bab ii kriteria barang yang bisa dikenakan pajak ...repository.unair.ac.id/13780/9/9. bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
KRITERIA BARANG YANG BISA DIKENAKAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 42 TAHUN 2009
2.1. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai
Untuk mengetahui konsep dasar PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pertama
yang harus di mengerti adalah apa pengertian mengenai PPN (Pajak Pertambahan
Nilai) itu sendiri. Dalam berbagai literatur banyak definisi yang diberikan
mengenai PPN( Pajak Pertambahan Nilai).
Pada dasarnya pengertian PPN ( Pajak Pertambahan Nilai), adalah pajak
atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat
di setiap jalur produksi dan distribusi.12
Atau dengan kata lain PPN ( Pajak
Pertambahan Nilai) adalah pajak penjualan atas yang dipungut atas dasar nilai
tambah yang timbul pada pada semua jalur produksi dan distribusi. Dan dalam
bahasa Inggris PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) disebut Value Added Tax.
Yang dimaksud dengan nilai tambah adalah semua faktor produksi yang
timbul di setiap jalur peredaran (jalur produksi dan distribusi) suatu barang seperti
bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba.13
12
Deddy Sutrisno dan Indrawati, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum
Universitas Airlangga,Surabaya,2009, h.126 13
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Rajawali Pers, Jakarta,2012,
h.222
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini di dasarkan atau dipengaruhi atas
beberapa faktor, yaitu perkembangan transaksi bisnis dan pola konsumsi
masyarakat yang merupakan obyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan
transaksi bisnis yang dalam tahun ke tahun perubahannya semakin dinamis, baik
itu dalam hal jenis transaksi maupun pola transaksi bisnis.
Atau jika dijabarkan lebih luas lagi faktor- faktor yang mendasari atau
mempengaruhi pengenaan pajak pertambahan nilai adalah dipakainya faktor
produksi dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan
barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen, juga semua biaya
untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa,
penyusutan dan upah kerja.
Dalam hal transaksi bisnis yang dinamis ini memang perlu diadakan atau
dilakukan pembaharuan dan penyempurnaan Undang- Undang Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Karena jika tidak dilakukan pembaharuan dan penyempurnaan
Undang- Undang PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) maka tidak ada payung hukum
yang mampu mengakomodir perubahan- perubahan yang sangat dinamis tersebut.
Perubahan Undang- undang PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) ini pada
dasarnya bertujuan sebagai berikut:14
1. Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai. Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah
14
Deddy Sutrisno dan Indrawati, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum
Universitas Airalngga,Surabaya,2009, h.127
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
menciptakan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut
pengenaannya dalam Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai. Penyederhanaan
sistem pajak pertambahan nilai dilakukan dengan mengubah atau
menyempurnakan ketentuan dalam Undang- Undang Pajak Pertambahan
Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakannya.
3. Mengurangi biaya kepatuhan. penyederhanaan sistem pajak pertambahan
nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi
bagi wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya
maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam
rangka mengawasi kepatuhan wajib pajak.
4. Meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Tercapainya tujuan tersebut
diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak.
Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan
penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio)
5. Tidak menggangu penerimaan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai). Di
samping tujuan- tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan
negara tetap dipertimbangkan
6. Mengurangi distorsi dan meningkatkan kegiatan ekonomi
Untuk mengetahui definisi atau pengertian PPN (pajak Pertambahan Nilai)
jangan hanya dilihat dari definisi kata perkata saja. Tetapi harus diliat juga faktor-
faktor yang mendasari atau mempengaruhi pengenaan pajak pertambahan nilai.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Sehingga definisi atau pengertian mengenai PPN (Pajak pertambahan Nilai)
tersebut menjadi lebih jelas dan tidak kabur pemaknaannya.
Untuk mengetahui konsep dasar PPN (Pajak Pertambahan Nilai), bukan
hanya diliat dari definsinya saja. Karena masih banyak yang harus diketahui
tentang konsep PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) seperti kelebihan PPN (Pajak
Pertambahan Nilai), pemungut PPN, sifat pemungutan, prinsi pemungutan.
Hal yang paling penting untuk mengetahui konsep dasar PPN ( Pajak
Pertambahan Nilai) adalah mengetahui keunggulan atau kelebihan- kelebihannya.
