bab ii kajian teori a. otonomi desa 1. desaeprints.uny.ac.id/8543/3/bab 2 - 08401241005.pdf ·...

35
BAB II KAJIAN TEORI A. Otonomi Desa 1. Desa Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa “Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (Widjaja, 2003: 3). Desa menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Desa sebagai berikut : “Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 12). 14

Upload: dinhmien

Post on 06-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Otonomi Desa

1. Desa

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang

berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis,

desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country

area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan

hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan

berada di Daerah Kabupaten.

Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi

Desa” menyatakan bahwa

“Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan

pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,

partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”

(Widjaja, 2003: 3).

Desa menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

mengartikan Desa sebagai berikut :

“Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang

berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,

berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati

dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32

tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 12).

14

15

Dalam pengertian Desa menurut Widjaja dan UU nomor 32 tahun 2004

di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu

komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa

memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan

masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka

posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan

perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena

dengan Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan

perwujudan Otonomi Daerah.

Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan

Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa yakni:

a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan

hak asal-usul desa

b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni

urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan

pelayanan masyarakat.

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan

Pemerintah Kabupaten/Kota.

d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-

undangan diserahkan kepada desa.

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan

penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan

peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan tingkat

perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam menciptakan

pembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat

yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa yakni: Pertama, faktor

penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga, kedua, faktor luas

16

yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat, ketiga, faktor

letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun,

keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan,

pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa, kelima, faktor

sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan

bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, keenam, faktor kehidupan

masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat.

2. Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggungjawab

Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah dimaksudkan agar daerah mampu mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam

sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan

otonomi harus berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan dengan

prinsip luas, nyata, dan bertanggungjawab (Hari Sabarno, 2007: 30).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 7 huruf b juga

memberikan gambaran dalam pelaksaan otonomi desa secara luas, nyata,

bertanggungjawab, dimana di dalamnya disebutkan bahwa urusan

17

pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan

pengaturannya kepada desa. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan

identifikasi, pembahasan, dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang

diserahkan pengaturannya kepada desa, seperti kewenangan dibidang

pertanian, pertambangan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian

dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan.

Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk

menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang

pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan

keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang

lainnya (yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000).

Disamping itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan

bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Menurut Hari Sabarno (2007: 31),

pengertian luas dalam penyelenggaraan otonomi daerah merupakan

keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup

seluruh bidang pemerintahan yang dikecualikan pada bidang politik luar

negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama,

serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi

kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan

nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi

negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan

18

sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi

tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional.

Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan

kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan

diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Pemerintah daerah

selain berperan melindungi masyarakat dan menyerap aspirasi masyarakat

juga harus mampu mengelola berbagai kewenangan yang diberikan oleh

pemerintah pusat kepadanya. Dalam pengelolan kewenangan yang luas

tersebut tetap dibatasi rambu penting dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dalam hal ini, otonomi bukanlah semata-mata

menggunakan pendekatan administratif atau sekedar meningkatkan efisiensi

dan efektivitas kerja saja, akan tetapi sekaligus pendekatan dalam dimensi

politik. Dengan demikian, makna kewenangan dibidang pemerintahan yang

berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat sejauh mungkin harus

dapat dilayani secara dekat dan cepat.

Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan

pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan

kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh

daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan

kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan

yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

19

3. Konsep Otonomi Desa

Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakan

otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari

pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli

yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan

perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki

kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan

kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa

tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya

sebagai “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak

berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk

mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan

ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat

meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan

politik.

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki

oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi

yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya,

bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama

20

lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang

diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah

keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan

masyarakat.

Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskan

sebagai berikut :

a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan

dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa

kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang.

b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti

sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa

depan.

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada

masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa

tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang

menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan

pengaturannya kepada desa.

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada

21

kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh

karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam

penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai

tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan

menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa

dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi

desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan

kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan

dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (Widjaja, 2003:

166).

