bab ii kajian teori a. motivasi kerja...

33
BAB II KAJIAN TEORI A. Motivasi Kerja Guru 1. Konsep Motivasi Kerja Guru Individu biasanya memiliki kondisi internal yang turut berperan dalam aktivitas dirinya sehari-hari, salah satu kondisi internal tersebut adalah motivasi. Berbicara tentang motivasi perlu pemahaman yang mendalam tentang konsep motivasi itu sendiri, dimana motivasi berasal dari kata motif yang berartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkitan tenaga munculyan suatu tingkah laku tertentu ( Uno, 2012: 3 ). Reksohadiprojo dan Handoko ( 2000: 252 ) mengemukakan bahwa Motivasi adalah kebutuhan pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan - kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Sedangkan menurut Wexley dan Yuki ( 1992: 113 ) Motivasi adalah suatu keadaan yang melatar belakangi individu untuk mencapai tujuan tertentu. Batasan pengertian ini memandang motivasi dari sudut kepentingan individual.

Upload: dinhdien

Post on 02-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II KAJIAN TEORI

A. Motivasi Kerja Guru

1. Konsep Motivasi Kerja Guru

Individu biasanya memiliki kondisi internal yang turut berperan

dalam aktivitas dirinya sehari-hari, salah satu kondisi internal tersebut

adalah motivasi. Berbicara tentang motivasi perlu pemahaman yang

mendalam tentang konsep motivasi itu sendiri, dimana motivasi berasal

dari kata motif yang berartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri

individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat.

Motif tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan

dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkitan

tenaga munculyan suatu tingkah laku tertentu ( Uno, 2012: 3 ).

Reksohadiprojo dan Handoko ( 2000: 252 ) mengemukakan bahwa

Motivasi adalah kebutuhan pribadi seseorang yang mendorong keinginan

individu untuk melakukan kegiatan - kegiatan tertentu guna mencapai

tujuan. Sedangkan menurut Wexley dan Yuki ( 1992: 113 ) Motivasi

adalah suatu keadaan yang melatar belakangi individu untuk mencapai

tujuan tertentu. Batasan pengertian ini memandang motivasi dari sudut

kepentingan individual.

Motivasi juga dapat dikatakan sebagai perbedaan antara dapat

melaksanakan dan mau melaksanakan. Motivasi lebih dekat pada mau

melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan. Motivasi adalah kekuatan

baik dari dalam maupuan dari luar yang mendorong seseorang untuk

mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan

kata lain, motivasi dapat di artikan sebagai dorongan mental terhadap

perorangan atau orang-orang sebagai anggota msyarakat. Motivasi dapat

juga diartikan sebagai proses untuk mencoba mempengaruhi orang atau

orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang di inginkan

sesuai dengan tujuan tertentu yang ditetapkan lebih dahulu (Uno, 2012: 4).

Motivasi juga dapat di nilai sebagai suatu daya dorong ( driving

force ) yang menyebabkan orang dapat berbuat sesuatu untuk mencapai

tujuan. Dalam hal ini, motivasi menunjuk pada gejala yang melibatkan

dorongan perbuatan terhadap tujuan tertentu. Jadi, motivasi dalam hal ini

sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yaitu tujuan. Motivasi

memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculanya karena

rangsangan atau dorongan oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah

tujuan. Tujuan ini menyangkut soal kebutuhan ( Uno, 2012 : 5).

Purwanto ( 2012: 64 ) Mengatakan bahwa fungsi motivasi bagi

manusia adalah: 1). Sebagai motor penggerak bagi manusia, ibarat bahan

bakar pada kenderaan, 2). Menentukan arah perbuatan, yakni kearah

perwujudan suatu tujuan atau cita-cita, 3). Mencegah peyelewengan dari

jalan yang lurus di tempuh untuk mencapai tujuan, dalam hal ini makin

jelas tujuan, maka makin jelas pula bentangan jalan yang harus di tempuh,

4). Menyeleksi perbuatan diri, artinya menentukan perbuatan mana yang

harus di lakukan,yang serasi guna mencapai tujuan dengan

menyampingkan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan itu.

pengertian motivasi menurut para ahli di atas dapat di simpulkan

bahwa motivasi adalah proses dorongan dari diri seseorang ataupun orang

lain dalam mencapai suatu tujuan.

Menurut Stooner ( dalam Notoatmodjo 2009:115 )

Mendefinisikan bahwa motivasi adalah sesuatu hal yang menyebabkan dan

yang mendukung tindakan atau perilaku seseorang. Callahan dan Clark (

dalam Sudirman 2000: 120 ) Mengemukakan bahwa motivasi adalah

tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke

arah tujuan tertentu.

Maslow ( Sondang 2004: 120 ) Mengemukakan bahwa motivasi

adalah tenaga pendorong dari dalam yang menyebabkan manusia berbuat

sesuatu atau berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan

pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah hal yang

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Sudirman ( 2000: 71 ) motivasi dapat diartikan sebagai daya

penggerak yang menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu

bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan. Hersey dan

Blanchard ( 1989: 82 ) menyatakan motivasi adalah kekuatan yang

mendorong seseorang untuk melakukan suatu kegiatan.

Mclleland ( dalam Mulyasa 2006:121 ) menyatakan bahwa

motivasi adalah unsur penentu yang mempengaruhi perilaku yang terdapat

dalam setiap indivudu. Motivasi adalah gaya penggerak aktif, yang terjadi

pada saat tertentu, terutama jika kebutuhan untuk mencapai tujuan sempat

dirasakan atau mendesak.

Berdasarkan pengertian motivasi yang dikutip di atas, dapat

disimpulkan motivasi adalah keinginan yang menggerakkan atau

mendorong seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu.

