bab ii landasan teori 2.1. konstruksi jalan rayaeprints.umm.ac.id/53828/3/bab 2.pdf · proses...

43
11 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konstruksi Jalan Raya Menurut Soedarsono (1979) konstruksi jalan raya merupakan suatu konstruksi plat elastis yang berlapis lapis dan terletak di atas tanah dasar. Konstruksi jalan raya bertujuan untuk membangun sarana dan prasarana sebagai salah satu penyedia akses transportasi berupa barang maupun jasa yang menghubungkan antar wilayah dimana masyarakat mempunyai hak untuk menggunakannya serta dalam penggunaannya diatur oleh hukum yang berlaku. Konstruksi jalan raya sebagai salah satu kegiatan pembangunan moda transportasi darat mempunyai peranan penting dalam sebuah komponen pembangunan di dalam sektor wilayah ataupun regional yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi sehingga menjadi salah satu unsur pengembang dari potensi potensi sumber daya baik yang belum ada ataupun yang sudah ada agar lebih berdaya guna. 2.2. Pembentukan Jalan Menurut Wignall, dkk (2003) pembentukan jalan ada beberapa cara, yaitu : 1. Ketersediaan masyarakat, artinya pemilik tanah memperbolehkan masyarakat untuk menggunakannya sehingga tanah tersebut menjadi jalan. 2. Pengaturan berdasarkan ketetapan hukum yang berlaku. 3. Merupakan bagian dari desain pengembangan kota menurut Peraturan Perencanaan Kota dan Daerah (Town and Country Planning Act) yang sudah disetujui. 2.3. Perkerasan Jalan Perkerasan jalan merupakan bagian berupa struktur susunan lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang dikerjakan dari campuran bahan pengikat dan material agregat yang berfungsi memikul beban lalu lintas di atasnya. Wignall, dkk (2003) menjelaskan bahwa permukaan perkerasan jalan memikul beban statis dan dinamis kemudian terdistribusi menuju lapisan dibawahnya secara vertikal berbentuk piramida menerus sampai ke dalam lapisan tanah dasar.

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 11

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1. Konstruksi Jalan Raya

    Menurut Soedarsono (1979) konstruksi jalan raya merupakan suatu

    konstruksi plat elastis yang berlapis – lapis dan terletak di atas tanah dasar.

    Konstruksi jalan raya bertujuan untuk membangun sarana dan prasarana sebagai

    salah satu penyedia akses transportasi berupa barang maupun jasa yang

    menghubungkan antar wilayah dimana masyarakat mempunyai hak untuk

    menggunakannya serta dalam penggunaannya diatur oleh hukum yang berlaku.

    Konstruksi jalan raya sebagai salah satu kegiatan pembangunan moda transportasi

    darat mempunyai peranan penting dalam sebuah komponen pembangunan di

    dalam sektor wilayah ataupun regional yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi

    sehingga menjadi salah satu unsur pengembang dari potensi – potensi sumber

    daya baik yang belum ada ataupun yang sudah ada agar lebih berdaya – guna.

    2.2. Pembentukan Jalan

    Menurut Wignall, dkk (2003) pembentukan jalan ada beberapa cara, yaitu :

    1. Ketersediaan masyarakat, artinya pemilik tanah memperbolehkan masyarakat

    untuk menggunakannya sehingga tanah tersebut menjadi jalan.

    2. Pengaturan berdasarkan ketetapan hukum yang berlaku.

    3. Merupakan bagian dari desain pengembangan kota menurut Peraturan

    Perencanaan Kota dan Daerah (Town and Country Planning Act) yang sudah

    disetujui.

    2.3. Perkerasan Jalan

    Perkerasan jalan merupakan bagian berupa struktur susunan lapisan yang

    diletakkan di atas tanah dasar yang dikerjakan dari campuran bahan pengikat dan

    material agregat yang berfungsi memikul beban lalu lintas di atasnya. Wignall,

    dkk (2003) menjelaskan bahwa permukaan perkerasan jalan memikul beban statis

    dan dinamis kemudian terdistribusi menuju lapisan dibawahnya secara vertikal

    berbentuk piramida menerus sampai ke dalam lapisan tanah dasar.

  • 12

    Pembuatan perkerasan jalan bertujuan untuk mengurangi tegangan dan

    tekanan pada tanah yang dihasilkan dihasilkan oleh beban langsung (statis) serta

    beban roda kendaraan atau bergerak (dinamis) sehingga menjadi solusi agar tanah

    dapat menyokong beban di atasnya. Hal ini dapat terjadi karena arah distribusi

    beban yang berbentuk piramid ke arah vertikal menyebabkan peningkatan

    distribusi tegangan ke seluruh lapis perkerasan, kemudian tegangan diteruskan

    dari lapisan perkerasan menuju lapisan tanah dasar dengan nilai tegangan yang

    relatif kecil, menyebabkan lapisan tanah dasar tidak mengalami kerusakan.

    Gambar 2.1 Distribusi Beban Kendaraan (Wignall 2003:78)

    2.4. Syarat – Syarat Kekuatan Perkerasan Jalan

    Menurut Sukirman (1999) syarat – syarat konstruksi jalan dalam memikul

    beban diatasnya diantaranya :

    1. Ketebalan yang cukup untuk mendistribusikan beban menuju lapisan tanah

    dasar.

    2. Memiliki kekakuan untuk memikul beban di atasnya sehingga meminimalisir

    defleksi.

    3. Material tahan air sehingga air tidak terserap ke lapisan bawah.

    4. Permukaan perkerasan harus lancar mengalirkan air.

    Untuk mencakup syarat – syarat di atas, struktur perkerasan jalan harus

    memperhatikan hal – hal di bawah ini, meliputi :

    1. Perencanaan tebal setiap lapisan perkerasan yang dapat ditentukan sesuai

    dengan kekuatan lapisan tanah dasar, jenis lapisan perkerasan, beban lalu

    lintas, dan keadaan lingkungan.

  • 13

    2. Susunan campuran tertentu berdasarkan analisa campuran bahan berdasarkan

    ketersediaan bahan dan mutu yang sudah direncanakan memenuhi spesifikasi

    standar jenis lapisan yang akan ditentukan.

    3. Pelaksanaan dan pengawasan pekerjaan dengan baik dan cermat sehingga

    menghasilkan pekerjaan tebal perkerasan sesuai perencanaan.

    4. Pemelihraan secara berkala pada struktur perkerasan jalan.

    2.5. Jenis – Jenis Perkerasan

    Jenis – jenis perkerasan pada umumnya terbagi menjadi 3 jenis menurut

    bahan pengikatnya (Sukirman, 1999) diantaranya :

    1. Perkerasan Kaku/Beton Semen (Rigid Pavement)

    2. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

    3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement)

    2.5.1. Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

    Perkerasan lentur adalah jenis perkerasan yang terdiri dari beberapa

    lapisan dengan bahan pengikat aspal dan dibangun diatas lapisan tanah dasar yang

    sudah dilakukan pemadatan terlebih dahulu (Sukirman, 1999). Memiliki lapisan –

    lapisan yang bekerja sama untuk menahan dan mendistribusikan beban lalu lintas

    secara vertikal menuju tanah dasar.

    Gambar 2.2 Struktur Lapisan Perkerasan Lentur (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2002:230)

    Berdasarkan Gambar 2.2 struktur lapisan perkerasan terbagi menjadi 4 yaitu :

    1. Lapisan Permukaan (Surface Course)

    Bagian teratas perkerasan yaitu lapisan permukaan dengan fungsi sebagai :

    - Sebagai lapisan aus, karena sangat dibutuhkan dalam lapis permukaan

    memiliki sifat kedap air dan memberikan efek gesekan bagi kendaraan. Pada

  • 14

    umumnya bahan yang digunakan sama dengan lapis pondasi tetapi memiliki

    persyaratan yang lebih tinggi. Dalam hal ini faktor kegunaan, umur rencana

    jalan serta langkah – langkah pelaksanann kontruksi harus diperhatikan agar

    dicapai manfaat yang semaksimal mungkin.

    - Penahan beban roda selama pengoperasiannya, maka dari itu lapisan

    permukaan harus mempunyai stabilitas yang tinggi.

    - Lapisan perkerasan mampu menyebarkan beban ke lapisan bawah dengan

    baik.

    2. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)

    Bagian ini terletak setelah lapisan permukaan yang memiliki beberapa

    fungsi, di antaranya :

    - Penahan gaya geser dari roda kendaraan.

    - Bantalan bagi lapisan permukaan.

    - Lapisan yang mendistribusikan beban dinamis ke lapisan di bawahnya.

    3. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)

    Bagian yang terletak di bawah lapisan pondasi atas yang memiliki

    beberapa fungsi, diantaranya :

    - Lapisan yang mendistibusikan beban di atasnya menuju lapisan tanah dasar.

    - Penyerap air berfungsi untuk mengurangi kadar air di lapisan pondasi.

    - Lapisan pertama yang selanjutnya akan dilapisi lapisan – lapisan di atasnya.

    - Pencegah tanah dasar supaya tidak bercampur dengan lapisan podasi.

    4. Lapisan Tanah Dasar (Subgrade)

    Merupakan bagian paling bawah sebagai tempat konstruksi lapisan

    diletakkan. Pada bagian ini, lapisan berupa tanah asli yang langsung dilakukan

    proses pemadatan. Jika memiliki tanah asli yang cenderung jelek harus dilakukan

    stabilisasi dengan bahan tertentu atau penambahan tanah dari tempat lain.

    2.5.2. Perkerasan Kaku/Beton Semen (Rigid Pavement)

    Menurut Wignall, dkk (2003) perkerasan ini merupakan jenis konstruksi

    jalan berbahan pengikat semen. Struktur utama perkerasan kaku diletakkan di atas

    tanah dasar berupa lembaran pelat beton yang dibawahnya terdapat atau tanpa

    lapisan pondasi bawah. Perkerasan ini tidak mengalami lendutan akibat beban lalu

  • 15

    lintas karena kekuatan lembaran pelat beton yang tinggi. Berbeda dengan

    perkerasan lentur, lapis aus dan struktur utama terdapat pada pelat beton, maka

    dalam perencanaannya beton yang digunakan harus memiliki mutu tinggi,

    permukaannya harus rata serta tahan dari berbagai cuaca sehingga dalam masa

    operasionalnya nyaman untuk dilalui kendaraan.

    Gambar 2.3 Struktur Lapisan Perkerasan Kaku (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:7)

    Ada 4 jenis perkerasan kaku/beton semen, di antaranya :

    - Perkerasan kaku bersambung tidak menggunakan tulangan (Jointed

    Unreinforced Rigid Pavement).

    - Perkerasan kaku bersambung menggunakan tulangan (Jointed Reinforced

    Rigid Pavement).

    - Perkerasan kaku menerus menggunakan tulangan (Continously Reinforced

    Concrete Pavement).

    - Perkerasan kaku pra-tegang (Prestressed).

