bab ii kajian pustaka a. tinjauan umum tentang...

55
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan 1. Pengertian Pemidanaan Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut: 11 “Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturutturut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu”. Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana formil sebagai berikut: 12 1) Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan 11 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, 2005, hlm. 2. 12 Ibid. Hlm. 2.

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 15

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan

    1. Pengertian Pemidanaan

    Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga

    tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada

    umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan

    sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan

    hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut

    sebagai berikut:11

    “Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut

    berturutturut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap

    perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan

    itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana

    seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus

    diperhatikan pada kesempatan itu”.

    Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana

    formil sebagai berikut: 12

    1) Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang

    menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat

    bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan

    11

    Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, 2005,

    hlm. 2. 12

    Ibid. Hlm. 2.

  • 16

    orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas

    pelanggaran pidana.

    2) Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang

    mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil

    terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu,

    atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana

    materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim

    serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim

    Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil

    berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi,

    sedangkan hukum pidana formil dalah aturan hukum yang mengatur cara

    menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.

    Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,

    dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu

    mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban

    juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori

    konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat

    tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut

    melakukan kejahatan serupa.

    Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali

    bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya

    pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya

  • 17

    preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau

    pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap

    perencanaan sebagai berikut:

    a. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;

    b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

    c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

    2. Tujuan Pemidanaan

    Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan

    tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut

    masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian,

    Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada

    Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan,

    Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro,

    yaitu:13

    1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik

    secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun

    menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar

    dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif),

    atau

    13

    Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hlm. 16

  • 18

    2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan

    kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga

    bermanfaat bagi masyarakat.

    Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana

    perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan

    pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa

    bersalah bagi yang bersangkutan.

    Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak

    dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

    P.A.F. Lamintang menyatakan: 14

    “Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan

    yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:

    a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,

    b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan

    kejahatankejahatan, dan

    c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak

    mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain,

    yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak

    dapat diperbaiki lagi”.

    Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang

    tujuan pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas

    14

    P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988, hlm. 23.

  • 19

    tiga. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai

    berikut :

    1) Teori absolut atau Teori Pembalasan

    Teori pembalasan membenarkan pemidanaaan karena seseorang

    telah melakukan tindak pidana. Penganjur teori ini antara lain Immanuel

    Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” (walaupun besok dunia

    akan kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya). Kant

    mendasarkan teorinya berdasarkan prinsip moral/etika. Penganjur lain

    adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan

    kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada

    hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan.

    Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan karena

    itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.Teori absolut atau teori

    pembalasan ini terbagi dalam dua macam, yaitu:

    a. Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada pemenuhan

    kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal

    ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang

    merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan

    kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.

    b. Teori pembalasan subjektif, yang berorientasi pada penjahatnya.

    Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus

    mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yan besar

    disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan

  • 20

    sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.15

    Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas

    dalam pendapat Kant di dalam bukunya “Philoshopy of law” sebagaimana

    dikutip Muladi16

    mengatakan:

    “Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana

    untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri

    maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya

    karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

    Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk

    menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh

    terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum

    resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.Hal ini

    harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari

    perbuatannya, dan perasaan balasdendam tidak boleh tetap ada pada

    anggota masyarakat,karena apabila tidak demikian mereka semua dapat

    dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan

    ituyang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.

    Salah seorang tokoh penganut teori absolut yang terkenal ialah

    Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai

    konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran

    15

    A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004),hlm.145. 16

    Barda Nawawi Arief , 1984, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum UNDIP:

    Semarang.

  • 21

    terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita-

    susila,maka pidana merupakan “Negation Der Nagetion” (peniadaan atau

    pengingkaran terhadap pengingkaran). Pendapat sarjana tersebut diatas

    mendasarkan pada “The Philoshopy of Vengeance” atau filsafat

    pembalasan dalam di dalam mencari dasar pembenar dari pemidanaan.

    Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen

    memberikan karakteristik teori ini sebagai berikut:

    1) Tujuan pidana semata-semata untuk pembalasan;

    2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung

    sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan

    masyarakat;

    3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

    4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

    5) Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan

    tujuannya tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan

    kembali si pelanggar

    2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian/Doeltheorieen)

    Teori ini mendasarkan pandangan kepada maksud dari

    pemidanaanya itu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan

    terjadinya kejahatan. Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk

    masa mendatang. Penganjur teori ini antara lain Paul Anselm Van

    Feurbach yang mengemukakan hanya denga nmengadakan ancaman

  • 22

    pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana

    kepada si penjahat.

    Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan

    teoriabsolut (mutlak). Kalau dalam teori absolut itu tindakan pidana

    dihubungkan dengan kejahatan, maka pada teori relatif ditujukan kepada

    hari-hari yang akan datang, yaitu dengan maksud mendidik orang yang

    telah berbuat jahat tadi,agar menjadi baik kembali.17

    Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalahterletak

    pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatumest" (karena

    orang berbuat kejahatan) melainkan "ne peccetur"(supaya orang jangan

    melakukan kejahatan). Mengenai teori relatifini Andenaes dapat disebut

    sebagai teori perlindungan masyarakat(the theory of social defence) karena

    salah satu tujuannya adalah melindungi kepentingan masyarakat.

    3) Teori Gabungan (vereningingsheorieen)

    Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan

    seperti dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori

    ketiga yang disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori

    ini adalah Rossi (1787 - 1884).

    Teori Rossi disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap

    menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya

    pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia

    17

    Samidjo,Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985),hlm.153.

  • 23

    berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain

    perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.

    Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu

    sebagai berikut :18

    a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan

    itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk

    dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat;

    b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan taat tertib

    masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh

    lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.

    B. Tinjauan Umum Mengenai Jenis-Jenis Pemidanaan Dalam Hukum

    Positif Indonesia

    1. Jenis-Jenis Pemidanaan Menurut KUHP

    Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) telah merumuskan

    jenis-jenis pidana yang diatur dalam pasal 10, sebagai berikut:

    a. Pidana Pokok

    Pidana pokok yang telah diatur dalam KUHP dapat ditarik garis

    besar sebagai berikut:

    1) Pidana mati

    Pidana mati merupakan pidana terberat dari jenis-jenis

    ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10

    18

    Adami Chazawi, 2008, Op.Cit., hlm.166.

  • 24

    karena pidana mati pelaksanaannya berupa perampasan

    terhadap hak hidup manusia, maka dalam menentukan

    hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra

    dikalangan ahli hukum dan masyarakat. Sebagian orang

    berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal

    tertentu, yaitu apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan

    perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat

    membahayakan kepentingan umum. Oleh karena itu, untuk

    menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang

    tegas yaitu dengan pidana mati. Dari pendapat ini tampak jelas

    bahwa secara tidak langsung tujuan pidana adalah untuk

    membinasakan.

    Pendapat lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya

    tidak perlu karena mempunyai kelemahan, yaitu apabila pidana

    mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan

    untuk perbaikan, baik atas pidananya maupun perbaikan atas

    dirinya sendiri.Karena salah satu tujuan pidana adalah untuk

    mendidik ataupun memberikan efek jera agar si pelaku tidak

    mengulangi tindak pidana tersebut.