Pandangan tentang motivasi sebagai mana di sebutkan di atas,

semuanya di arahkan pada munculnya dorongan untuk mencapai tujuan

jika hal tersebut dikaitkan dengan dorongan setiap personal dalam

melakukan kegiatannya maka tujuan yang ingin dicapai tidak dapat di

lepaskan dengan konsep apa yang di kehendaki pimpinan. Itulah sebabnya

Gibson ( 1985: 64 ) memberikan pandangannya tentang motivasi, sebagai

suatu konsep yang dapat di gunakan ketika menggerakkan individu untuk

memulai dan berperilaku secara langsung, sesuai dengan apa yang di

kehendaki pimpinan. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan kepala

sekolah yang ingin menggerakkan gurunya untuk mengerjakan tugas,

harus lah mampu memotivasi guru tersebut sehingga guru akan

memusatkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk mencapai hasil yang

telah di tetapkan. Senada dengan pendapat tersebut, motivasi juga di

artikan sebagai keinginan untuk mencurahkan segala tenaga untuk

mencapai tujuan yang di inginkan. Proses ini di rangsang oleh kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan individu.

Pengertian motivasi yang dikutip di atas, dapat disimpulkan

bahwa motivasi adalah dorongan seseorang maupun diri sendiri dalam

berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan.

Berdasarkan pandangan beberapa konsep tentang motivasi diatas,

menurut Uno ( 2012: 47 ) terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari

motivasi, yaitu: 1) upaya, 2) tujuan organisasi, dan 3) kebutuhan. Unsur

upaya merupakan ukuran intensitas. Dalam hal ini apabila seseorang

termotivasi dalam melakukan tugasnya ia mencoba sekuat tenaga, agar

upaya yang tinggi tersebut menghasilkan kinerja yang tinggi pula. Oleh

karena itu,dalam pemberian motivasi terhadap seseorang diperlukan

pertimbangan kualitas kuantitas yang dapat membangkitkan upaya dan

diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi.

Unsur lain adalah unsur tujuan organisasi. Unsur ini begitu

penting, sebab segala upaya yang dilakukan seseorang atau sekelompok

orang semuanya diarahkan pada pencapaian tujuan. Tujuan dalam suatu

organisasi haruslah di tetapkan secara jelas. Kejelasan tujuan akan

mengarahkan segala aktivitas dan perilaku personal untuk mencapai tujuan

organisasi. makin jelas perumusan tujuan organisasi, maka makin mudah

setiap personal untuk memahaminya.

Unsur terahir yang terdapat dalam motivasi adalah kebutuhan.

Kebutuhan adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil-hasil

tertentu tampak menarik. Suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan

menciptakan keinginan yang merangsang dorongan-dorongan dalam diri

individu untuk mencapainya. Dorongan inilah yang menimbulkan prilaku

pencarian untuk menemukan tujuan-tujuan tertent. Dengan demikian,

pemberian motivasi tidak dapat dipisahkan dengan kebutuhan manusia.

Maslow ( dalam Sondang 2004: 134 ) Seorang ahli psikologi ini

telah mengembangkan teori motivasi yang mendasarkan pada kebutuhan

manusia di bedakan antara kebutuhan biologis dan kebutuhan psikologis,

atau disebut kebutuhan materil (biologis) dan kebutuhan non materi

(psikologis). Maslow mengembangkan teori ini setelah ia mempelajari

kebutuhan-kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat atau sesuai dengan

“hierarki” dan manyatakan bahwa:

1. Manusia adalah suatu makhluk sosial “berkeinginan”, dan keinginan ini

menimbulkan kebutuhan yang perlu di penuhi. Keinginan atau kebutuhan

ini bersifat terus-menerus, dan selalu meningkat.

2. Kebutuhan yang telah terpenuhi (dipuaskan), mempunyai pengaruh untuk

menimbulkan keinginan atau kebutuhan lain dan yang lebih meningkat.

3. Kebutuhan manusia tersebut tampaknya berjenjang atau bertingkat-tingkat.

Tingkatan tersebut menunjukan urutan kebutuhan yang harus di penuhi

dalam suatu waktu tertentu. Satu motif yang lebih tinggi tidak akan dapat

mempengaruhi atau mendorong tindakan seseorang, sebelum kebutuhan

dasar terpenuh. Dengan kata lain, motif-motif yang bersifat psikologis

tidak akan mendorong perbuatan seseorang, sebelum kebutuhan dasar

(biologis) tersebut terpenuhi.

4. Kebutuhan yang satu dengan kebutuhan yang lain saling kait mengait,

tetapi tidak terlalu dominan keterkaitan tersebut. Misalnya, kebutuhan

untuk pemenuhan kebutuhan berafiliasi dengan orang lain, meskipun

kedua kebutuhan tersebut saling berkaitan.

Menurut McClelland ( dalam Notoatmodjo. 2009: 115 )

Mengatakan bahwa dalam diri manusia ada dua motivasi atau motif, yakni

motif primer atau motif yang tidak dipelajari, dan motif sekunder atau

motif yang di pelajari melalui pengalaman serta interaksi dengan orang

lain. Oleh karena motif sekunder timbul karena interaksi dengan orang

lain, maka motif ini sering juga di sebut motif sosial. Motif primer atau

motif yang tidak di pelajari ini secara alamiah timbul pada setiap manusia

secara biologis. Motif ini mendorong seseorang untuk terpenuhinya

kebutuhan biologisnya misalnya makanan, minuman, seks dan kebutuhan-

kebutuhan biologis lainnya.

Sedangkan motif sekunder adalah motif yang ditimbulkan karena

dorongan dari luar akibat interaksi dengan orang lain atau interaksi sosial.

Selanjutnya motif sosial ini oleh Clevelland yang di kutip oleh

Notoatmodjo ( 2009: 116 ) dibedakan menjadi tiga motif, yakni: (1).