    Komponen – komponen perkerasan kaku adalah sebagai berikut :

    1. Tulangan

    Menurut Alamsyah (2006) fungsi dasar pendistribusian tulangan baja pada

    perkerasan jalan kaku adalah untuk meminimalisir luas kerusakan akibat retak

    yang muncul pada titik beban terpusat supaya menghindari perkerasan mengalami

    pembelahan akibat retakan sehingga kekuatan pelat beton dapat dipertahankan.

    Idealnya banyak unit pelat beton diterapkan pada perkerasan jalan kaku yang

    disatukan menggunakan sambungan melintang dan sambungan memanjang

    pengecualian terhadap perkerasan kaku menerus hanya mempunyai sambungan

  • 16

    memanjang dengan persyaratan lebar perkerasan melebihi 6 meter. Kelemahan

    setiap sambungan adalah adanya celah yang membuat air dan material lain masuk,

    sehingga dibutuhkan sealant untuk menutup sambungan. Sambungan dibedakan

    menjadi sambungan melintang dan sambungan memanjang.

    2. Penulangan

    Tulangan besi baja yang dirangkai atau difabrikasi biasa disebut juga

    dengan pelat besi rol dengan suhu tinggi dengan mutu 250 maupun 460 atau pelat

    besi putih merupakan komponen umum penulangan dalam pelaksanaan konstruksi

    perkerasan kaku. Besi tulangan yang digunakan syaratnya bersih dari berbagai

    kotoran, oli, karat, dan tidak terkelupas. Kebutuhan penulangan pada perkerasan

    dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung dari kebutuhannya yaitu

    penulangan pada perkerasan kaku bersambung dengan atau tanpa tulangan.

    Sebenarnya perkerasan ini masih menggunakan beberapa tulangan agar

    meminimalisir retakan. Luas tulangan yang diperlukan dihitung menggunakan

    Persamaan 2.1.

    ........................................................................................... (2.1)

    dimana :

    As = Luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)

    F = Koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya

    L = Jarak antara sambungan (m)

    h = Tebal pelat (mm)

    fs = Tegangan tarik baja ijin (Mpa)

    3. Sambungan Melintang

    Sambungan melintang patut didesain secara tegak lurus atas sumbu

    memanjang jalan kecuali pada kawasan persimpangan atau bundaran. Untuk

    mencegah gerakan vertikal yang tidak sama antar pelat satu dengan lainnya, maka

    sambungan membutuhkan ruji (dowel). Pada bagian tengah tebal pelat dipasang

    ruji yang letaknya sejajar dengan sumbu memanjang jalan. Bagian sisi ujung ruji

    terikat dengan beton sama untuk sisi lainnya tetapi terikat pada pelat lainnya.

    Perletakkan ruji dapat dilihat pada Gambar 2.4.

  • 17

    Gambar 2.4 Pemasangan Dowel pada Pelat Beton Melintang (Wignall, dkk 2003:104)

    4. Sambungan Memanjang

    Pemasangan sambungan memanjang tergantung dari lebar perkerasan

    kaku yang akan direncanakan, jika lebar perkerasan melebihi 4,20 m maka

    memerlukan lebih dari satu sambungan didesain secara tipikal posisinya terhadap

    pembagian lajur lalu lintas. Tie bar dipasang untuk menghindari perbedaan

    lendutan antar pelat dalam arah memanjang yang terbuat dari baja lunak. Pada

    bagian tengah tebal pelat dipasang Tie bar. Kebutuhan tulangan memanjang dapat

    dihitung menggunakan Persamaan 2.2.

    Gambar 2.5 Pemasangan Tie Bar pada Pelat Beton Memanjang (Wignall, dkk 2003:104)

  • 18

    ....................................................................... (2.2)

    dimana :

    Ps = Persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap penampang

    penamp beton (%)

    ft = Kuat tarik beton yang digunakan 0,4 – 0,5 f (Mpa)

    fy = Tegangan leleh rencana baja, fy < 400 Mpa

    n = Angka ekivalen antara baja dan beton = Es/Ec

    F = Koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya

    Es = Modulus elastisitas baja

    Ec = Modulus elastisitas beton

    Pada perkerasan beton menerus memiliki persentase minimum tulangan

    memanjang sebesar 0,6% dari luas penampang beton.

    5. Lapisan Pondasi Bawah

    Pada umumnya material yang bersifat keras, kuat, tahan lama, tidak

    mengalami reaksi kimia serta dapat dipadatkan dengan baik seperti material

    berbutir menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya atau beton tumbuk

    digunakan untuk lapis pondasi bawah.

    Menurut Alamsyah (2006) tujuan dan keuntungan penggunaan lapisan

    pondasi bawah pada struktur perkerasan di antaranya :

    - Daya dukung tanah bertambah besar.

    - Membuat kestabilan pada lantai kerja.

    - Daya dukung permukaan yang sama.

    - Meminimalisir deformasi pada sambungan pelat beton untuk menjamin

    pendistribusian beban melewati sambungan dalam jangka waktu yang cukup

    lama.

    - Mencegah pemuaian atau penyusutan yang diakibatkan dari volume lapisan

    tanah dasar yang berubah.

    - Untuk menghindari pumping, air yang keluar dari sambungan maupun tepi

    pelat.

  • 19

    2.5.3. Perkerasan Komposit (Composite Pavement)

    Merupakan jenis perkerasan kombinasi antara perkerasan rigid dan

    diatasnya dilapisi dengan perkerasan lentur dimana kedua perkerasn tersebut

    bersama – sama dalam memikul beban lalu lintas. Struktur perkerasan terdiri atas

    beberapa lapisan, lapisan pondasi bawah terbuat dari campuran beton dengan

    bahan pengikat semen sedangkan lapisan di atasnya menggunakan perkerasan

    lentur. Pada struktur ini, perkerasan kaku berupa pelat beton digunakan sebagai

    lapisan pondasi, sedangkan untuk lapisan pondasi bawah disesuaikan sesuai

    dengan struktur lapisan perkerasan lentur.

    2.6. Klasifikasi Jalan

    2.6.1. Klasifikasi Jalan Menurut Sistem dan Fungsinya

    Sistem Jaringan Jalan di Indonesia terbagi menjadi 2 sistem jaringan jalan

    meliputi jaringan jalan primer dan sekunder, hal ini sudah diatur oleh UU No. 13

    Tahun 1980 Tentang Jalan dan PP No. 26 Tahun 1985.

    1. Jaringan Jalan Primer

    Merupakan sistem jaringan jalan yang berperan dalam jasa distribusi di

    dalam suatu wilayah yang menghubungkan antara wilayah nasional ke ibukota

    provinsi, ibukota kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan hingga jenjang

    dibawahnya. Selain itu, jaringan jalan ini berfungsi sebagai penghubung antar

    wilayah ibukota provinsi. Sistem jaringan jalan primer terbagi menjadi 3

    berdasarkan fungsinya, di antaranya :

    - Jalan Arteri Primer

    Jalan arteri primer sebagai jalan penghubung antar ibukota provinsi yang

    terletak berdampingan atau jalan penghubung antara ibukota provinsi dengan

    ibukota kotamadya/kabupaten. Kecepatan rencana minimum 60 km/jam dengan

    desain lebar badan jalan minimum 8 meter.

    - Jalan Kolektor Primer

    Jalan kolektor primer sebagai jalan penghubung antara ibukota provinsi

    dengan kecamatan atau pengubung antara ibukota kotamadya atau kabupaten

    dengan kecamatan. Kecepatan rencana minimum 40 km/jam dengan desain lebar

    badan jalan minimum 7 meter.

  • 20

    - Jalan Lokal Primer

    Jalan lokal primer sebagai jalan penghubung antar kecamatan atau

    kecamatan dengan kelurahan/tingkat di bawahnya. Kecepatan rencana paling

    rendah minimum 20 km/jam dengan desain lebar badan jalan minimum sebesar 6

    meter.

    2. Jaringan Jalan Sekunder

    Jaringan jalan sekunder sebagai sistem jaringan jalan yang berperan dalam

    jasa distribusi pada suatu wilayah perkotaan penghubung kawasan fungsi primer,

    fungsi sekunder hingga jenjang di bawahnya Sistem jaringan jalan sekunder

    menurut fungsinya terbagi menjadi 3 jalan, di antaranya :

    - Jalan Arteri Sekunder

    Jalan penghubung antara kawasan primer dengan kawasan sekunder.

    Kecepatan rencana minimum 30 km/jam dengan desain lebar badan jalan

    minimum 8 meter.

    - Jalan Kolektor Sekunder

    Merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpul untuk kepentingan

    masyarakat yang menghubungkan wilayah dalam kota. Kecepatan rencana

    minimum 20 km/jam dengan desain lebar badan jalan minimum 7 meter.

    - Jalan Lokal Sekunder

    Merupakan jalan yang menghubungkan antar jaringan jalan di dalam kota

    dengan permukiman. Kecepatan rencana minimum 10 km/jam dengan desain

    lebar badan minimum 5 meter.

    2.6.2. Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Administrasi Pemerintahan

    Menurut Alamsyah (2006) klasifikasi jalan menurut wewenang

    administrasi pemerintahan dengan ketentuan – ketentuan hukum yang berlaku

    supaya jalan digunakan sesuai dengan wewenang pemerintah yang terbagi

    menjadi beberapa klasifikasi jalan di antaranya :

    - Jalan Nasional

    Merupakan jalan penghubung ibukota provinsi dengan ibukota provinsi

    lain, atau secara spesifik jalan yang dibangun untuk kepentingan nasional, yaitu

  • 21

    jalan yang nantinya berdampak menguntungkan bagi kesatuan dan keutuhan

    nasional.

    - Jalan Provinsi

    Merupakan salah satu jalan yang terdapat pada sistem jaringan primer

    terbagi menjadi jalan arteri dan jalan kolektor yang fungsinya untuk

    menghubungkan antara ibukota provinsi dengan kabupaten/kota, penghubung

    jalan antar ibukota kabupaten/kota atau istilah lainnya jalan provinsi yaitu jalan

    dengan fungsi nilai strategisnya atas kepentingan provinsi seperti menjamin

    terselenggaranya proses ke pemerintahan daerah tingkat I.

    - Jalan Kabupaten

    Merupakan jalan penghubung antara kabupaten/kota dengan kecamatan,

    penghubung antar kecamatan atau pengubung antara kecamatan dengan

    kelurahan/tingkat dibawahnya atau jalan yang menjamin terselenggaranya proses

    kepemerintahan dalam pemerintah daerah.

    - Jalan Kota

    Jalan kota merupakan jalan yang menghubungkan kawasan di dalam

    daerah perkotaan.

    - Jalan Desa

    Jalan desa merupakan jaringan jalan yang menghubungkan kawasan di

    dalam wilayah kelurahan/desa dari hasil gotong royong masyarakat di tingkat

    kelurahan/desa,

    - Jalan Khusus

    Jalan yang didirikan dan diurus oleh badan lembaga tertentu dengan tujuan

    khusus badan instansi itu sendiri.