    Pelaksanaan dari hukuman mati diatur dalam undang-undang

    nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana

    Mati Yang dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan

    Peradilan Umum dan Militer.

  • 25

    2) Pidana Penjara

    Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan

    kemerdekaan. Pidana penjara berupa penjara sementara

    minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana

    seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana

    mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun.

    Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimal ialah 15 tahun.

    Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:

    1. “Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu

    tertentu.

    2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah

    satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

    3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan

    untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal yang

    pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati,

    pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu

    tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu;

    begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat

    dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan

    (residive) atau karena yang telah ditentukan dalam pasal

    52.

    4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak

  • 26

    boleh lebih dari dua puluh tahun”.

    Pengecualian di luar KUHP, yaitu dalam Undang-undang

    Tipikor, maksimum ialah pidana seumur hidup tanpa ada

    pidana mati.

    3) Pidana Kurungan

    Baik hukuman penjara maupun kurungan, keduanya adalah

    bentuk pemidanaan dengan menahan kebebasan seseorang

    karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan

    dalam Pasal 22 KUHP. Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh

    hakim sebagai pokok pidana, tetapi juga dapat menjadi

    pengganti dari pidana denda yang tidak dibayar oleh seorang

    terpidana. Bagi pidana kurungan pengganti pidana denda

    lamanya adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-

    lamanya enam bulan. Akan tetapi, lamanya pidana kurungan

    pengganti pidana denda tersebut dapat diperberat hingga

    selama-lamanya delapan bulan, yakni apabila tindak pidana

    yang telah dilakukan oleh terpidana itu ada hubungannya

    dengan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud di dalam

    Pasal 52 KUHP. Pidana kurungan sebagai pengganti pidana

    denda itu tidak dengan sendiri dijalankan apabila terpidana

    tidak membayar uang dendanya, yakni apabila hakim di dalam

    putusannya hanya menjatuhkan pidana denda saja tanpa

  • 27

    menyebutkan bahwa terpidana harus menjalankan pidana

    kurungan sebagai pengganti pidana denda yang dijatuhkan,

    dalam hal terpidana tidak membayar uang denda yang

    bersangkutan.19

    4) Pidana denda

    Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua

    dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana

    denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana

    denda tersebut olehhakim/pengadilan untuk membayar

    sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu

    perbuatan yang dapat dipidana.

    Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa

    pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu, pidana

    denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh

    orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan

    terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu

    secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana.

    b. Pidana tambahan

    1) Pencabutan hak-hak tertentu

    19

    Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm. 76.

  • 28

    Salah satu pidana tambahan yang diatur dalam pasal 10 huruf b

    adalah pencabutan hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu terpidana

    yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan

    pengadilan ditentukan dalam pasal 35 KUHP sebagai berikut:

    a) Hak memegang atau memangku jabatan pada umumnya

    atau jabatan tertentu. Perlu diketahui bahwa pencabutan

    terhadap jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu itu

    tidak berarti pemecatan dari jabatannya tetapi yang dicabut

    adalah haknya untuk menjalankan jabatan tersebut.

    Kemungkinan bisa terjadi bahwa seorang pejabat haknya

    untuk menjabat telah dicabut oleh hakim, tetapi tetap

    terpidana memangku jabatnnya itu. Keadaan yang demikian

    itu menimbulkan pertentangan hubungan, di satu pihak

    terpidana diancam oleh pasal 227 KUHP, yaitu barangsiapa

    seseorang melakukan sesuatu hak, sedangkan seseorag itu

    tahu dengan suatu keputusan hakim telah dicabut haknya

    untuk menjalankan hak tersebut, sedangkan di lain pihak

    tidak dapat meletakkan jabatannya berdasarkan ketentuan

    peraturan hukum yang bersangkutan, karena seseorang

    tersebut belum dibebaskan oleh yang berwenang atau

    pejabat atasannya dari jabatannya itu.

    Apabila keadaan demikian terjadi, jalan satu-satunya dari

    pertentangan itu yaitu pasal 48 KUHP (overmacht).

  • 29

    Wewenang hakim dalam menetapkan pencabutan hak

    memegang jabatan atau suatu jabatan tertentu itu dibatasi

    ketentuan pasal 35 ayat 2 dimana ditentukan bahwa hakim

    tidak berwenang mencabut hak seseorang atas jabatannya,

    jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan pihak lain untuk

    pemecatan itu.

    b) Hak masuk angkatan bersenjata. Pencabutan itu ditujukan

    kepada hak memegang jabatan untuk angkatan bersenjata

    bukan pencabutan dari jabatan atau kepangkatan.

    c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan

    berdasarkan aturan-aturan umum. KUHP Netherland

    menyebutkan bahwa pemilihan itu diadakan berdasarkan

    perintah UU. Oleh karena itu, hak memilih dan dipilih

    menurut KUHP Indonesia lebih leluasa daripada hak

    memilih dan dipilih menurut KUHP Netherland.

    Maka demikian, hak pilih pasif dan hak pilih aktif di

    Indonesia bukan saja dalam pemilihan umum, tetapi juga

    dalam pemilihan lainnya, misalnya kepala desa. Hal

    tersebut karena pengaturan hukum positif di Indonesia

    berdasarkan bunyi pasal 35 ayat 1 sub 3 KUHP tersebut

    yaitu berdasarkan aturan umum, maka hak pilih pasif dan

    hak pilih aktif tersebut tidak masalah apakah ditentukan

    dalam suatu perundang-undangan yang dibuat oleh

  • 30

    pemerintah pusat, atau ditentukan dalam suatu peraturan

    yang dibuat oleh pemerintah daerah ataukah dalam hukum

    adat. Sudah dianggap tercakup di dalamnya bila peraturan

    itu didasari atas suatu aturan umum yang dibuat oleh

    pemerintah pusat dan kemudian digunakan sebagai dasar

    suatu peraturan daerah atau mengakui dan memperkuat

    suatu aturan adat.

    d) Hak menjadi penasehat (Readman) atau pengurus menurut

    hukum (Gerechtelijke Bewindvoerder), hak menjadi wali,

    wali pengawas, pengampu atas anak sendiri.

    e) Penasehat yang dimaksud disini bukan pembela yang

    ditunjuk atau dipilih sendiri dalam persidangan atau dapat

    disebut dengan Undang-undang pidana dengan penasehat

    seperti yang dimaksudkan oleh KUHPerdata terdapat pada

    pasal 346 yang kemudian dicabut dengan stb.1927 Nomor

    31 jo 390, 421 ialah setiap orang yang oleh hakim diberi

    kuasa melakukan suatu pengurusan (bewind). Penasehat

    menurut pasal 35 ayat 1 sub 4 tersebut tidak berlaku lagi,

    karena pasal 346 BW telah dicabut.