B. Akuntabilitas

1. Konsep dan Pengertian Akuntabilitas

Miriam Budiarjo (1998: 78) mendefinisikan akuntabilitas sebagai

pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah

kepada yang memberi mereka mandat. Akuntabilitas bermakna

pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi

kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi

penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi.

Sedangkan Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas

sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk

mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian sumberdaya dan

pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka

22

pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara

periodik.

Hughes dalam Joko Widodo (2001:147) menegaskan bahwa ”Government

organitation are created by the public and to be accountability to if,”

(organisasi pemerintah dibuat oleh publik, karenanya perlu

mempertanggungjawabkannya kepada publik). Adanya pertanggungjawaban

tersebut, disebabkan karena aparatur pemerintahan dibebani kewajiban untuk

bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan, dan kebijaksanaan

yang ditetapkannya. Sebagai konsekuensi dari adanya asas Negara hukum,

baik menurut konsep rule of law maupun rechtsstaat, atau democratische

rechtsstaat, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional

democracy), maka pemerintah harus memberikan pertanggungjawaban

terhadap apa yang menjadi sikap, perilaku, dan tindakannya kepada rakyat,

dalam kerangka menyelenggarakan, atau menjalankan fungsi pemerintahan.

Bersamaan dengan itu, Indonesia sebagai Negara hukum di dalamnya

terkandung pengertian adanya pengakuan pada prinsip supremacy of law dan

constitutionalism, yang pada hakikatnya bahwa dalam Negara hukum, hukum

harus menjadi penentu segala-galanya sesuai dengan doktrin the rule of law.

Dalam kerangka the rule of law, hukum harus diyakini adanya pengakuan,

bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law),

adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law)

dan berlakunya asas legalitas dengan segala bentuknya dalam praktek (due

proces law).

23

Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diartikan

sebagai kewajiban Pemerintah Daerah untuk mempertanggungjawabkan

pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan di daerah dalam rangka otonomi

daerah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media

pertanggungjawaban yang terukur baik dari segi kualitasnya maupun

kuantitasnya. Pemerintah daerah sebagai pelaku pemerintahan harus

bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya terhadap masyarakat

dalam rangka menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban Pemerintah

Daerah (Hari Sabarno, 2007: 129).

Sejalan dengan hal di atas, Hiskia dan Ambar (2011:71) menyatakan

bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi

organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui

suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Di

dalam lingkungan birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah

merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi bersangkutan.

Akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas,

pertanggungjawaban, tanggung gugat. Akuntabilitas salah satunya dapat

dilihat sebagai faktor pendorong yang menimbulkan tekanan kepada aktor-

aktor terkait untuk bertanggung jawab atas ,pelayanan publik dan jaminan

adanya kinerja pelayanan publik yang baik (Tri Ratnawati, 2006: 220). Dalam

akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala

24

kegiatan, terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada pihak yang

lebih tinggi. Media pertanggungjawaban akuntabilitas tidak terbatas pada

laporan pertanggungjawaban, akan tetapi juga mencakup aspek-aspek

kemudahan pemberi mandat untuk mendapatkan informasi, baik langsung

maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan, sehingga akuntabilitas

dapat tumbuh pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai

landasan pertanggungjawaban (Hiskia dan Ambar, 2011:71).

Dalam hal penyelenggaraan pemerintah daerah, teknis

pertanggungjawaban yang dilakukan Pemerintah Daerah kepada DPRD. Hal

ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah, pertanggungjawaban yang dilakukan

meliputi: Pertama, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, yakni

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang didasarkan pada penilaian

program strategis yang dilaksanakan. Kedua, pertanggungjawaban akhir masa

jabatan, yakni pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan seorang Kepala

Daerah yang menentukan apakah seseorang dapat dapat dicalonkan kembali

atau tidak sebagai Kepala Daerah. Ketiga, pertanggungjawaban hal tertentu,

hal ini berkaitan apabila terjadi dugaan pidana yang dilakukan Kepala Daerah

sehingga menyebabkan terkikisnya kepercayaan publik secara luas.

