bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... 2 clara.pdf · 1) audit laporan keuangan ......
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1. Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)
Teori keagenan dapat digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan
bagaimana perilaku pihak-pihak yang terlibat dengan keberadaan suatu usaha
(Astika, 2011:76). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan teori ini sebagai
teori mengenai hubungan keagenan dalam suatu kontrak dimana satu orang atau
lebih (prinsipal) meminta pihak lainnya (agen) untuk melaksanakan sejumlah
pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang
pembuatan keputusan kepada agen. Prinsip utama teori ini adalah adanya
hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (principal) yaitu investor
dengan pihak yang menerima wewenang (agent) yaitu manajer dalam bentuk
kontrak kerja sama yang disebut “nexus of contract”. Jika kedua pihak yang
terlibat dalam kontrak tersebut sama-sama berusaha untuk memaksimalkan utilitas
mereka maka ada kemungkinan bahwa agen tidak akan selalu bertindak untuk
kepentingan terbaik prinsipal.
Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan dalam teori agensi ini, agen
diberi wewenang oleh pemilik untuk melakukan dan mengawasi aktivitas
operasional perusahaan, sehingga agen lebih banyak mempunyai informasi
dibandingkan pemilik. Di sisi lain, dengan tujuan memotivasi agen maka prinsipal
12
merancang kontrak sedemikan rupa sehingga mampu mengakomodasi
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang
efisien merupakan kontrak yang memenuhi dua asumsi, yaitu sebagai berikut:
1) Agen dan prinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen
maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga
tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan
dirinya sendiri.
2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang
berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang
diterimanya.
Kontrak yang dibuat ini diharapkan dapat mengurangi timbulnya agency
problem antara prinsipal dan agen. Namun menurut teori keagenan dari Jensen
dan Meckling (1976), permasalahan keagenan dapat terjadi dan ditandai dengan
adanya perbedaan kepentingan serta distribusi informasi yang tidak lengkap
(asymetry information) di antara pemilik perusahaan dengan agen. Prinsipal
menginginkan laba sebesar-besarnya atau peningkatan nilai investasi dalam
perusahaan. Agen pun pasti memiliki kepentingan pribadi yang ingin dicapai
yakni penerimaan kompensasi sebesar-besarnya atas kinerja yang dilakukan.
Kepentingan ekonomis yang berbeda ini dapat menyebabkan timbulnya asimetri
informasi (kesenjangan informasi) antara pemegang saham (stakeholders) dan
manajemen. Hal ini terjadi karena pihak agen memiliki informasi yang lebih
banyak dibandingkan dengan prinsipal, sedangkan pihak prinsipal memiliki power
yang lebih untuk mewujudkan kepentingannya.
13
Agen dan prinsipal masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda
dalam hubungan keagenan yang terjadi. Adanya perbedaan ini dapat disebabkan
oleh beberapa asumsi mengenai sifat manusia. Eisenhardt (1989) menyatakan ada
tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu: (1) manusia pada
umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya
pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3)
manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan sifat dasar manusia
tersebut manajer akan cenderung berperilaku oportunistik untuk kesejahteraan
pribadinya. Prinsipal di sisi lain, menginginkan pembagian dividen yang besar
dari tingginya tingkat laba yang diperoleh perusahaan.
Teori keagenan juga dapat digunakan untuk menjelaskan kebutuhan akan
audit. Kaitan antara teori keagenan dengan penelitian ini adalah peran dari auditor
sebagai pihak penengah antara prinsipal dan agen. Auditor dianggap mampu
menghubungkan kepentingan pemilik (prinsipal) dan pihak manajemen (agen)
serta melakukan pengawasan terhadap manajemen terkait mandat yang diberikan
kepadanya. Tugas dari auditor adalah memberikan jasa untuk menilai laporan
keuangan yang dibuat oleh agen, mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Selain menentukan kewajaran laporan keuangan tersebut, auditor juga harus
mempertimbangkan kelangsungan hidup perusahaan dalam proses penetapan
opini (Surbakti, 2011).
2.1.2 Auditing
Menurut Arens et al. (2012:4) audit adalah pengumpulan dan evaluasi
bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian
14
antara informasi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus
dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.