Motif untuk berprestasi (need for achievement), (2). Motif untuk

berafiliasi (need for affiliation), (3). Motif untuk berkuasa (need for

power)

Selanjutnya Frederick Herzberg adalah seorang ahli psikologi dari

Universitas Cleveland, Amerika Serikat Pada Tahun 1950 telah

mengembangkan teori motivasi “Dua faktor” (Herzberg’s Two Factors

Motivation Theory). Dikutip dalam buku Notoatmodjo ( 2009: 119 )

Menurut teori ini, ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang dalam

tugas atau pekerjaannya, yakni:

1. Faktor-faktor penyebab kepuasan (satisfierr) atau faktor motivasional

Faktor penyebab kepuasan ini menyangkut kebutuhan psikologis

seseorang, yang meliputi serangkaian kondisi intrinsik. Apa bila kepuasan

kerja dicapai dalam pekerjaan, maka akan menggerakkan tingkat motivasi

yang kuat bagi seorang pekerja, dan akhirnya dapat menghasilkan kinerja

yang tinggi. Faktor motivasional (kepuasan) ini mencakup antara lain: (a).

Prestasi (achivement), (b). Penghargaan (recognation), (c). Tanggung

Jawab (responsibility), (d). Kesempatan untuk maju (posibility of growth),

(e). Pekerjaan itu sendiri ( Work )

2. Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan (dissatisfaction) atau faktor

higiene

Faktor-faktor ini menyangkut kebutuhan akan pemeliharaan atau

maintenance factor yang merupakan hakikat manusia yang ingin

memperoleh kesehatan badaniah. Hilangnya faktor-faktor ini akan

menimbulkan ketidak puasan bekerja (disatisfaction). Faktor higienes yang

menimbulkan ketidakpuasan kerja ini antara lain: (a). Kondisi kerja fisik

(physical enviroment), (b). Hubungan interpersonal (interpersonal

relationship), (c). Kebijakan dan administrasi perusahan (Company and

administration policy), (d). Pengawasan (supervision), (e). Gaji (salary),

(f). Keamanan kerja (job securit )

( Notoatmodjo. 2009: 118 ) Berdasarkan beberapa pandangan para

ahli tentang motivasi di atas, maka dikemukakan inti dari pandangan

tersebut sebagai berikut:

a. Para ahli teori menyajikan penafsiran yang sedikit berbeda dan

menekankan pada faktor yang berbeda-beda. Hal ini menunjukan

bahwa tidak terdapat suatu rumusan yang baku tentang motivasi, di

mana terdapat perbedaan pada faktor yang bervariasi.

b. Motivasi erat hubungannya dengan prilaku dan prestasi kerja. Hal ini

memberi arti bahwa makin baik motivasi seseorang dalam melakukan

pekerjaannya maka makin baik pula prestasi kerjanya, atau

sebaliknya.

c. Motivasi diarahkan untuk mencapai tujuan. Pemberian motivasi

haruslah diarahkan untuk mencapai tujuan. Itulah sebabnya

perumusan tujuan dalam suatu organisasi haruslah jelas dan rasional.

Hanya dengan kejelasan tujuan maka semua personal yang terlibat

dalam organisasi dapat dengan mudah memahami dan

melaksanakannya.

d. Perbedaan fisiologis, psikologis dan lingkungan merupakan faktor

penting yang perlu diperhatikan pimpinan dalam memotivasi

karyawan atau bawahan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa

setiap karyawan atau bawahan memiliki perbedaan fisiologis,

psikologis, serta berasal dari lingkungan yang berbeda.

Selanjutnya, bagaimana pandangan tentang motivasi kerja? Untuk

membahas motivasi kerja, terlebih dahulu dikemukakan pandangan kerja

itu sendiri. Pandangan kerja dan bekerja dewasa ini, bukanlah seperti

pandangan konservatif yang menyatakan bahwa kerja jasmaniah adalah

bentuk hukuman sehingga tidak disukai orang. Akan tetapi dewasa ini,

kerja dan bekerja sudah menjadi kebutuhan.

Oleh karena itu, visi moderen melihat kerja sebagai: (1). Aktivitas

dasar dan dijadikan bagian esensial dari kehidupan manusia. Seperti

bermain bagi anak-anak, maka kerja selaku aktivitas sosial bisa

memberikan kesenangan dan arti sendiri bagi kehidupan orang dewasa,

(2). Kerja memberikan status dan mengikat seseorang kepada individu lain

dan masyarakat, (3). Pada umumnya, wanita maupun pri menyukai

pekerjaan, jadi mereka suka bekerja, (4). Moral pekerja dan pegawai tidak

mempunyai kaitan langsung dengan kondisi fisik atau material dari

pekerjaan, (5). Insentif kerja banyak sekali bentuknya, di antaranya ialah

uang, dalam kondisi normal merupakan insentif yang paling tidak penting.

Berbagai ciri yang dapat diamati bagi seseorang yang memiliki

motivasi kerja, antara lain sebagai berikut: 1). Kinerjanya tergantung pada

usaha dan kemampuan yang dimilikinya dibandingkan kinerja melalui

kelompok, 2). Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas

yang sulit, dan 3). Seringkali terdapat umpan balik yang konkret tentang

bagaimana seharusnya ia melaksanakan tugas secara optimal, efektif dan

efisien.

Mengacu pada uraian teoritis di atas, dapat didefinisikan bahwa

motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja

seseorang. Besar atau kecilnya pengaruh motivasi pada kinerja seseorang

tergantung pada seberapa banyak intensitas motivasi yang di berikan.

Selanjutnya dipaparkan devenisi operasional dari motivasi kerja sebagai

berikut. Motivasi kerja adalah dorongan dari dalam diri dan luar diri

seseorang, untuk melakukan sesuatu yang terlihat dari dimensi internal dan

dimensi eksternal.

