bab ii kajian pustaka -...

20
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakekat Belajar Matematika Belajar matematika adalah suatu proses yang mengakibatkan perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan matematika. Bila kita tahu konsep matematika yang sebelumnya tidak tahu maka dalam benak kita akan terjadi perubahan dan hal ini akan berguna untuk mempelajari materi selanjutnya. Dalam pembelajaran matematika perlu diketahui karekteristik matematika. Matematika merupakan ilmu yang abstrak, aksiomatik dan deduktif (Herman Hudoyo, 1990: 3). Proses berpikir matematika disebut proses berpikir aksiomatik karena pada dasarnya landasan berpikir matematika adalah kesepakatan- kesepakatan yang disebut aksioma. Matematika dikatakan bersifat deduktif, karena matematika disajikan secara aksiomatik menggunakan logika deduktif. Di dalam matematika, suatu soal atau pertanyaan akan merupakan masalah apabila tidak terdapat aturan atau hukum tertentu yang akan segera dapat dipergunakan untuk menjawab atau menyelesaikannya. (Herman Hudoyo, 1990: 84). Hal ini berarti suatu soal matematika akan menjadi suatu masalah apabila soal itu tidak langsung memberikan penyelesaian. Proses Pembelajaran Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar (Mulyasa, 2002: 106). Oleh karena itu, situasi kegiatan pembelajaran perlu diusahakan agar aktifitas dan kreativitas peserta didik dapat berkembangkan secara optimal. Menurut Gibbs (dalam Mulyasa, 2002: 106) peserta didik akan lebih kreatif jika: a) Dikembangkannya rasa percaya diri pada peserta didik, dan mengurangi rasa takut, b) Memberi kesempatan pada seluruh peserta didik untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas dan terarah, c) Melibatkan peserta didik dalam tujuan belajar dan evaluasinya, d) Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter,

Upload: vanque

Post on 14-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

6

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakekat Belajar Matematika

Belajar matematika adalah suatu proses yang mengakibatkan perubahan tingkah laku

yang berkaitan dengan matematika. Bila kita tahu konsep matematika yang sebelumnya

tidak tahu maka dalam benak kita akan terjadi perubahan dan hal ini akan berguna untuk

mempelajari materi selanjutnya. Dalam pembelajaran matematika perlu diketahui

karekteristik matematika. Matematika merupakan ilmu yang abstrak, aksiomatik dan

deduktif (Herman Hudoyo, 1990: 3). Proses berpikir matematika disebut proses berpikir

aksiomatik karena pada dasarnya landasan berpikir matematika adalah kesepakatan-

kesepakatan yang disebut aksioma. Matematika dikatakan bersifat deduktif, karena

matematika disajikan secara aksiomatik menggunakan logika deduktif.

Di dalam matematika, suatu soal atau pertanyaan akan merupakan masalah apabila

tidak terdapat aturan atau hukum tertentu yang akan segera dapat dipergunakan untuk

menjawab atau menyelesaikannya. (Herman Hudoyo, 1990: 84). Hal ini berarti suatu soal

matematika akan menjadi suatu masalah apabila soal itu tidak langsung memberikan

penyelesaian.

Proses Pembelajaran

Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan

kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar (Mulyasa,

2002: 106). Oleh karena itu, situasi kegiatan pembelajaran perlu diusahakan agar aktifitas

dan kreativitas peserta didik dapat berkembangkan secara optimal. Menurut Gibbs (dalam

Mulyasa, 2002: 106) peserta didik akan lebih kreatif jika:

a) Dikembangkannya rasa percaya diri pada peserta didik, dan mengurangi rasa takut,

b) Memberi kesempatan pada seluruh peserta didik untuk berkomunikasi ilmiah secara

bebas dan terarah,

c) Melibatkan peserta didik dalam tujuan belajar dan evaluasinya,

d) Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter,

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

7

e) Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara

keseluruhan.

Untuk menciptakan kondisi-kondisi tersebut, maka dalam proses pembelajaran perlu

diciptakan suasana kondusif yang mengarah pada situasi di atas. Selanjutnya, Sardiman

(2006, 21) menyatakan bahwa proses belajar pada prinsipnya bertumpu pada struktur

kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga membentuk satu

kesatuan yang memiliki makna bagi peserta didik. Agar proses pembelajaran dapat

bermakna maka aktifitas dan kreatifitas siswa harus lebih dominan dari pada guru. Dalam

hal ini diperlukan pemilihan model pembelajaran yang dapat membangkitkan aktifitas dan

kreatifitas siswa sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna.

