bahan dan mutu yang sudah direncanakan memenuhi spesifikasi
standar jenis lapisan yang akan ditentukan.
3. Pelaksanaan dan pengawasan pekerjaan dengan baik dan cermat sehingga
menghasilkan pekerjaan tebal perkerasan sesuai perencanaan.
4. Pemelihraan secara berkala pada struktur perkerasan jalan.
2.5. Jenis – Jenis Perkerasan
Jenis – jenis perkerasan pada umumnya terbagi menjadi 3 jenis menurut
bahan pengikatnya (Sukirman, 1999) diantaranya :
1. Perkerasan Kaku/Beton Semen (Rigid Pavement)
2. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement)
2.5.1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur adalah jenis perkerasan yang terdiri dari beberapa
lapisan dengan bahan pengikat aspal dan dibangun diatas lapisan tanah dasar yang
sudah dilakukan pemadatan terlebih dahulu (Sukirman, 1999). Memiliki lapisan –
lapisan yang bekerja sama untuk menahan dan mendistribusikan beban lalu lintas
secara vertikal menuju tanah dasar.
Gambar 2.2 Struktur Lapisan Perkerasan Lentur (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002:230)
Berdasarkan Gambar 2.2 struktur lapisan perkerasan terbagi menjadi 4 yaitu :
1. Lapisan Permukaan (Surface Course)
Bagian teratas perkerasan yaitu lapisan permukaan dengan fungsi sebagai :
- Sebagai lapisan aus, karena sangat dibutuhkan dalam lapis permukaan
memiliki sifat kedap air dan memberikan efek gesekan bagi kendaraan. Pada
-
14
umumnya bahan yang digunakan sama dengan lapis pondasi tetapi memiliki
persyaratan yang lebih tinggi. Dalam hal ini faktor kegunaan, umur rencana
jalan serta langkah – langkah pelaksanann kontruksi harus diperhatikan agar
dicapai manfaat yang semaksimal mungkin.
- Penahan beban roda selama pengoperasiannya, maka dari itu lapisan
permukaan harus mempunyai stabilitas yang tinggi.
- Lapisan perkerasan mampu menyebarkan beban ke lapisan bawah dengan
baik.
2. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)
Bagian ini terletak setelah lapisan permukaan yang memiliki beberapa
fungsi, di antaranya :
- Penahan gaya geser dari roda kendaraan.
- Bantalan bagi lapisan permukaan.
- Lapisan yang mendistribusikan beban dinamis ke lapisan di bawahnya.
3. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Bagian yang terletak di bawah lapisan pondasi atas yang memiliki
beberapa fungsi, diantaranya :
- Lapisan yang mendistibusikan beban di atasnya menuju lapisan tanah dasar.
- Penyerap air berfungsi untuk mengurangi kadar air di lapisan pondasi.
- Lapisan pertama yang selanjutnya akan dilapisi lapisan – lapisan di atasnya.
- Pencegah tanah dasar supaya tidak bercampur dengan lapisan podasi.
4. Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)
Merupakan bagian paling bawah sebagai tempat konstruksi lapisan
diletakkan. Pada bagian ini, lapisan berupa tanah asli yang langsung dilakukan
proses pemadatan. Jika memiliki tanah asli yang cenderung jelek harus dilakukan
stabilisasi dengan bahan tertentu atau penambahan tanah dari tempat lain.
2.5.2. Perkerasan Kaku/Beton Semen (Rigid Pavement)
Menurut Wignall, dkk (2003) perkerasan ini merupakan jenis konstruksi
jalan berbahan pengikat semen. Struktur utama perkerasan kaku diletakkan di atas
tanah dasar berupa lembaran pelat beton yang dibawahnya terdapat atau tanpa
lapisan pondasi bawah. Perkerasan ini tidak mengalami lendutan akibat beban lalu
-
15
lintas karena kekuatan lembaran pelat beton yang tinggi. Berbeda dengan
perkerasan lentur, lapis aus dan struktur utama terdapat pada pelat beton, maka
dalam perencanaannya beton yang digunakan harus memiliki mutu tinggi,
permukaannya harus rata serta tahan dari berbagai cuaca sehingga dalam masa
operasionalnya nyaman untuk dilalui kendaraan.
Gambar 2.3 Struktur Lapisan Perkerasan Kaku (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:7)
Ada 4 jenis perkerasan kaku/beton semen, di antaranya :
- Perkerasan kaku bersambung tidak menggunakan tulangan (Jointed
Unreinforced Rigid Pavement).
- Perkerasan kaku bersambung menggunakan tulangan (Jointed Reinforced
Rigid Pavement).
- Perkerasan kaku menerus menggunakan tulangan (Continously Reinforced
Concrete Pavement).
- Perkerasan kaku pra-tegang (Prestressed).
Komponen – komponen perkerasan kaku adalah sebagai berikut :
1. Tulangan
Menurut Alamsyah (2006) fungsi dasar pendistribusian tulangan baja pada
perkerasan jalan kaku adalah untuk meminimalisir luas kerusakan akibat retak
yang muncul pada titik beban terpusat supaya menghindari perkerasan mengalami
pembelahan akibat retakan sehingga kekuatan pelat beton dapat dipertahankan.
Idealnya banyak unit pelat beton diterapkan pada perkerasan jalan kaku yang
disatukan menggunakan sambungan melintang dan sambungan memanjang
pengecualian terhadap perkerasan kaku menerus hanya mempunyai sambungan
-
16
memanjang dengan persyaratan lebar perkerasan melebihi 6 meter. Kelemahan
setiap sambungan adalah adanya celah yang membuat air dan material lain masuk,
sehingga dibutuhkan sealant untuk menutup sambungan. Sambungan dibedakan
menjadi sambungan melintang dan sambungan memanjang.
2. Penulangan
Tulangan besi baja yang dirangkai atau difabrikasi biasa disebut juga
dengan pelat besi rol dengan suhu tinggi dengan mutu 250 maupun 460 atau pelat
besi putih merupakan komponen umum penulangan dalam pelaksanaan konstruksi
perkerasan kaku. Besi tulangan yang digunakan syaratnya bersih dari berbagai
kotoran, oli, karat, dan tidak terkelupas. Kebutuhan penulangan pada perkerasan
dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung dari kebutuhannya yaitu
penulangan pada perkerasan kaku bersambung dengan atau tanpa tulangan.
Sebenarnya perkerasan ini masih menggunakan beberapa tulangan agar
meminimalisir retakan. Luas tulangan yang diperlukan dihitung menggunakan
Persamaan 2.1.
........................................................................................... (2.1)
dimana :
As = Luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)
F = Koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya
L = Jarak antara sambungan (m)
h = Tebal pelat (mm)
fs = Tegangan tarik baja ijin (Mpa)
3. Sambungan Melintang
Sambungan melintang patut didesain secara tegak lurus atas sumbu
memanjang jalan kecuali pada kawasan persimpangan atau bundaran. Untuk
mencegah gerakan vertikal yang tidak sama antar pelat satu dengan lainnya, maka
sambungan membutuhkan ruji (dowel). Pada bagian tengah tebal pelat dipasang
ruji yang letaknya sejajar dengan sumbu memanjang jalan. Bagian sisi ujung ruji
terikat dengan beton sama untuk sisi lainnya tetapi terikat pada pelat lainnya.
Perletakkan ruji dapat dilihat pada Gambar 2.4.
-
17
Gambar 2.4 Pemasangan Dowel pada Pelat Beton Melintang (Wignall, dkk 2003:104)
4. Sambungan Memanjang
Pemasangan sambungan memanjang tergantung dari lebar perkerasan
kaku yang akan direncanakan, jika lebar perkerasan melebihi 4,20 m maka
memerlukan lebih dari satu sambungan didesain secara tipikal posisinya terhadap
pembagian lajur lalu lintas. Tie bar dipasang untuk menghindari perbedaan
lendutan antar pelat dalam arah memanjang yang terbuat dari baja lunak. Pada
bagian tengah tebal pelat dipasang Tie bar. Kebutuhan tulangan memanjang dapat
dihitung menggunakan Persamaan 2.2.
Gambar 2.5 Pemasangan Tie Bar pada Pelat Beton Memanjang (Wignall, dkk 2003:104)
-
18
....................................................................... (2.2)
dimana :
Ps = Persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap penampang
penamp beton (%)
ft = Kuat tarik beton yang digunakan 0,4 – 0,5 f (Mpa)
fy = Tegangan leleh rencana baja, fy < 400 Mpa
n = Angka ekivalen antara baja dan beton = Es/Ec
F = Koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya
Es = Modulus elastisitas baja
Ec = Modulus elastisitas beton
Pada perkerasan beton menerus memiliki persentase minimum tulangan
memanjang sebesar 0,6% dari luas penampang beton.
5. Lapisan Pondasi Bawah
Pada umumnya material yang bersifat keras, kuat, tahan lama, tidak
mengalami reaksi kimia serta dapat dipadatkan dengan baik seperti material
berbutir menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya atau beton tumbuk
digunakan untuk lapis pondasi bawah.
Menurut Alamsyah (2006) tujuan dan keuntungan penggunaan lapisan
pondasi bawah pada struktur perkerasan di antaranya :
- Daya dukung tanah bertambah besar.
- Membuat kestabilan pada lantai kerja.
- Daya dukung permukaan yang sama.
- Meminimalisir deformasi pada sambungan pelat beton untuk menjamin
pendistribusian beban melewati sambungan dalam jangka waktu yang cukup
lama.
- Mencegah pemuaian atau penyusutan yang diakibatkan dari volume lapisan
tanah dasar yang berubah.
- Untuk menghindari pumping, air yang keluar dari sambungan maupun tepi
pelat.
