bab ii kajian pustaka telah diadakan pengamatan dan ...digilib.iainkendari.ac.id/1456/3/bab...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Relevan
Sebelum Penulis menyusun dan melakukan suatu penelitian terkait
“Praktek Tukang Parkir Liar Dalam Prespektif Hukum Islam(studi kasus di Pasar
Baruga Kota Kendari) Telah diadakan pengamatan dan penelusuran lebih awal,
dan sejauh penelusuran yang dilakukan penulis, maka penelitian yang relevan
dengan penelitian ini adalah :
Pertama, dalam skripsi saudara Frenky Furwanto yang berjudul
“Pengaruh Penerimaan Pajak Parkir dan Retribusi Parkir Terhadap Pendapatan
Asli Daerah Kota Pekan baru ditinjau dari Hukum Islam”. Berdasarkan hasil
penelitian yang dikemukakan oleh penulis bahwa pajak parkir dan retribusi parkir
mempunyai perananyang sangat penting dalam meningkatkan hasil pendapatan
asli daerah Kota Pekanbaru, maka dalam hal ini Dispenda dan Dishub harus lebih
mengoptimalkan pemungutan Pajak Parkir dan Retribusi Parkir.
Kedua, dalam skripsi saudari Suhartini yang berjudul “Analisa
Pemungutan Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum Oleh Dinas Perhubungan
Kabupatan Kuantan Singingi”. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan
oleh penulis bahwa pemungutan retribusi parkir di tepi jalan umum di Kabupaten
Kuantan Singingi dalam pelaksanaanya menjalin kerja sama dengan pihak ketiga.
Sara dan prasarana belum memadai, besarnya tarif yang sudah di pungut sudah
sesuai dengan PERDA Nomor 6 Tahun 2012. Target realisasi dari tahun 2009
sampai dengan 2012 tidak pernah tercapai yang dikatakan oleh system
pengawasan yang dilakukan juga belum maksimal.
7
8
Peneliti telah melakukan penelusuran terhadap karya dan hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, dan menjadi bahan
yang amat berharga bagi penulis, terutama untuk memberikan gambaran
sebelumnya, adapunperparkiran yang belum di ungkap disini, menjadi bahan yang
sangat berguna sehingga penulis memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya
kepada para peneliti sebelumnya. Berbedahalnya dengan Skripsi ini, penulis
mencoba mengkaji tentang praktek parkir liar dalam prespektif hukum Islam
(StudiKasus di Pasar Baruga Kota Kendari).
Berdasarkan penelitian yang relevan terdapat persamaan dan perbedaan
yang dilakukan peneliti, Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama
memfokuskan penelitian kepada hukum Islam yang berisi tentang aturan
Perparkiran. Adapun perbedaan pada penelitian ini adalah tempatdan waktu
penelitian. Dibandingkan dengan peneliti, peneliti sebelumnya lebih membahas
kepada Hukum Islam semata. Peneliti disini akan lebih memfokusan kepada dua
aturan yang selalu di jaga keasliannya dan direvisi ketika menemukan kesalahan
dimana hal demikan adalah pandangan hukum Islam.
B. Kajian Teoritik.
1. Tinjauan Umum Perparkiran
a. Pengertian Parkir
Menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Daerah Kendari Nomor 17 Tahun
2006 Tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum Dalam Kota, Parkir adalah
memberhentikan dan menempatkan kendaraan bermotor di tepi jalan umum yang
9
bersifat sementara pada tempat yang telahditetapkan.1 Sedangkan menurut
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:KM66 Tahun 1993 Tentang Fasilitas
Parkir untuk Umum,
Pasal 1
(1). Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
(2). Fasilitas Parkir di luar badan jalan adalah fasilitas parkir kendaraan yang dibuat khusus yang dapat berupa taman parkir atau gedung parkir.
(3). Fasilitas Parkir untuk umum adalah fasilitas parkir di luar badan jalan berupa gedung parkir atau taman parkir yang diusahakan sebagai kegiatan usaha yang berdiri sendiri dengan menyediakan jasa pelayanan parkir untuk umum.2
Penyelenggaraan parkir berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
Pasal 11
(1) Untuk menunjang keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalulintas dan angkutan jalan dapat diadakan fasilitas parkir umum.
(2) Fasilitas parkir untuk umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh pemerintah, badan hukum Indonesia, atau warga negara Indonesia.3
Beberapa definisi parkir dari beberapa sumber diantaranya adalah
sebagai berikut :
1) Menurut Poerwadarmita, parkir adalah tempat pemberhentian kendaraan beberapa saat.
2) Pignataro dan Sukanto menjelaskan bahwa parkir adalah memberhentikan dan menyimpan kendaraan (mobil, sepeda motor, sepeda, dan sebagainya) untuk sementara waktu pada suatu ruang tertentu. Ruang tersebut dapat berupa tepi jalan, garasi atau pelataran yang disediakan untuk menampung kendaraan tersebut.