2.1.2 Pengertian Belajar dan Belajar Matematika

2.1.2.1 Pengertian Belajar

Belajar merupakan kegiatan bagi setiap orang. Pengetahuan, keterampilan, kebiasaan,

kegemaran dan sikap seseorang terbentuk, dimodifikasi dan berkembang disebabkan

belajar. Karena itu, seseorang dikatakan belajar, bila dapat diasumsikan dan diri orang itu

terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu proses kegiatan yang

mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku.

Uzer dalam Darmin (2103:6) mengemukakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai

perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan

indVIidu dan indVIidu dengan lingkungannya.

Menurut Slameto (1991:2) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses usaha

yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara

keseluruhan, sebagai hasil pengamatan individu itu sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya.

Kemudian Sudjana (1997:25) memberikan pengertian bahwa belajar adalah proses

aktif, belajar adalah perubahan tingkah laku terhadap semua situasi yang ada disekitar

iindividu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan yang melalui berbagai

pengalaman seperti proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu.

Sejalan dengan itu, ahli belajar modern mengemukakan dan merumuskan perbuatan

belajar adalah sebagai suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

8

yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan

latihan (Hamalik 1993 :10).

Dari beberapa defenisi belajar yang telah dikemukakan di kajian atas maka

dikesimpulan bahwa belajar itu adalah salah satu kegiatan atau aktifitas manusia yang

merupakan proses usaha yang aktif untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru,

baik melalui berbagai pengalaman maupun kegiatan aktifitas yang terarah. Pengalaman

belajar yang dimaksud dapat berupa proses melihat, mengamati, dan memahami sesuatu.

Sedangkan belajar melalui atau aktifitas yang terarah dapat berupa mempertimbangkan

dan menghubungkan dengan pengalaman masa lampau yang diaplikasikan dalam bentuk

latihan.

2.1.2.2 Belajar Matematika

Berkaitan dengan definisi matematika tersebut Ruseffendi (1998: 260) menyatakan

bahwa matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide,

proses, dan penalaran. James dalam Suherman (2101:16) menyatakan bahwa

matematika adalah konsep ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan

konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak

yang terjadi ke dalam tiga bidang yaitu : aljabar, analisis, dan geometri.

Masih banyak lagi definisi tentang matematika. Dari definisi-definisi tersebut

setidaknya dapat memberi gambaran tentang pengertian matematika. Semua definisi

tersebut dapat diterima, karena memang matematika dapat ditinjau dari berbagai sudut

pandang dan matematika itu sendiri dapat memasuki seluruh segi kehidupan manusia

mulai dari yang paling sederhana sampai kepada yang lebih kompleks.

Dalam pembelajaran, matematika harus secara bertahap, berurutan serta berdasarkan

kepada pengalaman yang telah ada sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Dienes

dalam Muhkal (1999: 92), belajar metematika melibatkan suatu struktur hierarki dari

konsep-konsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk

sebelumnya.

Menurut Bruner dalam Hudoyo (1990 :48) yaitu belajar matematika adalah belajar

tentang konsep-konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

9

dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur

matematika itu.

2.1.3 Model Pembelajaran Berbasis Masalah

2.1.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Ada berbagai cara untuk mengaitkan konten dengan konteks, salah satunya adalah

melalui pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Model ini juga dikenal

dengan nama lain seperti project based teaching, experienced based education, dan

anchored instruction (Ibrahim dan Nur, 2104). Pembelajaran ini membantu pebelajar

belajar isi akademik dan keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka

pada sistuasi masalah kehidupan nyata.

Pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses

dimana pembelajar secara aktif mengkontruksi pengetahuan (Gijselaers, 1996). Psikologi

kognitif modern menyatakan bahwa belajar terjadi dari aksi pembelajar, dan pengajaran

hanya berperan dalam memfasilitasi terjadinya aktVIitas kontruksi pengetahuan oleh

pembelajar. Pembelajar harus memusatkan perhatiannya untuk membantu pembelajar

mencapai keterampilan self directed learning.

Problem based learning sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi

keperluan ini (Schmidt, dalam Gijselaers, 1996). Masalah-masalah disiapkan sebagai

stimulus pembelajaran. Pembelajar dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, dan

pembelajar hanya berperan memfasilitasi terjadinya proses belajar dan memonitor proses

pemecahan masalah.

Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan Problem Based Learning (PBL)

adalah strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa di mana siswa mengelaborasikan

pemecahan masalah dengan pengalaman sehari-hari (en.wikipedia.org). Arends (dalam

Wardhani (2106:5) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan

model pembelajaran yang bertujuan merangsang terjadinya proses berpikir tingkat tinggi

dalam situasi yang berorientasi masalah. Lebih lanjut dikemukakan PBL utamanya

dikembangkan untuk membantu siswa sebagai berikut.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

10

1) Mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Lauren Resnick (dalam

Arends, 1997) berfikir tingkat tinggi mempunyai ciri-ciri: (1) non algoritmik yang artinya

alur tindakan berfikir tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, (2) cenderung

kompleks, artinya keseluruhan alur berfikir tidak dapat diamati dari satu sudut

pandang saja, (3) menghasilkan banyak solusi, (4) melibatkan pertimbangan dan

interpretasi, (5) melibatkan penerapan banyak kriteria, yang kadang-kadang

satu dan lainnya bertentangan, (6) sering melibatkan ketidakpastian, dalam arti

tidak segala sesuatu terkait dengan tugas yang telah diketahui, (7) melibatkan

pengaturan diri dalam proses berfikir, yang berarti bahwa dalam proses

menemukan penyelesaian masalah, tidak diijinkan adanya bantuan orang lain pada

setiap tahapan berfikir, (8) melibatkan pencarian makna, dalam arti menemukan

struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur, (9)

menuntut dilakukannya kerja keras, dalam arti diperlukan pengerahan kerja mental

besar-besaran saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang

dibutuhkan.

2) Belajar berbagai peran orang dewasa. Dengan melibatkan siswa dalam pengalaman

nyata atau simulasi (pemodelan orang dewasa), membantu siswa untuk berkinerja

dalam situasi kehidupan nyata dan belajar melakukan peran orang dewasa

3) Menjadi pelajar yang otonom dan mandiri. Pelajar yang otonom dan mandiri ini

dalam arti tidak sangat tergantung pada guru. Hal ini dapat dilakukan dengan

cara, guru secara berulang-ulang membimbing dan mendorong serta

mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap

masalah nyata oleh mereka sendiri. Siswa dibimbing, didorong dan diarahkan untuk

menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Kemampuan untuk menjadi pembelajar

yang otonom dan mandiri ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kemampuan

belajar secara autodidak dan kesadaran untuk belajar sepanjang hayat yang

merupakan bekal penting bagi siswa dalam mengarungi kehidupan pribadi, sosial

maupun dunia kerja selanjutnya.

HS Barrows dalam Ibrahim (2102) menyatakan bahwa proses pembelajaran

berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

11

menggunakan masalah sebagai titik awal akuisisi dan integrasi pengetahuan baru.

Sementara itu Satyasa (2108:2) mendefinisikan pembelajaran berbasis masalah sebagai

suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada siswa dengan

masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam

belajar. Sementara itu Moffit (dalam Supinah, 2108: 62) mendifinisikan pembelajaran

berbasis masalah, sebagai suatu pendekatan yang melibatkan siswa dalam penyelidikan

dalam pemecah masalah yang memadukan ketrampilan dan konsep dari berbagai

kandungan area.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis mendefinisikan pembelajaran

berbasis masalah yang selanjutnya disebut ’PBL’, sebagai pendekatan pembelajaran

yang diawali dengan pemberian masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami

atau merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan

masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar PBL terdiri

dari kegiatan menyajikan kepada siswa suatu situasi masalah yang autentik dan

bermakna serta memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan

dan inkuiri.

2.1.3.2 Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Wardhani (2106:10) mengemukakan PBL mengikuti tiga aliran pikiran utama yang

berkembang pada abad duapuluh yaitu sebagai berikut:

1) Pemikiran John Dewey dan Kelas Demokratisnya (1916). Menurut Dewey, sekolah

seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan kelas merupakan

laboratorium untuk pemecahan masalah kehidupan yang nyata. Pendapat Dewey

ini memberikan dasar filosofis dari PBL.

2) Pemikiran Jean Piaget (1886-1980). Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin

tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya.

Rasa ingin tahu itu memotVIasi anak untuk secara aktif membangun

tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Ketika

tumbuh semakin dewasa dan memperoleh lebih banyak kemampuan bahasa

dan memori, tampilan mental mereka tentang dunia menjadi lebih luas dan

lebih abstrak. Pada semua tahap perkembangan, anak perlu memahami

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

12

lingkungan mereka, memotVIasi mereka untuk menyelidiki dan membangun teori-

teori yang menjelaskan lingkungan itu.