-
19
2.5.3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement)
Merupakan jenis perkerasan kombinasi antara perkerasan rigid dan
diatasnya dilapisi dengan perkerasan lentur dimana kedua perkerasn tersebut
bersama – sama dalam memikul beban lalu lintas. Struktur perkerasan terdiri atas
beberapa lapisan, lapisan pondasi bawah terbuat dari campuran beton dengan
bahan pengikat semen sedangkan lapisan di atasnya menggunakan perkerasan
lentur. Pada struktur ini, perkerasan kaku berupa pelat beton digunakan sebagai
lapisan pondasi, sedangkan untuk lapisan pondasi bawah disesuaikan sesuai
dengan struktur lapisan perkerasan lentur.
2.6. Klasifikasi Jalan
2.6.1. Klasifikasi Jalan Menurut Sistem dan Fungsinya
Sistem Jaringan Jalan di Indonesia terbagi menjadi 2 sistem jaringan jalan
meliputi jaringan jalan primer dan sekunder, hal ini sudah diatur oleh UU No. 13
Tahun 1980 Tentang Jalan dan PP No. 26 Tahun 1985.
1. Jaringan Jalan Primer
Merupakan sistem jaringan jalan yang berperan dalam jasa distribusi di
dalam suatu wilayah yang menghubungkan antara wilayah nasional ke ibukota
provinsi, ibukota kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan hingga jenjang
dibawahnya. Selain itu, jaringan jalan ini berfungsi sebagai penghubung antar
wilayah ibukota provinsi. Sistem jaringan jalan primer terbagi menjadi 3
berdasarkan fungsinya, di antaranya :
- Jalan Arteri Primer
Jalan arteri primer sebagai jalan penghubung antar ibukota provinsi yang
terletak berdampingan atau jalan penghubung antara ibukota provinsi dengan
ibukota kotamadya/kabupaten. Kecepatan rencana minimum 60 km/jam dengan
desain lebar badan jalan minimum 8 meter.
- Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer sebagai jalan penghubung antara ibukota provinsi
dengan kecamatan atau pengubung antara ibukota kotamadya atau kabupaten
dengan kecamatan. Kecepatan rencana minimum 40 km/jam dengan desain lebar
badan jalan minimum 7 meter.
-
20
- Jalan Lokal Primer
Jalan lokal primer sebagai jalan penghubung antar kecamatan atau
kecamatan dengan kelurahan/tingkat di bawahnya. Kecepatan rencana paling
rendah minimum 20 km/jam dengan desain lebar badan jalan minimum sebesar 6
meter.
2. Jaringan Jalan Sekunder
Jaringan jalan sekunder sebagai sistem jaringan jalan yang berperan dalam
jasa distribusi pada suatu wilayah perkotaan penghubung kawasan fungsi primer,
fungsi sekunder hingga jenjang di bawahnya Sistem jaringan jalan sekunder
menurut fungsinya terbagi menjadi 3 jalan, di antaranya :
- Jalan Arteri Sekunder
Jalan penghubung antara kawasan primer dengan kawasan sekunder.
Kecepatan rencana minimum 30 km/jam dengan desain lebar badan jalan
minimum 8 meter.
- Jalan Kolektor Sekunder
Merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpul untuk kepentingan
masyarakat yang menghubungkan wilayah dalam kota. Kecepatan rencana
minimum 20 km/jam dengan desain lebar badan jalan minimum 7 meter.
- Jalan Lokal Sekunder
Merupakan jalan yang menghubungkan antar jaringan jalan di dalam kota
dengan permukiman. Kecepatan rencana minimum 10 km/jam dengan desain
lebar badan minimum 5 meter.
2.6.2. Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Administrasi Pemerintahan
Menurut Alamsyah (2006) klasifikasi jalan menurut wewenang
administrasi pemerintahan dengan ketentuan – ketentuan hukum yang berlaku
supaya jalan digunakan sesuai dengan wewenang pemerintah yang terbagi
menjadi beberapa klasifikasi jalan di antaranya :
- Jalan Nasional
Merupakan jalan penghubung ibukota provinsi dengan ibukota provinsi
lain, atau secara spesifik jalan yang dibangun untuk kepentingan nasional, yaitu
-
21
jalan yang nantinya berdampak menguntungkan bagi kesatuan dan keutuhan
nasional.
- Jalan Provinsi
Merupakan salah satu jalan yang terdapat pada sistem jaringan primer
terbagi menjadi jalan arteri dan jalan kolektor yang fungsinya untuk
menghubungkan antara ibukota provinsi dengan kabupaten/kota, penghubung
jalan antar ibukota kabupaten/kota atau istilah lainnya jalan provinsi yaitu jalan
dengan fungsi nilai strategisnya atas kepentingan provinsi seperti menjamin
terselenggaranya proses ke pemerintahan daerah tingkat I.
- Jalan Kabupaten
Merupakan jalan penghubung antara kabupaten/kota dengan kecamatan,
penghubung antar kecamatan atau pengubung antara kecamatan dengan
kelurahan/tingkat dibawahnya atau jalan yang menjamin terselenggaranya proses
kepemerintahan dalam pemerintah daerah.
- Jalan Kota
Jalan kota merupakan jalan yang menghubungkan kawasan di dalam
daerah perkotaan.
- Jalan Desa
Jalan desa merupakan jaringan jalan yang menghubungkan kawasan di
dalam wilayah kelurahan/desa dari hasil gotong royong masyarakat di tingkat
kelurahan/desa,
- Jalan Khusus
Jalan yang didirikan dan diurus oleh badan lembaga tertentu dengan tujuan
khusus badan instansi itu sendiri.
- Jalan Bebas Hambatan/Tol
Jalan Bebas Hambatan merupakan jalan yang khusus dibangun sebagai
alternatif jalan yang memiliki spesifikasi diatas jalan raya pada umumnya
sehingga jalan tol harus memberikan fungsi kelebihannya kepada pengendara
dalam hal mobilitas dari suatu wilayah ke wilayah lainnya dimana pelaksanaannya
diatur oleh pemerintah.
-
22
2.6.3. Klasifikasi Jalan Berdasarkan Tipe Jalan
Menurut Alamsyah (2001) Jalan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu jalan tipe I
(kontrol akses penuh) merupakan akses jalan masuk langsung yang sangat dibatasi
secara efisien, dan jalan tipe II (kontrol sebagian atau tanpa akses) merupakan
akses jalan masuk langsung yang diijinkan secara terbatas.
2.6.4. Klas Jalan
Klas jalan merupakan pembagian tingkatan jalan berdasarkan fungsi jalan,
seperti pada Tabel 2.1 Klas jalan dalam standar tekanan gandar tunggal (single
axle load) dimana berat maksimum per pasang roda tidak boleh melebihi batas
yang telah ditentukan dinyatakan dalam ton dan sudah dibedakan sesuai dengan
klas jalan yang diizinkan seperti seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Klas Jalan Menurut Tipe Jalan
Tipe Jalan Klas Jalan Keterangan
Tipe I
Klas I
Jalan dengan standar tinggi untuk melayani antar
wilayah atau antar kota untuk kecepatan tinggi
dengan pembatasan jalan masuk.
Klas II
Jalan dengan standar tinggi untuk melayani antar
wilayah atau di dalam metropolitan untuk kecepatan
tinggi dengan pembatasan jalan masuk.
Tipe II
Klas I
Jalan dengan standar tinggi 4 lajur atau lebih untuk
antar kota atau dalam kota kecepatan tinggi, volume
lalu lintas tinggi dengan masih ada beberapa
pembatasan jalan masuk.
Klas II
Jalan dengan standar tinggi, 2 jalur atau lebih untuk
melayani antar/dalam kota, kecepatan tinggi, volume
lalu lintas sedang dengan/tanpa pembatasan jalan
masuk.
Klas III
Jalan dengan standar menengah, 2 jalur atau lebih
melayani antar distrik, kecepatan sedang, volume lalu
lintas tinggi tanpa pembatasan jalan masuk.
Klas IV Jalan dengan standar rendah, 1 lahur dua arah sebagai
jalan penghubung.