    Pemecatan sebagai wali, wali pengawas, pengampu dan

    pengampu pengawas atas orang lain dari anak-anak,

    demikian juga dari kekuasaan bapak, perwalian dan

    pengampu anak, sejak tahun 1927 telah diatur dalam BW,

  • 31

    sepanjang mengenai golongan penduduk yang tunduk pada

    Undang-undang pidana.20

    2) Perampasan barang-barang tertentu

    Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis

    pidana harta kekayaan, seperti halnya pidana denda. Ketentuan

    mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dapam

    pasal 39 KUHP yang berbunyi21

    :

    1. “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari

    kejahatan atau yang disengaja dipergunakan untuk

    melakukan kejahatan, dapat dirampas;

    2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak

    dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat

    juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal

    yang telah ditentukan dalam undang-undang;

    3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah

    yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas

    barang-barang yang telah disita‟‟.

    Perampasan atas barang-barang yang tidak disita

    sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-

    barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran

    20

    A. Fuad Usfa, Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004) hlm.

    138-141 21

    Kumpulan Kitab Undang- Undang hukum KUH Perdata, KUH P, WIPRESS, hlm. 445

  • 32

    dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti

    paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan

    pengganti ini juga dihapus jika barang- barang yang dirampas

    diserahkan.

    3) Pengumuman Putusan Hakim

    Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP

    yang mengatur bahwa22

    :

    “apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan

    berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang

    lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan

    perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman

    putusan ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-halyang telah

    ditentukan oleh Undang-undang”.

    Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini

    dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat

    terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang

    pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila

    secara tegas ditentuka berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana

    tertentu.

    Ada 3 perbedaan pokok antara pidana pokok dan pidana

    tambahan, yaitu:

    22

    Ibid.

  • 33

    a) Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan atau ditetapkan sendiri

    seperti pidana pokok, tetapi hanya dapat dijatuhkan atau

    ditetapkan di samping pidana pokok. Hal ini ada pula beberapa

    pengecualiannya, dapat dilihat dalam pasal 39 ayat 3 serta pasal

    40 KUHP.

    b) Pidana tambahan itu sifatnya fakultatif (tidak harus), sedang

    pada pidana pokok adalah bersifat imperatif (keharusan).

    Apabila hakim telah yakin pada kesalahan terdakwa, maka

    harus menetapkan salah satu dari pidana pokok, tetapi tidak

    harus menetapkan satu pidana tambahan kecuali ketentuan lain

    mengharuskan dijatuhkannya pidana tambahan. Jadi, Hakim

    bebas apakah hendak menjatuhkan pidana tambahan atau tidak.

    Hal ini juga ada perkecualiannya, misalnya pada pasal 250 bis,

    pasal 261, 257 KUHP.

    c) Pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku

    tanpa terlebih dahulu diadakan suatu pebuatan eksekusi (zonder

    een daad von executie). Pasal 38 ayat 2 KUHP menyatakan,

    bahwa pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim

    dapat dijalankan. Dari ketentuan ini maka berarti bahwa pidana

    tambahan pencabutan hak-hak tertentu ini tidak mulai berlaku

    pada hari mulai dijalani oleh terpidana, sehingga pada saat

    mulai berlakunya dan pada saat berlakunya tidak sama.

  • 34

    2. Jenis-Jenis Pemidanaan Menurut Undang-undang Diluar KUHP

    Adapun mengenai jenis pidana yang dijatuhkan utamanya mengacu

    pada KUHP. Namun, untuk hukum pidana khusus atau perundang-

    undangan diluar KUHP, terdapat perluasan atau penambahan jenis pidana.

    Berikut adalah jenis-jenis pidana yang diatur di perundang-

    undangan diluar KUHP.

    a. Pidana Tutupan

    Pidana tutupan hanya dapat dijatuhkan apabila orang tersebut

    melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara,

    meningat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi

    pidana tutupan dan terdakwa yang melakukan tindak pidana

    karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.

    Pengecualiannya adalah jika cara melakukan dan akibat dari

    tindak pidana tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih

    tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

    b. Pidana pengawasan

    Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang

    melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara

    tujuh tahun. Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada

    terdakwa mengingat eadaan pribadi dan perbuatannya, dengan

    syarat-syarat:

    1) Terpidana tidak akan mengulangi melakukan tinak pidana;

    dan

  • 35

    2) Terpidana dalam kurun waktu tertentu lebih yang singkat

    dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau

    sebagian kerugian yang timbul karena tindak pidana yang

    dilakukan;atau

    3) Terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan

    perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan

    beragama dan kemerdekaan politik. Pengawasan dilakukan

    oleh pejabat pembina dari Departemen Kehakiman dan

    dapat meminta bantuan kepada pemerintah daerah, lembaga

    sosial, atau orang lain.

    c. Pidana kerja sosial

    Pidana kerja sosial dapat diterapkan apabila pidana penjara yang

    dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang

    denda yang tidak lebih dari kategori I maka pidana penjara atau

    pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.

    d. Pidana bersyarat

    Menurut pasal 29 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997, pidana

    bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana penjara yang

    dijatuhkan paling lama dua tahun, sedangkan jangka waktu masa

    pidana bersyarat adalah paling lama tiga tahun.

    e. Tindakan

    Dalam pemberian tindakan, pelaku tindak pidana dibagi menjadi

    dua kelompok, yaitu tidak dapat dan kurang dapat

  • 36

    dipertanggungjawabkan. Terhadap pelaku tindak pidana yang

    tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka tidak dapat dijatuhi

    pidana, sedangkan pelaku tindak pidana yang kurang dapat

    dipertanggungjawabkan, pidananya dapat dikurangi atau

    dikenakan tindakan.

    C. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Islam

    1. Pengertian Pemidanaan

    Hukuman dalam istilah pidana Islam sering disebut „uqubah.23

    Sedangkan menurut refrensi lainnya, pidana atau „uqubah diartikan

    sebagai pembalaan dengan keburukan.24

    Untuk itu penulis dalam

    menjelaskan pidana dalam hukum Pidana Islam, akan lebih sering

    memakai istilah pidana daripada istilah hukuman atau „uqubah, agar

    meminimalisasi pemakaian istilah.

    A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk

    balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan

    syara‟ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.

    Tujuan dari adanya hukuman dalam syari‟at Islam merupakan realisasi

    dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni sebagai pembalasan atas

    23

    Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya:

    PustakaProgressif, 1997), hlm. 952 24

    Luis Ma‟lup, Al-Munjid, (Beirut: Daar al-Masayrik, tanpa tahun), Cet. X, hlm. 518

  • 37

    perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus

    serta perlindungan terhadap hak-hak si korban.25

    Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Pidana adalah akibat yang

    timbul dari perbuatan yang melanggar ketentuan Allah SWT dan Rasul-

    Nya.26

    Dari penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang

    dimaksud pidana adalah pembalasan yang ditetapkan atas perbuatan-

    perbuatan yang dilarang baik berdasarkan al-Qur‟an, hadits, maupun

    ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang mempunyai

    kewenangan menentukan hukuman yang bertujuan untuk menciptakan

    kemaslahatan individu dan masyarakat.

