bab ii kerangka teori, hasil penelitian dan analisis a ... · menurut haba (2003: 1), tindak pidana...
TRANSCRIPT
-
18
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. KERANGKA TEORI
1. Pengertian Tindak Pidana Kehutanan
Tindak Pidana Kehutanan adalah meliputi serangkaian pelanggaran
peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan.
Rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan
pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku dan berpotensi merusak hutan.1
Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana kehutanan adalah “suatu
rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang
melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen
bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang
illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.”
Pengertian tindak pidana kehutanan secara umum adalah penebangan kayu
yang dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.
Menurut LSM Indonesia Telapak Tahun 2002, Pengertian tindak pidana
kehutanan adalah operasi atau kegiatan yang belum mendapat izin dan yang
merusak.2
Menurut Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch,
Pengertian tindak pidana kehutanan adalah semua kegiatan
kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan dan pengelolaan,
serta perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum
1Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 h.
13. 2 Ibid.
-
19
Indonesia. Lebih lanjut Global Forest Watch mengemukakan
bahwa tindakan pidana kehutanan terbagi atas dua, yang pertama
dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan-
ketentuan dalam izin yang dimilikinya dan yang kedua
melibatkan pencuri kayu, pohon ditebang oleh orang yang sama
sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.3
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengertian tindak pidana kehutanan adalah rangkaian
kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat
pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai
izin dari pihak yang berwenang, sehingga tidak sah atau
bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan dipandang
sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.4
Berikut ini akan dideskripsikan ketentuan pidana dari perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana di bidang
kehutanan yaitu antara lain:
a. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
UU Dibidang Kehutanan Yang Terkait dengan Tindak Pidana di
Bidang Kehutanan:
1) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Rumusan definisi Tindak Pidana Kehutanan secara eksplisit tidak
ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
namun pidana di bidang kehutanan bisa diidentikkan dengan tindakan atau
perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan
hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Th. 1999.
Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan
Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah
terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan
3 Ibid., h 14.
4 Ibid., h 15.
-
20
hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan
fungsinya.”
Rumusan definisi Tindak Pidana bidang kehutanan secara eksplisit
tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, namun tindak pidana bidang kehutanan bisa diidentikkan
dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu
mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU.
No. 41 Th. 1999.
Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan
Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah
terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan
hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan
fungsinya.”
Tindak pidana di bidang kehutanan menurut Undang-undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan
ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya
perbuatan pidana kehutanan adalah karena adanya kerusakan hutan. Dapat
disimpulkan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
penegakan hukum pidana terhadap kejahatan bidang kehutanan yaitu
sebagai berikut :
(1) Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha;
(2) Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun
karena kealpaannya;
(3) Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni :
-
21
(a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan
(b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak
hutan.
(c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang
ditentukan Undang-undang.
(d) Menebang pohon tanpa izin.
(e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima
titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau
patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
(f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH.
(g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan
tanpa izin.
Disamping ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam
rumusan pasal 78, kepada pelaku dikenakan pula pidana tambahan berupa
ganti rugi dan sanksi administratif berdasarkan pasal 80 ; Melihat dari
ancaman pidananya maka pemberian sanksi ini termasuk kategori berat,
dimana terhadap pelaku dikenakan pidana pokok berupa 1). Pidana
penjara. 2) denda dan pidana tambahan perampasan barang semua hasil
hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya. Berdasarkan penjelasan
umum paragraf ke-8 UU No. 41 Tahun 1999 maksud dan tujuan dari
pemberian sanksi pidana yang berat sebagaimana rumusan pasal 78 UU
No. 41 Th. 1999 adalah terhadap setiap orang yang melanggar hukum di
bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi
pelanggar hukum di bidang kehutanan itu. Efek jera yang dimaksud bukan
-
22
hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan
tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang
kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena
sanksi pidananya berat.
2) UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
Undang-undang No. 5 Tahun 1990 ini, mengatur dua macam
perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi
pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan
pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40
ayat (1) dan (2) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam
Pasal 40 ayat (3) dan (4) No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur
perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan Pasal 33 ; Melihat
dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut maka
dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap
kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis
tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan
kehutanan hanya sebagai instrumen pelengkap yang hanya dapat
berfungsi jika unsur-usur tersebut terpenuhi.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
Terkait dengan ketentuan sanksi pidana terkait pengrusakan
dibidang Kehutanan, terdapat dalam BAB V Sanksi Pidana. Terdapat
-
23
dalam Pasal 42 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 12 ayat (2), diancamdengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) sebagaimana dimaksud
pada Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Pasal 43 ; Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 14 ayat (2), diancamdengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 78 ayat (2) Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Pasal 44 ; (1) Semua hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) dirampas untuk Negara. (2) Alat-alat
termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirampas untuk negara.
b. Ketentuan Pidana Diluar Bidang Kehutanan Yang Terkait Dengan
Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang
diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukan
-
24
hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang
khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten)5. Hukum
pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau
pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk
golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus
maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang
tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan
kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum
pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang
menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.
Pada dasarnya kejahatan kehutanan, secara umum kaitannya dengan
unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam
beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:
1) Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412)
Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan kehutanan
berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem
pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan
pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi
hutan. Tindak pidana bidang kehutanan pada hakekatnya merupakan
kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki
izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari
ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan
diluar areal konsesi yang dimiliki.
5 Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003, hal. 19.
-
25
2) Pencurian (pasal 362 KUHP)
Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan
dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa
kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang
mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan
berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu
berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam
areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.
3) Penyelundupan
Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang
secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam
KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun
belum mengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan
penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh
karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik
orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan
kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal
logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.
Namun demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun
1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut
hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai
suatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak
jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut. Apakah
pengangkut/sopir/nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak
-
26
menimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan
ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan
pidana kehutanan.
4) Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)
Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan
Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau
membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.
Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu
perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu
eterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan
surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 tahun, dan
Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik-praktik kejahatan
kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku
dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,
dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur
secara tegas dalam undang-undang kehutanan.
5) Penggelapan (pasal 372 - 377KUHP)
Kejahatan bidang kehutanan antara lain : seperti over cutting yaitu
penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi
target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem
terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih,
-
27
mencantuman data jumlah kayu dalam SKSH yang lebih kecil dari jumlah
yang sebenarnya.
6) Penadahan (pasal 480 KUHP)
Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan
lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan
jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480
KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo6 bahwa: “perbuatan itu
dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang dietahui
atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar
atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil
kejahatan”. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4
tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).
Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal
baik di dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil
kejahatan kehutanan yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual
maupun pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf
f UU No. 41 Tahun 1999.
2. Teori Penegakan Hukum
a. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi
penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
6 Ibid., h 260.
-
28
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep
konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan
hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.7
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah “kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”
Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-
kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya
menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara
konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,
dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung
jawab.
Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:8
a. Ditinjau dari sudut subyeknya: Dalam arti luas, proses penegakkan hukum
melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum.
Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi
hukumnya:
Dalam arti luas, penegakkan hukum yang
mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya
terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
7 Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 32
8Ibid h. 34.
-
29
keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti
sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut
penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi
penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.9
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum
pidana menjadi 3 bagian yaitu:10
a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh
hukum pidana substantif (subtantive law of crime).
Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara
ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain
mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum
pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan.
Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai
syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht
delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut
sebagai area of no enforcement.
b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi
area of no enforcement dalam penegakan hukum ini
para penegak hukum diharapkan penegakan hukum
secara maksimal.
c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldsein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation,
sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk
waktu, personil, alat-lat investigasi, dana dan
sebagainy, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan
9 Ibid., h. 37
10Ibid., h. 39
-
30
dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement.
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka
penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai
penerapan hukum pidana (criminal law application) yang
melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat
hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah
dipandang dari 3 dimensi:
a. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan
hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang
didukung oleh sanksi pidana.
b. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup
interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang
merupakan sub sistem peradilan diatas.
c. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam
mendefinisikan tindak pidana harus pula
diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada
dalam lapisan masyarakat.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto adalah:11
1) Faktor Hukum Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan
ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian
hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang
bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum
merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan
secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau
tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum
merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan
dengan hukum. Maka pada hakikatnya
penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement, namun juga peace maintenance, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan
11
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013, h. 8-9.
-
31
proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola
perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
2) Faktor Penegak Hukum Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian
petugas penegak hukum memainkan peranan
penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu,
salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan
hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak
hokum.
3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas pendukung
mencakup perangkat lunak dan perangkat keras,
salah satu contoh perangkat lunak adalah
pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi
dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis
konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi
mengalami hambatan di dalam tujuannya,
diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan
computer, dalam tindak pidana khusus yang selama
ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal
tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap
belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari
pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi
begitu luas dan banyak.
4) Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,
persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan
hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum
masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
5) Faktor Kebudayaan Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari,
orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia
dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat,
dan menentukan sikapnya kalau mereka
berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian,
kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai
apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
-
32
3. Tugas Pokok Kepolisian
Adapun tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai
berikut:12
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Mendasari peranan Polri tersebut di atas, bila diperhatikan justru lebih
banyak melakukan perannya dalam bidang-bidang non represif dari pada
melakukan tindakan yang represif seperti memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, karena bagaimanapun
penegakan hukum melalui pendekatan represif jika dibandingkan dengan non
represif jauh lebih berhasil.
Terkait dengan peranan Polri dalam penangangan konflik, dalam hal
ini Polri berangkat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui pre-
emtif, preventif, dan represif. Sebelum melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat pre-emtif. Polri selalu melakukan upaya mengindetifikasi dengan
menggunakan teori gunung es yaitu diusahakan mencari akar permasalahan
yang mendalam dari pada setiap timbulnya konflik sosial. Pekerjaan ini
bukanlah mudah, karena permasalahan yang ada di dalam masyarakat sebagai
sumber terjadinya konflik sosial relatif cukup heteronom dan sekaligus
memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan budaya, adat istiadat,
pendididikan , dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam mencari dan mengetahui
12
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Pasal 13.
-
33
secara mendalam akar persamalahan timbulnya konflik sosial yang ada, harus
dilakukan secara konprehensif dan terintegasi antara berbagai fungsi yang
terkait/terpadu di dalamnya (tokoh masyarakat, pemerintah daerah/pusat,
berbagai departemen, Polri, dan TNI), lembaga-lembaga peneliti (lembaga
formal maupun informal) . Tujuannya untuk mensinergikan secara sistematis
sesuai dengan Tupoksi masing-masing.
Realisasi langkah-langkah peran Polri dalam menyelesaiakan konflik
sosial dapat dilakukan pada tahap prakonflik, saat konflik dan pasca konflik.
Pertama, pada tataran pra konflik. Tataran ini merupakan kondisi sebelum
terjadinya konflik terbuka namun sudah ada potensi konflik dalam
masyarakat. Bentuk tindakan kepolisian adalah pre-emtif dan preventif yang
bertujuan untuk mengelola potensi konflik yang ada agar tidak berkembang
menjadi konflik sosial secara terbuka. Kedua, pada saat kondisi konflik sosial
terjadi. Tindakan kepolisian yang dilakukan berbentuk repressif baik bersifat
yusticial maupun nonjusticial. Tindakan yusticial dilakukan merupa
penyidikan tindak pidana yang telah mencul dalam konflik terbuka secara
selektif. Sedangkan tindakan represif non yusticial dapat dilakukan untuk
tujuan untuk menghentikan konflik sosial terbuka walaupun sifatnya
sementara yaitu melalui tindakan melokalisasi areal konflik, membubarkan
kerumunan massa, melakukan razia, dan lain-lain.
Ketiga, pada kondisi pasca konflik sosial. Dilaksanakan setelah selesai
konflik sosial terbuka. Tindakan kepolisian dalam situasi ini dilakukan dengan
tujuan menciptakan kembali kondisi setelah konflik terbuka terjadi. Tujuannya
adalah untuk menciptakan kembali kondisi sosial yang aman/kondusif,
-
34
mewujudkan rasa keadilan dari masyarakat yang berkonflik. Tindakan
kepolisian yang dilakukan mulai dari tahap pre-emptif, preventif dan represif
dalam penyelesaian konflik sosial pada dasarnya merupakan fluktuasi
tindakan yang mengarah pada penciptaan ketertiban umum. Dikatakan sebagai
fluktuasi tindakan, karena Polri dalam melakukan tidanakan pre-emtif dan
preventif berawal dari adanya kondisi sosial dalam masyarakat yang
menyimpan potensi konflik, namun belum muncul dalam bentuk konflik
terbuka. Pada kondisi ini masyarakat masih dapat melakukan aktivitas sosial
sehari-hari, kemudian ketika terjadi konflik terbuka, kondisi sosial tersebut
menjadi terganggu dan memunculkan tindak pidana.