    - Jalan Bebas Hambatan/Tol

    Jalan Bebas Hambatan merupakan jalan yang khusus dibangun sebagai

    alternatif jalan yang memiliki spesifikasi diatas jalan raya pada umumnya

    sehingga jalan tol harus memberikan fungsi kelebihannya kepada pengendara

    dalam hal mobilitas dari suatu wilayah ke wilayah lainnya dimana pelaksanaannya

    diatur oleh pemerintah.

  • 22

    2.6.3. Klasifikasi Jalan Berdasarkan Tipe Jalan

    Menurut Alamsyah (2001) Jalan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu jalan tipe I

    (kontrol akses penuh) merupakan akses jalan masuk langsung yang sangat dibatasi

    secara efisien, dan jalan tipe II (kontrol sebagian atau tanpa akses) merupakan

    akses jalan masuk langsung yang diijinkan secara terbatas.

    2.6.4. Klas Jalan

    Klas jalan merupakan pembagian tingkatan jalan berdasarkan fungsi jalan,

    seperti pada Tabel 2.1 Klas jalan dalam standar tekanan gandar tunggal (single

    axle load) dimana berat maksimum per pasang roda tidak boleh melebihi batas

    yang telah ditentukan dinyatakan dalam ton dan sudah dibedakan sesuai dengan

    klas jalan yang diizinkan seperti seperti pada Tabel 2.2.

    Tabel 2.1 Klas Jalan Menurut Tipe Jalan

    Tipe Jalan Klas Jalan Keterangan

    Tipe I

    Klas I

    Jalan dengan standar tinggi untuk melayani antar

    wilayah atau antar kota untuk kecepatan tinggi

    dengan pembatasan jalan masuk.

    Klas II

    Jalan dengan standar tinggi untuk melayani antar

    wilayah atau di dalam metropolitan untuk kecepatan

    tinggi dengan pembatasan jalan masuk.

    Tipe II

    Klas I

    Jalan dengan standar tinggi 4 lajur atau lebih untuk

    antar kota atau dalam kota kecepatan tinggi, volume

    lalu lintas tinggi dengan masih ada beberapa

    pembatasan jalan masuk.

    Klas II

    Jalan dengan standar tinggi, 2 jalur atau lebih untuk

    melayani antar/dalam kota, kecepatan tinggi, volume

    lalu lintas sedang dengan/tanpa pembatasan jalan

    masuk.

    Klas III

    Jalan dengan standar menengah, 2 jalur atau lebih

    melayani antar distrik, kecepatan sedang, volume lalu

    lintas tinggi tanpa pembatasan jalan masuk.

    Klas IV Jalan dengan standar rendah, 1 lahur dua arah sebagai

    jalan penghubung.

    (Alamsyah 2006:15)

    Tabel 2.2 Klas Jalan dalam Standar Tekanan Gandar Tunggal

    No. Klas Jalan Tekanan Gandar Tunggal

    1 Klas I 7,00 ton

    2 Klas II 5,00 ton

    3 Klas III 3,50 ton

    4 Klas III a 2,75 ton

    5 Klas IV 2,00 ton

    6 Klas V 1,50 ton

    (Sudarsono 1979:12)

  • 23

    2.6.5. Kecepatan Rencana

    Kecepatan yang telah ditetapkan sebagai acuan desain meliputi hubungan

    antar segi – segi wujudnya berdampak pada operasional kendaraan adalah

    pengertian dari kecepatan rencana. Dalam hal ini, pergerakan kendaraan seolah –

    seolah dikendalikan karena kecepatan maksimum kendaraan dapat dipertahankan

    serta dapat dibedakan seperti pada Tabel 2.3.

    Tabel 2.3 Klas Jalan Berdasarkan Kecepatan Rencana

    Tipe Jalan Klas Jalan Kecepatan (km/jam)

    Tipe I Klas I 100 atau 80

    Klas II 100 atau 60

    Tipe II

    Klas I 60

    Klas II 60 atau 50

    Klas III 40 atau 30

    Klas IV 30 atau 20

    (Alamsyah 2006:16)

    2.7. Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Kaku Menurut Pedoman Bina

    Marga Pd T-14-2003

    2.7.1. Lalu Lintas

    Dalam perkerasan kaku, jumlah sumbu kendaraan niaga digunakan untuk

    menyatakan penetapan beban kendaraan berdasarkan konfigurasi sumbu

    kendaraan pada lajur rencana sepanjang umur rencana. Data terkahir atau dua

    tahun terakhir lalu lintas digunakan sebagai dasar perhitungan analisis volume lalu

    lntas dan konfigurasi sumbu. Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana

    Wilayah (2003) terdapat jenis konfigurasi kelompok sumbu kendaraan untuk

    perkerasan kaku yang terbagi menjadi 4 jenis, diantaranya :

    - Sumbu tunggal roda tunggal (STRT)

    - Sumbu tunggal roda ganda (STRG)

    - Sumbu tandem roda ganda (STdRG)

    - Sumbu tridem roda ganda (STrRG)

    2.7.2. Lajur Rencana dan Koefisien Distribusi

    Suatu ruas jalan raya yang didalamnya terdapat lajur lalu lintas berfungsi

    untuk memuat lalu lintas kendaraan niaga terbesar merupakan pengertian dari

    lajur rencana. Pada umumnya lajur rencana ini ditandai dengan tanda batas lajur

    untuk mengetahui jumlah lajur dalam suatu ruas jalan. Terdapat kondisi dimana

  • 24

    suatu jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka dari itu jumlah lajur dapat

    ditentukan sesuai dengan Tabel 2.4.

    Tabel 2.4 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan dan Koefisien Distribusi

    (C) Kendaraan Niaga pada Lajur Rencana

    Lebar Perkerasan (Lp) Jumlah Lajur (nl) Koefisien Distribusi

    1 Arah 2 Arah

    Lp < 5,50 m 1 lajur 1 1

    5,50 m ≤ Lp < 8,25 m 2 lajur 0,70 0,500

    8,25 m ≤ Lp < 11,25 m 3 lajur 0,50 0,475

    11,25 m ≤ Lp < 15,00 m 4 lajur - 0,450

    15,00 m ≤ Lp < 18,75 m 5 lajur - 0,425

    18,75 m ≤ Lp < 22,00 m 6 lajur - 0,400

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:10)

    2.7.3. Umur Rencana

    Total waktu dalam tahun dihitung sejak operasional awal jalan hingga

    dilakukan pemeliharaan penuh (rekonstruksi) atau kebutuhan untuk dilakukan

    proses pelapisan tambahan atau lapisan baru merupakan pengertian dari umur

    rencana. Pemeliharaan tetap dilakukan selama umur rencana seperti pelapisan aus

    yang sifatnya berupa nonstruktural. Menurut Alamsyah (2006) umur rencana 20

    tahun umumnya untuk perkerasan jalan baru dan untuk peningkatan jalan sebesar

    10 tahun. Saat ini umur rencana yang ideal berkisar antara 20 tahun tetapi melihat

    bahwa perkembangan lalu lintas tiap tahun selalu bertumbuh besar dan data lalu

    lintas yang tidak menentu mengakibatkan umur rencana diatas 20 tahun sudah

    tidak lagi efektif.

    2.7.4. Pertumbuhan Lalu Lintas

    Persamaan 2.3 dapat digunakan untuk menghitung faktor pertumbuhan

    lalu lintas dimana kapasitas jalan dicapai atau sesuai dengan umur rencana.

    ............................................................................................. (2.3)

    dimana :

    R = Faktor pertumbuhan lalu lintas

    i = Laju pertumbuhan lalu lintas (%)

    UR = Umur rencana (tahun)

    Petumbuhan lalu lintas dapat dihitung menggunakan persamaan maupun

    ditentukan berdasarkan Tabel 2.5.

  • 25

    Tabel 2.5 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (R)

    Umur Rencana

    (Tahun)

    Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)

    0 2 4 6 8 10

    5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1

    10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9

    15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8

    20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3

    25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3

    30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5

    35 35 50 73,7 111,4 172,3 271

    40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:11)

    Persamaan R dapat berbeda saat kondisi pertumbuhan lalu lintas pada waktu

    tertentu sudah tidak berlangsung sesuai dengan Persamaan 2.4.

    { } .............................................. (2.4)

    dimana :

    R = Faktor pertumbuhan lalu lintas

    i = Laju pertumbuhan lalu lintas (%)

    URm = Waktu tertentu dalam tahun, sebelum UR selesai

    2.7.5. Lalu Lintas Rencana

    Total rekapitulasi sumbu kendaraan niaga pada lajur rencana sepanjang

    umur rencana termasuk didalamnya total sumbu dan sebaran beban terhadap

    masing – masing jenis kendaraan adalah pengertian dari lalu lintas rencana.

    Persamaan 2.5 digunakan untuk menghitung JKSN.

    ....................................................................... (2.5)

    dimana :

    JSKN = Jumlah total sumbu kendaraan niaga pada umur rencana

    JSKNH= Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka

    R = Faktor pertumbuhan lalu lintas

    C = Koefisien distribusi kendaraan

    2.7.6. Faktor Keamanan Beban

    Beban rencana dapat dihitung dengan mengalikan nilai FKB dengan beban

    sumbu, nilai FKB sendiri disesuaikan terhadap penggunaan jalan. Untuk nilai FKB

    ditentukan pada Tabel 2.6.

  • 26

    Tabel 2.6 Faktor Keamanan Beban (FKB)

    No. Penggunaan Nilai

    FKB 1 Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur banyak,

    yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume kendaraan niaga

    yang tinggi.

    Bila menggunakan data lalu lintas dari hasil survai beban (weight-in-

    motion) dan adanya kemungkinan rute alternatif, maka nilai faktor

    keamanan beban dapat dikurangi menjadi 1,15.

    1,2

    2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume

    kendaraan niaga menengah 1,1

    3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1,0

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:12)

    2.7.7. Daya Dukung Tanah (DDT)

    Beban kendaraan yang berasal dari lapisan – lapisan diatasnya selanjutnya

    diterima oleh lapisan tanah dasar, mulanya beban kendaraan yang diterima lapisan

    permukaan akan diteruskan ke bawah menuju lapisan tanah dasar. Oleh karena itu,

    kekuatan tanah dasar menentukan tingkat kerusakan jalan selama masa

    operasionalnya. Faktor – faktor seperti konsistensi kepadatan tanah, jenis tanah,

    keadaan drainase, kadar air dapat mempengaruhi DDT (Sukirman, 1999). Kadar

    air tidak berpengaruh terhadap tanah yang padat karena volume tanah cenderung

    tidak mudah berubah serta memiliki nilai DDT yang lebih besar daripada tanah

    yang memiliki tingkat kepadatan rendah. DDT dalam perencanaan perkerasan

    dinyatakan dalam nilai CBR.