(Alamsyah 2006:15)
Tabel 2.2 Klas Jalan dalam Standar Tekanan Gandar Tunggal
No. Klas Jalan Tekanan Gandar Tunggal
1 Klas I 7,00 ton
2 Klas II 5,00 ton
3 Klas III 3,50 ton
4 Klas III a 2,75 ton
5 Klas IV 2,00 ton
6 Klas V 1,50 ton
(Sudarsono 1979:12)
-
23
2.6.5. Kecepatan Rencana
Kecepatan yang telah ditetapkan sebagai acuan desain meliputi hubungan
antar segi – segi wujudnya berdampak pada operasional kendaraan adalah
pengertian dari kecepatan rencana. Dalam hal ini, pergerakan kendaraan seolah –
seolah dikendalikan karena kecepatan maksimum kendaraan dapat dipertahankan
serta dapat dibedakan seperti pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Klas Jalan Berdasarkan Kecepatan Rencana
Tipe Jalan Klas Jalan Kecepatan (km/jam)
Tipe I Klas I 100 atau 80
Klas II 100 atau 60
Tipe II
Klas I 60
Klas II 60 atau 50
Klas III 40 atau 30
Klas IV 30 atau 20
(Alamsyah 2006:16)
2.7. Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Kaku Menurut Pedoman Bina
Marga Pd T-14-2003
2.7.1. Lalu Lintas
Dalam perkerasan kaku, jumlah sumbu kendaraan niaga digunakan untuk
menyatakan penetapan beban kendaraan berdasarkan konfigurasi sumbu
kendaraan pada lajur rencana sepanjang umur rencana. Data terkahir atau dua
tahun terakhir lalu lintas digunakan sebagai dasar perhitungan analisis volume lalu
lntas dan konfigurasi sumbu. Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah (2003) terdapat jenis konfigurasi kelompok sumbu kendaraan untuk
perkerasan kaku yang terbagi menjadi 4 jenis, diantaranya :
- Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)
- Sumbu tunggal roda ganda (STRG)
- Sumbu tandem roda ganda (STdRG)
- Sumbu tridem roda ganda (STrRG)
2.7.2. Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi
Suatu ruas jalan raya yang didalamnya terdapat lajur lalu lintas berfungsi
untuk memuat lalu lintas kendaraan niaga terbesar merupakan pengertian dari
lajur rencana. Pada umumnya lajur rencana ini ditandai dengan tanda batas lajur
untuk mengetahui jumlah lajur dalam suatu ruas jalan. Terdapat kondisi dimana
-
24
suatu jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka dari itu jumlah lajur dapat
ditentukan sesuai dengan Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan dan Koefisien Distribusi
(C) Kendaraan Niaga pada Lajur Rencana
Lebar Perkerasan (Lp) Jumlah Lajur (nl) Koefisien Distribusi
1 Arah 2 Arah
Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1
5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 2 lajur 0,70 0,500
8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 3 lajur 0,50 0,475
11,25 m ≤ Lp < 15,00 m 4 lajur - 0,450
15,00 m ≤ Lp < 18,75 m 5 lajur - 0,425
18,75 m ≤ Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,400
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:10)
2.7.3. Umur Rencana
Total waktu dalam tahun dihitung sejak operasional awal jalan hingga
dilakukan pemeliharaan penuh (rekonstruksi) atau kebutuhan untuk dilakukan
proses pelapisan tambahan atau lapisan baru merupakan pengertian dari umur
rencana. Pemeliharaan tetap dilakukan selama umur rencana seperti pelapisan aus
yang sifatnya berupa nonstruktural. Menurut Alamsyah (2006) umur rencana 20
tahun umumnya untuk perkerasan jalan baru dan untuk peningkatan jalan sebesar
10 tahun. Saat ini umur rencana yang ideal berkisar antara 20 tahun tetapi melihat
bahwa perkembangan lalu lintas tiap tahun selalu bertumbuh besar dan data lalu
lintas yang tidak menentu mengakibatkan umur rencana diatas 20 tahun sudah
tidak lagi efektif.
2.7.4. Pertumbuhan Lalu Lintas
Persamaan 2.3 dapat digunakan untuk menghitung faktor pertumbuhan
lalu lintas dimana kapasitas jalan dicapai atau sesuai dengan umur rencana.
............................................................................................. (2.3)
dimana :
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
i = Laju pertumbuhan lalu lintas (%)
UR = Umur rencana (tahun)
Petumbuhan lalu lintas dapat dihitung menggunakan persamaan maupun
ditentukan berdasarkan Tabel 2.5.
-
25
Tabel 2.5 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R)
Umur Rencana
(Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:11)
Persamaan R dapat berbeda saat kondisi pertumbuhan lalu lintas pada waktu
tertentu sudah tidak berlangsung sesuai dengan Persamaan 2.4.
{ } .............................................. (2.4)
dimana :
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
i = Laju pertumbuhan lalu lintas (%)
URm = Waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai
2.7.5. Lalu Lintas Rencana
Total rekapitulasi sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana sepanjang
umur rencana termasuk didalamnya total sumbu dan sebaran beban terhadap
masing – masing jenis kendaraan adalah pengertian dari lalu lintas rencana.
Persamaan 2.5 digunakan untuk menghitung JKSN.
....................................................................... (2.5)
dimana :
JSKN = Jumlah total sumbu kendaraan niaga pada umur rencana
JSKNH= Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka
R = Faktor pertumbuhan lalu lintas
C = Koefisien distribusi kendaraan
2.7.6. Faktor Keamanan Beban
Beban rencana dapat dihitung dengan mengalikan nilai FKB dengan beban
sumbu, nilai FKB sendiri disesuaikan terhadap penggunaan jalan. Untuk nilai FKB
ditentukan pada Tabel 2.6.
-
26
Tabel 2.6 Faktor Keamanan Beban (FKB)
No. Penggunaan Nilai
FKB 1 Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur banyak,
yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga
yang tinggi.
Bila menggunakan data lalu lintas dari hasil survai beban (weight-in-
motion) dan adanya kemungkinan rute alternatif, maka nilai faktor
keamanan beban dapat dikurangi menjadi 1,15.
1,2
2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume
kendaraan niaga menengah 1,1
3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1,0
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:12)
2.7.7. Daya Dukung Tanah (DDT)
Beban kendaraan yang berasal dari lapisan – lapisan diatasnya selanjutnya
diterima oleh lapisan tanah dasar, mulanya beban kendaraan yang diterima lapisan
permukaan akan diteruskan ke bawah menuju lapisan tanah dasar. Oleh karena itu,
kekuatan tanah dasar menentukan tingkat kerusakan jalan selama masa
operasionalnya. Faktor – faktor seperti konsistensi kepadatan tanah, jenis tanah,
keadaan drainase, kadar air dapat mempengaruhi DDT (Sukirman, 1999). Kadar
air tidak berpengaruh terhadap tanah yang padat karena volume tanah cenderung
tidak mudah berubah serta memiliki nilai DDT yang lebih besar daripada tanah
yang memiliki tingkat kepadatan rendah. DDT dalam perencanaan perkerasan
dinyatakan dalam nilai CBR.
Pengujian CBR insitu untuk perencanaan tebal perkerasan lama ditentukan
sesuai SNI 03-1731-1989 sedangkan perkerasan baru dengan CBR Lab sesuai SNI
03-1744-1989. Pondasi bawah dari beton kurus setebal 15 cm dipasang untuk
perkerasan dengan nilai CBR tanah dasar kurang dari 2% karena diasumsikan
untuk pondasi beton kurus memiliki nilai CBR sebesar 5%
2.7.8. CBR (California Bearing Ratio)
Nilai perbandingan lapisan tanah dengan bahan/agregat perkerasan dengan
penetrasi dan kedalaman yang sama adalah pengertian dari CBR. Dari
perbandingan kualitas tanah dasar dengan agregat seperti batu pecah didapat harga
CBR yang digunakan sebagai acuan dalam memikul beban lalu lintas.
-
27
2.7.9. Pondasi Bawah
Pondasi bawah berperan sebagai lapisan pendukung struktur di atasnya.
Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) pondasi bawah
bisa terdiri dari bahan – bahan seperti :
- Stabilisasi tanah dengan bahan pengikat
- Bahan berbutir
- Campuran beton kurus maupun beton giling padat
Perencanaan lapisan pondasi memiliki ketebalan minimum 10 cm dengan mutu
berdasarkan SNI No. 03-6388-2000 dan SNI 03-1743-1989. Tambahan beton
kurus digunakan pada pondasi bawah untuk desain perkerasan kaku bersambung
tanpa ruji. Lapisan pondasi bawah juga ditentukan dari besarnya jumlah total
sumbu kendaraan niaga, jika jumlah totalnya semakin besar maka digunakan
campuran beton kurus dengan tebal minimum 12,5 cm. Sedangkan semakin tinggi
nilai CBR maka hanya digunakan bahan pengikat pada lapisan pondasinya.
Gambar 2.6 digunakan untuk menentukan minimum tebal lapis pondasi bawah
sedangkan Gambar 2.7 digunakan untuk menentukan nilai CBR tanah dasar
efektif.
Gambar 2.6 Grafik Tebal Pondasi Bawah Minimum untuk Perkerasan Beton
Semen (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:8)
-
28
Gambar 2.7 Grafik CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Perkerasan Pondasi
Bawah (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:8)
2.7.10. Material Pondasi Bawah
Stabilisasi dengan bahan pengikat semen, material berbutir, dan campuran
beton kurus merupakan material yang umum dijumpai pada pondasi bawah.
Material pondasi bawah berbutir tanpa pengikat memiliki syarat berdasarkan SNI
03-6388-2000. Spesifikasi bahan untuk pondasi bawah sebesar 3% – 5% untuk
penyimpangan ijin dan memiliki gradasi kelas B wajib dipenuhi dalam pengujian
gradasi sebelum pekerjaan pondasi bawah. Pondasi dengan ketebalan minimum
15 cm digunakan pada CBR tanah dasar sebesar 5%. Pondasi bawah dengan
stabilisasi bahan pengikat (bound sub-base) meliputi material kapur, semen, abu
terbang yang sebelumnya mengalami proses penghalusan. Syarat campuran beton
kurus (lean-mix concrete) sebagai pondasi bawah saat diuji pada umur 28 hari
harus memilki nilai kuat tekan beton minimum sebesar 7 Mpa dengan campuran
abu terbang sedangkan 5 Mpa tanpa campuran abu terbang dan harus memiliki
ketebalan minimum sebesar 10 cm.
Untuk mencegah terjadinya ikatan antara pondasi bawah dan pelat maka
dilakukan perencanaan lapisan pemecah ikatan. Koefisien gesekan ditentukan
berdasarkan jenis lapis pemecah ikatannya sesuai dengan Tabel 2.7.