    2. Macam-Macam Pemidanaan

    Dalam masalah tindak pidana (criminal act), terdapat dua hal yang

    tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu mata rantai yang tidak akan

    pernah terputus, yaitu kejahatan dan hukuman. Suatu bentuk perintah dan

    larangan saja tidaklah cukup untuk mendorong seseorang meninggalkan

    suatu perbuatan atau melaksanakannya, untuk itulah diperlukan sanksi

    berupa hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya.27

    Pidana dalam

    kajian hukum pidana Islam (fiqh jinayah) dikelompokkan dalam beberapa

    jenis, yaitu:

    25

    A. Rahman Ritonga, dkk.,Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermassa, 1997),

    hlm. 19. 26

    Abdul Aziz Dahlan, dkk.,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Uctiar Baru Van

    Hoeve, 1996), hlm. 1971. 27

    Abdul Salam, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Ideal, 1987), hlm. 52.

  • 38

    1) Pidana dilihat dari pertalian hukuman yang satu dengan yang

    lainnya. Dalam hal ini ada empat macam:

    a) Pidana pokok, yaitu pidana yang diterapkan secara definitif,

    artinya hakim hanya menerapkan sesuai apa yang telah

    ditentukan oleh nash.Dalam fiqh jinayah hukuman ini

    disebut sebagai jarimah hudud.

    b) Pidana pengganti, pidana yang diterapkan sebagai pengganti

    karena pidana pokok tidak dapat diterapkan dengan alasan

    yang sah/benar.Misalnya qishash diganti dengan diyat, dan

    diyat diganti dengan dimaafkan.

    c) Pidana tambahan, yaitu pidana yang menyertai pidana

    pokok tanpa adanya keputusan hakim tersendiri. Misalnya

    bagi pelaku qazaf diberlakukan hukuman berupa hilangnya

    hak persaksian dirinya, dan hilangnya hak pewarisan bagi

    pelaku pembunuhan.

    d) Pidana pelengkap, yaitu tambahan pidana pokok dengan

    melalui keputusan hakim secara tersendiri. Misalnya selain

    dipotong tangannya bagi pelaku pencurian juga diberi

    tambahan hukuman dengan dikalungkannya tangan di

    lehernya.

    2) Pidana dilihat dari kewenangan hakim dalam memutuskan perkara.

    Dalam hal ini ada dua macam:

  • 39

    (1) Pidana yang bersifat terbatas, yakni ketentuan pidana yang

    ditetapkan secara pasti oleh nash, atau dengan kata lain,

    tidak ada batas tertinggi dan terendah. Misalnya hukuman

    dera 100 kali bagi pelaku zina dan hukuman dera 80 kali

    bagi pelaku penuduh zina.

    (2) Pidana yang memiliki alternatif untuk dipilih.

    3) Pidana dilihat dari obyeknya. Dalam hal ini ada tiga macam:

    (a) Pidana jasmani, seperti potong tangan, rajam dan lainnya.

    (b) Pidana yang berkenaan dengan psikologis, ancaman dan

    teguran.

    (c) Pidana benda, ganti rugi, diyat dan penyitaan harta.28

    3. Tujuan Pemidanaan

    Ahmad Hanafi berpendapat bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan

    pidana adalah pencegahan serta pendidikan.29

    Pengertian pencegahan

    disini adalah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan

    jarimahnya atau tidak terus menerus melakukan perbuatannya, dan

    mencegah orang lain agar tidak melakukannnya.

    Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan

    sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:

    28

    Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Bidang Akademik

    UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 116-117. 29

    Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum PidanaIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),hlm.

    191

  • 40

    a. Pembalasan (revenge)

    Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada

    orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan

    kepada orang lain.

    b. Penghapusan Dosa (ekspiation)

    Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang

    bersumber dari Allah.

    c. Menjerakan (detern).

    Kenyataan inilah yang juga sering dirujuk sebagai bukti efektifitas

    hukuman hadd yang dituntunkan oleh Al-Qur‟an dan hadis Nabi.

    Terhadap teori penjeraan ini kita pun dapat memahami mengapa

    beberapa hukuman yang dituntunkan dalam pidana Islam, seperti

    hukuman untuk perzinahan, misalnya, harus dilakukan di depan orang

    banyak. Tujuan penjeraan yang umum kepada publik, yaitu agar takut

    berbuat hal yang serupa, tentunya menjadi alasan rasional dibalik

    ketetapan ini.

    d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the

    criminal).

    Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan

    perilaku jarimun Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari

    keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu,

    sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang

  • 41

    lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi

    rahmat kepadanya.

    Abdul Qadir Awdah, seorang ahli hukum pidana dari mesir

    mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan

    dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana

    dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana

    sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala

    bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat,

    sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan

    perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk

    tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan

    ketentraman masyarakat yang menghendaki.30

    Tujuan hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya

    tujuan pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:

    “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

    keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

    30

    Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: Logung Pustaka,

    2007), Hlm. .

  • 42

    sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha

    Bijaksana”. (QS: al-Maidah: 38)31

    “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-

    tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas

    kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama

    Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah

    (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang

    yang beriman”. (QS. an-Nur: 2)32

    Dari ayat di atas secara substansial menunjukan adanya unsur

    pembalasan yang dikehendaki bagi pelanggar undang-undang dan harus

    dilakukan di depan umum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan tujuan

    pemidanaan dalam islam sebagai berikut:

    1) Pemidanaan sebagai pembalasan (retribution), artinya setiap perbuatan

    yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan

    ketentuan nash. Jangka panjang aspek ini adalah pemberian

    perlindungan terhadap masyarakat luas (Socialdefence). Contoh

    hukum qisas.

    31

    www.theonlyquran.com diakses pada tanggal 27 September 2015 pukul 16.00 WIB 32

    www.theonlyquran.com diakses pada tanggal 27 September 2015 pukul 16.00 WIB

    http://www.theonlyquran.com/http://www.theonlyquran.com/

  • 43

    2) Pemidanaan sebagai pencegahan kolektif atau general prevention

    artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk

    tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh: orang berzina harus didera

    dimuka umum sehingga orang lain melihat dan diharpkan tidak

    melakukan perzinaan.

    3) Pemidanaan dimaksud sebagai special prevention (pencegahan khusus)

    artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan

    sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi,

    dalam aspek ini terkandung nilai treatment.33

    Oleh karena tujuan pemidanaan adalah pencegahan, maka besarnya

    hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut,

    tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dan demikian

    terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian

    keadaannya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukumanta‟zir,

    menurut perbuatannya. Selain pencegahan syari‟at Islam bertujuan juga

    untuk memberikan perhatiannya kepada diri pembuat sendiri, bahkan

    memberikan pelajaran dan mengusahakan yang terbaik bagi pembuat

    jarimah. Disamping untuk diri pembuat, penjatuhan pidana juga bertujuan

    untuk membentuk masyarakat yang baik.34

    33

    Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.

    288-290. 34

    Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 256-257.

  • 44

    D. Tinjauan umum mengenai Tindak Pidana Korupsi

    1. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi

    Menurut Fockema Andreae35

    kata Korupsi berasal dari bahasa

    Latin corruptio atau corruptus (Webster StudentDictionary: 1960).

    Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata corrumpere,

    suatu kata Latin yang lebih tua.Dari bahasa latin itulah turun ke banyak

    bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt, : Perancis, yaitu

    corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat

    memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke

    bahasa Indonesia, yaitu “Korupsi”.36

    Korupsi dapat diartikan memungut uang bagi layanan yang sudah

    seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapaitujuan

    yang tidak sah.Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau

    sengaja.37

    Secara umum, korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat

    public yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi,

    keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara.38

    35

    Kamus Hukum, Fockema Andreae. (Bandung: Bina Cipta, 1983) huruf c. Terjemahan

    Bina cipta 36

    Andi Hamzah, 2008, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional

    danInternational,(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm 4. 37

    Robert Klitgaard, dkk.,Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah,

    (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm, 5. 38

    Dwi Saputra, dkk.,Tiada Ruang Tanpa Korupsi, (Semarang: KP2KKN Jawa Tengah,

    2004), hlm, 6 dan 7.

  • 45

    Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,

    ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,

    kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.39

    Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata

    bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus

    Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan buruk seperti

    penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.40

    Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” yaitu gejala

    dimana para pejabat, badan-badan Negara, menyalahgunakan wewenang

    dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidakberesan lainnya.

    Selain itu, korupsi dapat didefinisikan sebgai penyalahgunaan

    kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup

    perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai

    negeri yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melawan

    hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan

    menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.41

    Adapun Henry Cambell (1991) dalam bukunya yang berjudul

    Black‟s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang

    dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak

    resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan

    jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk

    39

    Andi Hamzah, op. cit, hlm 5. 40

    Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.1976. 41

    Jeremy Pope,Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional,

    (Jakarta: Transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 6 dan 7.

  • 46

    dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-

    hak dari pihak lain.42

    Menurut perspektif hukum Indonesia, definisi korupsi secara

    gamblang telah dijelaskan dalam tiga belas buah pasal dalam Undang-

    undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 20

    Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia

    Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    (UU PTPK). Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam

    30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut

    secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara

    korupsi.

    Korupsi sebagai gejala yang universal, sudah muncul sejak ratusan

    tahun yang lalu dan timbul karena ketidakmampuan seseorang atau

    sekelompok orang untuk menahan hawa nafsu dan ketamakannya untuk

    memperkaya diri sendiri. Ketamakan ini didukung dengan adanya sistem

    akuntabilitas pemerintahan yang lemah. Korupsi di Indonesia dari tahun ke

    tahun terus meningkat karena adanya beberapa faktor internal dan

    eksternal. Faktor internal mencakup dua hal yaitu adanya dorongan

    kebutuhan (corruption by needs) dimana seseorang melakukan tindak

    pidana korupsi karena terpaksa akibat desakan kebutuhan, misalnya gaji

    yang diterima tidak mencukupi. Dan dorongan ketamakan (corruption by

    42

    Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 137

  • 47

    greeds), dimana seseorang melakukan korupsi bukan karena desakan

    kebutuhan hidup, tetapi karena keinginan untuk hidup mewah. Faktor

    eksternal antara lain adalah lingkungan yang mendukung, misalnya sikap

    permisif masyarakat terhadap tindakan korupsi. Disamping itu juga

    terdapat peluang untuk melakukan korupsi karena pengawasan yang lemah

    dan terlalu longgar. Kecenderungan sikap masyarakat ini tidak lepas dari

    budaya materialistik yang mengukur keberhasilan seseorang dari harta

    yang dimilikinya tanpa melihat asal harta tersebut didapatkan.

    Korupsi memang bukan fenomena baru di Indonesia. Pada masa

    pemerintahan Orde Lama gejala munculnya penyakit korupsi juga telah

    nampak, yang kemudian melahirkan Peraturan Penguasa Perang Perang

    Pusat Kepala Staf Angkatan Darat berupa peraturan Nomor

    Prt/Peperpu/C13/1958 yang dijadikan dasar untuk melakukan

    pemberantasan korupsi. Peraturan ini cukup lengkap, karena terdapat

    sistem pendaftaran harta benda pejabat publik oleh Badan Pemilik Harta

    Benda dan juga terdapat peraturan tentang pengajuan gugatan perdata

    berdasarkan perbuatan melanggar hukum bagi orang yang mempunyai

    harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya. Peraturan ini

    dinilai lebih lengkap dibandingkan dengan peraturan sejenis yang lahir

    sesudahnya karena memuat upaya pemberantasan korupsi melalui jalur

    tuntutan pidana maupun gugatan perdata, disertai sistem preventif berupa

    pendaftaran harta benda pejabat. Peraturan ini kemudian dikoreksi oleh

    Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 yang menghilangkan jalur

  • 48

    preventif dan gugatan perdata sehingga praktis upaya pemberantasan

    korupsi masa pemerintahan orde lama tidak efektif karena tidak membawa

    pelaku tindak pidana korupsi ke meja hijau.

    Memasuki era reformasi, mengingat selama 32 tahun masa orde

    baru masyarakat harus menerima kenyataan tidak dapat berbuat banyak

    meskipun korupsi marak terjadi, beberapa undang-undang yang bertujuan

    untuk melakukan pemberantasan korupsi diterbitkan seperti Undang-

    undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan

    Yang Bersih dan Bebas KKN, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Jo

    Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi

    dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan

    Tindak Pidana Korupsi. Dalam era reformasi, pemberantasan korupsi

    cukup kuat dan berdasarkan pada pasal 2 Undang-undang Nomor 30

    Tahun 2002 dibentuklah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    2. Jenis-Jenis Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi

    Berdasarkan ketentuan Undang-Undang PTPK, jenis penjatuhan

    pidana yang dapat dilakukan hakim terhadapterdakwa tindak pidana

    korupsi adalah sebagai berikut43

    :

    a. Pidana Mati

    Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan

    hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

    43

    Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: sinar grafika, 2009), hlm, 12.

  • 49

    atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

    perekomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Adapun yang

    dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku

    tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada

    waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang

    yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai

    pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam

    keadaan krisis ekonomi (moneter).

    b. Pidana Penjara

    Dalam hukum pidana korupsi terdapat 2 (dua) jenis pidana pokok

    yang dijatuhkan bersamaan, yakni pidana penjara dan pidana denda.

    Dalam penerapannya sistem penjatuhan pidana pokok tersebut terbagi 2

    (dua) macam. Pertama, penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang

    bersifat imperatif, dimana antara pidana penjara dan pidana denda wajib

    dijatuhkan secara serentak. Sistem imperatif-kumulatif ini diancamkan

    pada tindak pidana korupsi yang palit berat. Adapun yang kedua yaitu

    penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang bersifat imperative dan

    fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Diantara 2

    (dua) jenis pidana pokok ini yang wajib dijatuhkan ialah pidana penjara

    (imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan

  • 50

    pidana denda (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana

    penjara. Mengenai sifat fakultatif ini, jika dibandingkan dengan KUHP,

    sifat penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana

    tambahan. Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini

    dirumuskan pada Pasal 3, Pasal 5,Pasal 7, Pasal10, Pasal 11, Pasal 13,

    Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU PTPK.

