bab ii kajian pustaka -...

48
25 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsepsi Tindak Pidana yang Dilakukan Anak Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak men- definisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengartikan Perlindungan Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pengertian lain dari anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengemukakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Upload: duongdung

Post on 04-May-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsepsi Tindak Pidana yang Dilakukan Anak

Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak men-

definisikan anak sebagai seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1

Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak mengartikan Perlindungan

Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah

orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Pengertian lain dari anak terdapat dalam Pasal 1

ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak mengemukakan bahwa anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

26

Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Peradilan Anak mengartikan anak adalah

orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur

18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Perlindungan Anak meng-artikan anak

nakal sebagai berikut:

1. Anak yang melakukan tindak pidana atau

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinya-takan terlarang bagi anak baik menurut pera-

turan perundang-undangan maupun menurut

peraturan hukum lainnya yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian anak dapat dilihat dalam peru-

musan berbagai peraturan perundang-undangan

maupun pendapat para pakar dengan batasan yang

dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Mengenai batas usia anak dan dewasa, Zakiah

Daradjat berpendapat sebagai berikut :

Batas usia anak dan dewasa juga remaja yang menyatakan bahwa masa sembilan

tahun antara tiga belas sampai dua puluh

satu tahun sebagai masa remaja (adolensi)

yang merupakan masa peralihan antara

masa anak-anak dan masa dewasa di mana

anak-anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka bukan

lagi anak- anak bentuk badan sikap berpikir

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

27

dan bertindak tetapi bukan pula orang

dewasa.1

Konvensi Hak Anak mendefinisikan anak secara

umum sebagai manusia yang umurnya belum

mencapai 18 tahun, namun demikian diberikan juga

pengakuan terhadap batasan umur yang ber-beda

yang mungkin diterapkan dalam perundangan

nasional.

Anak yang berkonflik dengan hukum adalah

anak yang melakukan tindak pidana. Anak yang

berkonflik dengan Hukum adalah anak yang

melakukan perbuatan yang dilarang di masyarakat;

dan disebut sebagai “anak nakal”; sebagai pelaku

tindak pidana, anak dipandang juga sebagai korban,

setidaknya korban salah asuhan, korban ling-kungan

yang tidak bersahabat, atau korban bujukan orang

dewasa untuk melakukan kejahatan2.

Anak yang berkonflik dengan hukum adalah

anak yang disangka atau dituduh telah melanggar

Undang-undang Hukum Pidana3. Fenomena anak

konflik hukum di masyarakat diartikan sebagai

perbuatan yang menyimpang, dengan memberikan

anggapan negatif terhadap mereka. Banyak faktor

yang mempengaruhi perilaku anak konflik hukum.

1 Djoko Prakoso, 1986. Kedudukan Justisiabel di dalam KUHAP.

Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 84 2 H. Abdurrahman, 2004, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,

Jakarta: CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 137

3 Ibid

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

28

Faktor yang menonjol antara lain dikarenakan

gagalnya orang tua atau masyarakat dalam memenuhi

keinginan anak.

Kondisi ini menimbulkan kecenderungan anak

memenuhi keinginan sendiri dengan cara,

kemampuan, dan persepsi yang dianggap tepat

baginya. Dalam penanganan anak konflik hukum

sering dijumpai adanya Aparat Penegak Hukum masih

kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,

sebagaimana dalam kaidah-kaidah perlindungan,

penghargaan, pengembangan, dan pemenuhan hak

anak konflik hukum.

Prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-hak Anak

menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak adalah:

1. Non diskriminasi

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

4. Penghargaan terhadap pendapat anak

Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa

perlindungan anak bertujuan untuk menjamin

terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

29

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan

sejahtera.

Pengertian lain dari anak terdapat dalam Pasal 1

ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak mengemukakan bahwa anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

Hak dan kewajiban anak diatur dalam Pasal 4

sampai dengan Pasal 19 Undang-undang Nomor 23

Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pasal 4

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak mengemukakan bahwa anak

berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi. Dan anak berhak

atas suatu akta sebagai identitas diri dan status

kewaganegaraan. Setiap anak juga berhak untuk

beribadah menurut agamanya, berpikir dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyebutkan

1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang

tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

2. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya

tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak

atau anak dalam keadaan terlantar maka

anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

30

orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Setiap anak juga berhak memperoleh pelayanan

kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. Setiap

anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran

dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan

tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat

juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,

sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga

berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa

setiap anak berhak menyatakan dan didengar

pendapatnya menerima, mencari dan memberikan

informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan

nilai-nilai keseusilaan dan kepatutan. Pasal 11

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak

berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu

luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,

berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat

dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Sedangkan anak penyandang cacat berhak

memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan

pemeliharaan taraf kesejehtaraan sosial

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

31

Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak mengemukakan bahwa

anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:

1. penyalahgunaan dalam kegiatan pemilu;

2. pelibatan dalam sengketa bersenjata; 3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung

unsur kekerasan;

5. pelibatan dalam peperangan.

Perlindungan terhadap anak juga diatur di

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak di dalam Pasal 2, bahwa:

1. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan,

asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih

sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan

berkembang dengan wajar;

2. Anak berhak atas pelayanan untuk mengem-

bangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya

sesuai dengan negara yang baik dan berguna; 3. Anak berhak atas pemeliharaan dan per-

lindungan baik semasa dalam kandungan mau-

pun sesudah dilahirkan; dan

4. Anak berhak atas perlindungan terhadap ling-

kungan hidup yang dapat membahayakan atau

menghambat pertumbuhan dan perkem-bangannya dengan wajar.

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan

orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab

terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah

terhadap anak diuraikan dalam Pasal 20 Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

32

bertanggung jawab menghormati, dan menjamin hak

asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama,

ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan

bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak

dan kondisi fisik dan/atau mental anak. Negara dan

pemerintah juga berkewajiban dan bertanggung jawab

memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam

penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 25 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa

kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap

perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan

peran masyarakat dalam penyelenggaraan

perlindungan anak.