-
29
Tabel 2.7 Nilai Koefisien Gesekan (μ)
No. Lapis Pemecah Ikatan Koefisien Gesekan (μ)
1 Lapis resap ikat aspal di atas permukaan pondasi bawah 1,0
2 Laburan parafin tipis pemecah ikat 1,5
3 Karet kompon (a chlorinated rubber curing compound) 2,0
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:9)
2.7.11. Beton Semen
Hasil pengujian balok sesuai dengan standar pengujian kuat tarik lentur
menggunakan pembebanan tiga titik (ASTM C-78) digunakan untuk menyatakan
nilai kekuatan beton umur 28 hari idealnya sebesar 3 Mpa sampai 5 Mpa atau 30
kg/cm2
sampai 50 kg/cm2. Serat baja, serat karbon, atau aramid digunakan sebagai
serat penguat pada kuat tarik lentur beton yang harus memiliki kuat tarik lentur
sebesar 5 Mpa sampai 5,5 Mpa (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,
2003). Kuat tarik lentur dibulatkan sampai 0,25 Mpa atau 2,5 kg/cm2 untuk
menyatakan kekuatan rencana beton. Persamaan 2.6 dan Persamaan 2.7 digunakan
untuk menghitung kuat tarik lentur beton pada umur 28 hari dalam Mpa dan
kg/cm2.
fcf dalam MPa,
................................................................................................ (2.6)
fcf dalam kg /cm2,
....................................................................................... (2.7)
dimana :
fc = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)
fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah
Terjadinya keretakan pada perkerasan kaku umum terjadi perkerasan tidak
mampu menahan beban dinamis diatasnya, oleh karena itu pemilihan serat baja
sebagai material untuk meningkatkan kuat tarik lentur sehingga lebar retakan pada
pelat beton dapat dikendalikan, hal ini berlaku khususnya terhadap jenis pelat
berbentuk tidak wajar. Panjang serat didesain berkisar antara 15 sampai 50 mm
dimana pada bagian ujung serat melebar berfungsi sebagai angker atau sekrup
penguat yang keseluruhannya digunakan untuk meningkatkan kekuatan ikatan.
Serat baja yang sudah didesain kemudian dapat ditambahkan ke dalam adukan
-
30
beton yang memiliki berat masing – masing sebesar 75 dan 45 kg/m3. Kondisi
lingkungan tempat dilaksanakannya konstruksi perkerasan kaku berpengaruh
terhadap pemilihan semen yang akan digunakan untuk pekerjaan beton.
2.7.12. Perencanaan Tebal Slab Beton
Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) tebal
slab beton ditentukan berdasarkan JKSN, nilai CBReff, direncanakan
menggunakan atau tanpa ruji serta bahu beton yang dimasukkan ke dalam grafik
pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Grafik Penentuan Tebal Slab Beton
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:46)
2.7.13. Analisis Fatik dan Erosi
Analisis fatik diperlukan untuk mengetahui persentase kerusakan slab
beton akibat beban per roda pada setiap kelompok sumbu kendaraan, sedangkan
analisis erosi diperlukan untuk mengetahui persentase pengikisan slab akibat
-
31
beban per roda pada setiap kelompok sumbu. Grafik analisis fatik dan erosi dapat
dilihat pada Gambar 2.9 dan Gambar 2.10.
Gambar 2.9 Grafik Analisis Fatik dengan/tanpa Bahu Beton (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:26)
Gambar 2.10 Grafik Analisis Erosi Tanpa Bahu Beton (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:27)
-
32
2.7.14. Perencanaan Tulangan
Perencanaan tulangan pada perkerasan kaku sangat diperlukan karena
beberapa fungsi tulangan yang sangat berperan nantinya dalam perkerasan kaku
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003) diantaranya :
- Membatasi lebar retakan sehingga pelat dapat mempertahankan kekuatannya,
meskipun ada jenis sambungan tanpa tulangan, tulangan tetap dipasang untuk
mengendalikan retak saat perencanaan jalan sudah beroperasi.
- Meningkatkan fungsi kenyamanan lalu lintas karena jumlah sambungan
melintang dapat dikurangi dengan penggunaan pelat yang lebih panjang.
- Menghemat biaya pemeliharaan karena dengan adanya tulangan pada struktur
perkerasan berfungsi untuk menghindari retakan sehingga proses grouting
atau penggantian pelat tidak perlu dilakukan.
Jarak sambungan susut sangat berpengaruh terhadap keperluan jumlah tulangan,
jumlah tulangan yang cukup diperlukan untuk mengurangi sambungan susut
terhadap jenis perkerasan dengan beton bertulang menerus.
1. Perkerasan Kaku Bersambung Tanpa Tulangan
Meskipun namanya adalah perkerasan beton kaku tanpa adanya tulangan,
kebutuhan tulangan tetap dibutuhkan untuk mengurangi retakan pada beberapa
bagian pelat yang mengalami tegangan karena beban di atasnya. Umumnya
penerapan tulangan pada perkerasan kaku diterapkan pada :
- Pelat berbentuk tidak wajar, disebut tidak wajar karena pelat ini memiliki
perbandingan diatas 1,25 antara panjang dan lebarnya atau bentuk dari pelat
tidak tidak seperti persegi panjang atau bujur sangkar.
- Mismatched joints atau pelat yang tidak sama jalur.
- Pelat yang berlubang.
2. Perkerasan Kaku Bersambung dengan Tulangan
Perkerasan yang menggunakan tulangan pada strukturnya terbagi menjadi
tulangan melintang dan memanjang. Persamaan 2.8 digunakan untuk menghitung
luasan penampang tulangan.
.......................................................................................... (2.8)
-
33
dimana :
As = Luas penampang tulangan baja mm2/m lebar pelat
fs = Kuat tarik ijin tulangan (Mpa), pada umumnya 0,6 kali tegangan leleh
g = Gravitasi (m/detik2)
h = Tebal pelat beton (m)
L = Jarak antara sambungan yang tidak diikat dan/atau tepi bata pelat (m)
M = Berat per satuan volume pelat (kg/m3)
μ = koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah sebagaimana pada
tabel koefisien gesekan
Pemilihan kebutuhan tulangan berdasarkan luas penampang baja mm2/m
lebar pelat dikontrol menggunakan nilai As minimum sehingga penggunaan
tulangan dicari dengan luasan diatas As minimum.Tabel 2.8 menunjukkan ukuran
diameter dan jarak tulangan polos yang terdiri dari bentuk anyaman empat persegi
panjang dan bujur sangkar.
.................................................................. (2.9)
Tabel 2.8 Ukuran Tulangan Polos
(mm)
Luas Penampang Tulangan (mm2)
Jarak Spasi p.k.p Tulangan (mm)
50 100 150 200 250 300 350 400 450
6 565,5 282,7 188,5 141,4 113,1 94,2 80,8 70,7 62,8
8 1005,3 502,7 335,1 251,3 201,1 167,6 143,6 125,7 111,7
9 1272,3 636,2 424,1 318,1 254,5 212,1 181,8 159,0 141,4
10 1570,8 785,4 523,6 392,7 314,2 261,8 224,4 196,3 174,5
12 2261,9 1131,0 754,0 565,5 452,4 377,0 323,1 282,7 251,3
13 2654,6 1327,3 884,9 754,0 530,9 452,4 379,2 331,8 295,0
14 3078,8 1539,4 1026,3 884,9 615,8 513,1 439,8 384,8 342,1
16 4021,2 2010,6 1340,4 1026,3 804,2 670,2 574,5 502,7 446,8
18 5089,4 2544,7 1696,5 1340,4 1017,9 848,2 727,1 636,2 565,5
19 5670,6 2835,3 1890,2 1696,5 1134,1 925,1 810,1 708,8 630,1
20 6283,2 3141,6 2094,4 1570,8 1256,6 1047,2 897,6 785,4 698,1
22 3801,3 2534,2 1900,7 1520,5 1636,2 1086,1 950,3 844,7
25 4908,7 3272,5 2454,4 1963,5 2052,5 1402,5 1227,2 1090,8
28 6157,5 4105,0 3078,8 2463,0 2052,5 1759,3 1539,4 1368,3
29 6605,2 4403,5 3302,6 2642,1 2201,7 1887,2 1651,3 1467,8
32 8042,5 5361,7 4021,2 3217,0 2680,8 2297,9 2010,0 1787,2
36 6785,8 5089,4 4071,5 3392,9 2908,2 2544,7 2261,9
40 8377,6 6283,2 5026,5 4188,8 3590,4 3141,6 2792,5
50 13090,0 9817,50 7854,0 6545,0 5610,0 4908,7 4363,3
(Dipohusodo 1993:459)
-
34
Pada perkerasan kaku, luasan tulangan melintang dihitung menggunakan
Persamaan 2.8 dengan jarak maksimum tulangan yang diperbolehkan dari
tulangan sebesar 750 mm. Pada perkerasan kaku untuk pelat dengan tebal kurang
dari 200 mm, penempatan tulangan melintang berada pada kedalaman yang
melebihi 65 mm dari permukaan dan pelat dengan ketebalan diatas 200 mm
ditempatkan maksimum sepertiga dari tebal pelat. Posisi tulangan arah melintang
berada di bawah tulangan memanjang.
2.7.15. Perencanaan Sambungan
Perencanaan sambungan terbagi menurut sumbu arahnya, yaitu
sambungan melintang (ruji atau dowel), dan sambungan memanjang (tie bar).
Sambungan memiliki fungsi sebagai penyambung (joint) antara satu slab beton
dengan slab beton lainnya serta mengurangi potensi retak pada slab beton.
1. Pelaksanaan Sambungan Melintang
Pemasangan sambungan melintang memiliki perbandingan kemiringan
1:10 bertujuan untuk meminimalisir beban lalu lintas yang sifatnya tidak statis.