1 Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum
Dalam Kota 2Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM66 Tahun 1993 Tentang Fasilitas
Parkiruntuk Umum. 3Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
10
3) Menurut Warpani parkir adalah tempat menempatkan atau memangkal dengan memberhentikan kendaraan angkutan atau barang (bermotor maupun tidak bermotor) pada suatu tempat dalam jangka waktu tertentu.4
Kemudian dalam membahas masalah perparkiran, ada beberapa istilah
yang digunakan dalam parkir, sehingga perlu diketahui beberapa istilah yaitu
sebagai berikut :
1) Kapasitas parkir (nyata), yang merupakan kapasitas yang terpakai dalam satu
satuan waktu atau kapasitas parkir yang disediakan (parkir kolektif) oleh
pihak pengelola.
2) Kapasitas parkir (teoritis) yang dapat digunakan sebagai tempat parkir, yang
dinyatakan dalam kendaraan. Kapasitas parkir dalam gedung perkantoran
tergantung dalam luas lantai bangunanm maka makin besar lauas lantai
bangunan, makin besar pula kapasitas normalnya.
3) Durasi parkir yang merupakan lamanya suatu kendaraan parkir pada suatu
lokasi.
4) Kawasan parkir, yang merupakan kawasan suatu areal yang memanfaatkan
badan jalan sebagai fasilitas dan terdapat pengendalian parkir melalui pintu
masuk.
5) Kebutuhan parkir, yang merupakan jumlah ruang parkir yang dibutuhkan
yang besarnya di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pemilikan
kendaraan pribadi, tingkat kesulitan menuju daerah yang bersangkutan,
ketersediaan angkutan umum, dan tarif parkir.
4Chatamarrasjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil)Kapita
Selekta Hukum Perusahaan.(Bandung:Citra Aditya Bakti.2000). h.12
11
6) Lama parkir, yang merupakan jumlah rata-rata waktu parkir pada petak parkir
yang tersedia dinyatakan dalam ½, 1 jam, 1 hari.
7) Puncak parkir, yang merupakan akumulasi parkir rata-rata tertinggi dengan
satuan kendaraan.
8) Jalur sirkulasi, yang merupakan tempat yang digunakan untuk pergerakan
kendaraan yang masuk dan keluar dari fasilitas parkir.
9) Jalur gang, yang merupakan jalur dari dua deretan ruang parkir yang
berdekatan.
10) Retribusi parkir, yang merupakan pungutan yang dikenakan pada pemakai
kendaraan yang memarkir kendaraanya di ruang parkir. Adapun pembagian
retribusi parkir, yakni retribusi parkir tepi jalan dan retribusi parkir khusus.
a) Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum, merupakan penyediaan
pelayanan parkir yang di tepi jalan umum yang ditentukan oleh
pemerintah daerah.
b) Retribusi tempat khusus parkir, merupakan pelayanan penyediaan tempat
parkir khusus disediakan, dimiliki atau dikelola oleh pemerintah daerah,
tidak termaksud yang disediakan dan dikelola oleh Badan Usaha Milik
Daerah dan pihak swasta.
Lalu lintas dan angkutan jalan harus dikembangkan potensi dan perannya
untuk mewujudkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, ketertiban dan
kelancaran berlalu lintas dalam rangka mendukung ekonomi dan pembangunan
daerah. Namun, dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan kemajuan
pembangunan di Kota Kendari menuntut penyelenggaraan lalu lintas dan
12
angkutan jalan yang sesuai dengan perkembangannya. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan yang lebih jelas, tegas dan memiliki kekuatan Hukum terhadap
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Berangkat dari fenomena tersebut, dalam rangka memberikan arah,
landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pemerintah Kota Kendari
kemudian mengusulkan Raperda, yang kemudian bersama-sama dengan DPRD
Kota Kendari membentuk Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2016 tentang
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Dasar Hukum Penyelenggaraan Parkir
Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan fungsi dan
intensitas Lalu Lintas serta daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat
dan dimensi Kendaraan Bermotor. Penetapan kelas Jalan dilakukan oleh
pemerintah Daerah dan dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas. Bagi jalan yang
dibangun oleh badan hukum tertentu baik pemerintah maupun swasta yang
merupakan jalan konsesi, jalan kawasan, jalan lingkungan tertentu dinyatakan
terbuka untuk Lalu Lintas Umum setelah pengelola Jalan menyerahkan
kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah untuk ditetapkan sebagai
Jalan Umum.
Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan baik fungsi jalan
secara teknis dan administratif. Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji
kelaikan fungsi jalan sebelum pengoperasian, serta pada jalan yang sudah
beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 tahun atau sesuai
13
dengan kebutuhan. Hasil uji kelayakan fungsi Jalan tersebut wajib dipublikasikan
dan ditindaklanjuti. Sehingga penyelenggaraan jasa parkir didasarkan pada :
1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi.
3) Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pendirian Perusahaan
Daerah Parkir Daerah Tingkat II.
4) Surat keputusan walikota Nomor 7040 Tahun 1999 Tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daera Parkir.
5) Surat Keputusan Walikota Nomor 736 Tahun 2000Tentang Penugasan
Pengelolaan Perparkiran dan Pemungutan Retribusi Parkir Dalam Wilayah
Perusahaan Daerah Parkir.
