bab ii kajian teoretis a. kajian teori 1. hakikat ... · nilai tersebut bersumber dari agama,...

59
14 BAB II KAJIAN TEORETIS A. Kajian Teori 1. Hakikat Pendidikan Nilai dan Karakter a. Pengertian Pendidikan Nilai dan Karakter Pendidikan memiliki fungsi mempersiapkan sekaligus memberikan bekal pada generasi muda agar siap terjun ke lingkungan masyarakat yang lebih luas. Melalui pendidikan, generasi muda akan memperoleh bekal berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), serta nilai-nilai untuk hidup (value). Melalui pendidikan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik berusaha dikembangkan. Tidak mengherankan apabila pendidikan memiliki makna yang lebih luas daripada pengajaran. Namun, perlu dipahami bahwa pengajaran merupakan sarana yang efektif dalam menyelenggarakan pendidikan. Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan nilai dan karakter bangsa, sehingga tidak sekedar melahirkan dan membentuk

Upload: others

Post on 28-Dec-2019

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Kajian Teori

1. Hakikat Pendidikan Nilai dan Karakter

a. Pengertian Pendidikan Nilai dan Karakter

Pendidikan memiliki fungsi mempersiapkan sekaligus memberikan bekal

pada generasi muda agar siap terjun ke lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Melalui pendidikan, generasi muda akan memperoleh bekal berupa pengetahuan

(knowledge), keterampilan (skill), serta nilai-nilai untuk hidup (value). Melalui

pendidikan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari

aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik berusaha dikembangkan. Tidak

mengherankan apabila pendidikan memiliki makna yang lebih luas daripada

pengajaran. Namun, perlu dipahami bahwa pengajaran merupakan sarana yang

efektif dalam menyelenggarakan pendidikan.

Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003

menyebutkan bahwa, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Rumusan tujuan

pendidikan nasional tersebut dijadikan dasar dalam pengembangan pendidikan

nilai dan karakter bangsa, sehingga tidak sekedar melahirkan dan membentuk

15

manusia yang cerdas, namun juga berkarakter sesuai dengan nilai-nilai luhur

bangsa Indonesia dan ajaran agama.

Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan

masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab (Yudi Hartono,

2012: 55). Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja,

akan tetapi lebih luas lagi yaitu sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai

(enkulturasi dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang

menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup

sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin

pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur

serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada

kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin

pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan

kompetensi kinestetis.

Ada tiga sifat penting pendidikan menurut Nana Syaodih (2013: 58-59)

antara lain; pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan

nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan

pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat.

Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat

nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina dan mengembangkan

nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan di masyarakat. Pendidikan

bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan di

16

masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada di

masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi di

masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai karyawan. Ketiga, pelaksanaan

pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat

pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses

pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat.

Proses pendidikan merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat.

Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat,

penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-

lain. Berikut merupakan gambaran konsep mengenai internalisasi nilai-nilai yang

perlu ditanamkan pada siswa berdasarkan pusat kurikulum.

Gambar 2.1. Konsep Internalisasi Nilai-Nilai Yang Ditanamkan Pada Siswa SMP

(Sumber: Pusat Kurikulum, 2011)

17

Setiap lingkungan masyarakat memiliki kecenderungan sosial budaya yang

berbeda (relatif). Sistem ini mampu mengatur pola kehidupan dan hubungan antar

anggota masyarakat, antar anggota dan lembaga, serta antar lembaga dan lembaga.

Oleh karena itu, upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan cita-

cita nasional, memerlukan evaluasi maupun refleksi terhadap sistem pendidikan

dan paradigma pendidikan Indonesia. Pembelajaran di sekolah perlu difokuskan

pada pengembangan kemampuan intelektual secara sosial dan kultural yang

mendorong siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri dalam konteks

sosial yang dimulai dari pengetahuan awal mengenai perspektif budaya.

Kesemuanya itu akan terangkum sesuai dengan 3 aspek penting perkembangan

individu yakni perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Melalui

pendidikan formal maupun informal, konsep pendidikan yang bersifat universal

harus sesuai dengan karakteristik budaya dan nilai-nilai sistem sosial setempat

(lokal) untuk dijadikan sebagai landasan dan acuan.

Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial-budaya adalah

tatanan nilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan, hukum,

moral yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku warga masyarakat. Nilai-

nilai tersebut bersumber dari agama, budaya, kehidupan politik, maupun dari segi-

segi kehidupan lainnya. Nilai-nilai yang ditumbuhkembangkan dalam diri siswa

harus berupa nilai-nilai dasar yang disepakati secara nasional. Sejalan dengan

perkembangan masyarakat dan zaman, maka nilai-nilai itu pun selalu berkembang

dan mungkin pada suatu saat perkembangannya begitu drastis, sehingga tidak

jarang menimbulkan konflik nilai karena adanya perbedaan sudut pandang atau

18

variasi sumber-sumber nilai. Namun, secara spesifik terdapat nilai moral

individual dan sosial.

Nilai moral individual menyangkut hubungan manusia dengan kehidupan

diri pribadi sendiri atau cara manusia memperlakukan diri pribadi. Nilai moral

tersebut mendasari dan menjadi panduan hidup manusia sebagai arah dan aturan

yang perlu dilakukan dalam kehidupan pribadinya. Adapun nilai moral individual

yang dimaksud meliputi: kepatuhan, pemberani, rela berkorban, jujur, adil dan

bijaksana, menghormati dan menghargai, bekerja keras, menepati janji, tahu balas

budi, baik budi pekerti, rendah hati, dan hati-hati dalam bertindak. Nilai moral

sosial, terkait dengan hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Setiap orang perlu memahami norma-norma yang berlaku agar

hubungannya dapat berjalan lancar atau tidak terjadi kesalahpahaman. Setiap

orang seharusnya mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk dalam melakukan hubungan dengan manusia lain. Adapun nilai-nilai moral

sosial tersebut meliputi; bekerjasama, suka menolong, kasih sayang, kerukunan,

peduli nasib orang lain, dan suka mendoakan orang lain (Nilawati Syahrul, 2013:

105). Variasi nilai-nilai tersebut tercermin melalui karakter yang terdapat dalam

diri setiap individu. Oleh karena itu, karakter dapat dibangun melalui media

pendidikan, baik formal maupun non formal.

Karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti mengukir.

Sifatnya yakni melekat terhadap benda yang diukir. Menghilangkan ukiran sama

dengan menghilangkan esensi benda yang diukir, karena ukiran harus melekat dan

menyatu dengan bendanya. Secara sederhana, karakter dapat dimengerti sebagai

19

pegangan dalam berperilaku positif dalam masyarakat yang karena berbagai hal

telah terdegradasi oleh pengaruh eksternal (globalisasi). Istilah “karakter”, selalu

digunakan untuk merujuk pada hal yang positif. Artinya, jika seseorang dikatakan

berkarakter, maka orang tersebut bisa dipastikan memiliki sikap maupun perilaku

yang baik.

Jadi, pendidikan nilai dan karakter dapat dimengerti sebagai suatu sistem

penanaman nilai-nilai karakter khususnya kepada siswa, yang meliputi komponen

pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-

nilai tersebut. Sehingga, karakter bangsa merupakan kondisi watak yang

merupakan identitas bangsa atau identitas nasional. Identitas nasional bisa

dimengerti sebagai jati diri atau kepribadian nasional. Jati diri nasional suatu

bangsa tentu berbeda dengan jati diri bangsa lain karena adanya perbedaan latar

belakang sejarah, kebudayaan, maupun geografis. Jati diri nasional bangsa

Indonesia terbentuk karena rakyat Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang

sama sehingga menumbuhkan kesadaran kebangsaan yang pada akhirnya

melahirkan identitas nasional. Fungsi dari pendidikan nilai dan karakter tersebut

antara lain:

1) Pengembangan : mengembangkan potensi siswa agar berkepribadian baik yang

mampu mencerminkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;

2) Perbaikan : memperkokoh peran pendidikan nasional sebagai bagian dari

tanggung jawab dalam memperbaiki kondisi bangsa;

3) Penyaring : menyaring budaya sendiri dan bangsa lain yang tidak sesuai

dengan kepribadian Indonesia akibat pengaruh derasnya arus globalisasi.

20

Upaya membudayakan pendidikan karakter di lingkungan sekolah juga

membutuhkan peranan berbagai pihak. Pendidikan karakter harus dibangun sedini

mungkin. Konsep ini menjelaskan bahwa pendidikan karakter itu tidak sekedar

dibangun, namun juga dibiasakan sehingga membudaya. Keluarga merupakan

sekolah pertama bagi anak. Oleh karena itu harapan besar bertumpu pada

keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, serta pemerintah sebagai pembuat

kebijakan. Keteladanan orang-orang terdekat menjadi aspek yang sangat penting

bagi kepribadian anak, selain juga didasari atas nilai-nilai yang terkandung dalam

agama, Pancasila, budaya luhur bangsa Indonesia, serta tujuan pendidikan

nasional.

Gambar 2.2. Grand Desain Pendidikan Karakter

(Sumber: Pusat Kurikulum, 2011)

21

b. Nilai Kearifan Lokal

Kearifan lokal secara etimologis terdiri dari dua kata. Kearifan dapat

dimengerti sebagai kemampuan manusia dalam menggunakan akal dan

perasaannya dalam menyikapi suatu kejadian, obyek, atau situasi dengan cara

yang bijaksana. Sedangkan lokal, merujuk pada ruang interaksi dimana peristiwa

atau situasi itu terjadi. Terdapat beberapa istilah konseptual yang dipakai dalam

mengasumsikan kearifan lokal. Avonia dan Sudikan (dalam I Nyoman Suaka,

2013: 49) mengungkapkan bahwa terdapat tiga istilah yang sering digunakan

secara tumpang tindih, yaitu pengetahuan lokal (local knowledge), kearifan lokal

(local wisdom), dan kecerdasan setempat (local genius) yang memiliki tempat dan

penggunaan berbeda.

Nakorntap (dalam Mungmachon, 2012: 176) menjelaskan bahwa kearifan

lokal adalah pengetahuan dasar manusia untuk memperoleh keseimbangan hidup

dengan alam yang berhubungan dengan akumulasi budaya serta turun-temurun

pada suatu komunitas. Kearifan lokal bisa tidak kasat mata maupun sebaliknya,

akan tetapi yang paling penting adalah pembentukan karakter dari suatu

kebenaran maupun pengalaman manusia tentang kehidupan seperti menekankan

nilai-nilai moralitas yang berdasarkan pada pengalaman hidup manusia itu sendiri.

Irmayanti Meliono (2011: 227) menjelaskan; kearifan lokal merupakan

bentuk ekspresi dari etika masyarakat Indonesia yang berdasarkan ide atau

gagasan yang mengarah pada aktivitas tertentu. Kearifan lokal dikenal sebagai

suatu sistem proses sosial dari masyarakat komunal yang terdiri dari tiap individu.