Perlindungan hukum bagi anak diatur dalam

Pasal 68 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan anak yaitu sebagai berikut:

1. Perlindungan khusus bagi anak yang di-

eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual

merupakan kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah dan masyarakat. 2. Perlindungan khusus bagi anak yang

dieksploitasi tersebut dilakukan melalui: (a)

Penyebarluasan dan/atau sosialisasi keten-

tuan peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan perlindungan anak yang

dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;(b)Pemantauan, pelaporan dan

pemberian sanksi dan; (c)Perlibatan berbagai

instansi pemerintah, perusahaan, serikat

pekerja, lembaga swa-daya masyarakat dan

masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau

seksual; (d) Setiap orang dilarang

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

33

menempatkan, membiarkan, melakukan

menyuruh mela-kukan atau turut serta

melakukan eks-ploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

Dalam upaya memberikan perlindungan

terhadap kepentingan dan hak-hak anak yang

berhadapan dengan hukum, Pemerintah Indonesia

telah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-

undangan terkait, antara lain Undang-undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan Anak.

Masalah perlindungan hak-hak anak yang

berhadapan dengan hukum, yang terdapat dalam

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa:

1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan

sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penja-

tuhan hukuman yang tidak manusiawi;

2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup

tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak

pidana yang masih anak; 3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas ke-

bebasannya secara melawan hukum;

4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara

anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan

hukum yang belaku dan hanya dapat di-laksanakan sebagai upaya terakhir;

5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya

berhak mendapatkan perlakuan secara manu-

siawi dan dengan memperhatikan kebutuhan

pengembangan pribadi sesuai dengan usianya

dan harus dipisahkan dari orang dewasa, ke-cuali demi kepentingannya;

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

34

6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya

berhak memperoleh bantuan hukum atau

bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku;

7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya

berhak untuk membela diri dan memperoleh

keadilan di depan Pengadilan Anak yang

objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

menggunakan istilah “anak nakal” untuk mengartikan

anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan

dengan perlindungan terhadap anak nakal, maka

menurut undang-undang ini tidak selalu anak pelaku

tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara.

Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 24 Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1997, bahwa tindakan yang

dapat dijatuhkan kepada anak nakal, berupa

pengembalian kepada orang tua, wali/orang tua asuh

atau menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti

pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau

menyerahkannya kepada departemen sosial atau

organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di

bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang terdapat

dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, ada

beberapa pasal berhubungan dengan masalah

perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum,

yaitu:

1. Pasal 1 angka 2, yang menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan

untuk menjamin dan melindungi anak dan

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

35

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kema-nusiaan, serta mendapat perlindungan dari

ke-kerasan dan diskriminasi.

2. Pasal 1 angka 15, menentukan bahwa

perlindungan khusus adalah perlindungan

yang diberikan kepada anak dalam situasi

darurat, anak yang berhadapan dengan hu-kum, anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi, anak yang dieksploitasi secara

ekonomi dan/atau seksual, anak yang

diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalah gunaan narkotika, alkohol, psiko-tropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak

korban penculikan, penjualan, perdagangan,

anak korban kekerasan baik fisik dan/atau

mental, anak yang menyandang cacat dan

anak korban perlakuan salah dan

penelantaran. 3. Pasal 2, menentukan bahwa penyelenggaraan

perlindungan anak berasaskan Pancasila dan

berlandaskan UUD 1945 serta prinsip-prinsip

dasar Konvensi Hak-hak Anak meliputi: (a)

non diskriminasi; (b) kepentingan yang terbaik bagi anak; (c) hak untuk hidup, kelangsungan

hidup dan perkembangan; (d) penghargaan

terhadap pendapat anak

4. Pasal 3, menentukan bahwa perlindungan

anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kema-

nusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi, demi

terwujudnya anak Indonesia berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

5. Pasal 16, menentukan bahwa: (a) Setiap anak

berhak memperoleh perlin-dungan dari

sasaran penganiayaan, penyik-saan atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

(b) Setiap anak berhak untuk memperoleh ke-bebasan sesuai dengan hukum; (c)

Penangkapan, penahanan atau tindak pidana

penjara anak hanya dilakukan apa-bila sesuai

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

36

dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

6. Pasal 17, menentukan bahwa: Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:

(a) Setiap anak yang menjadi korban atau

pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak

dirahasiakan; (b) Mendapatkan perlakuan

secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; (c) Memperoleh

bantuan hukum atau bantuan lainnya secara

efektif dalam setiap tahapan upaya hukum

yang berlaku; (d) Membela diri dan

memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam

sidang tertutup untuk umum

7. Pasal 18, menentukan bahwa setiap anak

yang menjadi korban atau pelaku tindak

pidana berhak mendapatkan bantuan hukum

dan bantuan lainnya. 8. Pasal 59, menentukan bahwa pemerintah dan

lembaga negara lainnya berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk memberikan per-

lindungan khusus kepada anak dalam situasi

darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi

dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,

anak yang menjadi korban penyalahgunaan

narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat

adiktif lain-nya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak

korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,

anak yang menyandang cacat dan anak

korban perlakuan salah dan penelantaran

9. Pasal 64, menentukan bahwa: Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal

59 meliputi anak yang berhadapan dengan

hukum dan anak korban tindak pidana,

merupakan kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan

hukum dilaksanakan melalui: (a) Perlakuan

atas anak secara manusiawi sesuai dengan

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

37

martabat dan hak-hak anak; (b) Penyediaan

petugas pendamping khusus anak sejak dini;

(c) Penyediaan sarana dan prasarana khusus; (d) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk

kepentingan terbaik bagi anak; (e)

Pemantauan dan pencatatan terus menerus

terhadap perkembangan anak yang ber-

hadapan dengan hukum; (f) Pemberian

jaminan untuk memper-tahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; (g)

Perlindungan dari pemberitaan identitas

melalui media massa dan untuk meng-hindari

labelisasi.

Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa:

“Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib

memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam

situasi darurat, anak yang berhadapan dengan

hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,

anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau

seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang

menjadi korban penyalah gunaan narkotika, alkohol,

psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban

penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban

kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang

menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah

dan penelantaran

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice

System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana

yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus

kenakalan anak yang harus memperhatikan

perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

38

hukum, yakni: (1) Polisi sebagai institusi formal ketika

anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem

peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak

akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut; (2) Jaksa

dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan

menentukan apakah anak akan dibebaskan atau

diproses ke pengadilan anak; (3) Pengadilan Anak,

tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-

pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan

dalam ins-titusi penghukuman; (4) Institusi

penghukuman.4

B. Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Tugas dan wewenang Polri diatur dalam Pasal-

pasal Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 13

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan

tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai berikut:

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. menegakkan hukum;

3. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

4 Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia,

UNICEF, Indonesia, 2003), hlm. 2

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

39

Dari pengaturan tersebut maka tugas dan

wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia

adalah melakukan penyidikan di mana KUHAP

memberi definisi penyidikan sebagai “Serangkaian

tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara

yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari

serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi

dan guna menemukan tersangkanya5.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut

menurut Pasal 14 Undang-undang Nomor 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian bertugas:

1. melaksanakan pengaturan, penjagaan,

pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintahan sesuai

kebutuhan;

2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam

menjamin keamanan, ketertiban dan

kelancaran lalu lintas di jalan;

3. membina masyarakat untuk mening-katkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum

masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-

undangan;

4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5. memelihara ketertiban dan menjamin

keamanan umum;

6. melakukan koordinasi, pengawasan dan

pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,

penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-

bentuk pengamanan swakarsa;

5 Teguh Prasetyo, 2010. Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, hlm. 65

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

40

7. melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian,

kedokteran, kepolisian, laboratorium forensik

dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

tugas kepolisian;

9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari

gangguan ketertiban dan atau bencana

termasuk memberikan bantuan dan

pertolongan dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia; 10. melayani kepentingan warga masyarakat

untuk sementara sebelum ditangani oleh

instansi dan atau pihak yang berwenang;

11. memberikan pelayanan kepada masya-rakat

sesuai dengan kepentingan dalam lingkup

tugas kepolisian; serta 12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

menjelaskan wewenang Kepolisian Negara Republik

Indonesia adalah

1. menerima laporan dan atau pengaduan;

2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

menganggu ketertiban umum;

3. mencegah dan menanggulangi

tumbuhnya penyakit masyarakat;

4. mengawasi aliran yang dapat menim-

bulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5. mengeluarkan peraturan kepolisian

dalam lingkup kewenangan administrasi

kepolisian;

6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian

dalam rangka pencegahan;

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

41

7. melakukan tindakan pertama di tempat

kejadian

8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

9. mencari keterangan dan barang bukti;

10. menyelenggarakan Pusat Informasi

Kriminal Nasional;

11. mengeluarkan surat izin dan atau surat

keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

12. memberikan bantuan pengamanan

dalam sidang dan pelaksanaan putusan

penga-dilan, kegiatan instansi lain serta

kegiatan masyarakat lainnya; dan; 13. menerima dan menyimpan barang

temuan untuk sementara waktu.

Kemudian Pasal 15 ayat (2) Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia menyebutkan bahwa Kepolisian

Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan

perundang-undangan lainnya berwenang untuk:

1. Memberikan izin dan mengawasi

kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya

2. Menyelenggarakan registrasi dan

indentifikasi bermotor

3. Memberikan surat izin mengemudi

kendaraan bermotor 4. Menerima pemberitahuan tentang

kegiatan politik

5. Memberikan izin dan melakukan

pengawasan senjata api, bahan peledak

dan senjata tajam

6. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan

usaha di bidang jasa pengamanan

7. Memberikan petunjuk, mendidik dan

melatih aparat kepolisian khusus dan

petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

42

8. Melakukan kerja sama dengan

kepolisian negara lain dalam menyidik

dan memberantas kejahatan internasional

9. Melakukan pengawasan fungsional

kepolisian terhadap orang asing yang

berada di wilayah Indonesia dengan

koordinasi dengan instansi terkait.

10. Mewakili pemerintahan Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

in-ternasional

11. Melakukan kewenangan lain yang

termasuk dalam lingkup tugas

kepolisian.

Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia menjelaskan bahwa dalam rangka

menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana,

Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

untuk:

1. Melakukan penangkapan, penahanan penggeledahan dan penyitaan

2. Melarang setiap orang meninggalkan

atau memasuki tempat kejadian perkara

untuk kepentingan penyidikan

3. Membawa dan menghadapkan orang

kepada penyidik dalam rangka penyidikan

4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai

dan menanyakan serta memeriksa tanda

pengenal diri

5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6. Memanggil orang untuk didengar dan

diperiksa sebagai tersangka atau saksi

7. Mendatangkan orang ahli yang

diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara 8. Mengadakan penghentian penyidikan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

43

9. Menyerahkan berkas perkara kepada

penuntut umum

10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan

imigrasi dalam keadaan mendesak atau

mendadak untuk mencegah atau

menangkap orang yang disangka

melakukan tindak pidana 11. Memberi petunjuk dan bantuan pe-

nyidikan kepada penyidik pegawai negeri

sipil serta menerima hasil penyidikan

penyidik pegawai negeri sipil untuk

diserahkan kepada penuntut umum 12. Mengadakan tindakan lain menurut

hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia menjelaskan tindakan lain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah tindakan penyelidikan dan

penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat

sebagai berikut :

1. Tidak bertentangan dengan suatu

aturan hukum

2. Selaras dengan kewajiban hukum yang

mengharuskan tindakan tersebut dila-

kukan harus patut, masuk akal dan

termasuk dalam lingkungan jabatannya 3. Pertimbangan yang layak berdasarkan

keadaan yang memaksa

4. Menghormati hak asasi manusia

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

44

Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

menyebutkan:

1. Untuk kepentingan umum, pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewe-

nangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan

perundang-undangan serta Kode Etik

Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Di dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya

sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan

oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

yang dalam bertindak harus mempertimbangkan

manfaat serta risiko dari tinda-kannya dan betul-betul

untuk kepentingan umum. Dengan landasan inilah

kepolisian dapat mene-rapkan restorative justice

sebagai alternatif penye-lesaian tindak pidana.