Wahjosumidjo ( 1992: 177 ) Motivasi kerja adalah Dorongan kerja

yang timbul pada diri seseorang untuk berprilaku dalam mencapai tujuan

yang telah ditetapkan. Motivasi kerja adalah keseluruhan proses pemberian

motivasi bekerja kepada para bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka

mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan

efisien dan ekonomis ( Siagian, 2004: 106 ). Sedangkan menurut (Usman,

2002 : 28) Motivasi adalah suatu proses untuk menggiatkan motif-motif

menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan

mencapai tujuan atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang

mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan.

Motivasi kerja guru adalah keseluruhan proses pemberian

motif atau dorongan kerja pada para guru sebagai agen pendidikan dan

pengajaran, agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai sesuai

dengan rencana apa yang diharapkan. Dengan demikian, Motivasi kerja

guru adalah suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan guru agar

perilaku mereka dapat di arahkan pada upaya-upaya yang nyata untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Variabel motivasi kerja yang telah

di uraikan dalam pembahasan ini, hampir sama dengan variabel lain yang

sangat berpengaruh pada kinerja guru di sekolah ( Uno. 2012: 72 ).

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Guru

Yunus ( 2007: 45 ) mengemukakan sejumlah faktor-faktor dalam

pekerjaan yang mempengaruhi motivasi kerja individu sebagai berikut: a).

Rasa aman (security), yaitu adanya kepastian untuk memperoleh pekerjaan

tetap, memangku jabatan di organisasi selama mungkin seperti yang

mereka harapkan. b). Kesempatan untuk maju (type of work), yaitu adanya

kemungkinan untuk maju, naik tingkat, memperoleh kedudukan dan

keahlian. c). Tipe pekerjaan (type of work), yaitu adanya pekerjaan yang

sesuai dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, bakat, dan minat.

d). Nama baik tempat bekerja (company), yaitu perusahaan (sekolah) yang

memberikan kebanggaan karyawan bila bekerja di perusahaan atau sekolah

tersebut. e). Rekan kerja (Co worker), yaitu rekan kerja yang sepaham,

yang cocok untuk kerja sama. f). Upah (pay), yaitu penghasilan yang

diterima. g). Penyelia (Supervisor), yaitu pemimpin atau atasan yang

mempunyai hubungan baik dengan bawahannya, mengenal bawahannya,

dan mempertimbangkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh

bawahannya. h). Jam kerja (work hours), yaitu jam kerja yang teratur atau

tertentu dalam sehari. i). Kondisi kerja (working condition), yaitu seperti

kebersihan tempat kerja, suhu, ruangan kerja, ventilasi, kegaduhan suara,

bau, dan sebagainya. j). Fasilitas (benefit), yaitu kesempatan cuti, jaminan

kesehatan, pengobatan dan sebagainya.

3. Upaya Meningkatkan Motivasi Kerja Guru

Kepala sekolah perlu meningkatkan kemampuan dan keterampilan

para pelaksana pendidikan. Sebagai pemimpin dalam suatu lembaga

pendidikan hendaknya kepala sekolah memiliki pengetahuan yang luas dan

keterampilan kepemimpinan. Hal itu perlu dimiliki agar mampu

mengendalikan, mempengaruhi dan mendorong bawahannya dalam

menjalankan tugas dengan jujur, tanggung jawab, efektif dan efesian, (

Suyanto & Djihad H. 2000: 26 ) Kepala sekolah dalam meningkatkan

motivasi kerja guru dengan:

a. Menetapkan sistem manajemen terbuka yaitu kepala sekolah

menerima saran, kritik yang muncul dari semua pihak lingkungan baik

dari guru, karyawan serta siswa. Manajemen terbuka ini memberikan

kewenangan kepada para guru untuk memberika saran bahkan kritik

yang membangun bagi sekolah.

b. Kepala sekolah juga menerapkan pembagian tugas dan tanggungjawab

dengan para guru agar guru yang terlibat lebih memahami tugasnya

masing-masing dan diharapkan adanya kerjasama dalam rangka

mencapai tujuan bersama.

c. Kepala sekolah menerapkan hubungan vertikal ke bawah yaitu kepala

sekolah menjalin hubungan baik terhadap semua bawahan yaitu

kepada guru dan karyawan hal ini dilakukan agar mereka bersedia

melaksanakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya, memupuk kesetian

dan tanggung jawab kepada pimpinan, tugas dan tempat kerja. Kepala

sekolah juga melakukan pendekatan-pendekatan untuk meningkatkan

daya kreasi, inisiatif yang tinggi untuk mendorong semangat

bawahannya.

d. Kepala sekolah melakukan pemetaan program-program kegiatan

untuk meningkatkan motivasi kerja guru seperti: kegiatan briefing,

penghargaan bagi guru yang berprestasi, peningkatan kesejahjetraan

guru, peningkatan SDM, memberikan pelatihan untuk para guru,

memberikan perhatian secara personel, workshop, outbond. Melalui

program-program tersebut maka diharapkan guru-guru mampu

mengembangkan proses kerjanya dan mampu menghasilkan output

yang baik sesuai program yang diselenggarakan.

e. Kepala sekolah melakukan pengawasan yang bersifat continue dan

menyeluruh yaitu pengawasan yang meliputi seluruh aspek antara

lain: personel, pelaksanaan kegiatan, material dan hambatan-

hambatan. Pengawasan yang dilakukan kepala sekolah berdasarkan

pada tujuan sekolah, agar pekerjaan atau kegiatan dapat berlangsung

sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dan untuk mengetahui

hambatan ataupun kesalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan

f. Kepala sekolah melakukan evaluasi meliputi evaluasi terhadap uraian

tugas dan evaluasi bukti-bukti dokumen, dengan cara melihat

langsung terhadap bukti-bukti tugas yang telah dilakanakan oleh guru

kemudian memberikan masukan apabila terdapat kesalahan atau

kurang sesuai dengan kriteria yang diharapakan. Kepala sekolah

memberikan solusi terhadap hambatan-hambatan yang dihadapi oleh

guru dalam melakukan tugasnya.