Kelebihan - kelebihan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) adalah:15
1. Fiscal Advantage
Bagi Pemerintah terdapat beberapa keuntungan jika menerpkan PPN.
Pertama, karena cakupannya luas yang meliputi jalur produksi dan
distribusi sehingga potensi pemajakannya juga besar. Kedua, karena
sangat mudah untuk menimbulkan vallue added disetiap jalur produksi
dan distribusi sehingga potensi pemajakannya semakin besar. Terakhir,
dengan menggunakan sistem invoice ( faktur pajak), dengan demikian
akan mudah untuk mengawasi pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh
wajib pajak.
2. Psycological Advantages
15
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Rajawali Pers, Jakarta,2012, h.
224
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Karena pajak pada umumnya sudah dimasukkan kedalam harga jual atau
harga yang dibayar oleh konsumen maka sering kali konsumen tidak
menyadari bahwa dia sudah membayar pajak.
3. Economic Advantages
Hal ini berdasarkan atau berlandaskan kenetralan terhadap pilihan
seseorang apakah akan menyimpan terlebih dahulu ataukah langsung
mengkonsumsikan penghasilan yang didapatkannya.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendahara Pemerintah, badan,
atau instansi- instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk,
menyetor, dan melaporkan pajak terutang dari pengusaha kena pajak atas
penyerahan barang kena pajak, dan penyerahan jasa kena pajak kepada
pemerintah, badan atau instansi pemerintah terkait.16
Selain itu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mempunyai sifat- sifat
pemungutan yaitu:17
1. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) sebagai pajak obyektif
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ini didasarkan pada
obyeknya saja tanpa memperhatikan keadaan dari wajib pajak
2. Pajak Pertambahan Nilai ( PPN) sebagai pajak tidak langsung
16
Deddy Sutrisno dan Indrawati, Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak, Fakultas Hukum
Universitas Airalngga,Surabaya,2009, h.132 17
Ibid., h.132-133
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Secara ekonomis beban PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) dapat dialihkan
kepada pihak lain, namun dari segi yuridis tanggung jawab penyetoran
pajak tidak berada pada penanggung pajak
3. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multi stage tax
Pemungutan Pajak pertambahan Nilai dilakukan pada setiap mata rantai
jalur yang menghasilkan nilai tambah dari pabrikan, pedagang besar,
sampai dengan pengecer
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipungut dengan menggunakan faktur
Sebagai bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pengusaha
Kena Pajak (PKP) harus menerbitkan faktur pajak
5. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netralitas
Sifat netralitas ini bisa terbentuk karena PPN ( Pajak Pertambahan Nilai)
dikenakan atas konsumsi barang atau jasa dan PPN ( Pajak Pertambahan
Nilai) di pungut berdasarkan prinsip tempat tujuan
6. Pajak Pertmbahan Nilai tidak menimbulkan pajak ganda
7. Pajak Pertambahan Nilai( PPN) dikenakan terhadap konsumsi dalam
negeri berupa penyerahan Barang Kena Pajak atau jasa kena pajak
Dari Mekanisme pemungutan PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) , terdapat
2 prinsip Pemungutan, yaitu:18
1. Prinsip Tempat Tujuan ( destination) : PPN ( Pajak Pertambahan Nilai)
dipungut ditempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi
18
Ibid., h.133
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
2. Prinsip Tempat Asal (orign principle) : PPN ( Pajak Pertambahan Nilai)
dipungut ditempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi
Sistem tarif PPN ( Pajak Pertambahan Nilai) menganut sistem tarif tunggal
yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) untuk import BKP ( Barang Kena Pajak),
penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan JKP ( Jasa Kena Pajak), hal ini
menurut pasal 7 ayat 1 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Peubahan
ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah .
Namun demikian menurut pasal 7 ayat 3 Undang- Undang no 42 tahun
2009 tentang Perubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang
Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, tarif tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% ( lima persen) dan
paling tinggi 15% (lima belas persen)
Perubahan tarif tersebut didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan
tertentu, seperti perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan untuk
pembangunan. Menurut pasal 7 ayat 3 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang
Peubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, pemerintah diberi wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) menjadi paling rendah 5% ( lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas
persen) tetapi dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Perubahan ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan RAPBN ( Rancangan
Anggaran Penerimaan Belanja Negara).