Hakikat dari bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah untuk mengukur

kinerja Pemerintah Daerah dalam suatu periode pemerintahan tertentu. Sistem

akuntabilitas harus dilaksanakan secara jelas dan transparan dengan ukuran-

ukuran tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

25

Dengan demikian, kinerja Pemerintah Daerah beserta output yang dihasilkan

dalam pelaksanaan otonomi senantiasa dapat diukur untuk meningkatkan

kinerja pemerintahan dari waktu ke waktu (Hari Sabarno, 2007:131).

2. Tipe Akuntabilitas

Menurut Jabra dan Dwidevi sebagaimana yang dijelaskan oleh Sadu

Wasistiono (2007: 50) mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas

yaitu: (1) akuntabilitas administratif, (2) akuntabilitas legal, (3) akuntabilitas

politik, (4) akuntabilitas profesional, (5) akuntabilitas moral. Akuntabilitas

administratif yaitu dimana di dalamnya terdapat pertanggungjawaban antara

pejabat yang berwenang dengan unit bawahanya dalam hubungan hirarki

yang jelas. Akuntabilitas yang ke dua yaitu akuntabilitas legal, akuntabilitas

jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan dengan proses legislatif dan

yudikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah

diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi

yudikatif.

Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sedangkan dalam akuntabilitas politik, didalamnya terkait dengan

adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur,

menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamain

adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal .

Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh

administrasi publik.

26

Dalam akuntabilitas profesional, di dalamnya berkaitan dengan

pelaksanaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh

orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek

kualitas kinerja dan tindakan. Sedangkan dalam akuntabilitas moral, berkaitan

dengan tata nilai yang berlaku di kalagan masyarakat . Hal ini lebih banyak

berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang

dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan

ukuran tata nilai yang berlaku setempat.

Lebih lanjut, Hari Sabarno (2007: 131) menyatakan bahwa dalam

pelaksanaanya terdapat dua jenis akuntabilitas, yaitu akuntabilitas internal

dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal merupakan akuntabilitas

yang dilaksanakan oleh bawahan terhadap atasan. Akuntabilitas secara

internal sangat berkaitan erat dengan perencanaan program, pelaksanaan

program, dan kontrol birokrasi. Sedangkan akuntabilitas eksternal sangat

berbeda dengan akuntabilitas internal, hal ini disebabkan karena akuntabilitas

eksternal bukan merupakan akuntabilitas dalam lingkup satu organisasi.

Akuntabilitas eksternal merupakan pertanggungjawaban suatu badan atau

lembaga kepada lembaga atau badan yang berada di luar struktur

kelembagaannya.

3. Parameter Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemerintahan

Untuk menilai kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan

harus dengan parameter dan tolak ukur yang pasti. Hal ini dimaksudkan agar

kesinambungan pembangunan dan pelayanan publik dapat dikontrol dengan

27

kriteria yang terukur. Terdapat tiga aspek untuk menilai akuntabilitas

penyelenggaraan pemerintahan, ketiga aspek tersebut adalah: (1) parameter

kerja, (2) tolak ukur yang obkektif, (3) tata cara yang terukur. Parameter

kenerja pemerintah harus dijadikan acuan untuk menilai apakah suatu

program yang direncanakan berhasil atau tidak dan upaya untuk

mengevaluasi kenerja pemerintahan yang telah dilaksanakan pada periode

tersebut. Selanjutnya tolak ukur yang objektif merupakan syarat penting

dalam menilai keberhasilan suatu program pemerintah. Hal ini terkait erat

dengan penilaian suatu pertanggungjawaban. Oleh karena itu tolak ukur

keberhasilan pemerintahan harus objektif dan jelas. Selain kedua aspek

tersebut, masih diperlukan juga tata cara terukur untuk menilai kinerja

pemerintah. Misalnya dalam penilaian laporan pertanggungjawaban Kepala

Daerah, harus dilakukan dengan metode yang sistematis dan terukur (Hari

Sabarno, 2007: 132).

Selain ketiga aspek di atas, standar pelayanan minimal juga termasuk

dalam salah satu parameter dan tolak ukur penyelenggaraan pemerintahan.