6) Surat Keputusan Walikota Nomor 64 Tahun 2001 Tentang Penetapan
Tempat Parkir di Tepi Jalan Umum, Tempat Parkir Khusus dan Tempat
Parkir Langganan Bulanan dan Tata Cara Penagihan Retribusi Parkir.
7) Surat Keputusan Walikota Nomor 935/ Kep/ 188. 342/ 2006 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum Dalam Daerah.
8) Surat Keputusan Walikota Nomor 10/ Kep/ 910/ 2007 Tentang Pengesahaan
Keputusan Direksi Perusahaan daerah Parkir Nomor 002/ 020/ S.Kep.Dir/ 1/
14
2007 Tanggal 3 Januari 2007 Tentang Jenis Pungutan dan Tarif Jasa Parkir
Tepi Jalan Umum Dalam Daerah.5
c. Jenis Tempat/Titik Parkir
Berdasarkan Keputusan Walikota Kendari Nomor 64 Tahun 2001 tentang
Penetapan Tempat Parkir di Tepi Jalan Umum, Tempat Parkir Khusus, dan
Tempat Parkir Langganan Bulanan dan Tata Cara Penagihan Retribusi Parkir, ada
3 (tiga) jenis titik parkir yaitu sebagai berikut:
1) TitikParkir tepi jalan umum murni, yaitu semua titik parkir yang terdapat disetiap tepi jalan umumyang telah ditentukan berdasarkan Surat Keputusan Walikota.
2) Titik parkir Insidentil/pelataran khusus,terbagi menjadi 2 (dua) yaitu : a) Insidentil rutin, merupakan titik parkir yang terletak pada suatu Badan
Usaha. Misalnya Hotel, Pelabuhan, Rumah makan, Rumah Toko, Pasar, dan Parkir Langganan Bulanan (PLB)
b) Insidentil dadakan, yaitu titik parkir yang letaknya tidak tetap, bersifat sementara, dilaksanakan pada waktu tertentu yang dapat disebabkan karena adanya pelaksanaan suatu kegiatan sehingga kepadatan kendaraan yang parkir pada tepi jalan meningkat. Misalnya Kegiatan Festival Musik, dan sejenisnya.
3) Titik Parkir Komersial,yaitu titik parkir yang terdapat pada perbatasan wilayah Daerah.6
2. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah
dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Bohari yaitu pendapatan yang
5Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum
Dalam Kota. 6Keputusan Walikota Nomor 64 Tahun 2001 tentang Penetapan Tempat Parkir di Tepi
Jalan Umum.
15
diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.7
Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber
dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan
untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
a) Pendapatan Daerah.
Pendapatan Daerah yaitu hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih. Sumber-sumber Pendapatan Daerah bersumber
dari :8
1. Pendapatan Asli Daerah
a. Pajak daerah
Secara umum Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara
(Pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan
dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi
kembali(kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya
digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara dalampenyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan.
Sedangkan ciri-ciri yang menyertai Pajak itu sendiri dapat diikhtisarkan
seperti berikut :
7Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : Rajawali Pers. 2010).h.15 8Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum
Dalam Kota. h.47
16
1) Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2) Pembayaran pajak harus masuk kepada kas Negara; 3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra prestasi
individu oleh pemerintah. 4) Penyelenggaraan pemerintah secara umum merupakan manifestasi
kontra prestasi dari Negara kepada para pembayar pajak. 5) Pajak dipungut karena adanya suatu keadaan,kejadian dan perbuatan
yang menurut peraturan perundang-undangan pajak dikenakan pajak.9
b. Retribusi Daerah
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena
adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara
perorangan. Pengertian retribusisecara umum adalah pembayaran-
pembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan
jasa-jasa Negara.
Retribusi daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
Retribusi adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan mendapat jasa timbal (kontra
prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan oleh pemerintah.10 Adapun ciri-
ciri pokok Retribusi Daerah antara lain yaitu :
1) Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah yang berkenaan;
2) Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah;
9Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Perbankan Syariah. (Jakarta : Zikrul Hakim. 2003).
h.8 10Wiriso, Penghimpunan Dana Distribusi Hasil Bank Syariah. (Jakarta : PT. Grasindo.
2005). h.2
17
3) Pihak yang membayar retribusi mendapat kontra prestasi (balas jasa) secara langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya;
4) Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh orang atau badan;
5) Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.11
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan antara lain
yaitu :
1) Bagian Laba 2) Deviden dan 3) Penjualan Saham Milik Daerah12
d. Lain-lain PAD yang sah meliputi yaitu :
1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 2) Jasa giro; 3) Pendapatan bunga; 4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 5) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/ atau pengadaan barang dan/ atau jasa oleh daerah. 6) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; 7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; 8) Pendapatan denda pajak; 9) Pendapatan denda retribusi; 10) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; 11) Pendapatan dari pengembalian; 12) Fasilitas social dan fasilitas umum; 13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;dan 14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.13
2. DanaPerimbanga
Merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri yaitu :
a). Dana Bagi Hasil(DBH)adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagi hasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentasetertentu.
