bab ii kajian teoritis, kerangka berpikir, dan …repository.unj.ac.id/1792/6/9. bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
-
15
BAB II
KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN
HIPOTESIS
A. Kajian Teoritis
1. Cognitive Behavioral Play Therapy
a) Definisi Cognitive Behavioral Play Therapy
Bermain merupakan hal yang sangat esensial bagi anak.
Sutton-Smith (1971) telah menjelaskan pentingnya pengaruh
permainan pada anak sebagai: “Bermain bagi anak terdiri atas
empat mode dasar yang membuat kita mengetahui tentang dunia-
meniru, eksplorasi, menguji, dan membangun.” (Djiwandono,
2005). Berdasarkan pendapat dari Sutton-Smith, dapat diketahui
bahwa mode dasar yang terdapat dalam permainan tersebut
menunjukkan bahwa permainan sangat esensial dan penting bagi
anak.
Menurut Hidayat dan Siwabessy, play therapy adalah cara
untuk menlong anak yang bermasalah untuk menanggulangi
distress, menggunakan permainan sebagai media untuk
berkomunikasi antara anak dan terapis (Hidayat & Siwabessy,
2015). Menurut pendapat ahli di atas, dapat dikatakan bahwa
permainan akan mempermudah komunikasi antara anak dan
-
16
terapis karena permainan adalah alat komunikasi serta bahasa
anak.
Schaefer dan Drewes telah menyatakan bahwa “play is used
in therapy by play therapist and child clinicians as a means of
helping children deal with emotional and behavioral issues”.
(Drewes & Schaefer, 2009) Kutipan tersebut memiliki arti
bahwapermainan digunakan oleh terapis bermain dan dokter anak
untuk membantu anak dalam menghadapi permasalahan
emosional dan perilaku.
Asosiasi Play Therapy (1997) telah menyatakan pengertian
Play Therapy sebagai (Hidayat & Siwabessy, 2015):
“The systematic use of a theoretical model to establish an interpersonal process where in trained play therapists use the therapeutic powers of play to help clients prevent or resolve psychological difficulties and achieve optimal growth and development”
Kutipan di atas memiliki arti bahwa terapi bermain adalah
penggunaan model teoretis secara sistematik untuk membangun
proses interpersonal dimana terapis menggunakan kekuatan
terapeutik permainan untuk menolong klien dalam mencegah atau
menyelesaikan kesulitan psikologis serta mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang optimal.
Menurut Cattanach, Play Therapy adalah “…a way of helping troubled children cope with their distress, using play as the medium of communication between child and therapist” (Cattanach, 2003)
-
17
kutipan tersebut memiliki arti bahwa terapi bermain adalah cara
untuk membantu anak bermasalah untuk mengatasi kesulitannya,
dengan permainan sebagai sarana komunikasi antara anak dan
terapis.
Berdasarkan definisi para ahli dapat dipahami bahwa Play
Therapy adalah suatu bentuk intervensi responsif yang
menggunakan properti permainan dan dilakukan untuk
memperbaiki tingkah laku anak. Permainan adalah hal yang
esensial bagi kehidupan anak, serta permainan sebagai media
komunikasi bagi anak dimanfaatkan oleh para terapis untuk
membantu anak menghadapi permasalahan emosional dan
perilaku anak.
Cognitive Behavioral Play Therapy, menurut (Knell, 2009)
adalah:
“….developmentally appropriate treatment designed specifically for young children (3-8 years old). It is based on cognitive and behavioral theories of emotional development and psychopathology, and on interventions derived from these theories. CBPT is an offspring of Cognitive Therapy (CT) as conceptualized by Aaron Beck (1964, 1974)” Pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai treatment yang
tepat secara perkembangan yang dibentuk khusus bagi anak usia
dini (3-8 tahun). CBPT didasari oleh teori perilaku dalam
perkembangan emosional dan psikopatologi. CBPT adalah teori
-
18
yang diturunkan dari Teori Kognitif (CT) yang dikonseptualisasikan
oleh Aaron Beck.
Fokus penerapan CBT juga telah diungkapkan oleh Fazio-
Griffith & Ballard: “the focus of CBT is deficits or distortions in
thinking, which are postulated to interfere with appropriate social
skills.” (Fazio-Griffith & Ballard, 2014). Kutipan tersebut
menyatakan bahwa CBT fokus terhadap kekurangan atau
penyimpangan dalam pemikiran yang mempengaruhi dan
mengganggu keterampilan sosial yang tepat. Berdasarkan
pendapat di atas dapat pula disimpulkan bahwa Cognitive
Behavioral Play Therapy yang merupakan turunan dari CBT fokus
terhadap pemikiran yang mempengaruhi keterampilan sosial yang
dimiliki oleh anak.
Menurut Zellawati, CBPT berpandangan bahwa anak memiliki
pikiran dan perasaan yang sama seperti orang dewasa yaitu
ditentukan melalui bagaimana anak berfikir tentang diri dan
dunianya. Model ini digunakan untuk menangani anak dengan
kepercayaan irrasional yang membawanya keluar dari perilaku
maladaptif (Zellawati, 2011). Berdasarkan pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa CBPT akan membantu anak untuk mengubah
perilaku maladaptifnya dengan cara fokus terhadap distorsi kognitif
yang dimilikinya.
-
19
Berdasarkan uraian para ahli yang telah dijabarkan di atas
dapat disimpulkan bahwa CBPT yang merupakan turunan dari CBT
yang dicetuskan oleh Aaron Beck fokus terhadap kognitif yang
dimiliki oleh anak yang menyebabkan anak menunjukkan perilaku
maladaptif. Ahli percaya bahwa perilaku yang ditunjukkan
dipengaruhi oleh kognitif sehingga diperlukkan adanya terapi
kognitif-perilaku agar anak memiliki keterampilan sosial yang baik.
b) Asas Cognitive Behavioral Play Therapy
Knell (1994) menggambarkan asas-asas dari Cognitive
Behavioral Play Therapy. Asas ini berdasarkan atas asas teori
kognitif behavior orang dewasa yang dikonseptualisasikan oleh
Aaron Beck. Asas-asas berikut dapat diaplikasikan terhadap CBPT
bersama anak-anak (Knell, 2009) :
1) CT berlandaskan pada model kognitif dari gangguan emosional.
Model ini didasarkan para kognisi, emosi, perilaku, fisiologi yang
saling mempengaruhi, menyatakan bahwa perilaku dimediasi
melalui proses verbal. Perilaku maladaptive atau yang
mengganggu dianggap sebagai ekspresi pemikiran irasional. CT
dengan anak-anak akan lebih berfokus pada tidak adanya
pemikiran adaptif (defisit) dibandingkan penyimpangan kognitif
itu sendiri.
-
20
2) CT berlangsung singkat dan memiliki waktu terbatas. Menjaga
treatment dengan singkat dan dengan waktu yang terbatad
seringkali menjdi treatment pilihan untuk anak. Hal ini
memungkinkan treatment untuk fokus pada bantuan segera
dalam kesulitannya, menyediakan strategi penyelesaian
masalah dan keterampilan coping, secara dengan cepat
mengembalikan anak kepada tingkat perkembangan anak
optimal sebelumnya.
3) Hubungan terapeutik yang dalam adalah kondisi yang perlu ada
dalam Cognitive Therapy yang efektif. CT bersandar pada
membangun hubungan terapeutik yang hangat yang didasarkan
pada kepercayaan dan penerimaan. Hubungan terapeutik yang
positif adalah prediktor yang paling baik pada hasil treatment.