Dalam pasal 7 ayat 2 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang
Peubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, dalam hal untuk kegiatan tertentu dikenakan tarif pajak 0% ( nol persen).
Kegiatan tertentu tersebut yaitu:
1. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud
2. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud dari dalam daerah pabean yang
dimanfaatkan di luar daerah pabean
3. Ekspor Jasa Kena Pajak
Di dalam pasal 8 a ayat 1 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang
Perubahan ketiga atas Undang- Undang no 8 tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, “Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan
Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Import, Nilai Ekspor, atau
nilai lain.”
Maksud dalam pasal tersebut di atas jika diperjelas menjadi:
PPN terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Secara garis besar penjelasan Harga Jual, penggantian, nilai import, nilai
ekspor dan nilai adalah sebagai berikut:
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, dan hal ini termasuk semua biaya
yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan
BKP ( Barang Kena Pajak), akan tetapi tidak termasuk PPN ( Pajak
Pertambahan Nilai) yang dipungut menurut undang- undang dan
potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, dalam hal ini termasuk semua
biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai yang di pungut menurut Undang- Undang PPN ( Pajak
Pertambahan Nilai) dan potongan harga yang di cantumkan dalam faktur
pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena pajak dan/atau oleh
penerima manfaat barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean
3. Nilai Import adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur kepabeanan dan cukai untuk import
Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang- Undang
PPN( Pajak Pertambahan Nilai)
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh importtir
5. Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan
pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang diterapkan sebagai dasar pengenaan pajak adalah sebagai
berikut:19
1. Untuk pemakaian sendiri BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP
(Jasa Kena Pajak) adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor
2. Untuk pemberian cuma- cuma BKP (Barang Kena Pajak) dan atau
JKP (Jasa Kena Pajak) adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi harga kotor
3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah
perkiraan harga Harga Jual rata- rata
4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul
film
5. Untuk persediaan BKP (Barang Kena Pajak) yang masih tersisa pada
saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar yang wajar
6. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan atau yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, sepanjang PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan adalah harga pasar yang wajar
19
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
7. Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari
Harga Jual
8. Untuk penyerahan biro jasa perjalanan atau jasa biro pariwisata
adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang
seharusnya ditagih
9. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih
10. Untuk jasa anjak piutang adalah 5% (lima persen) dari jumlah seluruh
imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon
11. Untuk penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa
Kena Pajak) dari pusat ke cabang atau dari cabang ke pusat dan
penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) dan atau JKP (Jasa Kena
Pajak) antar cabang adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurangi laba kotor
12. Untuk penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) kepada pedagang
perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang
2.2.Rumusan Objek Pajak
Objek pajak merupakan segala sesuatu yang dikenakan pajak, sedangkan
subjek pajak adalah pihak- pihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan
pajak. Definisi - definisi subjek dan objek pajak ini harus dimengerti, karena hal
ini sangatlah penting. Perbandingan definisi ini akan mempermudah untuk
membahas lebih jauh lagi mengenai rumusan objek pajak.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Objek pajak di bedakan menjadi 2, yaitu:
1. Objek Pajak Langsung
Pada dasarnya objek pajak ini masih dipengaruhi oleh keadaan wajib
pajaknya .Contoh Objek Pajak langsung adalah PPh ( Pajak Penghasilan),
PBB ( Pajak Bumi dan Bangunan)
2. Objek Pajak Tidak Langsung
Pada dasarnya objek pajak ini tidak dipengaruhi oleh keadaan wajib
pajaknya. Contoh objek pajak tidak langsung adalah PPN ( Pajak
Pertambahan Nilai), Bea Materai, Cukai, PPN-BM ( Pajak Penjualan
Barang Mewah)
Walaupun segala sesuatu dapat dijadikan objek pajak, namun pemerintah
harus hati-hati dalam mengambil keputusan untuk menentukan objek pajak.
Karena jika Pemerintah salah dalam pengambilan keputusan untuk menentukan
objek pajak akan berdampak kepada sistem perekonomian negara,
Jadi di dalam menentukan objek pajak yang harus atau yang akan
dikenakan pajak, pemerintah harus melakukan penelitian yang lebih mendalam
lagi.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
2.3 Dasar Barang Bisa dikenakan Pajak
Sebelum membahas tentang dasar barang bisa dikenakan pajak, terlebih
dahulu kita mengetahui definisi barang itu sendiri. Pada dasarnya barang adalah
sesuatu yang memiliki nilai, dimana nilai tersebut bisa diukur dari barang tersebut
memiliki niai ekonomis atau tidak. Dan juga barang tersebut bisa diperjualbelikan
yang berwujud atau berjasad.