11Said,MNatzir. Perusahaan-Perusahaan Pemerintah di Indonesia Ditinjaun dan Segi
HukumPerusahaan.(Bandung:Alumni. 1985). h.32 12Riwu,Josep Kaho.Otonomi Prospek Otonommi Daerah di Negara Repulik Indonesia
(Identifikasi Faktor-Fakto ryang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah).(Jakarta:PT. Raja Garfindo Persada. 2005). h.11
13Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah.
18
b). DanaAlokasi Umum (DAU)bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang memepertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.
c). DanaAlokasi Khusus (DAK)dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus didaerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.14
3. Lain-lain Pendapatan
a). Pendapatan Hibah
b). Pendapatan DanaDarurat.
b). Pembiayaan
Setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/pengeluaran yang
akan diterima kembali baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun
anggaran berikutnya. Pembiayaan bersumber dari :
1) Sisalebih Perhitungan Anggaran Daerah, 2) Penerimaan Pinjaman Daerah, 3) DanaCadangan Daerah, 4) Hasilkekayaan daerahyangdipisahkan.15
3. Retribusi.
Menurut Arifin Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.16 Selain
Richard Burton, ada beberapa pengertian Retribusi lainnya menurut beberapa
sumber antara lain, Menurut Marihot Retribusi adalah pembayaran wajib dari
14Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 15Azhar, Basyir Ahmad, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
(Yogyakarta : UII pres, 2000). h.12 16Arifin, Zinur, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta : Alvabet, 2003). h.14
19
penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara
bagi penduduknya secara perorangan.17
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, Retribusi adalah
pungutandaerahsebagaipembayaranatasjasa ataupemberianizintertentuyang khusus
disediakan danatau diberikan olehpemerintah daerah untuk kepentingan
orangpribadi atau umum.18 Retribusi menurut Undang-Undang Nomor28 Tahun
2009 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau Badan.19
Retribusi Daerah menurut PPNo. 66 Tahun2001 adalah“Retribusi
Daerah”,yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau
badan.20 Retribusi daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan.21 Subjek Retribusi Daerah antara lain yaitu :
a. Retribusi Jasa Umum, adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan.
b. Retribusi Jasa Usaha, adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan.
17B. Ilyas, Irwan & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta : Salemba Empat. 2007). h.6 18Undang-Undang Nomor34Tahun2000. Tentang Retribusi Daerah. 19Undang-Undang Nomor28Tahun2009. Tentang Retribusi. 20RetribusiDaerah menurut PPNo. 66 Tahun2001. 21Sunarto, Pajak dan Retribusi Daerah. (Yogyakarta : AMUS dan Cotra Pustaka, 2005).
h.432
20
c. Retribusi perizinan tertentu, adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari pemerintah daerah.22
4. Retribusi Parkir
Menurut kamus umum bahasa indonesia, parkir dalam menghentikan
kendaraan bermotor untuk beberapa saatlamanya. Dan berdasarkan PERDA
Nomor2 Tahun2009 dipoin 35, Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu
kendaraan yang tidak bersifat sementara. yang dimaksud dengan Retribusi Parkir
adalah penyediaan tempat parkir dan jasa pengaturan oleh Pemerintah Daerah
danpengguna jasa atau si wajib retribusi membayar jasa yang telah didapatkannya
sesuai dengan Peraturan Daerah yang berlaku. Wajib Retribusi adalahorang
pribadi atau badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi Daerah
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi.23
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun2009 Pasal4 ayat1bahwa
Objek Retribusi Parkir meliputi pelayanan penyediaan fasilitas parkir pada lokasi
parkir yang telah ditentukan dan disediakan olehPemerintah Daerah.24Berdasarkan
Perda Nomor 2Tahun2009 Pasal1 ayat37,Fasilitas Parkir adalah lokasi yang
ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraanyang tidak bersifat sementara
untuk melakukan kegiatan padasuatu kurun waktu.25 Berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2009 Pasal 5 bahwa Subjek Retribusi Parkir meliputi
orang pribadi yang memanfaatkan fasilitas objek retribusi parkir.26
22Ibid. h.433 23Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. 24PeraturanDaerahNomor 3Tahun2009Tentang Objek Retribusi Parkir. 25Perda Nomor 2Tahun2009Tentang Fasilitas Parkir. 26PeraturanDaerahNomor 3Tahun2009 Pasal5 Tentang Subjek Retribusi Parkir.