Kearifan lokal terbangun secara alamiah oleh suatu komunitas masyarakat tertentu

22

sebagai upaya untuk berinteraksi dengan sesamanya maupun beradaptasi dengan

lingkungan setempat. Kearifan lokal dapat berupa ide/pemikiran, sikap, maupun

perilaku. Kebiasaan tersebut berkembang, kemudian diwariskan pada generasi

selanjutnya sehingga menjadi sebuah kebudayaan yang mencakup pada daerah

atau lokalitas tertentu. Secara umum kearifan lokal bisa terdiri dari hal yang tidak

kasat mata (intangible) dan hal yang kasat mata (tangible). Wujud nyata kearifan

lokal yang tidak kasat mata berupa ide, gagasan, atau pemikiran dalam

membangun aktualisasi diri, pemikiran visioner, dan berkarakter mulia.

Sebaliknya, kearifan lokal berupa fisik atau kasat mata seperti situs-situs

bersejarah masa lampau, kesenian, rumah, senjata, alat musik, dan pakaian

tradisional yang pada umumnya mewakili suatu lokalitas tertentu, serta memiliki

makna filosofis dan nilai-nilai positif yang tertuang secara simbolik sebagai

pembelajaran masyarakat.

Kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, mengandung unsur-

unsur sebagai berikut. Pertama, unsur religi, kearifan lokal ini berhubungan

dengan sikap serta perilaku secara vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua, unsur diri sendiri (subyek), yakni managemen diri agar dapat menerima

dan diterima pribadi lain di luar diri sendiri. Ketiga, unsur komunitas, kemampuan

beradaptasi dengan masyarakat luas dimana diri sendiri menjadi bagian darinya.

Unsur yang ketiga ini berkaitan dengan rasa keadilan, toleransi dan empati yang

bermuara pada bagaimana diri ini mampu menyenangkan perasaan orang lain agar

dapat diterima sebagai bagian yang penting dan dibutuhkan. Keempat, unsur sikap

dan perilaku anggota keluarga (kerabat) yang berhubungan dengan diri pribadi.

23

Kearifan lokal ini berkaitan dengan etos belajar dan etos bekerja yang akan

mengantarkan menjadi insan yang kreatif dan produktif. Kelima, unsur

lingkungan setempat yang memberikan rasa aman dan nyaman karena lingkungan

yang terjaga dan terpelihara akan memberi manfaat positif pada kehidupan

(Sutarto dalam I Nyoman Suaka, 2013: 49).

Uraian para ahli di atas memberikan setidaknya tujuh konsep, antara lain; a)

kearifan lokal dalam sebuah komunitas masyarakat diperoleh dari proses

pengalaman panjang, b) kearifan lokal berhubungan erat dengan lokalitas tertentu,

c) kearifan lokal digunakan manusia untuk beradaptasi, d) kearifan lokal

merupakan produk budaya yang diwariskan pada generasi selanjutnya, e) kearifan

lokal bersifat relatif, f) pada umumnya bersifat tradisional dan memiliki semangat

dalam menjaga lingkungan sekitar, g) kearifan lokal membentuk keseimbangan

hidup manusia dalam arus globalisasi sehingga tercapai kehidupan yang harmoni.

Mengingat derasnya pengaruh arus globalisasi di zaman IT seperti saat ini,

maka penanaman nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kearifan lokal bangsa

Indonesia merupakan suatu keharusan. Usaha untuk menanamkan nilai-nilai luhur

budaya dan kearifan lokal bangsa tersebut tidak lain adalah melalui pendidikan.

Penanaman nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal ini diharapkan akan

mampu membentuk siswa berkarakter yang mampu beradaptasi di tengah arus

globalisasi. Selain itu, harapannya kepada generasi muda agar tidak meninggalkan

rasa cintanya terhadap budaya lokal di era yang serba canggih seperti ini.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan kearifan lokal

yakni dengan menjadikan sumber inspirasi dalam pembelajaran sosial-budaya di

24

sekolah. Sistem pendidikan berbasis kearifan lokal yang berhubungan dengan

pembentukan kepribadian warga negara, akan mampu menghadapi tantangan

globalisasi. Guru sebagai fasilitator di kelas harus mampu mengintegrasikan nilai-

nilai kearifan lokal tersebut dalam muatan pembelajaran. Pengintegrasian ini

tentunya harus disesuaikan dengan materi yang disampaikan, tingkat

perkembangan siswa, termasuk metode yang digunakan. Sehingga keberagaman

serta makna nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber inspirasi dalam

pembelajaran di sekolah mampu membentuk karakter siswa dan mampu

melestarikan kearifan lokal bangsa Indonesia yang seiring waktu semakin

terdegradasi.

c. Pendekatan Kontekstual

Kontekstual berarti berkenaan atau berkaitan secara langsung dengan

sesuatu. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia

nyata siswa, serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai diri pribadi,

anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara. Siswa akan memiliki

kemudahan belajar apabila disertai dengan contoh nyata di lapangan. Contoh

nyata tersebut akan memberikan inspirasi maupun membawa imajinasi yang

positif terhadap siswa, pembelajaran pun tidak bersifat kosong, akan tetapi lebih

bermakna sekaligus memberikan keteladanan.

Menurut Wina Sanjaya (2010: 255-256) terdapat tiga hal yang harus

dipahami dalam konsep pembelajaran kontekstual. Pertama, CTL (Contextual

25

Teaching and Learning) menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk

menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman

secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL (Contextual Teaching and

Learning) tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi

proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Kedua, CTL (Contextual

Teaching and Learning) mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan

antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa

dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah

dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat

mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi

siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang

dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah

dilupakan. Ketiga, CTL (Contextual Teaching and Learning) mendorong siswa

untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya

mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi

bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan

sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL (Contextual Teaching and

Learning) bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi

sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata

Melalui konsep belajar Contextual Teaching and Learning (CTL), akan

membantu guru memberikan pembelajaran yang bermakna pada siswa di kelas.

Harapan yang ingin dimunculkan yakni siswa mampu menyerap pembelajaran

dengan baik karena konteks pembelajaran tidak jauh dari kehidupan sehari-hari.

26

d. Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter

Nilai-nilai karakter bangsa yang dapat diintegrasikan dalam muatan mata

pelajaran di sekolah antara lain;

1) Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan, yakni religius.

2) Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri, antara lain; jujur

bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berjiwa wirausaha,

berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, dan sebagainya.

3) Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama, antara lain; sadar akan hak

dan kewajiban diri dan orang lain, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai

karya dan prestasi orang lain, santun, demokratis dan sebagainya.

4) Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan antara lain; peduli sosial

dan lingkungan, melestarikan lingkungan, nilai kebangsaan, nasionalis,

menghargai keberagaman, patriotis, dan sebagainya

Menurut Kementrian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan

Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2010) nilai-nilai karakter perlu

dikembangkan dalam pendidikan insan Indonesia yang tercermin melalui empat

sumber berikut, antara lain;

1) Agama : Manusia Indonesia semenjak masa pra aksara sekalipun memiliki

sikap religiusitas sebagai sebuah kepribadian yang sudah mendarah daging.

Secara politis dalam kehidupan bernegara, konstitusi Negara Kesatuan

Republik Indonesia juga mengakui dan menjamin nilai-nilai keagamaan atau

religiusitas.

27

2) Pancasila : NKRI secara politis memiliki dasar negara Pancasila. Satu-satunya

ideologi kebangsaan dan ketatanegaraan di dunia dari, oleh, dan untuk

Indonesia. Rumusan Pancasila digali dari kepribadian masyarakat asli

nusantara, serta dibangun oleh para pendiri bangsa. Pancasila sebagai sumber

dari segala sumber hukum di Indonesia mengandung nilai-nilai yang mengatur

kehidupan politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan sebagainya

yang berfungsi membentuk generasi penerus bangsa agar menjadi warga

negara yang baik. Nilai-nilai luhur Pancasila lebih lanjut dijabarkan dalam

pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.

3) Budaya : keberadaban suatu komunitas masyarakat dapat dilihat dari

budayanya. Meskipun budaya di setiap wilayah bernilai relatif, akan tetapi

budaya dianggap sebagai sesuatu yang diakui nilainya dalam berkehidupan.

Budaya Indonesia sebagai budaya ketimuran berkesan sopan santun, ramah,

lemah lembut, murah senyum, menghargai dan sebagainya, merupakan sumber

nilai dalam membentuk karakter bangsa.

4) Tujuan Pendidikan Nasional : memuat berbagai nilai-nilai luhur manusia yang

harus dimiliki warga negara Indonesia. Pembentukan rumusan kualitas

(karakter) manusia Indonesia dikembangkan pada satuan pendidikan di

berbagai jenjang dan jalur. Nilai-nilai yang dikembangkan antara lain; religius,

jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin

tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, berprestasi, bersahabat

(komunikatif), cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,

dan tanggungjawab.

28

e. Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran

Model pendidikan karakter dalam pembelajaran di sekolah bisa berupa: 1)

otonomi mata pelajaran sendiri, 2) integrasi, terpadu dengan mata pelajaran lain,

3) suplemen berupa kegiatan tambahan yang bersifat ekstrakurikuler atau

kemitraan dan, 4) kolaborasi, berupa kegiatan gabungan dari ketiga model

pendidikan (Nuraini Asriati, 2012: 113). Melihat karakteristik K13 saat ini, maka

pendidikan karakter sejatinya dapat diintegrasikan pada setiap disiplin mata

pelajaran, termasuk ilmu-ilmu eksakta sekalipun. Namun, secara umum jika

melihat konteks pembelajaran di sekolah terutama jenjang menengah (SMP),

maka pembelajaran yang paling berperan dalam pembentukan karakter setidaknya

ada tiga, antara lain Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial, dan Pendidikan

Pancasila dan Kewarganegaraan.

Melihat ketiga disiplin ilmu tersebut, hanya IPS yang merupakan mata

pelajaran tematik atau terintegrasi yang berkorelasi dengan disiplin ilmu sosial

lain seperti geografi, ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Melalui komposisi tersebut,

maka sudah sewajarnya IPS memiliki porsi lebih dalam ranah pembentukan

karakter siswa. Selain itu, konteks integrasi pendidikan nilai dan karakter yang

lebih spesifik dalam penelitian ini (sikap demokratis) di SMP juga terangkum

dalam mata pelajaran IPS.

2. Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai Kearifan Lokal Desa Pancasila

a. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa

(subyek pebelajar) yang direncanakan, didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi

29

secara sistematis agar subyek pebelajar dapat mencapai tujuan-tujuan

pembelajaran secara efektif dan efisien. Menurut Hasnawati (2006: 55)

pembelajaran merupakan suatu padanan dari kata instruction yang berarti proses

membuat orang belajar yang bertujuan membantu orang belajar, atau

memanipulasi lingkungan sehingga memberi kemudahan bagi orang yang belajar.

Menguatkan uraian di atas, Max Darsono (2002: 65) menyebutkan ciri-ciri

pembelajaran adalah sebagai berikut:

1) Pembelajaran dilakukan secara sadar dan direncana secara sistematis.

2) Pembelajaran dapat menumbuhkan perhatian dan motivasi siswa dalam belajar.

3) Pembelajaran dapat menyediakan bahan belajar yang menarik dan menantang

bagi siswa.

4) Pembelajaran dapat menggunakan alat bantu belajar yang tepat dan

menyenangkan siswa.

5) Pembelajaran dapat menciptakan suasana belajar yang aman dan

menyenangkan bagi siswa.