Dan menurut Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Perubahan ketiga
atas Undang-Undang no 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, definisi barang adalah
barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak, barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud.
Menurut pasal 8a Undang- Undang no 42 tahun2009 tentang Perubahan
ketiga atas Undang-Undang no 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah, dasar pengenaan
pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai import, nilai ekspor, dan nilai
lain.
Pengertian Barang yang bisa dikenakan pajak ini adalah jika diliat dari
pengertian barang secara harfiah dan dari pengertian barang menurut Undang-
Undang no 42 tahun 2009. Oleh karena itu tidak semua barang bisa kenakan pajak
dan hanya barang berdasarkan Undang- Undang PPN yang dapat dikenai pajak
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Untuk memperjelas lagi yang dimaksud barang yang bisa diklasifikasikan
barang kena pajak, itu dengan melihat di dalam Undang- Undang no 42 tahun
2009 tentang Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas barang mewah.
Karena di dalam dalam Undang-Undang no 42 tahun 2009 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah,
berisi mengenai jenis barang Kena Pajak, jenis barang yang tidak dikenai pajak,
pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk dalam pengertian
penyerahan Barang Kena Pajak. Dan karena itu harus diliat satu- persatu agar
perumusan Dasar Barang Kena Pajak bisa lebih dimengerti dan dipahami.
Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena pajak menurut
pasal 1A Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas
Undang-Undang no 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang mewah adalah:
1. Penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian
2. Pengalihan barang kena pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/ atau
perjanjian sewa guna usaha
3. Penyerahan barang kena pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang
4. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma- cuma atas barang kena pajak
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
5. Barang kena pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan
6. Penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi
7. Penyerahan barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak kepada pihak
yang membutuhkan barang kena pajak
Yang tidak termasuk dalam pengertian Barang Kena Pajak adalah:
1. Penyerahan barang kena pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam kitab undamg- undang dagang
2. Penyerahan barang kena pajak untuk jaminan utang piutang
Dan jenis- jenis barang yang tidak dikenai PPN( Pajak Pertambahan Nilai)
menurut pasal 4A ayat 2 Undang- Undang no 42 tahun 2009 tentang Tentang
Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang
mewah adalah:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan orang banyak
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung makan dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi ditempat ataupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
2.4 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Dasar konsepsi pemungutan Pajak dirumuskan oleh Adam Smith dalam 4
(empat) asas yang lazim disebut The Four Maxims, yaitu :20
1. Asas Persamaan (equality) yang menekankan wajib pajak yang
mendapatkan keuntungan dari perlindungan negara untuk memberikan
sumbangannya pada negara sebanding dengan kemampuan masing –
masing. Dalam asas ini negara tidak boleh mengadakan diskriminasi
antara wajib pajak.
2. Asas Kepastian ( Certainty ) yang menekankan bagi wajib pajak harus
jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak,
terutama mengenai subjek dan objek pajak
3. Asas Menyenangkan ( Conveniency of Payment ) yaitu pajak
seharusnya dipungut pada waktu yang tepat dan dengan cara yang
menyenangkan, misal saat petani sedang panen dan memperoleh uang.
4. Asas Efesiensi ( Low Cost of Collection ) yang menekankan biaya
pemungutan pajak tidak boleh melebihi dari hasil yang diterima.
Selanjutnya Adof Wagner mengemukakan terpenuhinya pajak ideal, jika
memenuhi asas – asas sebagai berikut :21
1. Asas Politik Finansial yang meliputi :
a. Jumlah penerimaan yang cukup untuk menutupi kekurangan biaya negara
b. Pajak yang bersifat dinamis, yang artinya meningkat sebanding dengan
kebutuhan masyarakat.
2. Asas Ekonomis artinya pajak yang dikenakan bagi wajib pajak yang paling
adil adalah Pajak pendapatan.