Berdasarkan Modul Keadilan Restoratif, yang

dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik

Indonesia, peran Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam proses restorative justice terhadap tindak pidana

antara lain sebagai berikut :

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

45

1. Mempersiapkan pihak-pihak yang

terlibat di dalam penyelesaian melalui restorative justice seperti korban, pelaku,

keluarga pelaku, orang-orang penting lainnya yang perlu datang (siapa saja

yang dirugikan oleh perbuatan pelaku)

2. Pihak-pihak yang perlu diperhitungkan

namun tidak terlalu penting seperti

pihak-pihak yang mendukung korban (yang dipersiapkan oleh korban) dan

pihak-pihak yang mendukung pelaku

(dipersiapkan oleh pelaku dan keluarga

pelaku)

3. Hal-hal yang perlu diperhatikan seperti:

(a) Memberi informasi kepada para pihak mengenai pertemuan; (b) Mendapatkan

informasi dari para pihak yang akan

membantu memfasilitasi pertemuan; (c)

Menentukan tempat, ruang dan

pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut; (d) Menyiapkan

barang-barang lain yang mungkin

diperlukan.

4. Mengecek bahwa para peserta akan

hadir dan mempersiapkan bahwa

ruangan benar-benar nyaman dan aman bagi semua pihak.

5. Menyiapkan daftar pertanyaan yang akan

menjadi bahan pembicaraan dalam

pertemuan tersebut.6

C. Pendekatan Restorative Justice

1. Konsep Pendekatan Restorative Justice

Pengertian Restorative justice menurut Marlina

adalah sebagai berikut :

Proses penyelesaian tindakan

pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan

pelaku (tersangka) bersama-sama duduk

6 Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2009, Modul Keadilan Restoratif, hlm.359

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

46

dalam satu pertemuan untuk bersama-

sama berbicara7.

Dari pengertian tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa pendekatan restorative justice

merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik

beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan

keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta

korbannya sendiri. Mekanisme tata cara dan peradilan

pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah

menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan

kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang

lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Prinsip yang dipaparkan oleh Tony Marshall dan

Susan Sharpe adalah bahwa proses penyelesaian

tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan

dengan membawa korban dan pelaku (tersangka)

bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk

bersama-sama berbicara8. Dalam pertemuan tersebut

mediator memberikan kesempatan kepada pihak

pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-

jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya.

Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat

mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima

dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak

pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan

kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan

pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya

7 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika

Aditama, Bandung, hlm. 25 8 Marlina, Ibid. h. 25

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

47

bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat

atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama

pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang

telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai

tindakan tersebut dilakukan pelaku, korban wajib

mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk

selanjutnya pihak korban dapat memberikan

tanggapan atas penjelasan pelaku.

Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat

yang mewakili kepentingan kerugian yang diakibatkan

oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan

oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat

mengharapkan agar pelaku melakukan suatu

perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali

keguncangan/kerusakan yang telah terjadi karena

perbuatannya.

Prinsip yang dikemukakan oleh Tony Marshall

dan Susan Sharpe ini sebenarnya telah dipraktekkan

selama ribuan tahun oleh masyarakat walaupun

secara nonformal. Di Indonesia praktik secara

restorative justice ini juga telah dilakukan yang dikenal

dengan penyelesaian secara kekeluargaan9.

Tony Marshall, seorang ahli krimonologi

berkebangsaan Inggris dalam tulisannya ”Restorative

Justice an Overview” mengatakan:“Restorative Justice

is a process whereby all the parties with a stake in a

particular offence come together to resolve collectively

9 Tony Marshall, dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2012, Modul Keadilan Restoratif, hlm.366

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

48

how to deal with the aftermath of the offence and its

implication for the future” (restorative justice adalah

sebuah proses dimana para pihak yang

berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu

bersama untuk menyelesaikan per-soalan secara

bersama-sama bagaimana menye-lesaikan akibat dari

pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).

Pandangan Michael Tonry, melalui penelitiannya

tahun 1999 terhadap kebijakan pemidanaan di

Amerika, bahwa restorative justice mempunyai

pengaruh besar karena kemampuan konsep tersebut

memberikan manfaat kepada semua tahapan proses

peradilan dan menempatkan pelaku dengan tepat

dalam proses peradilan.

Menurut Tony Marshall, ada 3 (tiga) konsep

pemidanaan, yaitu:

a. Structured sentencing (pemidanaan terstru-

ktur);

b. Indeterminate (pemidanaan yang tidak me-

nentukan); dan

c. Restorative / community justice (pemulih-

an/keadilan masyarakat).

Penjelasan terhadap definisi restorative justice

yang dikemukakan oleh Toni Marshal dalam

tulisannya “Restorative Justice an Overview”,

dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya

“Restorative Justice a Vision For Hearing and Change”

yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative

justice yaitu :

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

49

a. Restorative Justice mengandung partisipasi

penuh dan konsensus;

b. Restorative Justice berusaha menyembuh-

kan kerusakan atau kerugian yang ada

akibat terjadinya tindak kejahatan;

c. Restorative Justice memberikan pertang-

gungjawaban langsung dari pelaku secara

utuh;

d. Restorative Justice mencarikan penyatuan

kembali kepada warga masyarakat yang

terpecah atau terpisah karena tindakan

criminal;

e. Restorative Justice memberikan ketahanan

kepada masyarakat agar dapat mencegah

terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Penyelesaian secara restorative justice berbeda

dengan proses peradilan konvensional. Peradilan

konvensional merupakan pengadilan yang

menentukan kesalahan dan mengurus

kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau

beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku

tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh

aturan yang sistemik.

Praktik restorative justice yang ada sebenarnya

merupakan sebagian dari tradisi dalam masyarakat

atau hasil dari penelitian dan perjalanan panjang dari

contoh yang diambil sebagai cara alternatif untuk

menyelesaikan kasus pidana di luar peradilan.

Praktik-praktik yang ada tetap mempunyai dasar

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

50

prinsip restorative justice yang telah diakui di banyak

negara yang mana dalam pelaksanaannya kini telah

diimplementasikan dalam sejumlah aturan dan pola

atau cara. Bentuk praktik restorative justice yang

telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat,

Canada, Australia, dan New Zealand dapat

dikelompokkan dalam empat jenis praktik yang

menjadi pioner penerapan restorative justice

dibeberapa negara yaitu, Victim Offender Mediation

(selanjutnya disingkat VOM), Conferencing/Family

Group Conferencing (selanjutnya disingkat FGC),

Circles dan Restorative Board/Youth Panels.

