bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id 2.pdf · perbedaan itu merupakan suatu yang hakiki...
TRANSCRIPT
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Untuk memperjelas apa yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
dipandang perlu umtuk menguraikan beberapa tinjauan pustaka untuk
menguraikan konsep dasar yang berkaitan dengen penelitian. Adapun tinjauan
pustaka yang digunakan dalam penelitian ini yaitu persepsi wisatawan, atribut
wisata, penawaran wisata, kepuasan dan loyalitas berkunjung wisatawan yang
diuraikan sebagi berikut :
2.1 Persepsi Wisatawan
Kata persepsi berasal dari bahasa Inggris yaitu perception yang berarti
penglihatan atau daya memahami. Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998),
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafslrkan pesan. Walgito (2002)
menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses fisik, fisiologi dan psikologis
yang menyebabkan berbagai macam getaran atau tekanan yang diolah dan disusun
yang diproyeksikan oleh individu menjadi suatu penggambaran tentang
lingkungan. Selanjutnya penggambaran tentang lingkungan dengan fokus yang
paling menarik perhatian individu seringkali juga diolah dalam suatu proses
dengan akal yang menghubungkan penggambaran tadi dengan penggambaran lain
yang sejenis yang pernah diterimanya dan diproyeksikan oleh akal dimasa lalu
dan ditimbulkan kembali sebagai kenangan atau penggambaran lama dalam
kesadaran sehingga menghasilkan suatu penggambaran baru yang disebut dengan
apresiasi. Menurut Ruch (1967), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-
15
petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan
diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan
Hilgard (1991) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita
menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan
Donely (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti
terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan
dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu,
maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini
persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian
obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989).
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului penginderaan, yaitu suatu
proses berwujud diterimanya individu melalui alat reseptor (alat indra). Namun
proses ini tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan rangsangan diteruskan ke
pusat susunan syaraf yaitu otak dan terjadinya proses psikologi sehingga individu
menyadari apa yang dilihat dan didengarnya. Dalam hal ini, persepsi mencakup
penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau
penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat
mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung
menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986).
Agar individu dapat melakukan persepsi ada beberapa syarat yang perlu
dipenuhi antara lain :
1. Perhatian merupakan syarat psikologi dalam individu mengadakan persepsi
yang merupakan langkah persiapan. Perhatian merupakan pemutusan atau
16
konsentrasi dari seluruh individu yang ditujukan pada suatu kelompok
obyek.
2. Adanya obyek yang menimbulkan rangsangan mengenai alat inderanya
(reseptor)
Alat indera (reseptor) yaitu alat untuk menerima rangsangan, kenyataan
membuktikkan bahwa suatu obyek tertentu dapat diperoleh beragam persepsi dari
sekelompok individu. Perbedaan itu merupakan suatu yang hakiki sifatnya pada
manusia, karena disadari bahwa setiap orang memiliki perbedaan dalam penalaran,
keinginan serta pengetahuan tentang obyek yang dipersepsikan (Walgito, 2002).
Proses pembentukan persepsi dijelaskan oleh Feigi (dalam Yusuf, 1991)
sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli.
Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi
dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi
terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses
penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting.
Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu
kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung
ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi
tersebut secara menyeluruh.
Menurut Asngari (1984) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam
atau dahulu memegang peranan yang penting. Faktor-faktor fungsional yang
menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan
hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (Rakhmat
1998). Selanjutnya Rakhmat menjelaskan yang menentukan persepsi bukan hanya
17
jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap
stimuli. Persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran
objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan (Gibson, 1986).
Selaras dengan pernyataan tersebut Krech, dkk. (dalam Sugiharto, 2001)
mengemukakan bahwa persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama,
yakni pengalaman masa lalu dan faktor pribadi.
Berdasarkan beberapa teori persepsi diatas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi didefinisikan sebagai proses yang mencakup penerimaan stimulus oleh
individu melalui alat indera, pengorganisasian stimulus kemudian penafsiran
stimulus yang telah terorganisir tersebut, yang kemudian memberikan pengaruh
terhadap perilaku dan sikap individu.
Menurut Walgito (2002), menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu
proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah merupakan suatu
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera.
Rangkuti (2002) mengemukakan bahwa persepsi pelanggan
diidentifikasikan sebagai suatu proses dimana individu memilih,
mengorganisasikan serta mengartikan stimulus yang diterima melalui inderanya
menjadi suatu makna. Meskipun demikian makna dari proses persepsi tersebut
juga dipengaruhi pengalaman masa lalu individu yang bersangkutan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi diantaranya sebagai berikut :
1. Faktor Internal
a) Motivation, misalnya merasa lelah, menstimulasi untuk berespon terhadap
istirahat.
18
b) Interest, hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada yang tidak
menarik
c) Needs, kebutuhan akan hal-hal tertentu akan menjadi pusat perhatian
d) Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman
melihat, merasakan dan lain-lain.