    Pengujian CBR insitu untuk perencanaan tebal perkerasan lama ditentukan

    sesuai SNI 03-1731-1989 sedangkan perkerasan baru dengan CBR Lab sesuai SNI

    03-1744-1989. Pondasi bawah dari beton kurus setebal 15 cm dipasang untuk

    perkerasan dengan nilai CBR tanah dasar kurang dari 2% karena diasumsikan

    untuk pondasi beton kurus memiliki nilai CBR sebesar 5%

    2.7.8. CBR (California Bearing Ratio)

    Nilai perbandingan lapisan tanah dengan bahan/agregat perkerasan dengan

    penetrasi dan kedalaman yang sama adalah pengertian dari CBR. Dari

    perbandingan kualitas tanah dasar dengan agregat seperti batu pecah didapat harga

    CBR yang digunakan sebagai acuan dalam memikul beban lalu lintas.

  • 27

    2.7.9. Pondasi Bawah

    Pondasi bawah berperan sebagai lapisan pendukung struktur di atasnya.

    Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) pondasi bawah

    bisa terdiri dari bahan – bahan seperti :

    - Stabilisasi tanah dengan bahan pengikat

    - Bahan berbutir

    - Campuran beton kurus maupun beton giling padat

    Perencanaan lapisan pondasi memiliki ketebalan minimum 10 cm dengan mutu

    berdasarkan SNI No. 03-6388-2000 dan SNI 03-1743-1989. Tambahan beton

    kurus digunakan pada pondasi bawah untuk desain perkerasan kaku bersambung

    tanpa ruji. Lapisan pondasi bawah juga ditentukan dari besarnya jumlah total

    sumbu kendaraan niaga, jika jumlah totalnya semakin besar maka digunakan

    campuran beton kurus dengan tebal minimum 12,5 cm. Sedangkan semakin tinggi

    nilai CBR maka hanya digunakan bahan pengikat pada lapisan pondasinya.

    Gambar 2.6 digunakan untuk menentukan minimum tebal lapis pondasi bawah

    sedangkan Gambar 2.7 digunakan untuk menentukan nilai CBR tanah dasar

    efektif.

    Gambar 2.6 Grafik Tebal Pondasi Bawah Minimum untuk Perkerasan Beton

    Semen (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:8)

  • 28

    Gambar 2.7 Grafik CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Perkerasan Pondasi

    Bawah (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:8)

    2.7.10. Material Pondasi Bawah

    Stabilisasi dengan bahan pengikat semen, material berbutir, dan campuran

    beton kurus merupakan material yang umum dijumpai pada pondasi bawah.

    Material pondasi bawah berbutir tanpa pengikat memiliki syarat berdasarkan SNI

    03-6388-2000. Spesifikasi bahan untuk pondasi bawah sebesar 3% – 5% untuk

    penyimpangan ijin dan memiliki gradasi kelas B wajib dipenuhi dalam pengujian

    gradasi sebelum pekerjaan pondasi bawah. Pondasi dengan ketebalan minimum

    15 cm digunakan pada CBR tanah dasar sebesar 5%. Pondasi bawah dengan

    stabilisasi bahan pengikat (bound sub-base) meliputi material kapur, semen, abu

    terbang yang sebelumnya mengalami proses penghalusan. Syarat campuran beton

    kurus (lean-mix concrete) sebagai pondasi bawah saat diuji pada umur 28 hari

    harus memilki nilai kuat tekan beton minimum sebesar 7 Mpa dengan campuran

    abu terbang sedangkan 5 Mpa tanpa campuran abu terbang dan harus memiliki

    ketebalan minimum sebesar 10 cm.

    Untuk mencegah terjadinya ikatan antara pondasi bawah dan pelat maka

    dilakukan perencanaan lapisan pemecah ikatan. Koefisien gesekan ditentukan

    berdasarkan jenis lapis pemecah ikatannya sesuai dengan Tabel 2.7.

  • 29

    Tabel 2.7 Nilai Koefisien Gesekan (μ)

    No. Lapis Pemecah Ikatan Koefisien Gesekan (μ)

    1 Lapis resap ikat aspal di atas permukaan pondasi bawah 1,0

    2 Laburan parafin tipis pemecah ikat 1,5

    3 Karet kompon (a chlorinated rubber curing compound) 2,0

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:9)

    2.7.11. Beton Semen

    Hasil pengujian balok sesuai dengan standar pengujian kuat tarik lentur

    menggunakan pembebanan tiga titik (ASTM C-78) digunakan untuk menyatakan

    nilai kekuatan beton umur 28 hari idealnya sebesar 3 Mpa sampai 5 Mpa atau 30

    kg/cm2

    sampai 50 kg/cm2. Serat baja, serat karbon, atau aramid digunakan sebagai

    serat penguat pada kuat tarik lentur beton yang harus memiliki kuat tarik lentur

    sebesar 5 Mpa sampai 5,5 Mpa (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah,

    2003). Kuat tarik lentur dibulatkan sampai 0,25 Mpa atau 2,5 kg/cm2 untuk

    menyatakan kekuatan rencana beton. Persamaan 2.6 dan Persamaan 2.7 digunakan

    untuk menghitung kuat tarik lentur beton pada umur 28 hari dalam Mpa dan

    kg/cm2.

    fcf dalam MPa,

    ................................................................................................ (2.6)

    fcf dalam kg /cm2,

    ....................................................................................... (2.7)

    dimana :

    fc = kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2)

    fcf = kuat tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)

    K = konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 untuk agregat pecah

    Terjadinya keretakan pada perkerasan kaku umum terjadi perkerasan tidak

    mampu menahan beban dinamis diatasnya, oleh karena itu pemilihan serat baja

    sebagai material untuk meningkatkan kuat tarik lentur sehingga lebar retakan pada

    pelat beton dapat dikendalikan, hal ini berlaku khususnya terhadap jenis pelat

    berbentuk tidak wajar. Panjang serat didesain berkisar antara 15 sampai 50 mm

    dimana pada bagian ujung serat melebar berfungsi sebagai angker atau sekrup

    penguat yang keseluruhannya digunakan untuk meningkatkan kekuatan ikatan.

    Serat baja yang sudah didesain kemudian dapat ditambahkan ke dalam adukan

  • 30

    beton yang memiliki berat masing – masing sebesar 75 dan 45 kg/m3. Kondisi

    lingkungan tempat dilaksanakannya konstruksi perkerasan kaku berpengaruh

    terhadap pemilihan semen yang akan digunakan untuk pekerjaan beton.

    2.7.12. Perencanaan Tebal Slab Beton

    Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003) tebal

    slab beton ditentukan berdasarkan JKSN, nilai CBReff, direncanakan

    menggunakan atau tanpa ruji serta bahu beton yang dimasukkan ke dalam grafik

    pada Gambar 2.8.

    Gambar 2.8 Grafik Penentuan Tebal Slab Beton

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:46)

    2.7.13. Analisis Fatik dan Erosi

    Analisis fatik diperlukan untuk mengetahui persentase kerusakan slab

    beton akibat beban per roda pada setiap kelompok sumbu kendaraan, sedangkan

    analisis erosi diperlukan untuk mengetahui persentase pengikisan slab akibat

  • 31

    beban per roda pada setiap kelompok sumbu. Grafik analisis fatik dan erosi dapat

    dilihat pada Gambar 2.9 dan Gambar 2.10.

    Gambar 2.9 Grafik Analisis Fatik dengan/tanpa Bahu Beton (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:26)

    Gambar 2.10 Grafik Analisis Erosi Tanpa Bahu Beton (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:27)

  • 32

    2.7.14. Perencanaan Tulangan

    Perencanaan tulangan pada perkerasan kaku sangat diperlukan karena

    beberapa fungsi tulangan yang sangat berperan nantinya dalam perkerasan kaku

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003) diantaranya :

    - Membatasi lebar retakan sehingga pelat dapat mempertahankan kekuatannya,

    meskipun ada jenis sambungan tanpa tulangan, tulangan tetap dipasang untuk

    mengendalikan retak saat perencanaan jalan sudah beroperasi.

    - Meningkatkan fungsi kenyamanan lalu lintas karena jumlah sambungan

    melintang dapat dikurangi dengan penggunaan pelat yang lebih panjang.

    - Menghemat biaya pemeliharaan karena dengan adanya tulangan pada struktur

    perkerasan berfungsi untuk menghindari retakan sehingga proses grouting

    atau penggantian pelat tidak perlu dilakukan.

    Jarak sambungan susut sangat berpengaruh terhadap keperluan jumlah tulangan,

    jumlah tulangan yang cukup diperlukan untuk mengurangi sambungan susut

    terhadap jenis perkerasan dengan beton bertulang menerus.

    1. Perkerasan Kaku Bersambung Tanpa Tulangan

    Meskipun namanya adalah perkerasan beton kaku tanpa adanya tulangan,

    kebutuhan tulangan tetap dibutuhkan untuk mengurangi retakan pada beberapa

    bagian pelat yang mengalami tegangan karena beban di atasnya. Umumnya

    penerapan tulangan pada perkerasan kaku diterapkan pada :

    - Pelat berbentuk tidak wajar, disebut tidak wajar karena pelat ini memiliki

    perbandingan diatas 1,25 antara panjang dan lebarnya atau bentuk dari pelat

    tidak tidak seperti persegi panjang atau bujur sangkar.

    - Mismatched joints atau pelat yang tidak sama jalur.

    - Pelat yang berlubang.

    2. Perkerasan Kaku Bersambung dengan Tulangan

    Perkerasan yang menggunakan tulangan pada strukturnya terbagi menjadi

    tulangan melintang dan memanjang. Persamaan 2.8 digunakan untuk menghitung

    luasan penampang tulangan.

    .......................................................................................... (2.8)

  • 33

    dimana :

    As = Luas penampang tulangan baja mm2/m lebar pelat

    fs = Kuat tarik ijin tulangan (Mpa), pada umumnya 0,6 kali tegangan leleh

    g = Gravitasi (m/detik2)

    h = Tebal pelat beton (m)

    L = Jarak antara sambungan yang tidak diikat dan/atau tepi bata pelat (m)

    M = Berat per satuan volume pelat (kg/m3)

    μ = koefisien gesek antara pelat beton dan pondasi bawah sebagaimana pada

    tabel koefisien gesekan

    Pemilihan kebutuhan tulangan berdasarkan luas penampang baja mm2/m

    lebar pelat dikontrol menggunakan nilai As minimum sehingga penggunaan

    tulangan dicari dengan luasan diatas As minimum.Tabel 2.8 menunjukkan ukuran

    diameter dan jarak tulangan polos yang terdiri dari bentuk anyaman empat persegi

    panjang dan bujur sangkar.

