bab ii kajian pustaka a. tinjauan umum tentang...
TRANSCRIPT
-
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga
tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada
umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan
sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan
hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut
sebagai berikut:11
“Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut
berturutturut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap
perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan
itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana
seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus
diperhatikan pada kesempatan itu”.
Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana
formil sebagai berikut: 12
1) Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang
menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat
bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan
11
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,. Jakarta, 2005,
hlm. 2. 12
Ibid. Hlm. 2.
-
16
orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas
pelanggaran pidana.
2) Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang
mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil
terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu,
atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana
materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim
serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim
Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil
berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi,
sedangkan hukum pidana formil dalah aturan hukum yang mengatur cara
menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat,
dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu
mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban
juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori
konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat
tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut
melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali
bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya
pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya
-
17
preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau
pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap
perencanaan sebagai berikut:
a. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;
b. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;
c. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
2. Tujuan Pemidanaan
Di indonesia sendiri, hukum positif belum pernah merumuskan
tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut
masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian,
Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan tujuan pemidanaan pada
Buku Kesatu Ketentuan Umum dala Bab II dengan judul Pemidanaan,
Pidana dan Tindakan. Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro,
yaitu:13
1) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik
secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun
menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar
dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif),
atau
13
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hlm. 16
-
18
2) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan
kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga
bermanfaat bagi masyarakat.
Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana
perlindungan masyarakat, rehabilitasi dan resosialisasi, pemenuhan
pandangan hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa
bersalah bagi yang bersangkutan.
Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
P.A.F. Lamintang menyatakan: 14
“Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan
yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,
b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan
kejahatankejahatan, dan
c. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak
mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain,
yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak
dapat diperbaiki lagi”.
Dari kerangka pemikiran di atas, melahirkan beberapa teori tentang
tujuan pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas
14
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1988, hlm. 23.
-
19
tiga. Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori tersebut sebagai
berikut :
1) Teori absolut atau Teori Pembalasan
Teori pembalasan membenarkan pemidanaaan karena seseorang
telah melakukan tindak pidana. Penganjur teori ini antara lain Immanuel
Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” (walaupun besok dunia
akan kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya). Kant
mendasarkan teorinya berdasarkan prinsip moral/etika. Penganjur lain
adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan
kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada
hukum dan keadilan. Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan.
Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan karena
itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.Teori absolut atau teori
pembalasan ini terbagi dalam dua macam, yaitu:
a. Teori pembalasan yang objektif, yang berorientasi pada pemenuhan
kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat. Dalam hal
ini tindakan si pembuat kejahatan harus dibalas dengan pidana yang
merupakan suatu bencana atau kerugian yang seimbang dengan
kesengsaraan yang diakibatkan oleh si pembuat kejahatan.
b. Teori pembalasan subjektif, yang berorientasi pada penjahatnya.
Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus
mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yan besar
disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat kejahatan
-
20
sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.15
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas
dalam pendapat Kant di dalam bukunya “Philoshopy of law” sebagaimana
dikutip Muladi16
mengatakan:
“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana
untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri
maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya
karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk
menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh
terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum
resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan.Hal ini
harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari
perbuatannya, dan perasaan balasdendam tidak boleh tetap ada pada
anggota masyarakat,karena apabila tidak demikian mereka semua dapat
dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan
ituyang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”.
Salah seorang tokoh penganut teori absolut yang terkenal ialah
Hegel yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai
konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran
15
A. Fuad Usfa, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004),hlm.145. 16
Barda Nawawi Arief , 1984, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Fakultas Hukum UNDIP:
Semarang.
-
21
terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan dari cita-
susila,maka pidana merupakan “Negation Der Nagetion” (peniadaan atau
pengingkaran terhadap pengingkaran). Pendapat sarjana tersebut diatas
mendasarkan pada “The Philoshopy of Vengeance” atau filsafat
pembalasan dalam di dalam mencari dasar pembenar dari pemidanaan.