2. Faktor Eksternal
a) Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit
dipersepsikan dibandingkan dengan yang obyektif.
b) Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan
dibandingkan dengan hal-hal yang lama.
c) Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi
munculnya persepsi lebih effektif dibandingkan dengan gerakan yang
lambat.
d) Conditional Stimuli, stimulus yang dikondisikan seperti bel pintu, deringan
telephone dan lain-lain.
Persepsi pelanggan yang dalam hal ini adalah wisatawan terhadap atribut
destinasi wisata berpengaruh pada tiga hal utama (Rangkuti, 2002) yaitu :
a) Tingkat kepentingan pelanggan, yang didefinisikan sebagai keyakinan
pelanggan sebelum mencoba atau membeli produk atau jasa, yang akan
dijadikan standar acuan dalam menilai kinerja produk atau jasa tersebut.
Dibedakan atas dua kepentingan pelanggan yaitu adequate service, yaitu
kinerja jasa minimal yang masih dapat diterima berdasarkan perkiraan jasa
yang mungkin akan diterima dan tergantung pada alternatif yang tersedia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu keadaan darurat, ketersediaan
19
alternatif, derajat keterlibatan pelanggan, faktor-faktor yang tergantung
situasi, pelayanan yang diperkirakan. Kedua adalah desire service, yaitu
tingkat kinerja jasa yang diharapkan pelanggan akan diterimanya, yang
merupakan gabungan dari kepercayaan pelanggan mengenai apa yang
dapat dan harus diterimanya. Desire service dipengaruhi oleh faktor-faktor
yaitu keinginan untuk dilayani dengan baik dan benar, kebutuhan
perorangan, janji secara langsung, janji secara tidak langsung, komunikasi
dari mulut ke mulut dan pengalaman masa lalu.
b) Kepuasan pelanggan yang didefinisikan sebagai respon pelanggan
terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya (harapan)
dan kinerja aktual yang dirasakannya (persepsi). Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan pelanggan, salah satunya adalah persepsi
pelanggan mengenai kualitas jasa yang terfokus pada lima katagori jasa.
Selain itu dipengaruhi juga oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk,
harga dan faktor-faktor yang bersifat pribadi serta bersifat situasi sesaat.
Persepsi pelanggan mengenai kualitas jasa tidak mengharuskan pelanggan
menggunakan jasa tersebut terlebih dahulu untuk memberikan penilaian.
c) Nilai didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari
suatu produk yang didasarkan pada persepsi pelanggan atas apa yang
telah diterima oleh pelanggan dan yang telah diberikan oleh produk
tersebut. Pelanggan akan semakin loyal apabila produk atau jasa tersebut
semakin bernilai baginya.
20
Dapat disimpulkan bahwa persepsi wisawatan sebagai suatu proses dimana
wisatawan mengartikan stimulus yang diterima melalui inderanya menjadi suatu
makna, yang dipengaruhi pula oleh masa lalu wisatawan tersebut.
2.2 Atribut Wisata
Dann (1977) menegaskan bahwa ada hubungan yang jelas antara faktor
pendorong dan faktor penarik wisatawan untuk mengunjungi suatu destinasi
wisata. Faktor pendorong adalah motivasi, keinginan, kebutuhan, dan persepsi
mempengaruhi wisatawan, sedangkan faktor penarik adalah atribut destinasi.
Atribut ini mungkin alam, sumber daya budaya, atau beberapa jenis kegiatan dan
acara (Klenosky, 2002). Ditemukan pula bahwa atribut destinasi merupakan
faktor penarik yang menarik wisatawan ke destinasi wisata. Dwyer dan Kim
(2003) menegaskan bahwa melarikan diri dari rutinitas dan mencari ketenangan
mempengaruhi motivasi wisatawan (apakah akan pergi) dan atribut dari pengaruh
tujuan pada keputusan mereka untuk memilih tujuan mereka (ke mana harus
pergi). Dengan demikian, atribut destinasi (faktor penarik) berpengaruh terhadap
keputusan diharapkan delegasi untuk melakukan perjalanan atau berpartisipasi
dalam sebuah acara. Kepuasan terpenuhi karena adanya atribut-atribut yang
melekat pada obyek. Atribut dapat berupa dimensi jasa atau apa saja yang
dipertimbangkan dalam keputusan untuk membeli produk wisata tersebut.
(Darmaningsih, dkk., 2006). Kozak dan Rimington (2000) mengemukakan bahwa
menentukan atribut dominan destinasi wisata sangat penting untuk mengukur
tingkat kepuasan keseluruhan wisatawan.
21
Dari penelitian yang telah ada sebelumnya, dapat dirangkum mengenai
atribut-atribut yang dianggap penting bagi wisatawan dimana penjelasan
mengenai atribut tersebut dikutip kutip dari penelitian Zhou yang berjudul
Destination Attributes that Atttract International Tourists to Cape Town (2005),
yakni :
1. The Beauty of Scenery
Menurut Formica dalam Zhou (2005) dijelaskan pemandangan alam dan
landscape yang menarik akan selalu menjadi atribut utama dalam
memutuskan ketertarikan terhadap objek wisata. Begitu juga dengan
kebersihan dan tatanan kawasan serta ciri khas dari daerah tujuan wisata
tersebut yang menjadi ikon favorit wisatawan.