4) CT terstruktur dan mengarahkan. CT menyediakan format yang
terstruktur dan mengarahkan yang memungkinkan pengaturan
agenda dan fokus pada tujuan yang spesifik. Dengan anak,
struktur seperti itu selalu diseimbangkan dengan permainan
spontan dan tidak terstruktur. Keseimbangan ini halus, namun
pentingnya aktifitas terstruktur dan yang mengarahkan dalam
CBPT sangat penting untuk keberhasilannya.
5) CT berlandaskan model edukasi. Model CT berpendapat bahwa
gejala berkembang karena seorang invidu telah belajar cara
-
21
yang tidak pantas untuk menghadapi permasalahan. Dengan
anak-anak, mengajarkan alternatif dapat menjadi sangat
penting, karena keterampilan coping positif yang dapat
dihasilkan dalam diri diluar jangkauan anak tanpa modeling dan
bimbingan
6) CT berorientasi pada masalah. Anak sering dibawa untuk
melakukan treatment dengan permasalahan yang spesifik yang
membuat orangtuanya mencari bantuan.
Beberapa asas yang dapat diterapkan pada CBPT berikut ini
memerlukan adanya modifikasi yaitu;
7) CT menggunakan metode Socrates. CT menggunakan
pertanyaan sebagai penuntun dan menghindari saran dan
penjelasan secara langsung. Pertanyaan seperti “Apa buktinya?
Apa yang dapat kamu pelajari dari kejadian ini” tidak efektif
diterapkan pada anak, namun pertanyaan open-ended dapat
sangat membantu. Sebagai contoh “Saya membayangkan
bagaimana perasaanmu saat itu” akan mendapatkan respon
dari anak.
8) Teori dan teknik CT bersandar pada metode induktif. Orang
dewasa dapat diajarkan pendekatan ilmiah terhadap
masalahnya, dengan kepercayaan yang dilihat sebagai
hipotesis yang harus diperbaiki berdasarkan data baru.
-
22
Melakukan eksperimen untuk menguji kepercayaan tersebut
adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam
terapi kognitif. Karena uji hipotesis tidak mungkin dilakukan
untuk anak kecil, pekerjaan ini dilakukan lebih untuk anak
daripada bersama anak.
9) Terapi adalah usaha kolaboratif antara terapis dan pasien.
Meskipun sangat penting dilakukan dengan anak, namun
kolaborasi dapat sangat berbeda, terapis menemukan
keseimbangan antara memaksakan arah pada anak dan
menerima anak apa adanya.
10) Homework sebagai fitur utama dalam terapi kognitif tidak dapat
diterapkan terhadap CBPT dengan anak-anak. Dengan orang
dewasa, generalisasi diluar terapi dilakukan melalui tugas antar-
sesi yang memperkuat dan melengkapi kerja dalam terapi.
Namun, tugas tersebut jarang digunakan dalam terapi dengan
anak, dan hampir tidak pernah digunkan dengan anak usia pra-
sekolah.
Berdasarkan prinsip CBPT yang telah dijelaskan
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa prinsip CBPT diadaptasi
berdasarkan CBT terhadap orang dewasa serta memiliki prinsip
dasar yang sama seperti berdasarkan model kognitif dari
gangguan emosional, waktu yang terbatas, terstruktur dan
-
23
mengarahkan, membangun hubungan baik antara terapis dan
anak, berpusat pada masalah, berdasarkan pada model
pendidikan, namun, terdapat modifikasi dalam CBPT yang
dikhususkan untuk anak, yaitu, bagi CT untuk orang dewasa,
terapi adalah usaha kolaboratif antara terapis dan pasien, namun,
untuk CBPT, kolaborasi dilakukan oleh terapis dan orang tua.
Kemudian, CT menggunakan metode Socrates. Lalu, pada CT
yang ditujukan untuk orang dewasa, mereka diajarkan untuk
merevisi hipotesa mereka berdasarkan data yang baru. Namun,
jika untuk anak-anak, hal ini tidak akan mungkin untuk dilakukan,
maka dari itu terapis merevisi hipotesa untuk anak, bukan
bersama anak. Meskipun terdapat beberapa modifikasi, asas atau
prinsip dari CBPT adalah turunan dari asas atau prinsip CBT.
c) Tujuan Cognitive Behavioral Play Therapy
Menurut Zellawati (2011), tujuan terapi bermain adalah:
1) Menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk
mengekspresikan diri mereka
2) Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari
aturan sosial dan mengatasi masalah mereka
3) Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan
mencoba sesuatu yang baru.
-
24
Namun, ada sedikit perbedaan tujuan antara CBPT
dengan Play Therapy tradisional. Menurut Knell (2009)
“therapeutic goals are established; direction toward goals is basis
of intervention” pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
arahan untuk mencapai tujuan adalah dasar dari intervensi dalam
CBPT.
Perbedaan CBPT dan Play Therapy tradisional yaitu CBPT
lebih mengarahkan (directive) dibandingkan dengan terapis Play
Therapy tradisional yang lebih berpusat pada diri (client-centered)
(Knell, 2009). Meskipun terdapat sedikit perbedaan antara tujuan
Play Therapy tradisional dan CBPT namun penggunaan media
permainan sebagai alat komunikasi anak dan terapis adalah hal
utama dalam terapi. Dengan manfaat terapi bermain sebagai alat
pengekspresian diri, mempelajari aturan sosial, mengatasi
masalah, serta mencoba sesuatu yang baru diharapkan dapat
mencapai tujuan dari intervensi yang akan dilakukan oleh terapis.
d) Manfaat Cognitive Behavioral Play Therapy
Knell (2009) merangkum beberapa kesamaan antara CBPT
dan Play Therapy tradisional, termasuk beberapa manfaat di
dalamnya. Kottman (2001) merangkum dari berbagai sumber tiga
-
25
keuntungan penggunaan Play Therapy, antara lain (Hidayat &
Siwabessy, 2015):
1) Membantu proses perkembangan anak, dengan interaksi verbal
yang minimal
2) Anak mendapatkan banyak kebebasan untuk memilih, mampu
meningkatkan daya fantasi dan imajinasi anak, dapat
menggunakan alat-alat yang sederhana, memberikan tempat
yang aman bagi anak untuk mengeluarkan perasaan,
mendapatkan pemahaman dan melakukan berbagai perubahan
3) Memudahkan konselor untuk membangun hubungan dengan
anak, juga dalam melatih keterampilan sosial anak.
Selain untuk mencapai tujuan intervensi yang akan
ditetapkan pada setiap perlakuan, terapi bermain dapat
memberikan manfaat bagi anak dalam proses perkembangannya,
seperti melatih keterampilan sosial hingga daya imajinasi yang
dimiliki oleh anak.
e) 8 Automatic Thoughts
Bila klien telah mengidentifikasi pemikiran otomatis dan
memahami interaksinya terhadap emosi dan respon
perilaku/fisiologis, klien akan didorong untuk memandang
pemikiran otomatis ini sebagai ‘thinking errors’ (dikenal sebagai
-
26
‘distorsi kognitif’ karena menyebabkan distorsi terhadap
kenyataan). Automatic thoughts dapat diidentifikasi sebagai
(Szymanska & Palmer, 2000):
1) Pemikiran ‘semua-atau-tidak sama sekali’ yaitu mengevaluasi
pengalaman menggunakan pernyataan ekstrim seperti ‘sangat
baik’ atau ‘sangat buruk’
Contoh: ‘Bila saya tidak mendapatkan pekerjaan ini, maka saya
tidak akan bekerja lagi’
2) Pembaca pikiran/langsung pada kesimpulan, yaitu meyakini
respon negatif tanpa informasi yang relevan
Contoh: ‘Ia tidak mengucapkan “selamat pagi” kepada saya,
artinya Ia tidak menyukai saya’
3) Personalisasi, yaitu menyalahkan diri sendiri akibat sebuah
kejadian
Contoh: ‘Hubungan ini berakhir dan semua adalah kesalahan
saya’
4) Generalisasi berlebihan, yaitu menyamaratakan kesimpulan
yang negatif berdasarkan satu atau dua kejadian
Contoh: ‘Karena ada kesalahan dalam laporan saya, penilaian
saya akan sangat buruk dan saya tidak akan mendapatkan
kenaikan gaji
-
27
5) Meramal nasib, yaitu meyakini bahwa diri mengetahui masa
depan
Contoh: ‘Saya mengalami satu serangan panik, saya pasti akan
selalu mengalaminya’
6) Penalaran emosional, yaitu merancukan perasaan dengan fakta
Contoh: ‘Saya merasa cemas, mengendarai motor pasti sangat
berbahaya’
7) Labelling, yaitu menggunakan label yang tidak membantu untuk
mendeskripsikan diri sendiri atau orang lain
Contoh: ‘Saya sangat bodoh’
8) Magnification, membesar-besarkan hal diluar proporsi
Contoh: ‘Lupa untuk menelepon klien saya hari ini adalah hal
terburuk yang pernah saya lakukan'
f) Tahapan Treatment
CBPT memiliki beberapa tahapan dalam penerapannya.
