bab ii kajian teoritis, kerangka berpikir, dan …repository.unj.ac.id/1792/6/9. bab ii.pdf ·...

45
15 BAB II KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Kajian Teoritis 1. Cognitive Behavioral Play Therapy a) Definisi Cognitive Behavioral Play Therapy Bermain merupakan hal yang sangat esensial bagi anak. Sutton-Smith (1971) telah menjelaskan pentingnya pengaruh permainan pada anak sebagai: “Bermain bagi anak terdiri atas empat mode dasar yang membuat kita mengetahui tentang dunia- meniru, eksplorasi, menguji, dan membangun.” (Djiwandono, 2005). Berdasarkan pendapat dari Sutton-Smith, dapat diketahui bahwa mode dasar yang terdapat dalam permainan tersebut menunjukkan bahwa permainan sangat esensial dan penting bagi anak. Menurut Hidayat dan Siwabessy, play therapy adalah cara untuk menlong anak yang bermasalah untuk menanggulangi distress, menggunakan permainan sebagai media untuk berkomunikasi antara anak dan terapis (Hidayat & Siwabessy, 2015). Menurut pendapat ahli di atas, dapat dikatakan bahwa permainan akan mempermudah komunikasi antara anak dan

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN

    HIPOTESIS

    A. Kajian Teoritis

    1. Cognitive Behavioral Play Therapy

    a) Definisi Cognitive Behavioral Play Therapy

    Bermain merupakan hal yang sangat esensial bagi anak.

    Sutton-Smith (1971) telah menjelaskan pentingnya pengaruh

    permainan pada anak sebagai: “Bermain bagi anak terdiri atas

    empat mode dasar yang membuat kita mengetahui tentang dunia-

    meniru, eksplorasi, menguji, dan membangun.” (Djiwandono,

    2005). Berdasarkan pendapat dari Sutton-Smith, dapat diketahui

    bahwa mode dasar yang terdapat dalam permainan tersebut

    menunjukkan bahwa permainan sangat esensial dan penting bagi

    anak.

    Menurut Hidayat dan Siwabessy, play therapy adalah cara

    untuk menlong anak yang bermasalah untuk menanggulangi

    distress, menggunakan permainan sebagai media untuk

    berkomunikasi antara anak dan terapis (Hidayat & Siwabessy,

    2015). Menurut pendapat ahli di atas, dapat dikatakan bahwa

    permainan akan mempermudah komunikasi antara anak dan

  • 16

    terapis karena permainan adalah alat komunikasi serta bahasa

    anak.

    Schaefer dan Drewes telah menyatakan bahwa “play is used

    in therapy by play therapist and child clinicians as a means of

    helping children deal with emotional and behavioral issues”.

    (Drewes & Schaefer, 2009) Kutipan tersebut memiliki arti

    bahwapermainan digunakan oleh terapis bermain dan dokter anak

    untuk membantu anak dalam menghadapi permasalahan

    emosional dan perilaku.

    Asosiasi Play Therapy (1997) telah menyatakan pengertian

    Play Therapy sebagai (Hidayat & Siwabessy, 2015):

    “The systematic use of a theoretical model to establish an interpersonal process where in trained play therapists use the therapeutic powers of play to help clients prevent or resolve psychological difficulties and achieve optimal growth and development”

    Kutipan di atas memiliki arti bahwa terapi bermain adalah

    penggunaan model teoretis secara sistematik untuk membangun

    proses interpersonal dimana terapis menggunakan kekuatan

    terapeutik permainan untuk menolong klien dalam mencegah atau

    menyelesaikan kesulitan psikologis serta mencapai pertumbuhan

    dan perkembangan yang optimal.

    Menurut Cattanach, Play Therapy adalah “…a way of helping troubled children cope with their distress, using play as the medium of communication between child and therapist” (Cattanach, 2003)

  • 17

    kutipan tersebut memiliki arti bahwa terapi bermain adalah cara

    untuk membantu anak bermasalah untuk mengatasi kesulitannya,

    dengan permainan sebagai sarana komunikasi antara anak dan

    terapis.

    Berdasarkan definisi para ahli dapat dipahami bahwa Play

    Therapy adalah suatu bentuk intervensi responsif yang

    menggunakan properti permainan dan dilakukan untuk

    memperbaiki tingkah laku anak. Permainan adalah hal yang

    esensial bagi kehidupan anak, serta permainan sebagai media

    komunikasi bagi anak dimanfaatkan oleh para terapis untuk

    membantu anak menghadapi permasalahan emosional dan

    perilaku anak.

    Cognitive Behavioral Play Therapy, menurut (Knell, 2009)

    adalah:

    “….developmentally appropriate treatment designed specifically for young children (3-8 years old). It is based on cognitive and behavioral theories of emotional development and psychopathology, and on interventions derived from these theories. CBPT is an offspring of Cognitive Therapy (CT) as conceptualized by Aaron Beck (1964, 1974)” Pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai treatment yang

    tepat secara perkembangan yang dibentuk khusus bagi anak usia

    dini (3-8 tahun). CBPT didasari oleh teori perilaku dalam

    perkembangan emosional dan psikopatologi. CBPT adalah teori

  • 18

    yang diturunkan dari Teori Kognitif (CT) yang dikonseptualisasikan

    oleh Aaron Beck.

    Fokus penerapan CBT juga telah diungkapkan oleh Fazio-

    Griffith & Ballard: “the focus of CBT is deficits or distortions in

    thinking, which are postulated to interfere with appropriate social

    skills.” (Fazio-Griffith & Ballard, 2014). Kutipan tersebut

    menyatakan bahwa CBT fokus terhadap kekurangan atau

    penyimpangan dalam pemikiran yang mempengaruhi dan

    mengganggu keterampilan sosial yang tepat. Berdasarkan

    pendapat di atas dapat pula disimpulkan bahwa Cognitive

    Behavioral Play Therapy yang merupakan turunan dari CBT fokus

    terhadap pemikiran yang mempengaruhi keterampilan sosial yang

    dimiliki oleh anak.

    Menurut Zellawati, CBPT berpandangan bahwa anak memiliki

    pikiran dan perasaan yang sama seperti orang dewasa yaitu

    ditentukan melalui bagaimana anak berfikir tentang diri dan

    dunianya. Model ini digunakan untuk menangani anak dengan

    kepercayaan irrasional yang membawanya keluar dari perilaku

    maladaptif (Zellawati, 2011). Berdasarkan pendapat tersebut dapat

    disimpulkan bahwa CBPT akan membantu anak untuk mengubah

    perilaku maladaptifnya dengan cara fokus terhadap distorsi kognitif

    yang dimilikinya.

  • 19

    Berdasarkan uraian para ahli yang telah dijabarkan di atas

    dapat disimpulkan bahwa CBPT yang merupakan turunan dari CBT

    yang dicetuskan oleh Aaron Beck fokus terhadap kognitif yang

    dimiliki oleh anak yang menyebabkan anak menunjukkan perilaku

    maladaptif. Ahli percaya bahwa perilaku yang ditunjukkan

    dipengaruhi oleh kognitif sehingga diperlukkan adanya terapi

    kognitif-perilaku agar anak memiliki keterampilan sosial yang baik.

    b) Asas Cognitive Behavioral Play Therapy

    Knell (1994) menggambarkan asas-asas dari Cognitive

    Behavioral Play Therapy. Asas ini berdasarkan atas asas teori

    kognitif behavior orang dewasa yang dikonseptualisasikan oleh

    Aaron Beck. Asas-asas berikut dapat diaplikasikan terhadap CBPT

    bersama anak-anak (Knell, 2009) :

    1) CT berlandaskan pada model kognitif dari gangguan emosional.

    Model ini didasarkan para kognisi, emosi, perilaku, fisiologi yang

    saling mempengaruhi, menyatakan bahwa perilaku dimediasi

    melalui proses verbal. Perilaku maladaptive atau yang

    mengganggu dianggap sebagai ekspresi pemikiran irasional. CT

    dengan anak-anak akan lebih berfokus pada tidak adanya

    pemikiran adaptif (defisit) dibandingkan penyimpangan kognitif

    itu sendiri.