Agoes (2008:3) mendefinisikan auditing sebagai suatu pemeriksaan yang
dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap
laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan
pembukuan dan bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan
pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Jusuf (2014:10)
menyampaikan berdasarkan definisi-definisi tentang audit dapat diketahui
beberapa unsur penting yang diuraikan sebagai berikut:
1) Suatu proses sistematik
Auditing merupakan suatu proses sistematik, yaitu pengauditan didasarkan
pada disiplin dan filosofi ilmiah. Sistematis mengandung implikasi yang
berkaitan dengan berbagai hal yaitu perencanaan audit dan perumusan strategi
audit yang merupakan bagian penting dari proses audit.
2) Memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif
Kegiatan ini adalah yang paling utama dalam pengauditan. Jenis bukti yang
diperoleh dan kriteria yang digunakan dapat berbeda-beda antara audit yang
satu dan audit yang lainnya. Bukti yang diperoleh harus diinterpretasikan dan
dievaluasi agar auditor dapat membuat pertimbangan akuntansi.
3) Mengomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan
Dalam hal audit laporan keuangan, pengomunikasian disebut laporan auditor
yang berisi kesimpulan yang dicapai auditor mengenai sesuai tidaknya laporan
15
keuangan dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Pemakai yang
berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi
keuangan seperti pemegang saham, kreditur, calon investor, calon kreditur,
organisasi buruh, dan kantor pelayanan pajak.
Menurut Jusup (2014:14) auditing secara umum dapat digolongkan
menjadi tiga golongan, yaitu dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Audit laporan keuangan (financial statement audit)
Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan
keuangan sebagai keseluruhan yaitu informasi kuantitatif yang akan diperiksa
dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Audit
dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan seperti laporan
posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan ekuitas,
dan laporan arus kas termasuk ringkasan kebijakan akuntansi signifikan dan
informasi penjelasan lain.
2) Audit kepatuhan (compliance audit)
Audit kepatuhan adalah audit yang tujuannya untuk menentukan apakah pihak
yang diaudit telah mengikuti prosedur atau aturan tertentu yang ditetapkan
pihak yang berwenang. Audit kepatuhan untuk suatu perusahaan dapat berupa
penentuan apakah karyawan-karyawan di bidang akuntansi telah mengikuti
prosedur-prosedur yang telah ditetapkan oleh kontroler perusahaan, mengkaji
ulang tarif upah untuk disesuaikan dengan upah minimum yang ditetapkan
pemerintah atau memeriksa perjanjian yang dibuat dengan bankir. Hasil audit
kepatuhan biasanya dilaporkan kepada seseorang atau pihak tertentu yang
16
lebih tinggi yang ada dalam organisasi yang diaudit dan tidak diberikan
kepada pihak-pihak diluar perusahaan.
3) Audit operasional (operational audit)
Audit operasional merupakan review atas setiap bagian dari prosedur dan
metode yang diterapkan suatu entitas dengan tujuan untuk mengevaluasi
efisiensi dan efektivitas. Audit operasional tidak hanya terbatas pada akuntansi
tapi bisa juga meliputi struktur organisasi, operasi komputer, metode produksi,
pemasaran dan bidang lain asalkan auditor menguasai bidang yang diaudit.
2.1.3 Going Concern
Istilah going concern dapat diinterpretasikan dalam dua hal, yang pertama
adalah going concern sebagai suatu konsep dan yang kedua adalah going concern
sebagai opini dalam bidang audit. Sebagai konsep, istilah going concern dapat
diinterpretasikan sebagai kemampuan perusahaan mempertahankan kelangsungan
usahanya dalam jangka panjang. Sementara going concern sebagai opini audit,
istilah opini going concern itu sendiri menunjukkan opini yang diberikan auditor
yang memiliki kesangsian mengenai kemampuan perusahaan untuk melanjutkan
usahanya di masa mendatang (Rahayu, 2007).
17
Penelitian yang dilakukan oleh Setyarno,dkk (2006) menyatakan bahwa going
concern merupakan kelangsungan hidup suatu entitas. Adanya going concern
membuat suatu entitas dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya
dalam jangka panjang dan tidak akan dilikuidasi dalam jangka pendek. SA seksi
341 menyatakan bahwa going concern dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan
keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan hal yang
berlawanan. Biasanya informasi yang secara signifikan dianggap berlawanan
dengan asumsi kelangsungan hidup suatu usaha adalah berhubungan dengan
ketidakmampuan satuan usaha dalam memenuhi kewajibannya pada saat jatuh
tempo tanpa melakukan penjualan sebagian besar aktiva kepada pihak luar secara
bisnis biasa, restrukturiasi utang, perbaikan operasi yang diperlukan dari luar atau
kegiatan serupa lainnya.