6) Pembelajaran dapat membuat siswa menerima pelajaran, baik secara fisik dan

psikologi.

Implementasi di lapangan yakni guru sebagai manager bertindak sebagai

fasilitator, mengelola berbagai sumber dan fasilitas belajar bagi siswa, terutama

yang berhubungan dengan penggunaan pengembangan teknologi sebagai bahan

belajar. Sedangkan siswa yang diposisikan sebagai subyek belajar memegang

peran penting dalam aktivitas belajar, kreatif, serta penuh dengan rasa ingin tahu.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu usaha

30

sadar yang dilakukan oleh guru agar tercipta situasi yang memungkinkan

terjadinya kegiatan belajar mengajar sehingga memungkinkan perubahan tingkah

laku pada siswa. Pada perkembangannya, pengertian istilah pembelajaran tidak

hanya berkenaan dengan siswa sebagai subyek pebelajar agar menunjukkan

perubahan tingkah laku ke arah positif. Akan tetapi, istilah ini juga menunjukkan

bahwa guru juga mengambil manfaat (belajar) dari aktivitas di kelas maupun luar

kelas bersama dengan siswa untuk mengevaluasi kegiatan belajar dan mengambil

tindakan selanjutnya. Jadi, dalam proses pembelajaran baik guru maupun siswa

pada dasarnya sama-sama belajar.

Teori belajar yang saat ini banyak dianut adalah konstruktivisme. Teori

belajar konstruktivisme memiliki pandangan bahwa proses belajar mengajar

menitikberatkan pada siswa untuk membangun sendiri pengetahuan yang akan

dipelajari dengan memperhatikan pengetahuan awal siswa. Teori ini merupakan

hasil revisi serta pengembangan lebih lanjut dari teori-teori belajar yang telah

dirumuskan sebelumnya, yakni teori belajar Behaviorisme dan teori Kognitivisme.

Teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu diangun oleh pikiran individu,

sehingga hasil konstruksi pengetahuan bersifat subyektif. Pengetahuan dianggap

sebagai sesuatu yang tidak statis, akan tetapi secara terus-menerus tumbuh dan

berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman barunya.

Tujuan pembelajaran konstruktivistik yang diungkapkan oleh Yatim

Riyanto (2012: 144) menekankan tentang bagaimana yang dimaksud dengan

belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif

produktif dalam konteks nyata yang mendorong pebelajar untuk berpikir dan

31

berpikir ulang lalu mendemonstrasikannya. Konstruktivisme merupakan kerangka

berpikir filosofis pembelajaran kontekstual yang menjelaskan bahwa pengetahuan

manusia dibangun secara bertahap. Pengetahuan bukan sekedar seperangkat fakta,

konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Konstruktivisme

berangkat dari filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa dengan

merefleksikan pengalaman, kita membangun atau mengkonstruksi pengetahuan

pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup (Suyono dan Hariyanto, 2012:

105).

Manusia sebagai makhluk pebelajar harus mengkonstruksi pengetahuan itu

dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Teori belajar ini menekankan

agar siswa dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang

berguna bagi dirinya, serta mampu bergelut dengan berbagai ide yang muncul.

Syaiful Sagala (2009: 88) berpendapat bahwa esensi dari teori kontruktivisme

adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu

informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi

milik mereka sendiri. Pembelajaran ini memperhatikan pada strategi memperoleh

pengetahuan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat

pengetahuan, sehingga guru harus mampu memfasilitasi hal tersebut.

Brooks dan Brooks (1999) mengungkapkan prinsip-prinsip penuntun untuk

terciptanya lingkungan pembelajaran konstruktivis, antara lain: 1) menghadirkan

masalah-masalah yang semakin kuat relevansinya kepada siswa; 2) menyusun

pembelajaran di seputar konsep-konsep pokok; 3) mencari tahu dan menghargai

sudut pandang siswa; 4) mengadaptasikan kurikulum untuk memperhatikan

32

asumsi-asumsi siswa; dan 5) menilai pembelajaran siswa dalam konteks

pengajaran. Sedangkan prinsip-prinsip konstruktivisme yang dikembangkan pada

pembelajaran terpadu menurut Abdul Majid (2013: 118) yaitu:

1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri;

2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan

keaktifan siswa sendiri untuk menalar;

3) Siswa akan mengkontruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan

konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, dan sesuai dengan konsep

ilmiah;

4) Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses

konstruksi siswa berjalan mulus.

Pada dasarnya, pembelajaran terpadu dikembangkan untuk menciptakan

pembelajaran yang di dalamnya siswa sendiri aktif secara mental membangun

pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang telah dimiliki.

Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan

tentang belajar dan mengajar lebih berfokus pada suksesnya siswa mengorganisasi

pengalaman mereka, bukan ketepatan siswa dalam melakukan replikasi atas apa

yang dilakukan pendidik.

b. Model Pembelajaran

Secara umum istilah “model” diartikan sebagai kerangka konseptual yang

digunakan sebagai pedoman untuk melakukan suatu kegiatan. Model

pembelajaran adalah kerangka konseptual dan prosedur yang sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,

33

berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran, serta para guru dalam

merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Abdul Majid, 2013:

13). Sedangkan John Dewey (1986) mendefinisikan model pembelajaran sebagai

suatu rencana atau pola yang dapat kita gunakan untuk merancang tatap muka di

kelas, atau pembelajaran tambahan di luar kelas dan untuk menajamkan materi

pengajaran.

Uraian para ahli tersebut memberikan pemahaman bahwa model

pembelajaran merupakan sebuah petunjuk bagi guru dalam mempersiapkan

rencana pembelajaran, materi pembelajaran, media sebagai alat bantu belajar agar

tersampainya sebuah pesan dalam pembelajaran, termasuk evaluasi dalam

mencapai tujuan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas.

Joice, Weil, dan Calhun (2011) mengemukakan tentang lima aspek penting

dari model pembelajaran, antara lain;

1) Syntac (sintak), merupakan langkah operasional pembelajaran atau urutan

kegiatan yang biasa disebut dengan istilah fase;

2) Social System (sistem sosial), dimengerti sebagai sebuah norma yang berlaku

dalam pembelajaran, mengarah pada peranan guru dan siswa, serta jenis aturan

yang diperlukan;

3) Principles of reaction (prinsip reaksi), yakni memberi gambaran terhadap guru

mengenai bagaimana memandang, memperlakukan, serta merespon pertanyaan

siswa;

4) Support system (sistem pendukung), yaitu segala alat, fasilitas sarana,

lingkungan belajar yang mendukung model pembelajaran tersebut;

34

5) Instructional and nurturent effect (dampak instruksional dan pengiring), yakni

hasil yang akan dicapai siswa setelah mengikuti pembelajaran.

Model-model pembelajaran menurut Joice, Weil, dan Calhun (2011) dapat

diklasifikasikan menjadi empat rumpun, antara lain; (1) rumpun pengajaran sosial

(2) rumpun memproses informasi (3) rumpun pengajaran personal (4) rumpun

sistem perilaku. Model Pembelajaran IPS Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Desa Pancasila ini mengarah kepada perlunya mengembangkan sikap sosial

dalam lingkungan pergaulan, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan

masyarakat yang lebih luas. Tolok ukur (indikator) keberhasilan uji coba produk

program pembelajaran dapat diperhatikan dari desain pengembangan produk yang

salah satunya dikemukakan oleh Dick dan Carey.

Martinis Yamin (2011: 69), menyebutkan terdapat 10 langkah (komponen)

dalam model desain rancangan pembelajaran Dick dan Carrey, antara lain;

1) Mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran (Kurikulum 2013 – Menentukan

Kompetensi Inti);

2) Melaksanakan analisis pembelajaran (Kurikulum 2013 – Menentukan

Kompetensi Dasar);

3) Mengidentifikasi tingkah laku masukan dan karakteristik siswa (Kurikulum

2013 – Merumuskan Indikator);

4) Merumuskan tujuan performansi (Kurikulum 2013 – Merumuskan Tujuan

Pembelajaran);

5) Mengembangkan butir–butir tes acuan patokan (Kurikulum 2013 –

Mengembangkan butir-butir soal);

35

6) Mengembangkan strategi pembelajaran (Kurikulum 2013 – Mengembangkan

Pendekatan, model, dan metode pembelajaran);

7) Mengembangkan dan memilih materi pembelajaran (Kurikulum 2013 –

Mengembangkan Materi, Alat, dan media pembelajaran);

8) Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif (Kurikulum 2013 – Desain

Evaluasi Formatif);

9) Merevisi bahan pembelajaran;

10) Mendesain dan melaksanakan evaluasi sumatif

Bagan 2.1. Modifikasi Model Desain Intruksional

Dick and Carrey (2011)

Menentukan

Kompetensi

Inti

Revisi Pembelajaran

Mengembangkan dan

Memilih Bahan, Alat,

dan Media

Pembelajaran

Mengembangkan

Pendekatan, Model, dan

Metode Pembelajaran

Mengembangkan

Butir-Butir Soal

Menetapkan

Tujuan

Pembelajaran

Menentukan

Kompetensi

Dasar

Merumuskan

Indikator

Mendesain dan

Melaksanakan

Evaluasi Formatif

Melaksanakan

Evaluasi Sumatif

36

Agar dapat mengembangkan model pembelajaran yang efektif maka setiap

guru harus memiliki pengetahuan yang memadai berkaitan dengan konsep dan

cara-cara mengimplementasikan model-model tersebut dalam proses kegiatan

belajar mengajar. Model pembelajaran yang efektif memiliki keterkaitan dengan

tingkat pemahaman guru terhadap perkembangan dan kondisi masing-masing

siswa di kelas. Demikian juga pentingnya pemahaman guru terhadap ketersediaan

sarana prasarana dan fasilitas sekolah yang tersedia., kondisi kelas, dan berbagai

faktor lain yang melingkupinya. Selain itu, pengembangan berbagai model

pembelajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi

belajar siswa, agar tidak merasa jenuh dengan dengan proses belajar yang sedang

berlangsung. Oleh karena itu, guru mutlak harus memiliki pemahaman yang baik

tentang siswa-siswanya, keragaman kemampuan, motivasi, minat, dan

karakteristik pribadi lainnya.

c. Langkah-Langkah Pengembangan Model Pembelajaran

Sugiyono (2011: 298) menjelaskan bahwa terdapat sepuluh langkah dalam

penelitian pengembangan, antara lain; (1) potensi dan permasalahan, (2)

pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji

produk, (7) revisi produk, (8) uji pemakaian, (9) revisi produk, dan (10) produksi

massal. Agar lebih mudah memahami bagaimana langkah-langkah dalam

penelitian pengembangan (Research and Development) tersebut, maka akan

ditunjukkan melalui bagan berikut ini.

37

Bagan 2.2. Langkah-langkah Penggunaan Metode Research & Development

(R&D) menurut Sugiyono

Langkah-langkah dalam penelitian pengembangan ini tidak digunakan

seluruhnya melainkan terdapat keterbatasan, sehingga model pengembangan ini

merupakan model pengembangan Borg & Gall yang telah termodifikasi.