  • 20

    2) CT berlangsung singkat dan memiliki waktu terbatas. Menjaga

    treatment dengan singkat dan dengan waktu yang terbatad

    seringkali menjdi treatment pilihan untuk anak. Hal ini

    memungkinkan treatment untuk fokus pada bantuan segera

    dalam kesulitannya, menyediakan strategi penyelesaian

    masalah dan keterampilan coping, secara dengan cepat

    mengembalikan anak kepada tingkat perkembangan anak

    optimal sebelumnya.

    3) Hubungan terapeutik yang dalam adalah kondisi yang perlu ada

    dalam Cognitive Therapy yang efektif. CT bersandar pada

    membangun hubungan terapeutik yang hangat yang didasarkan

    pada kepercayaan dan penerimaan. Hubungan terapeutik yang

    positif adalah prediktor yang paling baik pada hasil treatment.

    4) CT terstruktur dan mengarahkan. CT menyediakan format yang

    terstruktur dan mengarahkan yang memungkinkan pengaturan

    agenda dan fokus pada tujuan yang spesifik. Dengan anak,

    struktur seperti itu selalu diseimbangkan dengan permainan

    spontan dan tidak terstruktur. Keseimbangan ini halus, namun

    pentingnya aktifitas terstruktur dan yang mengarahkan dalam

    CBPT sangat penting untuk keberhasilannya.

    5) CT berlandaskan model edukasi. Model CT berpendapat bahwa

    gejala berkembang karena seorang invidu telah belajar cara

  • 21

    yang tidak pantas untuk menghadapi permasalahan. Dengan

    anak-anak, mengajarkan alternatif dapat menjadi sangat

    penting, karena keterampilan coping positif yang dapat

    dihasilkan dalam diri diluar jangkauan anak tanpa modeling dan

    bimbingan

    6) CT berorientasi pada masalah. Anak sering dibawa untuk

    melakukan treatment dengan permasalahan yang spesifik yang

    membuat orangtuanya mencari bantuan.

    Beberapa asas yang dapat diterapkan pada CBPT berikut ini

    memerlukan adanya modifikasi yaitu;

    7) CT menggunakan metode Socrates. CT menggunakan

    pertanyaan sebagai penuntun dan menghindari saran dan

    penjelasan secara langsung. Pertanyaan seperti “Apa buktinya?

    Apa yang dapat kamu pelajari dari kejadian ini” tidak efektif

    diterapkan pada anak, namun pertanyaan open-ended dapat

    sangat membantu. Sebagai contoh “Saya membayangkan

    bagaimana perasaanmu saat itu” akan mendapatkan respon

    dari anak.

    8) Teori dan teknik CT bersandar pada metode induktif. Orang

    dewasa dapat diajarkan pendekatan ilmiah terhadap

    masalahnya, dengan kepercayaan yang dilihat sebagai

    hipotesis yang harus diperbaiki berdasarkan data baru.

  • 22

    Melakukan eksperimen untuk menguji kepercayaan tersebut

    adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam

    terapi kognitif. Karena uji hipotesis tidak mungkin dilakukan

    untuk anak kecil, pekerjaan ini dilakukan lebih untuk anak

    daripada bersama anak.

    9) Terapi adalah usaha kolaboratif antara terapis dan pasien.

    Meskipun sangat penting dilakukan dengan anak, namun

    kolaborasi dapat sangat berbeda, terapis menemukan

    keseimbangan antara memaksakan arah pada anak dan

    menerima anak apa adanya.

    10) Homework sebagai fitur utama dalam terapi kognitif tidak dapat

    diterapkan terhadap CBPT dengan anak-anak. Dengan orang

    dewasa, generalisasi diluar terapi dilakukan melalui tugas antar-

    sesi yang memperkuat dan melengkapi kerja dalam terapi.

    Namun, tugas tersebut jarang digunakan dalam terapi dengan

    anak, dan hampir tidak pernah digunkan dengan anak usia pra-

    sekolah.

    Berdasarkan prinsip CBPT yang telah dijelaskan

    sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa prinsip CBPT diadaptasi

    berdasarkan CBT terhadap orang dewasa serta memiliki prinsip

    dasar yang sama seperti berdasarkan model kognitif dari

    gangguan emosional, waktu yang terbatas, terstruktur dan

  • 23

    mengarahkan, membangun hubungan baik antara terapis dan

    anak, berpusat pada masalah, berdasarkan pada model

    pendidikan, namun, terdapat modifikasi dalam CBPT yang

    dikhususkan untuk anak, yaitu, bagi CT untuk orang dewasa,

    terapi adalah usaha kolaboratif antara terapis dan pasien, namun,

    untuk CBPT, kolaborasi dilakukan oleh terapis dan orang tua.

    Kemudian, CT menggunakan metode Socrates. Lalu, pada CT

    yang ditujukan untuk orang dewasa, mereka diajarkan untuk

    merevisi hipotesa mereka berdasarkan data yang baru. Namun,

    jika untuk anak-anak, hal ini tidak akan mungkin untuk dilakukan,

    maka dari itu terapis merevisi hipotesa untuk anak, bukan

    bersama anak. Meskipun terdapat beberapa modifikasi, asas atau

    prinsip dari CBPT adalah turunan dari asas atau prinsip CBT.

    c) Tujuan Cognitive Behavioral Play Therapy

    Menurut Zellawati (2011), tujuan terapi bermain adalah:

    1) Menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk

    mengekspresikan diri mereka

    2) Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari

    aturan sosial dan mengatasi masalah mereka

    3) Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan

    mencoba sesuatu yang baru.

  • 24

    Namun, ada sedikit perbedaan tujuan antara CBPT

    dengan Play Therapy tradisional. Menurut Knell (2009)

    “therapeutic goals are established; direction toward goals is basis

    of intervention” pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

    arahan untuk mencapai tujuan adalah dasar dari intervensi dalam

    CBPT.

    Perbedaan CBPT dan Play Therapy tradisional yaitu CBPT

    lebih mengarahkan (directive) dibandingkan dengan terapis Play

    Therapy tradisional yang lebih berpusat pada diri (client-centered)

    (Knell, 2009). Meskipun terdapat sedikit perbedaan antara tujuan

    Play Therapy tradisional dan CBPT namun penggunaan media

    permainan sebagai alat komunikasi anak dan terapis adalah hal

    utama dalam terapi. Dengan manfaat terapi bermain sebagai alat

    pengekspresian diri, mempelajari aturan sosial, mengatasi

    masalah, serta mencoba sesuatu yang baru diharapkan dapat

    mencapai tujuan dari intervensi yang akan dilakukan oleh terapis.

    d) Manfaat Cognitive Behavioral Play Therapy

    Knell (2009) merangkum beberapa kesamaan antara CBPT

    dan Play Therapy tradisional, termasuk beberapa manfaat di

    dalamnya. Kottman (2001) merangkum dari berbagai sumber tiga

  • 25

    keuntungan penggunaan Play Therapy, antara lain (Hidayat &

    Siwabessy, 2015):

    1) Membantu proses perkembangan anak, dengan interaksi verbal

    yang minimal

    2) Anak mendapatkan banyak kebebasan untuk memilih, mampu

    meningkatkan daya fantasi dan imajinasi anak, dapat

    menggunakan alat-alat yang sederhana, memberikan tempat

    yang aman bagi anak untuk mengeluarkan perasaan,

    mendapatkan pemahaman dan melakukan berbagai perubahan

    3) Memudahkan konselor untuk membangun hubungan dengan

    anak, juga dalam melatih keterampilan sosial anak.