Berkaitan dengan teori absolut (retribution), Cristiansen
memberikan karakteristik teori ini sebagai berikut:
1) Tujuan pidana semata-semata untuk pembalasan;
2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan
masyarakat;
3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;
5) Pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki mendidik atau memasyarakatkan
kembali si pelanggar
2) Teori Relatif atau Teori Tujuan (Utilitarian/Doeltheorieen)
Teori ini mendasarkan pandangan kepada maksud dari
pemidanaanya itu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan
terjadinya kejahatan. Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk
masa mendatang. Penganjur teori ini antara lain Paul Anselm Van
Feurbach yang mengemukakan hanya denga nmengadakan ancaman
-
22
pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana
kepada si penjahat.
Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan
teoriabsolut (mutlak). Kalau dalam teori absolut itu tindakan pidana
dihubungkan dengan kejahatan, maka pada teori relatif ditujukan kepada
hari-hari yang akan datang, yaitu dengan maksud mendidik orang yang
telah berbuat jahat tadi,agar menjadi baik kembali.17
Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini adalahterletak
pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan "quia peccatumest" (karena
orang berbuat kejahatan) melainkan "ne peccetur"(supaya orang jangan
melakukan kejahatan). Mengenai teori relatifini Andenaes dapat disebut
sebagai teori perlindungan masyarakat(the theory of social defence) karena
salah satu tujuannya adalah melindungi kepentingan masyarakat.
3) Teori Gabungan (vereningingsheorieen)
Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan
seperti dikemukakan di atas, yakni teori absolut dan teori relatif, ada teori
ketiga yang disebut teori gabungan (verenigingstheorieen). Pelopor teori
ini adalah Rossi (1787 - 1884).
Teori Rossi disebut teori gabungan karena sekalipun ia tetap
menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya
pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia
17
Samidjo,Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985),hlm.153.
-
23
berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain
perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu
sebagai berikut :18
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat;
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan taat tertib
masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.
B. Tinjauan Umum Mengenai Jenis-Jenis Pemidanaan Dalam Hukum
Positif Indonesia
1. Jenis-Jenis Pemidanaan Menurut KUHP
Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) telah merumuskan
jenis-jenis pidana yang diatur dalam pasal 10, sebagai berikut:
a. Pidana Pokok
Pidana pokok yang telah diatur dalam KUHP dapat ditarik garis
besar sebagai berikut:
1) Pidana mati
Pidana mati merupakan pidana terberat dari jenis-jenis
ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10
18
Adami Chazawi, 2008, Op.Cit., hlm.166.
-
24
karena pidana mati pelaksanaannya berupa perampasan
terhadap hak hidup manusia, maka dalam menentukan
hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra
dikalangan ahli hukum dan masyarakat. Sebagian orang
berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal
tertentu, yaitu apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan
perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat
membahayakan kepentingan umum. Oleh karena itu, untuk
menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang
tegas yaitu dengan pidana mati. Dari pendapat ini tampak jelas
bahwa secara tidak langsung tujuan pidana adalah untuk
membinasakan.
Pendapat lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya
tidak perlu karena mempunyai kelemahan, yaitu apabila pidana
mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan
untuk perbaikan, baik atas pidananya maupun perbaikan atas
dirinya sendiri.Karena salah satu tujuan pidana adalah untuk
mendidik ataupun memberikan efek jera agar si pelaku tidak
mengulangi tindak pidana tersebut.
Pelaksanaan dari hukuman mati diatur dalam undang-undang
nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati Yang dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan
Peradilan Umum dan Militer.
-
25
2) Pidana Penjara
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan
kemerdekaan. Pidana penjara berupa penjara sementara
minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana
seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana
mati atau seumur hidup atau pidana penjara dua puluh tahun.