    Selanjutnya mengenai ancaman minimum dan maksimum,dalam

    UU PTPK, pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan

    ancaman minimum dan maksimum khusus, baik mengenai pidana

    penjara maupun pidana denda. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang

    ada dalam KUHP dimana dalam pemidanaannya hanya diatur ancaman

    pidana maksimum umum dan minimum umum.

    c. Pidana tambahan

    Pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39

    Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang

    berbunyi :

    1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalamKitab

    Undang-undang HukumPidana,sebagai pidanatambahan

    adalah:

    a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atautidak

    berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan

    untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

  • 51

    termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak

    pidana korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang

    menggantikan barang-barang tersebut;

    b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-

    banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh

    dari tindak pidana korupsi;

    c) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk

    waktu paling lama 1 (satu) tahun;

    d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertantu atau

    penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,

    yang telah atau dapatdiberikan oleh Pemerintah kepada

    terpidana.

    2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama

    waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah

    memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya

    dapat disita oleh jaksa dan dapat dilelang untuk menutupi

    uang pengganti tersebut.

    3) Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang

    mencukupi untuk menbayar uang pengganti sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan

    pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman

    maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan dalam

  • 52

    undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah

    ditentukan dalam putusan pengadilan.

    d. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya

    Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan

    pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada

    kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan

    salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara

    Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan

    gugatan perdata kepada ahli warisnya.

    e. Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama

    Suatu Korporasi

    Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan

    ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini

    melalui prosedural ketentuan Pasal 20(ayat 1-6) Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 1999 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi.

    E. Tinjauan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia

    1. Hak Asasi Manusia di Indonesia

    Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) menurut pasal 1

    Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah seperangkat

  • 53

    hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

    Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

    dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah,

    dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

    manusia.

    HAM atau sebenarnya lebih tepat disebut dengan istilah “hak-hak

    manusia” (human rights) adalah hak-hak yang diakui secara universal

    sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat

    kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan universal sebab hak-hak

    ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak

    peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang

    kultural, dan agamanya. Dikatakan melekat atau inheren karena hak-hak

    itu dimiliki siapapun berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan

    bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun.

    Karena dikatakan melekat itu pula maka pada dasarnya hak-hak ini tidak

    sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.44

    Indonesia menyusun UUD 1945 sebelum adanya The Universal

    Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang

    tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para founding

    father Indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945. Rapat besar

    BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan

    memori tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan

    44

    Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar;iyah Etika Politik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),

    hlm. 153-154.

  • 54

    dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak

    asasi manusia dapat dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945,

    yaitu sebanyak tujuh pasal saja.

    Dalam perjalanan sejarah, Konstitusi Republik Indonesia Serikat

    (RIS) 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang

    pernah berlaku selama sekitar 10 tahun (1949-1959), justru memuat pasal-

    pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan

    dengan UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa kedua UUD tersebut

    mendasarkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM pada

    pernyataan umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

    Human Rights) yang mulai berlaku pada tanggal 10 Desember 1948.

    Pada tahun 1949, setelah aksi militer kedua dan dalam rangka

    persiapan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat, suasana dunia

    sedang diliputi berbagai macam gejolak. Sehingga merasa perlu dibentuk

    Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10

    Desember 1948. Karena itu, dalam perundingan antara delegasi BFO dan

    delegasi Republik Indonesia, didapatkan kesepakatan untuk memasukkan

    seluruh ketentuan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS 1949. Oleh

    karena itu, UUD RIS 1949 termasuk konstitusi pelopor di dunia yang

    mengadopsi ketentuan DUHAM secara utuh dan lengkap sebagai tindak

    lanjut deklarasi PBB pada bulan desember 1948 tersebut.

    Berdasarkan konstitusi RIS 1949, pengaturan tentang HAM

    terdapat dalam bagian V yang berjudul “hak-hak dan kebebasan-

  • 55

    kebebasan dasar manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari

    pasal 7 sampai dengan pasal 33. Pasal-pasal tentang HAM yang hampir

    keseluruhannya serupa dengan konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam

    UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam bagian V yang

    berjudul “hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia”. Bagian ini

    sendiri dari 28 pasal, dari pasal 7 sampai dengan pasal 34.

    2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

    Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang

    kemudian, menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam

    suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena

    itu, manusia, menurut pandangan Islam, adalah umat yang satu.

    Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama

    derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia. Manusia adalah

    bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan

    orang lain. Diceritakan, ketika Umar bin Khatab mendengar bahwa

    gubernurnya di Mesir, Amru bin „Ash, bersikap kasar terhadap penduduk

    Mesir ia berkata: “sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal

    mereka dilahirkan ibu-ibu mereka bebas?”45

    Sejalan dengan ajaran kebebasan manusia dalam Islam, al-Qur‟an

    menyebutkan:

    45

    Harun Nasution dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka

    Firdaus, 1955), hlm. X.

  • 56

    “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);

    Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.

    Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut46

    dan beriman

    kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali

    yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi

    Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 256)47

    Ayat ini cukup membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh

    agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang,

    dan orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”.

    Sejarah telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan

    yang terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum

    musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para muslim. Inilah

    sebabnya, para muslim tidak lagi memerangi para musyrik ketika mereka

    telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula dengan membayar

    jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.48

    Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula

    46

    Thaghut ialah setan dan apa saja yang disembah selain Allah AWT. 47

    www.theonlyquran.com diakses pada tanggal 30 September 2016 pukul 20.00 WIB 48

    Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur‟anul Majid an Nuur,

    (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451.

    http://www.theonlyquran.com/

  • 57

    timbul kebebasan manusia yang lainnya. Seperti kebebasan

    darikekurangan, rasa takut, menyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan

    dari penganiayaan dan penyiksaan.49

    Hal ini mencakup semua sisi dari apa

    yang disebut hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak

    berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, hak mendapat

    pekerjaan, hak memproleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak

    berkeluarga dan hak diperlakukan sebaga manusia yang terhormat (mulia)

    dan sebagainya.

    Pada saat Nabi Muhammad SAW di Madinah mendeklarasikan

    perjanjian tertulis pertama di dunia yang menyatakan secara tegas dalam

    pasal 1 bahwa “Ínnahum ummatan wahidatan min duuni al-naas (artinya:

    Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain dari (komunitas)

    manusia lain)”. Pada abad ke 6 disaat Eropa sedang dalam masa

    kegelapan, masyarakat Madinah dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad

    SAW telah menekankan betapa pentingnya hidup berdampingan, saling

    menjaga kehormatan dan harta benda, serta saling menghormati terutama

    agama dan kepercayaan kaum Yahudi dan Muhajirin. Inilah dasar-dasar

    pertama konstitusi modern yang menekankan perlindungan HAM secara

    universal.50

    Hak asasi manusia dalam Islam sebagaimana termaktub dalam

    49

    Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan

    PErbedaan Islam & Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), jil. 1, hlm. 16. 50

    Setidaknya ada 11 prinsip HAM yang terkandung dalam Piagam Madinah, antara lain:

    a) Masyarakat pendukung Piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau dari sisi asal keturunan, budaya maupun agama yang dianut. Tali pengikat persatuan adalah politik

    dalam rangka mencapai cita-cita bersama (pasal 17, 23, dan 24);

    b) Masyarakat pendukung semula terpecah belah dikelompokkan dalam kategori muslim dan non-muslim. Tali pengikat sesama muslim adalah persaudaraan seagama (pasal 15).