    Selain untuk mencapai tujuan intervensi yang akan

    ditetapkan pada setiap perlakuan, terapi bermain dapat

    memberikan manfaat bagi anak dalam proses perkembangannya,

    seperti melatih keterampilan sosial hingga daya imajinasi yang

    dimiliki oleh anak.

    e) 8 Automatic Thoughts

    Bila klien telah mengidentifikasi pemikiran otomatis dan

    memahami interaksinya terhadap emosi dan respon

    perilaku/fisiologis, klien akan didorong untuk memandang

    pemikiran otomatis ini sebagai ‘thinking errors’ (dikenal sebagai

  • 26

    ‘distorsi kognitif’ karena menyebabkan distorsi terhadap

    kenyataan). Automatic thoughts dapat diidentifikasi sebagai

    (Szymanska & Palmer, 2000):

    1) Pemikiran ‘semua-atau-tidak sama sekali’ yaitu mengevaluasi

    pengalaman menggunakan pernyataan ekstrim seperti ‘sangat

    baik’ atau ‘sangat buruk’

    Contoh: ‘Bila saya tidak mendapatkan pekerjaan ini, maka saya

    tidak akan bekerja lagi’

    2) Pembaca pikiran/langsung pada kesimpulan, yaitu meyakini

    respon negatif tanpa informasi yang relevan

    Contoh: ‘Ia tidak mengucapkan “selamat pagi” kepada saya,

    artinya Ia tidak menyukai saya’

    3) Personalisasi, yaitu menyalahkan diri sendiri akibat sebuah

    kejadian

    Contoh: ‘Hubungan ini berakhir dan semua adalah kesalahan

    saya’

    4) Generalisasi berlebihan, yaitu menyamaratakan kesimpulan

    yang negatif berdasarkan satu atau dua kejadian

    Contoh: ‘Karena ada kesalahan dalam laporan saya, penilaian

    saya akan sangat buruk dan saya tidak akan mendapatkan

    kenaikan gaji

  • 27

    5) Meramal nasib, yaitu meyakini bahwa diri mengetahui masa

    depan

    Contoh: ‘Saya mengalami satu serangan panik, saya pasti akan

    selalu mengalaminya’

    6) Penalaran emosional, yaitu merancukan perasaan dengan fakta

    Contoh: ‘Saya merasa cemas, mengendarai motor pasti sangat

    berbahaya’

    7) Labelling, yaitu menggunakan label yang tidak membantu untuk

    mendeskripsikan diri sendiri atau orang lain

    Contoh: ‘Saya sangat bodoh’

    8) Magnification, membesar-besarkan hal diluar proporsi

    Contoh: ‘Lupa untuk menelepon klien saya hari ini adalah hal

    terburuk yang pernah saya lakukan'

    f) Tahapan Treatment

    CBPT memiliki beberapa tahapan dalam penerapannya.

    Tahapan tersebut dideskripsikan sebagai introductory/orientation,

    assessment, middle, serta termination stages. Tahapan ini secara

    lebih lengkap dideskripsikan oleh Knell yaitu (Knell, 2009):

    1) Introductory/Orientation. Selama wawancara perkenalan, salah

    satu tugas terapis adalah untuk membantu orangtua memahami

  • 28

    bagaimana cara menyiapkan anak mereka dengan baik untuk

    sesi pertama mereka.

    2) Assessment. Setelah persiapan untuk CBPT, asesmen dimulai.

    Permasalahan yang muncul dan kejelasan diagnostik akan lebih

    dipahami serta rencana treatment lebih dikembangkan selama

    tahapan awal CBPT

    3) Middle stage. Selama tahapan pertengahan CBPT, terapis telah

    mengembangkan rencana treatment, dan terapi akan lebih

    fokus untuk meningkatkan kontrol diri anak, keinginan untuk

    mencapai target perilaku, dan belajar respon adaptif untuk

    menghadapi situasi spesifik yang lebih banyak. Berdasarkan

    masalah yang sedang muncul, terapis akan memiliki susunan

    intervensi kognitif dan perilaku yang luas dari yang dapat dipilih.

    Hal ini dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan sebanyak

    mungkin kekhususan (specifity) yang berhubungan dengan

    intervensi dan masalah spesifik anak. Banyaknya teknik terapi

    dan penggunaan intervensi kognitif behavior ditempatkan pada

    tahap pertengahan ini. Generalisasi dan pencegahan akan

    terulangnya sebuah perilaku termasuk dalam tahap

    pertengahan terapi sehingga anak dapat belajar untuk

    menggunakan keterampilan barunya dalam setting jangkauan

  • 29

    yang luas serta mengembangkan keterampilan baru yang

    mempersempit kemungkinan kemunduran setelah terapi selesai

    dilakukan.

    4) Termination Stage. Pada tahap pengakhiran, anak dan keluarga

    siap untuk penutup terapi. Selama treatment mendekati akhir,

    anak akan berhadapan dengan realita pengakhiran, dan juga

    perasaan anak terhadap pengakhiran treatment.

    Berdasarkan tahapan yang telah dijelaskan, dapat

    disimpulkan bahwa terdapat 4 tahapan CBPT yaitu Orientasi,

    Asesmen, Tahapan Pertengahan, serta Pengakhiran. Pada tahap

    Orientasi, terapis perlu membantu orangtua klien agar dapat

    memahami cara mempersiapkan anak untuk sesi pertama mereka.

    Pada tahap kedua, yaitu Asesmen, permasalahan yang terjadi telah

    lebih baik dipahami, dan rencana treatment telah dikembangkan

    selama tahapan awal CBPT. Pada tahap ketiga yaitu tahapan

    pertengahan, terapis telah mengembangkan rencana treatment, dan

    terapis mulai fokus untuk meningkatkan kontrol diri anak, rasa untuk

    mencapai sesuatu, serta belajar respon yang lebih adaptif untuk

    berhadapan dengan situasi yang spesifik. Pada tahap terakhir yaitu

    pengakiran, anak dan keluarganya telah bersiap untuk mengakhiri

    terapi. Untuk mencapai perubahan kognitif anak dalam menghadapi

  • 30

    situasi, maka terapis harus mampu melaksanakan seluruh tahapan

    dalam CBPT dan memastikan segala tahapan telah dilakukan

    dengan baik.

    2. Kemarahan

    a) Definisi Kemarahan

    Kata “anger” atau kemarahan berasal dari bahasa Latin

    “angere” yang berarti “mencekik”. Namun, kemarahan lebih sering

    digunakan sebagai istilah yang sangat umum dan luas, yang

    bervariasi dari kejengkelan ringan pada satu ujung spectrum hingga

    agresi kekerasan pada ujung yang lain. Dibandingkan dengan

    kebanyakan emosi lain, kemarahan adalah perasaan yang

    sederhana dan langsung, tetapi dapat bergabung dengan suasana

    hati lain untuk membentuk emosi yang lebih rumit seperti

    kecemburuan atau kesedihan. (Pearce, 1990). Pengertian di atas

    menyatakan bahwa perasaan marah bervariasi dan membentuk

    sebuah tingkat dimulai dari kejengkelan ringan hingga agresi

    kekerasan, marah juga dapat bergabung dengan suasana hati lain

    untuk membentuk emosi yang lebih kompleks.

    Definisi kemarahan telah dinyatakan oleh Marian Marion

    (1994) (Carr, 2007):

    “Anger is an emotion, an effective state or feeling experienced when needs are frustrated or when well-being is threatened.

  • 31

    Anger is emotional energy that can motivate a person to attempt to remedy the situation that brought on the anger” Kutipan di atas menyatakan bahwa kemarahan adalah emosi,

    suatu keadaan atau perasaan yang nyata dialami ketika frustrasi

    akan suatu kebutuhan atau ketika kesejahteraan terancam.

    Kemarahan adalah energi emosional yang dapat memotivasi

    seseorang untuk mencoba memperbaiki situasi yang menimbulkan

    kemarahan.

    Davidoff (Blackburn dan Davidson, 1994) mendefinisikan

    marah sebagai suatu emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem

    syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang

    sangat kuat yang disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin

    nyata salah atau mungkin juga tidak. (Safaria & Saputra, 2009).

    Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perasaan

    marah diikuti oleh perasaan tidak suka yang sangat kuat, meskipun

    alasan yang dimiliki atas perasaan tersebut belum pasti.

    Kemarahan telah didefinisikan oleh Albin (2003) yang

    menyatakan bahwa rasa marah merupakan emosi yang sangat

    sukar bagi setiap orang, baik dalam hal menerima ataupun untuk

    mengungkapkannya. Rasa marah menunjukkan bahwa suasana

    perasaan tersinggung oleh seseorang atau sesuatu sudah tidak baik

    (Safaria & Saputra, 2009). Kutipan di atas menyatakan bahwa

  • 32

    kemarahan adalah emosi yang sukar untuk diterima maupun

    diungkapkan.