Posisi dari bagian ujung sambungan tegak lurus terhadap sumbu memanjang
jalan serta tepi perkerasan. Terdapat perbedaan ketebalan tentang tata cara
pemasangan sambungan, untuk perkerasan dengan pondasi berbahan butir
dipasang kurang lebih dengan kedalaman seperempat dari tebal pelat sedangkan
untuk pondasi berbahan stabilisasi semen dipasang dengan kedalaman sepertiga
dari tebal pelat. Begitu pula dengan jarak sambungan susut antara perkerasan kaku
bersambung tanpa tulangan berjarak antara 4 m sampai 5 m sedangkan perkerasan
kaku bersambung dengan tulangan berjarak antara 8 m sampai 15 m. Dowel polos
harus dipasangan pada sambungan dengan panjang kurang lebih 0,45 m dan
antara ruji – rujinya berjarak kurang lebih 0,30 m. Bahan anti lengket digunakan
untuk melapisi setengah dari panjang dowel polos berfungsi untuk menghilangkan
ikatan dengan beton. Diameter dowel ditentukan berdasarkan dengan tebal pelat
beton yang sesuai dengan Tabel 2.9 sedangkan untuk ketebalan diatas 250 mm
menggunakan diameter dowel sebesar 38 mm (Khazanovich, 2011).
Dalam pelaksananaanya, sambungan melintang menggunakan batang
pengikat tulangan berulir untuk pemasangan tanpa perencanaan, sedangkan
-
35
sambungan dengan tulangan polos sebagai batang pengikat dipasang pada bagian
tengah tebal pelat untuk pemasangan dengan perencanaan.
Tabel 2.9. Diameter Ruji
No Tebal Pelat Beton, h (mm) Diameter Ruji (mm)
1 125 < h < 140 20
2 140 < h < 160 24
3 160 < h < 190 28
4 190 < h < 220 33
5 220 < h ≤ 250 36
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:14)
2. Pelaksanaan Sambungan Memanjang
Untuk mengendalikan retakan memanjang harus dilakukan pemasangan
sambungan memanjang. Mutu baja tulangan ulir 240 Mpa berdiameter 16 mm
digunakan sebagai batang ulir sambungan memanjang dengan jarak antar
sambungan berkisar antara 3 m sampai 4 m. Luas penampang dan panjang batang
pengikat diperoleh berdasarkan Persamaan 2.10.
............................................................................................ (2.10)
Panjang batang pengikat dihitung menggunakan Persamaan 2.11.
............................................ (2.11)
dimana :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2)
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi p
penam perkerasan (m)
h = Tebal pelat (m)
I = Panjang batang pengikat (mm)
= Diameter batang pengikat yang dipilih (mm)
Pada persamaan rumus diatas, sebesar 75 cm diambil sebagai jarak batang
pengikat. Penguncian dengan bentuk trapesium atau setengah lingkaran dilakukan
dalam pelakasanaan sambungan memanjang. Permukaan sambungan pelat beton
harus dilapisi dengan zat yang mampu mencegah terjadinya ikatan antara beton
lama dengan beton baru pada saat penghamparan seperti aspal atau kapur.
-
36
2.8. Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Kaku Menurut AASHTO 1993
2.8.1. Umur Rencana
Pada umumnya perencanaan perkerasan kaku untuk konstruksi baru
mengambil 20 tahun sebagai umur rencana.
2.8.2. Vehicle Damage Factor (VDF)
Vehicle Damage Factor merupakan nilai konversi jumlah kendaraan dari
berbagai macam jumlah sumbu kendaraan niaga. Nilai VDF dipengaruhi oleh
Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E) karena angka tersebut menyatakan
nilai perbandingan antara pengaruh beban sumbu tunggal maupun ganda terhadap
tingkat kerusakan pada suatu lintasan dengan pengaruh beban standar sumbu
tunggal sebesar 8,16 ton terhadap tingkat kerusakan pada satu lintasan (Suryawan,
2015). Setiap jenis golongan kendaraan, berat total serta konfigurasi sumbu setiap
jenis kendaraan digunakan untuk menyatakan konfigurasi sumbu roda sehingga
nilai VDF setiap jenis kendaraan diketahui sesuai dengan Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Nilai Vehicle Damage Factor (VDF)
Gol. Konf.
Sumbu
Berat
Total
(ton)
Konfigurasi Beban Sumbu Roda
VDF Depan
ST,RT
Belakang
ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5
2 1.1 2,00 1,00 1,00
ST,RT 0,0005
3 1.2 8,30 2,82 5,48
ST,RG 0,2174
4 1.2L 2,00 1,00 1,00
ST,RT 0,0005
5a 1.2 8,30 2,82 5,48
ST,RG 0,2174
5b 1.2 9,00 3,06 5,94
ST,RG 0,3006
6 1.2H 15,15 5,15 10,00
ST,RG 2,4159
7a 1.2.2 25,00 6,25 9,38
SG,RG
9,38
SG,RG 2,7416
7b 1.2+2.2 31,40 5,65 8,79
ST,RG
8,48
ST,RG
8,48
ST,RG 3,9083
7c 1.2.2+2.2 40,13 5,88 10,00
SG,RG
10,00
SG,RG
7,00
SG,RG
7,25
SGRG 4,1718
(Suryawan 2015:235)
-
37
2.8.3. Faktor Distribusi Arah (DD) dan Lajur (DL)
Pada umunya nilai Dd diambil sebesar 0,5 dari kisaran antara 0,3 – 0,7
sedangkan untuk persentase DL dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Faktor Distribusi Lajur (DL)
Jumlah Lajur Setiap Arah DL (%)
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75
(Suryawan 2015:27)
2.8.4. Analisis Lalu Lintas (Traffic Design)
Analisis lalu lintas dapat dihitung menggunakan rumus Traffic ESAL
(Equivalent Single Axle Load) pada Persamaan 2.12.
∑ ..................................................... (2.12)
dimana :
W18 = Traffic design pada lajur lalu lintas, Equivalent Single Axle Load
LHRj = Jumlah lalu lintas harian rata – rata 2 arah untuk jenis kendaraan
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan
DD = Faktor distribusi arah
DL = Faktor distribusi lajur
N1 = Lalu lintas pada tahun pertama jalan dibuka
Nn = Lalu lintas pada akhir umur rencana
Hasil dari traffic design pada jalur rencana selama setahun (W18) yang telah
dihitung menggunakan Persamaan 2.12 kemudian dikalikan dengan nilai dari
traffic growth yang dinyatakan pada Persamaan 2.13. Parameter ini merupakan
lalu lintas kumulatif (Wt) yang digunakan sebagai salah satu parameter
perencanaan tebal perkerasan kaku.
..................................................................................... (2.13)
dimana :
Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif
W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun
-
38
n = Umur pelayanan atau umur rencana UR (tahun)
g = perkembangan lalu lintas (%)
2.8.5. Nilai CBR Tanah
Langkah yang digunakan untuk mencari nilai modulus reaksi tanah dasar
(k) dalam perencanaan perkerasan jalan kaku dapat dicari dari nilai CBR. Nilai
CBR untuk lapisan tanah dasar sebesar 6% umum digunakan sebagai dasar
perencanaan perkerasan kaku di Indonesia, sedangkan studi uji kekuatan tanah
diperlukan untuk tanah dasar untuk nilai CBR dibawah 6% (diperbolehkan sekitar
5% atau 4%) masih bisa digunakan. CBR yang kurang dari 6% dapat
menimbulkan masalah pada perencanaan struktur perkerasan jalan kaku, salah
satu upaya penanganannya dapat berupa penambahan tebal perkerasan.
2.8.6. Material Konstruksi Perkerasan
Pelat beton dan beton kurus dengan kuat tekan rencana masing – masing
digunakan sebagai material perkerasan jalan kaku.
- Pelat Beton
Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2 = 640 psi
Kuat tekan (fc’) = 350 kg/cm2 = 4978,17 psi
- Wet Lean Concrete
Kuat tekan (fc’) = 105 kg/cm2 = 1493,45 psi
Di Indonesia kuat tekan beton (fc’) umumnya digunakan fc’= 350 kg/cm2. Sc’
digunakan untuk menentukan kuat lentur sedangkan fc’ digunakan untuk kuat
tekan dan sebagai parameter modulus elastisitas beton (Ec) yang dapat dihitung
menggunakan Persamaan 2.14.
........................................................................................... (2.14)
dimana :
Ec = Modulus elastisitas beton (psi)
fc’ = Kuat tekan beton silinder (psi)
2.8.7. Reliability
Reliability merupakan ukuran nilai asumsi kenyamanan pengendara
terhadap operasional perkerasan jalan dalam jangka waktu tertentu. Semakin
-
39
tinggi nilai reliability maka semakin tinggi tingkat untuk mengatasi deviasi
desain. Besaran – besaran desain meliputi :
- Perkiraan kemampuan kerja perkerasan
- Perkiraan lalu lintas
- Perkiraan beban gandar
- Pelaksanaan konstruksi
Nilai Reliability yang disarankan dapat ditentukan pada Tabel 2.12, untuk nilai
standar deviasi ditentukan pada Tabel 2.13 sedangkan kinerja perkerasan
ditentukan pada Tabel 2.14.
Tabel 2.12 Nilai Reliability (R) yang Disarankan
Klasifikasi Jalan R (%)
Urban Rural
Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80
(Suryawan 2015:30)
Tabel 2.13 Standard Normal Deviation (ZR)
R (%) ZR R (%) ZR
50 -0,000 93 -1,476
60 -0,253 94 -1,555
70 -0,524 95 -1,645
75 -0,674 96 -1,751
80 -0,841 97 -1,881
85 -1,037 98 -2,054
90 -1,282 99 -2,327
91 -1,340 99,9 -3,090
92 -1,405 99,99 -3,750
(Suryawan 2015:30)
Tabel 2.14 Terminal Serviceability Index (pt)
Percent of People Stating Unacceptable pt
12 3,0
55 2,5
85 2,0
(Suryawan 2015:31)
Nilai dari reliability ditentukan dari beberapa parameter di bawah ini :
- Parameter klasifikasi jalan
- Status lokasi jalan urban/rural
- Penetapan tingkat Reliability (R)
-
40
- Penetapan Standard Normal Deviation (ZR)
- Penetapan standar deviasi (S0)
- Kehandalan data lalu lintas dan beban kendaraan
Penetapan pt untuk jalur utama umumnya diambil pt = 2,5 sedangkan untuk jalur
lalu lintas rendah diambil pt = 2,0. Nilai p0 untuk perkerasan jalan kaku antara 0 –
5 umumnya diambil p0 = 4,5 kemudian menghitung total loss of serviceability
menggunakan Persamaan 2.15.