Tahapan tersebut dideskripsikan sebagai introductory/orientation,
assessment, middle, serta termination stages. Tahapan ini secara
lebih lengkap dideskripsikan oleh Knell yaitu (Knell, 2009):
1) Introductory/Orientation. Selama wawancara perkenalan, salah
satu tugas terapis adalah untuk membantu orangtua memahami
-
28
bagaimana cara menyiapkan anak mereka dengan baik untuk
sesi pertama mereka.
2) Assessment. Setelah persiapan untuk CBPT, asesmen dimulai.
Permasalahan yang muncul dan kejelasan diagnostik akan lebih
dipahami serta rencana treatment lebih dikembangkan selama
tahapan awal CBPT
3) Middle stage. Selama tahapan pertengahan CBPT, terapis telah
mengembangkan rencana treatment, dan terapi akan lebih
fokus untuk meningkatkan kontrol diri anak, keinginan untuk
mencapai target perilaku, dan belajar respon adaptif untuk
menghadapi situasi spesifik yang lebih banyak. Berdasarkan
masalah yang sedang muncul, terapis akan memiliki susunan
intervensi kognitif dan perilaku yang luas dari yang dapat dipilih.
Hal ini dipertimbangkan dengan hati-hati, dengan sebanyak
mungkin kekhususan (specifity) yang berhubungan dengan
intervensi dan masalah spesifik anak. Banyaknya teknik terapi
dan penggunaan intervensi kognitif behavior ditempatkan pada
tahap pertengahan ini. Generalisasi dan pencegahan akan
terulangnya sebuah perilaku termasuk dalam tahap
pertengahan terapi sehingga anak dapat belajar untuk
menggunakan keterampilan barunya dalam setting jangkauan
-
29
yang luas serta mengembangkan keterampilan baru yang
mempersempit kemungkinan kemunduran setelah terapi selesai
dilakukan.
4) Termination Stage. Pada tahap pengakhiran, anak dan keluarga
siap untuk penutup terapi. Selama treatment mendekati akhir,
anak akan berhadapan dengan realita pengakhiran, dan juga
perasaan anak terhadap pengakhiran treatment.
Berdasarkan tahapan yang telah dijelaskan, dapat
disimpulkan bahwa terdapat 4 tahapan CBPT yaitu Orientasi,
Asesmen, Tahapan Pertengahan, serta Pengakhiran. Pada tahap
Orientasi, terapis perlu membantu orangtua klien agar dapat
memahami cara mempersiapkan anak untuk sesi pertama mereka.
Pada tahap kedua, yaitu Asesmen, permasalahan yang terjadi telah
lebih baik dipahami, dan rencana treatment telah dikembangkan
selama tahapan awal CBPT. Pada tahap ketiga yaitu tahapan
pertengahan, terapis telah mengembangkan rencana treatment, dan
terapis mulai fokus untuk meningkatkan kontrol diri anak, rasa untuk
mencapai sesuatu, serta belajar respon yang lebih adaptif untuk
berhadapan dengan situasi yang spesifik. Pada tahap terakhir yaitu
pengakiran, anak dan keluarganya telah bersiap untuk mengakhiri
terapi. Untuk mencapai perubahan kognitif anak dalam menghadapi
-
30
situasi, maka terapis harus mampu melaksanakan seluruh tahapan
dalam CBPT dan memastikan segala tahapan telah dilakukan
dengan baik.
2. Kemarahan
a) Definisi Kemarahan
Kata “anger” atau kemarahan berasal dari bahasa Latin
“angere” yang berarti “mencekik”. Namun, kemarahan lebih sering
digunakan sebagai istilah yang sangat umum dan luas, yang
bervariasi dari kejengkelan ringan pada satu ujung spectrum hingga
agresi kekerasan pada ujung yang lain. Dibandingkan dengan
kebanyakan emosi lain, kemarahan adalah perasaan yang
sederhana dan langsung, tetapi dapat bergabung dengan suasana
hati lain untuk membentuk emosi yang lebih rumit seperti
kecemburuan atau kesedihan. (Pearce, 1990). Pengertian di atas
menyatakan bahwa perasaan marah bervariasi dan membentuk
sebuah tingkat dimulai dari kejengkelan ringan hingga agresi
kekerasan, marah juga dapat bergabung dengan suasana hati lain
untuk membentuk emosi yang lebih kompleks.
Definisi kemarahan telah dinyatakan oleh Marian Marion
(1994) (Carr, 2007):
“Anger is an emotion, an effective state or feeling experienced when needs are frustrated or when well-being is threatened.
-
31
Anger is emotional energy that can motivate a person to attempt to remedy the situation that brought on the anger” Kutipan di atas menyatakan bahwa kemarahan adalah emosi,
suatu keadaan atau perasaan yang nyata dialami ketika frustrasi
akan suatu kebutuhan atau ketika kesejahteraan terancam.
Kemarahan adalah energi emosional yang dapat memotivasi
seseorang untuk mencoba memperbaiki situasi yang menimbulkan
kemarahan.
Davidoff (Blackburn dan Davidson, 1994) mendefinisikan
marah sebagai suatu emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem
syaraf simpatetik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang
sangat kuat yang disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin
nyata salah atau mungkin juga tidak. (Safaria & Saputra, 2009).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa perasaan
marah diikuti oleh perasaan tidak suka yang sangat kuat, meskipun
alasan yang dimiliki atas perasaan tersebut belum pasti.
Kemarahan telah didefinisikan oleh Albin (2003) yang
menyatakan bahwa rasa marah merupakan emosi yang sangat
sukar bagi setiap orang, baik dalam hal menerima ataupun untuk
mengungkapkannya. Rasa marah menunjukkan bahwa suasana
perasaan tersinggung oleh seseorang atau sesuatu sudah tidak baik
(Safaria & Saputra, 2009). Kutipan di atas menyatakan bahwa
-
32
kemarahan adalah emosi yang sukar untuk diterima maupun
diungkapkan.
Definisi kemarahan juga telah dipertegas oleh Chaplin, 2002
menjelaskan bahwa marah adalah reaksi emosional aktif yang
ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk
ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan,
kekecewaan, atau frustrasi. Emosi secara implisit disebabkan oleh
reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat somatis atau jasmaniah
maupun yang verbal atau lisan. (Safaria & Saputra, 2009). Menurut
pendapat ahli di atas, marah adalah reaksi emosional aktif yang
dapat disebabkan oleh beberapa hal baik secara jasmaniah maupun
somatis. Kemarahan juga didefinisikan oleh (Plutchik, 1994)
sebagai “anger generates an impulse to retaliate, attack, or injure
the source of the provocation.” Kutipan tersebut dapat diartikan
bahwa kemarahan memiliki dorongan untuk membalas dendam,
menyerang, atau melukai sumber provokasi.