Menurut Yunus ( 2007: 40 ) Terdapat beberapa prinsip yang dapat

diterapakan kepala sekolah untuk mendorong guru agar mau dan mampu

meningkatkan motivasi kerja yaitu: 1). Kegiatan yang dilakukan menarik

dan menyenangkan. 2). Tujuan kegiatan perlu disusun dengan jelas dan

diinformasikan tentang hasil setiap pekerjaannya. 3). Pemberian hadiah

lebih baik dari ada hukuman, maupun sewaktu-waktu hukuman juga

diperlukan. 4). Memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan

bahwa kepala sekolah memperhatikannya, sehingga setiap pegawai

memperoleh kepuasaan dan penghargaan.

B. Kepemimpinan Transaksional Kepala Sekolah

1. Kepemimpinan Tansaksional Kepala Sekolah

Mulyasa ( 2006: 107 ) Kepemimpinan merupakan suatu hal yang

sangat penting dalam manajemen sekolah. Kepemimpinan berkaitan

dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk

mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang

kondusif. Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kerja para guru

dengan menunjukan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan

terhadap para guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Perilaku pemimpin yang positif dapat mendorong kelompok dalam

mengarahkan dan memotivasi individu untuk bekerja sama dalam

kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.

Kepemimpinan diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi

orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Sutisna ( 1993: 112 ) kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi

kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha kearah pencapaian tujuan

dalam situasi tertentu.

Soepardi ( 1988 : 76 ) Mendefinisikan kepemimpinan sebagai

kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak,

mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah,

melarang dan bahkan menghukum (kalau perlu), serta membina dengan

maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam

rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien.

Wahyudi ( 2009: 119 ) Kepemimpinan merupakan kemampuan

untuk memperdayakan (empowering) bawahan atau anggota sehingga

timbul inisiatif untuk berkreasi dalam berkerja dan hasilnya lebih

bermakna bagi organisasi dengan sekali-kali pemimpin mengarahkan,

menggerakkan, dan mempengaruhui anggota. Inisiatif pemimpin harus

direspon sehingga dapat mendorobg timbulnya sikap mandiri dalam

bekerja dan berani mengambil keputusan dalam rangka percepatan

pencapaian tujuan organisasi.

Mc Farland ( dalam Sagala 2008: 145 ) Mengemukakan bahwa

kepemimpinan dalah sebagai suatu proses di mana pemimpin digambarkan

akan memberi perintah atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi

pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah

ditetapkan.

Masaong & Ansar ( 2011: 237 ) Kepemimpinan adalah proses

untuk mengarahkan, menggerakkan dan mempengaruhi kegiatan-kegiatan

yang berhubungan dengana tuga-tugas anggota kelompok/organisasi dalam

rangka mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian kepemimpinan

dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakkan,

mengarahkan, sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap

anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam mengambil

keputusan untuk kepengtingn percepatan pencapaian tujuan yang telah

ditetapka ( Wahyudin. 2009: 120 ).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas di tarik suatu kesimpulan

bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dalam memperdayakan

bawahan atau anggota kelompok agar ada inisiatif dalam bekerja untuk

mencapai tujuan yang telah di tetapkan bersama.

Kemampuan mempengaruhi prilaku orang lain karena tujuan

tertentu sebagai indikator keberhasilan seorang pemimpin. Selanjutnya

sebagai perbandingan kita kemukakan beberapa pendapat yang

dikemukakan oleh penulis buku prilaku organisasi antara lain, Robert (

1982: 132 ) Mengartikan kepemimpinan sebagai keterlibatan yang

dilakukan secara sengaja untuk mempengaruhi prilaku orang sebagaimana

dikemukakan berikut: Leadership involves intentionally exercising on the

behavior of others people “. Hal senada dikemukakan oleh Billick, B. &

Peterson, J.A. ( 1999: 2 ), “leadership can be defined as the ability to

influence the behavior and actions of others to achieve an intended

purpose”.

George R. Terry ( dalam Hersey & Blanchard. 1977: 84 )

Mengatakan bahwa kepemimipinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-

orang untuk berusaha mencapai tujuan kelompok secara suka rela. Koontz

dan O’Donnel, C. Mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah upaya

mempengaruhi orang-orang untuk ikut dalam pencapaian tujuan bersama.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa

kepemimpinan adalah kepemimpinan adalah suatu proses atau upaya

mempengaruhi dan mengarahkan orang-orang untuk ikut dalam

pencapaian tujuan bersama.

Masaong & Ansar ( 2011: 237 ) Implikasi kepemimpinan ini antara

lain: 1). Kemepimimpinan menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut,

2). Kepemimpinan menyangkut suatu pembagian kekuasaan yang tidak

seimbang di antara para pemimpin dan anggota kelompok, 3). Selai dapat

menggerakkan dan memberikan pengarahan kepada para bawahan atau

pengikut, pemimpin juga menggunakan pengaruh, dan 4). Kepemimpinan

merupakan kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk

mengarahkan dan mempengaruhi pegawai atau anggota kelompok agar

bekerja untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah

ditetapkan.

Dari beberapa pengertian para ahli di atas dpat di simpulkan bahwa

kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi atau mengajak dan

mengarahkan orang lain atau kelompok untuk bekerja dalam mencapai

tujuan yang di ingin kan organisasi.