Jadi, pada umumnya pidana penjara maksimal ialah 15 tahun.
Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:
1. “Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu
tertentu.
2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah
satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan
untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal yang
pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati,
pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu
tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu;
begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat
dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan
(residive) atau karena yang telah ditentukan dalam pasal
52.
4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak
-
26
boleh lebih dari dua puluh tahun”.
Pengecualian di luar KUHP, yaitu dalam Undang-undang
Tipikor, maksimum ialah pidana seumur hidup tanpa ada
pidana mati.
3) Pidana Kurungan
Baik hukuman penjara maupun kurungan, keduanya adalah
bentuk pemidanaan dengan menahan kebebasan seseorang
karena melakukan suatu tindak pidana sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 22 KUHP. Pidana kurungan dapat dijatuhkan oleh
hakim sebagai pokok pidana, tetapi juga dapat menjadi
pengganti dari pidana denda yang tidak dibayar oleh seorang
terpidana. Bagi pidana kurungan pengganti pidana denda
lamanya adalah sekurang-kurangnya satu hari dan selama-
lamanya enam bulan. Akan tetapi, lamanya pidana kurungan
pengganti pidana denda tersebut dapat diperberat hingga
selama-lamanya delapan bulan, yakni apabila tindak pidana
yang telah dilakukan oleh terpidana itu ada hubungannya
dengan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud di dalam
Pasal 52 KUHP. Pidana kurungan sebagai pengganti pidana
denda itu tidak dengan sendiri dijalankan apabila terpidana
tidak membayar uang dendanya, yakni apabila hakim di dalam
putusannya hanya menjatuhkan pidana denda saja tanpa
-
27
menyebutkan bahwa terpidana harus menjalankan pidana
kurungan sebagai pengganti pidana denda yang dijatuhkan,
dalam hal terpidana tidak membayar uang denda yang
bersangkutan.19
4) Pidana denda
Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua
dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana
denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana
denda tersebut olehhakim/pengadilan untuk membayar
sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu
perbuatan yang dapat dipidana.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu, pidana
denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh
orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan
terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu
secara sukarela dibayar oleh orang lain atas nama terpidana.
b. Pidana tambahan
1) Pencabutan hak-hak tertentu
19
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm. 76.
-
28
Salah satu pidana tambahan yang diatur dalam pasal 10 huruf b
adalah pencabutan hak-hak tertentu. Hak-hak tertentu terpidana
yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan
pengadilan ditentukan dalam pasal 35 KUHP sebagai berikut:
a) Hak memegang atau memangku jabatan pada umumnya
atau jabatan tertentu. Perlu diketahui bahwa pencabutan
terhadap jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu itu
tidak berarti pemecatan dari jabatannya tetapi yang dicabut
adalah haknya untuk menjalankan jabatan tersebut.
Kemungkinan bisa terjadi bahwa seorang pejabat haknya
untuk menjabat telah dicabut oleh hakim, tetapi tetap
terpidana memangku jabatnnya itu. Keadaan yang demikian
itu menimbulkan pertentangan hubungan, di satu pihak
terpidana diancam oleh pasal 227 KUHP, yaitu barangsiapa
seseorang melakukan sesuatu hak, sedangkan seseorag itu
tahu dengan suatu keputusan hakim telah dicabut haknya
untuk menjalankan hak tersebut, sedangkan di lain pihak
tidak dapat meletakkan jabatannya berdasarkan ketentuan
peraturan hukum yang bersangkutan, karena seseorang
tersebut belum dibebaskan oleh yang berwenang atau
pejabat atasannya dari jabatannya itu.
Apabila keadaan demikian terjadi, jalan satu-satunya dari
pertentangan itu yaitu pasal 48 KUHP (overmacht).