Berdasarkan definisi para ahli dapat dipahami bahwa
kemarahan adalah emosi yang wajar dialami semua manusia ketika
hal-hal tidak sesuai dengan yang mereka inginkan, atau ketika
sesuatu berjalan tidak sesuai dengan harapan sehingga sulit bagi
seseorang tersebut untuk menerimanya. Kemarahan dapat
menimbulkan tindakan yang menyerang atau melukai orang lain.
-
33
b) Ciri-Ciri Emosi Marah
Hamzah (Purwanto dan Mulyono, 2006) menjabarkan secara
rinci tentang cirri-ciri yang dapat dilihat apabila seseorang marah,
yaitu sebagai berikut (Safaria & Saputra, 2009):
1) Ciri pada wajah, yaitu berupa perubahan warna kulit menjadi
kuning pucat, tubuh terutama pada ujung-ujung jari bergetar
keras, timbul buih pada sudut mulut, bola mara memerah, hidung
kembang kempis, gerakan menjadi tidak terkendali, serta terjadi
perubahan-perubahan lain pada fisik.
2) Ciri pada lidah, yaitu dengan meluncurnya makian, celaan, kata-
kata yang menyakitkan, dan ucapan-ucapan keji yang membuat
orang berakal sehat merasa risih untuk mendengarnya
3) Ciri pada anggota tubuh, seperti terkadang menimbulkan
keinginan untuk memukul, merobek, bahkan membunuh. Jika
amarah tersebut tidak terlampiaskan pada orang yang
dimarahinya, kekesalannya akan berbalik kepada dirinya sendiri
4) Ciri pada hati, di dalam hatinya akan timbul rasa benci, dendam,
dan dengki, menyembunyikan keburukan, merasa gembira dalam
dukanya, dan merasa sedih ats kegembiraannya, memutuskan
hubungan dan menjelek-jelekkannya.
-
34
Ciri-ciri marah yang telah dinyatakan di atas adalah ciri-ciri
marah yang dapat terlihat secara fisik. Orang yang sedang marah
pada umumnya menunjukkan bahwa dirinya marah dari raut wajah,
kata-kata atau ucapan, tindakan atau anggota tubuh atau pada hati
dengan perasaan-perasaan benci atau perasaan yang bahkan
lebih kompleks.
c) Aspek-aspek Marah
Menurut Beck (Purwanto dan Mulyono, 2006) marah meliputi
beberapa aspek, yaitu aspek biopsikososial-kultural-spiritual
sebagai berikut (Safaria & Saputra, 2009):
1) Aspek Biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan
darah meningkat, frekuensi denyut jantung meningkat, wajah
merah, pupil melebar, dan frekuensi pengeluaran urin
meningkat. Di samping itu, ada seseorang yang tidak menyukai
atau marah terhadap bagian tertentu pada tubuhnya, seperti
perut buncit, betis terlalu besar, tubuh terlalu pendek sehingga
dapat memotivasi seseorang untuk mengubah sikap terhadap
aspek dirinya
-
35
2) Aspek Emosional
Ketika seseorang merasa tidak berdaya, jengkel, ingin
berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan,
dan menuntut. Perilaku menarik perhatian dan timbulnya konflik
pada diri sendiri perlu dikaji, seperti melarikan diri, bolos dari
kerja, atau penyimpangan seksual.
3) Aspek Intelektual
Sebagian besar pengalaman kehidupan seseorang melalui
proses intelektual. Peran pancaindra sangat penting untuk
beradaptasi pada lingkungan, selanjutnya diolah dalam proses
intelektual sebagai suatu pengalaman. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan cara seseorang marah, mengidentifikasi keadaan
yang menyebabkan marah, bagaimana informasi diproses,
diklasifikasikan, dan diintegrasikan
4) Aspek Sosial
Emosi marah sering merangsang kemarahan dari orang
lain, dan menimbulkan penolakan dari orang lain. Sebagian
orang menyalurkan kemarahan dengan menilai dan mengkritik
tingkah laku orang lain sehingga orang lain merasa sakit hati.
5) Aspek Spiritual
Keyakinan, nilai, dan moral memengaruhi ungkapan marah
seseorang. Aspek tersebut memengaruhi hubungan seseorang
-
36
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang
dimiliki dapat menimbulkan kemarahan dan dimanifestasikan
dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Secara umum,
seseorang menuntut kebutuhannya dari orang lain atau
lingkungan sehingga timbul frustrasi apabila tidak terpenuhi dan
selanjutnya timbul marah sehingga pengaruhnya dapat
membuat menurunnya kualitas spiritual seseorang.
Aspek-aspek kemarahan yang telah dinyatakan di atas
menunjukkan bahwa perasaan marah yang dimiliki oleh orang
diliputi oleh berbagai aspek biopsikososial yang
mempengaruhinya. Aspek tersebut dapat berhubungan tidak
hanya dengan diri sendiri, namun juga dengan lingkungannya.
d) Penyebab Kemarahan
Menurut Purwanto dan Mulyono (2006) penyebab orang marah
sebenarnya dapat datang dari luar maupun dari dalam diri orang
tersebut. Oleh karena itu, secara garis besar sebab yang menimbulkan
marah terdiri atas faktor fisik dan faktor psikis sebagai berikut (Safaria
& Saputra, 2009)
1) Faktor fisik
Sebab-sebab yang memengaruhi faktor fisik antara lain:
a. Kelelahan yang berlebihan. Misalnya, perawat yang setiap hari
-
37
merawat dan melayani pasien, jika istirahatnya kurang maka
perawat akan mudah merasa lelah. Dalam kondisi ini perawat
akan lebih mudah marah dan mudah sekali tersinggung serta
menjadi penyebab utama menurunnya kondisi fisik pada
perawat sehingga rentan terhadap kecenderungan somatisasi
b. Zat-zat tertentu yang dapat menyebabkan marah. Misalnya,
jika otak kurang mendapat zat asam, orang tersebut lebih
mudah marah
c. Hormone kelamin pun dapat memengaruhi kemarahan
seseorang. Kita dapat melihat dan membuktikan sendiri pada
sebagian wanita yang sedang menstruasi, rasa marah
merupakan ciri khasnya yang utama
2) Faktor Psikis.
Faktor psikis yang menimbulkan marah erat kaitannya
dengan kepribadian seseorang. terutama sekali yang menyangkut
apa yang disebut “self concept yang salah”, yaitu anggapan
seseorang terhadap dirinya sendiri yang salah.
Beberapa self-concept yang salah dapat dibagi sebagai
berikut:
a. Rasa rendah diri (MC= Mindwaardigheid Complex) yaitu
menilai dirinya sendiri lebih rendah dari yang sebenarnya.
Orang ini akan mudah sekali tersinggung karena segala
-
38
sesuatu dinilai sebagai yang merendahkannya, akibatnya
wajar. Ia mudah sekali marah.
b. Sombong (Superiority Complex) yaitu menilai dirinya sendiri
lebih rendah dari yang sebenarnya. Jadi, merupakan sifat
kebalikan dari sifat dari rasa rendah diri. Orang yang sombong
terlalu menuntut banyak pujian bagi dirinya.
Pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa faktor yang dapat
menyebabkan seseorang merasa marah dapat disebabkan oleh fisik
maupun psikis. Mulai dari kelelahan, zat terlarang, atau hormon yang
termasuk dalam faktor fisik hingga konsep diri yang salah dalam
faktor psikis dapat menyebabkan seseorang marah.