Dalam penanganan tindak pidana yang

dilakukan anak, Mahkamah Konstitusi Putusan

melalui Putusan Nomor 1/PUU-VIII/2010 telah

memberikan pencerahan baru dalam upaya

memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak

terutama terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum (children in conflict with the law) yakni melalui

pendekatan restorative justice.

Uji materiil yang diajukan oleh KPAI dan

Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan

atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4

ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2)

huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian

oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi atas Judicial review

terhadap Undang-undang Pengadilan Anak ini

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

51

dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan

Anak Medan (YPKPAM) telah menjatuhkan Putusan

Nomor 1/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 Februari 2011,

yang amar putusannya sebagai berikut :

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon

untuk sebagian;

b. Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...,"

dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3668), beserta

penjelasan Undang-Undang tersebut khu-

susnya terkait dengan frasa "...8 (delapan)

tahun..." adalah bertentangan dengan Un-

dang-Undang Dasar Negara Republik Indo-

nesia Tahun 1945 secara bersyarat (condi-

tionally unconstitutional), artinya inkons-

titusional, kecuali dimaknai "...12 (dua belas)

tahun...";

c. Menyatakan frasa,"... 8 (delapan) tahun...,"

dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3668), beserta

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

52

penjelasan Undang-Undang tersebut

khususnya terkait dengan frasa "...8

(delapan) tahun..." tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat secara bersyarat

(conditionally unconstitutional), artinya

inkonstitusional, kecuali dimaknai "...12 (dua

belas) tahun...";

Dikaitkan dengan putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut Batas umur Anak Nakal yang

dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-

kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin. Kemudian apabila Si Anak melakukan

tindak pidana pada batas umur sekurang-kurangnya

12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan ketika diajukan ke sidang

pengadilan anak yang bersangkutan melampaui batas

18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur

21(dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang

Anak.

Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua

belas) tahun melakukan atau diduga melakukan

tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat

dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. Dan apabila

menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat

bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, atau

orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali

anak tersebut kepada orang tua, wali atau orang tua

asuhnya, Namun jika menurut hasil pemeriksaan,

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

53

Penyidik berpendapat bahwa anak tidak dapat dibina

lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya,

Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada

Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan

dari Pembimbing Kemasyarakatan. Jadi pada intinya

Anak yang belum berusia 12 (dua belas) yang

melakukan tindak pidana tidak diajukan ke sidang

pengadilan anak;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini pun

memutuskan bahwa mengenai penjatuhan pidana

terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana

atau tindakan sebagaimana yang ditentukan dalam

Undang-undang pengadilan Anak tidak ada

perubahan. Penjatuhan Pidana yang dapat dijatuhkan

kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana

tambahan.

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada

Anak Nakal ialah: pidana penjara pidana kurungan,

pidana denda; atau pidana pengawasan.

Pidana tambahan dapat dijatuhkan yaitu berupa

perampasan barang-barang tertentu dan atau

pembayaran ganti rugi. (Ketentuan mengenai bentuk

dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah)

Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan

dengan penerapan pendekatan restorative justice

dalam penanganan anak yang berkonflik dengan

hukum menyatakan bahwa tindakan yang dapat

dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

54

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang

tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti

pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja;

atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau

Organisasi Sosial kemasyarakatan yang

bergerak di bidang pendidikan, pembinaan,

dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat

disertai dengan teguran dan syarat tambahan

yang ditetapkan oleh Hakim.

2. Model Restorative Justice

Model restorative justice di negara-negara

common law sangatlah beragam10 sebagaimana

dikemukakan oleh Jim Dignan bahwa penggunaan

proses restorative justice di dalam kejahatan ringan

yang dilakukan oleh anak muda adalah dengan cara

penggunaan inisiatif polisi atau pun usaha untuk

meminimkan penyelesaian di dalam pengadilan.

Berkaitan dengan model restorative justice, Jim

Dignan berpendapat bahwa ada 3 poin penting yang

perlu dipikirkan yang secara lengkapnya adalah bahwa

The first faultline related to the concept of restorative justice itself, and the way this has been defined by restorative justice advocates. It encompasses an important split between those who conceptualise restorative justice exclusively or primarily

10 Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Yayasan Gema

Yustisia Indonesia, hlm. 127

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

55

in terms of an particulary kind of process and those for whom the concept also extends to outcomes of a particularly kind, irrespective of the decision making process that is involved. The second faultline relates to the focus of different restorative justice practices and the primacy or standing that is accorded to

each of the main stakeholders, victim, offender, community and state, with regard to specific offences. And the third faultline relates to the kind of relationship that is envisaged between retorative justice initiatives, whatever form they take, that the regular criminal justice system. To some extent, as we shaal see, there may be an tendency for attitudes to polarise in a consistent direction or in the sam plane, across all three sets of

faultline and, to that extent, the faultlines themselves may help to delineate a number of quite distinct lines of potential development for restorative justice to take in the future. Or so I shall be arguing.11

But first it is important to expose the three principal fault-lines themselves and the differences of opinion with which they are associated12.

(Poin pertama terkait dengan konsep

keadilan restoratif itu sendiri, dan cara ini telah didefinisikan oleh para

pendukung keadilan restoratif. Hal ini

meliputi perpecahan penting antara

mereka yang membuat konsep keadilan

restoratif secara eksklusif atau terutama

11 Ibid 12 Jim Dignan, Restorative Justice and the Law; The Case for an

integrated Systemic Approach, Paper yang dipresentasikan dalam

The Fifth International Conference of the International Network

for Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul

Positioning Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal

16-19 September 2001, hlm. 5-6

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

56

dalam hal jenis yang khususnya proses

dan mereka yang konsep juga meluas ke

hasil dari sangat baik, terlepas dari proses pengambilan keputusan yang

terlibat. Poin kedua yang berhubungan

dengan fokus praktek keadilan restoratif

yang berbeda dan keutamaan atau

berdiri yang diberikan kepada masing-

masing pemangku kepen-tingan utama, korban, pelaku, masyarakat dan negara,

yang berkaitan dengan pelanggaran

tertentu. Dan poin ketiga berkaitan

dengan jenis hubungan yang

dipertimbangkan antara inisiatif keadilan retorative, bentuk apapun yang mereka

ambil, bahwa sistem peradilan pidana

biasa. Sampai batas tertentu, seperti

yang dapat kita lihat, mungkin ada

kecen-derungan sikap polarisasi dalam

arah yang konsisten atau pada bidang yang sama, di semua tiga poin tersebut

dapat membantu untuk menggambarkan

sejumlah baris cukup berbeda dari

potensi pengembangan keadilan

restoratif untuk mengambil di masa depan.