2. Culture and History
Sebagian besar wisatawan tertarik dengan culture daerah lain, terlebih jika
culture tersebut masih alami dan dibudidayakan. Hampir semua daerah tujuan
wisata berlomba-lomba untuk menunjukkan culture yang ada didalam daerah
tujuan wisata tersebut kepada para wisatawan dan menarik mereka untuk
datang (Richardson dan Flucker, 2004).
3. Ambience
Menurut Boorstin dalam Zhou (2005) telah dikemukakan bahwa alasan
sebenarnya wisatawan melakukan perjalanan adalah mencari suasana
(ambience) lain dari kehidupan keseharian mereka seperti ketenangan, hiburan,
dan relaksasi. Keramahan penduduk lokal terhadap wisatawan yang datang
juga merupakan faktor sosial yang dapat mempengaruhi kepuasan wisatawan
(Dwyer & Kim, 2003). Cuaca dan musim juga merupakan daya tarik dari
22
sebuah destinasi wisata. Dalam penelitian Klenosky (2002) ditemukan bahwa
cuaca hangat muncul sebagai faktor pendorong yang signifikan, khususnya
bagi wisatawan yang ingin melakukan sun tant.
4. Accessibility
Akses yang dimaksud disini adalah mudah tidaknya wisatawan dalam
mencapai destinasi pilihan mereka. Akses dari sebuah destinasi wisat
dipengaruhi oleh ekonomi, sosial, atau politik, contohnya penerbangan, visa
atau ijin masuk, kapasitas airport, dan sebagainya (Crouch & Ritchie, 2005)
5. Safety
Dalam era globalisasi sekarang ini, kejahatan-kejahatan yang serius terus
menerus timbul diseluruh dunia, dan ini bisa merusak image destinasi wisata
dalam jangka waktu dekat (Christie & Crompon, 2001). Persepsi wisatawan
terhadap keselamatan dan keamanan suatu destinasi wisata akan memberikan
dampak yang penting terhadap image dari destinasi wisata tersebut.
6. Price
Menurut Dwyer & Kim (2003), price dibagi dua kategori, yaiu pertama travel
cost, dimana berhubungan dengan perjalanan dari dan sampai ke destinasi
yang dituju. Yang kedua adalah ground cost dimana biaya yang dikeluarkan
untuk semua barang-barang yang dibeli di tempat tujuan. Kedua kategori ini
tersebut bisa mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih destinasi
wisata.
7. Services
Menyadari arti penting industri pariwisata (secara ekonomi), maka setiap
negara berusaha memberikan layanan terbaik pada wisatawan.
23
8. Sport and Outdoor Activities
Dalam penelitian Weed and Bull (2004) digambarkan bahwa industri
pariwisata dapat membantu mengembangkan olahraga lokal, fasilitas atau
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menciptakan mereka mana
yang tidak akan dinyatakan menjadi mungkin.
Hanlan, dkk., 2006 mendefinisikan destinasi sebagai daya tarik.
Kemampuan ini dilengkapi dengan atribut spesifik destinasi wisata. Dengan
demikian, sebuah destinasi pariwisata adalah kombinasi dari atribut tujuan,
sebagian besar termasuk fasilitas dan layanan wisata (Mayo dan Jarwis, 1981).
Dalam penilaian daya tarik destinasi wisata, wisatawan mengevaluasi kemampuan
yang dimiliki atribut destinasi wisata untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mayo
& Jarvis, 1981). Daya tarik tujuan akan berkurang tanpa adanya atribut ini. Selain
itu, dengan tidak adanya daya tarik tujuan wisata, tidak akan ada kebutuhan untuk
fasilitas dan layanan wisata (Kim & Lee, 2002). Pilihan daya tarik destinasi wisata
merupakan atribut jasa pariwisata yang sering digunakan sebagai indikator dalam
menentukan kualitas pariwisata. Seperti dikatakan oleh Schiffman dan Kanuk
(2000) bahwa dalam menetapkan kualitas jasa, konsumen mendasarkan pada
atribut yang diasosiasikan dengan produk. Beberapa atribut tersebut adalah
intrinsik dan ekstrinsik dari barang atau jasa. Hal ini dapat dipahami bahwa daya
tarik obyek wisata menjelaskan unsur-unsur atribut wisata sebagai pembetuk
kualitas layanan, mampu memberikan kepuasan yang tinggi pada wisatawan dan
dapat mengindikasikan bahwa indikator daya tarik obyek wisata tersebut
merupakan atribut yang paling kuat dalam pikiran wisatawan. Daya tarik tempat
24
tujuan wisata merupakan atribut utama bagi wisatawan untuk melakukan
kunjungan wisata.
Kepuasan juga bisa terjadi karena adanya atribut-atribut yang melekat
pada obyek. Atribut obyek memiliki pengertian sebagai karakteristik yang
membedakan merek atau produk dari yang lain (Simamora, 2005). Atribut juga
merupakan faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam mengambil
keputusan tentang pembelian suatu merek.