Menurut Edy Zaqeus dalam situs http://www.pembelajar.com,
(Safaria & Saputra, 2009) secara garis besar rasa marah bisa
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal:
a. Faktor internal antara lain menyangkut self-control seseorang,
pola pandang yang dianutnya, serta kebiasaan-kebiasaan yang
ditumbuhkannya dalam merespon suatu permasalahan
b. Faktor eksternal antara lain adalah situasi-situasi di luar diri
seseorang yang memancing respons emosional, latar belakang
keluarga, serta budaya dan lingkungan sekitar.
Faktor penyebab kemarahan juga dinyatakan oleh Edy
Zaques seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, faktor kemarahan
http://www.pembelajar.com/
-
39
telah dibagi menjadi faktor internal yang ada didalam diri sendiri
seperti self control, pola pandang yang ia anut, serta faktor eksternal,
yang disebabkan dari luar dirinya, seperti seseorang yang
memancing respons emosional, dan lingkungan. Faktor yang
mengganggu seseorang tersebut dapat membuatnya marah.
e) Pengekspresian Kemarahan
Pengungkapan emosi marah merupakan upaya
mengomunikasikan status perasaannya ketika dalam kondisi marah
dan bagaimana merespons status perasaannya ketika dalam kondisi
marah dan bagaimana merespons emosi marah yang dirasakan.
Respons terhadap perasaan marah dapat diperlihatkan melalui
perubahan raut wajah dan gerakan tubuh yang menyertai emosi,
mengungkapkan, menyampaikan perasaannya kepada orang lain,
dan menentukan bagaimana perasaan orang lain. Ketika individu
tidak mempunyai saluran untuk mengungkapkan kemarahannya,
maka ia akan mengungkapkannya melalui sakit (Safaria & Saputra,
2009)
Menurut hasil penelitian Institute for Mental Health Initiatives
(www.angermgmt.com) menjelaskan bahwa marah bisa berarti
sehat, bahkan lebih sehat ketimbang memendam perasaan marah
(anger in), keseringan menahan marah tidak dianjurkan karena justru
http://www.angermgmt.com/http://www.angermgmt.com/
-
40
berisiko terserang hipertensi. Kunci untuk marah yang sehat adalah
pengendalian kemarahan (anger control) dengan porsi yang tidak
berlebihan, tanpa itu semua marah justru menjadi boomerang karena
orang yang marahya tidak terkendali dan selalu mengungkapkan
kemarahannya dengan meledak-ledak dan meluap-luap (anger out)
berpeluang menderita stroke dua kali lebih besar dibandingkan
dengan yang dapat mengendalikan marahnya. Emosi yang tidak
terkendali atau tidak tersalurkan akan merusak fungsi organ tubuh,
mudah terserang penyakit ketegangan otot atau kekacauan sistem
metabolism (Safaria & Saputra, 2009)
Berikut adalah bentuk kemarahan, baik kemarahan secara sehat
dan tidak sehat (Blum, 2005):
1. Kemarahan yang Sehat (Healthy Anger)
Kemarahan yang sehat (healthy anger) dapat
menyelesaikan masalah bagi individu. Ketika kemarahan
diungkapkan dengan cara ini memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan masalah. Hal ini adalah cara yang positif untuk
menyelesaikan masalah. Bahkan meskipun diungkapkan dengan
kuat, hal ini tidak memperburuk orang lain dan sudut pandang
mereka.
2. Kemarahan yang Tidak Sehat (Unhealthy Anger or Rage)
Kemarahan yang diungkapkan dengan cara yang tidak
-
41
sehat akan merusak relasi dengan orang lain. Kemarahan ini
agresif, destruktif, dan membiarkan orang lain merasa tersiksa
dan tersakiti.
Kemarahan adalah hal yang wajar dirasakan oleh manusia,
namun, bagaimana seseorang merespon perasaan marah dalam
dirinya adalah hal yang penting. Pendapat ahli di atas menyatakan
bahwa terdapat dua cara untuk mengekspresikan kemarahan,
yaitu dengan cara yang sehat yaitu dengan cara tidak menahan
amarahnya, namun menyelesaikan masalahnya dengan baik dan
tidak sehat yang ditunjukkan dengan agresifitas dan menunjukkan
tindakan destruktif yang merugikan diri sendiri serta orang lain.
Spielberger (1998) mengatakan bahwa cara
mengekspresikan kemarahan tiap individu berbeda-beda. Hal
tersebut dibedakan menjadi tiga macam yaitu anger out, anger in,
dan anger control (Safaria & Saputra, 2009)
1. Anger in
Yaitu pengungkapan emosi marah yang dirasakan oleh
individu, cenderung ditekan ke dalam dirinya tanpa
mengekspresikannya ke luar. Misalnya: ketika sedang marah,
seseorang lebih memilih diam dan tidak mau menceritakannya
pada siapapun atau tidak menegur orang yang membuatnya
menjadi marah. Kondisi seperti ini jika berkepanjangan akan
-
42
member dampak negatif bagi diri sendiri dan mengganggu
kenyamanannya saat berinteraksi dengan orang yang
membuatnya merasa marah.
2. Anger out
Anger out adalah mengekspresikan perasaan marah
dalam perilaku motorik dan verbal yang agresif serta ditujukan
kepada orang lain atau benda lain di lingkungannya
(Spielberger & Reheiser, 2010), dapat pula dikatakan sebagai
reaksi ke luar/objek yang dimunculkan oleh individu ketika
dalam keadaan marah atau reaksi yang dapat diamati secara
umum. Kondisi seperti ini bisa menjadi perbuatan merusak,
misalnya memukul atau menendang sesuatu yang ada di
dekatnya, namun setelah itu dia akan merasakan kelegaan
karena perasaan marah yang dirasakan sudah terpuaskan.
Anger out berkaitan dengan ketidakmampuan individu
mengekspresikan emosinya secara konstruktif dan asertif.
Akan tetapi, mereka mengekspresikan emosinya dalam bentuk
tindakan agresif dan merusak.
3. Anger control
Anger-control dapat dianggap sebagai strategi coping
yang aktif untuk menyelesaikan dan mengelola kemarahan
menggunakan perilaku dan aktifitas non-agresif (Deffenbacher,
-
43
Oetting, Lynch, & Morris, 1996; Schwenkmezger, Hodapp, &
Spielberger, 1992) (Spielberger & Reheiser, 2010)
Kemampuan individu untuk bisa mengontrol atau melihat sisi
positif dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha
konsisten menjaga sikap yang positif walau menghadapi
situasi yang buruk. Misalnya, mencari solusi yang baik atau
tepat ketika menghadapi suatu persoalan agar tidak merugikan
diri sendiri dan orang lain.
Uraian yang dikutip dari Spielberg di atas menunjukkan bahwa
terdapat tiga cara manusia mengekspresikan kemarahannya. Anger
In, yaitu dengan cara menekan atau menahan kemarahannya tanpa
mengekspresikannya keluar. Selanjutnya terdapat Anger Out,
menurut ahli, pengekspresian kemarahan dengan cara ini dilakukan
dengan meluapkan kemarahannya terhadap benda/objek di
sekitarnya. Meskipun seseorang meluapkan perasaan marahnya,
namun perasaan marah yang diluapkan berbentuk destruktif
sehingga merugikan dirinya dan orang lain. Pengekspresian
kemarahan yang terakhir adalah Anger Control, yaitu ketika
seseorang mampu mengendalikan kemarahannya serta
mengungkapkan perasaan kemarahannya secara asertif dan
konstruktif. Berdasarkan tiga cara mengekspresikan kemarahan
yang telah dinyatakan, cara yang baik dalam mengekspresikan
-
44
kemarahan adalah Anger Control, karena perasaan kemarahan
yang dimiliki tidak ditahan, namun juga tidak dikeluarkan secara
meledak-ledak, namun dikendalikan.