Tapi pertama-tama, penting untuk meng-

ekspos tiga pokok poin itu sendiri dan

perbedaan pendapat dengan mereka

Jim Dignan, menjelaskan bahwa restorative

justice pada mulanya berangkat dari usaha Albert

Eglash yang berusaha melihat tiga bentuk yang

berbeda dari peradilan pidana. Yang pertama

berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan

utamanya adalah pada penghukuman pelaku atas apa

yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan

dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan

utamanya adalah pada rehabilitasi pelaku kejahatan.

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

57

Dan yang ketiga adalah „keadilan restoratif‟, yang

secara luas disamakan dengan prinsip restitusi.

Eglash dianggap sebagai orang pertama yang

menghubungkan tiga hal tersebut dengan pendekatan

yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang

berbahaya dari tindakan pelaku kejahatan dengan

berusaha untuk secara aktif melibatkan, baik korban

dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk

mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi

pelanggar

Sedangkan proses dari restorative justice dapat

dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan

korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala

hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang

melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh

pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness

work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli

akan dampak dari perbuatannya).

Restorative justice dianggap sebagai salah satu

cara untuk memediasi antara korban dan pelaku

kejahatan dalam usaha untuk menyelesaikan

permasalahan, yang mendepankan kepentingan

korban di atas yang lainnya. Namun demikian,

berdasarkan hasil studi empiris yang telah dilakukan

oleh pakar, masih terdapat banyak perdebatan tentang

bentuk ideal dari restorative justice sebagai wadah

mediasi antara korban dan pelaku yang menekankan

kepentingan korban dari pada yang lain.

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

58

Lagi pula, dalam ajaran restorative justice,

kejahatan jangan hanya dilihat sebagai pelanggaran

terhadap negara dan kepentingan umum. Konflik juga

merepresentasikan terganggu atau terputusnya

hubungan antar individu dalam masyarakat. Hakim

harus mampu menyelesaikan konflik secara adil dan

memuaskan para pihak.

Jim Dignan memberikan pandangan bahwa

model restorative justice harus berkaitan dengan tiga

poin penting yakni, bahwa pertama, pendekatan

restorative justice harus berkaitan dengan konsep

restorative justice itu sendiri, kedua, fokus pada

praktek restorative justice di lapangan dan ketiga,

hubungan antara inisiatif restorative justice dengan

sistem peradilan pidana.13

Selain pandangan Jim Dignan mengenai model

restorative justice tersebut, Jon Braithwaite

mempunyai pandangan adanya 2 model restorative

justice yaitu partially integrated twin track model

restorative justice dan a systemic model of restorative

justice14.

13 Ridwan Mansyur, Op Cit, hlm. 130 14 Braithwaite, The Political agenda of republican criminology,

paper yang dipresentasikan pada British Criminological Society

Conference, York tanggal 27 Juli 1991, Jim Dignan, Restorative Justice and The Law: The Case for an Integrated Systemic

Approach, Paper yang dipresentasikan dalam The Fifth

International Conference of the International Network for

Research on Restorative Justice for Juveniles berjudul Positioning

Restorative Justice diselenggarakan di Leuven tanggal 16-19

September 2001, hlm. 18-21

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

59

Model pertama yakni partially integrated twin

track model restorative justice oleh John Braithwaite

digambarkan dalam diagram sebagai berikut :

ASSUMPTION

Incompetent or irrational

Rational actor

Virtuous actor

Gambar 2.1. Model 1 dari Restorative Justice

Jon Braithwaite

Di dalam model pertama ini, John Braithwaite

menggambarkan bahwa proses restorative justice

berjalan beriringan dengan ukuran kemampuan dan

pencegahan, dan bukannya berjalan bersamaan dalam

satu prinsip restorative justice. Maka dari itu,

fundamental restorative justice hanya diperuntukkan

bagi pelaku kejahatan yang benar-benar menginginkan

adanya perbaikan sehingga dimungkinkan adanya

negosiasi demi restorative justice berlandaskan itikad

baik, sehingga tidak semua pelaku kejahatan dapat

masuk ke dalam model ini untuk menuju negosiasi

yang berasaskan restorative justice.

INCAPACITATI

DETERRENCE

RESTORATIVE JUSTICE

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

60

Sedangkan model restorative justice kedua dari

Jon Braithwaite digambarkan di dalam gambar

berikut:

Gambar 2.2. Model 2 dari Restorative Justice Jon

Braithwaite

Di dalam model kedua ini menggambarkan

model alternatif. Model ini lebih cenderung mengarah

kepada kepuasan dari korban dan bukannya

penghukuman bagi pelaku kejahatan. Pendekatan

yang dilakukan pada sistem peradilan pidana pada

model kedua ini pertama kali dapat dilakukan di

kepolisian maupun badan yang berwenang seperti

kejaksaan atau pun pengadilan. Bentuk restorasi

tersebut misalnya dengan cara pelaku kejahatan

menyatakan permintaan maafnya kepada korban atau

ASSUMPTION

Incorrigible actor who is Determined to inflict serious Harm on others

INCAPACITATION

COURT IMPOSED

PRESUMPTIVE RESTORATIVE

COURT IMPOSED

INFORMAL RESTORAIVE JUSTICE PROCESS OR

REPARATIVE OUTCOMES

Serious or persistence Repeat

offender

Recalcitrant offender Or unwilling

victim

Most offenders

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

61

pun bentuk-bentuk perbaikan bagi korban yang

disetujui oleh pelaku kejahatan dan korbannya. Bagi

pelaku kejahatan yang rasional, ada kalanya pelaku

kejahatan mempunyai niat yang tidak baik dalam

bernegosiasi. Oleh karena itu, John Braithwaite telah

mengantisipasinya dengan menggunakan prinsip

active deterrence. Prinsip ini pada intinya

mengingatkan kepada pelaku kejahatan bahwa apabila

negosiasi gagal, pelaku kejahatan tersebut akan

kembali ke proses penahanan. Jalan keluar bagi

pelaku kejahatan adalah penahanan. Kelemahan dari

model ini adalah lebih cenderung mengarah pada

penghukuman bagi pelaku kejahatan dari pada

penyelesaian berdasarkan restorative justice15.