Atribut wisata dapat berupa banyak hal yang terkait dengan wisata itu
sendiri ataupun hal-hal yang menonjol dari wisata itu sendiri (Darmaningsih, dkk.,
2006). Kozak dan Rimington (1999) mengemukakan bahwa menentukan atribut
dominan destinasi wisata sangat penting untuk mengukur tingkat loyalitas
keseluruhan wisatawan. Pizam, Neumann, dan Reichel (1978) menyatakan bahwa
penting untuk mengukur loyalitas wisatawan dengan setiap atribut yang dituju,
agar dapat mengetahui loyal atau tidaknya wisatawan dengan salah satu atribut
menyebabkan loyal atau tidaknya wisatawan dengan destinasi wisata.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa atribut wisata merupakan
faktor penarik yang dapat mempengaruhi wisatawan untuk datang ke destinasi
wisata serta menjadi penentu terhadap keputusan mereka untuk memilih tujuan
kemana mereka akan pergi.
2.3 Penawaran Wisata
Dalam suatu DTW diperlukan adanya suatu yang dimiliki untuk ditawarkan
kepada pasar. Seperti halnya pariwisata bahari pantai Sanur tidak akan
berkembang jika hanya memiliki daya tarik saja, harus ada aspek-aspek lainnya
25
yang mendukung sehingga pariwisata bahari dapat berkembang dengan baik.
Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), ada empat aspek (4A) yang harus
diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Attraction (daya tarik); daerah tujuan wisata untuk menarik wisatawan pasti
memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan
budayanya.
2. Accesable (transportasi); accesable dimaksudkan agar wisatawan domestik
dan mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat
wisata.
3. Amenities (fasilitas); amenities memang menjadi salah satu syarat daerah
tujuan wisata agar wisatawan kerasan tinggal lebih lama di DTW.
4. Ancillary (kelembagaan); adanya lembaga pariwisata wisatawan akan
semakin sering mengunjungi dan mencari DTW apabila di daerah tersebut
wisatawan dapat merasakan keamanan, (protection of tourism) dan
terlindungi. (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/aspek-penawaran-dan-
permintan-dalam.html).
Dalam menentukan langkah-langkah untuk menciptakan suatu daya tarik
wisata sangat perlu memperhat ikan teori 4A seperti yang telah dijabarkan. Empat
aspek ini dasar yang terpenting dari keberlanjuatan kepariwisataan tersebut dan
masing-masing komponen tersebut memiliki keterkaitan yang saling melengkapi.
26
2.4 Kepuasan Wisatawan
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan
kinerja/hasil yang dirasakan dengan harapan (Oliver dalam Supranto, 2006).
Kepuasan wisatawan merupakan suatu hal yang menjadi harapan para pelaku
wisata khususnya mereka yang menawarkan jasa pariwisata. Kepuasan diperoleh
apabila kebutuhan dan keinginan wisatawan terpenuhi, sedangkan keinginan dan
kebutuhan manusia selalu berubah dan tidak ada batasnya.
Kepuasan atau ketidakpuasan wisatawan yang merupakan pelanggan
wisata adalah respon wisatawan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau
diskofirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja
lainnya) dan aktual kinerja produk yang dirasakan. Sedangkan menurut Engel
(dalam Tijptono, 2004) mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan merupakan
evaluasi purna beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya
memberikan hasil sama atau melampui harapan pelanggan, sedangkan
ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan
pelanggan. Dari pengertian para ahli tersebut dapat diartikan bahwa kepuasan
wisatawan adalah perbandingan antara kinerja produk yang dihasilkan dengan
kinerja yang dirasakan oleh wisatawan. Jika berada di bawah harapan, wisatawan
tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, wisatawan puas. Jika kinerja melebihi
harapan, wisatawan amat puas atau senang. Ada beberapa metode yang dapat
dipergunakan setiap pelaku usaha wisata dalam mengukur atau memantau
kepuasan pelanggan (Tjiptono, 2004), yaitu :
27
1. Sistem Keluhan dan Sasaran
Setiap pelaku usaha yang berorientasi pada kepuasan pelanggan yang dalam hal
ini wisatawan perlu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para
wisatawan untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Media
yang bisa dipergunakan antara lain kotak saran dan keluhan, kartu komentar,
menyediakan saluran telepon khusus dan sebagainya.
2. Survei Kepuasan Wisatawan
Survei bisa dilakukan dengan kuesioner, melalui pos, telepon maupun
wawancara pribadi. Melalui survei, pelaku wisata akan memperoleh tanggapan
dan umpan balik secara langsung dari wisatawan dan sekaligus juga
memberikan tanda positif bahwa pelaku usaha wisata menaruh perhatian
terhadap para wisatawan. Pengukuran kepuasan wisatawan melalui metode ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :
a) Directly Reported Satisfaction
Suatu pengukuran yang dilakukan secara langsung melalui pertanyaan,
seperti ungkapan “seberapa puas saudara terhadap pelayanan pelaku wisata :
contoh pilihannya sebagai berikut: “sangat puas, puas, kurang puas, sangat
tidak puas”.
b) Derived Dissatisfaction
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni besarnya
harapan wisatawan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja pelaku
usaha wisata yang mereka rasakan.