Berdasarkan hal tersebut, untuk kepentingan tesis ini akan digunakan

penyederhanaan tahap-tahap penelitian dan pengembangan menjadi tiga yaitu 1)

penelitian pendahuluan, 2) pengembangan model, dan 3) uji efektivitas model.

d. Pembelajaran Kooperatif

Para pakar pendidikan yang memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan pembelajaran kooperatif adalah John Dewey dan Herbert Thelan.

Menurutnya, kelas merupakan simulasi kehidupan bermasyarakat yang lebih luas

Potensi

dan

Masalah

Revisi

Produk

Desain

Produk

Pengumpulan

Data

Produksi Massal

Revisi

Produk

Uji

Produk

Revisi

Desain

Uji

Pemakaian

Validasi

Desain

38

sehingga membutuhkan pengembangan prosedur yang sesuai untuk membantu

siswa bekerja secara berkelompok. Senada dengan pendapat tersebut, Anita Lie

(2005: 28) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif didasarkan atas

falsafah homo homini socius yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk

sosial yang membutuhkan kerja sama bagi kelangsungan hidupnya. Artinya,

prinsip pembelajaran tersebut sesuai dengan falsafah gotong royong yang ada di

lingkungan masyarakat Indonesia. Model tersebut dikembangkan untuk mencapai

hasil belajar yang berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan

pengembangan keterampilan sosial (Agus Suprijono, 2013: 61). Pembelajaran

sistem ini mengutamakan kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan

cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif,

beranggotakan 4 sampai dengan 6 orang, dengan struktur kelompok yang bersifat

heterogen.

Sistem pembelajaran ini berusaha mengelola suasana kelas yang

menyenangkan. Siswa yang sebelumnya terbiasa bersikap pasif setelah

menggunakan pembelajaran kooperatif akan “terpaksa” berpartisipasi secara aktif

agar bisa diterima oleh anggota kelompoknya. Pembelajaran kooperatif adalah

model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik

(academic skill) sekaligus keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal

skill (Yatim Riyanto, 2012: 267).

Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk menciptakan situasi, yaitu

keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompok.

Jenis-jenis pembelajaran kooperatif antara lain; STAD, TGT, Jigsaw, GI, NHT,

39

Think-Pair-Share, Mind Mapping atau Concept Mapping, Snowball Throwing,

DUTI-DUTA, TITO, Debate, Picture and Picture, CIRC, SFE, Cooperative Script,

dan sebagainya.

Jadi, Cooperative Learning hakikatnya merupakan suatu pendekatan yang

menekankan kerjasama antar siswa dalam suatu kelompok untuk saling

berinteraksi dan berpartisipasi. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami

bahwa pembelajaran kooperatif siswa memiliki tanggung jawab belajar untuk

dirinya sendiri dan membantu sesama anggota untuk belajar. Pertanggungjawaban

individu terhadap kelompok tergantung dengan cara belajar perseorangan dari

seluruh anggota kelompok. Pertanggungjawaban memfokuskan aktivitas

kelompok dalam menjelaskan konsep pada satu orang, dan memastikan bahwa

setiap orang dalam kelompok siap menghadapi aktivitas dimana siswa harus

menerima tanpa pertolongan anggota kelompok. Kemampuan sosialisasi adalah

kemampuan bekerjasama yang biasa dikerjakan dalam kelompok. Kelompok tidak

akan berjalan efektif apabila setiap anggota kelompok tidak memiliki kemampuan

bersosialisasi yang dibutuhkan. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk

bertemu muka dan berdiskusi. Pembelajaran kooperatif merefleksikan manusia

untuk belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil

membantu siswa belajar keterampilan sosial, sementara itu secara bersamaan

mengembangkan sikap demokratis dan keterampilan berpikir logis.

e. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Istilah Jigsaw dilihat dari sisi etimologis berasal dari Bahasa Inggris yang

berarti gergaji. Ada yang menyebut dengan istilah Fuzzle, yaitu sebuah teka teki

40

dengan cara menyusun (menggabungkan) potongan gambar. Model ini meniru

pola kerja sebuah gergaji (Jigsaw), yaitu siswa melakukan sesuatu kegiatan

belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan

bersama.

Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi model

Collaborative Learning yaitu proses belajar kelompok dimana setiap anggota

menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan, dan

keterampilan yang dimilikinya, untuk secara bersama-sama saling meningkatkan

pemahaman seluruh anggota. Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson,

kemudian digunakan oleh Slavin dan rekannya. Jigsaw merupakan salah satu jenis

pembelajaran Cooperatif Learning. Menurut Robert Slavin (2005: 237) model

ini sesuai untuk subyek pembelajaran ilmu sosial, literatur, sebagian pelajaran

pengetahuan alam, dan bidang lain yang tujuan pembelajarannya mengarah pada

penguasaan konsep daripada penguasaan kemampuan.

Model pembelajaran Jigsaw merupakan strategi yang menarik untuk

digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi menjadi beberapa bagian

dan materi tersebut tidak mengharuskan urutan penyampaian. Kelebihan strategi

ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan sekaligus

mengajarkan kepada orang lain (Zaini Hisyam, 2008: 56). Sebagaimana dengan

pendekatan pembelajaran yang lebih mengedepankan pada aktivitas siswa secara

optimal, Jigsaw merupakan salah satu bentuk inovasi dalam memperbaiki kualitas

proses belajar mengajar yang bertujuan membantu siswa agar bisa belajar mandiri

41

dan kreatif sehingga mereka dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan

sikap yang menunjang terbentuknya kepribadian yang mandiri.

Secara umum langkah-langkah pembelajaran dengan metode Jigsaw

menurut Slavin (2005: 237) adalah sebagai berikut:

1. Pembagian kelas ke dalam kelompok-kelompok (masing-masing

beranggotakan 5-6 orang).

2. Penunjukan ketua kelompok dari masing-masing kelompok yang telah

terbentuk untuk menjadi kelompok ahli (expert group).

3. Pemberian tugas yang berbeda (learning task) dari sebuah materi ajar kepada

masing-masing kelompok.

4. Penjelasan ringkas mengenai tugas kepada masing-masing kelompok.

5. Kelompok-kelompok diberi waktu untuk mempelajari tugas-tugas yang

diberikan.

6. Penjelasan khusus kepada kelompok ahli mengenai materi yang ditugaskan.

7. Kelompok ahli berpencar menuju ke kelompok asal masing-masing.

8. Masing-masing anggota dari kelompok ahli berusaha memberi pendapat yang

sifatnya memotivasi dan mengarahkan kelompoknya menjawab soal-soal

yang diberikan dalam tugas kelompok sambil berlatih untuk tampilan

kelompok nanti.

9. Guru berjalan berkeliling memastikan proses diskusi kelompok berjalan

lancar.

10. Penampilan masing-masing kelompok dengan hasil diskusi kelompoknya

masing-masing.

42

11. Penyimpulan hasil diskusi kelompok menjadi hasil diskusi kelas.

12. Penilaian (authentic assessment) dilakukan baik dalam bentuk on-going

process evaluation atau kuis untuk mengetahui sejauh mana tujuan

pembelajaran tercapai.

f. Teknik Penanaman Nilai

Nilai merupakan pondasi penting dalam menentukan karakter suatu

masyarakat dan suatu bangsa. Nilai tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi

melalui proses penyebaran dan penyadaran, yang salah satunya melalui

pendidikan di sekolah. Berkaitan dengan penanaman nilai dalam proses

pembelajaran di sekolah, terdapat beberapa macam teknik pembelajaran yang

berorientasi pada nilai menurut Noeng Muhadjir dalam Muhaimin (2002) antara

lain; teknik indoktrinasi, teknik moral reasoning (pemikiran moral), teknik

meramalkan konsekuensi, teknik internalisasi, dan teknik klarifikasi.

Teknik indoktrinasi terdiri dari tiga tahap, pertama brainwashing, yakni guru

mulai menanamkan nilai dengan cara mengacaukan terlebih dahulu tata nilai yang

sudah mapan dalam diri siswa, sehingga mereka tidak mempunyai pendirian.

Metode yang dapat digunakan dalam brainwashing, yakni dengan tanya jawab,

wawancara mendalam dengan teknik dialektik, dan sebagainya. Kedua fanatisme,

yakni guru menanamkan ide-ide baru yang dianggap benar, sehingga nilai-nilai

yang ditanamkan dapat masuk kepala anak tanpa melalui pertimbangan rasional

yang mapan. Ketiga, doktrin. Guru hanya mengenalkan satu nilai kebenaran yang

disajikan, dan tidak ada alternatif lain.

43

Teknik moral reasoning (pemikiran moral) terdiri dari beberapa tahap;

pertama, penyajian dilema moral. Kedua, setelah disajikan problematik dilema

moral, dilanjutkan dengan pembagian kelompok diskusi. Ketiga, membawa hasil

diskusi kelompok ke dalam diskusi kelas, dengan tujuan untuk klarifikasi nilai,

membuat alternatif dan konsekuensinya. Keempat, setelah siswa berdiskusi secara

intensif dan melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang

ajukan, selanjunya siswa dapat mengorganisasikan nilai-nilai yang terpilih

tersebut ke dalam dirinya.

Teknik meramalkan konsekuensi. Adapun langkah-langkah yang digunakan

adalah sebagai berikut: pertama, siswa diberikan suatu kasus melalui cerita.

Kedua, siswa diberi beberapa pertanyaan melalui beberapa pertanyaan yang

berhubungan dengan nilai-nilai yang pernah dia lihat, ketahui, dengarkan, dan

rasakan. Ketiga, upaya membandingkan nilai-nilai yang terdapat dalam kasus itu

dengan nilai lain yang bersifat kontradiktif. Keempat, adalah kemampuan

meramalkan konsekuensi yang akan terjadi dari pemilihan dan penerapan suatu

tata nilai tertentu.

Teknik Klarifikasi atau biasa disebut dengan VCT (Value Clarification

Technique) yaitu sebuah teknik pengajaran yang membantu siswa dalam mencari

dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu

persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam

diri siswa (Wina Sanjaya dalam Gahnis, 2013: 391-392). Langkah-langkah dalam

Value Clarification Technique menurut Jarolimek dalam Nunuk Suryani (2013:

44

215) terdiri dari tujuh langkah yang terbagi dalam tiga tingkat. Antara lain

kebebasan memilih (freely), menghargai (prizing), dan bertindak (acting).

Teknik internalisasi. Tahap-tahap dari teknik internalisasi ini adalah (1)

tahap transformasi nilai: pada tahap ini guru sekedar mentransformasikan nilai-

nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa melalui komunikasi verbal. (2)

tahap transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan

komunikasi dua arah yang bersifat interaksi timbal balik. (3) tahap

transinternalisasi. Dalam tahap ini penampilan guru dihadapan siswa bukan lagi

sosoknya, tetapi lebih pada sikap mentalnya (kepribadiannya).

Kelebihan metode penanaman nilai yaitu siswa dapat memastikan dan

menentukan nilai yang akan diimplementasikan dalam kehidupannya. Nilai dan

moralitas yang dimaksud akan berkembang menjadi kebiasaan yang akhirnya

terpola menjadi suatu budaya. Dengan demikian pendidikan moral melalui metode

penanaman nilai diharapkan dapat menyemaikan kultur yang berakar pada nilai

dan moralitas.