3) Pemikiran Lev Vygotsky (1896-1934) dengan KonstruktVIismenya, serta

Jerom Bruner dengan Pembelajaran Penemuannya. Vygotsky berpandangan

bahwa interaksi social dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan

memperkaya perkembangan intelektual siswa. Bruner menyatakan pentingnya

pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran yang menekankan

perlunya membantu siswa memahami struktur atau ide dari suatu disiplin ilmu,

perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan yakin bahwa

pembelajaran yang sebenarnya adalah yang terjadi melalui penemuan pribadi.

2.1.3.3 Tahap-tahap dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Sebagai model pembelajaran, Arends dalam Wardhani (2106:7) mengemukakan ada

lima tahap pembelajaran pada PBL. Lima tahap ini sering dinamai tahap interaktif, yang

sering juga sering disebut sintaks dari PBL. Lama waktu yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan tiap tahapan pembelajaran tergantung pada jangkauan masalah yang

diselesaikan.

Tabel 2.2. Tahap Pembelajaran PBL

Tahap Kegiatan Tingkah Laku Guru

1.

Orientasi siswa pada

situasi

masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan tugas, memo-

tivasi siswa agar terlibat pada aktvitas pemecahan

masalah yang dipilihnya.

2.

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Membantu siswa mendefinisikan dan mengorga- nisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan

masalah tersebut.

3.

Membimbing penyelidikan

indVIidual maupun

kelompok

Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk

mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

13

4.

Mengembangkan dan

menyajikan

hasil karya

Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil

pelaksanaan tugas, misalnya berupa laporan, video,

dan model serta membantu mereka untuk berbagi

tugas dengan temannya

5.

Menganalisis dan mengevaluasi

proses

pemecahan

masalah

Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-

proses yang mereka tempuh atau gunakan

Menurut Fogarty, dalam Satyasa (2108: 5-7) proses pembelajaran dengan

pendekatan

PBL dijalankan dengan 8 langkah, seperti berikut:

1) Menemukan masalah.

Siswa diberikan masalah yang tidak terdefinisikan secara jelas (ill-defined) yang

diangkat dari konteks kehidupan sehari-hari. Pernyataan permasalahan diungkapkan

dengan kalimat-kalimat yang pendek dan memberikan sedikit fakta-fakta di seputar

konteks permasalahan. Pernyataan permasalahan diupayakan memberikan peluang pada

siswa untuk melakukan penyelidikan. Siswa menggunakan kecerdasan inter dan intra-

personal untuk saling memahami dan saling berbagi pengetahuan antar anggota kelompok

terkait dengan permasalahan yang dikaji.

2) Mendefinisikan masalah

Siswa mendefinisikan masalah menggunakan kalimatnya sendiri. Permasalahan

dinyatakan dengan parameter yang jelas. Siswa membuat beberapa definisi sebagai

informasi awal yang perlu disediakan. Pada langkah ini, siswa melibatkan kecerdasan

intra-personal dan kemampuan awal yang dimiliki dalam memahami dan mendefinisikan

masalah.

3) Mengumpulkan fakta-fakta.

Siswa membuka kembali pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan

awal untuk mengumpulkan fakta-fakta. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk yang

dimiliki untuk mencari informasi yang berhubungan dengan permasalahan. Pada tahap ini,

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

14

siswa mengorganisasikan informasi-informasi dengan menggunakan istilah “apa yang

diketahui(know)”, “apa yang dibutuhkan (need to know)”, dan “apa yang dilakukan (need

to do)” untuk menganalisis permasalahan dan fakta-fakta yang berhubungan dengan

permasalahan.

4) Menyusun dugaan sementara

Siswa menyusun jawaban-jawaban sementara terhadap permasalahan dengan

melibatkan kecerdasan logic-mathematical. Siswa juga melibatkan kecerdasan

interpersonal yang dimilikinya untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya, membuat

hubungan-hubungan, jawaban dugaannya, dan penalaran mereka dengan langkah-

langkah yang logis.

5) Menyelidiki

Siswa melakukan penyelidikan terhadap data-data dan informasi yang

diperolehnya berorientasi pada permasalahan. Siswa melibatkan kecerdasan majemuk

yang dimilikinya dalam memahami dan memaknai informasi dan fakta- fakta yang

ditemukannya. Guru membuat struktur belajar yang memungkinkan siswa dapat

menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan memahami (multiple ways of

knowing and understanding) dunia mereka.

6) Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan

Siswa menyempurnakan kembali perumusan masalah dengan merefleksikannya

melalui gambaran nyata yang mereka pahami. Siswa melibatkan kecerdasan verbal-

linguistic memperbaiki pernyataan rumusan masalah sedapat mungkin menggunakan

kata yang lebih tepat. Perumusan ulang permasalahan lebih memfokuskan

penyelidikan, dan menunjukkan secara jelas fakta-fakta dan informasi yang perlu

dicari, serta memberikan tujuan yang jelas dalam menganalisis data.

7) Menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif

Siswa berkolaborasi mendiskusikan data dan informasi yang relevan dengan

permasalahan. Setiap anggota kelompok secara kolaboratif mulai bergelut untuk

mendiskusikan permasalahan dari berbagai sudut pandang. Pada tahap ini proses

pemecahan masalah berada pada tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan

yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi menjadi mediasi untuk menghimpun

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

15

sejumlah alternatif pemecahan masalah yang menghasilkan alternatif yang lebih baik

ketimbang dilakukan secara individual.

8) Menguji solusi permasalahan

Siswa menguji alternatif pemecahan yang sesuai dengan permasalahan aktual

melalui diskusi secara komprehensip antar anggota kelompok untuk memperoleh hasil

pemecahan terbaik. Siswa menggunakan kecerdasan majemuk untuk menguji

alternatif pemecahan masalah dengan membuat sketsa, menulis, debat, membuat plot

untuk mengungkapkan ide-ide yang dimilikinya dalam menguji alternatif pemecahan.

Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah memuat langkah-langkah yang

koheren dengan proses pemecahan masalah. Telah dibahas sebelumnya empat tahap

strategi pemecahan masalah dikemukakan Polya (1981) yaitu yaitu: (1) memahami

masalah, (2) menyusun rencana pemecahan, (3) menjalankan rencana pemecahan, (4)

menguji kembali penyelesaian yang diperoleh.

2.1.3.4 Prinsip-Prinsip dalam Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah secara khusus melibatkan pebelajar bekerja pada

masalah dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima orang dengan bantuan asisten

sebagai tutor. Masalah disiapkan sebagai konteks pembelajaran baru. Analisis dan

penyelesaian terhadap masalah itu menghasilkan perolehan pengetahuan dan

keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan dihadapkan sebelum semua

pengetahuan relevan diperoleh dan tidak hanya setelah membaca teks atau mendengar

ceramah tentang materi subjek yang melatar belakangi masalah tersebut. Hal inilah yang

membedakan antara PBL dan metode yang berorientasi masalah lainnya. Tutor berfungsi

sebagai pelatih kelompok yang menyediakan bantuan agar interaksi pebelajar menjadi

produktif dan membantu pebelajar mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk

memecahkan masalah. Hasil dari proses pemecahan masalah itu adalah, pebelajar

membangun pertanyaan-pertanyaan (isu pembelajaran) tentang jenis pengatahuan apa

yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah? Setelah itu, pebelajar melakukan

penelitian pada isu-isu pembelajaran yang telah diidentifikasi dengan menggunakan

berbagai sumber. Untuk ini pebelajar disediakan waktu yang cukup untuk belajar mandiri.

Proses PBL akan menjadi lengkap bila pebelajar melaporkan hasil penelitiannnya (apa

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

16

yang dipelajari) pada pertemuan berikutnya. Tujuan pertama dari paparan ini adalah untuk

menunjukkan hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dengan masalah yang

ada ditangan pebelajar.

Fokus yang kedua adalah untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum,

membuat kemungkinan transfers pengetahuan baru. Setelah melengkapi siklus

pemecahan masalah ini, pebelajar akan memulai menganalisis masalah baru, kemudian

diikuti lagi oleh prosedur: analisis- penelitian- laporan.

2.1.3.5 Tujuan dan Hasil Belajar Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Memecahkan Masalah

Pembelajaran berbasis masalah ditujukan untuk mengembangkan keterampilan

berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak sama dengan keterampilan

yang berhubungan dengan pola-pola tingkah laku rutin. Larson (1990) dan Lauren Resnick

(Ibrahim dan Nur, 2104) menguraikan cirri-ciri berpikir tingkat tinggi seperti berikut :

a) tidak bersifat algoritmik (noalgoritmic), yakni alur tindakan tidak sepenuhnya dapat

ditetapkan sebelumnya,

b) cenderung kompleks, keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang.

c) seringkali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan

kerugian, dari pada yang tunggal,

d) melibatkan pertimbangan dan interpretasi,

e) melibatkan banyak kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain,

f) seringkali melibatkan ketidakpastian. Tidak selalu segala sesuatu yang berhubungan

dengan tugas diketahui,

g) melibatkan pengaturan diri (self regulated) tentang proses berpikir,

h) melibatkan pencarian makna menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak

teratur,

i) berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besar, besaran

saat melakukan elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan.

Keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi ini dapat diajarkan (Costa, 1985).

Kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini amat mendasarkan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

17

pada pendekatan yang serupa dengan pembelajaran berbasis masalah ( Ibrahim dan Nur,

2104).

1.) Pemodelan Peranan Orang Dewasa

Resnick (Ibrahim dan Nur, 2104) mengemukakan bahwa bentuk pembelajaran

berbasis masalah penting menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan

aktivitas mental yang lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Aktivitas-aktivitas mental

di luar sekolah yang dapat dikembangkan adalah :

a) PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas.

b) PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini mendorong pengamatan dan dialog

dengan yang lain sehingga pebelajar secara bertahap dapat memi peran yang

diamati tersebut.

c) PBL melibatkan pebelajar dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan

mereka menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan

membangun femannya tentang fenomena itu.

2.) Belajar Pengarahan Sendiri (self directed learning)

Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada pebelajar. Pebelajar harus dapat

menentukan sendiri apa yang harus dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh,

dibawah bimbingan pembelajar (Barrows, 1996). Dengan bimbingan pembelajar yang

secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan

pertanyaan mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, pebelajar

belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri dalam kehidupan kelak

(Ibrahim dan Nur, 2104).

2.1.3.6 Landasan Teoretik Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk

meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based learning (PBL).

Premis dasar dalam psikologi kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi

pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser (1991)

secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan bukan

penerimaan. Prosesproses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi penggunaan

pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi pembelajaran.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

18

Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang

berkaitan dengan PBL.

1) Prinsip 1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan.

Pembelajaran tradisional didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan

pengetahuan kekepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang

siap diisi melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan

informasi oleh pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di perpustakaan.

Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer panggil (call number)

yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi. Namun, psikologi kognitif modern

menyatakan bahwa memori merupakan struktur asosiatif. Pengetahuan disusun dalam

jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan semantik. Ketika belajar terjadi informasi

baru digandengkan pada jaringan informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya

menyangkut bagaimana menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu

diinterpretasikan dan dipanggil.

2) Prinip 2. Knowing About Knowing (metakognisi) Mempengaruhi Pembelajaran.

Prinsip kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar

mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu pada

metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang sebagai elemen

esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I going to do), strategi seleksi

(how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it work?). Keberhasilan pemecahan masalah

tidak hanya bergantung pada pemilikan pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi

juga penggunaan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus

keterampilan metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni

menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan masalah

masuk akal.

3) Prinsip 3. Faktor-faktor Kontekstual dan Sosial Mempengaruhi Pembelajaran.

Prinsip ketiga ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar

untuk memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah

merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan

penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai dengan

pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan pengetahuan.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

19

Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami kesulitan serius dalam

menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995). Studi juga menunjukkan bahwa

pendidikantradisional tidak memfasilitasi peningkatan peman masalah-maslah fisika

walaupun secara formal diajarkan teori fisika ( misalnya, Clement, 1990).

Jika tujuan pembelajaran adalah mengajarkan pebelajar untuk menggunakan

pengetahuan untuk memecahkan masalah dunia nyata, bagaimana seharusnya

pembelajaran itu dilakukan? Mandl, Gruber, dan Renkl (1993) menyarankan empat cara

yaitu: pengajaran harus diletakkan dalam konteks situasi pemecahan masalah kompleks

dan bermakna; pengajaran harus dipusatkan pada pengajaran keterampilan metakognitif

dan bilamana mengunakannya; pengetahuan dan keterampilan-keterampilan harus

diajarkan dari perspektif yang berbeda dan diterapkan pada setiap situasi yang berbeda;

belajar harus berlangsung dalam situasi kerjasama untuk mengkonfrotasikan keyakinan

yang dipegang oleh masing-masing individu. Strategi ini dilandasi oleh dua model yang

saling melengkapi cognitive apprenticeship dan anchored instruction. Kedua model ini

menekankan bahwa pengajaran harus terjadi dalam kontek masalah dunia nyata atau

parktek-praktek professional.

Faktor sosial juga mempengaruhi belajar individu. Glaser (1991) beralasan bahwa

dalam kerja kelompok kecil pembelajar mengekspose pandangan alternatif adalah

tantangan nyata untuk mengawali pemahaman. Dalam kelompok kecil pembelajar akan

membangkitkan metode pemecahan masalah dan pengetahuan konseptual mereka.