Beberapa pertimbangan yang dibuat oleh auditor terkait kesangsiannya
atas kelangsungan usaha auditee dapat dijabarkan menjadi beberapa hal. SA seksi
341 menyatakan bahwa auditor dapat mengidentifikasi informasi mengenai
kondisi atau peristiwa tertentu yang menunjukkan adanya kesangsian besar
tentang kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya
dalam jangka waktu pantas (tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan
keuangan yang sedang diaudit). Contoh kondisi dan peristiwa tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Tren negatif, sebagai contoh, kerugian operasi yang berulang terjadi,
kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha, rasio keuangan
penting yang jelek.
18
2) Petunjuk lain tentang kemungkinan adanya financial distress, sebagai contoh,
kegagalan dalam memenuhi kewajiban utang atau perjanjian serupa,
penunggakan pembayaran dividen, penolakan oleh pemasok terhadap
pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, restrukturisasi utang, kebutuhan
untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, atau penjualan sebagian
besar aktiva.
3) Masalah intern, sebagai contoh pemogokan kerja atau kesulitan hubungan
perburuhan yang lain, ketergantungan besar atau sukses proyek tertentu,
komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, kebutuhan untuk
secara signifikan memperbaiki operasi.
4) Masalah luar yang telah terjadi, sebagai contoh, pengaduan gugatan
pengadilan, keluarnya undang-undang atau masalah-masalah lain yang
kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk beroperasi,
kehilangan franchise, lisensi atau paten penting, kehilangan pelanggan atau
pemasok utama, kerugian akibat bencana besar seperti gempa bumi, banjir,
kekeringan, yang tidak diasuransikan atau diasuransikan namun dengan
pertanggungan yang tidak memadai.
Pertimbangan auditor dalam memberikan opini going concern terhadap
kesinambungan usaha suatu entitas disajikan dalam gambar 2.1 berikut ini:
19
Gambar 2.1 Panduan Bagi Auditor dalam Memberikan Opini Going
Concern
Sumber : SA Seksi 341 Paragraf 19 (SPAP, 2001)
2.1.4 Opini Going Concern
Opini going concern menurut SA seksi 341 merupakan opini yang
dikeluarkan auditor independen, dimana auditor yakin bahwa terdapat kesangsian
YA
TIDAK
TIDAK
TIDAK
YA
YA
YA
YA
TIDAK
TIDAK
Apakah ada kondisi dan
atau peristiwa yang
berdampak terhadap
kelangsungan hidup
entitas ?
SA SEKSI 508
PSA NO. 29
Apakah auditor
sangsi atas
kelangsungan hidup
entitas ?
Apa ada
rencana
manajemen?
Tidak
memberikan
pendapat
Apa rencana
manajemen
dilaksanakan?
Apakah cukup
pengungkapan?
Pendapat Wajar
Tanpa
Pengecualian
Tidak
memberikan
pendapat
Pendapat Wajar
Dengan
Pengecualian atau
Tidak Wajar Pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian dengan paragraf
penjelasan berkaitan dengan
kelangsungan hidup entitas/
penekanan atas suatu hal
(Emphasis of matter)
20
besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya dalam jangka waktu tidak lebih dari satu tahun. Setelah laporan
keuangan diaudit, ia harus mempertimbangkan rencana manajemen dalam
menghadapi dampak merugikan dari kondisi atau peristiwa tersebut. Opini going
concern merupakan audit report yang mengindikasikan bahwa dalam penilaian
auditor terdapat risiko perusahaan tidak dapat bertahan dalam bisnis (Komalasari,
2004).
Menurut Mutchler et al. (dalam Carcello et al., 2000) pemberian opini
going concern merupakan hal yang sangat subjektif. Hal ini yang mengharuskan
auditor untuk dapat menafsirkan informasi kualitatif sama baiknya dengan data
keuangan. SA seksi 341 memberikan pedoman kepada auditor tentang dampak
kemampuan satuan usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
terhadap opini auditor antara lain sebagai berikut:
1) Jika auditor yakin terdapat keraguan mengenai kemampuan satuan usaha
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang
pantas, maka auditor harus:
(1) Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditunjukkan
untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
(2) Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif
dilaksanakan.