Kedua model ini dapat berjalan beriringan atau

pun sebegai alternatif pilihan bagi para pihak. Namun

bagi pelaku kejahatan yang tergolong residivis tetap

harus menggunakan daya paksa yang dilakukan oleh

pengadilan melalui putusan yang bersifat restorasi.

Jalan terakhir bagi pelaku kejahatan yang memang

terlalu sering melakukan kejahatan serupa dan tidak

menginginkan perbaikan baik bagi dirinya maupun

korban, maka hanyalah penahanan yang dapat

diberikan.16

Selanjutnya berdasarkan komparasi

implementasi mediasi penal dari beberapa negara,

15 Ibid, hlm, 18-21 16 Ibid, hal. 18-21

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

62

Barda Nawawi mengelompokkan mediasi penal

menjadi enam model yaitu sebagai berikut:17

a. Informal Mediation

Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan

pidana (criminal justice personnel) dalam tugas

normalnya yaitu: (1)Jaksa Penuntut Umum

mengundang para pihak untuk penyelesaian informal

dengan tujuan untuk tidak melanjutkan penuntutan

apabila tercapai kesepakatan;(2) Pekerja sosial atau

pejabat pengawas (probation officer) yang berpendapat

bahwa kontak dengan korban akan mempunyai

pengaruh besar bagi pelaku tindak pidana;(3) Pejabat

polisi menghimbau perselisihan keluarga yang

mungkin dapat menenangkan situasi tanpa membuat

penuntutan pidana;(4) Hakim dapat juga memilih

upaya penyelesaian di luar pengadilan dan

melepaskan kasusnya;

Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam

seluruh sistem hukum.

a. Traditional village or tribal moots

Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu

untuk memecahkan konflik kejahatan di antara

warganya. Model ini di beberapa negara yang kurang

maju dan di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini

mendahului keuntungan bagi masyarakat luas. Model

17 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Makalah yang disampaikan dalam

Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam

Konteks Good Governance, Jakarta, 27 Maret 2007

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

63

ini mendahului model Barat dan telah memberi

inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi

modern. Program mediasi modern sering mencoba

memperkenalkan berbagai keuntungan dari

pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang

disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan

hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

2. Victim offender mediation

Model ini melibatkan berbagai pihak yang

bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk.

Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat

berasal dari pejabat formal, mediator independen atau

kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap

tahapan proses baik pada tahap pembiasaan

penuntutan, tahap kebijaksanaan polisi, tahap

pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada

yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak

pidana, ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk

tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, peram-

pokan dan tindak kekerasan) dan ada yang terutama

ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun

ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk

residivis.

3. Reparation negoitation programmes

Model ini semata-mata untuk menak-

sir/menilai kompensasi atau perbaikan yang harus

dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban,

biasanya pada saat peme-riksaan di pengadilan.

Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

64

antara para pelaku tetapi hanya berkaitan dengan

perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini,

pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja

yang dengan demikian dapat menyimpan uang untuk

membayar ganti rugi/ kompensasi.

4. Community panels or courts

Model ini merupakan program untuk

membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau

peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih

fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur

mediasi atau negosiasi. Pejabat lokal dapat

mempunyai lembaga/badan tersendiri untuk mediasi

itu.

5. Family and community group conferences

Model ini telah dikembangkan di Australia dan

New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat

dalam Sistem Pera-dilan Pidana. Tidak hanya

melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi

juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya,

pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan

para pendukung korban. Pelaku dan keluarga

diharapkan menghasilkan kesepakatan yang

komprehensif dan memuaskan korban serta dapat

membantu untuk menjaga agar si pelaku keluar dari

kesusahan/persoalan berikutnya.

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

65

3. Mediasi sebagai Bentuk Penerapan

Restorative Justice

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) menurut

Wicipto Setiadi adalah mekanisme penyelesaian

sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini,

mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan

dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase,

negosiasi, mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Selain itu

APS dapat diartikan sebagai forum penyelesaian

sengketa di luar pengadilan dan arbitrase18.

Salah satu metode APS yang dikenal dan diakui

hingga berada di dalam Sistem Peradilan adalah

mediasi. Mediasi dikenal sebagai media untuk

menyelesaikan permasalahan. Mediasi dapat diartikan

beragam.

Hal tersebut tampak pada pandangan beberapa

ahli mediasi yang mengartikan mediasi seperti

J. Foberg dan A. Taylor yang mengatakan bahwa

proses yang dilakukan olah para pihak, bersama

dengan pendukung yang netral, mengisolasi isu

sengketa untuk mengembang-kan pilihan-pilihan,

mempertimbangkan alternatif dan mencapai

kesepakatan yang dapat meng-akomodasikan

keinginan mereka19.

18 Wicipto Setiadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam http://www.legalitas.org,, diakses

30 Februari 2014 19 J. Foberg dan A. Taylor, 1984, Mediation: A Comprehensive Guide to Resolving Conflict Without Litigation, hlm. 7

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

66

Sedangkan Laurence Bolle mengartikan mediasi

sebagai proses pembuatan keputusan yang mana para

pihak dibantu oleh pihak ketiga, mediator berusaha

untuk meningkatkan proses pembuatan keputusan

dan untuk membantu para pihak dalam mencapai

hasil yang mereka setujui20

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman

Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan

Hukum mengatur tentang penanganan pendekatan

keadilan restoratif bagi anak yang melakukan tindak

pidana dengan jenis-jenisnya sebagai berikut :

Mediasi korban dengan pelaku

Tujuan mediasi adalah menyelesaikan sengketa

melalui proses perundingan guna memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

mediator. Sebagai mediator adalah pihak netral yang

membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan

penyelesaian tanpa menggunakan cara memutus atau

memaksakan sebuah penyelesaian.

a. Musyawarah Keluarga

Dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara

anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga

pelaku dan keluarga korban dengan difasilitasi oleh

20 Laurence Bolle, 1966, Mediation: Principle, Process, Practice,

hlm. 1

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

67

fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh

kesepakatan dari kedua belah pihak.