3. Anak
a) Perkembangan masa kanak-kanak pertengahan dan akhir
Akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia
enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara
seksual. Permulaan akhir masa kanak-kanak ditandai dengan
masuknya anak ke kelas satu. Masuk kelas satu merupakan peristiwa
penting bagi kehidupan setiap anak sehingga dapat mengakibatkan
perubahan dalam sikap, nilai, dan perilaku (Hurlock, 2003). Pada
masa ini, anak-anak akan memiliki berbagai pengalaman baru serta
menjumpai perasaan yang akan mereka rasakan pertama kali,
karena Sekolah Dasar adalah awal yang baru dalam kehidupan
mereka setelah beranjak dari Taman Kanak-Kanak.
Pertumbuhan di masa kanak-kanak pertengahan dianggap
melambat. Walaupun perubahan dari hari ke hari tidak begitu nyata,
akan tetapi mereka terus tumbuh mencapai perbedaan yang
mengejutkan antara usia 6 tahun, yang masih merupakan anak kecil,
dan 11 tahun, yang banyak di antara mereka pada saat ini yang
berubah manjadi dewasa (Papalia, Old, & Feldman, 2008).
Pertumbuhan yang dialami oleh anak tentu sangat berpengaruh
-
45
terhadap emosi, serta sikap mereka karena pertumbuhan tersebut
sangat dapat terlihat ketika mereka mencapai usia di akhir sekolah
dasar.
Selama usia sekolah dasar, anak-anak bertambah tinggi sekitar
2 hingga 3 inci setiap tahunnya. Ketika berusia 11 tahun, anak
perempuan biasanya memiliki ketinggian 4 kaki inci, sementara
laki-laki biasanya memiliki ketinggian 4 kaki 9 inci. Di masa kanak-
kanak pertengahan dan akhir, anak-anak mengalami penambahan
berat tubuh sebesar 5 hingga 7 pon setiap tahunnya. (Santrock,
2012). Pertumbuhan secara fisik ini adalah salah satu pertumbuhan
yang akan dialami oleh anak yang baru memasuki Sekolah Dasar.
Keterampilan motoris terus meningkat pada masa kanak-kanak
pertengahan (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Hal ini juga telah
diungkapkan oleh Santrock bahwa keterampilan motorik anak
menjadi lebih halus dan terkoordinasi dibandingkan di masa kanak-
kanak awal. Anak-anak lebih tangkas dalam menggunakan
tangannya. (Santrock, 2012). Dengan pertumbuhan fisik yang
dialami, maka kemampuan motorik anak juga akan terasah, anak
akan lebih terampil dalam bermain, serta berolah raga.
Mengacu pada Piaget, pada usia 7 tahun, seorang anak
memasuki tahap operasional konkret. Dinamakan demikian karena
-
46
pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk
memecahkan masalah kongkret (aktual). Anak dapat berpikir lebih
logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat
mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam
pertimbangan. Walaupun demikian, mereka masih dibatasi untuk
berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada saat itu saja. (Papalia,
Old, & Feldman, 2008:435). Pada tahap operasional kongkret anak
dapat berpikir logis mengenai situasi yang akan dihadapinya.
Anak yang berada di tahap operasional dapat melakukan
banyak tugas pada level yang lebih tinggi daripada yang dapat
mereka lakukan pada tahap pra-operasional. Mereka memiliki
pemahaman yang lebih baik tentang konsep spasial, kausalitas,
kategorisasi, penalaran konduktif atau induktif, dan konservasi.
(Papalia, Old, & Feldman, 2008). Konsep yang mereka miliki akan
mereka gunakan dan terapkan dalam kehidupan dan interaksi sosial
yang dilakukan sehari-hari.
Kemampuan bahasa terus berkembang sepanjang masa
kanak-kanak pertengahan. Anak-anak sekarang makin mampu
memahami dan menginterpretasi komunikasi oral dan tulisan dan
membuat diri mereka mudah dipahami. Seiring dengan meningkatnya
kosa kata pada tahun-tahun bersekolah, penggunaan kata kerja yang
tepat untuk sebuah aksi semakin meningkat (memukul, menampar,
-
47
menyambar, meninju). Anak belajar bukan hanya menggunakan
banyak kata tetapi juga memilah kata yang benar untuk penggunaan
tertentu (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Kosakata yang kian
bertambah menyebabkan anak mampu mengekspresikan perasaan
dan keinginan mereka dengan kata-kata, karena perkembangan
bahasa akan meningkat pada tahun-tahun sekolah.
Pada masa anak masuk ke kelas satu, anak akan menjumpai
berbagai peristiwa yang menyebabkan perubahan perilaku, sikap,
serta nilai. Lingkungan yang baru dengan proses sosialisasi yang
baru akan menyebabkan perubahan dari dalam diri anak, meskipun
telah dinyatakan oleh Papalia (2008) bahwa perubahan anak
dikatakan melambat. Dengan pertumbuhan fisik yang meningkat
pada masa Sekolah Dasar seperti yang telah dinyatakan oleh
Santrock (2012), hal ini mempengaruhi keterampilan motoris yang
meningkat. Anak cenderung lebih aktif serta lebih terampil dalam
bermain dan beraktifitas. Pada masa anak-anak, perkembangan
kognitif juga berkembang seperti ketika anak mampu memecahkan
permasalahan dengan berpikir logis, serta anak sudah mampu
melakukan penalaran terhadap setiap situasi yang dijumpai olehnya.
Berdasarkan uraian dari pernyataan Papalia (2008), pada masa ini
kemampuan bahasa sudah berkembang sehingga anak mampu
-
48
mengekspresikan dirinya setelah melakukan penalaran logis terhadap
situasi yang sedang dihadapinya.
b) Emosi pada masa kanak-kanak pertengahan dan akhir
Ketika usia anak bertambah, mereka menjadi lebih peka
terhadap perasaannya sendiri dan perasaan orang lain. Mereka
dapat lebih baik mengatur ekspresi emosional mereka dalam situasi
sosial, dan mereka dapat merespon tekanan emosional orang lain
(Saarni et al., 1998) (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Anak yang
mampu mengatur ekspresi emosional mereka dalam situasi sosial
cenderung mampu untuk menempatkan dirinya dalam situasi yang
mereka hadapi.
Anak segera mengetahui bahwa ungkapan emosi terutama
emosi yang kurang baik tidak diterima oleh teman-teman sebaya.
Oleh karena itu, anak mempunyai keinginan yang kuat untuk
mengendalikan ungkapan-ungkapan emosinya (Hurlock, 2003).
Karena mereka sudah memasuki tahap operasional konkret,
pemahaman anak terkait ungkapan emosi yang dianggap kurang baik
akan membuat anak mengendalikan ungkapan-ungkapan emosinya.
Pada akhir masa kanak-kanak, ada waktu di mana anak sering
mengalami emosi yang hebat, karena emosi cenderung kurang
menyenangkan, maka dalam periode ini meningginya emosi menjadi
periode ketidakseimbangan, yaitu saat di mana anak menjadi sulit
-
49
dihadapi. Keadaan lingkungan yang menyebabkan meningginya
emosi juga beragam dan serius. Karena penyesuaian diri pada setiap
situasi baru selalu menyusahkan anak, meningginya emosi hampir
selalu dialami oleh semua anak pada saat masuk sekolah. (Hurlock,
2003:155). Ketika masuk sekolah untuk pertama kali, anak akan
dihadapkan dengan situasi, lingkungan, serta kebiasaan-kebiasaan
baru yang membuat mereka kesulitan untuk menyesuaikan diri
sehingga emosi sering meninggi pada masa masuk sekolah awal.