Berdasarkan konsep kepemimpinan yang telah dikemukakan,

menurut Komariah dan Triatna ( 2005: 75 ) Kepemimpinan transaksional

adalah kepemimpinan yang menekankan pada tugas yang di emban

bawahan. Pemimpin adalah seorang yang mendesain pekerjaan beserta

mekanismenya, dan staf adalah seseorang yang melaksanakan tugas sesuai

dengan kemampuan dan keahlian.

Kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan

bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar

keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent

reward dan management by exception. Pada contingent reward dapat

berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah dilaksanakan,

berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal ini

dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan

terhadap upaya upayanya. Selain itu, pemimpin bertransaksi dengan

bawahan, dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan

bawahan, menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang

kemungkinan mempengaruhi terjadinya kesalahan. Management by-

exception menekankan fungsi managemen sebagai kontrol. Pimpinan

hanya melihat dan mengevaluasi apakah terjadi kesalahan untuk diadakan

koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan apabila standar

tidak dipenuhi oleh bawahan. Praktik management by exception, pimpinan

mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan dan menindak lanjuti

dengan memberikan apakah bawahan dapat berupa pujian untuk

membesarkan hati bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan yang

dibuat bawahan memenuhi standar. Burns (1978)

http://kppnrantauprapat.net/files/artikel/Kepemimpinan_Transaksional.pdf

Kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin

memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan

reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi bawahan

dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan

tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini

mendorong Burn ( dalam Masaong & Arfan A. 2011:163 )

Mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan

yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu

menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Pola hubungan yang

dikembangkan kepemimpinan transaksional adalah berdasarkan suatu

sistem timbal balik (transaksi) yang sangat menguntungkan (mutual system

of reinforcement), yaitu pemimpin memahami kebutuhan dasar para

pengikutnya dan pamimpin menemukan penyelesaian atas cara kerja dari

para pengikutnya tersebut. Pemimpin transaksional merancang pekerjaan

sedemikian rupa yang disesuaikan jenis dan jenjang jabatan dan

melakukan interaksi atau hubungan mutualistis.

Menurut Bycio ( 1995: 104 ) kepemimpinan transaksional adalah

gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan

perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan

karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut

didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja,

penugasan kerja, dan penghargaan. Jadi, kepemimpinan transaksional

menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk

memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang

telah mereka setujui bersama. Pada hubungan transaksional, pemimpin

menjanjikan dan memberikan penghargaan kepada bawahannya yang

berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang

berkinerja buruk. Apakah penghargaan yang dijanjikan atau terhindarnya

dari hukuman itu mampu memotivasi bawahannya untuk meningkatkan

kinerjanya? Hal ini tergantung pada apakah pemimpinnya mampu

mengendalikan penghargaan dan hukuman tersebut, serta apakah bawahan

menginginkan penghargaan atau takut terhadap hukuman tersebut.

Arfan A ( 2011: 164 ) Kepemimpinan transaksional juga

dipandang sebagai contingent reinforcemet atau dorongan kontingen

dalam bentuk reward yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja,

yaitu manakalah para staf menunjukan keberhasilan atau kemajuaan dalam

dalam pencapaian sasaran target yang diharapkan, mereka mendapatkan

kontingen posotif berupa imbalan. Namun, apabila staf menunjukan

kinerja yang sebaliknya, yaitu kegagalan dalam berbagai kesalahan, maka

dorongan kontingen negatif atau aversif dapat dikenakan berupa hukuman

sesuai yang telah disepakati. Pemimpin bercirikan transaksi, enggan

membagikan pengetahuannya kepada staf karena menganggap

pengetahuan tersebut dapat dijadikan alat koreksi atau menjadi pengkritik

moral yang kuat bagi berbaikan iklim kerja yang terlalu berorientasi tugas

dan sedikit mengabaikan aspek kepribadian manusia.

Sedangkan Bass ( dalam Komariah 2005: 214 ) mendefinisikan

kepemimpinan transaksional adalah sejumlah langkah dalam proses

transaksional yang meliputi: pemimpin transaksional memperkenalkan apa

yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa

yang akan bawahan peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi.

Pemimpin menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin

tanggap terhadap minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan

kinerjanya.

( Masaong & Arfan A. 2011:162 ) Kepemimpinan transaksional

lebih di fokuskan pada peranannya sebagai manajer karena ia sangat

terlibat dalam aspek-aspek prosedural manajerial yang metalogis dan fisik.

Dikarenakan sistem kerja yang jelas merujuk kepada tugas yang diemban

dan imbalan yang diterimah sesuia dengan derajat pengorbanan dalam

pekerjaan maka kepemimpinan transaksional yang sesuai diterapkan

ditengah-tengah staf yang belum matang, dan menekankan pada

pelaksanaan tugas untuk mendapatkan intensif bukan pada aktualisasi diri.

Oleh karena itu, kepemimpinan transaksional dihadapkan pada orang-

orang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi sandang,

pangan dan papan.

Masaong ( 2011: 162 ) Kepemimpinan transaksional tidak

mengembangkan pola hubungan laissez faire atau membiarkan personel

menentukan sendiri pekerjaannya karena dikhawatirkan dengan keadaan

personel yang perlu pembinaan, pola ini dapat menyebabkan mereka

menjadi pemalas dan tidak jelas apa yang dikerjakannya.

kepemimpinan transaksional digantikan dengan bekerja bersama

perorangan atau kelompok, menyiapkan dan mendefinisikan perjanjian

atau kontrak kerja untuk mencapai tujuan pekerjaan secara spesifik,

menemukan kecakapan individual, dan menspesifikasikan kompensasi dan

hadiah yang dapat diharapkan atas keberhasilan pemenuhan tugas.