Pelayanan atau service merupakan kata kunci otonomi. Karena otonomi

adalah milik masyarakat, yang dijalankan oleh pemerintah adalah

akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat, hal ini dapat dilihat dari jenis

dan kualitas pelayanan yang disediakan untuk masyarakat. Masyarakat

memberikan legitimasi politik kepada wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu

untuk mengatur rakyat. Pengaturan rakyat diwujudkan dalam bentuk upaya

28

untuk mensejahterakan rakyat. Tingkat kesejahteraan akan terkait erat dengan

tingkat pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kepada rakyat.

Menurut David Hulme dan Mark Turner dalam Tri Ratnawati (2006:

221), akuntabilitas memiliki beberapa instrumen pengukur seperti dalam

tabel di bawah ini:

Tabel 1

Instrumen Pengukur Akuntabilitas

ENDS-To facilitate/enchance MEANS-Tools

Legitimacy of decision makers Constitutions, electoral system for

governments and decision-making

bodies, bureaucratic system of

representation, royal prerogative,

legislation, letters of appointment,

formal delegation of authority, standing

orders.

Moral conduct Societal values, concept of social

justice and public interest; professional

values; training/induction programs.

Responsiveness Public participation and consultation,

debates; advisory bodies, public

meeting, freedom of speech.

Openness Parliamentary question times, public

information services, freedom of

information laws; public hearings,

annual reports.

Optimal resource utilization Budgets, financial procedures,

parliamentary public accounts

committess, auditing, public enquiries

and participation; formal planning

systems.

Improving efficiency and

effectiveness

Information systems, value for money

audits, setting objectives and

standards; program guidelines;

appraisal, feedback from public.

Berdasarkan tabel di atas akuntabilitas memiliki hubungan dengan

beberapa masalah, antara lain masalah legitimasi, kualitas moral dan tingkah

29

laku elit, responsif dan sensitif atas aspirasi masyarakat luas, masalah

keterbukaan atau transparansi, masalah penggunaan sumber-sumber secara

optimal, dan masalah efisiensi dan efektivitas. Dari tabel di atas juga terlihat

adanya instrumen atau cara untuk meningkatkan akuntabilitas, antara lain

yaitu sistem pemilihan, pendelegasian wewenang, penerapan norma-norma

sosial yang positif, profesionalisme, program-program pelatihan, partisipasi

masyarakat, konsultasi, kebebasan informasi, dengar pendapat (public

hearing), laporan tahunan, anggaran, auditing, sistem informasi, penerapan

standar, petunjuk program, dan umpan balik dari masyarakat (Tri Ratnawati,

2006: 222).

C. Pemerintahan Desa

1. Konsep Pemerintahan Desa

Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang

penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah

suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan

dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23).

Sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah

Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang

Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah

suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan

masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat huklum yang

mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan

30

berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun jugs disebutkan bahwa

desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat.

UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak

asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat

mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada

daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak

proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang.

Dihawatirkan UU ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah

masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun

1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No

22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya

yaitu PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong

peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain:

31

a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil

kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model

pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam

kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi

direduksi oleh kekuatan parpol.

b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7

PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif,

karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana

desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang

tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana, dan sarana serta sumber

daya manusia.

c. Dalam pengaturan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian

(alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan.

Bagian keuangan desa secara relativ pasti telah ditentukan dalam

Pasal 68 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal

10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan

keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota.

2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa

Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan

Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan

Perangkat Desa. Sesuai dengan PP Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal

32

29 dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa adalah “lembaga yang

merupakan perwujudan demokrasi dalam pentelenggaraan pemerintahan desa

sebagai unsur penyelenggara pemerintah”. Anggota Badan Permusyawaratan

Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan

keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat

(PP Nomor 72 Tahun 2005, Pasal 29).

Pemerintahan Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya “Otonomi

Desa” Pemerintahan Desa diartikan sebagai :

“Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem

penyelenggaraan Pemerintah, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa

bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan

laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati” (Widjaja, 2003: 3).