2) Jika manajemen tidak memiliki rencana untuk mengurangi dampak kondisi
dan peristiwa terhadap kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
21
kelangsungan hidupnya, maka auditor mempertahankan untuk memberikan
pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion).
3) Jika manajemen memiliki rencana untuk mengurangi dampak kondisi dan
peristiwa di atas, maka auditor menyimpulkan (berdasarkan pertimbangannya
atas efektivitas rencana tersebut) dan:
(1) Jika auditor berkesimpulan bahwa rencana tersebut tidak efektif, maka
auditor menyatakan tidak memberikan pendapat.
(2) Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif dan klien
mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan, auditor menyatakan
pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas.
(3) Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif akan tetapi klien tidak
mengungkapkan dalam catatan laporan keuangan, auditor memberikan
pendapat tidak wajar.
Menurut Vanstraelen (2002), yang termasuk dalam opini going concern
terdiri dari:
1) Laporan yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa
penjelasan (unqualified opinion report with explanatory language).
Jika auditor menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, maka auditor wajib
mengevaluasi rencana manajemen. Apabila auditor telah berkesimpulan
bahwa rencana manajemen dapat secara efektif dilaksanakan maka auditor
harus mempertimbangkan mengenai kecukupan pengungkapan tentang
kelangsungan usaha dalam catatan atas laporan keuangan perusahaan
22
mengenai sifat, dampak kondisi, dan peristiwa yang semula menyebabkan ia
yakin adanya kesangsian mengenai kelangsungan hidup satuan usaha,
mitigating factor dan rencana manajemen. Apabila auditor berkesimpulan
bahwa pengungkapan tersebut memadai maka auditor akan memberikan
pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan mengenai
kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2) Laporan yang berisi pendapat wajar dengan pengecualian (qualified opinion
report).
Opini wajar dengan pengecualian diberikan kepada auditee apabila auditor
menyangsikan kelangsungan hidup perusahaan dan auditee melaksanakan
rencana manajemen untuk mengurangi dampak kondisi ketidakmampuan atas
kelangsungan hidup perusahaan tetapi auditor berkesimpulan bahwa
manajemen tidak membuat pengungkapan dan mengenai sifat, dampak,
kondisi dan peristiwa yang menyebabkan auditor menyangsikan kelangsungan
hidup perusahaan. Auditor harus menjelaskan semua alasan yang menguatkan
pengecualian dan dicantumkan sebelum paragraf pendapat. Auditor juga harus
mencantumkan bahasa pengecualian yang sesuai dan menunjuk ke paragraf
penjelas di dalam paragraf pendapat. Berikut ini adalah contoh paragraf yang
disajikan sebelum paragraf pendapat yang berisi pendapat wajar dengan
pengecualian:
“Prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia mewajibkan
pengungkapan faktor risiko tertentu yang berdampak signifikan terhadap
kondisi perusahaan yang dilaporkan atau operasi perusahaan di masa depan.
Laporan keuangan terlampir tidak berisi pengungkapan tentang dampak
memburuknya kondisi ekonomi Indonesia terhadap kemampuan perusahaan
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Banyak negara di wilayah
23
Asia Pasifik, termasuk Indonesia, mengalami memburuknya kondisi ekonomi
yang terutama sebagai akibat depresiasi mata uang di wilayah tersebut.”
“Menurut pendapat kami, kecuali tidak diungkapkannya informasi
sebagaimana disebutkan dalam paragraf di atas, laporan keuangan yang
kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material,
posisi keuangan perus aha an KXT tanggal 31 Desember 2007, hasil usaha,
serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia”
3) Pendapat tidak wajar (adverse opinion)
Jika pengungkapan di dalam rencana manajemen tidak memadai dan tidak
dilakukan penyesuaian, padahal dampaknya sangat material dan terdapat
penyimpangan dari prinsip akuntansi berterima umum, maka auditor akan
memberikan opini tidak wajar. Paragraf yang berisi penjelasan tentang alasan
yang menyebabkan auditor memberikan pendapat tidak wajar yang
dicantumkan sebelum paragraf pendapat. Berikut ini adalah contoh paragraf
yang disajikan sebelum paragraf pendapat yang berisi pendapat tidak wajar:
“Memburuknya kondisi ekonomi Indonesia berdampak sangat material
terhadap posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan untuk tahun buku
2007. [Uraikan di sini dampak sangat material memburuknya kondisi
ekonomi tersebut terhadap pos pos tertentu dalam laporan keuangan].