Dalam bentuk korektif, kepemimpinan transaksional berfokus pada

penyiapan standard secara aktif. Dalam bentuk pasifnya, kepemimpinan ini

melibatkan menunggu kesalahan-kesalahan harus terjadi sebelum

mengambil tindakan. Dalam bentuknya yang aktif, ada monitoring secara

dekat untuk terjadinya kesalahan. Baik dalam bentuk aktif maupun pasif,

kepemimpinan transaksional berfokus pada mengidentifikasi kesalahan.

Banyak konsultan yang menggunakan MLQ telah menemukan bahwa

kepemimpinan jenis ini berguna untuk memberikan label Contingent

Reward (CR) dan Management-by-Exception: Active (MBEA) sebagai

Kepemimpinan Transaksional dan Management-by-Exception: Passive

(MBEP) dan Laissez faire sebagai Kepemimpinan Pasive/Penghindaran

(Avolio and Bass, 2004). Akses di Internet.

Karakteristik Kepemimpinan Transaksional

Pengadaan Imbalan, pemimpin menggunakan serangkaian imbalan

untuk memotivasi para anggota, Imbalannya berupa kebutuhan

tingkatfisiologis.

Eksepsi/pengecualian, d imana pemimpin akan member i

t indakan koreksi atau pembatalan imbalan atau sanksi apabila

anggota gagal mencapai sasaran prestasi yang ditetapkan.

2. Fungsi Kepemimpinan

Fungsi artinya jabatan (pekerjaan) yang dilakukan atau kegunaan

sesuatu hal. Sedangkan fungsi kepemimpinan adalah serangkaian tugas-

tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin.

Fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan

dalam interaksi antar individu di dalam situasi suatu kelompok/organisasi.

Menurut Rivai ( 2006:53 ) fungsi kepemimpinan memiliki dua dimensi

yaitu: (a). Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan

mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin. (b).

Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) orang-orang

yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok

kelompok/organisasi.

Rivai ( 2006:53 ) mengemukakan fungsi pokok kepemimpinan adalah:

a. Fungsi Instruksi

Fungsi ini bersifat komunikasi satau arah. Pemimpin sebagai

komunikator merupakan pihak yang menentukan apa, bagaimana,bilamana

dan dimana perintah itu dikerjakan agar keputusan dikerjakan secara

efektif. Kepemimpinan yang efektif merupakan kamampuan untuk

menggerakkan dan memotivasi staf agar mau melaksanakan perintah.

b. Fungsi Konsultasi

Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam

usaha menetapkan keputusan, pemimpin kerapkali memerlukan bahan

pertimbangan, yang mengharuskannya berkonsultasi dengan orang-orang

yang dipimpinya yang dinilai mempunyai berbagai bahan informasi yang

diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi dari

pemimpin pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan setelah

keputusan ditetapkan dan sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu

dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa umpan balik (feed back)

untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang telah

ditetapkan dan dilaksanakan.

c. Fungsi Partisipasi

Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan

orang-prang yang dipimpinnya, baik dalam keikut sertaan mengambil

keputusan maupun dalam melaksanakannya. Partisipasi tidak berarti bebas

berbuat semuanya, tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa

kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang

lain.

d. Fungsi Delegasi

Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang

membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tampa

persetujuan pemimpin. Fungsi delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan.

Orang-orang menerima delegasi itu harus diyakini merupakan pembantu

pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi dan aspirasi.

e. Fungsi pengendalian

Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang

sukses/efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan

dalam kordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan

bersama sacara maksimal. Fungsi pengendalian dapat diwujudkan melalui

kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan.

Delapan Fungsi Kepemimpinan Kepala Sekolah, Kepala Sekolah

sebagai seorang pemimpin dalam praktik sehari-hari harus selalu berusaha

memperhatikan dan memperaktikkan delapan fungsi kepemimpinan

didalam kehidupan sekolah

1. Menciptakan kebersamaan diantara guru dan orang-orang yang

menjadi bawahanya.

2. Menciptakan rasa aman didalam lingkungan sekolah sehingga para

guru dan orang-orang yang menjadi bawahan dalam melaksanakan

tugasnya meraka merasa aman, bebas dari segala perasaan gelisah,

kekhawairan, serta memperoleh jaminan keamanan (providing

security)

3. Memberikan saran, anjuran dan sugesti untuk memlihara serta

meningkatkan semangat para guru, staff dan siswa, rela berkorban

demi menumbuhkan rasa kebersamaan dalam melaksanakan tugas

masing- masing.

4. Bertanggung jawab memenuhi dan menyediakan dukungan yang

diperlukan oleh para guru.

5. Sebagai katalistor, dalam arti mampu menimbulkan dan

menggerakkan semangat para guru, staf dan siswa dalam pencapaian

tujuan yang telah ditetapkan.

6. Selalu menjaga penampilan dan integritas sebagai kepala sekolah,

selalu terpercaya, di hormati baik sikap, prilaku maupun

perbuatannya.

7. Membangkitkan semangat, percaya diri terhadap para guru sehingga

mereka menerima dan memahami tujuan sekolah secara antusias,

bekerja secara bertanggung jawab kearah tercapainya tujuan sekolah

(inspiring).

8. Selalu dapat memperhatikan, menghargai apa pun yang dihasilkan

oleh para mereka yang menjadi tanggung jawabnya.

3. Kepemimpinan Kepala Sekolah Yang Efektif

Mulyasa ( 2006:121 ) Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif

dapat dilihat berdasarkan kriteria berikut : (a). Mampu memberdayakan

guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar

dan produktif. (b). Dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai

dengan waktu yang telah ditetapkan. (c). Mampu menjalin hubungan yang

harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara

aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan. (d).

Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat

kedewasaan guru dan pegawai lain di sekolah. (e). Bekerja dengan tim. (f).

Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan.