Berdasar PP No 72 tahun 2005 pasal 30 tentang Desa dijelaskan bahwa

anggota Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari Ketua Rukun Warga,

pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka

masyarakat lainnya. Sedangkan masa jabatan anggota Badan

Permusyawaratan Desa adalah enam tahun dan dapat diangkat atau diusulkan

kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota BPD

ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit lima orang dan paling banyak

sebelas orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan

kemampuan keuangan desa.

33

3. Kewenangan Pemerintah Desa

a. Kepala desa

Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan,

pembangunan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 PP No

72 Tahun 2005 tentang Desa, Kepala Desa memiliki wewenang sebagai

berikut:

1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan bersama BPD.

2) Mengajukan rancangan peraturan desa.

3) Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama

BPD.

4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai

APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD.

5) Membina kehidupan masyarakat desa.

6) Membina perekonomian desa.

7) Mengkoordinasi pembangunan desa secara partisipatif.

8) Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, dan.

9) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Desa mempunyai

kewajiban berdasar ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun

2005 tentang Desa, yaitu:

1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan

Undang-Undang Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

4) Melaksanakan kehidupan demokrasi.

5) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas

dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.

6) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan

desa.

7) Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan.

8) Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik.

34

9) Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan

desa.

10) Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa.

11) Mendamaikan perselisihan masyarakat desa.

12) Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa.

13) Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan

adat istiadat.

14) Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa.

15) Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan

lingkungan hidup.

Di atas telah disebutkan bahwa tugas dari kepala desa adalah

menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dimaksud dari urusan

pemerintahan yaitu antara lain pengaturan kehidupan masyararakat sesuai

kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa dan pembentukan

lembaga kemasyarakatan. Kemudian tugas kepala desa dalam hal

pembangunan yaitu antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan

sarana prasarana fasilitas umum. Sedangkan tugas kemasyarakatan kepala

desa yaitu meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan

sosial budaya masyarakat.

Atas pelaksanaan tugas tersebut, kepala desa berkewajiban memberikan

pertanggungjawaban berupa pembuatan laporan penyelenggaraan

pemerintahan desa yang ditujukan kepada Bupati/Walikota, dan laporan

pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan seluruh laporan

penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Di dalam laporan tersebut

berisi laporan dari semua kegiatan desa berdasarkan kewenangan desa yang

ada, serta tugas-tugas dan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten/kota. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala

desa ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan suatu akuntabiitas dalam

35

suatu pemerintahan desa serta sebagai upaya dalam perwujudan transparansi

pemerintah terhadap masyarakat.

b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005

tentang Desa disebutkan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa

mempunyai hak sebagai berikut:

1) Mengajukan rancangan peraturan desa.

2) Mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat.

3) Memilih dan dipilih.

4) Memperoleh tunjangan.

Sedangkan kewajiban Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan

ketentuan Pasal 37 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai

berikut:

1) Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan

perundang-undangan.

2) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa.

3) Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi

masyarakat, memproses pemilihan kepala desa, mendahulukan

kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan

golongan.

5) Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya dan adat istiadat

masyarakat setempat, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja

dalam lembaga kemasyarakatan.

Wewenang Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 34

PP No 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut:

1) Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa.

2) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan

peraturan kepala desa.

3) Mengusulkan pengankatan dan pemberhentian kepala desa.

36

4) Membentuk panitia pemilihan kepala desa, menggali, menampung,

menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

5) Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa.

6) Hak dari Badan Permusyawaratan Desa adalah : meminta keterangan

kepada Pemerintah Desa, menyatakan pendapat.

Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggungjawab

utama dalam bidang pembangunan Kepala Desa dapat dibantu lembaga

kemasyarakatan yang terdapat di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas

dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di

bawah serta bertanggungjawab kepada Kepala Desa, sedang kepala urusan

berada di bawah dan bertanggungjawab kepada sekretaris desa.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam

Pasal 209 meyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan

desa adalah sebagai berikut :

1. Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

2. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota

yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau

pemerintah kabupaten atau kota.

4. Urusan pemerintahan lainnya oleh peraturan perundang-undangan

diserahkan kepada desa.

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses

penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsif. Sehingga diharapkan

terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah

yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan

kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, pembuatan Perdes

bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala

37

desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan otonomi desa bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan

kepentingan dan aspirasi masyarakat.