28
c) Problem Analysis
Wisatawan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal
pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan
penawaran wisata dari para pelaku wisata. Kedua, saran-saran untuk
melakukan perbaikan.
d) Importance Performance Analysis
Perusahaan diminta me-ranking berbagai elemen (atribut) dari penawaran
wisata berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu juga
diminta me-ranking seberapa baik kinerja pelaku usaha wisata dalam
masing-masing element atau atribut tersebut.
e) Ghost Shopping
Pelaku usaha wisata menyuruh orang-orang tertentu pada perusahaan tertentu
atau perusahaannya sendiri untuk berperan sebagai pembeli atau pelanggan
potensial produk perusahaan dan pesaing. Ghost shooper tersebut akan
melaporkan hasil temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk
perusahaan dan pesaing.
f) Lost Customer Analysis
Perusahaan berusaha menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti
membeli, yang diharapkan adalah diperolehnya informasi tentang penyebab
terjadinya hal tersebut. Informasi yang diperoleh akan sangat bermanfaat bagi
perusahaan dalam pengambilan keputusan
Beberapa strategi yang dapat dipadukan untuk meraih dan meningkatkan
kepuasan pelanggan, diantaranya (Tjiptono, 2004) :
29
1. Relationship Marketing Strategy
Dalam strategi ini, hubungan transaksi antara penyedia jasa dan pelanggan
berkelanjutan, tidak berakhir setelah penjualan selesai. Dengan kata lain,
dijalin suatu kemitraan jangka panjang dengan pelanggan secara terus
menerus sehingga dapat diharapkan terjadi bisnis ulang (repeat business).
2. Superior Customer Service Strategy
Perusahaan yang menetapkan strategi ini berusaha menawarkan pelayanan
yang lebih baik dari pada pesaingnya. Mewujudkannya dibutuhkan dana besar,
kemampuan sumber daya manusia dan usaha yang gigih. Perusahaan dengan
pelayanan superior akan meraih laba dan tingkat pertumbuhan yang lebih
besar daripada pesaingnya yang memberikan pelayanan inferior.
3. Unconditional Guarantess/Extraordinary Guarantees Strategy
Meningkatkan kepuasan pelanggan, perusahaan dapat merancang suatu
garansi tertentu dengan memberikan pelayanan purna jual yang baik. Garansi
atau jaminan ini dirancang untuk meringankan kerugian konsumen, dalam hal
ini konsumen tidak puas dengan suatu produk atau jasa yang telah dibayarnya.
Fungsi utama garansi adalah mengurangi resiko kerugian pelanggan sebelum
dan sesudah pembelian jasa, sekaligus memaksa perusahaan bersangkutan
untuk memberikan yang terbaik dan meraih loyalitas pelanggan.
Berdasarkan teori mengenai kepuasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kepuasan adalah respon terhadap kondisi dimana kebutuhan dan keinginan
individu diterima sesuai dengan harapan.
30
2.5 Loyalitas Wisatawan
Menurut Oliver (1999) defenisi kesetiaan digambarkan sebagai berikut : a
deeply held commitment to rebuy or repatronize a preffered product/service
consistently in the future, thereby causing repetitive same-brand or same brand-
set purchasing, despite situational influences and marketing efforts having the
potential to cause switching behaviour.
Loyalitas, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. “Loyalitas
menunjukkan kecenderungan wisatawan untuk menggunakan suatu merek tertentu
dengan tingkat konsistensi yang tinggi” (Dharmmesta,1999). Ini berarti loyalitas
selalu berkaitan dengan preferensi wisatawan dan pembelian aktual.
Kotler (2000) mengatakan “the long term success of the a particular
brand is not based on the number of consumer who purchase it only once, but on
number who become repeat purchase”. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak dia membeli, tapi dari
berapa sering dia melakukan pembelian ulang, termasuk disini merekomendasikan
orang lain untuk membeli.
Lebih lanjut Lovelock, dkk. (2007) menyatakan bahwa loyalitas adalah
suatu kesediaan wisatawan untuk melanjutkan aktivitas terhadap suatu produk
wisata dalam jangka waktu yang panjang dan melakukan aktivitas secara berulang,
serta merekomendasinya kepada teman-teman lain secara sukarela. Loyalitas
merupakan suatu komitmen yang dipegang kuat untuk melakukan kembali
(redoing) atau kesetiaan yang terus menerus pada suatu produk wisata yang lebih
disukai secara konsisten di masa yang akan datang, yang menyebabkan aktivitas
berulang suatu produk wisata atau kumpulan produk wisata yang sama. Dari
31
beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa loyalitas sudah pasti
dilakukan oleh wisatawan, dimana istilah yang muncul biasanya selalu loyalitas
wisatawan, bukan loyalitas konsumen. Hal inilah yang akhirnya membuat
perbedaan antara wisatawan (customer) dan konsumen (consumer).
Dharmayanti (2006) menyimpulkan pengertian loyalitas, bahwa loyalitas
adalah respon perilaku atau pembelian yang bersifat bias dan terungkap secara
terus menerus oleh pengambil keputusan dengan memperhatikan satu atau lebih
alternatif dari sejumlah merek sejenis dan merupakan fungsi proses psikologis.