21
A. Maslahah mursalah Maslahah mursalah menurut bahasa berarti Maslahah sama dengan manfaat,
baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa
definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh, tetapi seluruh
definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali mengemukakan
bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemdharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Ada juga yang
berpendapat Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak
disinggung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau
meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat
ataumenghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum
sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama. Jadi maslahah mursalah adalah
sesuatu kejadian yang syara’ atau ijma tidak menetapkan hukumnya dan tidak
pula nyata ada illat yang menjadi dasar syara menetapkan satu hukum,tetapi ada
pula sesuatu yang munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.27
1. Syarat-syarat Berpegang Kepada Maslahah Mursalah
Para ahli ushul yang menggunakan maslahah mursalah tidak sewenang-wenang
menetapkan kemaslahatan untuk dijadikan dasar keputusan ,tetapi mereka berhati-
hati untuk menjaga agar tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu,maka mereka
27https://www.bacaanmadani.com/2017/02/pengertian-maslahah-mursalah-
kedudukan.html
22
memberikan syarat–syarat untuk berpegang kepada maslahah mursalah ,syarat-
syarat itu adalah:
1.Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahah mursalah harus
kemaslahatan yang hakiki,bukan kemaslahatan yang berdasarkan akal
(Waham=sangkaan),yaitu yang biasa menghasilkan kemanfaatan dan
menjauhkan kemudharatan.
2. Mashlih mursalah hanya berlaku dalam bidang muamalah bukan pada
bidang ubudiah.
3. Kemaslahatan yang dicapai dengan maslahah mursalah itu harus
kemaslahatan untuk umum,bukan untuk perorangan atau golongan.
4. Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan syara’ atau ijma’.
5.Usaha utsaman bin affan menyatukan kaum muslimin untuk
mempergunakan satu musyaf ,menyiarkannya dan kemudian membakar
lembaran-lembaran yang lain.
6.Ulama syafi’iah mewajibkan qishash atas orang banyak yang
membunuh seseorang.
7. Tindakan umar bin khattab tentang tidak menjalankan hukum potong
tangan pencuri yang mencuri dalam keadaan pada masa paceklik.
Kedudukan Maslahah Mursalah Sebagai Sumber Hukum Penggunaan maslahah
mursalah adalah ijtihad yang paling subur untuk menetapkan hukum yang tak ada
23
nashnya dan jumhur ulama menganggap maslahah mursalah sebagai hujjah
syari’at karena:
1.Semakin tumbuh dan bertambah hajat manusia terhadap
kemaslahatannya ,jika hukum tidak menampung untuk kemaslahatan
manusia yang dapat diterima,berarti kurang sempurnalah syari’at
mungkin juga beku.
2. Para shahabat dan tabi’in telah mentapkan hukum berdasarkan
kemaslahatan,seperti abu bakar menyuruh mengumpulkan musyaf al-
qur’an demi kemaslahatan umum.
Diantara ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah ialah imam
malik,dengan alasan,bahwa tuhan mengutus Rasulnya untuk kemaslahatan
manusia,maka kemaslahatan ini jelas dikehendaki syara’,sebagaimana Allah
berfirman: 28
للعالمین رحمة إل أرسلناك وما
Terjemahanya:
“Tidaklah semata-mata aku mengutusmu (muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya 107).
Sedangkan menurut imam ahmad,bahwa maslahah mursalah adalah suatu
jalan menetapkan hukum yang tidak ada nash dan ijma’. Disamping orang yang
menerima kehujjahan maslahah mursalah ada juga ulama yang menolak untuk
dijadikan dasar hukum,seperi imam syafi’i, dengan alasan bahwa maslahah
mursalah disamakan dengan istihsan, selain itu alasannya ialah:
28Departemen Agama RI, Al-Qur’an & Terjemahan di lengkapi Tajwid (Jakarta:Dharma
Art,2015),h.59
24
1. Syari’at islam mempunyai tujuan menjaga kemaslahatan manusi dalam
keadaaan terlantar tanpa petunjuk,petunjuk itu harus berdasarkan
kepada ibarat nash,kalau kemaslahatan yang tidak berpedoman kepada
i’tibar nash bukanlah kemaslahatan yang hakiki.
2. Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada maslahah mursalah yang
terlepas dari syara’ tentu akan dipengaruhi oleh hawa nafsu, sedangkan
hawa nafsu tak akan mampu memandang kemaslahatan yang hakiki.
Pembinaan hukum yang didasarkan kepada maslahah mursalah berarti
membuka pintu bagi keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak
akan dapat terkendali.
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa maslahat dapat diterima dalam fiqih islam.
Dan setiap maslahah wajib di ambil sebagai sumber hukum selama bukan di
latarbelakangi oleh dorongn syahwat dan hawa nafsu yang tidak bertentangan
dengan nash serta maqasid as-syari’. Hanya saja golongan syafi’iyah dan
hanafiyah sangat memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada
‘illat yang jelas batasannya. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa
sifat munasib yang merupakan alasan adanya maslahat, meskipun tidak jelas
batasannya, patut menbjadi ‘illat bagi qiyas. Oleh karena itu ia dapat diterima
sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat
munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat itu mundhiobittah atau
tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan maslahat
mursalahsehingga sebagian ulama mazhab Maliki menganggap bahwa
25
sesungguhnya semuanya ulama ahli fiqih memakai dalil maslahat, meskipun
mereka menanamkannya sifat munasib,ataumemasukkannya kedalam qiyas.
5. Hukum Islam Dan Ruang Lingkupnya
a. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang
mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan
ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum
pidana dan sebagainya.