-
29
Wewenang hakim dalam menetapkan pencabutan hak
memegang jabatan atau suatu jabatan tertentu itu dibatasi
ketentuan pasal 35 ayat 2 dimana ditentukan bahwa hakim
tidak berwenang mencabut hak seseorang atas jabatannya,
jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan pihak lain untuk
pemecatan itu.
b) Hak masuk angkatan bersenjata. Pencabutan itu ditujukan
kepada hak memegang jabatan untuk angkatan bersenjata
bukan pencabutan dari jabatan atau kepangkatan.
c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum. KUHP Netherland
menyebutkan bahwa pemilihan itu diadakan berdasarkan
perintah UU. Oleh karena itu, hak memilih dan dipilih
menurut KUHP Indonesia lebih leluasa daripada hak
memilih dan dipilih menurut KUHP Netherland.
Maka demikian, hak pilih pasif dan hak pilih aktif di
Indonesia bukan saja dalam pemilihan umum, tetapi juga
dalam pemilihan lainnya, misalnya kepala desa. Hal
tersebut karena pengaturan hukum positif di Indonesia
berdasarkan bunyi pasal 35 ayat 1 sub 3 KUHP tersebut
yaitu berdasarkan aturan umum, maka hak pilih pasif dan
hak pilih aktif tersebut tidak masalah apakah ditentukan
dalam suatu perundang-undangan yang dibuat oleh
-
30
pemerintah pusat, atau ditentukan dalam suatu peraturan
yang dibuat oleh pemerintah daerah ataukah dalam hukum
adat. Sudah dianggap tercakup di dalamnya bila peraturan
itu didasari atas suatu aturan umum yang dibuat oleh
pemerintah pusat dan kemudian digunakan sebagai dasar
suatu peraturan daerah atau mengakui dan memperkuat
suatu aturan adat.
d) Hak menjadi penasehat (Readman) atau pengurus menurut
hukum (Gerechtelijke Bewindvoerder), hak menjadi wali,
wali pengawas, pengampu atas anak sendiri.
e) Penasehat yang dimaksud disini bukan pembela yang
ditunjuk atau dipilih sendiri dalam persidangan atau dapat
disebut dengan Undang-undang pidana dengan penasehat
seperti yang dimaksudkan oleh KUHPerdata terdapat pada
pasal 346 yang kemudian dicabut dengan stb.1927 Nomor
31 jo 390, 421 ialah setiap orang yang oleh hakim diberi
kuasa melakukan suatu pengurusan (bewind). Penasehat
menurut pasal 35 ayat 1 sub 4 tersebut tidak berlaku lagi,
karena pasal 346 BW telah dicabut.
Pemecatan sebagai wali, wali pengawas, pengampu dan
pengampu pengawas atas orang lain dari anak-anak,
demikian juga dari kekuasaan bapak, perwalian dan
pengampu anak, sejak tahun 1927 telah diatur dalam BW,
-
31
sepanjang mengenai golongan penduduk yang tunduk pada
Undang-undang pidana.20
2) Perampasan barang-barang tertentu
Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis
pidana harta kekayaan, seperti halnya pidana denda. Ketentuan
mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dapam
pasal 39 KUHP yang berbunyi21
:
1. “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari
kejahatan atau yang disengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak
dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat
juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal
yang telah ditentukan dalam undang-undang;
3. Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah
yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas
barang-barang yang telah disita‟‟.
Perampasan atas barang-barang yang tidak disita
sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-
barang itu tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran
20
A. Fuad Usfa, Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM Press, 2004) hlm.
138-141 21
Kumpulan Kitab Undang- Undang hukum KUH Perdata, KUH P, WIPRESS, hlm. 445
-
32
dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti
paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan
pengganti ini juga dihapus jika barang- barang yang dirampas
diserahkan.
3) Pengumuman Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP
yang mengatur bahwa22
:
“apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan
berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang
lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan
perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman
putusan ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-halyang telah
ditentukan oleh Undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini
dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat
terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang
pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila
secara tegas ditentuka berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana
tertentu.