D. Pemberdayaan Masyarakat

1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan

potensi yang dimiliki masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan

jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan

mengembangkan diri secara mandiri baik dibidang ekonomi, sosial, agama,

dan budaya. Pemberdayaan masyarakat terutama di pedesaan tidak cukup

hanya dengan upaya meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan

usaha yang sama atau modal saja, tetapi harus diikuti pula dengan perubahan

struktur sosial ekonomi masyarakat, mendukung berkembangnya potensi

masyarakat melalui peningkatan peran, produktivitas dan efisiensi (Widjaja,

2003:169).

Kartasasmita (1996: 45), menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat

adalah sebuah konsep pebangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai

sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang

bersifat “people-centered, participatory, empowering and sustainable”.

Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar

(basic need) atau meyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan

lebih lanjut (safety net), yang pemikiranya belakangan ini banyak

dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep

38

pertumbuhan di masa lalu. Menurut Sumodiningrat (1999:32), pemberdayaan

masyarakat merupakan upaya untuk mendirikan masyarakat lewat

perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan

masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu

masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh

kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Dalam konsep pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka (1996: 55),

manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses kepada masyarakat agar

menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar memmpunyai

kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih

lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau

lapisan masyarakat yang tertinggal. Sementara itu Vindyandika (2004: 36)

menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian

atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang

lebih dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitikberatkan pada

sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan

antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman

konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis

dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan

alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat.

Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang

berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka

pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan

39

atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan

dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya

(Sulistiyani, 2004: 7). Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang

dikemukakan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya

pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau

memberikan daya, kekuatan, atau kemampuan kepada individu masyarakat

lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan

potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif

pemecahnya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki

secara mandiri.

Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (1) inklusi

dan partisipasi; (2) akses pada informasi; (3) kapasitas organisasi lokal; dan

(4) profesionalitas pelaku pemberdaya. Keempat elemen ini terkait satu sama

lain dan saling mendukung. Inklusi berfokus pada bagaimana mereka

diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka

diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi

bagian dari kelompok yang yang diberdayakan. Unsur kedua, akses pada

informasi, adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat

dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi

meliputi ilmu pengetahuan, program dan kinerja pemerintah, hak dan

kewajiban dalam masyarakat, ketentuan tentang pelayanan umum, dan

sebagainya.

40

Unsur ketiga adalah kapasitas organisasi lokal, merupakan kemampuan

masyarakat untuk bekerja bersama, mengorganisasikan perorangan dan

kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi sumber-sumber

daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Masyarakat yang

organized lebih mampu membuat suaranya terdengar dan kebutuhannya

terpenuhi. Sedangkan unsur yang terakhir, profesionalitas pelaku pemberdaya

adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah atau LSM

untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan

yang diperluakan untuk melayani kepentingan masyarakat. Pelaku

pemberdaya juga harus mampu mempertanggungjawabkan kebijakan dan

tindakannya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

(www.unisosdem.com).

Pemberdayaan merujuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara

sistematis dan mencerminkan pertahapan kegiatan atau upaya mengubah

masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan

berkemampuan menuju keberdayaan. Makna “memperoleh” daya, kekuatan

atau kemampuan merujuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan

atau meningkatkan daya, kekuatan, atau kemampuan sehingga memiliki

keberdayaan. Kata “memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi

sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh

karena itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh daya tau

kemampuan. Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif

bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau

41

kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemammpuan,

misalnya pemerintah atau agen-agen pembanguan lainnya

(http://p3b.bappenas.go.id).

2. Proses Pemberdayaan Masyarakat

Proses pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan.

Pertama proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan

atau mengalihkan sebagai kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada

masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut

dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan

pada proses menstimulasi, mendorong atu memotivasi individu agar

mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang

menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog (Pranarka, 1996: 45).