Mereka menyatakan ide-ide dan membagi tanggung jawab dalam memanage situasi

masalah. Bruning, Schraw, dan Ronning (1995) menyatakan bahwa pengajaran sains

sangat efektif bila hakikat sosial pembelajaran diterima dan digunakan untuk membantu

pebelajar memperoleh peman ilmiah secara akurat.

Bertolak dari prisnip-prinsip pembelajaran di atas, pembelajaran berbasis masalah

dapat ditelusuri melalui tiga aliran pemikiran pendidikan yaitu: Dewey dan Kelas

Demokratis: Konstruktivisme Viaget dan Vygotsky, Belajar Penemuan Bruner (Ibrahim dan

Nur, 2104).

1.) Dewey dan Pembelajaran Demokratis

Pembelajaran berbasis masalah menemukan akar intelektualnya pada penelitian John

Dewey (Ibrahim & Nur, 2104). Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

20

pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dan

kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah kehidupan nyata. Ilmu

mendidik Dewey menganjurkan pembelajar untuk mendorong pebelajar terlibat dalam

proyek atau tugas berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki

masalahmasalah intelektual dan sosial. Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran

disekolah seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajaran yang

memiliki manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok kecil

untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka sendiri.

2) Konstruktivisme Piaget dan Vygotsky

Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan konstruktivis kognitif

(Ibrahim dan Nur, 2104). Pandangan ini banyak didasarkan teori Piaget. Piaget

mengemukakan bahwa pebelajar dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses

perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget

pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno,

1997). Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi. Seperti halnya Piaget,

Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat indVIidu

berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang dan ketika mereka berusaha untuk

memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2104).

Untuk memperoleh pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru dengan

pengetahuan awal yang telah dimiliki. Piaget memandang bahwa tahap-tahap

perkembangan intelektual individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial dan

budaya individu. Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek sosial

pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain mendorong

terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual pembelajar. Implikasi

dari pandangan Vygotsky dalam pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui

interaksi sosial dengan pembelajar dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari

pembelajar atau teman sejawat yang lebih mampu, pebelajar bergerak ke dalam zona

perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru terjadi (Ibrahim dan Nur,

2104).

3) Bruner dan Belajar Penemuan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

21

Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan psikologi belajar

kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model instruksional kognitif yang sangat

berpengaruh yang disebut dengan belajar penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar

penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan

sendirinya memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan masalah

dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar

bermakna ( Dahar, 1998). Bruner menyarankan agar pebelajar hendaknya belajar melalui

partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan

untuk memperopleh pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan didasarkan pada

keyakinan bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan pribadi.

2.1.3.7 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai

dari pembelajar memperkenalkan pebelajar dengan suatu situasi masalah dan diakhiri

dengan penyajian dan analisis hasil kerja pebelajar. Secara singkat kelima tahapan

pembelajaran PBL adalah seperti pada Tabel 1 berikut.

1) Tahap Tingkah Laku Pembelajar

Tahap 1: Orientasi pebelajar pada masalah

Pembelajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,

memotivasi pebelajar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

Pembelajar mendiskusikan rubric asesmen yang akan digunakan dalam menilai

kegiatan/hasil karya pebelajar.

Tahap 2: Mengorganisasikan pebelajar untuk belajar

Pembelajar membantu pebelajar mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar

yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap 3: Membimbing penyelidikan indviidu maupun kelompok.

Pembelajar mendorong pebelajar untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Pembelajar membantu pebelajar dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai

seperti laporan, video, dan model membantu untuk berbagi tugas dengan temannya.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

22

Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Pembelajar membantu pebelajar untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

2.1.3.8 Asesmen Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Tugas-tugas asesmen untuk PBL tidak dapat semata-mata terdidri dari tes kertas dan

pensil (pencil and paper test). Kebanyakan teknik asesmen dan evaluasi yang digunakan

untuk PBL adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh pebelajar sebagai hasil

penyelidikan/hasil kerja mereka. Seperti pada model pembelajaran kontekstual lainnya,

bentuk asesmen PBL terdiri dari asesmen kinerja dan portofolio. Berbeda dengan

penilaian tradisional (paper dan pencil test). Penetapan kriteria penilaian tugas-tugas

kinerja/ hasil karya harus dilakukan pada awal-awal pembelajaran dan harus dapat

dikerjakan oleh pebelajar (Fottrell, 1996). Kriteria penilaian itu harus didiskusikan terlebih

dahulu bersama pebelajar di kelas. Diskusi ini meliputi berapa grade yang harus mereka

capai dan siapa yang akan menilai mereka (pembelajar, pebelajar, atau ahli luar).