Oleh karena itu, diperlukan tindakan represif yang diharapkan dapat
mengembalikan kondisi sosial masyarakat menjadi kondusif. Kondisi pasca
konflik sosial yang menjadi sasaran upaya polri adalah kembalinya aktivitas
sosial secara normal serta terujudnya ketertiban umum melalui upaya
pembinaan ketertiban masyarakat.13
4. Restorative Justice (Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan)
Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: "suatu pemulihan
hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak
pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)
(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar
permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut
dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan
13
http://gabebhara.blogspot.co.id/2011/08/peranan-kepolisian-negara-republik.html,
diakses 3 Maret 2016, jam 17.11.
http://gabebhara.blogspot.co.id/2011/08/peranan-kepolisian-negara-republik.html
-
35
kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice pada prinsipnya
merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar
peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai
suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum
pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak
pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan
disepakati para pihak.14
Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam
mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena
merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya)
dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan
pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice
mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:15
a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana
(keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya).
b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk
bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti
kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya.
c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku
tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai
persetujuan dan kesepakatan diantara para
14
http://edwinnotaris.blogspot.co.id/2013/09/restorative-justice-pengertian-prinsip.html,
diakses 3 Maret 2016, jam 17.45. 15
Ibid.
http://edwinnotaris.blogspot.co.id/2013/09/restorative-justice-pengertian-prinsip.html
-
36
B. HASIL PENELITIAN
1. Deskripsi Umum
Mengingat maraknya tindak pidana di bidang kehutanan di Indonesia yang
secara umum menarik kembali bahwa kesadaran akan ketaatan terhadap hukum
dan kesadaran akan kelestarian alam yang dilakukan masyarakat Indonesia masih
sangat rendah. Dilihat dari prosentase dari tahun ketahun tindak pidana di bidang
kehutanan di Indonesia mengalami peningkatan yang siknifikan. Seperti yang
terjadi di Kabupaten Wonogiri yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan
Hutan lindung menjadi marak terjadinya tindak pidana bidang kehutanan.
Menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Tahun 2013 bahwa luas
wilayah Kabupaten Wonogiri ialah 1.822,37 km2, sedangkan luas kawasan hutan
yang membentang luas di daerah Kabupaten Wonogiri ialah 20,094.56 ha,
sebagian besar berupa hutan pinus dan hutan jati.16
Sedangkan jenis hutan di wilayah Wonogiri tergolong dalam jenis Hutan
Lindung mengingat fungsi dan kegunaanya. Dan untuk di Wilayah Wonogiri
terdapat 4 PTP yang tersebar dianaranya ; 1. PTP Kota Wonogiri, 2. PTP
Jatisrono, 3. PTP Baturetno, 4. PTP Purwantoro. Bisa dilihat bahwa hampir
seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri ialah kawasan hutan, tidak menutup
kemungkinan bahwa daerah yang sebagian besar adalah kawasan hutan sangat
marak terjadi tindak pidana di bidang kehutanan.
16
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2013,Lembar ke 3.
-
37
2. Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam Melakukan Penegakan
Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan di Wilayah Hutan
Wonogiri
a. Penegakan Secara Represif
Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam upaya melakukan penegakan
dan pencegahan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan bisa dilihat dari
Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 SAT RESKRIM POLRES
WONOGIRI, bahwa jenis kasus tindak pidana di bidang kehutanan ada 3 kasus
yang sudah diproses dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri
Wonogiri. Dari ketiga kasus yang ditemukan dianataranya sebagai berikut ;
1) Kasus Pertama
a) Kasus Posisi
Menurut Laporan Polisi Nomor:17
LP/B/02/VI/2013/Sek. Jatipurno,
tanggal 13 Juni 2013, Terjadi di Hutan Pinus Seper Balepanjang Jatipurno
Petak 44 milik Perhutani Plarar BKPH Lawu Selatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri. Bahwa tersangka Tarno als Bege dan sdr Slamet als Gamok
Pada hari Kamis 13 Juni 2013, Pukul 12.00 WIB telah terjadi pencurian
Kayu Pinus. Para Pelaku Menebang Pohon Pinus sebanyak 3 (tiga) pohon
senilai Rp.3000.000,00 dengan menggunakan gergaji, dan keesokan
harinya Jumat 14 Juni 2013 sekitar Pukul 04.30 WIB Para pelaku
mengangkutnya dengan menggunakan KBM Truk ke arah Jeporo
Kemudian para pelaku ditangkap oleh dua anggota Polsek Jatipurno karena
mendapat laporan dari pihak korban. Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e
17
Berita Acara Pendapat, KASAT RESKRIM Polres Wonogiri.
-
38
Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor:
1208/0.3.335/Euh.1/07/2013, tanggal 10 Juli 2013, sesuai kronologis
peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum memberikan
dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar ketentuan Pasal 50
ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-undang RI No. 41 Tahun
1999 tentang kehutanan:
“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki
hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
c) Amar Putusan
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar putusannya
pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan Tinggi Semarang
yang mengadili perkara tersebut dalam amar putusannya memutuskan:
(1) Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut
-
39
(2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 10 Agustus
2013, No. 104/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan banding
tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan sebagai berikut:
(a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 2 (dua) tahun;
(b) Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
(c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar
Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);
2) Kasus Kedua
a) Kasus Posisi
Menurut Laporan Polisi Nomor:18
LP/B/01/I/2013/Sek.Eromoko, tanggal 15 Januari 2013, Terjadi di
Petak 50 A RPH Eromoko Dusun Sindukarto, Kecamatan
Eromoko,Kabupaten Wonogiri. Pada hari Minggu 13 Januari 2013
sekitar jam 17.00 WIB tersangka Paiman als Gendut, bersama-sama
dengan Srianto als Celeng, Sakim als Kemprot dan seorang lagi belum
tertangkap/DPO, telah menebang, memanen atau memungut hasil
hutan berupa 14 potong kayu kayu mahoni yang ditaksir sekitar
Rp.7.208.000,00 dihutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang.
Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41
18
Berita Acara Pendapat, KASAT RESKRIM Polres Wonogiri.