Kartasasmita (1996: 23) menatakan bahwa proses pemberdayaan dapat

dilakukan melalui tiga proses yaitu: pertama: menciptakan suasana atau iklim

yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik

tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat

dikembangkan. Artinya tidak ada sumber daya manusia atau masyarakat

tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya,

kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan

membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta

berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi daya yang

dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan langkah yang

42

lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga

mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah

yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya

dalam menghadapi yang kuat.

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan

masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan.

Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo, (1999: 16)

menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu

memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi

kondisi perubahan ke depan, (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3)

memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang

memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5)

bertanggung jawab atas tindakannya.

Tjokrowinoto (2001: 32) menyatakan bahwa meskipun proses

pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses pemberdayaan,

namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan

dengan mulus dalam pelaksanaanya. Tak jarang ada kelompok-kelompok

dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap

“pembaharuan”ataupun inovasi yang muncul. Tjokrowinoto (2001: 34)

menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat,

baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem

sosial:

43

a. Berasal dari Kepribadian Individu; kesetabilan (Homeostatis),

kebiasaan (Habit), seleksi ingatan dan persepsi (Selective Perception

and Retention), ketergantungan (Depedence), super-ego, yang terlalu

kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima

pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-Distrust).

b. Berasal dari sistem sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu

(Comformity to Norms), yang “mengikat” sebagian anggta masyarakat

pada suatu komunitas tertentu, kesatuan, dan kepaduan sistem dan

budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan

(vested Interest), hal yang bersifat sakral (The Sacrosanct), dan

penolakan terhadap orang luar (Rejection of Outsiders).

3. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah

membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut

meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka

lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami

oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan

serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan

masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau

kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah

kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, dan afektif serta sumber daya

lainnya yang bersifat fisik atau material. Pelaku pemberdayaan harus dapat

berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator yang baik. Pelaku

44

pemberdayaan tidak hanya dituntut untuk memperdaya pengetahuannya,

melainkan mereka dituntut meningkatkan ketrampilannya dalam mendesain

pemberdayaan.

Bentuk-bentuk kemampuan yang relevan dengan kualitas pelaku

pemberdayaan yakni: (1) kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang

ada, (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang

dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi, dan tujuan yang

mempunyai potensi memberikan input dan sumber bagi proses pembangunan,

(4) kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan

program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan (5) kemampuan

memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan

masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri

(Tjokrowinoto, 2001: 62).

Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung

secara bertahap, yaitu (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku

menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa

membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan

berupa wawasan berfikir atau pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar

dapat mengambil peran dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan

kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif,

kreatif, dan kemampuan inovativ untuk mengantarkan pada kemandirian

(Sulistiyani, 2004: 25).

45

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memajukan

masyarakat desa dalam pemberdayaan, diantaranya:

a. Fasilitasi untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi

masyarakat desa melalui kegiatan forum rembuk diskusi regular yang

dilakukan secara keliling antar desa (rural rountable discussion)

dengan pemahaman belajar dari pengalaman untuk menjadikan daur

program pemberdayaan.

b. Fasilitasi pemetaan partisipatif oleh masyarakat desa sebagai dasar

penggalian kebutuhan, permasalahan, potensi sumber daya alam, dan

masyarakat desa.

c. Memfasilitasi penggalangan dan penggunaan sumber dana untuk skala

kebutuhan prioritas dan perekonomian desa yang dituangkan dalam

PerDes dan APBDes baik dari pemerintah desa, BPD dan masyarakat

adalah mitra dan sekaligus agen perubahan yang mampu menyusun

dan merencanakan APBDes yang akan dituangkan dalam Alokasi

Dana Desa (ADD).

d. Memfasilitasi dan menumbuhkan fasilitator dari desa itu sendiri

sebagai agen perubahan dari dalam (PRA) yang memotivasi kegatan

belajar dan karakteristik desa untuk menemukan pola ekonominya

sendiri.

e. Memfasilitasi kaum perempuan untuk lebih terlibat dalam berbagai

kegiatan pemberdayaan dan perkembangan pedesaan.

f. Membuat media warga sebagai sarana akuntabilitas dan transparansi

dalam berkegiatan dan penggunaan anggaran desa.

g. Memanfaatkan sumber potensi desa, mengelola secara

berkesinambungan, dan ramah lingkungan.