Aspek perkembangan moralitas dalam penelitian ini menggunakan teori

perkembangan moral Kohlberg. Kohlberg dalam Rita dkk (2008: 110-111)

menyatakan terdapat enam tahap perkembangan moral yang terjadi pada tiga

tingkatan, antara lain: 1) pra-konvensional, 2) konvensional, dan 3) pasca

konvensional. Pada tahap pertama (pra), latar belakang budaya yang dijadikan

pedoman dalam pembentukan suatu peraturan, bagi anak memiliki kepekaan

tentang penilaian baik-buruk maupun benar-salah. Seorang anak tidak perlu atau

lebih tepatnya hanya mampu menafsirkan dari sudut pandang dampak yang

45

ditimbulkan dari melanggar suatu peraturan. Oleh karena itu mereka hanya

mengikuti sebuah aturan serta belum mampu berpikir atas dasar apa peraturan itu

dibuat dan dampak lebih lanjutnya seperti apa.

Pada tahap konvensional, sudah tampak adanya pemenuhan terhadap

harapan keluarga, kelompok, masyarakat, dan agama sebagai sebuah sesuatu yang

berharga bagi dirinya. Terlihat dalam tahapan ini anak ingin dihargai dan

menginginkan loyalitas. Misalnya anak ingin memenuhi harapan orang tua agar di

sekolah dia mampu berprestasi dalam hal akademik maupun non akademik. Anak

ingin dianggap baik di mata masyarakat, oleh karena itu dia berpikir untuk tidak

perlu melanggar peraturan agar mereka mendapat pengakuan, dan sebagainya.

Selanjutnya, tahap pasca konvensional. Tahap ini ditandai dengan usaha

jelas dalam mengartikan alasan nilai moral yang dilaksanakan dalam

kehidupannya. Mereka tidak perlu berpikir apakah peraturan tersebut terbatas

pada kelompok tertentu atau tidak. Jika itu peraturan yang dianggap baik, maka

mereka mengikutinya meskipun mereka bukan bagian dari suatu kelompok yang

lain. Artinya, mereka sudah mampu berpikir jauh alasan mengapa peraturan

tersebut dibuat, perlu dilaksanakan, dan tak boleh untuk dilanggar.

g. Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Pancasila Lamongan

Desa Pancasila sendiri pada awalnya merupakan istilah yang berkembang

pada masa Orde Baru. Istilah tersebut mengarah pada desa-desa yang “dianggap”

mampu mengimplementasikan ideologi kebangsaan Pancasila (versi pemerintah

Orde Baru) yang saat itu gencar dipublikasikan melalui P4 (Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Terlepas pro-kontra mengenai P4 yang

46

digunakan sebagai alat dalam melegitimasi kekuasaan, Desa Pancasila Lamongan

yang merupakan sebutan bagi Desa Balun patut dijadikan sebuah referensi

miniatur kehidupan Indonesia yang ideal. Desa yang berada di Kecamatan Turi

Kabupaten Lamongan ini mulai sering disebut sebagai Desa Pancasila sejak

tahun 1990-an dan beberapa kali dijadikan kajian studi oleh FKUB (Forum

Kerukunan Umat Beragama) dari Jakarta. Bagi sebagian masyarakat, istilah Desa

Pancasila masih menjadi polemik sebagai ekses negatif terhadap pemerintah Orde

Baru. Namun di sisi lain, terdapat nilai-nilai positif yang mampu diambil dari

keberadaan desa tersebut.

Desa Pancasila (Desa Balun) memiliki keterkaitan penting dengan sisi

sejarah penyebaran agama Islam di wilayah Lamongan. Kata “Balun” diambil dari

kosakata “Mbah Alun” (Sunan Tawang Alun I) yang merupakan raja Blambangan

sekaligus ulama yang menyebarkan agama Islam di daerah bonorowo, istilah

untuk sebuah daerah yang merupakan kawasan penuh dengan rawa. Kompleks

pemakaman Mbah Alun terletak lebih kurang 20 meter sebelah utara Masjid

Miftahul Huda. Kata “Alun” dimaknai sebagai “gelombang”, yakni sebuah

gelombang atau arus dalam memperjuangkan kebenaran di suatu daerah. Tidak

heran apabila setiap peringatan HUT Kabupaten Lamongan, Bupati beserta staf

berziarah ke kompleks makam Mbah Alun sekaligus nguri-nguri sejarah

perkembangan Kabupaten Lamongan dari masa ke masa.

Masyarakat Desa Pancasila Balun memiliki kearifan dalam berkeyakinan

(agama), yakni di desa ini tumbuh subur kehidupan tiga agama, antara lain; Islam,

Kristen, dan Hindu. Simbolisme keagamaan yang berupa tempat ibadah masing-

47

masing terletak berdekatan dan masih dalam lingkup satu kompleks. Masjid

Miftahul Huda bersebelahan dengan Pura Sweta Maha Suci di sebelah selatan,

sedangkan Gereja Kristen Jawi Wetan terletak di sebelah timur berhadapan

dengan masjid yang dipisahkan dengan tanah lapang.

Sejarah berkembangnya masyarakat lintas agama di desa ini bermula dari

masuknya agama Kristen dan Hindu dalam tempo yang hampir bersamaan.

Sebelum kedua agama tersebut masuk, agama Islam sudah sejak lama dipeluk

oleh mayoritas masyarakat desa setempat. Agama Kristen masuk ke Desa Balun

sekitar tahun 1966 hingga 1967. Martin Badi (alm) merupakan seorang yang

disebut berjasa dalam menyebarkan agama Kristen di Desa Balun. Martin Badi

merupakan penduduk asli Desa Balun yang sekaligus pernah menjabat sebagai

kepala desa. Pada masa periode kepemimpinannya sebagai Kepala Desa Balun,

atas inisiatifnya dibangunlah Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) bertempat

menghadap ke arah barat dengan status tanah kas desa (Octavian Hendra, 2014:

106).

Pembangunan tempat ibadah ini mendapat respon positif dari masyarakat,

sehingga dirasa semangat demokrasi serta nilai-nilai toleransi antar umat

beragama benar-benar mampu diaplikasikan secara utuh oleh masyarakat Desa

Balun. Selain itu, dukungan dari pihak pemerintah yang mengakui keberadaan

agama ini merupakan sebuah spirit tersendiri dalam upaya menjaga kelestarian

umat Kristiani tidak hanya dari segi kuantitas, namun juga kualitas. Adanya

GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) di Desa Balun, benar-benar mampu

mengakomodir aktivitas peribadatan dan peringatan hari keagamaan umat

48

Kristiani. Pada dekade yang sama, menurut penuturan Adi Wiyono yang juga

merupakan tokoh umat Hindu, corak ke-Hindu-an turut serta dalam meramaikan

suasana keberagaman masyarakat Desa Balun.

Nilai-nilai kearifan setempat ditunjukkan dalam berbagai aktivitas, baik

aktivitas kemasyarakatan maupun peribadatan. Misalkan saja, pada saat Bulan

Ramadhan waktu Shalat Tarawih bagi umat muslim adalah sudah pasti setelah

Shalat Isya’ (tidak bisa diundur). Waktu sembahyang bagi umat Hindu di Desa

Balun juga demikian. Akan tetapi, bagi pihak Hindu, waktu sembahyang sehabis

Isya’ bukanlah suatu keharusan (jadwal waktu ibadah bisa dirubah). Tanpa pihak

muslim mengingatkan pihak Hindu, dengan kesadaran mereka sendiri, umat

Hindu melaksanakan ibadah setelah maghrib dengan tujuan agar tidak menggangu

waktu ibadah saudara muslim. Sebaliknya, pada saat Hari Raya Nyepi umat

Hindu, umat Islam memiliki kesadaran untuk mematikan lampu serta

mengheningkan suara (menghormati). Termasuk tidak menggunakan micropone

masjid untuk kepentingan peribadatan sekalipun. Hal tersebut dikarenakan lokasi

antara Pura Sweta Maha Suci dengan Masjid Miftahul Huda yang berdekatan.

Begitu pula umat Kristiani, ketika memperingati hari raya (Natal), umat

tersebut tidak lupa mengundang saudara-saudaranya (baik muslim maupun Hindu)

termasuk pihak pemerintah desa. Pada saat acara sakral (aktivitas peribadatan)

berlangsung di Gereja, hanya umat Kristiani yang berkepentingan, namun setelah

acara tersebut selesai, barulah pihak muslim, Hindu, maupun perangkat desa

berbaur dalam acara selanjutnya.

49

Selain itu, kerukunan juga dapat dilihat dalam aktivitas kemasyarakatan

secara umum. Pertama, dapat dilihat bahwa satu keluarga bisa dihuni tiga agama.

Adanya perbedaan keyakinan tersebut biasanya terjadi karena masalah

pernikahan. Perbedaan tersebut tidak lantas membuat atau memunculkan konflik.

Kedua, masing-masing pihak tokoh agama juga mengedepankan pemerintahan

desa. Ketika ada suatu permasalahan tertentu yang menyangkut kemasyarakatan,

tokoh-tokoh ini selalu berembug dengan pihak pemerintah desa, bukan hanya dari

kalangannya (umat tertentu) untuk menemukan solusi. Ketiga, apabila terdapat

acara baik itu hajatan keluarga maupun acara peringatan hari besar di desa, kepala

desa selalu hadir untuk memberikan sambutan, bahkan untuk musyawarah tingkat

RT pun, selalu mengundang kepala desa selaku pihak pemerintah desa setempat.

Kenyataan lain yang cukup menarik adalah masalah perawatan dan

pemakaman jenazah. Perawatan jenazah baik itu dari kalangan agama apapun,

warga yang bertempat satu RT memiliki kewajiban lebih dalam mengurus jenazah

sebelum dimakamkan, sedangkan masalah doa bagi jenazah hanya yang

berkepentingan saja dan menyesuaikan dari agama yang bersangkutan. Area atau

lokasi pemakaman bertempat di sebelah utara Masjid Miftahul Huda. Karena

sepanjang lokasi masjid, pura, gereja, maupun sekolah (SD/MI) tersebut masih

berstatus tanah kas desa.

Pada saat penelitian ini berlangsung, pemakaman Islam dengan Hindu

masih dijadikan satu lokasi meskipun telah ada rencana untuk mengkondisikan

masing-masing pemakaman umat beragama pada lokasi yang berbeda (khusus),

seperti halnya pemakaman umat Kristen. Perihal masalah pemakaman, bagi umat

50

Hindu tidak ada ketentuan bagi jenazah yang dimakamkan harus menghadap ke

arah mana. Prosedur yang disepakati yakni apabila ada seseorang yang meninggal

dari kalangan agama tertentu, kemudian dimakamkan di area makam muslim,

maka harus mengikuti ketentuan pemakaman (jenazah harus menghadap kiblat),

begitu pula sebaliknya. Apabila diperhatikan, sepintas makam-makam tersebut

(Islam dan Hindu) tidak ada perbedaan mendasar, kecuali umat Kristiani yang

memakai tanda salib sebagai identitas agamanya. Akan tetapi, jika diperhatikan

dengan seksama, ciri dari makam umat Hindu ialah adanya tanda “Om” pada batu

nisan yang merupakan identitas penunjuk keyakinan.

h. Pembelajaran IPS di SMP Kurikulum 2013

Perkembangan mata pelajaran IPS dalam kurikulum pendidikan di

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas social studies (studi sosial) yang

ada di Amerika Serikat. Paham maupun gerakan social studies di Amerika Serikat

mampu memberikan pengaruh terhadap keberadaan Ilmu Pengetahuan Sosial

yang ada di Indonesia. Keilmuan di bidang sosial sering menyajikan beberapa

istilah yang membuat masyarakat umum menjadi rancu. Istilah-istilah tersebut

meliputi Ilmu Sosial (social sciences), Studi Sosial (social studies), dan Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS).