    Diantara mereka harus ada rasa solidaritas yang tinggi (pasal 14, 19, dan 21)

  • 58

    fikih menurut Masdar F. Mas‟udi,51

    memiliki lima prinsip utama yaitu:

    (1) Hak perlindungan terhadap jiwa

    Kehidupan merupakan sesuatu hal yang sangat niscaya dan tidak

    boleh dilanggar oleh siapa pun. Maka barang siapa yang secara

    sengaja melanggar kehidupan orang lain, dia harus dihukum setimpal

    supaya orang itu tidak melakkukan hal yang sama di tempat lain.

    (2) Hak Perlindungan Keyakinan

    Perlindungan keyakinan ini dituangkan dalam ajaran La Iqrah

    fidhien (tidak ada pemaksaan dalam beragama) atau Lakum

    dienukum waliyadien (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Oleh

    sebab itu, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan dalam memeluk

    agama. Etapi dalam sejarah kemudian menurut Masdar F. Mas‟udi,

    hak perlindungan atas agama ini diterjemahkan dalam aturan hukum

    yang memberi ketentuan keras terhadap orang yang pindah agama.

    c) Negara mengakui dan melindungi kebebasan melakukan ibadat bagi orang-orang non-

    muslim, khususnya Yahudi (pasal 25-30);

    d) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk (pasal 16).

    Bahwa orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (pasal 11);

    e) Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (pasal 24, 36, 37, 38, dan 44);

    f) Seiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (pasal 34, 40, dan 46);

    g) Hukum adat (tradisi masa lalu) dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan (pasal 2 dan 10);

    h) Hukum harus ditegakkan, siapapun tidka boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan kebenaran, siapapun

    pelaku kejahatn harus dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22, dan 43);

    i) Pedamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan (pasal 45);

    j) Hak setiap orang harus dihormati (pasal 12); k) Pengakuan terhadap hak milik individu (pasal 47).

    51 Masdar F. Mas‟udi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Dala Sobirin Malian dan

    Supaman Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UII

    Press, 2003), hlm. 103-104.

  • 59

    Padahal dalam konteks yang paling mendasar (al-Qur‟an), tidak ada

    pemaksaan dalam ketentuan memeluk agama.52

    (3) Hak Perlindungan Terhadap Akal Pikiran

    Hak perlindungan terhadap akal pikiran ini diterjemahkan dalam

    perangkat hukum yang sangat elementer, yakni tentang haramnya

    makan atau minum yang bisa merusak akal pikiran. Barang siapa

    yang melanggar hal itu hukumannya cukup keras. Hukuman yang

    keras dimaksud sebagai perlindungan terhadap akal pikiran.

    Sebenarnya dari penjabaran yang elementer ini bisa ditarik lebih

    jauh, yakni perlindungan kebebasan berpendapat, dan hak

    memperoleh pendidikan.

    (4) Hak Perlindungan Terhadap Hak Milik

    Perlindungan ini diterjemahkan dalam hukum tentang keharaman

    mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencuri hak milik yang

    dilindungi secara sah. Kalau diterjemahkan lebih luas, hak ini dapat

    dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang

    layak, hak cipta, dan hak kekayaan intelektual.

    (5) Hak Berkeluarga atau Hak Memperoleh Keturunan dan

    Mempertahankan Nama Baik

    Hak ini diterjemahkan begitu keras terutama bagi mereka yang

    melakukan perbuatan zina. Orang yang menuduh seseorang berbuat

    zina haruslah membuktikan dengan bukti 4 orang saksi seperti yang

    52

    Ibid, hlm. 104

  • 60

    terdapat di dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 4. Jika tidak terbukti

    maka seseorang itu tidak dapat dipersalahkan.

    Kebebasan manusia dalam Islam tidak bersifat mutlak (absolut).

    Hak yang bersifat absolut itu, menurut Islam, hanya milik Allah. Allah

    adalah pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta termasuk

    manusia itu sendiri. Berdasarkan ini pula manusia tidak boleh semena-

    mena dalam menggunakan haknya. Manusia punya kewajiban mematuhi

    perintah dan larangan-Nya. Kesemuanya itu adalah dalam rangka

    kemaslahatan manusia dan kebaikan seesta (rahmatan lil „alamin).

    Sebagai contoh, hak hidup disertai dengan kewajiban memelihara

    dan menghormati hidup orang lain, hak mengumpulkan harta diimbangi

    dengan kewajiban mengumpulkannya secara halal, dan kewajiban

    mengeluarkan zakatnya, kebebasan berbicara harus pula disertai dengan

    kewajiban memelihara perasaan serta kehormatan diri orang lain agar tidak

    tersakiti. Demikian pula dengan hak memperoleh ilmu diimbangi dengan

    kewajiban mengajarkannya kepada orang lain. Pendeknya, pembicaraan

    mengenai hak di dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan

    tentang kewajiban, dan tidak bisa berdiri sendiri.

    3. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

    Secara harfiyah, kata hak berarti kewenangan untuk sesuatu atau

    tidak melakukan sesuatu. Adapun kata asasi berasal dari kata asas yang

  • 61

    berarti dasar, alas, dan fondasi, yaitu “sesuatu yang menjadi tumpuan

    berfikir atau berpendapat”. Kemudian kata itu mendapat imbuhan akhiran

    “I” lalu menjadi asasi. Kata asasi bermakna sesuatu yang bersifat dasar

    atau pokok.53

    Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang

    dimiliki oleh seseorang yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan

    sesuatu sesuai dengan pilihan hidupnya. Hak-hak asasi manusia adalah

    hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat

    dipisahkan dari pada hakekatnya dan itu karena bersifat suci.

    Definisi HAM diartikan oleh Ramdlon Naning yang menyatakan

    bahwa HAM adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang

    melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak

    dasar yang prinsip sebagai anugerah ilahi. Berarti HAM merupakan hak-

    hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat

    dipisahkan dari hakikatnya, karena itu HAM bersifat luhur dan suci.54

    Hak asasi manusia dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu derogable

    rights dan nonderogable rights. Istilah derogable rights diartikan sebagai

    hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi dan dikurangi

    pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu atau dengan kata lain

    hak yang memiliki pembatasan. Sementara itu istilah nonderogable rights

    adalah hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi dan dikurangi

    53

    Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa

    Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 474 54

    Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lembaga Kriminolog

    UI, 1983), hlm. 12

  • 62

    pemenuhannya oleh negara dan oleh pihak manapun, meskipun dalam

    kondisi darurat apapun atau dapat dikatakan sebagai sifat hak asasi

    manusia yang tidak terdapat batasan dengan alasan apapun.

    Prof. Aswanto (2008, Bahan Kuliah PPS Doktor Ilmu Hukum

    UNHAS), mengemukakan bahwa HAM secara umum dapat

    dikelompokkan dalam empat kelompok, sebagai berikut:55

    1) Civil Rights, yang meliputi:

    a Integrity Rights

    b Due Process Rights

    2) Political Rights, meliputi:

    a Opinion and expression (hak kebebasan untuk mengeluarkan

    pendapat dan pikiran)

    b Assembly and association (hak untuk berserikat dan berkumpul)

    c Take part in government (hak turut erta ambil bagian dalam

    pemerintahan),

    d Equal access to public service (hak untuk mendapatkan akses

    pelayanan publik yang sama),

    e Elect and be elected (hak untuk memilih dan dipilih),

    3) Socio economic rights, meliputi:

    a Right to work (hak untuk bekerja),

    b Equal pay for equal work (hak untuk mendapatkan upah yang

    sama dari pekerjaan yang sama),

    55

    Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar

    Grafika, 2013), hlm. 96-100.