3. Asas Keadilan yang meliputi :
a. Sifat pajak yang umum sehingga tidak boleh ada diskriminasi
b. Kesamaan beban dengan memperhatikan daya pikul ( kemampuan
membayar ) seseorang.
4. Asas Administrasi meliputi :
a. Kepastian perpajakan
b. Keluwesan dalam penagihan
c. Ongkos pemungutan diusahakan sekecil – kecilnya
5. Asas Yuridis atau asas hukum meliputi :
a. Kejelasan Undang – Undang Perpajakan
20
Bohari, Op.Cit, h.41-42 21
Ibid..h.43
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
b. Perumusan kata – kata dalam Undang – Undang tidak bermakna ganda
sehingga menimbulkan intepretasi berbeda.
Menurut Pasal 1 angka 27 Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah
bendahara pemerintah, badan atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha kena pajak atas penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan
jasa kena pajak kepada bendahara pemerintah, badan atau instansi pemerintah
tersebut.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003 tanggal
24 Desember 2003 dan mulai berlaku 1 Januari 2005 yang Termasuk Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai adalah :
Instansi Pemerintah :
a. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara;
b. Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten atau
Kota.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 yang
dimaksud dengan :
1. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau
Kota.
2. Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai
Barang Mewah adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan
Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Kantor Perbendaharaan
Kas Negara sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar. Jumlah Pajak
Pertamabahan Nilai atau Pajak Pertambahan Barang Mewah yang Dipungut
sebagai berikut :
a. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak hanya terutang Pajak Pertambahan
Nilai, maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang dipungut
adalah 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh ) bagian dari jumlah pembayaran.
b. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dari
pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut, di samping terutang Pajak Pertambahan Nilai juga terutang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Mewah, maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang dipungut adalah sebesar
20% (dua puluh persen), maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang
dipungut sebesar 10/130 (sepuluh per tiga puluh) bagian dari jumlah
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
pembayaran sedangkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah yang
dipungut sebesar 20/130 (sepuluh per tiga puluh) bagian dari jumlah
pembayaran.
c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp.1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah tidak perlu
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) tersebut hendaknya diartikan termasuk
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah.
Tata cara pemungutan dan penyetoran dilakukan sebagai berikut :
a. Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan Surat
Setor Pajak pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan
Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara baik untuk sebagian
maupun seluruh pembayaran.
b. Surat Setor Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan
membubuhkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan identitas Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan Surat
Setor Pajak dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau Kantor
Perbendahraan dan Kas Negara sebagai penyetor atas nama Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak tersebut terutang Pajak
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Pertambahan Nilai Barang Mewah maka Pengusaha Kena Pajak rekanan
Pemerintah mencantumkan jumlah Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah
yang terutang pada Faktur Pajak.
d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3
(tiga), yaitu :
- lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau Kantor
Perbendaharaan Dan Kas Negara sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
- lembar ke-2 untuk arsip Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.
- lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan
Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara.
e. Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, Surat Setor Pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangka 5 (lima). Setelah
Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah
disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar Surat Setor Pajak
tersebut diperuntukkan sebagai berikut :
- lembar ke-1 untuk Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah.
- lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara.
- lembar ke-3 untuk Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Masa Pajak Pertambahan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
Nilai.
- lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
- lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah.
f. Dalam hal pemungutan oleh Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara, Surat
Setor Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 4
(empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut :
- lembar ke-1 untuk Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah.
- lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Kantor
Perbendaharaan Dan Kas Negara.
- lembar ke-3 untuk Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan masa Pajak Pertambahan
Nilai.
- lembar ke-4 untuk pertinggal Kantor Perbendaharaan Dan Kas Negara.
g. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh
Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap
"Disetor tanggal ..............." dan ditandatangani oleh Bendaharawan
Pemerintah.
h. Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan
SSP sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh Kantor Perbendaharaan dan
Kas Negara yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA
advis Surat Perintah Membayar.
i. Surat Setor Pajak lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada
huruf f dibubuhi cap "Telah Dibukukan" oleh Kantor Perbendaharaan Dan
Kas Negara.
j. Faktur Pajak dan Surat Setor Pajak merupakan bukti pemungutan dan
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Pertambahan Nilai
Barang Mewah.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi PAKAIAN BEKAS IMPORT DALAM PERSPEKTIF HUKUM PAJAK INDONESIA
ADITYA ARYA SADANA