Dalam musyawarah keluarga perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut: (1) Keterlibatan pihak-pihak

terkait yang meliputi korban, pelaku, keluarga dan

orang-orang yang dekat dengan anak; (2) Pihak lain

yang perlu dilibatkan yaitu pihak yang mendukung

korban dan pihak yang mendukung pelaku; (3) Hal-hal

lain yang perlu diperhatikan antara lain memberikan

informasi kepada para pihak mengenai tempat, waktu

dan mekanisme pertemuan;

b. Musyawarah Masyarakat

Dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara

anak melalui musyawarah yang melibatkan keluarga

pelaku, keluarga korban dan tokoh

masyarakat/agama dengan difasilitasi oleh seorang

fasilitator dari pihak yang netral agar memperoleh

kesepakatan dari kedua belah pihak.

Dalam musyawarah masyarakat perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (1) Keterlibatan

pihak-pihak terkait meliputi korban, pelaku, keluarga

dan orang-orang yang dekat dengan anak, tokoh

masyarakat/agama dan siapa saja yang dirugikan oleh

perbuatan tersebut;(2) Pihak lain yang perlu dilibatkan

yaitu pihak yang mendukung korban dan pihak yang

mendukung pelaku;(3) Hal-hal lain yang perlu

diperhatikan antara lain memberikan informasi

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

68

kepada para pihak mengenai tempat, waktu dan

mekanisme pertemuan.

Mekanisme penanganan dengan pende-katan

keadilan restoratif yang dijelaskan dalam Peraturan

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan

Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah sebagai

berikut :

a. Penyidik, penuntut umum dan hakim dalam

menyelesaikan perkara anak dengan pendekatan

keadilan restoratif harus mempertimbangkan hal-

hal sebagai berikut:(1) Kategori tindak pidana; (2)

Umur anak;(3) Hasil penelitian kemasyarakatan

dari Balai Pemasyarakatan;(4) Kerugian yang

ditimbulkan;(5) Tingkat perhatian masyarakat; (6)

Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

b. Tahapan dalam musyawarah

1) Tahap menggali informasi

a) Informasi pelaku: (1) Fasilitator

mengadakan perte-muan dengan pelaku

dengan melibatkan pihak terkait (keluarga

dan orang-orang yang dekat dengan pelaku,

pembimbing ke-masyarakatan BAPAS dan

pekerja sosial tanpa melibatkan korban dan

keluarga korban;(2) Penyambutan dan

perkenalan;(3) Fasilitator membacakan

krono-logi perkara dengan rinci; (4) Pelaku

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

69

memberikan kesempatan untuk merespons

kronologi perkara tersebut dan pelaku

dapat menerima atau menolak bertanggung

jawab atas perbuatan tersebut;(5) Bila anak

mengakui perbuat-annya dan mau

bertanggung jawab maka penyelesaian

perka-ra bisa dilanjutkan dengan mu-

syawarah;(6) Namun apabila anak tidak

mengakui perbuatannya maka musyawarah

tidak bisa dilanjutkan dan kasus harus

dikem-balikan ke proses formal;(7) Usaha

harus dilakukan untuk mendorong agar

anak mengatakan apa sebenarnya yang

terjadi.

b) Informasi korban: (1)Fasilitator mengadakan

pertemuan dengan korban dengan

melibatkan pihak terkait (keuarga dan

orang-orang yang dekat dengan pelaku,

pembim-bing kemasyarakatan BAPAS dan

pekerja sosial) tanpa melibatkan pelaku dan

keluarga pelaku; (2) Korban diberi

kesempatan bicara tentang apa yang telah

terjadi bagaimana ia dirugikan dan apa

yang dianggap perlu untuk dilakukan oleh

pelaku agar dapat mengganti kesa-

lahannya; (3) Pertimbangan keluarga.

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

70

Keluarga masing-masing pihak diberi

kesempatan untuk berunding dan harus menjawab

pertanyaan sebagai berikut :

a) Bagaimana anak dapat mengganti kesalahan dengan kebaikan bagi korban,

keluarga dan masyarakat; b) Rencana apa yang anak dapat lakukan

bersama keluarganya untuk mencegah

pengulangan perbuatan tersebut. 2) Negosiasi dan perjanjian

Fasilitator diperlukan untuk me-meriksa hal-hal

sebagai berikut :

a) Apakah rencana ini telah me-menuhi kebutuhan korban;

b) Apakah rencana ini telah meme-nuhi kebutuhan masyarakat;

c) Apakah rencana ini telah realistis dan

dapat dicapai; d) Apakah rencana ini dilakukan dalam

jangka waktu yang relevan; e) Apakah rencana ini dapat diukur; f) Apakah rencana ini layak dan

proporsional; g) Apakah rencana ini melindungi hak anak

dan memajukan perkembangan anak;

h) Apakah rencana ini memprediksi antisipasi apa yang akan dilakukan bila

rencana ini berhasil atau tidak berhasil. Setelah memeriksa rencana tersebut maka

fasilitator mulai melakukan perundingan dengan

melibatkan keluarga pelaku, keluarga korban (untuk

musyawarah keluarga). Untuk musyawarah

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

71

masyarakat perlu juga melibatkan tokoh

masyarakat/tokoh agama.

Keputusan hasil musyawarah harus

mendapatkan persetujuan korban dan keluarganya

serta persetujuan anak sebagai pelaku dan

keluarganya.

Hasil kesepakatan keadilan restoratif dapat

berupa hal-hal sebagai berikut :

a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti

kerugian;

b. Penyerahan kembali kepada orang tua/wali.

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau

pelatihan ke lembaga pendidikan, lembaga

penyelenggara ke-sejahteraan sosial atau

lembaga kesejahteraan sosial;

d. Pelayanan masyarakat.

4. Prinsip-prinsip Restorative Justice

a. Membuat pelanggar bertanggung jawab

untuk memperbaiki kerugian yang

ditimbulkan oleh kesalahannya.

b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar

untuk membuktikan kapasitas dan

kualitasnya di samping mengatasi rasa

bersalahnya secara konstruktif.

c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga

besar, sekolah dan teman sebaya.

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8391/3/T2_322012002_BAB II.pdf · anak yang berhadapan dengan hukum. Sehubungan dengan perlindungan

72

d. Menciptakan forum untuk bekerja sama

dalam menyelesaikan masalah.

e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata

antara kesalahan dan reaksi sosial yang

formal.