IPS cenderung sebagai bidang kajian, bukan merupakan suatu disiplin ilmu

seperti halnya ilmu sosial (Irma Yurni 2012: 20). Bidang yang dikaji IPS meliputi

masalah kemasyarakatan dengan prinsip keterpaduan. Pengajaran IPS yang

diaplikasikan di sekolah tidak bersifat keilmuan, akan tetapi bersifat pengetahuan.

Artinya, IPS mengajarkan kepada siswa bukan berupa teori-teori ilmu sosial,

51

melainkan hal-hal yang bersifat praktis dan berguna bagi kehidupannya, baik

kekinian maupun kelak di kemudian hari dalam berbagai lingkungan kehidupan.

Muhammad Numan Soemantri (2001: 92) menjelaskan bahwa mata

pelajaran IPS merupakan perpaduan antara cabang-cabang ilmu sosial dan

humaniora, termasuk di dalamnya juga terdapat unsur agama, filsafat, dan

pendidikan. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan IPS meliputi nilai-

nilai edukatif, praktis, teoritis, filsafat, dan kebutuhan. IPS sebagai satu program

pendidikan di sekolah bukan sekedar menyajikan tentang konsep pengetahuan

semata, namun lebih dari itu bertujuan membina siswa menjadi warga negara

yang baik, serta memiliki rasa tanggungjawab atas kesejahteraan bersama.

Pemaknaan IPS bukan sekedar relevansi konsep antara ilmu pendidikan dan ilmu

sosial, namun bagaimana dapat menghubungkan masalah-masalah

kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Substansi IPS secara sederhana

memuat tiga sub tujuan yaitu Pertama, pendidikan kewarganegaraan, Kedua

sebagai ilmu konsep dan menggeneralisasikan ilmu-ilmu sosial, dan Ketiga, ilmu

yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan masyarakat kemudian dikaji

secara reflektif. Mata pelajaran ini cocok apabila diintegrasikan dengan

pendidikan nilai-budaya dan karakter bangsa.

Pengajaran IPS dalam Kurikulum 2013 di Sekolah Menengah Pertama

dikembangkan sebagai mata pelajaran integrative social studies, yakni program

pendidikan yang berorientasi aplikatif dalam hal seperti; pengembangan

kemampuan berpikir kritis, kemampuan belajar menanggapi permasalahan, dan

pendidikan karakter seperti rasa ingin tahu, kreatif, jujur, demokratis, bertanggung

52

jawab, toleransi, dan sebagainya. Disamping itu, tujuan pendidikan IPS

menekankan pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat kebangsaaan,

patriotisme pada negara, nasionalisme, sosial-budaya, serta aktivitas masyarakat

di bidang ekonomi dalam wilayah NKRI. Pembelajaran nilai-nilai karakter tidak

hanya pada tataran kognitif semata, tetapi juga menyentuh pada internalisasi, serta

pengamalan nyata dalam kehidupan siswa sehari-hari di masyarakat.

Jadi, hakikat IPS adalah untuk mengembangkan konsep pemikiran yang

berdasarkan realita kondisi sosial yang ada di lingkungan siswa, sehingga dengan

memberikan pendidikan IPS diharapkan dapat melahirkan warga negara yang

baik dan bertanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya. Pendidikan IPS saat

ini dihadapkan pada upaya peningkatan kualitas pendidikan khususnya kualitas

sumber daya manusia, sehingga eksistensi pendidikan IPS benar-benar dapat

mengembangkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis, serta

menyiapkan anggota masyarakat di masa depan yang mampu bertindak secara

efektif.

i. Ruang Lingkup Pembelajaran IPS

Arnie Fajar (2009: 114-115) mengemukakan ruang lingkup mata pelajaran

IPS di tingkat SMP dan MTs sebagai berikut:

1) Sistem sosial dan budaya, 2) Manusia, tempat, dan lingkungan, 3) Perilaku

ekonomi dan kesejateraan, 3) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan, 4) Sistem

berbangsa dan bernegara.

Lebih lanjut, Arnie Fajar menjabarkan beberapa pengkategorian di atas

yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini:

53

Tabel 2.1. Aspek dan Sub Aspek Ilmu-Ilmu Sosial

Aspek Sub Aspek

1. Sistem sosial dan

budaya

- Individu, keluarga, dan masyarakat

- Sosiologi sebagai ilmu dan metode

- Interaksi sosial

- Sosialisasi

- Struktur sosial

- Kebudayaan

- Perubahan sosial budaya

2. Manusia, tempat, dan

lingkungan

- Sistem informasi geografi

- Interaksi gejala fisik dan sosial

- Struktur internal suatu tempat/wilayah

- Interaksi keruangan

- Persepsi lingkungan dan kewilayahan

3. Perilaku ekonomi dan

kesejahteraan

- Berekonomi

- Ketergantungan

- Spesialisasi dan pembagian kerja

- Perkoperasian

- Kewirausahaan

- Pengelolaan keuangan perusahaan

4. Waktu, keberlanjutan,

dan perubahan

- Dasar-dasar ilmu sejarah

- Fakta, peristiwa, dan proses

5. Sistem berbangsa dan

bernegara

- Persatuan bangsa

- Nilai dan norma (agama, kesusilaan,

kesopanan dan hukum)

- Hak asasi manusia

- Kebutuhan hidup

- Kekusasan dan politik

- Masyarakat demokratis

- Pancasila dan konstitusi negara

- Globalisasi

(Sumber: Arnie Fajar, 2009: 114-115)

Berkaitan dengan tabel diatas, maka dapat dijadikan gambaran mengenai ruang

lingkup studi ilmu pengetahuan sosial. Pertama, pengenalan dari aspek sistem

sosial dan budaya terbagi pada pembahasan mengenai pola kehidupan di

masyarakat. Dilihat dari substansinya pola masyarakat ini akan terbangun melalui

54

individu yang mengadakan interaksi, sosialisasi baik dengan keluarga dan

lingkungannya secara luas. Lebih lanjut, akan ditemukan pula bagaimana struktur

sosial, perubahan dan budaya yang tetap melekat. Kedua, ranah manusia dan

ligkungannya yang mencakup pada pendadaran interaksi manusia dengan

lingkungan fisiknya. Ketiga, aspek kesejahteraan dengan mengasumsi pada

dinamika bentuk ekonomi dengan memperhatikan peilaku-perilaku ekonomi yang

dijalankan misalnya perkoperasian, kewirausahaan, atau spesialisasi dan

pembagian kerja. Keempat, sistem pembabakan waktu berkelanjutan, yang

orientasinya terhimpun pada peristiwa, fakta-fakta yang ada dan biasanya disebut

sejarah. Kelima, sistem berbangsa dan bernegara yang dalam pembelajarannya,

peserta didik dikontekskan pada masalah-masalah kebangsaan meliputi nilai dan

norma, hak asasi manusia, sikap demokratis dan pengetahuan tentang dasar negara

yakni pancasila, maupun segi perpolitikan.

Sejalan dengan pemikiran ini, konteks pendidikan IPS erat kaitanya dengan

disiplin ilmu-ilmu sosial. Substansi ilmu pengetahuan ini pada kenyataannya akan

mempelajari hubungan masyarakat serta segala perilaku manusia, dan lingkungan

tempat tinggalnya. Ilmu pengetahuan sosial merupakan sebuah ilmu

interdisipliner, sebab adanya berbagai pengintegrasian dari berbagai sudut ilmu

sosial melalui geografi, sosiologi, sejarah, ekonomi dan sebagainya. Abraham

Nurcahyo dan Yudi Hartono (2010: 9-10) mengemukakan bahwa disiplin ilmu

sosial yang termasuk dalam mata pelajaran IPS meliputi; 1) Ilmu geografi, dengan

aspek yang dipelajari mencakup manusia, tempat, dan lingkungannya, 2) Ilmu

sejarah, dengan aspek yang dipelajari mencakup waktu, keberlanjutan, dan

55

perubahan, 3) Ilmu sosiologi, dengan aspek yang dipelajari mencakup sistem

sosial dan budaya, serta 4) Ilmu ekonomi dengan aspek yang dipelajari mencakup

perilaku ekonomi dan kesejahteraan.

Bagan 2.3. Keterpaduan Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial

(Sumber: Abraham Nurcahyo dan Yudi Hartono, 2010: 10)

Dengan demikian dari percabangan skema ilmu pengetahuan sosial tersebut,

maka akan terbagi menjadi dua skup yaitu social sciences yakni ilmu pengetahuan

sosial yang tujuannya menjadi ahli ilmu sosial (sejarawan, ekonom, dan sosiolog,

antropolog). Sedangkan social studies adalah penyederhanaan social sciences

untuk tujuan kependidikan. Di Indonesia sendiri bila dicermati bahwa IPS yang

diajarkan dan dikembangkan di sekolah cenderung mengarah pada domain social

studies. Konsep tersebut sebenarnya sama seperti yang diajarkan di luar negeri,

namun demikian dari segi isi maupun tema masih tetap disesuaikan dan

dimodifikasi dengan kurikulum Indonesia.

Ilmu

Pengetahuan

Sosial

Filsafat

Psikologi

Sosial

Ekonomi

Ilmu politik

Antropologi

Sosiologi

Geografi

Sejarah

56

3. Sikap Demokratis

Sikap merupakan kondisi mental seseorang untuk mengevaluasi atau

membentuk pandangan (berdasarkan pengalaman) sebagai sebuah kecenderungan

menanggapi respon, obyek, kondisi, maupun manusia lain yang termanifestasikan

dalam bentuk tindakan menyesuaikan diri. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, sikap berarti “..perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada

pendirian, keyakinan: rakyat akan selalu mengutuk -- pemimpin-pemimpinnya

yang kurang adil itu..”.

Menurut Yayat Suharyat (2009: 1) sikap merupakan satu dari sekian istilah

bidang psikologi yang berhubungan dengan persepsi maupun tingkah laku. Istilah

“sikap” dalam bahasa Inggris disebut attitude, yang diterjemahkan sebagai cara

merespon untuk menanggapi stimulus. Sikap memiliki kecenderungan untuk

bereaksi terhadap suatu perangsang atau situasi yang dihadapi, serta melibatkan

beberapa pengetahuan tentang sesuatu. Namun, aspek yang esensial dalam sikap

pada dasarnya adalah perasaan atau emosi. Emosi atau perasaan ini terbentuk dari

aktivitas pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang mengendap, kemudian

diproses dan diolah lebih lanjut dalam pemikiran manusia. Sehingga, pada

akhirnya perasaan atau emosi mampu memainkan perannya dalam memunculkan

reaksi atau respons (kecenderungan untuk berbuat).