Ada 3 perbedaan pokok antara pidana pokok dan pidana
tambahan, yaitu:
22
Ibid.
-
33
a) Pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan atau ditetapkan sendiri
seperti pidana pokok, tetapi hanya dapat dijatuhkan atau
ditetapkan di samping pidana pokok. Hal ini ada pula beberapa
pengecualiannya, dapat dilihat dalam pasal 39 ayat 3 serta pasal
40 KUHP.
b) Pidana tambahan itu sifatnya fakultatif (tidak harus), sedang
pada pidana pokok adalah bersifat imperatif (keharusan).
Apabila hakim telah yakin pada kesalahan terdakwa, maka
harus menetapkan salah satu dari pidana pokok, tetapi tidak
harus menetapkan satu pidana tambahan kecuali ketentuan lain
mengharuskan dijatuhkannya pidana tambahan. Jadi, Hakim
bebas apakah hendak menjatuhkan pidana tambahan atau tidak.
Hal ini juga ada perkecualiannya, misalnya pada pasal 250 bis,
pasal 261, 257 KUHP.
c) Pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku
tanpa terlebih dahulu diadakan suatu pebuatan eksekusi (zonder
een daad von executie). Pasal 38 ayat 2 KUHP menyatakan,
bahwa pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim
dapat dijalankan. Dari ketentuan ini maka berarti bahwa pidana
tambahan pencabutan hak-hak tertentu ini tidak mulai berlaku
pada hari mulai dijalani oleh terpidana, sehingga pada saat
mulai berlakunya dan pada saat berlakunya tidak sama.
-
34
2. Jenis-Jenis Pemidanaan Menurut Undang-undang Diluar KUHP
Adapun mengenai jenis pidana yang dijatuhkan utamanya mengacu
pada KUHP. Namun, untuk hukum pidana khusus atau perundang-
undangan diluar KUHP, terdapat perluasan atau penambahan jenis pidana.
Berikut adalah jenis-jenis pidana yang diatur di perundang-
undangan diluar KUHP.
a. Pidana Tutupan
Pidana tutupan hanya dapat dijatuhkan apabila orang tersebut
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara,
meningat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi
pidana tutupan dan terdakwa yang melakukan tindak pidana
karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
Pengecualiannya adalah jika cara melakukan dan akibat dari
tindak pidana tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih
tepat untuk dijatuhi pidana penjara.
b. Pidana pengawasan
Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
tujuh tahun. Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada
terdakwa mengingat eadaan pribadi dan perbuatannya, dengan
syarat-syarat:
1) Terpidana tidak akan mengulangi melakukan tinak pidana;
dan
-
35
2) Terpidana dalam kurun waktu tertentu lebih yang singkat
dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau
sebagian kerugian yang timbul karena tindak pidana yang
dilakukan;atau
3) Terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan
beragama dan kemerdekaan politik. Pengawasan dilakukan
oleh pejabat pembina dari Departemen Kehakiman dan
dapat meminta bantuan kepada pemerintah daerah, lembaga
sosial, atau orang lain.
c. Pidana kerja sosial
Pidana kerja sosial dapat diterapkan apabila pidana penjara yang
dijatuhkan tidak lebih dari enam bulan atau pidana denda yang
denda yang tidak lebih dari kategori I maka pidana penjara atau
pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
d. Pidana bersyarat
Menurut pasal 29 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997, pidana
bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana penjara yang
dijatuhkan paling lama dua tahun, sedangkan jangka waktu masa
pidana bersyarat adalah paling lama tiga tahun.
e. Tindakan
Dalam pemberian tindakan, pelaku tindak pidana dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu tidak dapat dan kurang dapat
-
36
dipertanggungjawabkan. Terhadap pelaku tindak pidana yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka tidak dapat dijatuhi
pidana, sedangkan pelaku tindak pidana yang kurang dapat
dipertanggungjawabkan, pidananya dapat dikurangi atau
dikenakan tindakan.