Manajemen tidak mengungkapkan hal tersebut dalam laporan keuangan dan
tidak melakukan penyesuaian sebagaimana yang seharusnya dilakukan sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.”
“Menurut pendapat kami, karena dampak tidak dilakukannya
pengungkapan dan penyesuaian sebagaimana disebutkan dalam paragraf di
atas terhadap laporan keuangan tahun buku 2007, laporan keuangan tersebut
di atas tidak menyajikan secara wajar, sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia, posisi keuangan perusahaan tanggal 31
Desember 2007 dan hasil usaha, dan arus kas untuk tahun yang berakhir
pada tanggal-tanggal tersebut.”
4) Tidak menyatakan pendapat (disclaimer of opinion report).
Apabila setelah mempertimbangkan dampak kondisi perusahaan, auditor
menyangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan
24
kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas maka auditor wajib
mengevaluasi rencana manajemen. Dalam hal satuan usaha tidak memiliki
rencana manajemen atau auditor berkesimpulan bahwa rencana manajemen
entitas tidak dapat secara efektif mengurangi dampak negatif kondisi atau
peristiwa tersebut maka auditor menyatakan tidak memberikan pendapat.
Auditor akan memberikan penjelasan atas keputusan untuk tidak memberikan
pendapat pada paragraf sebelum paragraf pendapat. Berikut ini adalah contoh
paragraf yang disajikan sebelum paragraf pendapat yang berisi pernyataan
bahwa auditor tidak menyatakan pendapat:
“Catatan X atas laporan keuangan terlampir berisi ringkasan dampak
memburuknya kondisi ekonomi Indonesia atas posisi keuangan dan hasil
usaha perusahaan dan langkah-langkah yang ditempuh dan rencana yang
dibuat oleh manajemen di dalam merespon kondisi tersebut. Laporan
keuangan terlampir mencakup dampak memburuknya kondisi ekonomi
tersebut, sepanjang hal itu dapat ditentukan dan diperkirakan. Oleh karena
sangat tidak stabilnya kurs mata uang asing dan tarif bunga, yang berakibat
terhadap kurangnya likuidasi dan memburuknya kondisi ekonomi Indonesia,
adalah tidak mungkin untuk menentukan dampak memburuknya kondisi
ekonomi tersebut terhadap kondisi keuangan dan hasil usaha perusahaan
dalam tahun 2008.”
“Karena adanya ketidakpastian besar mengenai kemampuan
perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidup seperti yang kami
kemukakan dalam paragraf di atas, maka keadaan ini tidak memungkinkan
kami untuk menyatakan, dan kami tidak menyatakan, pendapat atas laporan
keuangan tersebut di atas”
2.1.5 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan dilihat dari
besarnya nilai penjualan, nilai equity, atau nilai total aktiva (Putri dkk, 2014).
Besar kecilnya perusahaan juga dipengaruhi oleh kompleksitas operasional,
variabel dan intensitas transaksi perusahaan. Semakin besar aset perusahaan maka
25
modal yang ditanam juga semakin besar. Semakin banyak penjualan maka
mencerminkan banyak perputaran uang. Kapitalisasi pasar yang besar
mengindikasikan bahwa perusahaan semakin dikenal masyarakat. Ukuran
perusahaan yang semakin besar membuat perusahaan tersebut dikenal masyarakat
luas (Hilmi dan Ali, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Machfoedz (dalam Yulia, 2013)
menyatakan bahwa perusahaan dapat dikategorikan menjadi tiga menurut
ukurannya. Ukuran tersebut yaitu:
1) Perusahaan besar
Total aset yang besar dapat mencerminkan bahwa perusahaan tersebut
memiliki ukuran yang besar pula. Perusahaan dikategorikan besar biasanya
merupakan perusahaan yang telah go public di pasar modal dan memiliki aset
sekurang-kurangnya 200 miliar.