1) Pengetian Hukum Islam terbagi menjadi 4 yaitu : Fiqih secara etimologi adalah pemahaman yang mendalam tentang
tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti firan Allah swt dalam
surah An-Nisa (4) : 78:29
لھ إلیك وال وٱبتغ فیما ءاتىك ٱللھ ٱلدار ٱألخرة وال تنس نصیبك من ٱلدنیا وأحسن كما أحسن ٱل تبغ ٱلفساد في ٱألرض إن ٱللھ ال یحب ٱلمفسدین
Terjemahnya:
Dimana saja mu berada kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan : “ini adalah dari sisi Allah” dan kalau mereka di timpa suatu bencana mereka mengatakan : “ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah : “ semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun.
2) Fatwa secara Syariat menjelaskan Hukum Syariat atas suatu
permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang di
dukung oleh dalil yang berasal dari Al-Qur’an, Sunna Nabawyyah,
dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi 29Mardani, Ushul Fiqh,(Octiviena. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013),h 373.Mardani, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,(Demaswids. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2015), h. 7.
26
manusia, di karnakan tidak semua orang mampu menggali Hukum-
hukum syariat. Jika mereka di haruskan memiliki kemampuan itu,
yakni mencapai taraf kemampuan berijtihad, niscaya kepercayaan
akan terlantar, dan roda kehidupan akan berhenti.30
Kedudukan fatwa dalam Hukum Islam :Fatwa di pandang sebagai
alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam perkembangan Hukum Islam
dan Ekonomi Islam. Fatwa merupakan salah satu alternatif untuk menjawab
perkembangan jaman yang tidak tercofer dengan nash-nash ke agamaan (An-
Nushush Al-Syar’iyah). Nash-nash ke agamaan telah berhenti secara kuantitasnya,
akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasusus semakin berkembang pesat
seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi
salah satu alterernatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yang
muncul.
3) Yudisprudensi, istilah yurisprudensi dalam hukum Islam adalah ilmu
tentang prinsip-prinsip utama hukum, yang mengkhususkan diri pada
bidang hukum dalam berbagai aspeknya, analisis tradisionalnya,
sejarah asal mula perkembangannya, serta karakter ideal hukum
tersebut. Pernyataan di atas diperkuat oleh pandangan para fuqaha’
yang mengatakan sumber utama yurisprudensi hukum Islam adalah
Al-qur’an dan Sunnah. Kedua sumber hukum ini dijadikan sebagai
yurisprudensi pada abad pertama hijriah. Maksudnya adalah semua
30Mardani, Ushul Fiqh,(Octiviena. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013),h 373.
27
persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada masa itu,
penyelesaiannya hanya berdasar pada Al-qur’an dan Hadis Nabi.31
4) Undang-undang adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum atau
undang-undang (kitab undang-undang). Istilah ini di pakai seperti
Hukum pidana Usmani (KUH Pidana Turki Usmani).
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 yang dimaksud dengan UU adalah
peraturan perundang-undangan yang di bentuk oleh DPR dengan
persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3). Dengan kata lain
dapat di artikan sebagai, peraturan-peraturan tertulis yang di buat
oleh pelengkapan Negara yang berwenang dan mengikat setiap orang
selaku warga Negara.
b. Azas-Azas Hukum Islam.
Ada beberapa azas yang ada dalam hukum Islam, atau kebenaran-
kebenaran yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, sebagai berikut :
a. Azas Keadilan
Keadilan sangatlah penting sampai-sampai dalam Al-Qur’an terdapat 100
kali kata keadilan, terbanyak disebut setelah Allah Swt dan ilmu
pengetahuan. Bahwa keadilan adalah asas, titik tolak, proses dan sasaran
Hukum Islam
b. Azas Kepastian Hukum32
31Mardani, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Demaswids. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2015), h. 7. 32Mardani, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,(Dimaswids. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2015), h. 38.
28
Suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan cara yang baik
atau tepat. Kepastian pada intinya merupakan tujuan utama dari hukum.
Jika hukum tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati diri
maka hukum tidak lagi digunakan sebagai pedeman perilaku setiap orang.
c. Azas Kemanfaatan
Asas kemnfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian
hukum yang mempertimbangkan hukuman untuk terdakwah yang
bermanfaat untuk mensayaratkan. Asas ini ditarik dari Al-Qr’an Surat Al-
Baqarah (2) ayat 178.
c. Sumber Dan Dalil Hukum Islam
Dalam dalil Hukum Islam terdapat 7 penjelasan yaitu : Istihsan,
Maslahah Mursalah, Istishab, Urf, mazhab shahabi, syar’u Man Qablana (Syariat
sebelum kita), Syaddu al-Zari’ah.33
1. Istihsan
Suatu perbuatan yang lebih baik tetapi dalam pengertian istilanya (yang biasa
berlaku) para ulama berbeda pendapat di sebabbkan oleh perbedaan dalam
memahami dan mendefisinikan istihsan itu. Ulama yang menggunakan istihsan
untuk berijtihad mendefinisikan istihsan dengan pengertian yang berlainan
dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan. Sebaliknya ulama yang
menolak istihsan mendefinisiskan “istihsan” dengan pengertian yang
didefinisikan pihak yang menggunakannya. Ada beberapa definisi istihsan
ulama Ushul. Di antara defenisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan
33Amir Syarifudin, Ushul Fiqh 2, (Kencana. Jakarta : Prenadamedia Group, 2008). h 346.