  • 63

    c No force labour (larangan adanya kerja paksa),

    d Trade union (serikat pekerja atau buruh)

    e Organize and bargaining (mengatur dan tawar menawar).

    f Restand leisure (hak cuti dan libur),

    g Adequate standard of living (standar hidup yang layak),

    h Right to food (hak untuk mendapatkan makanan),

    i Right to health (hak untuk mendapatkan kesehatan),

    j Right to housting (hak untuk mendapatkan tempat tinggal),

    k Right to education (hak untuk mendapatkan pendidikan).

    4) Cultural rights, meliputi:

    a Take part in cultural life (hak berperan serta dalam kehidupan

    budaya)

    b To benefit from scientific progress (hak memperoleh manfaat dari

    perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan)

    c Protection of anothership and copyright (perlindungan terhadap

    hak cipta)

    d Freedom in scientific research and creative activity (kebebasan

    mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian)

    4. Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Hak Asasi Manusia

    Sejak lahirnya NKRI tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung

    tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut Nampak dari Pancasila

    dan UUD 1945, yang memuat beberapa ketentuan- ketentuan tentang

  • 64

    penghormatan HAM warga Negara. Sehingga pada praktek

    penyelenggaraan negara, perlindungan, atau penjaminan terhadap HAM

    dan hak-hak warga negara (citizen‟s rights) atau hak-hak constitusional

    warga negara (the citizen‟s constitusional rights) dapat terlaksana. Hak

    memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar

    (basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin

    pemenuhannya oleh negara.

    Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan

    dipilih. Penjamin hak dipilih secara tersurat dalam UUD NKRI Tahun

    1945 mulai pasal 27 ayat (1) dan (2); pasal 28, pasal 28D ayat (3), pasal

    28E ayat (3); sementara hak memilih juga diatur dalam pasal 1 ayat (2);

    pasal 2 ayat (1); pasal 6A (1); pasal 19 ayat (1) dan pasal 22C (1) UUD

    NKRI Tahun 1945. Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas

    bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan,

    agama, dan keturunan. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama

    dan implementasi hak dan kewajiban pun harus bersama-sama. Ketentuan

    UUD NKRI Tahun 1945 diatas mengarahkan bahwa negara harus

    memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya

    berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi

    berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam pemilihan umum di

    Indonesia.

    Dalam Undang- Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia,

    Hak politik warga Negara diatur dalam bab hak turut serta dalam

  • 65

    pemerintahan, yakni diatur dalam Pasal 45 ayat (1), (2), dan (3) serta pasal

    44 yang berbunyi sebagai berikut:56

    Pasal 43

    1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam

    2) pemilihan umum berdasarkan persamaan hak

    melaluipemungutan suara yang langsung, umum, bebas,

    rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    3) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan

    dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang

    dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan

    dalam peraturan perundang-undangan.

    4) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan

    pemerintahan.

    Pasal 44

    Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak

    mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau

    usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan

    pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan

    lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    56

    Indonesia,Undang-Undang Hak Asasi Manusia. No. 39 tahun 1999. LN No 165 Tahun

    1999. TLN.No 3886. Ps. 43 (1), (2), (3) dan Ps. 44.

  • 66

    Dari semua konsepsi perlindungan hak politik sebagaimana yang

    telah dibahas diatas, maka secara general, hak politik yang dilindungi

    instrument hukum international maupun hukum nasional Republik

    Indonesia mencakup hak-hak sebagai berikut:

    1) Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan

    umum

    2) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung

    atau dengan perantara wakil yang dipilihnya.

    3) Hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan,

    dan atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun

    dengan tulisan.

    4) Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik

    dalam pemerintahan.

    Hak pertama yakni untuk hak dipilih dan memilih dalam pemilihan

    umum tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat untuk ikut dalam

    memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri menjadi calon

    pejabat publik dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih

    merupakan ranah politik praktis dimana jabatan-jabatan politik tersedia

    antara lain: Jabatan Presiden dan wakil presiden yang pemilihannya

    berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2008 tentang Pemilihan

    Umum. Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan Gubernur, Bupati, Wali

  • 67

    kota, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan

    Daerah. Terakhir Jabatan Anggota DPR, DPD dan DPRD yang

    pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008

    tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

    Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Undang- Undang

    mengatur pula tentang pembatasan atas hak-hak tersebut. Berdasarkan

    ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan bahwa

    “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk

    kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan

    maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas

    hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil

    sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

    ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945,

    jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,

    dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan yang demikian ini

    mengacu pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam Undang-

    undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut

    maka tidak dimungkinkan adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak

    dan kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara

    Indonesia.

    Kerangka hukum yang demikian ini perlu untuk dipahami secara

  • 68

    bersama- sama dalam rangka memaknai “hak” yang telah diakui dan diatur

    secara hukum di Indonesia. Kondisi demikian tersebut diatas, apabila

    mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 39

    Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan adanya bentuk

    pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih dan dipilih yang

    melekat pada warga negara Indonesia.

    Adanya ruang untuk melakukan pembatasan tersebut sebagaimana

    yang telah dipaparkan diatas, melahirkan pengaturan bahwa hak memilih

    dan dipilih tersebut dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga

    negara Indonesia. Artinya, hak memilih tersebut diberikan pembatasan-

    pembatasan sehingga warga negara yang diberikan jaminan memiliki hak

    dipilih dan memilih. tersebut benar-benar merupakan warga negara yang

    telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.57

    5. Ketentuan Hak Asasi Manusia dengan Hukum Pidana

    Hukum pidana merupakan norma tingkah laku yang patut dan tidak

    patut dilakukan serta sekaligus memelihara hubungan yang harmonis

    antara pemegang kekuasaan atau negara dengan masyarakatnya. Yang

    dimaksud dengan hubungan hukum yang harmonis adalah bahwa

    pembentukan norma-norma hukum pidana tersebut sejauh mungkin tidak

    bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan hak dasar anggota

    57

    https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-

    sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu diakses pada 30 September 2016 pukul

    21.21 WIB

    https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemiluhttps://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu

  • 69

    masyarakatnya baik dibidang hukum, politik, ekonomi maupun di bidang

    sosial sehingga hukum pidana bukan merupakan ancaman terhadap

    keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya sendiri.

    Sebaliknya, hukum pidana diharapkan berfungsi sebagai pengayom

    yang berwibawa dalam konteks hubungan tersebut. Sifat hukum pidana

    sejak awal kelahirannya tetap memiliki fungsi represif disamping fungsi

    preventif dalam arti yang prospektif. Hukum pidana adalah hukum

    prospektif atau hukum untuk pedoman tingkah laku manusia di masa yang

    akan datang. Hukum pidana harus menjaga agar selalu terdapat

    keseimbangan dan harmonisasi antara hak-hak dasar manusia dan

    kewajiban asasi manusia.