Namun perlu ditekankan bahwa hal tersebut berbeda dengan perilaku beli ulang,
loyalitas pelanggan menyertakan aspek perasaan didalamnya.
Lovelock dan Wright (2004) mengungkapkan bahwa loyalitas adalah
keputusan sukarela oleh konsumen untuk terus menerus menjadi pelanggan pada
suatu produk baik berupa barang atau jasa untuk jangka waktu yang panjang.
Loyalitas memiliki beberapa definisi. Assael (1998) memahami loyalitas sebagai
dua dimensi :
1. Loyalitas adalah perilaku, artinya loyalitas dapat dipahami sebagai konsep
yang menekankan pada runtutan penggunaan, probabilitas penggunaan
(Dick dan Basu, 1994). Pemahaman ini sering disebut pendekatan
keperilakuan (behavioral approach).
2. Loyalitas sebagai sikap, artinya loyalitas dipahami sebagai komitmen
psikologis pelanggan terhadap objek tertentu (Dharmmesta, 1999).
Pemahaman ini sering disebut sebagai pendekatan attitudinal (attitudinal
approach).
32
Lovelock (2004) mengemukakan bahwa loyalitas konsumen merupakan
keinginan konsumen untuk terus menjadi pelanggan pada suatu produk untuk
jangka panjang dan juga merekomendasikan produk atau jasa tersebut pada orang
lain.
Jika kepuasan wisatawan menyangkut apa yang diungkapkan oleh
wisatawan, maka loyalitas wisatawan berkaitan dengan apa yang dilakukan
wisatawan. Oleh sebab itu parameter kepuasan lebih subyektif, lebih sukar
dikuantifikasi, dan lebih sukar diukur dari pada loyalitas wisatawan (Tjiptono,
2005). Menurut Parasuraman, dkk. (1988) hasil dari evaluasi harapan individual
terhadap suatu produk wisata akan menimbulkan persepsi akan menimbulkan
persepsi terhadap nilai dan bertindak berdasarkan hal tersebut. Selanjutnya
wisatawan akan memperhitungkan penawaran mana yang akan memberikan nilai
dan kepuasan tertinggi. Penawaran yang mampu memenuhi harapan tersebut akan
berdampak pada perilaku pembelian ulang (buyer’s repetation). Schmid dalam
Paliati (2007) juga menegaskan bahwa loyalitas wisatawan merupakan proses
pembangunan aktivitas pembelian-ulang (repeat-purchase) pada seorang pembeli.
Lebih jauh bila ditinjau dari pengukuran perilaku (behavioral measurements),
perilaku wisatawan yang terpenuhi harapan terhadap kepuasan akan produk wisata
akan menyampaikan rasa puasnya tersebut kepada orang lain. Hal ini disebut juga
pengaruh dari mulut ke mulut (worth of mouth positive).
Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Morgan dan Hunt (1994)
yang menyatakan bahwa outcomes dari loyalitas diukur melalui voluntary
partnership, yaitu cooperation dan word of mouth recommendation. Selanjutnya
Seymus Bolaglu dalam Paliati (2007) mendefenisikan cooperation sebagai niat
33
untuk mencapai tujuan bersama dan juga keinginan wisatawan untuk membantu
pelaku usaha wisata. Sedangkan rekomendasi termasuk juga promosi wisata,
membuat cerita-cerita positif dan berbisnis dengan para pelaku usaha wisata.
Loyalitas memiliki konsekuensi motivasional, perceptual, dan behavioral (Dick
dan Basu, 1994) seperti dijelaskan berikut :
1. Search Motivation (motivasi pencarian), yaitu motivasi untuk mencari
informasi mengenai produk wisata cenderung semakin berkurang seiring
dengan meningkatnya pengalaman, pembelajaran, kepuasan dan aktivitas
wisata ulang dari wisatawan bersangkutan. Pada umumnya, hubungan sikap
relatif dan pola pembelian ulang yang kuat akan menyebabkan berkurangnya
motivasi wisatawan untuk mencari informasi alternatif.
2. Resistance to Counterpersuasion (daya tahan untuk menolak bujukan),
dimana wisatawan yang memiliki komitmen yang kuat terhadap objek
spesifik cenderung memiliki komitmen yang kuat terhadap objek spesifik
cenderung memiliki resistace to counterpersuasion yang kuat pula.
3. Word of Mouth (getok tular), loyalitas wisatawan juga berdampak pada
perilaku getok tular (word of mouth behavior), terutama bila wisatawan
merasakan pengalaman emosional yang signifikan. Wisatawan yang loyal
cenderung bersedia menceritakan pengalaman positifnya kepada orang lain.
Ada tiga tahap atau bentuk kesetiaan yaitu : kesetiaan kognitif, kesetiaan
afektif, dan kesetiaan konatif (Oliver, 1999). Secara spesifik, konsumen diteorikan
menjadi setia di dalam suatu pengertian kognitif dulu, lalu pengertian afektif,
seterusnya di dalam suatu cara konatif, dan akhirnya dalam suatu cara yang
bersifat perilaku, yang digambarkan sebagai urutan kegiatan (action inertia).