-
40
Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor:
29/0.3.35/Euh.1/10/2013, tanggal 11 Oktober 2013, sesuai kronologis
peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum
memberikan dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-
undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan :
“Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki
hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan
sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
c) Amar Putusan
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar
putusannya pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan
Tinggi Semarang yang mengadili perkara tersebut dalam amar
putusannya memutuskan:
(1) Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut
-
41
(2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 25
November 2013, No. 128/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan
banding tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan Sebagai
berikut:
(a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 2 (dua) tahun;
(b) Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
(c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya
perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat
banding sebesar Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);
3) Kasus Ketiga
Terjadi di Petak 50A RPH Eromoko di Dusun Sindukarto,
Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri.19
Kasus yang ketiga ini
kepolisian hanya menemukan barang bukti berupa batang pohon bekas
potongan yang diduga telah terjadi penebangan, memanen atau memungut
hasil hutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang. Dari data yang diuraikan
diatas dapat dilihat tindakan penegakan secara Represif yang telah
dilakukan Kepolisian Resor Wonogiri dalam hal ini SATRESKRIM Polres
Wonogiri.
Namun dalam kenyataan dilapangan kasus tindak pidana
Kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri periode Tahun 2013-2014 dari
19
Berita Acara Penyerahan Tersangka Dan Barang Bukti, KASAT RESKRIM
KEPOLISIAN RESOR WONOGIRI 2013.
-
42
data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8 kasus yang ditemukan di
lapangan, tetapi dengan ringannya barang bukti yang ditemukan
(mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran kecil yang
sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik Perhutani), dan
tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan maka secara
langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi Hutan yang pada
saat itu bertugas melakukan penindakan berupa peringatan, teguran dan
diberikan informasi mengenai larangan menebang, memanen dalam
bentuk apapun di kawasan hutan lindung.20
Lihat data tabel di bawah ini
Tabel 2.1
Data Jumlah Pelanggaran Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Ringan
POLHUT Polres Wonogiri Tahun 2013-2014
NO Nama
Pelaku
Waktu
Kejadian
Barang Bukti,
Kerugian
TKP Ket
1. Agus
Alias
Cungkring
4 Februari
2013
5 Batang kayu
pinus kering ,
diameter 5
Cm. Panjang 1
m, Kerugian ±
Rp 25.000,00
Petak 10 A,
Desa.
Sindukarto,
Kec. Eromoko,
Kab.
Wonogiri.
Damai
2. Supriyanto 15 April
2013
10 Batang
Ranting pinus,
diameter 5
Cm. Panjang 1
m, Kerugian ±
Rp 50.000,00
Petak 5 A,
Desa Baran,
Kec. Eromoko,
Kab.
Wonogiri.
Damai
3. Jumikem 10 Mei 2013 1 Ikat Ranting
Kayu pinus
yang terdiri
dari 40 batang
ranting pinus,
diameter 10
Cm. Kerugian
Petak 50 A,
Desa.
Sindukarto,
Kec. Eromoko,
Kab.
Wonogiri.
Damai
20
Wawancara dengan KASAT POLHUT POLRES Wonogiri, Wonogiri, 14 Juli 2015.
-
43
± Rp70.000,00
4. Parimin,
Sumarjo
5 Oktober
2013
1 botol ukuran
½ liter Getah
Pinus.
Kerugian ± Rp
7.500,00
Hutan Seper
Balepanjang,
Jatipurno,
Jatisrono, Kab
Wonogiri.
Damai
5. Manto,
Yadi
25 Januari
2014
1 botol ukuran
1 liter getah
pinus.
Kerugian ± Rp
15.000,00
Hutan Pinus,
Desa.
Gumewang,
Kec.
Wuryantoro,
Kab.
Wonogiri.
Damai
6. Molyadi 10 Maret
2014
5 batang
tunggak pinus,
diameter 30
Cm. Kerugian
± Rp
60.000,00
Hutan Pinus
Desa Pasekan,
Petak 3 A,
Kec. Eromoko,
Kab.
Wonogiri.
Damai
7. Sarimin 18 Juli 2014 3 ikat Ranting
kayu pinus
masing-masing
terdiri 30
batang ranting.
Kerugian ± Rp
95.000,00
Hutan Pinus
Gunung Belah,
Betal, Batu
Retno, Kab.
Wonogiri
Damai
8. Katijo 25 Desember
2014
3 batang pohon
pinus
berdiameter 6
Cm. Kerugian
± Rp
55.000,00
Petak 30 B
Sindukarto,
Eromoko, Kab
Wonogiri.
Damai
Sumber: Unit POLHUT Polres Wonogiri, Tanggal ( 31 Juli 2015)
b. Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan (Tanpa
Melibatkan Aparat Kepolisian)
Tidak hanya berupa peringatan dan teguran saja Polisi Hutan yang
mendapati adanya pelanggaran di wilayah hutan Wonogiri yang sudah
dikemukakan diatas, dalam hal ini kasus yang tidak diproses ke pengadilan
-
44
yang berjumlah 8 seperti data tabel tersebut diatas tidak begitu saja
didiamkan tanpa di proses selanjutnya. Polisi Hutan Polres Wonogiri
bekerjasama dengan SATBINMAS Polres Wonogiri, yang telah membentuk
POLMAS Kawasan Hutan yang merupakan perwakilan dari masyarakat
skitar hutan akan melakukan musyawarah dengan pelaku, aparat
desa(RT,RW) petugas perhutani, maupun dengan Polisi Hutan, melakukan
musyawarah penyelsaian dengan membuat surat pernyataan yang isinya
tidak akan mengulangi tindakannya lagi, yang kemudian akan di
tandatangani pelaku bersama dengan, Polisi Hutan yang bertugas pada saat
itu, aparat desa, dan petugas perhutani. Dengan adanya musyawarah yang
dilakukan petugas perhutani, Polisi Hutan, dan aparat desa setempat dengan
mendatangkan perwakilan masyarakat setempat, tindakan pelanggaran
terhadap tindak Pidana Kehutanan yang terjadi di Hutan Wonogiri selesai
dengan tidak melibatkan aparat penegak hukum dan bahkan perkara tidak
sampai pengadilan.21
Dengan adanya 8 kasus yang tidak di proses ke Pengadilan ini juga
sudah menjadi tugas SATBINMAS Polres Wonogiri untuk melakukan
tindakan terhadap pelaku, kemudian secara berkala akan diminta untuk
hadir mendapatkan pembinaan, penyuluhan yang diadakan SATBINMAS
Polres Wonogiri sebulan sekali sesuai dengan KPH dimana kasus tersebut
ditemukan. Dari penindakan kasus tindak Pidana Kehutanan yang sifatnya
ringan ini diharapkan akan memutus mata rantai kasus tindak pidana bidang
kehutanan yang ada di wilayah Wonogiri, jadi dari pembrantasan kasus
21
Wawancara dengan KASAT POLHUT Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015.