    Definisi kemarahan juga telah dipertegas oleh Chaplin, 2002

    menjelaskan bahwa marah adalah reaksi emosional aktif yang

    ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk

    ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan,

    kekecewaan, atau frustrasi. Emosi secara implisit disebabkan oleh

    reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah

    maupun yang verbal atau lisan. (Safaria & Saputra, 2009). Menurut

    pendapat ahli di atas, marah adalah reaksi emosional aktif yang

    dapat disebabkan oleh beberapa hal baik secara jasmaniah maupun

    somatis. Kemarahan juga didefinisikan oleh (Plutchik, 1994)

    sebagai “anger generates an impulse to retaliate, attack, or injure

    the source of the provocation.” Kutipan tersebut dapat diartikan

    bahwa kemarahan memiliki dorongan untuk membalas dendam,

    menyerang, atau melukai sumber provokasi.

    Berdasarkan definisi para ahli dapat dipahami bahwa

    kemarahan adalah emosi yang wajar dialami semua manusia ketika

    hal-hal tidak sesuai dengan yang mereka inginkan, atau ketika

    sesuatu berjalan tidak sesuai dengan harapan sehingga sulit bagi

    seseorang tersebut untuk menerimanya. Kemarahan dapat

    menimbulkan tindakan yang menyerang atau melukai orang lain.

  • 33

    b) Ciri-Ciri Emosi Marah

    Hamzah (Purwanto dan Mulyono, 2006) menjabarkan secara

    rinci tentang cirri-ciri yang dapat dilihat apabila seseorang marah,

    yaitu sebagai berikut (Safaria & Saputra, 2009):

    1) Ciri pada wajah, yaitu berupa perubahan warna kulit menjadi

    kuning pucat, tubuh terutama pada ujung-ujung jari bergetar

    keras, timbul buih pada sudut mulut, bola mara memerah, hidung

    kembang kempis, gerakan menjadi tidak terkendali, serta terjadi

    perubahan-perubahan lain pada fisik.

    2) Ciri pada lidah, yaitu dengan meluncurnya makian, celaan, kata-

    kata yang menyakitkan, dan ucapan-ucapan keji yang membuat

    orang berakal sehat merasa risih untuk mendengarnya

    3) Ciri pada anggota tubuh, seperti terkadang menimbulkan

    keinginan untuk memukul, merobek, bahkan membunuh. Jika

    amarah tersebut tidak terlampiaskan pada orang yang

    dimarahinya, kekesalannya akan berbalik kepada dirinya sendiri

    4) Ciri pada hati, di dalam hatinya akan timbul rasa benci, dendam,

    dan dengki, menyembunyikan keburukan, merasa gembira dalam

    dukanya, dan merasa sedih ats kegembiraannya, memutuskan

    hubungan dan menjelek-jelekkannya.

  • 34

    Ciri-ciri marah yang telah dinyatakan di atas adalah ciri-ciri

    marah yang dapat terlihat secara fisik. Orang yang sedang marah

    pada umumnya menunjukkan bahwa dirinya marah dari raut wajah,

    kata-kata atau ucapan, tindakan atau anggota tubuh atau pada hati

    dengan perasaan-perasaan benci atau perasaan yang bahkan

    lebih kompleks.

    c) Aspek-aspek Marah

    Menurut Beck (Purwanto dan Mulyono, 2006) marah meliputi

    beberapa aspek, yaitu aspek biopsikososial-kultural-spiritual

    sebagai berikut (Safaria & Saputra, 2009):

    1) Aspek Biologis

    Respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf

    otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan

    darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, wajah

    merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin

    meningkat. Di samping itu, ada seseorang yang tidak menyukai

    atau marah terhadap bagian tertentu pada tubuhnya, seperti

    perut buncit, betis terlalu besar, tubuh terlalu pendek sehingga

    dapat memotivasi seseorang untuk mengubah sikap terhadap

    aspek dirinya

  • 35

    2) Aspek Emosional

    Ketika seseorang merasa tidak berdaya, jengkel, ingin

    berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan,

    dan menuntut. Perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik

    pada diri sendiri perlu dikaji, seperti melarikan diri, bolos dari

    kerja, atau penyimpangan seksual.

    3) Aspek Intelektual

    Sebagian besar pengalaman kehidupan seseorang melalui

    proses intelektual. Peran pancaindra sangat penting untuk

    beradaptasi pada lingkungan, selanjutnya diolah dalam proses

    intelektual sebagai suatu pengalaman. Oleh karena itu, perlu

    diperhatikan cara seseorang marah, mengidentifikasi keadaan

    yang menyebabkan marah, bagaimana informasi diproses,

    diklasifikasikan, dan diintegrasikan

    4) Aspek Sosial

    Emosi marah sering merangsang kemarahan dari orang

    lain, dan menimbulkan penolakan dari orang lain. Sebagian

    orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik

    tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit hati.

    5) Aspek Spiritual

    Keyakinan, nilai, dan moral memengaruhi ungkapan marah

    seseorang. Aspek tersebut memengaruhi hubungan seseorang

  • 36

    dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang

    dimiliki dapat menimbulkan kemarahan dan dimanifestasikan

    dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Secara umum,

    seseorang menuntut kebutuhannya dari orang lain atau

    lingkungan sehingga timbul frustrasi apabila tidak terpenuhi dan

    selanjutnya timbul marah sehingga pengaruhnya dapat

    membuat menurunnya kualitas spiritual seseorang.

    Aspek-aspek kemarahan yang telah dinyatakan di atas

    menunjukkan bahwa perasaan marah yang dimiliki oleh orang

    diliputi oleh berbagai aspek biopsikososial yang

    mempengaruhinya. Aspek tersebut dapat berhubungan tidak

    hanya dengan diri sendiri, namun juga dengan lingkungannya.

    d) Penyebab Kemarahan

    Menurut Purwanto dan Mulyono (2006) penyebab orang marah

    sebenarnya dapat datang dari luar maupun dari dalam diri orang

    tersebut. Oleh karena itu, secara garis besar sebab yang menimbulkan

    marah terdiri atas faktor fisik dan faktor psikis sebagai berikut (Safaria

    & Saputra, 2009)

    1) Faktor fisik

    Sebab-sebab yang memengaruhi faktor fisik antara lain:

    a. Kelelahan yang berlebihan. Misalnya, perawat yang setiap hari

  • 37

    merawat dan melayani pasien, jika istirahatnya kurang maka

    perawat akan mudah merasa lelah. Dalam kondisi ini perawat

    akan lebih mudah marah dan mudah sekali tersinggung serta

    menjadi penyebab utama menurunnya kondisi fisik pada

    perawat sehingga rentan terhadap kecenderungan somatisasi

    b. Zat-zat tertentu yang dapat menyebabkan marah. Misalnya,

    jika otak kurang mendapat zat asam, orang tersebut lebih

    mudah marah

    c. Hormone kelamin pun dapat memengaruhi kemarahan

    seseorang. Kita dapat melihat dan membuktikan sendiri pada

    sebagian wanita yang sedang menstruasi, rasa marah

    merupakan ciri khasnya yang utama

    2) Faktor Psikis.

    Faktor psikis yang menimbulkan marah erat kaitannya

    dengan kepribadian seseorang. terutama sekali yang menyangkut

    apa yang disebut “self concept yang salah”, yaitu anggapan

    seseorang terhadap dirinya sendiri yang salah.

    Beberapa self-concept yang salah dapat dibagi sebagai

    berikut:

    a. Rasa rendah diri (MC= Mindwaardigheid Complex) yaitu

    menilai dirinya sendiri lebih rendah dari yang sebenarnya.

    Orang ini akan mudah sekali tersinggung karena segala

  • 38

    sesuatu dinilai sebagai yang merendahkannya, akibatnya

    wajar. Ia mudah sekali marah.

    b. Sombong (Superiority Complex) yaitu menilai dirinya sendiri

    lebih rendah dari yang sebenarnya. Jadi, merupakan sifat

    kebalikan dari sifat dari rasa rendah diri. Orang yang sombong

    terlalu menuntut banyak pujian bagi dirinya.

    Pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa faktor yang dapat

    menyebabkan seseorang merasa marah dapat disebabkan oleh fisik

    maupun psikis. Mulai dari kelelahan, zat terlarang, atau hormon yang

    termasuk dalam faktor fisik hingga konsep diri yang salah dalam

    faktor psikis dapat menyebabkan seseorang marah.

    Menurut Edy Zaqeus dalam situs http://www.pembelajar.com,

    (Safaria & Saputra, 2009) secara garis besar rasa marah bisa

    disebabkan oleh faktor internal dan eksternal:

    a. Faktor internal antara lain menyangkut self-control seseorang,

    pola pandang yang dianutnya, serta kebiasaan-kebiasaan yang

    ditumbuhkannya dalam merespon suatu permasalahan

    b. Faktor eksternal antara lain adalah situasi-situasi di luar diri

    seseorang yang memancing respons emosional, latar belakang

    keluarga, serta budaya dan lingkungan sekitar.

    Faktor penyebab kemarahan juga dinyatakan oleh Edy

    Zaques seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, faktor kemarahan

    http://www.pembelajar.com/

  • 39

    telah dibagi menjadi faktor internal yang ada didalam diri sendiri

    seperti self control, pola pandang yang ia anut, serta faktor eksternal,

    yang disebabkan dari luar dirinya, seperti seseorang yang

    memancing respons emosional, dan lingkungan. Faktor yang

    mengganggu seseorang tersebut dapat membuatnya marah.

    e) Pengekspresian Kemarahan

    Pengungkapan emosi marah merupakan upaya

    mengomunikasikan status perasaannya ketika dalam kondisi marah

    dan bagaimana merespons status perasaannya ketika dalam kondisi

    marah dan bagaimana merespons emosi marah yang dirasakan.

    Respons terhadap perasaan marah dapat diperlihatkan melalui

    perubahan raut wajah dan gerakan tubuh yang menyertai emosi,

    mengungkapkan, menyampaikan perasaannya kepada orang lain,

    dan menentukan bagaimana perasaan orang lain. Ketika individu

    tidak mempunyai saluran untuk mengungkapkan kemarahannya,

    maka ia akan mengungkapkannya melalui sakit (Safaria & Saputra,

    2009)

    Menurut hasil penelitian Institute for Mental Health Initiatives

    (www.angermgmt.com) menjelaskan bahwa marah bisa berarti

    sehat, bahkan lebih sehat ketimbang memendam perasaan marah

    (anger in), keseringan menahan marah tidak dianjurkan karena justru

    http://www.angermgmt.com/http://www.angermgmt.com/

  • 40

    berisiko terserang hipertensi. Kunci untuk marah yang sehat adalah

    pengendalian kemarahan (anger control) dengan porsi yang tidak

    berlebihan, tanpa itu semua marah justru menjadi boomerang karena

    orang yang marahya tidak terkendali dan selalu mengungkapkan

    kemarahannya dengan meledak-ledak dan meluap-luap (anger out)

    berpeluang menderita stroke dua kali lebih besar dibandingkan

    dengan yang dapat mengendalikan marahnya. Emosi yang tidak

    terkendali atau tidak tersalurkan akan merusak fungsi organ tubuh,

    mudah terserang penyakit ketegangan otot atau kekacauan sistem

    metabolism (Safaria & Saputra, 2009)

    Berikut adalah bentuk kemarahan, baik kemarahan secara sehat

    dan tidak sehat (Blum, 2005):

    1. Kemarahan yang Sehat (Healthy Anger)

    Kemarahan yang sehat (healthy anger) dapat

    menyelesaikan masalah bagi individu. Ketika kemarahan

    diungkapkan dengan cara ini memberikan kesempatan untuk

    menyelesaikan masalah. Hal ini adalah cara yang positif untuk

    menyelesaikan masalah. Bahkan meskipun diungkapkan dengan

    kuat, hal ini tidak memperburuk orang lain dan sudut pandang

    mereka.

    2. Kemarahan yang Tidak Sehat (Unhealthy Anger or Rage)

    Kemarahan yang diungkapkan dengan cara yang tidak

  • 41

    sehat akan merusak relasi dengan orang lain. Kemarahan ini

    agresif, destruktif, dan membiarkan orang lain merasa tersiksa

    dan tersakiti.

    Kemarahan adalah hal yang wajar dirasakan oleh manusia,

    namun, bagaimana seseorang merespon perasaan marah dalam

    dirinya adalah hal yang penting. Pendapat ahli di atas menyatakan

    bahwa terdapat dua cara untuk mengekspresikan kemarahan,

    yaitu dengan cara yang sehat yaitu dengan cara tidak menahan

    amarahnya, namun menyelesaikan masalahnya dengan baik dan

    tidak sehat yang ditunjukkan dengan agresifitas dan menunjukkan

    tindakan destruktif yang merugikan diri sendiri serta orang lain.

    Spielberger (1998) mengatakan bahwa cara

    mengekspresikan kemarahan tiap individu berbeda-beda. Hal

    tersebut dibedakan menjadi tiga macam yaitu anger out, anger in,

    dan anger control (Safaria & Saputra, 2009)

    1. Anger in

    Yaitu pengungkapan emosi marah yang dirasakan oleh

    individu, cenderung ditekan ke dalam dirinya tanpa

    mengekspresikannya ke luar. Misalnya: ketika sedang marah,

    seseorang lebih memilih diam dan tidak mau menceritakannya

    pada siapapun atau tidak menegur orang yang membuatnya

    menjadi marah. Kondisi seperti ini jika berkepanjangan akan

  • 42

    member dampak negatif bagi diri sendiri dan mengganggu

    kenyamanannya saat berinteraksi dengan orang yang

    membuatnya merasa marah.

    2. Anger out

    Anger out adalah mengekspresikan perasaan marah

    dalam perilaku motorik dan verbal yang agresif serta ditujukan

    kepada orang lain atau benda lain di lingkungannya

    (Spielberger & Reheiser, 2010), dapat pula dikatakan sebagai

    reaksi ke luar/objek yang dimunculkan oleh individu ketika

    dalam keadaan marah atau reaksi yang dapat diamati secara

    umum. Kondisi seperti ini bisa menjadi perbuatan merusak,

    misalnya memukul atau menendang sesuatu yang ada di

    dekatnya, namun setelah itu dia akan merasakan kelegaan

    karena perasaan marah yang dirasakan sudah terpuaskan.

    Anger out berkaitan dengan ketidakmampuan individu

    mengekspresikan emosinya secara konstruktif dan asertif.

    Akan tetapi, mereka mengekspresikan emosinya dalam bentuk

    tindakan agresif dan merusak.

    3. Anger control

    Anger-control dapat dianggap sebagai strategi coping

    yang aktif untuk menyelesaikan dan mengelola kemarahan

    menggunakan perilaku dan aktifitas non-agresif (Deffenbacher,

  • 43

    Oetting, Lynch, & Morris, 1996; Schwenkmezger, Hodapp, &

    Spielberger, 1992) (Spielberger & Reheiser, 2010)

    Kemampuan individu untuk bisa mengontrol atau melihat sisi

    positif dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha

    konsisten menjaga sikap yang positif walau menghadapi

    situasi yang buruk. Misalnya, mencari solusi yang baik atau

    tepat ketika menghadapi suatu persoalan agar tidak merugikan

    diri sendiri dan orang lain.

    Uraian yang dikutip dari Spielberg di atas menunjukkan bahwa

    terdapat tiga cara manusia mengekspresikan kemarahannya. Anger

    In, yaitu dengan cara menekan atau menahan kemarahannya tanpa

    mengekspresikannya keluar. Selanjutnya terdapat Anger Out,

    menurut ahli, pengekspresian kemarahan dengan cara ini dilakukan

    dengan meluapkan kemarahannya terhadap benda/objek di

    sekitarnya. Meskipun seseorang meluapkan perasaan marahnya,

    namun perasaan marah yang diluapkan berbentuk destruktif

    sehingga merugikan dirinya dan orang lain. Pengekspresian

    kemarahan yang terakhir adalah Anger Control, yaitu ketika

    seseorang mampu mengendalikan kemarahannya serta

    mengungkapkan perasaan kemarahannya secara asertif dan

    konstruktif. Berdasarkan tiga cara mengekspresikan kemarahan

    yang telah dinyatakan, cara yang baik dalam mengekspresikan

  • 44

    kemarahan adalah Anger Control, karena perasaan kemarahan

    yang dimiliki tidak ditahan, namun juga tidak dikeluarkan secara

    meledak-ledak, namun dikendalikan.