34
Didalam tahap kesetiaan pertama, informasi atribut yang ada pada
konsumen dinyatakan bahwa satu atribut lebih disukai daripada yang lainnya.
Pada tahap ini sebagaimana kesetiaan kognitif, atau kesetiaan yang didasarkan
pada kepercayaan atribut saja. Cognition dapat didasarkan pada pengetahuan yang
terdahulu atau informasi pada pengalaman yang lalu. Kesetiaan pada tahap ini
diarahkan kepada atribut yang dikarenakan informasi (tingkat kepuasan atribut).
Pernyataan konsumen dari suatu sifat yang dangkal. Jika aktivitas rutin, kepuasan
tidak diproses, dalamnya kesetiaan tidak lebih dalam dari kepuasan semata-mata.
Jika kepuasan diproses, kepuasan itu menjadi bagian dari pengalaman konsumen
dan mulai memberikan tambahan-tambahan yang efektif.
Pada tahapan kedua dari pengembangan kesetiaan, sesuatu yang
menyerupai sikap terhadap atribut telah berkembang pada peristiwa-peristiwa
yang digunakan secara akumulatif yang memuaskan. Hal ini merefleksikan
ukuran kesenangan dari defenisi kepuasan – pemenuhan kesenangan sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Komitmen pada tahapan ini dibandingkan sebagaimana
kesetiaan afektif dan diistilahkan didalam pikiran konsumen sebagai cognition
dan affect. Sedangkan cognition adalah secara langsung berhubungan dengan
argumentasi tandingan, affect tidak sebagaimana dikeluarkan dengan mudah.
Atribut kesetiaan yang ditunjukkan/diarahkan pada tingkat dari affect untuk
atribut itu. Dengan demikian akan lebih jadi disukai/diinginkan jika konsumen-
konsumen setia pada suatu level yang lebih dalam atas suatu komitmen.
Tahapan ketiga dari pengembangan kesetiaan adalah tahapan konatif
(tujuan yang bersifat perlaku). Sebagaimana dipengaruhi oleh episode-episode
berulang dari pengaruh-pengaruh positif kearah atribut. Conation, dengan definisi,
35
menyatakan suatu spesifik atribut untuk menggunakan kembali. Kesetiaan konatif,
kemudian adalah suatu pernyataan kesetiaan yang mengandung apa yang pada
mulanya tampak komitmen yang diadakan secara mendalam untuk melakukan
dicatat di dalam defenisi kesetiaan. Namun demikian, komitmen ini adalah kepada
tujuan untuk menggunakan kembali atribut dan hal ini lebih dekat kepada
motivasi. Pengaruhnya, konsumen menginginkan untuk menggunakan kembali,
tetapi mirip kepada semua maksud tujuan baik apa saja, keinginan ini boleh jadi
suatu tindakan antisipasi ataupun tindakan yang tidak direalisasikan.
Dengan demikian, melengkapi kerangka kerja kognitif yang sebelumnya
dengan suatu tindakan yang ke-empat, atau tindakan, tahap memberikan model
kesetiaan yang didasarkan pada sikap kearah perilaku, minat, pernyataan tindakan
atas pembelian kembali. Kesetiaan kognitif memusatkan pada aspek kepuasan
atribut, kesetiaan efektif diarahkan kepada kesukaan atribut, kesetiaan konatif
dialami ketika konsumen memfokuskan pada keinginan kembali atribut, dan
kesetiaan tindakan adalah komitmen kepada tindakan melakukan kembali.
Sebagaimana dicatat, sedikit pekerjaan telah tampak untuk membenarkan atau
membuktikan salah (menyangkal) perspektif yang dikembangkan ini. Hal ini
sayang sekali karena kelemahan dari tahap-tahap kesetiaan yang empat ini
meminta spesifikasi jika stakeholder akan melindungi dasar kesetiaan mereka.
Sedangkan menurut Zeithaml, dkk. (1996) tujuan akhir keberhasilan
pelaku usaha wisata menjalin hubungan relasi dengan wisatawannya adalah untuk
membentuk loyalitas yang kuat. Indikator dari loyalitas yang kuat adalah :
1. Say positive things, adalah mengatakan hal yang positif tentang produk yang
telah dikonsumsi.
36
2. Recommend friend, adalah merekomendasikan produk yang telah dikonsumsi
kepada teman.
3. Continue purchasing, adalah pembelian yang dilakukan secara terus menerus
terhadap produk wisata yang telah dikonsumsi.
Mowen dan Minor dalam Tjiptono (2005) mendefenisikan loyalitas
sebagai kondisi dimana wisatawan mempunyai sikap positif terhadap suatu
produk wisata, mempunyai komitmen pada produk wisata tersebut, dan
bermaksud meneruskan aktivitas terhadap produk wisata tersebut di masa
mendatang. Loyalitas merupakan respon yang terkait erat dengan ikrar atau janji
untuk memegang teguh komitmen yang mendasari kontinuitas relasi, dan biasanya
tercermin dalam pembelian berkelanjutan dari penyedia jasa yang sama atas dasar
dedikasi maupun kendala pragmatis.