C. Tinjauan Umum Tentang Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Pemidanaan
Hukuman dalam istilah pidana Islam sering disebut „uqubah.23
Sedangkan menurut refrensi lainnya, pidana atau „uqubah diartikan
sebagai pembalaan dengan keburukan.24
Untuk itu penulis dalam
menjelaskan pidana dalam hukum Pidana Islam, akan lebih sering
memakai istilah pidana daripada istilah hukuman atau „uqubah, agar
meminimalisasi pemakaian istilah.
A. Rahman Ritonga berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk
balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan
syara‟ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.
Tujuan dari adanya hukuman dalam syari‟at Islam merupakan realisasi
dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yakni sebagai pembalasan atas
23
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), (Surabaya:
PustakaProgressif, 1997), hlm. 952 24
Luis Ma‟lup, Al-Munjid, (Beirut: Daar al-Masayrik, tanpa tahun), Cet. X, hlm. 518
-
37
perbuatan jahat, pencegahan secara umum dan pencegahan secara khusus
serta perlindungan terhadap hak-hak si korban.25
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Pidana adalah akibat yang
timbul dari perbuatan yang melanggar ketentuan Allah SWT dan Rasul-
Nya.26
Dari penjelasan diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang
dimaksud pidana adalah pembalasan yang ditetapkan atas perbuatan-
perbuatan yang dilarang baik berdasarkan al-Qur‟an, hadits, maupun
ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang mempunyai
kewenangan menentukan hukuman yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan individu dan masyarakat.
2. Macam-Macam Pemidanaan
Dalam masalah tindak pidana (criminal act), terdapat dua hal yang
tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu mata rantai yang tidak akan
pernah terputus, yaitu kejahatan dan hukuman. Suatu bentuk perintah dan
larangan saja tidaklah cukup untuk mendorong seseorang meninggalkan
suatu perbuatan atau melaksanakannya, untuk itulah diperlukan sanksi
berupa hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya.27
Pidana dalam
kajian hukum pidana Islam (fiqh jinayah) dikelompokkan dalam beberapa
jenis, yaitu:
25
A. Rahman Ritonga, dkk.,Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermassa, 1997),
hlm. 19. 26
Abdul Aziz Dahlan, dkk.,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Uctiar Baru Van
Hoeve, 1996), hlm. 1971. 27
Abdul Salam, Fiqh Jinayat (Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Ideal, 1987), hlm. 52.
-
38
1) Pidana dilihat dari pertalian hukuman yang satu dengan yang
lainnya. Dalam hal ini ada empat macam:
a) Pidana pokok, yaitu pidana yang diterapkan secara definitif,
artinya hakim hanya menerapkan sesuai apa yang telah
ditentukan oleh nash.Dalam fiqh jinayah hukuman ini
disebut sebagai jarimah hudud.
b) Pidana pengganti, pidana yang diterapkan sebagai pengganti
karena pidana pokok tidak dapat diterapkan dengan alasan
yang sah/benar.Misalnya qishash diganti dengan diyat, dan
diyat diganti dengan dimaafkan.
c) Pidana tambahan, yaitu pidana yang menyertai pidana
pokok tanpa adanya keputusan hakim tersendiri. Misalnya
bagi pelaku qazaf diberlakukan hukuman berupa hilangnya
hak persaksian dirinya, dan hilangnya hak pewarisan bagi
pelaku pembunuhan.
d) Pidana pelengkap, yaitu tambahan pidana pokok dengan
melalui keputusan hakim secara tersendiri. Misalnya selain
dipotong tangannya bagi pelaku pencurian juga diberi
tambahan hukuman dengan dikalungkannya tangan di
lehernya.
2) Pidana dilihat dari kewenangan hakim dalam memutuskan perkara.