    3. Anak

    a) Perkembangan masa kanak-kanak pertengahan dan akhir

    Akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia

    enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara

    seksual. Permulaan akhir masa kanak-kanak ditandai dengan

    masuknya anak ke kelas satu. Masuk kelas satu merupakan peristiwa

    penting bagi kehidupan setiap anak sehingga dapat mengakibatkan

    perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku (Hurlock, 2003). Pada

    masa ini, anak-anak akan memiliki berbagai pengalaman baru serta

    menjumpai perasaan yang akan mereka rasakan pertama kali,

    karena Sekolah Dasar adalah awal yang baru dalam kehidupan

    mereka setelah beranjak dari Taman Kanak-Kanak.

    Pertumbuhan di masa kanak-kanak pertengahan dianggap

    melambat. Walaupun perubahan dari hari ke hari tidak begitu nyata,

    akan tetapi mereka terus tumbuh mencapai perbedaan yang

    mengejutkan antara usia 6 tahun, yang masih merupakan anak kecil,

    dan 11 tahun, yang banyak di antara mereka pada saat ini yang

    berubah manjadi dewasa (Papalia, Old, & Feldman, 2008).

    Pertumbuhan yang dialami oleh anak tentu sangat berpengaruh

  • 45

    terhadap emosi, serta sikap mereka karena pertumbuhan tersebut

    sangat dapat terlihat ketika mereka mencapai usia di akhir sekolah

    dasar.

    Selama usia sekolah dasar, anak-anak bertambah tinggi sekitar

    2 hingga 3 inci setiap tahunnya. Ketika berusia 11 tahun, anak

    perempuan biasanya memiliki ketinggian 4 kaki inci, sementara

    laki-laki biasanya memiliki ketinggian 4 kaki 9 inci. Di masa kanak-

    kanak pertengahan dan akhir, anak-anak mengalami penambahan

    berat tubuh sebesar 5 hingga 7 pon setiap tahunnya. (Santrock,

    2012). Pertumbuhan secara fisik ini adalah salah satu pertumbuhan

    yang akan dialami oleh anak yang baru memasuki Sekolah Dasar.

    Keterampilan motoris terus meningkat pada masa kanak-kanak

    pertengahan (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Hal ini juga telah

    diungkapkan oleh Santrock bahwa keterampilan motorik anak

    menjadi lebih halus dan terkoordinasi dibandingkan di masa kanak-

    kanak awal. Anak-anak lebih tangkas dalam menggunakan

    tangannya. (Santrock, 2012). Dengan pertumbuhan fisik yang

    dialami, maka kemampuan motorik anak juga akan terasah, anak

    akan lebih terampil dalam bermain, serta berolah raga.

    Mengacu pada Piaget, pada usia 7 tahun, seorang anak

    memasuki tahap operasional konkret. Dinamakan demikian karena

  • 46

    pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk

    memecahkan masalah kongkret (aktual). Anak dapat berpikir lebih

    logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat

    mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam

    pertimbangan. Walaupun demikian, mereka masih dibatasi untuk

    berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada saat itu saja. (Papalia,

    Old, & Feldman, 2008:435). Pada tahap operasional kongkret anak

    dapat berpikir logis mengenai situasi yang akan dihadapinya.

    Anak yang berada di tahap operasional dapat melakukan

    banyak tugas pada level yang lebih tinggi daripada yang dapat

    mereka lakukan pada tahap pra-operasional. Mereka memiliki

    pemahaman yang lebih baik tentang konsep spasial, kausalitas,

    kategorisasi, penalaran konduktif atau induktif, dan konservasi.

    (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Konsep yang mereka miliki akan

    mereka gunakan dan terapkan dalam kehidupan dan interaksi sosial

    yang dilakukan sehari-hari.

    Kemampuan bahasa terus berkembang sepanjang masa

    kanak-kanak pertengahan. Anak-anak sekarang makin mampu

    memahami dan menginterpretasi komunikasi oral dan tulisan dan

    membuat diri mereka mudah dipahami. Seiring dengan meningkatnya

    kosa kata pada tahun-tahun bersekolah, penggunaan kata kerja yang

    tepat untuk sebuah aksi semakin meningkat (memukul, menampar,

  • 47

    menyambar, meninju). Anak belajar bukan hanya menggunakan

    banyak kata tetapi juga memilah kata yang benar untuk penggunaan

    tertentu (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Kosakata yang kian

    bertambah menyebabkan anak mampu mengekspresikan perasaan

    dan keinginan mereka dengan kata-kata, karena perkembangan

    bahasa akan meningkat pada tahun-tahun sekolah.

    Pada masa anak masuk ke kelas satu, anak akan menjumpai

    berbagai peristiwa yang menyebabkan perubahan perilaku, sikap,

    serta nilai. Lingkungan yang baru dengan proses sosialisasi yang

    baru akan menyebabkan perubahan dari dalam diri anak, meskipun

    telah dinyatakan oleh Papalia (2008) bahwa perubahan anak

    dikatakan melambat. Dengan pertumbuhan fisik yang meningkat

    pada masa Sekolah Dasar seperti yang telah dinyatakan oleh

    Santrock (2012), hal ini mempengaruhi keterampilan motoris yang

    meningkat. Anak cenderung lebih aktif serta lebih terampil dalam

    bermain dan beraktifitas. Pada masa anak-anak, perkembangan

    kognitif juga berkembang seperti ketika anak mampu memecahkan

    permasalahan dengan berpikir logis, serta anak sudah mampu

    melakukan penalaran terhadap setiap situasi yang dijumpai olehnya.

    Berdasarkan uraian dari pernyataan Papalia (2008), pada masa ini

    kemampuan bahasa sudah berkembang sehingga anak mampu

  • 48

    mengekspresikan dirinya setelah melakukan penalaran logis terhadap

    situasi yang sedang dihadapinya.

    b) Emosi pada masa kanak-kanak pertengahan dan akhir

    Ketika usia anak bertambah, mereka menjadi lebih peka

    terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka

    dapat lebih baik mengatur ekspresi emosional mereka dalam situasi

    sosial, dan mereka dapat merespon tekanan emosional orang lain

    (Saarni et al., 1998) (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Anak yang

    mampu mengatur ekspresi emosional mereka dalam situasi sosial

    cenderung mampu untuk menempatkan dirinya dalam situasi yang

    mereka hadapi.

    Anak segera mengetahui bahwa ungkapan emosi terutama

    emosi yang kurang baik tidak diterima oleh teman-teman sebaya.

    Oleh karena itu, anak mempunyai keinginan yang kuat untuk

    mengendalikan ungkapan-ungkapan emosinya (Hurlock, 2003).

    Karena mereka sudah memasuki tahap operasional konkret,

    pemahaman anak terkait ungkapan emosi yang dianggap kurang baik

    akan membuat anak mengendalikan ungkapan-ungkapan emosinya.

    Pada akhir masa kanak-kanak, ada waktu di mana anak sering

    mengalami emosi yang hebat, karena emosi cenderung kurang

    menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadi

    periode ketidakseimbangan, yaitu saat di mana anak menjadi sulit

  • 49

    dihadapi. Keadaan lingkungan yang menyebabkan meningginya

    emosi juga beragam dan serius. Karena penyesuaian diri pada setiap

    situasi baru selalu menyusahkan anak, meningginya emosi hampir

    selalu dialami oleh semua anak pada saat masuk sekolah. (Hurlock,

    2003:155). Ketika masuk sekolah untuk pertama kali, anak akan

    dihadapkan dengan situasi, lingkungan, serta kebiasaan-kebiasaan

    baru yang membuat mereka kesulitan untuk menyesuaikan diri

    sehingga emosi sering meninggi pada masa masuk sekolah awal.