-
45
pidana kehutanan yang sifatnya ringan ini akan berpengaruh pada kasus
yang sifatnya berat yang sudah sampai kepengadilan.22
Dalam rangka melaukan penindakan terhadap tindak pidana bidang
kehutanan yang terjadi di wilayah hutan Wonogiri SATRESKRIM Polres
Wonogiri bersama POLHUT Polres Wonogiri secara rutin setiap harinya
melakukan Patroli langsung di Kekuasaan Wilayah Hutan (KPH) yang
tersebar di wilayah hutan Wonogiri. Di Wilayah Wonogiri sendiri terdapat
empat KPH yang tersebar, dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek
yang menaungi adalah Polsek Wonokarto, b) KPH Jatisrono, Polsek yang
menaungi adalah Polsek Jatisrono, c) KPH Baturetno, Polsek yang
menaungi adalah Polsek Baturetno, d) KPH Purwantoro, Polsek yang
menaungi adalah Polsek Purwantoro. Dengan KPH yang tersebar dan
bersama Kapolsek yang menaungi, dipimpin POLHUT Polres Wonogiri
melakukan Patroli langsung ke hutan-hutan yan tersebar di wilayah
Wonogiri dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi hutan,
meminimalisir terjadinya kegiata kejahatan kehutanan, melakukan
penindakan langsung bila terjadi tindakan kejahatan kehutanan. Untuk
jumlah personil POLHUT setiap melakukan Patrolipaling sedikit ada 4
anggota POLHUT yang bertugas setaiap harinya di PTP yang tersebar di
wilayah hutan Wonogiri.23
22
Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015. 23
Wawancara dengan KANIT POLHUT Polres Wonogiri, Wonogiri 14 Juli 2015.
-
46
c. Penegakan Secara Preventif
Tidak berhenti pada penindakan secara represif saja, untuk benar-
benar membrantas habis seluruh tindak pidana di bidang kehutanan
khususnya di Wilayah Kabupaten Wonogiri, Kepolisian Resor Wonogiri
dalam hal ini SATBIMNAS juga berupaya melakukan pencegahan sebelum
terjadinya tindakan tersebut Preventif. Bentuk pencegahannya berupa: 24
1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini
dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan
sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang,
dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c)
KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di lakukan
BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak Peruskan
Huatan, akibat tindak pidana kehutanan, bahaya terorisme, karena tidak
menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis untuk pelatihan
terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya memberikan informasi
tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi termasuk tanaman yang
berbahaya.
2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang
ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilaukan pembinaan
secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum
kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan
Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah
24
Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015.
-
47
tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang
dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.
d. Hambatan Dalam Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan
di Wilayah Hutan Wonogiri
Namun dari penegakan yang dilakukan Polres Wonogiri dalam
menangani tindak pidana bidang kehutanan ada beberapa hambatan-
hambatan yang tentunya mempengaruhi jumlah pelaporan maupun jumlah
kasus yang dapat ditindak secara hukum. Dari hambatan tersebut dapat kita
lihat: 25
1) Minimnya laporan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana bidang
kehutanan yang terjadi, karena biasanya yang melakukan tindak pidana
kehutanan ini adalah oknum dilingkungan sekitar hutan itu sendiri dan
masyarakat cinderung menutup-nutupi adanya oknum yang melakukan
tindakan tersebut. Alasan yang paling sering ditemui ialah sungkan,
tidak mungkin masyarakat disekitar hutan mau dan berani melaporkan
tetangganya sendiri yang melakukan tindakan tersebut.
2) Polisi dalam melakukan penindakan tindak pidana kehutanan yang
terjadi di Wilayah Wonogiri hanya terpaku pada pelaporan dari petugas
KPH, Polisi Hutan, maupun dari Petugas Kepolisan yang sedang
melakukan patroli di wilayah hutan kemudian menemukan tindak pidana
tersebut. Hal ini menyebabkan penanganan dan penindakan terhadap
25
Wawancara dengan KASAT RESKRIM POLRES Wonogiri, Wonogiri, 14 Juli 2015.
-
48
tindak pidana bidang kehutanan di Wilayah Wonogiri menjadi kurang
maksimal.
Namun penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan
di Wilayah Kabupaten Wonogiri diklaim dapat berkurang dari periode
Tahun 2013-2014 tidak lepas dari pencegahan yang dilakukan
SATRESKRIM, SATBIMNAS dan POLHUT Polres Wonogiri yang secara
berkala melakukan pembinaan dan melakukan kerjasama yang dibangun
antar instansi masyarakat yang terkait langsung dengan hutan. Yang
semuanya bertujuan untuk memberantas habis segala yang berkaitan dengan
tindak Pidana bidang kehutanan yang terjadi di Wilayah Hutan Wonogiri.
Dan yang paling utama untuk mencegah banjir, tanah longsor, dan
pendangkalan Waduk Gajah Mungkur.
C. ANALISIS
1. Bentuk Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Bidang
Kehutanan oleh Polres Wonogiri
a. Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Secara Represif,
Preventif yang Dilakukan Polres Wonogiri
Semakin maraknya kejahatan kehutanan pada akhir-akhir ini
membuat masyarakat semakin resah dan khawatir akan kelestarian hutan
yang berdampak pada generasi yang akan datang. Lebih spesifik dalam hal
ini tindak pidana bidang kehutanan yang semakin marak terjadi yang
dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab akan kelestarian hutan
-
49
terhadap generasi yang akan datang membuat aparat penegak hukum
seperti TNI, POLRI, Jaksa, Hakim harus bekerja keras demi keadilan yang
nantinya berpengaruh pada pengurangan tingkat tindak pidana bidang
kehutanan sampai ketingkat daerah seperti yang dilakukan Polres
Wonogiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana di
bidang kehutanan.
Menurut Soerjono Soekanto, Penegakan hukum adalah “kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-
kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku
dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.
Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-
kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan
hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara
konvensional , tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,
dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung
jawab. Seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak
pidana bidang kehutanan yang terjadi di wilayah Kabupaten Wonogiri,
berpegangan pada kaidah dan aturan hukum yang ada dalam hal ini
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengatur secara langsung
-
50
mengenai praktek kejahatan kehutanan tepatnya dalam Pasal 50 Ayat (3) ;
Setiap orang dilarang: huruf e ; menebang pohon atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang. Dan Junto Pasal 78 Ayat (5) ; Barang siapa
dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah). Dengan berpegangan kaidah yang sudah ada Polres
Wonogiri melakukan tindakan penegakan hukum terhadap tindak pidana
bidang kehutanan yang terjadi pada periode Tahun 2013-2014. Terbukti
dari data Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 dari SAT
RESKRIM POLRES Wonogiri ada 3 kasus tindak pidana bidang
kehutanan yang terjadi, dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke
Kejaksaan Negeri Wonogiri untuk di proses hukum lebih lanjut. Dari data
yang ditemukan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana di
bidang kehutanan yang dilakukan oleh Polres Wonogiri menunjukan
bahwa bentuk penegakan bersifat Represif yaitu penindakan hukum
setelah terjadi pelanggaran.
Tidak bertumpu pada penegakan secara Represif saja, untuk benar-
benar membrantas habis segala tindak pidana di bidang kehutanan yang
ada diwilayah Kabupaten Wonogiri, Polres Wonogiri melakukan
penegakan yang bersifat Preventif yaitu tindakan pencegahan sebelum
terjadinya tindakan yang dilakukan masyarakat dalam kaitannya dengan
tindak pidana bidang kehutanan. Berangkat dari tugas pokok Kepolisian
-
51
yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tepatnya terdapat dalam
Pasal 13 yang berbunyi ; Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.
menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Poin yang c menyebutkan bahwa Polri
harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat utamanya pada saat penegakan hukum tidak saja melakukan
penegakan tetapi Polri juga harus memberikan pengayoman pencegahan
yang diberikan pada masyarakat bilamana masyarakat yang akan
melakukan tindakan pelanggaran hukum dapat dicegah dengan adanya
tindakan yang di lakukan Kepolisiaan tersebut.
Dilihat secara langsung dilapangan bentuk penegakan secara
Preventif yang dilakukan Polres Wonogiri dalam mencegah terjadinya
tindak pidana bidang kehutanan dianatanya:
1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini
dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan
sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang,
dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c)
KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di
lakukan BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak
Peruskan Huatan, akibat kejahatan kehutanan, bahaya terorisme,
karena tidak menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis
untuk pelatihan terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya
-
52
memberikan informasi tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi
termasuk tanaman yang berbahaya. Berkaitan dengan Teori penegakan
hukum menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor mempengaruhi
penegakan hukum salah satunya adalah faktor penegak hukum itu
sendiri dalam hal ini personil Kepolisian Polres Wonogiri yang secara
berkala turun langsung ke lapangan untuk melakukan pembinaan
kepada personil lainnya diantara Petugas Perhutani, dan stake holder
lainnya yang terkait langsung pada pembrantasan tindak pidana bidang
kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.
2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang
ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilakukan pembinaan
secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum
kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan
Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah
tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang
dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.
Masyarakat juga berperan penting dalam proses pembrantasan tindak
pidana illegal logging ini, hal ini penting karena dapat dilihat dari teori
penegakan hukum manurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum faktor masyarakat juga penting
karena “Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat
atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum.”26
26
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta, 2013, h. 47.
-
53
Untuk penyelesaian masalah tindak pidana di bidang
kehutanan yang sifatnya ringan dalam prakteknya yang dilakukan
Polres Wonogiri dalam hal ini SATBINMAS membentuk Polmas
Kawasan yang bertujuan untuk penyelesaian bila terjadi pelanggaran
yang ada di lapangan tanpa harus sampai di proses lebih lanjut oleh
Kepolisian dapat dikatakan ini bersifat kekeluargaan dan bersifat
peringatan.
Proses diatas erat hubungan dengan Teori Restortive Justive
yang dalam pengertianya adalah "suatu pemulihan hubungan dan
penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana
(keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)
(upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan
agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan
pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya
persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice
pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam
proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara
mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang
diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut
yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana
(keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan
disepakati para pihak.
Dengan adanya pencegahan secara Preventif yang dilakukan
Polres Wonogiri terkait dengan hal ini adalah bagian SATBINMAS
-
54
Polres Wonogiri telah mampu mengurangi tingkat tindak pidana
bidang kehutanan di Wilayah Kabupaten Wonogiri terlihat pada
ANEV TINDAK PIDANA BULAN TAHUN 2013-2014 yang di
keluarkan oleh SAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, untuk kasus
tindak pidana illegal logging pada periode Tahun 2014 di Wilayah
Wonogiri sndiri menurun drastis dapat dikatakan tidak ada kasus yang
berkaitan dengan tindak pidana bidang kehutanan di wilayah
Kabupaten Wonogiri.
b. Penyelesaian Konflik di Luar Pengadilan (Restorative Justice)
Melihat fakta dilapangan mengenai tindak pidana bidang
kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri ada beberapa teknik
penyelesaian yang dapat dipakai dalam kaitannya menangani kasus pidana
kehutanan yang terjadi. Penyelesaian tindak pidana bidang kehutanan
tidak selalu menggunakan penindakan aparat Kepolisian maupun
Pengadilan sebagai jalur yang ditempuh untuk benar-benar memberantas
habis dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana bidang
kehutanan yang ada di Wonogiri.
Salah satu teori penyelesaian yang dapat diterapkan dan
disesuaikan dengan kondisi dilapangan pada saat penamuan korban
maupun barang bukti yaitu dengan teori penyelesai konflik di luar
pengadilan atau sering disebut Restorative Justice. Teori penyesaian
konflik ini disesuaikan dengan porsi masalah yang terjadi, bila ringannya
barang bukti yang ditemukan, dan adanya unsur ketidaksengajaan pada
-
55
saat melakukan tindakan kejahatan kehutanan maka teori penyelesaian ini
dapat di gunakan.
Seperti penanganan tindak pidana bidang kehutanan di Wonogiri
periode Tahun 2013-2014 dari data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8
kasus yang ditemukan di lapangan, dengan ringannya barang bukti yang
ditemukan (mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran
kecil yang sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik
Perhutani), dan tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan
maka secara langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi
Hutan melakukan penindakan dengan melakukan musyawarah bersama.