    .................................................................. (2.9)

    Tabel 2.8 Ukuran Tulangan Polos

    (mm)

    Luas Penampang Tulangan (mm2)

    Jarak Spasi p.k.p Tulangan (mm)

    50 100 150 200 250 300 350 400 450

    6 565,5 282,7 188,5 141,4 113,1 94,2 80,8 70,7 62,8

    8 1005,3 502,7 335,1 251,3 201,1 167,6 143,6 125,7 111,7

    9 1272,3 636,2 424,1 318,1 254,5 212,1 181,8 159,0 141,4

    10 1570,8 785,4 523,6 392,7 314,2 261,8 224,4 196,3 174,5

    12 2261,9 1131,0 754,0 565,5 452,4 377,0 323,1 282,7 251,3

    13 2654,6 1327,3 884,9 754,0 530,9 452,4 379,2 331,8 295,0

    14 3078,8 1539,4 1026,3 884,9 615,8 513,1 439,8 384,8 342,1

    16 4021,2 2010,6 1340,4 1026,3 804,2 670,2 574,5 502,7 446,8

    18 5089,4 2544,7 1696,5 1340,4 1017,9 848,2 727,1 636,2 565,5

    19 5670,6 2835,3 1890,2 1696,5 1134,1 925,1 810,1 708,8 630,1

    20 6283,2 3141,6 2094,4 1570,8 1256,6 1047,2 897,6 785,4 698,1

    22 3801,3 2534,2 1900,7 1520,5 1636,2 1086,1 950,3 844,7

    25 4908,7 3272,5 2454,4 1963,5 2052,5 1402,5 1227,2 1090,8

    28 6157,5 4105,0 3078,8 2463,0 2052,5 1759,3 1539,4 1368,3

    29 6605,2 4403,5 3302,6 2642,1 2201,7 1887,2 1651,3 1467,8

    32 8042,5 5361,7 4021,2 3217,0 2680,8 2297,9 2010,0 1787,2

    36 6785,8 5089,4 4071,5 3392,9 2908,2 2544,7 2261,9

    40 8377,6 6283,2 5026,5 4188,8 3590,4 3141,6 2792,5

    50 13090,0 9817,50 7854,0 6545,0 5610,0 4908,7 4363,3

    (Dipohusodo 1993:459)

  • 34

    Pada perkerasan kaku, luasan tulangan melintang dihitung menggunakan

    Persamaan 2.8 dengan jarak maksimum tulangan yang diperbolehkan dari

    tulangan sebesar 750 mm. Pada perkerasan kaku untuk pelat dengan tebal kurang

    dari 200 mm, penempatan tulangan melintang berada pada kedalaman yang

    melebihi 65 mm dari permukaan dan pelat dengan ketebalan diatas 200 mm

    ditempatkan maksimum sepertiga dari tebal pelat. Posisi tulangan arah melintang

    berada di bawah tulangan memanjang.

    2.7.15. Perencanaan Sambungan

    Perencanaan sambungan terbagi menurut sumbu arahnya, yaitu

    sambungan melintang (ruji atau dowel), dan sambungan memanjang (tie bar).

    Sambungan memiliki fungsi sebagai penyambung (joint) antara satu slab beton

    dengan slab beton lainnya serta mengurangi potensi retak pada slab beton.

    1. Pelaksanaan Sambungan Melintang

    Pemasangan sambungan melintang memiliki perbandingan kemiringan

    1:10 bertujuan untuk meminimalisir beban lalu lintas yang sifatnya tidak statis.

    Posisi dari bagian ujung sambungan tegak lurus terhadap sumbu memanjang

    jalan serta tepi perkerasan. Terdapat perbedaan ketebalan tentang tata cara

    pemasangan sambungan, untuk perkerasan dengan pondasi berbahan butir

    dipasang kurang lebih dengan kedalaman seperempat dari tebal pelat sedangkan

    untuk pondasi berbahan stabilisasi semen dipasang dengan kedalaman sepertiga

    dari tebal pelat. Begitu pula dengan jarak sambungan susut antara perkerasan kaku

    bersambung tanpa tulangan berjarak antara 4 m sampai 5 m sedangkan perkerasan

    kaku bersambung dengan tulangan berjarak antara 8 m sampai 15 m. Dowel polos

    harus dipasangan pada sambungan dengan panjang kurang lebih 0,45 m dan

    antara ruji – rujinya berjarak kurang lebih 0,30 m. Bahan anti lengket digunakan

    untuk melapisi setengah dari panjang dowel polos berfungsi untuk menghilangkan

    ikatan dengan beton. Diameter dowel ditentukan berdasarkan dengan tebal pelat

    beton yang sesuai dengan Tabel 2.9 sedangkan untuk ketebalan diatas 250 mm

    menggunakan diameter dowel sebesar 38 mm (Khazanovich, 2011).

    Dalam pelaksananaanya, sambungan melintang menggunakan batang

    pengikat tulangan berulir untuk pemasangan tanpa perencanaan, sedangkan

  • 35

    sambungan dengan tulangan polos sebagai batang pengikat dipasang pada bagian

    tengah tebal pelat untuk pemasangan dengan perencanaan.

    Tabel 2.9. Diameter Ruji

    No Tebal Pelat Beton, h (mm) Diameter Ruji (mm)

    1 125 < h < 140 20

    2 140 < h < 160 24

    3 160 < h < 190 28

    4 190 < h < 220 33

    5 220 < h ≤ 250 36

    (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 2003:14)

    2. Pelaksanaan Sambungan Memanjang

    Untuk mengendalikan retakan memanjang harus dilakukan pemasangan

    sambungan memanjang. Mutu baja tulangan ulir 240 Mpa berdiameter 16 mm

    digunakan sebagai batang ulir sambungan memanjang dengan jarak antar

    sambungan berkisar antara 3 m sampai 4 m. Luas penampang dan panjang batang

    pengikat diperoleh berdasarkan Persamaan 2.10.

    ............................................................................................ (2.10)

    Panjang batang pengikat dihitung menggunakan Persamaan 2.11.

    ............................................ (2.11)

    dimana :

    At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2)

    b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi p

    penam perkerasan (m)

    h = Tebal pelat (m)

    I = Panjang batang pengikat (mm)

    = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm)

    Pada persamaan rumus diatas, sebesar 75 cm diambil sebagai jarak batang

    pengikat. Penguncian dengan bentuk trapesium atau setengah lingkaran dilakukan

    dalam pelakasanaan sambungan memanjang. Permukaan sambungan pelat beton

    harus dilapisi dengan zat yang mampu mencegah terjadinya ikatan antara beton

    lama dengan beton baru pada saat penghamparan seperti aspal atau kapur.

  • 36

    2.8. Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Kaku Menurut AASHTO 1993

    2.8.1. Umur Rencana

    Pada umumnya perencanaan perkerasan kaku untuk konstruksi baru

    mengambil 20 tahun sebagai umur rencana.

    2.8.2. Vehicle Damage Factor (VDF)

    Vehicle Damage Factor merupakan nilai konversi jumlah kendaraan dari

    berbagai macam jumlah sumbu kendaraan niaga. Nilai VDF dipengaruhi oleh

    Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E) karena angka tersebut menyatakan

    nilai perbandingan antara pengaruh beban sumbu tunggal maupun ganda terhadap

    tingkat kerusakan pada suatu lintasan dengan pengaruh beban standar sumbu

    tunggal sebesar 8,16 ton terhadap tingkat kerusakan pada satu lintasan (Suryawan,

    2015). Setiap jenis golongan kendaraan, berat total serta konfigurasi sumbu setiap

    jenis kendaraan digunakan untuk menyatakan konfigurasi sumbu roda sehingga

    nilai VDF setiap jenis kendaraan diketahui sesuai dengan Tabel 2.10.

    Tabel 2.10 Nilai Vehicle Damage Factor (VDF)

    Gol. Konf.

    Sumbu

    Berat

    Total

    (ton)

    Konfigurasi Beban Sumbu Roda

    VDF Depan

    ST,RT

    Belakang

    ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5

    2 1.1 2,00 1,00 1,00

    ST,RT 0,0005

    3 1.2 8,30 2,82 5,48

    ST,RG 0,2174

    4 1.2L 2,00 1,00 1,00

    ST,RT 0,0005

    5a 1.2 8,30 2,82 5,48

    ST,RG 0,2174

    5b 1.2 9,00 3,06 5,94

    ST,RG 0,3006

    6 1.2H 15,15 5,15 10,00

    ST,RG 2,4159

    7a 1.2.2 25,00 6,25 9,38

    SG,RG

    9,38

    SG,RG 2,7416

    7b 1.2+2.2 31,40 5,65 8,79

    ST,RG

    8,48

    ST,RG

    8,48

    ST,RG 3,9083

    7c 1.2.2+2.2 40,13 5,88 10,00

    SG,RG

    10,00

    SG,RG

    7,00

    SG,RG

    7,25

    SGRG 4,1718

    (Suryawan 2015:235)

  • 37

    2.8.3. Faktor Distribusi Arah (DD) dan Lajur (DL)

    Pada umunya nilai Dd diambil sebesar 0,5 dari kisaran antara 0,3 – 0,7

    sedangkan untuk persentase DL dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.11.

    Tabel 2.11 Faktor Distribusi Lajur (DL)

    Jumlah Lajur Setiap Arah DL (%)

    1 100

    2 80 – 100

    3 60 – 80

    4 50 – 75

    (Suryawan 2015:27)

    2.8.4. Analisis Lalu Lintas (Traffic Design)

    Analisis lalu lintas dapat dihitung menggunakan rumus Traffic ESAL

    (Equivalent Single Axle Load) pada Persamaan 2.12.

    ∑ ..................................................... (2.12)

    dimana :

    W18 = Traffic design pada lajur lalu lintas, Equivalent Single Axle Load

    LHRj = Jumlah lalu lintas harian rata – rata 2 arah untuk jenis kendaraan

    VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan

    DD = Faktor distribusi arah

    DL = Faktor distribusi lajur

    N1 = Lalu lintas pada tahun pertama jalan dibuka

    Nn = Lalu lintas pada akhir umur rencana

    Hasil dari traffic design pada jalur rencana selama setahun (W18) yang telah

    dihitung menggunakan Persamaan 2.12 kemudian dikalikan dengan nilai dari

    traffic growth yang dinyatakan pada Persamaan 2.13. Parameter ini merupakan

    lalu lintas kumulatif (Wt) yang digunakan sebagai salah satu parameter

    perencanaan tebal perkerasan kaku.

    ..................................................................................... (2.13)

    dimana :

    Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif

    W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun

  • 38

    n = Umur pelayanan atau umur rencana UR (tahun)

    g = perkembangan lalu lintas (%)

    2.8.5. Nilai CBR Tanah

    Langkah yang digunakan untuk mencari nilai modulus reaksi tanah dasar

    (k) dalam perencanaan perkerasan jalan kaku dapat dicari dari nilai CBR. Nilai

    CBR untuk lapisan tanah dasar sebesar 6% umum digunakan sebagai dasar

    perencanaan perkerasan kaku di Indonesia, sedangkan studi uji kekuatan tanah

    diperlukan untuk tanah dasar untuk nilai CBR dibawah 6% (diperbolehkan sekitar

    5% atau 4%) masih bisa digunakan. CBR yang kurang dari 6% dapat

    menimbulkan masalah pada perencanaan struktur perkerasan jalan kaku, salah

    satu upaya penanganannya dapat berupa penambahan tebal perkerasan.

    2.8.6. Material Konstruksi Perkerasan

    Pelat beton dan beton kurus dengan kuat tekan rencana masing – masing

    digunakan sebagai material perkerasan jalan kaku.