Notoatmodjo (2003: 124) menyatakan sikap merupakan suatu reaksi

(respon) yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.

Manifestasi sikap tersebut tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat

ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan kesiapan

57

untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan

terhadap objek. Sehingga asumsi dasar mengenai “sikap” dapat dijelaskan melalui

beberapa komponen, antara lain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Komponen

kognitif berupa pengetahuan, kepercayaan, atau pikiran yang didasarkan pada

informasi yang berhubungan dengan objek. Misalkan seseorang tahu bahwa

pendidikan itu penting, karena berguna bagi masa depan. Sikap seseorang tentang

pendidikan tersebut menunjukkan bahwa orang itu tahu seberapa besar pentingnya

pendidikan bagi seseorang. Komponen afektif menunjuk pada dimensi emosional

dari sikap, yaitu emosi yang berhubungan dengan objek. Objek di sini dirasakan

sebagai suatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Misalkan seorang lelaki

menyukai perempuan, hal ini menunjukkan atau menggambarkan perasaan lelaki

tersebut. Komponen konatif atau behavior, yakni melibatkan salah satu

predisposisi untuk bertindak terhadap objek. Misalnya karena uang adalah sesuatu

yang bernilai, orang menyukainya dan mereka berusaha (bertindak) untuk

mendapatkan gaji yang besar.

Terdapat beberapa tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003: 126) antara

lain;

1) Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang di berikan (objek). Misalkan sikap seseorang terhadap kondisi keuangan

(financial), dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang bersangkutan

terhadap pengelolaan dan perencanaan keuangan sejak awal (berhemat).

58

2) Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha

untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas

dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide

tersebut.

3) Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya orang tua yang mendidik

anaknya sejak dini untuk berhemat, merupakan suatu bentuk perhatian positif

orang tua dalam menyikapi masalah keuangan (kebutuhan masa depan) anak

agar tidak memiliki gaya hidup royal atau bermewah-mewahan

4) Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang yang

bermatapencaharian sebagai Deep Collector harus siap menerima segala resiko

atau konsekuensi, seperti masalah keselamatan diri, keamanan masalah

keuangan, nasabah yang suka bersembunyi dari kewajibannya, nasabah yang

suka marah, mengelak, mengancam, dan sebagainya.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, “sikap” pada dasarnya ada yang

bersifat positif dan negatif. Sikap positif, kecenderungan tindakan yaitu

mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap

negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak

59

menyukai objek tertentu. Semuanya berfungsi sebagai alat adaptasi, alat untuk

mengatur tingkah laku, alat mengatur berbagai pengalaman, dan sebagai

pernyataan yang menunjuk tentang kepribadian seseorang.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat, dan

kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi berarti

pemerintahan oleh rakyat. Abraham Lincoln, mengemukakan pemerintahan

demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (from people, for

people, by people). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi

diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut

serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, gagasan atau pandangan hidup

yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama

bagi semua warga negara. Arti “demokratis” tidak dapat dipisahkan dari kata

awalnya yakni “demokrasi”. Akhiran –is yang terdapat dalam kata demokratis

merujuk pada makna sifat yang melekat atau bersifat.

Definisi di atas mencakup atau mengarah pada konteks politik, hukum, atau

ketatanegaraan termasuk dalam pengambilan kebijakan publik. Demokrasi

dilaksanakan atas dasar kehendak rakyat, karena sejatinya negara yang

berdemokrasi adalah negara yang mengakui kedaulatan rakyat dan melaksanakan

aspirasi rakyat, meskipun realitanya terkadang belum sesuai dengan apa yang

diidealkan. Berbagai permasalahan bangsa, seperti sparatisme, SARA, masalah

HAM yang belum terselesaikan, korupsi yang merajalela, merupakan aspek-aspek

penggerus demokrasi yang harus dimengerti oleh generasi muda kita agar tidak

memiliki sikap yang apatis terhadap masalah serius tersebut. Siswa sejak dini

60

harus diajarkan mengenai nasionalisme, toleransi beragama, menghargai hak-hak

orang lain, memiliki sikap demokratis dalam kehidupan sehari-hari dan

sebagainya agar dengan pembiasaan tersebut terbentuk karakter yang diinginkan

dalam diri siswa.

Demokrasi selain dimengerti sebagai sebuah sistem dalam mengelola

negara, juga dikenal sebagai sebuah falsafah yang digunakan sebagai “cara” hidup

manusia dalam keseharian. Dengan memahami arti luas demokrasi, maka sistem

tersebut juga dapat dikontekskan dalam dunia pendidikan. Upaya untuk

mengajarkan sikap yang demokratis sejak dini, dapat dilaksanakan melalui setting

pendidikan formal, bahkan non formal sekalipun. Lingkungan keluarga sebagai

lingkungan pertama yang membentuk kepribadian anak, memiliki peran strategis

dalam menelurkan generasi berkarakter yang memiliki sikap demokratis.

Sedangkan sekolah, sebagai simulasi kehidupan bermasyarakat yang lebih luas,

harus mampu mempertegas nilai-nilai kebangsaan melalui jalur pendidikan

(formal) yang tidak sekedar mentransfer pengetahuan (transfer knowledge), akan

tetapi juga transfer nilai (transfer value) melalui sebuah keteladanan para guru

khususnya. Pakar pendidikan John Dewey (1964) mendefiniskan demokrasi yakni

“Democracy is extension in space of the number of individualis who participate in

a interest”. Artinya, demokrasi memberikan kekuasaan, tempat kepada individu

untuk berperan dalam sebuah minat atau keinginan.

Sekolah sebagai tempat menempuh pendidikan formal memiliki tanggung

jawab dalam membentuk generasi muda yang beriman, bertaqwa, berilmu,

bermoral, dan memiliki sikap demokratis. Sesuai dengan yang termaktub dalam

61

UU Nomor 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk

berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan yang bercorak demokratis, dalam konteks pendidikan formal di kelas,

dapat dianalogikan layaknya guru sebagai pemimpin, sedangkan siswa sebagai

“warga negara” yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Seorang guru harus

mampu memfasilitasi siswanya agar mampu menjadi “warga negara” yang baik

dengan cara membuat setting pembelajaran dengan melibatkan partisipasi siswa.

Partisipasi siswa yakni berupa respon umpan balik (feed back) dalam menanggapi

pernyataan guru, kerjasama antara siswa dalam memecahkan masalah, berfikir

kritis, menghargai perbedaan, dan sebagainya. Semua itu merupakan bagian dari

konteks keterampilan sosial yang disimulasikan dalam pembelajaran di kelas.

Sehingga harapan yang ingin dicapai adalah apa yang diperoleh siswa dalam

pembelajaran formal di kelas, mampu menjadi bekal dalam konteks

kebermaknaan pembelajaran di lingkungan sosial yang lebih luas.

Kurikulum 2013 membagi kompetensi sikap menjadi dua, yaitu sikap

spiritual yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang beriman dan

bertakwa, dan sikap sosial yang terkait dengan pembentukan peserta didik yang

berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Pada jenjang

SMP/MTs, kompetensi sikap spiritual mengacu pada KI-1: Menghargai dan

menghayati ajaran agama yang dianutnya, sedangkan kompetensi sikap sosial

mengacu pada KI-2: Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin,

62

tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam

berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan

pergaulan dan keberadaannya.

Beberapa indikator yang mencerminkan sikap demokratis menurut pedoman

penilaian pencapaian kompetensi sikap Kurikulum 2013 pada tataran siswa

menengah pertama antara lain;

1) Mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau

golongan.

2) Menghormati teman yang berbeda suku, agama, ras, budaya, dan gender.

3) Memelihara hubungan baik dengan sesama umat ciptaan Tuhan Yang Maha

Esa

4) Menghormati orang lain yang menjalankan ibadah sesuai dengan

keyakinannya.

5) Toleran atau menghargai serta menghormati pendapat orang lain yang

berbeda.

6) Terbuka menerima pendapat orang lain.

7) Menerima kesepakatan bersama meskipun tidak sesuai dengan pendapatnya.

8) Dapat menerima kekurangan orang lain dan tidak memaksakan pendapat.

9) Dapat memaafkan kesalahan orang lain.

10) Cerdas dan penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan.

11) Menghormati hak orang lain.

12) Menghormati kekuasaan yang sah.

14) Bersikap adil dan tidak diskriminatif.

63

15) Aktif dalam kerja kelompok.

Jadi, dapat dimengerti bahwa secara umum tujuan dari pendidikan yang

bersifat demokratis yakni mampu menghasilkan lulusan yang berpartisipasi dalam

kehidupan masyarakat luas, memiliki sifat-sifat kepemimpinan, serta mempunyai

pengaruh penting dalam pengambilan kebijakan publik. Dengan kata lain,

pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan

akan peran warga dalam masyarakat demokratis baik dari aspek cara berpikir,

bersikap, dan bertindak.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian yang mengkaji tentang pembelajaran dalam masyarakat multi

budaya telah banyak dilakukan, hal tersebut dikarenakan merupakan isu penting

yang selalu mencuat apabila berbicara tentang konsep ke-Indonesia-an. Kajian

tersebut menjadi penting ketika sering terjadi gejolak masyarakat atau yang sering

disebut sebagai sebuah konflik horisontal. Salah satu strategi yang diterapkan

yakni dengan cara menerapkan konsep pendidikan berbasis budaya (kearifan

lokal) dalam proses pembelajaran di kelas secara formal, dengan tidak

mengesampingkan aspek-aspek lain di luar formalitas.

Karya ilmiah yang mengkaji tentang relevansi pendidikan multikultural

dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks akademis antara lain;

1) Imam Suyitno.Pengembangan Pendidikan Karakter Dan Budaya Bangsa

Berwawasan Kearifan Lokal.Jurnal Pendidikan Karakter. Nomor 01, Volume

2, Februari 2012: 4.

64

Hasil penelitian: dalam pengembangan karakter, perlu diperhatikan bentuk-

bentuk budaya bangsa (pemahaman tentang pengenalan diri, tujuan hidup,

interaksi dengan orang-orang orang-orang di sekiar, dan proses pengambilan

putusan). Metode pengembangan pendidikan karakter dapat dilakukan

dengan (a) proses penyadaran dan pembiasaan; (b) belajar melalui

pengalaman; dan (c) menyesuaikan dengan karakteristik dan hak peserta

didik. Pembentukan karakter bangsa memerlukan (a) peraturan yang

membentuk suatu ulur yang menjaga integritas akademis lembaga

pendidikan; (b) pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir

kritis agar menjadi pelajar yang mampu memaknai berbagai pengetahuan dan

informasi secara baik dan bijak; dan (c) pengembangan desain sistem

evaluasi akademik (tentang kenaikan dan kelulusan) yang mampu menjadi

solusi alternatif sistem penilaian yang benar-benar mampu memotret

kemampuan peserta didik. Pembentukan karakter dimulai dari keinginan

untuk mengetahui serta melakukan hal yang baik agar tercipta kebiasaan,

baik di hati, pikiran, maupun perilaku. Dalam membentuk karakter positif,

peserta didik perlu mengetahui alasan mengapa berbuat baik, merasakan hal

yang baik, dan melakukan hal yang baik. Perlunya lingkungan belajar yang

positif dan peduli yang ditandai dengan penuh kasih sayang, penuh dengan

kepedulian, kompetensi guru dan staf sekolah yang memberikan inspirasi dan

bebas dari berbagai bentuk tindak kekerasan, serta pendidikan yang inklusif.