Dalam musyawarah tersebut pihak perhutani dan pihak dari Polisi Hutan
hanya bersifat memfasilitasi adanya musyawarah tersebut. Dalam
musyawarah tersebut juga mendatangkan Polmas Kawasan Hutan yang
sudah di bentuk sebelumnya oleh SATBINMAS Polres Wonogiri yang
beranggotakan perwakilan masyarakat sekitar hutan, dan mendatangkan
pula aparat desa setempat seperti RT, RW untuk bermusyawarah dalam
rangka penyelesaian masalah tindak pidana bidang kehutanan yang
sifatnya ringan ini. Musyawarah tersebut selain bertujuan menyelesaikan
masalah tanpa diproses lebih lanjut di pengadilan , musyawarah ini juga
nantinya akan memberikan efek jera bagi pelaku tindakan tersebut, dengan
menanda tangani surat pernyataan yang intinya dalam surat tersebut bahwa
tidak akan mengulangi lagi. Dan dalam musyawarah yang di lakukan ini
dapat mengahasilkan kata damai anatara pelaku dengan korban yang
dalam hal ini yang menjadi korban ialah pihak dari Perhutani.
-
56
Ternyata setelah melihat langsung di lapangan mengenai
penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah
Wonogiri, dengan mengakaitkan teori restorative justice 8 kasus sesuai
data dari Polhut Polres Wonogiri yang ditemukan dilapangan dapat di
selesaiakan dengan kata damai dan selesai tanpa harus melibatkan aparat
penegak hukum dan pengadilan dalam memputus perkara menganai tindak
pidana bidang kehutanan tersebut. Sekaligus memberikan efek jera bagi
pelaku tindak pidana di bidang kehutanan yang nantinya juga dapat
mengurangi bahkan memberantas habis segala tindak pidana bidang
kehutanan yang ada di Wilayah Kabupaten Wonogiri.
2. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana Di Bidang Kehutanan
Dalam rangka penegakan hukum di bidang kehutanan diharuskan
untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan
hukum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto yakni
hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana
yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan.27
a. Faktor Hukum
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara
27
Ibid., h. 5-9.
-
57
normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya
berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang
kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement
saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum
sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola
perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian,
tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan
hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-
undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya
jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan
untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.
Berkaitan dengan penegakan terhadap tindak pidana di bidang
kehutanan, hukum sangat menjadi hal utama untuk tegaknya keadilan bagi
pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut. Dan berkenaan dengan proses
menjadikan warga negara taat dengan hukum, hukum juga harus memberikan
efek jere bagi pelaku tindak pidana di bidang kehutanan. Hukum juga harus
ditegakkan bagi semua warga negara tidak pandang bulu, bagi setiap pelaku
harus dijerat dengan hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Dengan
adanya hukum yang ditegakkan sesuai yang semestinya akan berimplementasi
pada berkurangnya ataupun membrantas habis segala kejahatan kehutanana.
Dilihat hukuman yang di jatuhkan dari 2 kasus tindak pidana bidang
kehutanan yang terjadi di Wonogiri bisa dilihat bersama bahwa hukum yang
ada sekarang ini yang kaitannya dengan tindak pidana bidang kehutanan sudah
-
58
memberikan efek jera bagi pelaku khususnya yang ada di wilayah Wonogiri,
terbukti dengan adanya penurunan tingkat tindak pidana bidang kehutanan
dari Tahun 2013-2014, bahkan untuk tindak pidana bidang kehutanan yang
berat di Tahun 2014 bisa diakatakan nihil atau tidak ada kasus mengenai
tindak pidana bidang kehutanan. Untuk itu hukum menjadi sangat penting
untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana bidang kehutanan yang
ada di Wonogiri.
b. Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas
penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang
mengatakan : “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan
hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam
kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif
manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan
terlihat, harus diaktualisasikan”. Di dalam konteks di atas yang menyangkut
kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada
kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum
sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan
tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum.
-
59
Berkaitan dengan faktor penegak hukum juga sangat berpengaruh pada
penegakan tindak pidana bidang kehutanan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri
adanya hukum yang baik tanpa disertai penegak hukum dalam hal ini Polri,
TNI, Jaksa, Hakim yang baik maka proses menuju keadilan yang sebenarnya
tidak akan terwujud maksimal. Penegak hukum dalam memproses adanya
tindak pidana bidang kehutanan juga harus sesuai dengan prosedur
penanganan, tegas, dan harus bersih tanpa adanya unsur KKN di dalam
melakukan penegakan tindak pidana bidang kehutanan. Agar keadilan bisa
tercapai dengan maksimal dan pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan
kehutanan bisa terpenuhi. Dan akan berrpengaruh pada berkurangnya tindakan
yang mengacu pada pidana kehutanan.
Seperti halnya yang ada di Wilayah Wonogiri dengan penanganan dan
penindakan yang dilakukan penegak hukum Kepolisian Resor Wonogiri dalam
melakukan penegakan terhadap tindak pidana kehutanan dapat dikatakan
sudah baik, terbukti dengan adanya data dilapangan yang terjadi selama
periode Tahun 2013-2014 hanya terjadi 3 kasus yang berkaitan dengan tindak
pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri. Terbukti dengan
adanya penegak hukum yang baik akan berpengaruh pada berkurangnya
tindak pidana dalam hal ini tindak pidana bidang kehutanan yang ada di
Wilayah Kabupaten Wonogiri.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
-
60
Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang
praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan
di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan
computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan
wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi
dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas
yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.
Faktor ini juga bisa berpengaruh terhadap penegakan hukum terhadap
tindak pidana bidang kehutanan. Tanpa adanya sarana dan alat pendukung
dalam proses penegakan hukum, hukum juga akan sulit dan dirasa akan tidak
mampu ditegakkan secara maksimal. Dalam memberantas praktek kejahatan
kehutanan, faktor kelengkapan sarana dan prasarana dalam kegiatan
pemberantasan kejahatan terhadap hutan melalui operasi merupakan faktor
yang sangat menentukan efektifitas penegakan hukum. Banyak realita di
lapangan, kendala obyektif yang dihadapi Polisi Kehutanan terkait dengan
sarana dan prasarana adalah minimnya sarana dan prasarana yang mendukung
operasi, seperti tidak tersedianya alat berat dan alat angkut untuk mengangkut
dan menyimpan barang bukti dari lokasi penemuan/penyitaan ke tempat
penampungan. Jangan sampai fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
para pelaku lebih canggih di bandingkan dengan sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh para penegak hukum, terutama daerah-daerah yang justru
memiliki hutan yang sangat luas dan rawan terjadi tindak pidana bidang
kehutanan.