    - Pelat Beton

    Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2 = 640 psi

    Kuat tekan (fc’) = 350 kg/cm2 = 4978,17 psi

    - Wet Lean Concrete

    Kuat tekan (fc’) = 105 kg/cm2 = 1493,45 psi

    Di Indonesia kuat tekan beton (fc’) umumnya digunakan fc’= 350 kg/cm2. Sc’

    digunakan untuk menentukan kuat lentur sedangkan fc’ digunakan untuk kuat

    tekan dan sebagai parameter modulus elastisitas beton (Ec) yang dapat dihitung

    menggunakan Persamaan 2.14.

    ........................................................................................... (2.14)

    dimana :

    Ec = Modulus elastisitas beton (psi)

    fc’ = Kuat tekan beton silinder (psi)

    2.8.7. Reliability

    Reliability merupakan ukuran nilai asumsi kenyamanan pengendara

    terhadap operasional perkerasan jalan dalam jangka waktu tertentu. Semakin

  • 39

    tinggi nilai reliability maka semakin tinggi tingkat untuk mengatasi deviasi

    desain. Besaran – besaran desain meliputi :

    - Perkiraan kemampuan kerja perkerasan

    - Perkiraan lalu lintas

    - Perkiraan beban gandar

    - Pelaksanaan konstruksi

    Nilai Reliability yang disarankan dapat ditentukan pada Tabel 2.12, untuk nilai

    standar deviasi ditentukan pada Tabel 2.13 sedangkan kinerja perkerasan

    ditentukan pada Tabel 2.14.

    Tabel 2.12 Nilai Reliability (R) yang Disarankan

    Klasifikasi Jalan R (%)

    Urban Rural

    Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9

    Arteri 80 – 99 75 – 95

    Kolektor 80 – 95 75 – 95

    Lokal 50 – 80 50 – 80

    (Suryawan 2015:30)

    Tabel 2.13 Standard Normal Deviation (ZR)

    R (%) ZR R (%) ZR

    50 -0,000 93 -1,476

    60 -0,253 94 -1,555

    70 -0,524 95 -1,645

    75 -0,674 96 -1,751

    80 -0,841 97 -1,881

    85 -1,037 98 -2,054

    90 -1,282 99 -2,327

    91 -1,340 99,9 -3,090

    92 -1,405 99,99 -3,750

    (Suryawan 2015:30)

    Tabel 2.14 Terminal Serviceability Index (pt)

    Percent of People Stating Unacceptable pt

    12 3,0

    55 2,5

    85 2,0

    (Suryawan 2015:31)

    Nilai dari reliability ditentukan dari beberapa parameter di bawah ini :

    - Parameter klasifikasi jalan

    - Status lokasi jalan urban/rural

    - Penetapan tingkat Reliability (R)

  • 40

    - Penetapan Standard Normal Deviation (ZR)

    - Penetapan standar deviasi (S0)

    - Kehandalan data lalu lintas dan beban kendaraan

    Penetapan pt untuk jalur utama umumnya diambil pt = 2,5 sedangkan untuk jalur

    lalu lintas rendah diambil pt = 2,0. Nilai p0 untuk perkerasan jalan kaku antara 0 –

    5 umumnya diambil p0 = 4,5 kemudian menghitung total loss of serviceability

    menggunakan Persamaan 2.15.

    ............................................................................................ (2.15)

    dimana :

    PSI = Total loss of serviceability

    p0 = Initial serviceability

    pt = Terminal serviceability index

    2.8.8. Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)

    Nilai k dicari menggunakan Persamaan 2.16 dan 2.17 dimana MR adalah

    nilai yang menunjukkan ketahanan tanah dasar terhadap deformasi.

    ......................................................................................... (2.16)

    sehingga diperoleh nilai k,

    ........................................................................................................ (2.17)

    dimana :

    MR = Resilient Modulus

    Sedangkan untuk mencari nilai k efektif dicari menggunakan grafik pada Gambar

    2.11. Nilai CBR dapat digunakan untuk mencari nilai k seperti grafik pada

    Gambar 2.12. Untuk mengetahui nilai LS dapat ditentukan pada Tabel 2.15.

    Tabel 2.15 Nilai Loss Support Factors (LS) pada Berbagai Tipe Material

    No. Tipe Material Modulus Elastisitas (E) LS

    1 Semen stabilisasi dengan granular (E = 1.000.000 – 2.000.000 psi) 0 – 1

    2 Campuran agregat semen (E = 500.000 – 1.000.000 psi) 0 – 1

    3 Tanah stabilisasi semen (E = 350.000 – 1.000.000 psi) 0 – 1

    4 Stabilisasi campuran bitumen (E = 40.000 – 300.000 psi) 0 – 1

    5 Tanah stabilisasi kapur (E = 20.000 – 70.000 psi) 1 – 3

    6 Material grabular tidak terikat (E = 15.000 – 45.000 psi) 1 – 3

    7 Tanah baik/Material tanah dasar

    asli

    (E = 3.000 – 40.000 psi) 1 – 3

    (Suryawan 2015:32)

  • 41

    Gambar 2.11 Grafik Koreksi Nilai k Terhadap LS (Suryawan 2015:32)

    Gambar 2.12 Hubungan antara Nilai k dengan CBR (Suryawan 2015:33)

    2.8.9. Koefisien Drainase (CD)

    Lama atau tidaknya waktu yang dibutuhkan air untuk menghilang dari

    lapisan pondasi perkerasan menentukan kualitas dari drainase. Air yang jatuh

    pada permukaan perkerasan sebesar 70% - 95% akan mengalir menuju sistem

    drainase. Nilai CD dapat ditentukan menggunakan Tabel 2.16.

    Tabel 2.16 Koefisien Drainase (CD)

    Percent of Time Pavement Structure is Exposed to Moisture Levels

    Approaching Saturation

    Quality of Drainage < 1 % < 1 – 5 % 5 – 25 % > 25 %

    Excellent 1,25 – 1,20 1,20 – 1,15 1,15 – 1,10 1,10

    Good 1,20 – 1,15 1,15 – 1,10 1,10 – 1,00 1,00

    Fair 1,15 – 1,10 1,10 – 1,00 1,00 – 0,90 0,90

    Poor 1,10 – 1,00 1,00 – 0,90 0,90 – 0,80 0,80

    Very Poor 1,00 – 0,90 0,90 – 0,80 0,80 – 0,70 0,70

    (Suryawan 2015:36)

  • 42

    2.8.10. Load Transfer (J)

    Nilai J sesuai pada digunakan mengukur distribusi beban lalu lintas pada

    struktur perkerasan kaku yang ditentukan berdasarkan sambungannya.

    - Joint dengan ruji : J = 2,5 – 3,1

    - Untuk overlay design : J = 2,2 – 2,6

    2.8.11. Persamaan Penentuan Tebal Pelat (D)

    Parameter – parameter yang sudah dihitung dan ditentukan sebelumnya

    kemudian dimasukkan kedalam persamaan untuk menentukan tebal pelat.

    *

    +

    [

    ]

    [

    (

    ) ]

    ................... (2.18)

    dimana :

    W18 = Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL)

    ZR = Standar normal deviasi

    S0 = Standar deviasi

    D = Tebal pelat beton (inci)

    PSI = Serviceability loss = p0 – pt

    p0 = Initial Serviceability

    pt = Terminal serviceability index

    Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi)

    Cd = Koefisien drainase

    J = Koefisien load transfer

    Ec = Modulus elastisitas (psi)

    K = Modulus reaksi tanah dasar (psi)

    Parameter yang ada juga dapat dimasukkan ke dalam Grafik pada Gambar 2.13.

  • 43

    Gambar 2.13 Grafik Tebal Slab Beton (D) (AASHTO 1993:II-45)

  • 44

    2.8.12. Perencanaan Jarak Sambungan

    Dalam menentukan jarak antar sambungan memanjang (tie bar) dapat

    ditentukan menggunakan grafik pada Gambar 2.14 dengan parameter – parameter

    tebal slab beton (in) dan jarak ujung – ujung perkerasan tiap segmen (ft), kedua

    parameter tersebut ditarik dan didapat nilai jarak antar sambungan tie bar (ft).

    Gambar 2.14 Grafik Kebutuhan Jarak Minimum Tie Bar (AASHTO 1993:II-64)

    2.9. Rencana Anggaran Biaya (RAB)

    Rencana Anggaran Biaya (RAB) merupakan perhitungan kebutuhan harga

    yang diperlukan dalam sebuah pekerjaan pelaksanaan kegiatan dalam proyek

    konstruksi yang meliputi total harga bahan, alat dan upah pekerja. Rencana

    anggaran biaya dibuat untuk mengetahui total harga keseluruhan dari suatu

    perencanaan suatu kegiatan.

    2.9.1. Harga Satuan Pekerjaan (HSP)

    Harga Satuan Pekerjaan (HSP) adalah biaya total kerja berdasarkan

    perhitungan analisis, urutan pekerjaan, asumsi pekerjaan, harga bahan, harga alat,

    dan upah pekerja. HSP terdiri dari biaya langsung meliputi upah tenaga kerja,

  • 45

    harga alat, dan harga bahan serta biaya tidak langsung yang meliputi biaya tidak

    terduga dan profit. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perhitungan

    HSP sehingga harga yang direncanakan tepat pada sasaran diantaranya spesifikasi

    teknis yang digunakan, pekerjaan yang menggunakan alat secara mekanis atau

    manual sesuai dengan pertimbangan teknis, ketentuan serta peraturan – peraturan

    yang berlaku terhadap situasi dan keadaan lapangan.

    2.9.2. Harga Satuan Dasar (HSD)

    Harga Satuan Dasar (HSD) adalah harga pada setiap komponen meliputi

    upah pekerja, alat maupun material dalam satuan tertentu contohnya dalam satuan

    m, m2, dan m

    3. HSD pada masing – masing standar pengukuran mengacu pada

    biaya langsung agar diperoleh hasil analisis perhitungan harga yang sesuai dengan

    keadaan sebenarnya. Sedangkan peraturan yang berlaku pada wilayah proyek

    digunakan untuk penentuan biaya tidak langsung.

    2.9.3. Harga Satuan Dasar (HSD) Pekerja

    Upah digunakan sebagai bentuk mata pembayaran pekerja. Paremeter –

    parameter yang mempengaruhi HSD Pekerja diantaranya yaitu kuantitas dan

    kualitas pekerja dalam suatu pekerjaan. Produktivitas dapat mempengaruhi jumlah

    dan keterampilan pekerja. Pekerjaan yang menggunakan manusia sebagai tenaga

    kerja pada umumnya dilakukan secara perorangan maupun kelompok sesuai

    dengan jenis pekerjaannya yang dilengkapi dengan alat penunjang pekerjaan

    misalnya sekop, palu, dan gergaji. Upah pekerja bisa dibayarkan dalam sistem

    mingguan, bulanan bahkan per hari. Besar upah pekerja dipengaruhi oleh jenis

    pekerjaan dan kondisi lapangan. Pekerjaan yang melibatkan tenaga kerja ditulis

    dalam bentuk kodefikasi tenaga kerja seperti Tabel 2.17.