2.1.4 Hasil Belajar

Hudoyo (1990:139), hasil belajar adalah proses berpikir untuk menyusun hubungan-

hubungan antara bagian-bagian informasi yang telah diperoleh sebagai pengertian-

pengertian. Karena itu orang menjadi memahami dan menguasai hubungan-hubungan

tersebut sehungga orang itu dapat menampilkan pemahaman dan penguasaan bahan

pelajaran yang dipelajari.

Pendapat lain dikemukakan Sudjana (1997:10) yaitu hasil belajar adalah kemampuan-

kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Sementara

itu Sudjana membagi tiga macam hasil belajar yaitu :

1) Keterampilan dan kebiasaan

2) Pengetahuan dan pengertian

3) Sikap dan cita-cita

Selanjutnya mengenai bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum, bahan tersebut

dapat diajarkan menurut jenis hasil belajar yang ingin dicapai. Sedangkan Gagne dalam

Sudjana (1997 : 12) membagi 5 kategori hasil belajar yaitu :

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

23

1) Informasi verbal

2) Keterampilan intelektual

3) Strategi kognitif

4) Sikap

5) Keterampilan motoris

Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikulum

maupun tujuan instruksional menggunakan klarifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom

Dalam Sudjana (1997 : 13) yang secara garis besar dibagi menjadi tiga ranah, yaitu:

1) Ranah kognitif

2) Ranah afektif

3) Ranah psikomotorik

Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Hasil belajar matematika

dapat diukur langsung dengan menggunakan tes hasil belajar

Dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan indikator keberhasilan yang dicapai

siswa dalam usaha belajarnya. Hasil belajar adalah istilah yang digunakan untuk

menyatakan tingkat keberhasilan yang dicapai seseorang setelah melalui proses belajar.

2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian lainnya bejudul: Penerapan pembelajaran berdasarkan masalah untuk

meningkatkan pemahaman konsep luas segitiga pada matapelajaran matematika siswa

kelas VI SDN Rampal Celaket I Kota Malang / Purnamasari Pertiwi, Skripsi (Sarjana)

Universitas Negeri Malang. Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 2008. Hasil

penelitian ditemukan bahwa pembelajaran konsep pengukuran luas segitiga melalui

pendekatan keterampilan proses, dari tes awal sampai akhir siklus II, adalah nilai rata-rata

34,2%, nilai maksimum 25%, dan nilai minimum 66,7%

Selain itu juga ada penelitian yang dilakukan oleh Sukarman guru SD Bandar dalm

PTK nya mampu meningkatkan hasil belajar siswa melalui pembelajaran berbasis masalah

pada materi pecahan. Peningkatan ketuntasan siswa 30%-40% pada tiap siklusnya.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

24

2.3 Kerangka berpikir

Dari beberapa pengertian belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar dalam

konteks matematika adalah suatu konsep aktif yang sengaja dilakukan untuk memperoleh

pengetahuan baru yang memanipulasi simbol-simbol dalam struktur matematika sehingga

terjadi perubahan tingkah laku.

Proses pembelajaran dengan menekankan pada bagaimana siswa belajar, begaimana

siswa mengolah problemnya sehingga menjadi miliknya. Hasil belajar siswa diperoleh dari

pengalaman dan pengamatan lingkungan yang diolah menjadi suatu konsep yang

diperoleh dengan jalan belajar secara aktif melalui keterampilan proses.

Berdasarkan asumsi tersebut diperoleh pemahan bahwa penerapan model

pembelajaran berbasis masalah diduga dapat meningkatkan hasil belajar matematika

siswa kelas VI semester 1 SDN Kemligi Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.

Dari latar belakang dan kajian teori maka dapat dirumuskan kerangka berpikir dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 2.1 Kerangka berpikir

PBM Guru menggunakan

media

Hasil belajar rendah di bawah

KKM

Perbaikan dengan

model PBL

Pemantapan model PBL

materi satuan debit

Menyampaikan tujuan pembelajaran

Presentasi materi satuan debit dengan model PBL

Mengerjakan LKS

Umpan balik guru dan siswa

Menyimak materi buku ajar dan mengerjakan soal latihan

Hasil belajar semakin meningkat

Tes formatif

Rubrik penelitian

Observasi

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3734/3/T1_262012011_BAB II.pdfkognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip, sehingga

25

2.4 Hipotesis Tindakan

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

“Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dapat meningkatkan hasil

belajar matematika tentang menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan satuan debit

pada siswa kelas VI SDN Kemligi Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang semester 1

tahun pelajaran 2013/2014”.