29
titik pandang. Ada juga yang di sepakati semua pihak, namun di antaranya ada
yang di perselisihkan dalam pengamalannya.
Namun, karena dalam keadaan tertentu mujahid tersebut melihat adanya
kemaslahatan yang bersifat khusus, maka iya dalam menetepkan hukum tidak
berpedoman kebada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan
atau kepentingan yang bersifat khusus itu. Dikalangan ulama Hanabilah
terdapat tiga defenisi sebagai mana di kemukakan Ibn Qudamah :
a) Beralihnya mujahid dalam menetapan hukum terhadap suatu masalah dari
yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam Al-Qur’an
atau sunah.
b) Istihsan itu ialah apa-apa yang di anggap lebih baik oleh seorang mujahid
berdasarkan pemikiran akalnya.
c) Dalil yang muncul dalam diri mujahid yang ia tidak mampu
menjelaskannya.34
2. Mashlahah Mursalah
Mashlahah bersala dari kata shalaha dengan penambahana “alif” di awalnya
yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia
adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu “manfaat” atau “terlepas dari
padanya kerusakan”. Pengertian mashlahah dalam bahasa Arab berarti
“perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. “dalam
artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan ke
34Amir Syarifudin, Ushul Fiqh 2, (Kencana. Jakarta : Prenadamedia Group, 2008). h 346.
30
unutungan atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan
seperti menghidarkan kemudaratan atau kerusakan.
Dalam pengertian mashlahah secara defenitif terdapat perbedaan rumusan di
kalangan ulama yang kalau di analisis ternyata hakikinya adalah sama.
a) Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti
sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjaukan mudarat
(kerusakan), namun kaikat dari mashlahah adalah : memelihara tujuan
syara’ (dalam menetapkan hukum). Sendangkan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum itu ada lima yaitu : memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.35
b) Al-Khawarizma memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi al-
gazali di atas, yaitu : Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia. Definisi ini memeliki
kesamaan dengan definisi al-Gazali dari segi arti dan tujuannya, karena
menolak kerusakan itu mengandung arti menarik kemanfaatan, dan menolak
kemaslahatan berarti menarik kerusakan.
c) Al-‘lez ibn Abdi al-Salam dalam kitabnya, Qawa’id al-Ahkam memberikan
arti mashlahah dalam bentuk hakikinya dengan “kesenangan dan
kenikmatan” sendangkan bentuk majazi-nyaadalah “sebab-sebab yang
mendatangkan kesenangan dan kenikmatan” tersebut. Arti ini di dasarkan
bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat, yaitu : kelezatan dan
sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
35Ahmad Munif Suratmaputra , Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2002). h 24.
31
d) Al-Syatibi mengartikan mashlahah itu dari dua pandangan, ya itu dari segi
terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan
syara’ kepada mashlahah.
a) Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, bererarti : sesuatu yang di
kembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hudupnya,
tercapai apa yang di kehendakinya oleh sifat syahwati dan aklinya secara
mutlak.36
b) Dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah, yaitu
kemashatan yang nerupakan tujuan dari penetapan hukum syara’. Untuk
menghasilkan Allah menuntut manusia untuk berbuat.
e) Al-Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al-‘Alim dalam bukunya
al-Maqashid al-Ammah li al-Syari”ati al-Islamiy-yah mendefinisikan
mashlahah sebagai berikut ungkapan dari sebab yang membawa kepada
tujuan syara’ dalam bentuk ibadat atau adat.
Definisi dari al-Thufi bersesuayan dengan definisi dari al-Ghazali yang
memandang mashlahah dalam artian syara’ sebagai sesuatu yang dapat
membawa kepada tujuan syara’.
3. Istishab
36Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali, 1993), h 134.
32
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba dalam
shigat is-tif’al yang berarti sahabat atau teman dan diartikan “selalu” terus
menerus” atau selalu menyertai.
Adapun arti istishab secara terminologi (istilah), terdapat beberapa rumusan
yang berbeda dari ulama yang memberikan defenisi istishab, namun
perbedaannya tidak sampai pada hal dan prinsip.37
Penggunaan secara arti lughawi ini adalah sesuai dengan kaidah istishab
yang berlaku di kalangan ulama ushul yang menggunakan istishab sebagai
dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah di yakini dan di amalkan
dimasa lalu dan secara konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk
diamalkan sampai kemasa selanjutnya.