Selanjutnya Paliati (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa variabel
pengukuran loyalitas wisatawan, antara lain :
1. Pembelian Ulang
2. Rekomendasi
3. Menceritakan Hal-hal Positif
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa indikasi
dan pengukuran loyalitas wisatawan dapat berupa :
1. Pembelian Ulang (buyer’s repetition) (Parasuraman, dkk., 1988; Schmid,
1997; Paliati, 2007) yaitu pembelian yang dilakukan secara terus menerus
terhadap produk wisata yang telah dikonsumsi.
2. Komitmen Merek (Dick dan Basu, 1994) yaitu komitmen yang kuat pada
produk wisata tersebut, tidak memiliki keinginan untuk berpindah ke produk
37
wisata lainnya serta berusaha untuk meneruskan aktivitas tindakan terhadap
produk wisata itu kembali.
3. Getok Tular Positif/Rekomendasi (Morgan dan Hunt, 1994; Dick dan Basu,
1994; Paliati; 2007) yaitu merekomendasikan produk yang telah dikonsumsi
kepada teman serta mengemukakan hal-hal positif mengenai pengalamannya
saat menikmati produk wisata.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa loyalitas
wisatawan adalah sikap positif terhadap sebuah produk wisata, yang disertai
komitmen terhadap produk wisata tersebut dan bermaksud meneruskan aktivitas
terhadap produk wisata yang dinilai positif tersebut.
2.6 Hasil Kajian Empirik
Untuk menghasilkan sebuah penelitian yang komprehensif dan berkorelasi,
maka digunakan beberapa penelitian sebelumnya sebagai bahan rujukan yang
bahasan penelitiannya memiliki relevansi dengan penelitian ini. Diharapkan
dengan rujukan tersebut dapat membentuk kerangka dasar berpikir peneliti dalam
melakukan kajian. Penelitian mengenai hubungan atribut wisata dengan loyalitas
wisatawan yang digunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini antara lain
penelitian oleh Lovelock, Paterson dan Walker (2001), Darmaningsih, dkk. (2006),
Rimington (1999) dan Zhou(2005), Meng, dkk (2006).
Dijelaskan oleh Lovelock, Paterson, dan Walker (2001) bahwa kesetiaan
atau loyalitas timbul sebagai sebuah evaluasi setelah pembelian oleh pelanggan
mengenai pengalaman (proses serta hasil) dari pelayanan secara menyeluruh yang
diterimanya. Kesetiaan timbul setelah konsumen puas akan sebuah pengalaman,
38
sehingga akan timbul pembelian ulang atau keinginan untuk mengalami hal
tersebut secara berulang. Kesetiaan akan menghasilkan word of mouth yang dapat
mempengaruhi wisatawan lain. Kesetiaan ini dapat mempengaruhi wisatawan
untuk berkunjung kembali ke Kawasan Sanur.
Atirbut yang melekat pada objek akan memunculkan kesetiaan itu sendiri.
Hal ini dijelaskan oleh Darmaningsih, dkk. (2006) bahwa atribut yang melekat
tersebut dapat berupa dimensi jasa atau apa saja yang dipertimbangkan dalam
keputusan untuk membeli produk wisata tersebut. Hal yang serupa juga
disebutkan oleh Kozak dan Rimington (1999) bahwa menentukan atribut dominan
destinasi wisata sangat penting untuk mengukur tingkat kepuasan keseluruhan
wisatawan sehingga memunculkan intensi untuk datang kembali ke daerah tujuan
wisata tersebut. Telah dilakukan beberapa penelitian untuk mengukur atribut
destinasi dan motivasi wisatawan seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh
Meng, Tepanon, dan Uysal dalam jurnal mereka yang berjudul Measuring Tourist
Satisfaction by Attribute and Motivation : The Case of Nature-Based Resort
(2006). Disebutkan bahwa atribut destinasi wisata memiliki peran penting dalam
evaluasi wisatawan atas daya tarik, image, dan kepuasan terhadap destinasi wisata
tertentu.
Lebih rinci dikemukakan oleh Zhou (2005) dalam penelitian mengenai
atribut destinasi wisata yang dapat menarik wisatawan mancanegara untuk
berwisata di Cape Town bahwa terdapat delapan atribut destinasi wisata yang
penting yakni landscape, culture and history, ambience, accessibility, safety, price,
services, dan entertainment. Kedua penelitian ini sama-sama menyimpulkan
bahwa pentingnya atribut wisata terhadap kepuasan wisatawan.
39
Kedua penelitian diatas sama-sama meneliti mengenai atribut destinasi wisata
untuk melihat motivasi berwisata dari wisatawan dan hasil yang diperoleh dari
kedua penelitian diatas menunjukkan bahwa atribut yang berperan penting dari
setiap destinasi wisata berbeda-beda. Perbedaan ini meyakinkan penulis bahwa
setiap destinasi wisata memiliki karakteristik yang berbeda, demikian halnya
dengan Kawasan Sanur.