2) Perusahaan menengah
Perusahaan digolongkan dalam kategori ini jika memiliki aset antara 2 miliar
sampai 200 miliar
3) Perusahaan kecil
Perusahaan kecil merupakan perusahaan yang memiliki aset kurang dari 2
miliar dan biasanya belum terdaftar di pasar modal
2.1.6 Komite Audit
Komite audit merupakan suatu komite yang secara formal dibentuk oleh
dewan komisaris, bersifat independen dan bertanggung jawab secara langsung
kepada dewan komisaris untuk mengawasi kinerja pelaporan keuangan dan
26
pelaksanaan audit internal dan eksternal serta membantu auditor mempertahankan
independensi terhadap manajemen. Kewenangan komite audit hanya sebatas
memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris, kecuali jika komite audit
mendapatkan kuasa dari dewan komisaris, misalnya untuk menentukan komposisi
auditor eksternal. Perusahaan yang memiliki komite audit biasanya memiliki
manajemen perusahaan yang lebih transparan dan akuntabel (Linoputri, 2010).
Blue Ribbon Committee (dalam Khrisnan, 2005) merekomendasikan bahwa
komite audit harus lebih mengutamakan akuntabilitas. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa manajemen yang ada berkembang dan berpegang pada sistem
pengendalian internal. Jadi secara tidak langsung komite audit dapat membantu
fungsi monitoring sistem internal perusahaan.
Komite audit memiliki peran untuk kepentingan regulator, profesi
akuntansi dan komunitas bisnis. Komite audit secara utama dibentuk untuk
melindungi atau menjaga independensi auditor eksternal serta memperkuat
kedudukan auditor ketika terjadi konflik dengan manajemen. Keberadaan komite
audit dapat mengurangi tekanan dengan cara mendukung auditor eksternal untuk
menghadapi tekanan manajemen (Birkett, 1986).
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada tahun 2006
menerbitkan pedoman good corporate governance bagi perusahaan yang
mewajibkan dewan komisaris untuk membentuk komite audit. Keberadaan komite
audit yang merupakan implementasi dari good corporate governance nantinya
akan bertugas untuk melakukan pengawasan pada pihak manajemen dan auditor
eksternal perusahaan untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang sudah
27
disajikan dengan wajar dan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum. Pembentukan komite audit ini diharapkan nantinya mampu memonitor
hubungan auditor dengan pihak manajemen perusahaan, sehingga independensi
auditor dapat tetap terjaga. Berdasarkan peraturan Bapepam No IX.I.5 tahun 2012
dijelaskan bahwa keberadaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari 3
orang anggota komite audit dimana komisaris independen perusahaan menjadi
ketua komite, sedangkan yang lain adalah pihak ekstern yang independen. Dalam
menjalankan fungsinya, komite audit memiliki tugas dan tanggung jawab antara
lain sebagai berikut:
1) Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan emiten
atau perusahaan publik kepada publik dan/atau pihak otoritas antara lain
laporan keuangan, proyeksi, dan laporan lainnya terkait dengan informasi
keuangan emiten atau perusahaan publik
2) Melakukan penelaahan atas ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan kegiatan emiten atau perusahaan publik
3) Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat
antara manajemen dan akuntan atas jasa yang diberikannya
4) Memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai penunjukan
akuntan yang didasarkan pada independensi, ruang lingkup penugasan, dan fee
5) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan
mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas temuan auditor internal
28
6) Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang
dilakukan oleh direksi, jika emiten atau perusahaan publik tidak memiliki
fungsi pemantau risiko di bawah dewan komisaris
7) Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan
keuangan emiten atau perusahaan publik
8) Menelaah dan memberikan saran kepada dewan komisaris terkait dengan
adanya potensi benturan kepentingan emiten atau perusahaan publik dan
menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi emiten atau perusahaan
publik.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Pemberian Opini Going concern
Ukuran perusahaan adalah salah satu faktor internal perusahaan yang
berpengaruh pada opini going concern. Penelitian yang dilakukan oleh Badera dan
Rudyawan (2009), Kristiana (2012) dan Hidayanti (2014) menyatakan bahwa
ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap pemberian opini going
concern. Menurut Wulandari (2014) ukuran perusahaan tidak berpengaruh
terhadap pemberian opini going concern. Ukuran perusahaan yang diukur melalui
natural logaritma dari total aktiva juga tidak menjadi faktor perusahaan
mengalami kesulitan keuangan atau tidak. Jadi perusahaan besar dan memiliki
nilai aktiva yang besar juga belum tentu menjadikan perusahaan tersebut
mendapatkan opini non going concern. Hal ini bisa disebabkan masalah keuangan
29
lainnya dalam perusahaan, seperti meningkatnya kewajiban, yang akan membuat
perusahaan bisa mendapatkan opini going concern.