E. Penelitian yang Relevan

Kajian penelitian yang relevan dengan peneliatian ini yaitu terdapat dalam

Penelitian yang dilakukan oleh Amin Rahmanurrasjid tahun 2008 yang

berjudul “Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggungjawaban

Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah

(Studi di Kabupaten Kebumen)”. Dalam penelitian tersebut disebutkan

bahwa kebijakan desentralisasi dan implementasi otonomi daerah pada yang

ada di Indonesia pada dasarnya menyangkut pengalihan kewenangan dan

sumber daya dari pusat ke daerah-daerah. Dalam sistem pembagian

46

kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan harus

dipertanggungjawabkan. Karena itu, setiap kekuasaan harus dipikirkan beban

tanggungjawab bagi setiap penerima kekuasaan. Untuk terwujudnya

pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan

yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan

secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik,

maka Kepala Daerah wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk LPPD, LKPJ, dan Informasi LPPD.

Bagi Pemerintah LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk

keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah.

F. Kerangka Berfikir

Dalam pelaksanaan otonomi desa salah satu agenda pokok yang hendak

dilaksanakan adalah suatu reformasi birokrasi. Saat ini setiap desa memiliki

hak untuk memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara

demokratis, baik dibidang politik, ekonomi, maupun budaya, memerlukan

suatu birokrasi yang reformis, efisien, kreatif, inovatif, dan mampu menjawab

tantangan dalam menghadapi ketidakpastian di masa kini dan akan datang.

Dengan penerapan otonomi desa yang mengedepankan desentralisasi dan

demokrasi, sangat besar harapan digantungkan agar pemerintahan desa dapat

meningkatkan akuntabilitasnya dengan mempertanggungjawabkan hasil kerja

mereka kepada masyarakat.

Dalam salah satu prinsip pelaksanaan otonomi desa yaitu dilaksanakannya

otonomi secara luas, nyata dan bertanggungjawab, tidak terkecuali dalam hal

47

pelimpahan kewenangan urusan pemerintahan, pemerintahan desa memiliki

kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan yang dilimpahkan dari

kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pemerintahan desa tersebut dituntut

adanya suatu aspek tata pemerintahan yang baik (Good Governance), dimana

salah satu karakteristik atau unsur utama dari Good Governance adalah

akuntabilitas. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk tanggungjawab

pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan

melalui media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Jadi,

akuntabilitas pemerintahan sangat diperlukan sebagai penunjang penerapan

otonomi desa agar dapat berjalan dengan baik.

Desa yang otonom akan memberi ruang gerak yang luas pada

perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan

tidak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan

pemerintah. Setiap desa memiliki kondisi dan potensi yang khas, berbeda

dengan desa lainnya, demikian pula aspirasi dan karakter masyarakatnya.

Oleh sebab itu, pembangunan di desa memang sepatutnya lebih banyak

ditentukan oleh masyarakat desa sendiri. Kedudukan pemerintah desa telah

diberi kewenangan penuh untuk memberdayakan masyarakatnya dan tentu

harus mempunyai kemampuan untuk mengurus rumah tangganya sendiri

dengan lebih mengedepankan hak-hak masyarakat.

Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa salah satu esensi dari

penerapan otonomi desa diarahkan sebagai wahana untuk mewujudkan peran

serta aktif masyarakat dalam pembangunan menuju masyarkat yang maju,

48

mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Dari esensi tersebut maka timbulah suatu

kewajiban untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat dimana di

dalamnya dicanangkan salah satu tujuan khusus yaitu meningkatkan

partisipasi ,masyarakat dalam merencanakan proses pengambilan keputusan,

implementasi, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.

Dari uraian kerangka berfikir di atas, dapat digambarkan secara jelas

dalam bagan di bawah ini:

Bagan 1

Kerangka Berfikir Penelitian

Otonomi Desa

Akuntabilitas

Pemerintahan Desa Pemberdayaan

Masyarakat