............................................................................................ (2.15)
dimana :
PSI = Total loss of serviceability
p0 = Initial serviceability
pt = Terminal serviceability index
2.8.8. Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)
Nilai k dicari menggunakan Persamaan 2.16 dan 2.17 dimana MR adalah
nilai yang menunjukkan ketahanan tanah dasar terhadap deformasi.
......................................................................................... (2.16)
sehingga diperoleh nilai k,
........................................................................................................ (2.17)
dimana :
MR = Resilient Modulus
Sedangkan untuk mencari nilai k efektif dicari menggunakan grafik pada Gambar
2.11. Nilai CBR dapat digunakan untuk mencari nilai k seperti grafik pada
Gambar 2.12. Untuk mengetahui nilai LS dapat ditentukan pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Nilai Loss Support Factors (LS) pada Berbagai Tipe Material
No. Tipe Material Modulus Elastisitas (E) LS
1 Semen stabilisasi dengan granular (E = 1.000.000 – 2.000.000 psi) 0 – 1
2 Campuran agregat semen (E = 500.000 – 1.000.000 psi) 0 – 1
3 Tanah stabilisasi semen (E = 350.000 – 1.000.000 psi) 0 – 1
4 Stabilisasi campuran bitumen (E = 40.000 – 300.000 psi) 0 – 1
5 Tanah stabilisasi kapur (E = 20.000 – 70.000 psi) 1 – 3
6 Material grabular tidak terikat (E = 15.000 – 45.000 psi) 1 – 3
7 Tanah baik/Material tanah dasar
asli
(E = 3.000 – 40.000 psi) 1 – 3
(Suryawan 2015:32)
-
41
Gambar 2.11 Grafik Koreksi Nilai k Terhadap LS (Suryawan 2015:32)
Gambar 2.12 Hubungan antara Nilai k dengan CBR (Suryawan 2015:33)
2.8.9. Koefisien Drainase (CD)
Lama atau tidaknya waktu yang dibutuhkan air untuk menghilang dari
lapisan pondasi perkerasan menentukan kualitas dari drainase. Air yang jatuh
pada permukaan perkerasan sebesar 70% - 95% akan mengalir menuju sistem
drainase. Nilai CD dapat ditentukan menggunakan Tabel 2.16.
Tabel 2.16 Koefisien Drainase (CD)
Percent of Time Pavement Structure is Exposed to Moisture Levels
Approaching Saturation
Quality of Drainage < 1 % < 1 – 5 % 5 – 25 % > 25 %
Excellent 1,25 – 1,20 1,20 – 1,15 1,15 – 1,10 1,10
Good 1,20 – 1,15 1,15 – 1,10 1,10 – 1,00 1,00
Fair 1,15 – 1,10 1,10 – 1,00 1,00 – 0,90 0,90
Poor 1,10 – 1,00 1,00 – 0,90 0,90 – 0,80 0,80
Very Poor 1,00 – 0,90 0,90 – 0,80 0,80 – 0,70 0,70
(Suryawan 2015:36)
-
42
2.8.10. Load Transfer (J)
Nilai J sesuai pada digunakan mengukur distribusi beban lalu lintas pada
struktur perkerasan kaku yang ditentukan berdasarkan sambungannya.
- Joint dengan ruji : J = 2,5 – 3,1
- Untuk overlay design : J = 2,2 – 2,6
2.8.11. Persamaan Penentuan Tebal Pelat (D)
Parameter – parameter yang sudah dihitung dan ditentukan sebelumnya
kemudian dimasukkan kedalam persamaan untuk menentukan tebal pelat.
*
+
[
]
[
(
) ]
................... (2.18)
dimana :
W18 = Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL)
ZR = Standar normal deviasi
S0 = Standar deviasi
D = Tebal pelat beton (inci)
PSI = Serviceability loss = p0 – pt
p0 = Initial Serviceability
pt = Terminal serviceability index
Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi)
Cd = Koefisien drainase
J = Koefisien load transfer
Ec = Modulus elastisitas (psi)
K = Modulus reaksi tanah dasar (psi)
Parameter yang ada juga dapat dimasukkan ke dalam Grafik pada Gambar 2.13.
-
43
Gambar 2.13 Grafik Tebal Slab Beton (D) (AASHTO 1993:II-45)
-
44
2.8.12. Perencanaan Jarak Sambungan
Dalam menentukan jarak antar sambungan memanjang (tie bar) dapat
ditentukan menggunakan grafik pada Gambar 2.14 dengan parameter – parameter
tebal slab beton (in) dan jarak ujung – ujung perkerasan tiap segmen (ft), kedua
parameter tersebut ditarik dan didapat nilai jarak antar sambungan tie bar (ft).
Gambar 2.14 Grafik Kebutuhan Jarak Minimum Tie Bar (AASHTO 1993:II-64)
2.9. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Rencana Anggaran Biaya (RAB) merupakan perhitungan kebutuhan harga
yang diperlukan dalam sebuah pekerjaan pelaksanaan kegiatan dalam proyek
konstruksi yang meliputi total harga bahan, alat dan upah pekerja. Rencana
anggaran biaya dibuat untuk mengetahui total harga keseluruhan dari suatu
perencanaan suatu kegiatan.
2.9.1. Harga Satuan Pekerjaan (HSP)
Harga Satuan Pekerjaan (HSP) adalah biaya total kerja berdasarkan
perhitungan analisis, urutan pekerjaan, asumsi pekerjaan, harga bahan, harga alat,
dan upah pekerja. HSP terdiri dari biaya langsung meliputi upah tenaga kerja,
-
45
harga alat, dan harga bahan serta biaya tidak langsung yang meliputi biaya tidak
terduga dan profit. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perhitungan
HSP sehingga harga yang direncanakan tepat pada sasaran diantaranya spesifikasi
teknis yang digunakan, pekerjaan yang menggunakan alat secara mekanis atau
manual sesuai dengan pertimbangan teknis, ketentuan serta peraturan – peraturan
yang berlaku terhadap situasi dan keadaan lapangan.
2.9.2. Harga Satuan Dasar (HSD)
Harga Satuan Dasar (HSD) adalah harga pada setiap komponen meliputi
upah pekerja, alat maupun material dalam satuan tertentu contohnya dalam satuan
m, m2, dan m
3. HSD pada masing – masing standar pengukuran mengacu pada
biaya langsung agar diperoleh hasil analisis perhitungan harga yang sesuai dengan
keadaan sebenarnya. Sedangkan peraturan yang berlaku pada wilayah proyek
digunakan untuk penentuan biaya tidak langsung.
2.9.3. Harga Satuan Dasar (HSD) Pekerja
Upah digunakan sebagai bentuk mata pembayaran pekerja. Paremeter –
parameter yang mempengaruhi HSD Pekerja diantaranya yaitu kuantitas dan
kualitas pekerja dalam suatu pekerjaan. Produktivitas dapat mempengaruhi jumlah
dan keterampilan pekerja. Pekerjaan yang menggunakan manusia sebagai tenaga
kerja pada umumnya dilakukan secara perorangan maupun kelompok sesuai
dengan jenis pekerjaannya yang dilengkapi dengan alat penunjang pekerjaan
misalnya sekop, palu, dan gergaji. Upah pekerja bisa dibayarkan dalam sistem
mingguan, bulanan bahkan per hari. Besar upah pekerja dipengaruhi oleh jenis
pekerjaan dan kondisi lapangan. Pekerjaan yang melibatkan tenaga kerja ditulis
dalam bentuk kodefikasi tenaga kerja seperti Tabel 2.17.
Tabel 2.17 Kodefikasi Tenaga Kerja
(Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2016:14)
No. Tenaga Kerja Kode
1 Pekerja L.01
2
Tukang
L.02 Tukang gali
Tukang besi
Tukang kayu
3 Kepala tukang L.03
4 Mandor L.04
-
46
Untuk menghasilkan suatu satuan pekerjaan diperlukan produktivitas
pekerja yang dinyatakan sebagai orang jam (OJ) atau orang hari (OH). Standar
upah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota pada wilayah tertentu. Pada
umumya satu hari kerja dihitung sebagai 8 – 9 jam kerja beserta didalamnya 1 jam
istirahat, kondisional sesuai keadaan lokasi pekerjaan. Bila upah pekerja dihitung
per bulan, maka dapat dihitung dengan persamaan Persamaan 2.19.
...................................... (2.19)
2.9.4. Harga Satuan Dasar (HSD) Alat
Penentuan harga dalam alat ditentukan sesuai dengan jenis pekerjaannya.
Ada beberapa parameter meliputi tipe alat, kualitas waktu kerja, keadaan iklim
lingkungan, situasi lapangan, dan pemilihan material konstruksi . Alat menjadi
suatu kebutuhan yang mutlak bagi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan. Sebagian
besar pekerjaan saat ini bergantung pada alat berat, maka dari itu adanya sistem
sewa alat berat sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan. Satu
jenis alat umumnya hanya mampu melaksanakan satu jenis pekerjaan serta
spesifikasi teknis alat digunakan untuk menyesuaikan jenis pekerjaan.