Studi yang dilakukan oleh Mutchler (1997) serta Alichia (2013)
menunjukkan hasil yang berbeda dimana auditor lebih sering mengeluarkan opini
going concern pada perusahaan kecil karena auditor mempercayai bahwa
perusahaan besar dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan keuangan yang
dihadapinya daripada perusahaan kecil. Hal ini berkaitan dengan kemampuan
perusahaan besar dalam mendapatkan tambahan dana karena perusahaan besar
dianggap lebih mempunyai operasional dan tatanan entitas yang lebih apik
sehingga nantinya berdampak baik pada pencapaian target. Oleh karena itu,
kreditur maupun investor dalam mengalokasikan dana lebih merasa secure pada
perusahaan besar.
Ballesta dan Garcia (2005) juga berpendapat bahwa perusahaan besar
mempunyai manajemen yang lebih baik dalam mengelola perusahaan dan
berkemampuan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas jika
dibandingkan perusahaan kecil. Oleh karena itu, auditor akan menunda untuk
mengeluarkan opini going concern dengan harapan bahwa perusahaan akan dapat
mengatasi kondisi buruk pada tahun mendatang. Studi yang dilakukan oleh Kevin
et al. (dalam Widyantari, 2011) menyatakan bahwa ukuran perusahaan memiliki
pengaruh terhadap opini going concern. Perusahaan besar memiliki kemampuan
yang lebih baik dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan ketika
perusahaan mengalami financial distress. Berdasarkan uraian tersebut, dalam
penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
30
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada kemungkinan pemberian opini
going concern.
2.2.2 Keberadaan Komite Audit dalam Memoderasi Pengaruh Ukuran
Perusahaan pada Pemberian Opini Going concern
Penelitian Amin (2011), Ardianingsih (2012) serta Sulistya dan Sukartha
(2013) menganalisis pengaruh komite audit terhadap opini going concern. Studi
tersebut melaporkan bahwa keberadaan komite audit tidak memiliki pengaruh
terhadap pemberian opini going concern. Sedangkan hal ini berbeda dengan studi
yang dilakukan Carcello dan Neal (2000) serta Pearce dan Zahra (1992) yang
menyatakan bahwa keberadaan inside dan grey director (komisaris/direktur yang
berasal dari manajemen) kemungkinan dapat mengurangi pemberian pendapat
auditor mengenai kelangsungan hidup usahanya bagi perusahaan yang memiliki
komite audit tetapi mengalami masalah keuangan. Efektivitas komite audit akan
meningkat ketika jumlah anggota komite audit lebih banyak. Hal ini karena
sumber daya yang dimiliki lebih banyak untuk menangani masalah-masalah dalam
perusahaan.
Auditor terkadang dalam penugasan auditnya, mendapatkan tekanan dari
manajemen untuk memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Hal ini dapat
mengganggu independensi dan pemberian opini oleh auditor. Oleh karena itu,
keberadaan komite audit sangat penting untuk meredakan tekanan terhadap
auditor untuk menghasilkan opini yang wajar tanpa pengecualian karena peran
komite audit adalah untuk melakukan pengawasan pada pihak manajemen dan
auditor eksternal perusahaan. Komite audit memastikan bahwa laporan keuangan
yang sudah disajikan dengan wajar dan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang
31
berlaku umum. Pembentukan komite audit ini diharapkan nantinya mampu
memonitor hubungan auditor dengan pihak manajemen perusahaan, sehingga
independensi auditor dapat tetap terjaga (KNKG, 2006). Berdasarkan uraian
tersebut, dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
H2: Keberadaan komite audit memperkuat pengaruh ukuran perusahaan pada
kemungkinan pemberian opini going concern.