Santrock menyatakan bahwa kadang-kadang, sebagian besar
anak sulit diatur secara emosi selama masa sekolahnya. Sebagian
kecil dari mereka sangat serius masalahnya dan berlangsung terus-
menerus sehingga mereka dikatakan memiliki gangguan emosi atau
perilaku (Santrock, 2012). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa
permasalahan emosi yang dimiliki harus segera diatasi karena bila
tidak, anak akan mengalami gangguan emosi atau perilaku yang
lebih serius.
Ledakan-ledakan emosi ini merupakan perilaku yang tidak
disengaja atau dengan kata lain ledakannya merupakan suatu
refleksi atas stimulus yang diberikan atau yang diterima anak. Marah,
takut, sedih, dan tertawa terbahak-bahak merupakan suatu proses
pembelajaran untuk menuju perkembangan selanjutnya. Pada masa
ini sangat menentukan bagi anak untuk dapat memproses
-
50
kematangan dirinya menjadi dewasa atau bisa dikatakan menjadi
dirinya. Anak-anak perlu memanfaatkan, mengontrol, dan
mengendalikan emosinya, guna menghadapi masa-masa selanjutnya
yang sangat membutuhkan proses emosi yang sangat berat. Pada
masa ini, latihan-latihan emosi sangat diperlukan untuk dapat
memanfaatkan, mengontrol, dan mengendalikannya. (Baradja, 2005).
Segala emosi, baik yang menyenangkan maupun yang kurang
menyenangkan tidak salah untuk dimiliki dan dirasakan. Namun,
sejak kecil anak harus terus diberikan latihan agar anak mampu
mengendalikan perasaan-perasaannya agar perasaan yang ia miliki
terluapkan secara konstruktif.
Semakin bertambah usia anak, maka anak dianggap mampu
mengendalikan emosinya serta lebih peka terhadap perasaan oang
lain. Anak sudah mengetahui respon yang tidak menyenangkan
sehingga anak juga memiliki keinginan yang kuat untuk
mengendalikan emosinya seperti yang telah diuraikan oleh Hurlock
(1980). Namun, pada masa ini pula anak yang dihadapkan dengan
situasi baru sehingga anak yang memiliki kesulitan dalam
penyesuaian diri seringkali menunjukkan lonjakan emosi negatif yang
hebat. Baradja (2005) telah menyatakan bahwa ledakan emosi dapat
merupakan refleksi atas stimulus yang telah diterima oleh anak
namun anak perlu diajarkan cara mengendalikan emosi dan
-
51
memanfaatkan emosinya dengan baik. Anak yang sudah mampu
melakukan penalaran secara logis diharapkan dapat mengendalikan
emosi negatifnya dan mampu mengungkapkan emosi tersebut
dengan cara yang baik dalam lingkungannya. Ketika keterampilan
motorik anak sudah berkembang, anak akan memiliki beragam
ketangkasan fisik dan meskipun anak sudah dapat melakukan
berbagai kegiatan dengan kekuatan fisiknya namun pengungkapan
emosi yang dilakukan oleh anak tidak berbentuk kekerasan fisik yang
dapat melukai dan merusak lingkungan sekitarnya.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penyusunan skripsi sangat memerlukan data pendukung yang
relevan mengenai Play Therapy, serta kemarahan atau anger. Hal ini
diperlukan agar mempermudah peneliti untuk melihat sejauh mana
penggunaan Play Therapy dapat diterapkan dalam manajemen emosi
anak.
Penelitian eksperimen telah dilakukan oleh Mawardi pada tahun
2015 dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Adlerian Play Therapy
untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Terisolir (Single Subject
Research 1 Orang Siswa Kelas V SDN Keroncong Tangerang)”.
Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan selama 5 minggu telah
diperoleh hasil bahwa saat minggu pertama sampai minggu ketiga ketika
-
52
intervensi, subjek penelitian belum menunjukkan adanya perubahan dari
target penelitian yaitu peningkatan keterampilan sosial. Namun, di minggu
ke empat mulai adanya perubahan yang cukup signifikan terutama pada
aspek hubungan dengan teman sebaya. Berikut adalah rekapitulasi
peningkatan keterampilan sosial yang dilakukan oleh peneliti.
Tabel 2.1 Rekapitulasi Peningkatan Keterampilan Sosial menggunakan penerapan
Adlerian Play Therapy
Rata-Rata
Hubungan Teman Sebaya
Manajemen Diri
Akademik Kepatuhan Ketegasan
A (baseline) 14 9.5 10.75 15.75 10
B (Intervensi) 22.1 12.7 14.4 19.6 14
Peningkatan Keterampilan
Sosial 8.1 3.2 3.65 3.85 4
Berdasarkan hasil rekapitulasi di atas dapat diketahui bahwa
berdasarkan 5 aspek keterampilan sosial yang diteliti, subjek penelitian
memiliki peningkatan dalam aspek “Hubungan Teman Sebaya” tertinggi
sebesar 8.1. Selanjutnya diikuti oleh aspek “Ketegasan” sebesar 4, lalu
dalam aspek “Kepatuhan” sebesar 3.85, “Akademik” sebesar 3.65 serta
“Manajemen Diri” sebesar 3.2.
Penelitian penerapan Play Therapy juga telah dilakukan oleh
Edisaputra, Natalia, dan Budiastuti tahun 2013 yang berjudul “Effect Of
Playing Therapy Using Story Telling Technique To Anxiety Caused
Byhospitalization In Preschool Children At Menur Ward Of Dr. Soeradji
-
53
Tirtonegoro Hospital Klaten” pada tahun 2012. Berdasarkan hasil
penelitian dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan akibat hospitalisasi
sebelum diberikan terapi bermain dengan teknik bercerita (pretest)
berada pada tingkat kecemasan ringan sebanyak 14 responden, sedang
sebanyak 13 responden, panik sebanyak 0 responden, begitu pula
dengan tingkat kecemasan tidak ada sebanyak 0 responden. Setelah
diberikan terapi bermain (posttest) dapat dilihat bahwa tingkat
kecemasan paling tinggi pada tingkat tidak ada sebesar 21 responden,
serta ringan sebesar 9 responden.
Selanjutnya, penelitian juga dilakukan oleh Widyasari tahun 2014
pada skripsinya tentang profil Agresitifitas siswa-siswi kelas VII SMA
Hutama Bekasi, yang pada hasil pengolahan perindikator menunjukkan
secara berurutan persentase indikator agresivitas yang sering
ditunjukkan oleh siswa kelas VII yaitu kemarahan (anger) 54,84%, fisik
(physical aggression) 35, 48%, permusuhan (hostility) 32,26%, dan
verbal (verbal aggression) 22, 58%.
Berdasarkan penelitian relevan yang telah disebutkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa Play Therapy sesuai untuk permasalahan
emosional seperti anxiety, serta keterampilan sosial pun meningkat
setelah diberikan intrevensi menggunakan Play Therapy. Sedangkan
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kemarahan adalah
indikator agresivias tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa-siswi
-
54
SMA Hutama memiliki kesulitan dalam mengendalikan amarahnya
sehingga memiliki kecenderungan untuk menunjukkan agresivitas.
Pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah
penerapan Cognitive Behavioral Play Therapy untuk Anger Expression
pada anak. Berbeda pada hasil penelitian relevan sebelumnya yang
menggunakan Play Therapy untuk kecemasan serta keterampilan
sosial, pada penelitian ini peneliti akan menerapkan penggunaan
Cognitive Behavioral Play Therapy dalam aspek kemarahan, yang
menjadi indikator agresivitas tertinggi pada penelitian sebelumnya.
Keistimewaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya, kali ini
peneliti akan fokus terhadap segala distorsi kognitif yang dimiliki oleh
anak yang menyebabkan anak kesulitan untuk mengekspresikan
kemarahannya secara konstruksif. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang hanya menghilangkan perasaan inferioritas dalam
Adlerian Play Therapy terhadap siswa terisolir, peneliti akan mengubah
segala distorsi kognitif yang dimiliki oleh anak yang menyebabkan anak
memiliki perasaan marah. Penggunaan CBPT akan diterapkan karena
sehubungan dengan pernyataan oleh Fazio Griffith & Ballard (2014)
bahwa penyimpangan perilaku dapat disebabkan oleh distrosi kognitif,
sedangkan Adlerian Play Therapy lebih terfokus terhadap perasaan
inferioritas yang dimiliki oleh anak.
-
55
C. Kerangka Berpikir
Dalam perkembangan emosi anak, kemarahan masih sering
menjadi permasalahan, meskipun marah bukanlah hal yang salah atau
buruk, namun cara anak mengekspresikan kemarahan tersebut terkadang
masih sering menjadi masalah dalam setting sekolah. Pengekspresian
kemarahan sering diungkapkan dengan cara yang kasar atau
menunjukkan perilaku yang agresif.
Beberapa anak mungkin memiliki kesulitan untuk mengekspresikan
kemarahannya, sehingga kemarahan yang mereka rasakan mereka
pendam, atau bahkan diluapkan secara frontal dan agresif. Luapan
kemarahan yang diekspresikan secara agresif menunjukkan bahwa anak
tidak mampu mengontrol kemarahan mereka dengan mengungkapkan
kemarahannya dengan cara yang konstruktif. Ada beberapa cara
mengungkapkan kemarahan yang telah disebutkan dalam kajian teoritis,
yaitu anger in, anger out, dan anger control. Cara yang baik untuk
mengungkapkan kemarahan adalah bagaimana manusia dapat
mengontrol kemarahan sehingga tidak diungkapkan melalui cara yang
destruktif, namun konstruktif dan tidak merugikan dirinya dan orang lain.
Penting bagi anak untuk memiliki kemampuan mengungkapkan
emosinya dengan baik, karena bila anak terus dibiarkan tidak memiliki
kemampuan pengelolaan kemarahan yang baik, perilaku agresif anak
akan terbawa hingga remaja, dan dewasa dengan bentuk agresivitas
-
56
yang mungkin akan jauh lebih kompleks sehingga perlu bagi lingkungan
untuk peduli dan mencegah berkembangnya perilaku tersebut hingga
dewasa. Hal ini juga telah didukung oleh pernyataan dari para ahli bahwa
anak harus memiliki kemampuan untuk menggunakan strategi inisiatif-diri
untuk mengarahkan kembali perasaan-perasaan, sehingga mereka lebih
mampu mengelola emosinya dengan menggunakan strategi kognitif,
seperti menenangkan diri ketika sedang marah.
Telah disebutkan bahwa penting bagi manusia untuk
mengekspresikan emosinya, baik emosi positif dan negatif, karena bila
emosi tidak diungkapkan akan menimbulkan kecenderungan untuk
timbulnya kembali perasaan dan emosi negatif tersebut di masa depan,
atau bahkan emosi negatif akan memberi dampak lain seperti stress,
sakit, bahkan depresi berat. Sehingga penting bagi setiap orang untuk
mengungkapkan emosinya, namun, hal yang paling penting adalah
pengungkapan emosi yang diharapkan adalah pengungkapan emosi yang
konstruktif, serta bersifat membangun, tanpa merusak suatu hubungan,
atau lingkungan.
Pengungkapan emosi yang konstruktif akan membawa anak ke
hubungan yang lebih baik dengan orang lain, orang tua, guru, teman, dan
lingkungan sekitar. Hal tersebut juga tentu akan membawa kebaikan
dalam diri anak karena tanpa merusak barang dan lainnya anak tetap
mengungkapkan emosinya, dalam arti tidak menekan emosi tersebut atau
-
57
menolak perasaan marah tersebut dalam dirinya karena perasaan marah
bukanlah perasaan yang salah. Sedangkan, pengungkapan emosi yang
destruktif memiliki sifat menghancurkan serta lebih banyak membawa
dampak negatif dalam diri anak, karena salah satu pengungkapan emosi
destruktif adalah menunjukkan perilaku agresif yang tidak diterima oleh
lingkungan, perilaku agresif juga dapat dikatakan sebagai akar dari
kekerasan, penganiayaan, bullying, bahkan tawuran. Maka dari itu, tentu
anak perlu diajarkan bagaimana mengontrol emosinya sehingga mereka
dapat meluapkan emosi tersebut secara konstruktif.
Anak memerlukan intervensi yang tepat dilakukan oleh terapis
sekolah seperti psikolog sekolah, konselor atau guru BK, dan lain
sebagainya untuk menghilangkan perilaku agresif yang kerap ditunjukkan
anak untuk meluapkan kemarahannya. Peran terapis sekolah sangat
penting bagi isu kemarahan pada anak, karena tidak hanya merugikan diri
anak sendiri, namun orang lain. Untuk menghilangkan perilaku agresif
yang kerap ditunjukkan oleh anak ketika sedang marah, maka guru BK
memerlukan terapi yang sesuai untuk anak-anak yang masih sangat
menjadikan permainan sebagai dunianya maka penggunaan Play
Therapy dirasa sesuai untuk mengintervensi salah satu bentuk
permasalahan yang dimiliki oleh anak yaitu Anger Expression.
Bermain adalah hal yang semua anak sukai, baik bermain di luar
rumah, atau di dalam rumah, namun pada intinya, semua anak suka
-
58
bermain. Anak usia sekolah dasar akan menyukai permainan yang
mereka anggap baru, maka guru BK perlu memanfaatkan permainan
untuk mengubah perilaku mereka agar memiliki kontrol kemarahan yang
baik sehingga tidak mengekspresikan emosi kemarahan dengan cara
yang destruktif.
Ada banyak permainan yang dapat dilakukan untuk anak yang
memiliki isu atau permasalahan dalam kemarahan dengan berbagai cara
maka dari itu, guru BK perlu memiliki kreatifitas untuk memilih permainan
yang sesuai dengan anak usia sekolah dasar. Anak diharapkan mampu
mengembangkan keterampilan sosial mereka dengan menunjukkan sikap
tidak setuju dan kemarahan dengan cara yang sehat, serta tidak
menghancurkan diri sendiri dan orang lain, bahkan bersifat membangun.
Peneliti akan menggunakan Cognitive Behavioral Play Therapy
untuk mengendalikan pengekspresian kemarahan yang bersifat destruktif
bagi anak, karena anak perlu mengembangkan dirinya dan menerima
semua emosi dan perasaan sebagai hal yang wajar dalam dirinya karena
memang hal tersebut adalah hal yang dialami oleh semua orang,
sehubungan dengan hal tersebut anak perlu mengetahui cara
mengarahkan emosi negatif khususnya kemarahan tersebut dengan
pengekspresian yang lebih baik karena tentu anak perlu memiliki
keterampilan pengelolaan kemarahan yang baik untuk dapat diterima
dalam kehidupan bermasyarakat.
-
59
Cognitive Behavioral Play Therapy (CBPT) adalah terapi bermain
yang merupakan turunan dari teori konseling Cognitive Behavioral
Therapy yang dikembangkan oleh Aaron Beck. CBPT akan fokus
terhadap distorsi kognitif yang dimiliki oleh anak. Sebagaimana telah
disampaikan oleh seorang ahli bahwa kemarahan dapat dipengaruhi oleh
kognisi, maka CBPT diharapkan mampu membantu anak untuk
mengendalikan pengekspresian emosi marahnya.
Berikut adalah visualisasi kerangka berpikir yang diajukan oleh
peneliti:
ANGER OUT
KEMARAHAN
PENERAPAN
COGNITIVE
BEHAVIORAL PLAY
THERAPY
ANGER
CONTROL
ANGER IN