1. Kapasitas Alat
Kapasitas alat adalah kemampuan alat dalam memproduksi bahan,
umunya dalam satuan ton per jam contohnya alat pemecah batu atau dalam m3
contohnya wheel loader. Kapasitas alat satu dengan lainnya berbeda – beda sesuai
dengan spesifikasinya.
2. Faktor Efisiensi Alat
Pada umumnya hasil produksi alat tidak sesuai dengan hasil perhitungan
yang sesuai dengan spesifikasi alat dan data lapangan karena ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kerja alat dalam masa operasionalnya, diantaranya :
1. Operator
2. Peralatan
3. Iklim dan Cuaca
4. Keadaan lapangan
5. Manajemen kerja
-
47
Tabel 2.18 Faktor Efisiensi Alat
Kondisi
Operasi
Pemeiharaan Mesin
Baik Sekali Baik Sedang Buruk Buruk Sekali
Baik Sekali 0,83 0,81 0,76 0,70 0,63
Baik 0,78 0,75 0,71 0,65 0,60
Sedang 0,72 0,69 0,65 0,60 0,54
Buruk 0,63 0,61 0,57 0,52 0,45
Buruk Sekali 0,53 0,50 0,47 0,42 0,32
Angka dalam warna abu – abu adalah tidak disarankan. Faktor efisiensi ini adalah didasarkan
atas kondisi operasi dan pemeliharaan secara umum. Faktor efisiensi untuk setiap jenis alat bisa
berbeda.
(Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2016:31)
2.9.5. Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan
Komponen bahan digunakan dalam mata pembayaran dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya : mutu, jumlah dan lokasi asal bahan.
Pengelompokkan HSD Bahan terbagi menjadi 3 jenis, diantaranya :
1. HSD Bahan Baku
Harga satuan dasar bahan baku umumnya dihitung dari sumber bahan
yang terdapat pada tambang atau tempat penggalian (quarry) tetapi bisa juga
dihitung dari gudang termasuk dengan harga ongkos bongkar muat. Hal yang
dilakukan untuk mengetahui harga satuan dasar berdasarkan jarak lokasi sumber
bahan yaitu berupa survei lapangan disertai keterangan misalnya bahan diambil
dari lokasi tambang atau gudang seperti kerikil, pasir, baja tulangan serta bahan
lainnya.
2. HSD Olahan
Bahan olahan adalah bahan yang dihasilkan oleh produksi pabrik atau
bahan yang dibeli dari produsen. Bahan olahan contohnya bongkahan batu yang
mengalami proses khusus menggunakan alat stone crusher menjadi kerikil dengan
berbagai macam fraksi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan.
3. HSD Bahan Jadi
Bahan jadi diperhitungkan berdasarkan ongkos bongkar-muat menuju
lokasi tertentu serta biaya pemasangan sesuai dengan kebutuhan (opsional). Bahan
jadi dapat berasal dari berbagai tempat produksi atau gudang kemudian diangkut
menggunakan alat angkut ke lokasi pekerjaan (contoh: pelat beton pracetak yang
diangkut dari pabrik menuju lokasi pekerjaan menggunakan truk trailer).
-
48
Tabel 2.19 Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan
No. Nama Bahan Kode Satuan Harga (Rp) Lokasi
1 Pasir Pasang (sedang) M01b m3
244.750,00 Base Camp
2 Pasir Beton (kasar) M01a m3 257.650,00 Base Camp
3 Pasir Halus (untuk HRS) M01c m3
257.650,00 Base Camp
4 Pasir Urug (unsur lempung) M01d m3 161.050,00 Base Camp
5 Batu Kali M02 m3
193.250,00 Lokasi Pekerjaan
6 Agregat Kasar M03 m3 261.684,24 Base Camp
7 Agregat Halus M04 m3 270.016,11 Base Camp
8 Filler M05 kg 2.300,00 Proses/ Base Camp
9 Batu Belah/Kerikil M06 m3
245.400,00 Lokasi Pekerjaan
10 Gravel M07 m3 224.300,00 Base Camp
11 Bahan Tanah Timbunan M08 m3 20.000,00 Borrow Pit/Quarry
12 Bahan Pilihan M09 m3 25.000,00 Quarry
13 Aspal M10 kg 12.000,00 Base Camp
14 Kerosen/Minyak Tanah M11 liter 14.650,00 Base Camp
15 Semen/PC (50 kg) M12 zak 77.500,00 Base Camp
16 Semen/PC (kg) M12 kg 1.550,00 Base Camp
17 Besi Beton M13 kg 13.050,00 Lokasi Pekerjaan
18 Kawat Beton M14 roll 432.250,00 Lokasi Pekerjaan
19 Kawat Bronjong M15 kg 5.500,00 Lokasi Pekerjaan
20 Sirtu M16 m3 193.750,00 Lokasi Pekerjaan
21 Cat Marka (non thermoplas) M17a kg 22.500,00 Lokasi Pekerjaan
22 Cat Marka (Thermoplastic) M17b kg 27.500,00 Lokasi Pekerjaan
23 Paku Biasa 2”- 5” M18 kg 21.000,00 Lokasi Pekerjaan
24 Kayu Perancah M19 m3 4.052.000,00 Lokasi Pekerjaan
25 Bensin M20 liter 8.800,00 Pertamina
26 Solar M21 liter 14.800,00 Pertamina
27 Minyak Pelumas/Oli M22 liter 42.300,00 Pertamina
28 Plastik Filter M23 m2 15.000,00 Lokasi Pekerjaan
29 Pipa Galvanis 1,6” M24 batang 154.000,00 Lokasi Pekerjaan
30 Pipa Porus M25 m1 40.000,00 Lokasi Pekerjaan
31 Bahan Agr. Base Kelas A M26 m3
296.100,00 Base Camp
32 Bahan Agr. Base Kelas B M27 m3 280.100,00 Base Camp
33 Bahan Agr. Base Kelas C M28 m3 261.700,00 Base Camp
34 Lapis Pondasi Agr. (cbr 60%) M29a m3
286.600,00 Lokasi Pekerjaan
35 Lapis Permukaan Agr. (cbr
60%)
M29b m2 254.600,00 Lokasi Pekerjaan
36 Geotextile M30 m2 23.800,00 Lokasi Pekerjaan
37 Aspal Emulsi M31 kg 14.000,00 Base Camp
38 Gebalan Rumput M32 m2 24.250,00 Lokasi Pekerjaan
39 Thinner M33 liter 12.000,00 Lokasi Pekerjaan
40 Baja Tulangan Polos M39a kg 13.050,00 Quarry
41 Joint Sealant M94 kg 34.100,00 Lokasi Pekerjaan
42 Cat Anti Karat M95 kg 35.750,00 Base Camp
43 Expansion Cap M96 m2 6.050,00 Base Camp
44 Polyetilene 125 mikron M97 kg 19.250,00 Base Camp
45 Curing Compound M98 liter 38.500,00 Base Camp
46 Multiplex 9 mm M63 lembar 174.400,00 Base Camp
47 Kayu Acuan M99 m3 4.052.000,00 Base Camp
48 Additive M67a liter 38.500,00 Base Camp
(HSPK Mojokerto 2017)
-
49
Tabel 2.20 Harga Satuan Dasar (HSD) Tenaga Kerja
No. Nama Tenaga Kerja Kode Satuan Harga (Rp)
1 Mandor L.04 OH
130.000,00
2 Kepala Tukang L,03 OH 120.000,00
3 Tukang Batu L.02 OH
110.000,00
4 Pekerja L.01 OH 90.000,00
5 Pekerja/Buruh Terampil L.01 OH
90.000,00
(HSPK Mojokerto 2017)
Tabel 2.21 Harga Satuan Dasar (HSD) Alat
No. Nama Alat Kode Satuan Harga (Rp)
1 Wheel Loader E.01 jam
579.263,00
2 Batching Plant E.02 jam 846.746,59
3 Truck Mixer E.03 jam
824.650,57
4 Concrete Vibrator E.04 jam 51.650,18
5 Water Tank Truck E.05 jam
343.415,25
6 Concrete Paver E.06 jam 637.806,89
7 Vibrator Roller E.07 jam 442.904,36
8 Motor Grader E.08 Jam 716.346,34
9 Dump Truck E.09 jam 336.248,16
10 Tandem Roller E.10 jam 372.124,41
11 Mesin Gilas E.11 jam 442,904,36
(HSPK Mojokerto 2017)
Tabel 2.22 Asumsi Uraian Pekerjaan Perkerasan Beton Semen (m3)
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
1 Menggunakan alat (mekanis)
2 Lokasi pekerjaan : Sepanjang Jalan
3 Bahan dasar (batu, pasir dan semen)
diterima seluruhnya di lokasi
pekerjaan
L 2,30 km
4 Jam kerja efektif per hari Tk 7,00 jam
5 Tebal perkerasan beton padat t 0,30 m Asumsi
- Kadar Semen Minimum (spesifikasi)
Ks 365,00 kg/m3
- Ukuran Agregat Maksimum Ag 19,00 mm
6 Perbandingan Air/Semen
Maksimum
Wcr 0,50
7 Komposisi bahan :
- Semen Sm 400,00 kg
- Pasir Ps 791,00 kg
- Agregat Kasar Kr 1.077,00 kg
8 Faktor kehilangan bahan :
- Agregat Fh1 1,05
- Semen Fh2 1,025
9 Berat Isi Material : Spesifikasi
- Beton D1 2,24 t/m3
- Semen D2 1,25 t/m3
- Pasir D3 1,38 t/m3
- Agregat Kasar D4 1,40 t/m3
(Bina Marga 2010:326)
-
50
2.10. Urutan Pekerjaan Perkerasan Jalan Kaku (Breakdown)
Urutan pekerjaan perkerasan jalan kaku dijelaskan seperti berikut :
- Bahan material perkerasan beton semen diangkut dan dipindahkan
menggunakan wheel loader.