Menurut Sagala ( 2008: 143 ) pemimpin yang efektif adalah

pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan mereka

terpenuhi, baik kebutuhan pekerjaan, motivasi, rekreasi, kesehatan,

sandang, pangan, tempat tinggal, maupun kebutuhan lainnya yang pantas

didapatkan. Wahyudi ( 2009: 122 ) Pemimpin yang efektif harus belajar

dari kesalahan pada masa lalu dan berusaha memperbaiki dengan cara

yang bijak dan memberikan kritik dan saran perbaikan. Karyawan yang

selalu belajar tahu akan tugas dan kewajiban untuk menjadikan organisasi

lebih kompetitif.

Hersey dan Blanchard ( Rivai, 2006: 149 ) Mengemukakan bahwa

gaya kepemimpinan yang efaktif itu berbeda-beda sesuai dengan

“kematangan” bawahan. Kematangan atau kedewasaan menurutnya bukan

dalam arti usia atau stabilitas emosional melainkan keinginan untuk

berprestasi, kesediaan untuk menerima tanggung jawab, dan mempunyai

kemampuan serta pengalaman yang berhubungan dengan tugas. Dengan

demikian tingkat kematangan bawahan, dan situasi tempat sangat

berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan.

Dikemukakan oleh Surya ( 1994: 231 ) Bahwa sifat-sifat tertentu

yang membantu seseorang lebih mampu memimpin orang lain, dan sifat-

sifat dari sebagian besar pemimipin bukan pembawaan dari lahir, akan

tetapi dipelajari dan dikembangkan. Karakteristik yang harus dipunyai

seorang pemimpin agar berhasil menjalankan tugas adalah: 1). Mempunyai

kematangan spiritual, sosial dan fisik, 2). Menunjukan keteladanan, 3).

Kesanggupan untuk memecahkan masalah secara kreatif, 4). Mimiliki

kejujuran, 5). Mempunyai keterampilan berkomunikasi, 6). Memiliki

motivasi yang kuat untuk memimpin, 7). Disiplin, 8). Mempunyai rasa

tanggung jawab, 9). Mempunyai banyak relasi, 10). Mempunyai kestabilan

emosi, 11). Cepat dalam mengambil keputusan, 12). Berani mengambil

resiko. Dengan demikian, studi perbandingan sifat-sifat pemimpin dan

bukan pemimpin menyimpulkan bahwa, pemimpin mempunyai kelebihan

kecerdasar berpikir, mempunyai keahlian, semangat bekerja, mempunyai

motivasi tinggi, lebih percaya diri, mempunyai kemampuan komunikasi,

lebih cepat dalam mengambil keputusan, mempunyai kestabilan emosi,

dan banyak mempunyai relasi.

C. Hubungan Kepemimpinan Transaksional Kepala Sekolah Dengan

Motivasi Kerja Guru

Aktivitas organisasi pendidikan merupakan hubungan antara kepala

sekolah dan guru dan interaksi antara anggota organisasi untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan keseharian sering terjadi

terjadi hubungan yang kurang harmonis antara individu dalam organisasi,

hal ini disebabkan komunikasi kurang lancar atau di karenakan tujuan

individu berbeda dengan tujuan organisasi. karena itu untuk menjalin kerja

sama yang baik perlu diciptakan hubungan secara harmonis di antara

anggota organisasi ( Wahyudi. 2009: 71 ).

Secara lebih khusus, Sutisna ( 2009: 36 ) Mengartikan keterampilan

hubungan manusia dalam organisasi pendidikan adalah kemampuan kepala

sekolah untuk mendirikan sistem komunikasi dua arah yang terbuka dengan

personal sekolah dan anggota masyarakat lainnya untuk menciptakan

suasana kepercayaan terhadap sekolah dan meningkatkan unjuk kerja guru.

Dengan demikian, keterampilan hubungan manusia dalam organisasi

pendidikan adalah kemampuan kepala sekolah untuk bekerja sama,

berkomunikasi dengan personel sekolah dalam rangka menciptakan suasana

saling percaya terhadap program sekolah dan dapat memberikan motivasi

untuk meningkatkan unjuk kerja guru.

Pendapat Campbell yang dikutip oleh Wahyudi ( 2009:73 )

Menjelaskan perilaku kepala sekolah yang berkaitan dengan keterampilan

hubungan manusia di sekolah sebagai berikut: a). Menunjukan semangat

kerja dan memberikan bimbingan dan bantuan dalam pekerjaan, b).

Berprilaku menyenangkan, menghormati guru, mempunyai integritas yang

tinggi dan tegas dalam mengambil keputusan, c). Memberi penghargaan

pada guru yang berprestasi, d). Memberikan dukungan semangant/moral

kerja guru dan bersikap tegas pada persinel sekolah, e). Mengatur sekolah

secara baik, f). Menggunakan otoritasnya sebagai kepala sekolah dengan

penuh keyakinan dan teguh penderian, g). Memberikan bimbingan secara

individu pada guru dalam pekerjaan, h). Menyelesaikan permasalahan, i).

Mengikut sertakan guru dalam merumuskan pengambilan keputusan, j).

Menghormati peraturan sekolah, mendisiplinkan siswa dan tidak

membebani tugas berat pada guru.

Dengan demikian menjalin hubungan kerja sama yang baik antara

kepala sekolah dengan guru, maka tujuan sekolah dapat di capai dengan

mudah dan efektif.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah telah dirumuskan dalam bentuk kalimat

pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru

didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris

yang diperoleh melalui pengumpulan data ( Sugiono, 2010:64 ).

Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan atas teori yang relevan,

belum didasarkan pada fakta-fakta yang empiris, oleh sebab itu yang

menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan yang

signifikan antara kepemimpinan transaksional kepala sekolah dengan

motivasi kerja guru di sekolah menengah kejuruan negeri 1 Kota Gorontalo.

Di mana kepemimpinan transaksional kepala sekolah sebagai variabel X dan

motivasi kerja guru variabel Y.