    Tabel 2.17 Kodefikasi Tenaga Kerja

    (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2016:14)

    No. Tenaga Kerja Kode

    1 Pekerja L.01

    2

    Tukang

    L.02 Tukang gali

    Tukang besi

    Tukang kayu

    3 Kepala tukang L.03

    4 Mandor L.04

  • 46

    Untuk menghasilkan suatu satuan pekerjaan diperlukan produktivitas

    pekerja yang dinyatakan sebagai orang jam (OJ) atau orang hari (OH). Standar

    upah ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota pada wilayah tertentu. Pada

    umumya satu hari kerja dihitung sebagai 8 – 9 jam kerja beserta didalamnya 1 jam

    istirahat, kondisional sesuai keadaan lokasi pekerjaan. Bila upah pekerja dihitung

    per bulan, maka dapat dihitung dengan persamaan Persamaan 2.19.

    ...................................... (2.19)

    2.9.4. Harga Satuan Dasar (HSD) Alat

    Penentuan harga dalam alat ditentukan sesuai dengan jenis pekerjaannya.

    Ada beberapa parameter meliputi tipe alat, kualitas waktu kerja, keadaan iklim

    lingkungan, situasi lapangan, dan pemilihan material konstruksi . Alat menjadi

    suatu kebutuhan yang mutlak bagi tenaga kerja dalam suatu pekerjaan. Sebagian

    besar pekerjaan saat ini bergantung pada alat berat, maka dari itu adanya sistem

    sewa alat berat sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pekerjaan. Satu

    jenis alat umumnya hanya mampu melaksanakan satu jenis pekerjaan serta

    spesifikasi teknis alat digunakan untuk menyesuaikan jenis pekerjaan.

    1. Kapasitas Alat

    Kapasitas alat adalah kemampuan alat dalam memproduksi bahan,

    umunya dalam satuan ton per jam contohnya alat pemecah batu atau dalam m3

    contohnya wheel loader. Kapasitas alat satu dengan lainnya berbeda – beda sesuai

    dengan spesifikasinya.

    2. Faktor Efisiensi Alat

    Pada umumnya hasil produksi alat tidak sesuai dengan hasil perhitungan

    yang sesuai dengan spesifikasi alat dan data lapangan karena ada beberapa faktor

    yang mempengaruhi kerja alat dalam masa operasionalnya, diantaranya :

    1. Operator

    2. Peralatan

    3. Iklim dan Cuaca

    4. Keadaan lapangan

    5. Manajemen kerja

  • 47

    Tabel 2.18 Faktor Efisiensi Alat

    Kondisi

    Operasi

    Pemeiharaan Mesin

    Baik Sekali Baik Sedang Buruk Buruk Sekali

    Baik Sekali 0,83 0,81 0,76 0,70 0,63

    Baik 0,78 0,75 0,71 0,65 0,60

    Sedang 0,72 0,69 0,65 0,60 0,54

    Buruk 0,63 0,61 0,57 0,52 0,45

    Buruk Sekali 0,53 0,50 0,47 0,42 0,32

    Angka dalam warna abu – abu adalah tidak disarankan. Faktor efisiensi ini adalah didasarkan

    atas kondisi operasi dan pemeliharaan secara umum. Faktor efisiensi untuk setiap jenis alat bisa

    berbeda.

    (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2016:31)

    2.9.5. Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan

    Komponen bahan digunakan dalam mata pembayaran dipengaruhi oleh

    beberapa faktor diantaranya : mutu, jumlah dan lokasi asal bahan.

    Pengelompokkan HSD Bahan terbagi menjadi 3 jenis, diantaranya :

    1. HSD Bahan Baku

    Harga satuan dasar bahan baku umumnya dihitung dari sumber bahan

    yang terdapat pada tambang atau tempat penggalian (quarry) tetapi bisa juga

    dihitung dari gudang termasuk dengan harga ongkos bongkar muat. Hal yang

    dilakukan untuk mengetahui harga satuan dasar berdasarkan jarak lokasi sumber

    bahan yaitu berupa survei lapangan disertai keterangan misalnya bahan diambil

    dari lokasi tambang atau gudang seperti kerikil, pasir, baja tulangan serta bahan

    lainnya.

    2. HSD Olahan

    Bahan olahan adalah bahan yang dihasilkan oleh produksi pabrik atau

    bahan yang dibeli dari produsen. Bahan olahan contohnya bongkahan batu yang

    mengalami proses khusus menggunakan alat stone crusher menjadi kerikil dengan

    berbagai macam fraksi yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan.

    3. HSD Bahan Jadi

    Bahan jadi diperhitungkan berdasarkan ongkos bongkar-muat menuju

    lokasi tertentu serta biaya pemasangan sesuai dengan kebutuhan (opsional). Bahan

    jadi dapat berasal dari berbagai tempat produksi atau gudang kemudian diangkut

    menggunakan alat angkut ke lokasi pekerjaan (contoh: pelat beton pracetak yang

    diangkut dari pabrik menuju lokasi pekerjaan menggunakan truk trailer).

  • 48

    Tabel 2.19 Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan

    No. Nama Bahan Kode Satuan Harga (Rp) Lokasi

    1 Pasir Pasang (sedang) M01b m3

    244.750,00 Base Camp

    2 Pasir Beton (kasar) M01a m3 257.650,00 Base Camp

    3 Pasir Halus (untuk HRS) M01c m3

    257.650,00 Base Camp

    4 Pasir Urug (unsur lempung) M01d m3 161.050,00 Base Camp

    5 Batu Kali M02 m3

    193.250,00 Lokasi Pekerjaan

    6 Agregat Kasar M03 m3 261.684,24 Base Camp

    7 Agregat Halus M04 m3 270.016,11 Base Camp

    8 Filler M05 kg 2.300,00 Proses/ Base Camp

    9 Batu Belah/Kerikil M06 m3

    245.400,00 Lokasi Pekerjaan

    10 Gravel M07 m3 224.300,00 Base Camp

    11 Bahan Tanah Timbunan M08 m3 20.000,00 Borrow Pit/Quarry

    12 Bahan Pilihan M09 m3 25.000,00 Quarry

    13 Aspal M10 kg 12.000,00 Base Camp

    14 Kerosen/Minyak Tanah M11 liter 14.650,00 Base Camp

    15 Semen/PC (50 kg) M12 zak 77.500,00 Base Camp

    16 Semen/PC (kg) M12 kg 1.550,00 Base Camp

    17 Besi Beton M13 kg 13.050,00 Lokasi Pekerjaan

    18 Kawat Beton M14 roll 432.250,00 Lokasi Pekerjaan

    19 Kawat Bronjong M15 kg 5.500,00 Lokasi Pekerjaan

    20 Sirtu M16 m3 193.750,00 Lokasi Pekerjaan

    21 Cat Marka (non thermoplas) M17a kg 22.500,00 Lokasi Pekerjaan

    22 Cat Marka (Thermoplastic) M17b kg 27.500,00 Lokasi Pekerjaan

    23 Paku Biasa 2”- 5” M18 kg 21.000,00 Lokasi Pekerjaan

    24 Kayu Perancah M19 m3 4.052.000,00 Lokasi Pekerjaan

    25 Bensin M20 liter 8.800,00 Pertamina

    26 Solar M21 liter 14.800,00 Pertamina

    27 Minyak Pelumas/Oli M22 liter 42.300,00 Pertamina

    28 Plastik Filter M23 m2 15.000,00 Lokasi Pekerjaan

    29 Pipa Galvanis 1,6” M24 batang 154.000,00 Lokasi Pekerjaan

    30 Pipa Porus M25 m1 40.000,00 Lokasi Pekerjaan

    31 Bahan Agr. Base Kelas A M26 m3

    296.100,00 Base Camp

    32 Bahan Agr. Base Kelas B M27 m3 280.100,00 Base Camp

    33 Bahan Agr. Base Kelas C M28 m3 261.700,00 Base Camp

    34 Lapis Pondasi Agr. (cbr 60%) M29a m3

    286.600,00 Lokasi Pekerjaan

    35 Lapis Permukaan Agr. (cbr

    60%)

    M29b m2 254.600,00 Lokasi Pekerjaan

    36 Geotextile M30 m2 23.800,00 Lokasi Pekerjaan

    37 Aspal Emulsi M31 kg 14.000,00 Base Camp

    38 Gebalan Rumput M32 m2 24.250,00 Lokasi Pekerjaan

    39 Thinner M33 liter 12.000,00 Lokasi Pekerjaan

    40 Baja Tulangan Polos M39a kg 13.050,00 Quarry

    41 Joint Sealant M94 kg 34.100,00 Lokasi Pekerjaan

    42 Cat Anti Karat M95 kg 35.750,00 Base Camp

    43 Expansion Cap M96 m2 6.050,00 Base Camp

    44 Polyetilene 125 mikron M97 kg 19.250,00 Base Camp

    45 Curing Compound M98 liter 38.500,00 Base Camp

    46 Multiplex 9 mm M63 lembar 174.400,00 Base Camp

    47 Kayu Acuan M99 m3 4.052.000,00 Base Camp

    48 Additive M67a liter 38.500,00 Base Camp

    (HSPK Mojokerto 2017)

  • 49

    Tabel 2.20 Harga Satuan Dasar (HSD) Tenaga Kerja

    No. Nama Tenaga Kerja Kode Satuan Harga (Rp)

    1 Mandor L.04 OH

    130.000,00

    2 Kepala Tukang L,03 OH 120.000,00

    3 Tukang Batu L.02 OH

    110.000,00

    4 Pekerja L.01 OH 90.000,00

    5 Pekerja/Buruh Terampil L.01 OH

    90.000,00

    (HSPK Mojokerto 2017)

    Tabel 2.21 Harga Satuan Dasar (HSD) Alat

    No. Nama Alat Kode Satuan Harga (Rp)

    1 Wheel Loader E.01 jam

    579.263,00

    2 Batching Plant E.02 jam 846.746,59

    3 Truck Mixer E.03 jam

    824.650,57

    4 Concrete Vibrator E.04 jam 51.650,18

    5 Water Tank Truck E.05 jam

    343.415,25

    6 Concrete Paver E.06 jam 637.806,89

    7 Vibrator Roller E.07 jam 442.904,36

    8 Motor Grader E.08 Jam 716.346,34

    9 Dump Truck E.09 jam 336.248,16

    10 Tandem Roller E.10 jam 372.124,41

    11 Mesin Gilas E.11 jam 442,904,36

    (HSPK Mojokerto 2017)

    Tabel 2.22 Asumsi Uraian Pekerjaan Perkerasan Beton Semen (m3)

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    1 Menggunakan alat (mekanis)

    2 Lokasi pekerjaan : Sepanjang Jalan

    3 Bahan dasar (batu, pasir dan semen)

    diterima seluruhnya di lokasi

    pekerjaan

    L 2,30 km

    4 Jam kerja efektif per hari Tk 7,00 jam

    5 Tebal perkerasan beton padat t 0,30 m Asumsi

    - Kadar Semen Minimum (spesifikasi)

    Ks 365,00 kg/m3

    - Ukuran Agregat Maksimum Ag 19,00 mm

    6 Perbandingan Air/Semen

    Maksimum

    Wcr 0,50

    7 Komposisi bahan :

    - Semen Sm 400,00 kg

    - Pasir Ps 791,00 kg

    - Agregat Kasar Kr 1.077,00 kg

    8 Faktor kehilangan bahan :

    - Agregat Fh1 1,05

    - Semen Fh2 1,025

    9 Berat Isi Material : Spesifikasi

    - Beton D1 2,24 t/m3

    - Semen D2 1,25 t/m3

    - Pasir D3 1,38 t/m3

    - Agregat Kasar D4 1,40 t/m3

    (Bina Marga 2010:326)

  • 50

    2.10. Urutan Pekerjaan Perkerasan Jalan Kaku (Breakdown)

    Urutan pekerjaan perkerasan jalan kaku dijelaskan seperti berikut :

    - Bahan material perkerasan beton semen diangkut dan dipindahkan

    menggunakan wheel loader.