Dalam hal ini ada dua macam:
-
39
(1) Pidana yang bersifat terbatas, yakni ketentuan pidana yang
ditetapkan secara pasti oleh nash, atau dengan kata lain,
tidak ada batas tertinggi dan terendah. Misalnya hukuman
dera 100 kali bagi pelaku zina dan hukuman dera 80 kali
bagi pelaku penuduh zina.
(2) Pidana yang memiliki alternatif untuk dipilih.
3) Pidana dilihat dari obyeknya. Dalam hal ini ada tiga macam:
(a) Pidana jasmani, seperti potong tangan, rajam dan lainnya.
(b) Pidana yang berkenaan dengan psikologis, ancaman dan
teguran.
(c) Pidana benda, ganti rugi, diyat dan penyitaan harta.28
3. Tujuan Pemidanaan
Ahmad Hanafi berpendapat bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan
pidana adalah pencegahan serta pendidikan.29
Pengertian pencegahan
disini adalah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan
jarimahnya atau tidak terus menerus melakukan perbuatannya, dan
mencegah orang lain agar tidak melakukannnya.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan
sejarah, tujuan pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
28
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Bidang Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 116-117. 29
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum PidanaIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),hlm.
191
-
40
a. Pembalasan (revenge)
Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada
orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan
kepada orang lain.
b. Penghapusan Dosa (ekspiation)
Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang
bersumber dari Allah.
c. Menjerakan (detern).
Kenyataan inilah yang juga sering dirujuk sebagai bukti efektifitas
hukuman hadd yang dituntunkan oleh Al-Qur‟an dan hadis Nabi.
Terhadap teori penjeraan ini kita pun dapat memahami mengapa
beberapa hukuman yang dituntunkan dalam pidana Islam, seperti
hukuman untuk perzinahan, misalnya, harus dilakukan di depan orang
banyak. Tujuan penjeraan yang umum kepada publik, yaitu agar takut
berbuat hal yang serupa, tentunya menjadi alasan rasional dibalik
ketetapan ini.
d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the
criminal).
Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan
perilaku jarimun Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari
keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu,
sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang
-
41
lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi
rahmat kepadanya.
Abdul Qadir Awdah, seorang ahli hukum pidana dari mesir
mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan
dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana
dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana
sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala
bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat,
sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan
perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk
tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan
ketentraman masyarakat yang menghendaki.30
Tujuan hukum pidana Islam secara implisit menetapkan adanya
tujuan pemidanaan seperti diungkapkan dalam ayat berikut ini:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
30
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Sleman: Logung Pustaka,
2007), Hlm. .
-
42
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”. (QS: al-Maidah: 38)31
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman”. (QS. an-Nur: 2)32
Dari ayat di atas secara substansial menunjukan adanya unsur
pembalasan yang dikehendaki bagi pelanggar undang-undang dan harus
dilakukan di depan umum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan tujuan
pemidanaan dalam islam sebagai berikut:
1) Pemidanaan sebagai pembalasan (retribution), artinya setiap perbuatan
yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan nash. Jangka panjang aspek ini adalah pemberian
perlindungan terhadap masyarakat luas (Socialdefence). Contoh
hukum qisas.
31
www.theonlyquran.com diakses pada tanggal 27 September 2015 pukul 16.00 WIB 32
www.theonlyquran.com diakses pada tanggal 27 September 2015 pukul 16.00 WIB
http://www.theonlyquran.com/http://www.theonlyquran.com/
-
43
2) Pemidanaan sebagai pencegahan kolektif atau general prevention
artinya pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk
tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh: orang berzina harus didera
dimuka umum sehingga orang lain melihat dan diharpkan tidak
melakukan perzinaan.