    Santrock menyatakan bahwa kadang-kadang, sebagian besar

    anak sulit diatur secara emosi selama masa sekolahnya. Sebagian

    kecil dari mereka sangat serius masalahnya dan berlangsung terus-

    menerus sehingga mereka dikatakan memiliki gangguan emosi atau

    perilaku (Santrock, 2012). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa

    permasalahan emosi yang dimiliki harus segera diatasi karena bila

    tidak, anak akan mengalami gangguan emosi atau perilaku yang

    lebih serius.

    Ledakan-ledakan emosi ini merupakan perilaku yang tidak

    disengaja atau dengan kata lain ledakannya merupakan suatu

    refleksi atas stimulus yang diberikan atau yang diterima anak. Marah,

    takut, sedih, dan tertawa terbahak-bahak merupakan suatu proses

    pembelajaran untuk menuju perkembangan selanjutnya. Pada masa

    ini sangat menentukan bagi anak untuk dapat memproses

  • 50

    kematangan dirinya menjadi dewasa atau bisa dikatakan menjadi

    dirinya. Anak-anak perlu memanfaatkan, mengontrol, dan

    mengendalikan emosinya, guna menghadapi masa-masa selanjutnya

    yang sangat membutuhkan proses emosi yang sangat berat. Pada

    masa ini, latihan-latihan emosi sangat diperlukan untuk dapat

    memanfaatkan, mengontrol, dan mengendalikannya. (Baradja, 2005).

    Segala emosi, baik yang menyenangkan maupun yang kurang

    menyenangkan tidak salah untuk dimiliki dan dirasakan. Namun,

    sejak kecil anak harus terus diberikan latihan agar anak mampu

    mengendalikan perasaan-perasaannya agar perasaan yang ia miliki

    terluapkan secara konstruktif.

    Semakin bertambah usia anak, maka anak dianggap mampu

    mengendalikan emosinya serta lebih peka terhadap perasaan oang

    lain. Anak sudah mengetahui respon yang tidak menyenangkan

    sehingga anak juga memiliki keinginan yang kuat untuk

    mengendalikan emosinya seperti yang telah diuraikan oleh Hurlock

    (1980). Namun, pada masa ini pula anak yang dihadapkan dengan

    situasi baru sehingga anak yang memiliki kesulitan dalam

    penyesuaian diri seringkali menunjukkan lonjakan emosi negatif yang

    hebat. Baradja (2005) telah menyatakan bahwa ledakan emosi dapat

    merupakan refleksi atas stimulus yang telah diterima oleh anak

    namun anak perlu diajarkan cara mengendalikan emosi dan

  • 51

    memanfaatkan emosinya dengan baik. Anak yang sudah mampu

    melakukan penalaran secara logis diharapkan dapat mengendalikan

    emosi negatifnya dan mampu mengungkapkan emosi tersebut

    dengan cara yang baik dalam lingkungannya. Ketika keterampilan

    motorik anak sudah berkembang, anak akan memiliki beragam

    ketangkasan fisik dan meskipun anak sudah dapat melakukan

    berbagai kegiatan dengan kekuatan fisiknya namun pengungkapan

    emosi yang dilakukan oleh anak tidak berbentuk kekerasan fisik yang

    dapat melukai dan merusak lingkungan sekitarnya.

    B. Hasil Penelitian yang Relevan

    Penyusunan skripsi sangat memerlukan data pendukung yang

    relevan mengenai Play Therapy, serta kemarahan atau anger. Hal ini

    diperlukan agar mempermudah peneliti untuk melihat sejauh mana

    penggunaan Play Therapy dapat diterapkan dalam manajemen emosi

    anak.

    Penelitian eksperimen telah dilakukan oleh Mawardi pada tahun

    2015 dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Adlerian Play Therapy

    untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Terisolir (Single Subject

    Research 1 Orang Siswa Kelas V SDN Keroncong Tangerang)”.

    Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan selama 5 minggu telah

    diperoleh hasil bahwa saat minggu pertama sampai minggu ketiga ketika

  • 52

    intervensi, subjek penelitian belum menunjukkan adanya perubahan dari

    target penelitian yaitu peningkatan keterampilan sosial. Namun, di minggu

    ke empat mulai adanya perubahan yang cukup signifikan terutama pada

    aspek hubungan dengan teman sebaya. Berikut adalah rekapitulasi

    peningkatan keterampilan sosial yang dilakukan oleh peneliti.

    Tabel 2.1 Rekapitulasi Peningkatan Keterampilan Sosial menggunakan penerapan

    Adlerian Play Therapy

    Rata-Rata

    Hubungan Teman Sebaya

    Manajemen Diri

    Akademik Kepatuhan Ketegasan

    A (baseline) 14 9.5 10.75 15.75 10

    B (Intervensi) 22.1 12.7 14.4 19.6 14

    Peningkatan Keterampilan

    Sosial 8.1 3.2 3.65 3.85 4

    Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas dapat diketahui bahwa

    berdasarkan 5 aspek keterampilan sosial yang diteliti, subjek penelitian

    memiliki peningkatan dalam aspek “Hubungan Teman Sebaya” tertinggi

    sebesar 8.1. Selanjutnya diikuti oleh aspek “Ketegasan” sebesar 4, lalu

    dalam aspek “Kepatuhan” sebesar 3.85, “Akademik” sebesar 3.65 serta

    “Manajemen Diri” sebesar 3.2.

    Penelitian penerapan Play Therapy juga telah dilakukan oleh

    Edisaputra, Natalia, dan Budiastuti tahun 2013 yang berjudul “Effect Of

    Playing Therapy Using Story Telling Technique To Anxiety Caused

    Byhospitalization In Preschool Children At Menur Ward Of Dr. Soeradji

  • 53

    Tirtonegoro Hospital Klaten” pada tahun 2012. Berdasarkan hasil

    penelitian dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan akibat hospitalisasi

    sebelum diberikan terapi bermain dengan teknik bercerita (pretest)

    berada pada tingkat kecemasan ringan sebanyak 14 responden, sedang

    sebanyak 13 responden, panik sebanyak 0 responden, begitu pula

    dengan tingkat kecemasan tidak ada sebanyak 0 responden. Setelah

    diberikan terapi bermain (posttest) dapat dilihat bahwa tingkat

    kecemasan paling tinggi pada tingkat tidak ada sebesar 21 responden,

    serta ringan sebesar 9 responden.

    Selanjutnya, penelitian juga dilakukan oleh Widyasari tahun 2014

    pada skripsinya tentang profil Agresitifitas siswa-siswi kelas VII SMA

    Hutama Bekasi, yang pada hasil pengolahan perindikator menunjukkan

    secara berurutan persentase indikator agresivitas yang sering

    ditunjukkan oleh siswa kelas VII yaitu kemarahan (anger) 54,84%, fisik

    (physical aggression) 35, 48%, permusuhan (hostility) 32,26%, dan

    verbal (verbal aggression) 22, 58%.

    Berdasarkan penelitian relevan yang telah disebutkan di atas,

    dapat disimpulkan bahwa Play Therapy sesuai untuk permasalahan

    emosional seperti anxiety, serta keterampilan sosial pun meningkat

    setelah diberikan intrevensi menggunakan Play Therapy. Sedangkan

    berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kemarahan adalah

    indikator agresivias tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa-siswi

  • 54

    SMA Hutama memiliki kesulitan dalam mengendalikan amarahnya

    sehingga memiliki kecenderungan untuk menunjukkan agresivitas.

    Pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah

    penerapan Cognitive Behavioral Play Therapy untuk Anger Expression

    pada anak. Berbeda pada hasil penelitian relevan sebelumnya yang

    menggunakan Play Therapy untuk kecemasan serta keterampilan

    sosial, pada penelitian ini peneliti akan menerapkan penggunaan

    Cognitive Behavioral Play Therapy dalam aspek kemarahan, yang

    menjadi indikator agresivitas tertinggi pada penelitian sebelumnya.

    Keistimewaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya, kali ini

    peneliti akan fokus terhadap segala distorsi kognitif yang dimiliki oleh

    anak yang menyebabkan anak kesulitan untuk mengekspresikan

    kemarahannya secara konstruksif. Berbeda dengan penelitian

    sebelumnya yang hanya menghilangkan perasaan inferioritas dalam

    Adlerian Play Therapy terhadap siswa terisolir, peneliti akan mengubah

    segala distorsi kognitif yang dimiliki oleh anak yang menyebabkan anak

    memiliki perasaan marah. Penggunaan CBPT akan diterapkan karena

    sehubungan dengan pernyataan oleh Fazio Griffith & Ballard (2014)

    bahwa penyimpangan perilaku dapat disebabkan oleh distrosi kognitif,

    sedangkan Adlerian Play Therapy lebih terfokus terhadap perasaan

    inferioritas yang dimiliki oleh anak.

  • 55

    C. Kerangka Berpikir

    Dalam perkembangan emosi anak, kemarahan masih sering

    menjadi permasalahan, meskipun marah bukanlah hal yang salah atau

    buruk, namun cara anak mengekspresikan kemarahan tersebut terkadang

    masih sering menjadi masalah dalam setting sekolah. Pengekspresian

    kemarahan sering diungkapkan dengan cara yang kasar atau

    menunjukkan perilaku yang agresif.

    Beberapa anak mungkin memiliki kesulitan untuk mengekspresikan

    kemarahannya, sehingga kemarahan yang mereka rasakan mereka

    pendam, atau bahkan diluapkan secara frontal dan agresif. Luapan

    kemarahan yang diekspresikan secara agresif menunjukkan bahwa anak

    tidak mampu mengontrol kemarahan mereka dengan mengungkapkan

    kemarahannya dengan cara yang konstruktif. Ada beberapa cara

    mengungkapkan kemarahan yang telah disebutkan dalam kajian teoritis,

    yaitu anger in, anger out, dan anger control. Cara yang baik untuk

    mengungkapkan kemarahan adalah bagaimana manusia dapat

    mengontrol kemarahan sehingga tidak diungkapkan melalui cara yang

    destruktif, namun konstruktif dan tidak merugikan dirinya dan orang lain.

    Penting bagi anak untuk memiliki kemampuan mengungkapkan

    emosinya dengan baik, karena bila anak terus dibiarkan tidak memiliki

    kemampuan pengelolaan kemarahan yang baik, perilaku agresif anak

    akan terbawa hingga remaja, dan dewasa dengan bentuk agresivitas

  • 56

    yang mungkin akan jauh lebih kompleks sehingga perlu bagi lingkungan

    untuk peduli dan mencegah berkembangnya perilaku tersebut hingga

    dewasa. Hal ini juga telah didukung oleh pernyataan dari para ahli bahwa

    anak harus memiliki kemampuan untuk menggunakan strategi inisiatif-diri

    untuk mengarahkan kembali perasaan-perasaan, sehingga mereka lebih

    mampu mengelola emosinya dengan menggunakan strategi kognitif,

    seperti menenangkan diri ketika sedang marah.

    Telah disebutkan bahwa penting bagi manusia untuk

    mengekspresikan emosinya, baik emosi positif dan negatif, karena bila

    emosi tidak diungkapkan akan menimbulkan kecenderungan untuk

    timbulnya kembali perasaan dan emosi negatif tersebut di masa depan,

    atau bahkan emosi negatif akan memberi dampak lain seperti stress,

    sakit, bahkan depresi berat. Sehingga penting bagi setiap orang untuk

    mengungkapkan emosinya, namun, hal yang paling penting adalah

    pengungkapan emosi yang diharapkan adalah pengungkapan emosi yang

    konstruktif, serta bersifat membangun, tanpa merusak suatu hubungan,

    atau lingkungan.

    Pengungkapan emosi yang konstruktif akan membawa anak ke

    hubungan yang lebih baik dengan orang lain, orang tua, guru, teman, dan

    lingkungan sekitar. Hal tersebut juga tentu akan membawa kebaikan

    dalam diri anak karena tanpa merusak barang dan lainnya anak tetap

    mengungkapkan emosinya, dalam arti tidak menekan emosi tersebut atau

  • 57

    menolak perasaan marah tersebut dalam dirinya karena perasaan marah

    bukanlah perasaan yang salah. Sedangkan, pengungkapan emosi yang

    destruktif memiliki sifat menghancurkan serta lebih banyak membawa

    dampak negatif dalam diri anak, karena salah satu pengungkapan emosi

    destruktif adalah menunjukkan perilaku agresif yang tidak diterima oleh

    lingkungan, perilaku agresif juga dapat dikatakan sebagai akar dari

    kekerasan, penganiayaan, bullying, bahkan tawuran. Maka dari itu, tentu

    anak perlu diajarkan bagaimana mengontrol emosinya sehingga mereka

    dapat meluapkan emosi tersebut secara konstruktif.

    Anak memerlukan intervensi yang tepat dilakukan oleh terapis

    sekolah seperti psikolog sekolah, konselor atau guru BK, dan lain

    sebagainya untuk menghilangkan perilaku agresif yang kerap ditunjukkan

    anak untuk meluapkan kemarahannya. Peran terapis sekolah sangat

    penting bagi isu kemarahan pada anak, karena tidak hanya merugikan diri

    anak sendiri, namun orang lain. Untuk menghilangkan perilaku agresif

    yang kerap ditunjukkan oleh anak ketika sedang marah, maka guru BK

    memerlukan terapi yang sesuai untuk anak-anak yang masih sangat

    menjadikan permainan sebagai dunianya maka penggunaan Play

    Therapy dirasa sesuai untuk mengintervensi salah satu bentuk

    permasalahan yang dimiliki oleh anak yaitu Anger Expression.

    Bermain adalah hal yang semua anak sukai, baik bermain di luar

    rumah, atau di dalam rumah, namun pada intinya, semua anak suka

  • 58

    bermain. Anak usia sekolah dasar akan menyukai permainan yang

    mereka anggap baru, maka guru BK perlu memanfaatkan permainan

    untuk mengubah perilaku mereka agar memiliki kontrol kemarahan yang

    baik sehingga tidak mengekspresikan emosi kemarahan dengan cara

    yang destruktif.

    Ada banyak permainan yang dapat dilakukan untuk anak yang

    memiliki isu atau permasalahan dalam kemarahan dengan berbagai cara

    maka dari itu, guru BK perlu memiliki kreatifitas untuk memilih permainan

    yang sesuai dengan anak usia sekolah dasar. Anak diharapkan mampu

    mengembangkan keterampilan sosial mereka dengan menunjukkan sikap

    tidak setuju dan kemarahan dengan cara yang sehat, serta tidak

    menghancurkan diri sendiri dan orang lain, bahkan bersifat membangun.

    Peneliti akan menggunakan Cognitive Behavioral Play Therapy

    untuk mengendalikan pengekspresian kemarahan yang bersifat destruktif

    bagi anak, karena anak perlu mengembangkan dirinya dan menerima

    semua emosi dan perasaan sebagai hal yang wajar dalam dirinya karena

    memang hal tersebut adalah hal yang dialami oleh semua orang,

    sehubungan dengan hal tersebut anak perlu mengetahui cara

    mengarahkan emosi negatif khususnya kemarahan tersebut dengan

    pengekspresian yang lebih baik karena tentu anak perlu memiliki

    keterampilan pengelolaan kemarahan yang baik untuk dapat diterima

    dalam kehidupan bermasyarakat.

  • 59

    Cognitive Behavioral Play Therapy (CBPT) adalah terapi bermain

    yang merupakan turunan dari teori konseling Cognitive Behavioral

    Therapy yang dikembangkan oleh Aaron Beck. CBPT akan fokus

    terhadap distorsi kognitif yang dimiliki oleh anak. Sebagaimana telah

    disampaikan oleh seorang ahli bahwa kemarahan dapat dipengaruhi oleh

    kognisi, maka CBPT diharapkan mampu membantu anak untuk

    mengendalikan pengekspresian emosi marahnya.

    Berikut adalah visualisasi kerangka berpikir yang diajukan oleh

    peneliti:

    ANGER OUT

    KEMARAHAN

    PENERAPAN

    COGNITIVE

    BEHAVIORAL PLAY

    THERAPY

    ANGER

    CONTROL

    ANGER IN