    - Batching plant digunakan untuk membuat adukan beton dengan

    mencampurkan dan mengaduk semen, pasir, batu kerikil.

    - Beton diangkut dengan truck mixer.

    - Bekisting yang sudah disiapkan untuk tempat pengecoran beton, kemudian

    diratakan dan dipadatkan menggunakan concrete vibrator.

    - Tahapan akhir yaitu proses perapihan atau finishing pada waktu perkerasan

    beton dalam keadaan plastis.

    Contoh asumsi penggunaan bahan dalam perkerasan beton semen adalah sebagai

    berikut :

    - Lebar lajur = 3,50 m

    - Jarak ruji = 30 cm = 0,30 m

    - Berat besi 32 mm = 6,31 kg

    - Panjang ruji = 45 cm = 0,45 m

    - Dimensi Sealant :

    Lebar celah = 0,8 mm Kedalaman = 10 cm = 0,10 m

    Sealent = 1,03 ton/cm2

    Jarak celah = 500 cm = 5 m

    Tabel 2.23 Asumsi Pemakaian Bahan

    No. Bahan Uraian Kode Koefisien Satuan

    1 Semen PC Sm x Fh2 M12 410,000 kg

    2 Pasir Beton (Ps/1000 : D3) x Fh1 M01a 0,624 m3

    3 Agregat Kasar (Kr/1000 : D4) x Fh1 M03 0,789 m3

    4 Baja Tul. Polos

    M39a 15,775 kg

    5 Cat Anti Karat = 0,01 x 2 M95 0,020 kg

    6 Expansion Cap = 0,085 x 2 M96 0,170 m2

    7 Polyetilene 125 mikron = 0,219 x 2 M97 0,438 kg

    8 Curing Compound = 0,435 x 2 M98 0,870 ltr

    9 Multipleks 12 mm = 0,15/(0,3 x 0,32) M63 0,160 lbr

    10 Perancah = 0,09/(0,3 x 0,32) M99 0,096 m3

    11 Paku = 0,96/(0,3 x 0,32) M18 1,024 kg

    12 Additive = 0,86/(0,3 x 0,32) M67a 0,914 ltr

    (Bina Marga 2010:327)

  • 51

    Tabel 2.24 Asumsi Pemakaian Wheel Loader

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    1 Wheel Loader E.01

    Kapasitas bucket V 1,50 m3 Spesifikasi

    Faktor bucket Fb 0,85 - Panduan

    Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik

    Waktu Siklus : Ts1

    - Kecepatan maju rata – rata

    Vf 15,00 km/jam

    - Kecepatan kembali rata – rata

    Vr 20,00 km/jam

    - Memuat ke bin T1 0,20 menit = (Lx60)/Vf

    - Kembali ke stock bin T2 0,15 menit = (Lx60)/Vr

    - Lain – lain T3 0,75 menit

    Total Ts1 1,10 menit

    Kap. Prod./jam (Q1)

    Q1

    Q1 40,96 m3

    Koefisien Alat/ton = 1 : Q1 E.01 0,0244 jam

    - Kapasitas bucket menunjukkan kapasitas operasi atau kapasitas bucket dalam kondisi penuh dalam satuan m

    3.

    - Faktor bucket (Fb) antara 0,4 – 1,0 semakin besar Fb maka semakin ringan memuat ke alat atau tempat lain.

    - Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan

    (Bina Marga 2010:327)

    Tabel 2.25 Asumsi Pemakaian Batching Plant (Concrete Pan Mixer)

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    2 Batching Plant E.02

    Kapasitas produksi V 600 liter Spesifikasi

    Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik

    Waktu siklus pencampuran :

    - Mengisi T1 0,50 menit

    - Mengaduk T2 0,50 menit

    - Menuang T3 0,25 menit

    - Menunggu, lain – lain T4 0,25 menit

    Total Ts2 1,50 menit

    Kap. Prod./jam (Q2)

    Q2

    Q2 19,92 m3

    Koefisien Alat/m3 = 1 : Q2 E.02 0,0502 jam

    - Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan

    (Bina Marga 2010:328)

    Tabel 2.26 Asumsi Pemakaian Concrete Vibrator

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    3 Concrete Vibrator E.04

    Kap. Prod./jam (Q4) Q4 19,920 m3

    Koefisien Alat/ton = 1 : Q4 E.04 0,0502 jam

    - Kebutuhan alat penggetar beton disesuaikan dengan kapasitas Batching Plant

    (Bina Marga 2010:328)

  • 52

    Tabel 2.27 Asumsi Pemakaian Truck Mixer

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    4 Truck Mixer E.03

    Kapasitas drum V 5,00 m3 Spesifikasi

    Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik

    Kecepatan rata – rata isi v1 20,00 km/jam

    Kecepatan rata – rata kosong v2 30,00 km/jam

    Waktu siklus :

    - Mengisi T1 6,93 menit = (L:Q2)x 60

    - Mengangkut T2 6,90 menit = (L:v1)x 60

    - Kembali T3 4,60 menit = (L:v2)x 60

    - Menumpahkan, lain – lain T4 2,00 menit

    Total Ts3 20,43 menit

    Kap. Prod./jam (Q3)

    Q3

    Q2 20,43 m3

    Koefisien Alat/m3 = 1 : Q3 E.03 0,0489 jam

    - Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan

    - Panjang lokasi proyek (L) = 2,3 km

    (Bina Marga 2010:328)

    Tabel 2.28 Asumsi Pemakaian Water Tank Truck

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    5 Water Tank Truck E.05

    Volume tanki air V 4,00 m3 Spesifikasi

    Kebutuhan air/m3 beton Wc 0,21 m

    3 Asumsi

    Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik

    Kapasitas pompa air Pa 100,00 liter/menit

    Kap. Prod./jam (Q5)

    Q5

    Q5 23,71 m3

    Koefisien Alat/m3 = 1 : Q5 E.05 0,0422 jam

    - Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan

    (Bina Marga 2010:328)

    Tabel 2.29 Asumsi Pemakaian Concrete Paving Machine (Slipform Paver)

    No. Uraian Kode Koefisien Satuan Keterangan

    6 Concrete Paving Machine E.06

    Kapasitas (lebar hamparan) B 3,00 m

    Tebal hamparan T 0,30 m

    Kecepatan menghampar V 3,00 m/menit

    Faktor efisiensi alat Fa 0,83 - Kondisi Baik

    Kap. Prod./jam (Q6)

    Q6

    Q6 134,460 m3

    Koefisien Alat/m3 = 1 : Q6 E.06 0,0074 jam

    - Faktor efisiensi kerja alat (Fa) antara 0,32 – 0,83 semakin besar Fa maka semakin baik kondisi operasi dan pemeliharaan

    (Bina Marga 2010:329)

  • 53

    Tabel 2.30 Asumsi Kebutuhan Pekerja

    Uraian Kode Koef. Satuan Keterangan

    Produksi beton dalam 1 hari ditentukan

    oleh kapasitas produksi Batching Plant Q2

    Qt 143,01 m3 Qt = Tk x Q2

    Kebutuhan tenaga :

    - Mandor L.04 3,00 OH

    - Tukang L.02 14,00 OH

    - Pekerja L.01 28,00 OH

    Koefisien Tenaga/m3 :

    - Mandor L.04 0,1468 OH = (Tk x L.04) : Qt

    - Tukang L.02 0,6852 OH = (Tk x L.02) : Qt

    - Pekerja L.01 1,3705 OH = (Tk x L.01) : Qt

    Diketahui : Jam kerja efektif per hari (Tk) = 7 jam

    (Bina Marga 2010:325)

    Tabel 2.31 Harga Satuan Pekerjaan Perkerasan Beton Semen (m3)

    No. Uraian Satuan Koef. Harga Satuan

    (Rp)

    Total Harga

    (Rp)

    A TENAGA Kode

    1 Pekerja L.01 OH

    1,3705 90.000,00 123.345,00

    2 Tukang L.02 OH 0,6852 110.000,00 75.372,00

    3 Mandor L.04 OH 0,1468 130.000,00 19.084,00

    JUMLAH HARGA TENAGA 217.801,00

    B BAHAN Kode

    1 Semen (kg) M12 kg 410,0000 1.550,00 635.500,00

    2 Pasir Beton M01a m3 0,5878 257.650,00 151.446.67,00

    3 Agregat Kasar M03 m3 0,7885 261.684,24 206.338,02

    4 Baja Tul. Polos M39a kg 15,8750 13.550,00 215.106,25

    5 Joint Sealant M94 kg 0,9900 34.100,00 33.759,00

    6 Cat Anti Karat M95 kg 0,0200 35.750,00 715,00

    7 Expansion Cap M96 m2 0,1700 6.050,00 1.028,50

    8 Polyetilene 125

    mikron

    M97 kg 0,4375 19.250,00 8.421,88

    9 Curing Compound M98 ltr 0,8700 38.500,00 33.495,00

    10 Multiplex 12 mm M73 lbr 0,1600 186.650,00 29.864,00

    11 Kayu Acuan M99 m3 0,0960 4.052.000,00 388.992,00

    12 Paku M18 kg 1,0240 270.500,00 276.992,00

    13 Additive M67a liter 0,9139 38.500,00 35.158,15

    JUMLAH HARGA BAHAN 2.016.843,49

    C PERALATAN Kode

    1 Wheel Loader E.01 jam

    0,0244

    579.263,00 14.134,02

    2 Batching Plant E.02 jam 0,0502 846.746,59 42.506,68

    3 Truck Mixer E.03 jam

    0,0489

    824.650,57 40.325,41

    4 Concrete Vibrator E.04 jam 0,0502 51.650,18 2.592,84

    5 Water Tank Truck E.05 jam

    0,0422

    343.415,25 14.492,12

    6 Concrete Paver E.06 jam 0,0074 637.806,89 4.719,77

    JUMLAH HARGA PERALATAN 118.770,84

    D Jumlah Harga Tenaga, Bahan, dan Peralatan (A+B+C) 2.353.414,84

    E Overhead & Profit, cobtoh 15% x D 353.012,23

    F Harga Satuan Pekerjaan (D+E) 2.706.427,07

    (Bina Marga 2010:330)