-
61
Dilihat dari kesigapan petugas patroli yang melakukan pengamanan
sekaligus pengawasan di hutan Wonogiri bisa dikatakan sudah mumpuni dan
memadahi dalam melakukan pengawasan maupun pengamanan. Terbukti
dengan cepat sigap Kepolisian Resor Wonogiri menemukan pelaku tindak
pidana bidang kehutanan, bukan hanya pelaku saja tetapi bisa melacak adanya
barang bukti berupa kayu sebagai contoh kasus yang terjadi di Hutan Pinus
Seper Balaipanjang Jatipurno Petak 44 pada saat melakukan penangkapan
barang bukti sudah dilarikan di luar daerah diamana dilakukan penangkapan,
tetapi dengan adanya sarana dan prasarana yang mumpuni tidak membutuhkan
waktu lama kurang dari 24 jam barang bukti sudah bisa di temukan dan
amankan. Inilah yang mempengaruhi penindakan terhadap tindak pidana di
bidang kehutanan di Wonogiri bisa berjalan baik.
d. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,
atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap
masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan
malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan
hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan
-
62
sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan
hukum.
Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan
masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau dibekukan. Dalam
masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui
prosedur dan mekanisme yang sederhana pula, namun dalam masyarakat
modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat Spesialisasi dan
diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya
menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu
masyarakat, maka akan semakin birokratis proses penegakan hukumnya.
Akibatnya yang memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum
bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga
organisiasi yang mengatur dan pengelola operasionalisasi proses penegakan
hukum.
Faktor masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, jika
mayoritas berada dalam kondisi ekonomi yang termasuk dalam kelompok
yang berada di bawah garis kemiskinan, juga menjadi salah satu faktor
meningkatnya tindakan kejahatan kehutanan. Hal ini disebabkan penduduk
yang ada disekitar hutan dalam melakukan praktek kejahatan kehutanan sering
berpindah-pindah dan praktek pidana kehutanan merupakan salah satu mata
pencaharian bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan. Masyarakat yang
hidup di dalam dan atau disekitar hutan yang melakukan praktek perusakan
hutan sangat berdampak pada meningkatnya laju kerusakan hutan. Hal ini
diakibatkan masyarakat belum memahami betapa pentingnya menjaga hutan.
-
63
Selain itu, faktor rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya lapangan kerja,
menyebabkan praktek tindak pidana bidang kehutanan makin meningkat.
Bisa dilihat data dari Polhut Polres Wonogiri yang terjadi dilapangan
selama periode 2013-2014 bahwa untuk tindak pidana bidang kehutanan di
Wonogiri yang tergolong ringan berjumlah 8 kasus. Dari 8 kasus tersebut
kebanyakan dari pelaku tidak mengetahui bahwa yang mereka ambil bukan
merupakan hak atau bagian wilayah dari kekuasaan mereka. Dari ketidak
tahuan masyarakat ini bisa dilihat faktor masyarakat juga berdampak pada
meningkatnya tindak pidan bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri.
e. Faktor Kebudayaan
Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal
kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi
yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia
dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian,
kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan
peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Berkaitan dengan kebudayaan berarti erat hubungan dengan kebiasaan
yang sering dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat dalam hal ini masyarakat
sekitar hutan di Wonogiri yang masih tergolong primitif ini dari jaman nenek
moyang sudah sering mencari segala bentuk sumber daya makanan untuk
hidup di hutan, jadi diterapkan pada masa sekarang yang padahal sebagian
besar hutan sudah di kuasai oleh pihak perhutani, jadi segala macam bentuk
tindakan yang mangarah pada pemanenan, mengambil, merusak tanpa
-
64
dilengkapai surat ijin itu sudah termasuk dalam tindak pidana terhadap
kehutanan, jadi banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan tersebut
sampai sekarang, dan sulit dihilangkan kebiasaan tersebut.
Kelima komponen penegakan hukum di atas sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan dari sistem hukum itu sendiri, yaitu struktur hukum, substansi
hukum dan budaya hukum yang satu dengan yang lainnya merupakan satu
kesatuan. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan sistem hukum ini,
demikian pula keberhasilan penegakan hukum yang meminta
pertanggungjawaban pelaku kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan
pemegang HPH sangat tergantung pada eksistensi, artikulasi, “performance”
dan “iner capasity” dari masing-masing komponen, namun demikian sangat
perlu mendapat penegasan bahwa dalam rangka mencapai tujuannya tersebut
sama sekali tidak boleh ada fragmentasi dari masing-masing komponen dalam
penegakan hukum, sehingga tercapai adanya kepastian hukum.28
Erat kaitannya dengan permasalahan tentang penerapan prinsip-prinsip
tanggung jawab terhadap pengusaha hutan atau pemegang HPH dalam
kaitannya dengan praktik pidana kehutanan, hal ini merupakan salah satu
agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk
dilaksanakan, yakni reformasi dalam penegakan hukumnya sendiri, khususnya
yang berkaitan dengan kasus pidana bidang kehutanan. Apabila diperhatikan
pelaksanaan penegakan hukum dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan,
hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum atau yang dalam bahasa
28
Ujang Chandra, IIIegal Logging & Penegakan Hukumnya, Bandung, Bungo Abadi, 2005,
hal. 11.
-
65
populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung
tombak agar terciptaya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, “Penegakan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.29
Dalam berbagai kajian
sistematis penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa
efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum
berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakan terhadap kasus pidana
kehutanan. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat
penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Walter
C. Reckless, menyatakan bahwa, penegakan hukum harus dilihat bagaimana
sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana
sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya.30
Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan
bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika
yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil
keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan
ambruk, atau setengah-tengahnya. Masalah penegakan hukum pada dasarnya
merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum
secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum
29
Op.cit, hal. 5. 30
Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi
(Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2004, hal. 58.
-
66
masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang
senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup. Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan
seperangkat norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang
salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan
menjaga ketertiban, keseimbangan social dan kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu, norma-norma hukum yang berisi anjuran, dan sanksi perlu adanya
konkritisasi dan operasionalisasi dengan ditegakkannya hukum secara
sungguh-sungguh terutama oleh aparat penegak hukumnya.
Kondisi penegakan hukum dalam kaitannya dengan penegakan kasus
praktik pidana bidang kehutanan dalam masyarakat bukan hanya ditentukan
oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut, namun
faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung pada
konteks sosial dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat
bersangkutan. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum dalam praktik pidana bidang kehutanan dapat dibedakan dalam dua
hal, yakni faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor
di luar sistem hukum. Adapun faktor-faktor dalam sistem hukum meliputi
faktor hukumnya (undang-undang), factor penegak hukum, dan faktor sarana
dan prasarana, sedangkan faktor-faktor di luar sistem hukum yang
-
67
memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat,
perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa
negara.