65

2) Akhmad Hidayatullah Al Arifin. Implementasi Pendidikan Multikultural

Dalam Praksis Pendidikan Di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan:

Fondasi dan Aplikasi. Volume 1, Nomor 1, Juni 2012: 74.

Hasil penelitian: (a) pendidikan multikultural di Indonesia masih menjadi

wacana baru yang perlu direspon untuk menjaga keutuhan bangsa yang kaya

akan multi kultur, (b) pendidikan multikultural merupakan wujud kesadaran

tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan

atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice untuk suatu kehidupan

masyarakat yang adil dan maju. Pendidikan multikultural juga dapat

dijadikan instrumen strategis untuk mengembangkan kesadaran atas

kebanggaan seseorang terhadap bangsanya, (c) dalam menghadapi pluralisme

budaya, diperlukan paradigma baru yang lebih toleran dan elegan untuk

mencegah dan memecahkan masalah benturan-benturan budaya tersebut,

yaitu perlunya dilaksanakan pendidikan multicultural, (d) oleh karenanya

praktek pendidikan multikultural di Indonesia dapat dilaksanakan secara

fleksibel dengan mengutamakan prinsip-prinsip dasar multikultural, (e)

pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di

masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman

akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru

atas keadilan, kesetaraan dan masyarakat yang demokratis.

3) Luthfiah Ayundasari. 2013. Model Pembelajaran Sejarah Berbasis

Kebhinekaan dan Universalisme Islam Untuk Meningkatkan Kesadaran

Harmoni Sosial. Tesis: Pascasarjana Pendidikan Sejarah UNS.

66

Hasil yang diperoleh terdapat perbedaan rerata tingkat kesadaran harmoni

sosial siswa dengan model PSBKUI dan konvensional karena t hitung > t

tabel (8,223 > 2,042). Terdapat perbedaan tingkat kesadaran harmoni sosial

siswa antara sebelum dan sesudah pemberlakuan model karena –t hitung (-

8,130) < -t tabel (-2,039). Model PSBKUI efektif dalam meningkatkan

kesadaran harmoni sosial siswa karena (a) didukung oleh materi di luar fakta-

fakta sejarah seperti sosiologi dan muatan materi agama Islam; (b)

penggunaan kasus terkini konflik horizontal sebagai cerminan lunturnya

kesadaran kebangsaan yang hal ini bertolak belakang dengan kondisi pada

masa pergerakan dimana terjadi transformasi etnik dan kesadaran kebangsaan

sehingga tercipta rasa persatuan menuju kemerdekaan; (c) penggunaan media

pembelajaran yang mendukung yaitu video keberagaman Indonesia, ceramah

tentang akar toleransi dalam Islam, dan video perjuangan kemerdekaan yang

mencerminkan terlibatnya semua elemen masyarakat; (d) penggunaan teori

pembelajaran kooperatif dan kontekstual sehingga siswa aktif dalam

membangun pengetahuan mereka yang berdampak pada kebermaknaan

materi; (e) penggunaan model yang sesuai dengan tingkat penalaran moral

siswa SMA yaitu tingkat penalaran konvensional dimana pembelajaran nilai

dan moral dilakukan secara rasional; (f) penggunaan pendekatan analisis nilai

yang menekankan agar siswa dapat menggunakan kemampuan berpikir logis

dan ilmiah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan

nilai tertentu.

67

4) Nunuk Suryani. Pengembangan Model Internalisasi Nilai Kharakter Dalam

Pembelajaran Sejarah Melalui Model Value Clarification Technique. Jurnal

Paramita. Nomor 02, Volume 23, Juli 2013: 215.

Hasil penelitiannya yaitu model VCT efektif untuk meningkatkan peran

pembelajaran Sejarah dalam pembentukan karakter siswa yang pada

gilirannya dapat meningkatkan pembentukan karakter bangsa. Model VCT

efektif untuk meningkatkan kualitas proses dan produk pembelajaran nilai

karakter pada mata pelajaran IPS Sejarah SMP khususnya di Solo Raya.

5) Dadang Supardan. 2008. History Learning On The Approach Of

Multicultural And Local, National, Global History Perspective For National

Integration: A Quasi-Experimental Study On Senior High School Student in

Bandung City. Desertasi: UPI Bandung.

Hasil penelitian: (a) penggunaan pendekatan multikultural dalam kegiatan

pembelajaran sejarah berpengaruh signifikan terhadap pengembangan

hubungan inter etnik dan solidaritas nasional, (b) terdapat pengaruh yang

signifikan dengan menggunakan pendekatan sejarah lokal terhadap hubungan

inter etnik dan solidaritas nasional, (c) terdapat pengaruh yang signifikan

antara pembelajaran sejarah nasional terhadap hubungan inter etnik, tetapi

tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pembelajaran sejarah nasional

terhadap pembangunan solidaritas nasional, (d) terdapat pengaruh yang

signifikan antara pembelajaran sejarah global terhadap hubungan inter etnik

dan solidaritas nasional, serta terdapat pengaruh yang signifikan antara

pembelajaran inter etnik dan solidaritas nasional.

68

Beberapa penelitian yang disebutkan di atas belum terdapat penelitian yang

secara spesifik mengintegrasikan antara pembelajaran IPS di jenjang SMP dengan

nilai kearifan lokal Desa Pancasila. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sebuah

model yang akan menghasilkan desain model pembelajaran IPS berbasis nilai-

nilai kearifan lokal Desa Pancasila untuk menumbuhkembangkan sikap

demokratis.

C. Kerangka Berpikir

Indonesia sebagai negara multikultur yang terdiri dari berbagai suku, agama,

dan budaya sangat rentan dengan pertentangan. Pertentangan atau biasa disebut

dengan konflik bisa terjadi secara vertikal maupun horisontal. Secara vertikal

seringkali terkait kasus sparatisme dan terorisme. Secara horisontal, kasus yang

sering terjadi di masyarakat terkait dengan masalah SARA. Jika terjadi secara

vertikal, maka negara tidak boleh absen dalam mengatasi hal tersebut melalui

solusi berupa lobi politik atau pendekatan ekonomi. Namun, jika pertentangan

tersebut terjadi secara horisontal, maka solusi yang dilakukan harus melalui

pendekatan budaya atau yang disebut dengan kearifan lokal.

Era globalisasi saat ini semakin menggerus perilaku positif generasi muda

menuju pada sikap mental yang negatif. Munculnya perilaku negatif pada generasi

muda seperti kurang adanya nilai-nilai toleransi, kurang menghargai antar sesama,

pudarnya budaya gotong royong, egoisme atau tidak adanya semangat demokratis,

mengesampingkan kearifan lokal setempat dengan budaya barat, tawuran, seks

bebas, sikap apatis terhadap masalah bangsa, dan sebagainya merupakan

tantangan berat bagi dunia pendidikan Indonesia masa kini, termasuk juga

69

masalah krisis keteladanan. Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah

dan memiliki budaya yang santun, kini terkesan luntur dengan berbagai contoh

runtuhnya moralitas generasi muda.

Krisis karakter yang terjadi pada generasi muda terkait dengan kurangnya

saling pengertian di lingkungan keluarga yang disebabkan karena disorientasi

masalah ekonomi dan latar belakang pendidikan anggota keluarga. Selain itu arus

globalisasi yang begitu deras mampu membawa nilai-nilai dan norma kehidupan

terdegradasi sehingga didominasi oleh gaya hidup remaja yang hedonis

(materialistis), ditambah dengan tayangan sinetron tidak mendidik yang memuat

gaya hidup jauh dari kearifan lokal masyarakat.

Perlu suatu upaya revitalisasi pembelajaran IPS yakni, pertama sebagai

sebuah pendidikan intelektual. Kedua, pendidikan nilai, pendidikan kemanusiaan,

pendidikan pembinaan moralitas, pendidikan karakter bangsa atau jati diri, serta

nasionalisme. Pembelajaran IPS di tataran SMP mampu mengajak siswa untuk

belajar terhadap lingkungan sekitar yang memberikan makna. Secara teoretis,

pendidikan IPS merupakan program tematik atau terpadu yang materinya

terintegrasi dengan ilmu sosial yang lain. Dalam mata pelajaran IPS, selain

membuka aspek wawasan tentang ke-Indonesia-an, juga mengandung nilai-nilai

luhur dan muatan karakter bangsa dalam bermasyarakat, berbangsa serta

bernegara yang dibingkai dalam keragaman. IPS memberikan konsep nilai moral

dan keragaman dalam berbagai dimensi kehidupan, sehingga harus menjadi

perhatian utama sebagai mata pelajaran yang berkontribusi dalam membentuk

karakter kebangsaan tanpa mengesampingkan mata pelajaran yang lain.

70

Melalui kegiatan pembelajaran IPS, siswa diharapkan menjadi warga negara

yang baik, serta bangga akan jati diri atau identitas dirinya serta mampu

merumuskan apa yang akan mereka capai. Selain itu, diharapkan dengan

mempelajari IPS, siswa mampu mengembangkan dan mengaplikasikan berbagai

nilai positif dalam kehidupan masyarakat, antara lain; menghargai sesama,

menerima keberagaman, berpartisipasi melestarikan budaya lokal, memiliki rasa

empati dan simpati, toleransi, gotong royong, akomodatif, serta inklusif, sehingga

mampu menumbuhkembangkan sikap demokratis dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Pembelajaran IPS diharapkan mampu mengambil peran tersebut.

71

Kerangka Berpikir

Bagan 2.4 Kerangka Berpikir

1. Pembelajaran IPS

kental dengan

ceramah didaktif.

2. Kecenderungan

pembelajaran IPS

berpusat pada guru.

3. Bahan/materi yang

digunakan guru

kurang bersifat

kontekstual.

1. Siswa kurang aktif

dalam proses belajar

mengajar

2. Belum mencapai

KKM 65 untuk kelas

regular dan KKM 70

untuk kelas

unggulan.

3. Kurang mampu

bekerjasama antar

teman.

1. Pengajaran IPS kurang

bermakna.

2. Stigma membosankan

pelajaran IPS.

3. Belum optimalnya

model pembelajaran

yang bervariatif dan

menarik.

4. Porsi muatan pendidikan

nilai dan karakter yang

besar pada mata

pelajaran IPS.

PERMASALAHAN

GURU SISWA MODEL PEMBELAJARAN

Pengembangan Model

Pembelajaran IPS Berbasis

Nilai Kearifan Lokal Desa

Pancasila

Teori Belajar

Pendidikan Nilai dan

Karakter

Metode Penanaman

Nilai

Pembelajaran IPS

Teori Pengembangan

Model Pembelajaran

Instrumen

Validasi/Evaluasi

Valid/Layak

Produk Model Pembelajaran

IPS Berbasis Nilai Kearifan

Lokal Desa Pancasila

Belu

m L

ayak

72