Menurut Al-Suyuthi dalam kitabnya, Al-Asybah Wa Al- Nazhair, kaidah
fiqiyah yang pokok iyu di dasarkan kepada beberapa hadist nabi, di
antaranya adalah
a) Hadis dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim, bila salah seorang
diantaramu merasakan pada perutnya sesuatu, kemudian ia ragu apakah
ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu aatu tidak, janganlah ia keluar
dari Masjid sampai ia mendangar suara atau mencium bau.
b) Hadis dari Abu Sa’id Al-Khudhri menurut riwayat Muslim, apabila salah
seorang di antaramu ragu dalam shalatnya apakah telah tiga rakaan atau
empat rakaat, maka hendaklah ia buat apa yang di ragukan dan
mengambil apa yang menyakinkan.
37Khallaf, Abdul Wahab. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali, 1993), h 134.
33
4. ‘Urf (adat)
Kata ‘urf bersal dari kata ‘Arafa, ya’rifu sering di artikan dengan “al-ma’ruf
dengan arti “sesuatu yang di kenal”. Kalau di katakan (Si Fulan dari yang
lain dari segi ‘urf-nya) maksudnya bahwa si Fulan lebih di kenal di
bandingkan dengan yang lain. Pengertian “dikenal” lebih dekat kepada
pengertian “di akui oleh orang lain”. Kata ‘urf juga terdapat dalam Al-
Qur’an dengan arti “ms’ruf” yang artinya kebajikan (berbuat baik).
Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya sesuatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah di
kenal dan di akui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini
(dari sudut berulang kali, dan dari sudut di kenal) yang menyebabkan
timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini tidak ada perbedaan yang
prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu sesuatu perbuatan
yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi di kenal dan di akui oleh
orang banyak. Dengan demikian meskipun dua kata tersebut dapat
dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti. Perbedaan dari dua kata itu,
juga dapat dilihat dari segi kandungan artinya, yaitu ‘Adat hanya
memandang dari segi berulang kalinya sesuatu perbuatan yang di lakukan
dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya. Jadi kata
‘adat ini berkonotasi netral, sehingga ada ‘adat yang baik dan ada ‘adat
yang buruk.38
d. Tujuan Hukum Islam
38Amir Syarifudin, Ushul Fiqh 2, (Kencana. Jakarta : Prenadamedia Group, 2008). h 410.
34
Tujuan Hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan yang berbahagia
dan sejahtera. Jika di rumuskan secara umum, adalah tercapainya keridaan Allah
dalam kehidupan manusia di dunua dan di akhirat kelak. Berikut ini penjelasan
kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing dari kelima
pokok itu akan di lihat berdasarkan kepentingan dan kebutuhannya.
1. Memelihara agama
Memelihara agama dalam peringkat daruriyyat, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer,
seperti melaksanakan sholat lima waktu. Jika sholat itu di abaikan,
maka akan terancam eksistensi agama., dengan maksud menghindari
kesulitan seperti sholat jamak dan sholat qashar bagi orang yang
sedang berpergian. Jika ketentuan ini tidak di laksanakan maka tidak
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi
orang yang melakukannya untuk melengkapi pelaksanaan kewajiban
terhadap tuhan, misalnya menutup aurat, baik dalam maupun di luar
sholat, membersihkan badan, pakaian, dan tempat.
2. Memelihara jiwa
Memelihara jiwa dalam daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok
seperti berupa makanan untuk pertahankan hidup. Jika kebutuhan
pokok ini di abaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa
manusia. Seperti di perbolehkan berburu binatang unutk menikmati
makanan yang lezat dan halal. Jiaka kegiatan ini di abaikan maka tidak
35
akan mengancam eksistensi manusia melainkan hanya mempersulit
hidupnya.39
3. Memelihara akal
Memelihara akal dalam daruriyyat, seperti di haramkan dalam minum-
minuman keras. Jika ketentuan ini tidak di indahkan, maka akan
berakibat terancamnya eksistensi akal. Seperti yang di anjurkan
menutut ilmu pengetahuan, sekiranya hal itu yang di lakukan maka
tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam
kaitannya dengan penegembangan ilmu pengetahuan dan seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang
tidak berfaedah, hal ini erat kaitannya dengan etika tidak akan
mengancam eksistensi akal secara langsung.
4. Memelihara keturunan
Memelihara keturunan dalam daruriyyat, seperti di syari’atkan menikah
dan di larang berzina. Jika kegiatan ini di abaikan maka eksistensi
keturunan akan terancam. Seperti di tetapkannya ketentuan
menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan di berikan
hak talaq padanya. Jika mahar itu di sebutkan pada waktu akad, maka
suami akan mengalami kesulitan karena ia harus membayar mahar misl.
Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan jiak iya
tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya
tidak harmonis.
39Mardani, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,(Dimaswids. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2015), h. 21.
36
5. Memelihara Harta
Memelihara harta dalam daruriyyat, seperti syariat tentang tata cara
pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara
yang tidak sah. Apabila aturan itu di langgar, maka berakibat
terancamnya eksistensi harta. Seperti syariat tentang jual beli dengan
cara salam. Apabila cara tidak di pakai, maka tidak akan mengancam
eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan
modal.40
40Mardani, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia,(Dimaswids. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.2015), h.