- Batching plant digunakan untuk membuat adukan beton dengan
mencampurkan dan mengaduk semen, pasir, batu kerikil.
- Beton diangkut dengan truck mixer.
- Bekisting yang sudah disiapkan untuk tempat pengecoran beton, kemudian
diratakan dan dipadatkan menggunakan concrete vibrator.
- Tahapan akhir yaitu proses perapihan atau finishing pada waktu perkerasan
beton dalam keadaan plastis.
Contoh asumsi penggunaan bahan dalam perkerasan beton semen adalah sebagai
berikut :
- Lebar lajur = 3,50 m
- Jarak ruji = 30 cm = 0,30 m
- Berat besi 32 mm = 6,31 kg
- Panjang ruji = 45 cm = 0,45 m
- Dimensi Sealant :
Lebar celah = 0,8 mm Kedalaman = 10 cm = 0,10 m
Sealent = 1,03 ton/cm2
Jarak celah = 500 cm = 5 m
Tabel 2.23 Asumsi Pemakaian Bahan
No. Bahan Uraian Kode Koefisien Satuan
1 Semen PC Sm x Fh2 M12 410,000 kg
2 Pasir Beton (Ps/1000 : D3) x Fh1 M01a 0,624 m3
3 Agregat Kasar (Kr/1000 : D4) x Fh1 M03 0,789 m3
4 Baja Tul. Polos
M39a 15,775 kg
5 Cat Anti Karat = 0,01 x 2 M95 0,020 kg
6 Expansion Cap = 0,085 x 2 M96 0,170 m2
7 Polyetilene 125 mikron = 0,219 x 2 M97 0,438 kg
8 Curing Compound = 0,435 x 2 M98 0,870 ltr
9 Multipleks 12 mm = 0,15/(0,3 x 0,32) M63 0,160 lbr
10 Perancah = 0,09/(0,3 x 0,32) M99 0,096 m3
11 Paku = 0,96/(0,3 x 0,32) M18 1,024 kg
12 Additive = 0,86/(0,3 x 0,32) M67a 0,914 ltr
(Bina Marga 2010:327)
-
51
Tabel 2.24 Asumsi Pemakaian Wheel Loader
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
1 Wheel Loader E.01
Kapasitas bucket V 1,50 m3 Spesifikasi
Faktor bucket Fb 0,85 - Panduan
Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik
Waktu Siklus : Ts1
- Kecepatan maju rata – rata
Vf 15,00 km/jam
- Kecepatan kembali rata – rata
Vr 20,00 km/jam
- Memuat ke bin T1 0,20 menit = (Lx60)/Vf
- Kembali ke stock bin T2 0,15 menit = (Lx60)/Vr
- Lain – lain T3 0,75 menit
Total Ts1 1,10 menit
Kap. Prod./jam (Q1)
Q1
Q1 40,96 m3
Koefisien Alat/ton = 1 : Q1 E.01 0,0244 jam
- Kapasitas bucket menunjukkan kapasitas operasi atau kapasitas bucket dalam kondisi penuh dalam satuan m
3.
- Faktor bucket (Fb) antara 0,4 – 1,0 semakin besar Fb maka semakin ringan memuat ke alat atau tempat lain.
- Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan
(Bina Marga 2010:327)
Tabel 2.25 Asumsi Pemakaian Batching Plant (Concrete Pan Mixer)
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
2 Batching Plant E.02
Kapasitas produksi V 600 liter Spesifikasi
Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik
Waktu siklus pencampuran :
- Mengisi T1 0,50 menit
- Mengaduk T2 0,50 menit
- Menuang T3 0,25 menit
- Menunggu, lain – lain T4 0,25 menit
Total Ts2 1,50 menit
Kap. Prod./jam (Q2)
Q2
Q2 19,92 m3
Koefisien Alat/m3 = 1 : Q2 E.02 0,0502 jam
- Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan
(Bina Marga 2010:328)
Tabel 2.26 Asumsi Pemakaian Concrete Vibrator
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
3 Concrete Vibrator E.04
Kap. Prod./jam (Q4) Q4 19,920 m3
Koefisien Alat/ton = 1 : Q4 E.04 0,0502 jam
- Kebutuhan alat penggetar beton disesuaikan dengan kapasitas Batching Plant
(Bina Marga 2010:328)
-
52
Tabel 2.27 Asumsi Pemakaian Truck Mixer
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
4 Truck Mixer E.03
Kapasitas drum V 5,00 m3 Spesifikasi
Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik
Kecepatan rata – rata isi v1 20,00 km/jam
Kecepatan rata – rata kosong v2 30,00 km/jam
Waktu siklus :
- Mengisi T1 6,93 menit = (L:Q2)x 60
- Mengangkut T2 6,90 menit = (L:v1)x 60
- Kembali T3 4,60 menit = (L:v2)x 60
- Menumpahkan, lain – lain T4 2,00 menit
Total Ts3 20,43 menit
Kap. Prod./jam (Q3)
Q3
Q2 20,43 m3
Koefisien Alat/m3 = 1 : Q3 E.03 0,0489 jam
- Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan
- Panjang lokasi proyek (L) = 2,3 km
(Bina Marga 2010:328)
Tabel 2.28 Asumsi Pemakaian Water Tank Truck
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
5 Water Tank Truck E.05
Volume tanki air V 4,00 m3 Spesifikasi
Kebutuhan air/m3 beton Wc 0,21 m
3 Asumsi
Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik
Kapasitas pompa air Pa 100,00 liter/menit
Kap. Prod./jam (Q5)
Q5
Q5 23,71 m3
Koefisien Alat/m3 = 1 : Q5 E.05 0,0422 jam
- Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan
(Bina Marga 2010:328)
Tabel 2.29 Asumsi Pemakaian Concrete Paving Machine (Slipform Paver)
No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan
6 Concrete Paving Machine E.06
Kapasitas (lebar hamparan) B 3,00 m
Tebal hamparan T 0,30 m
Kecepatan menghampar V 3,00 m/menit
Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik
Kap. Prod./jam (Q6)
Q6
Q6 134,460 m3
Koefisien Alat/m3 = 1 : Q6 E.06 0,0074 jam
- Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan
(Bina Marga 2010:329)
-
53
Tabel 2.30 Asumsi Kebutuhan Pekerja
Uraian Kode Koef. Satuan Keterangan
Produksi beton dalam 1 hari ditentukan
oleh kapasitas produksi Batching Plant Q2
Qt 143,01 m3 Qt = Tk x Q2
Kebutuhan tenaga :
- Mandor L.04 3,00 OH
- Tukang L.02 14,00 OH
- Pekerja L.01 28,00 OH
Koefisien Tenaga/m3 :
- Mandor L.04 0,1468 OH = (Tk x L.04) : Qt
- Tukang L.02 0,6852 OH = (Tk x L.02) : Qt
- Pekerja L.01 1,3705 OH = (Tk x L.01) : Qt
Diketahui : Jam kerja efektif per hari (Tk) = 7 jam
(Bina Marga 2010:325)
Tabel 2.31 Harga Satuan Pekerjaan Perkerasan Beton Semen (m3)
No. Uraian Satuan Koef. Harga Satuan
(Rp)
Total Harga
(Rp)
A TENAGA Kode
1 Pekerja L.01 OH
1,3705 90.000,00 123.345,00
2 Tukang L.02 OH 0,6852 110.000,00 75.372,00
3 Mandor L.04 OH 0,1468 130.000,00 19.084,00
JUMLAH HARGA TENAGA 217.801,00
B BAHAN Kode
1 Semen (kg) M12 kg 410,0000 1.550,00 635.500,00
2 Pasir Beton M01a m3 0,5878 257.650,00 151.446.67,00
3 Agregat Kasar M03 m3 0,7885 261.684,24 206.338,02
4 Baja Tul. Polos M39a kg 15,8750 13.550,00 215.106,25
5 Joint Sealant M94 kg 0,9900 34.100,00 33.759,00
6 Cat Anti Karat M95 kg 0,0200 35.750,00 715,00
7 Expansion Cap M96 m2 0,1700 6.050,00 1.028,50
8 Polyetilene 125
mikron
M97 kg 0,4375 19.250,00 8.421,88
9 Curing Compound M98 ltr 0,8700 38.500,00 33.495,00
10 Multiplex 12 mm M73 lbr 0,1600 186.650,00 29.864,00
11 Kayu Acuan M99 m3 0,0960 4.052.000,00 388.992,00
12 Paku M18 kg 1,0240 270.500,00 276.992,00
13 Additive M67a liter 0,9139 38.500,00 35.158,15
JUMLAH HARGA BAHAN 2.016.843,49
C PERALATAN Kode
1 Wheel Loader E.01 jam
0,0244
579.263,00 14.134,02
2 Batching Plant E.02 jam 0,0502 846.746,59 42.506,68
3 Truck Mixer E.03 jam
0,0489
824.650,57 40.325,41
4 Concrete Vibrator E.04 jam 0,0502 51.650,18 2.592,84
5 Water Tank Truck E.05 jam
0,0422
343.415,25 14.492,12
6 Concrete Paver E.06 jam 0,0074 637.806,89 4.719,77
JUMLAH HARGA PERALATAN 118.770,84
D Jumlah Harga Tenaga, Bahan, dan Peralatan (A+B+C) 2.353.414,84
E Overhead & Profit, cobtoh 15% x D 353.012,23
F Harga Satuan Pekerjaan (D+E) 2.706.427,07
(Bina Marga 2010:330)