3) Pemidanaan dimaksud sebagai special prevention (pencegahan khusus)
artinya seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan
sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi,
dalam aspek ini terkandung nilai treatment.33
Oleh karena tujuan pemidanaan adalah pencegahan, maka besarnya
hukuman harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut,
tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukan, dan demikian
terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian
keadaannya, maka hukuman dapat berbeda-beda terutama hukumanta‟zir,
menurut perbuatannya. Selain pencegahan syari‟at Islam bertujuan juga
untuk memberikan perhatiannya kepada diri pembuat sendiri, bahkan
memberikan pelajaran dan mengusahakan yang terbaik bagi pembuat
jarimah. Disamping untuk diri pembuat, penjatuhan pidana juga bertujuan
untuk membentuk masyarakat yang baik.34
33
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.
288-290. 34
Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 256-257.
-
44
D. Tinjauan umum mengenai Tindak Pidana Korupsi
1. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema Andreae35
kata Korupsi berasal dari bahasa
Latin corruptio atau corruptus (Webster StudentDictionary: 1960).
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata corrumpere,
suatu kata Latin yang lebih tua.Dari bahasa latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt, : Perancis, yaitu
corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat
memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia, yaitu “Korupsi”.36
Korupsi dapat diartikan memungut uang bagi layanan yang sudah
seharusnya diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapaitujuan
yang tidak sah.Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau
sengaja.37
Secara umum, korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat
public yang menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kroni, dan kelompok yang mengakibatkan kerugian negara.38
35
Kamus Hukum, Fockema Andreae. (Bandung: Bina Cipta, 1983) huruf c. Terjemahan
Bina cipta 36
Andi Hamzah, 2008, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional
danInternational,(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm 4. 37
Robert Klitgaard, dkk.,Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm, 5. 38
Dwi Saputra, dkk.,Tiada Ruang Tanpa Korupsi, (Semarang: KP2KKN Jawa Tengah,
2004), hlm, 6 dan 7.
-
45
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.39
Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata
bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.40
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” yaitu gejala
dimana para pejabat, badan-badan Negara, menyalahgunakan wewenang
dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidakberesan lainnya.
Selain itu, korupsi dapat didefinisikan sebgai penyalahgunaan
kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Korupsi mencakup
perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai
negeri yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melawan
hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan
menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.41
Adapun Henry Cambell (1991) dalam bukunya yang berjudul
Black‟s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
39
Andi Hamzah, op. cit, hlm 5. 40
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.1976. 41
Jeremy Pope,Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional,
(Jakarta: Transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 6 dan 7.
-
46
dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-
hak dari pihak lain.42
Menurut perspektif hukum Indonesia, definisi korupsi secara
gamblang telah dijelaskan dalam tiga belas buah pasal dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU PTPK). Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan dalam
30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut
secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara
korupsi.
Korupsi sebagai gejala yang universal, sudah muncul sejak ratusan
tahun yang lalu dan timbul karena ketidakmampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk menahan hawa nafsu dan ketamakannya untuk
memperkaya diri sendiri. Ketamakan ini didukung dengan adanya sistem
akuntabilitas pemerintahan yang lemah. Korupsi di Indonesia dari tahun ke
tahun terus meningkat karena adanya beberapa faktor internal dan
eksternal. Faktor internal mencakup dua hal yaitu adanya dorongan
kebutuhan (corruption by needs) dimana seseorang melakukan tindak
pidana korupsi karena terpaksa akibat desakan kebutuhan, misalnya gaji
yang diterima tidak mencukupi. Dan dorongan ketamakan (corruption by
42
Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 137
-
47
greeds), dimana seseorang melakukan korupsi bukan karena desakan
kebutuhan hidup, tetapi karena keinginan untuk hidup mewah. Faktor
eksternal antara lain adalah lingkungan yang mendukung, misalnya sikap
permisif masyarakat terhadap tindakan korupsi. Disamping itu juga
terdapat peluang untuk melakukan korupsi karena pengawasan yang lemah
dan terlalu longgar. Kecenderungan sikap masyarakat ini tidak lepas dari
budaya materialistik yang mengukur keberhasilan seseorang dari harta
yang dimilikinya tanpa melihat asal harta tersebut didapatkan.
Korupsi memang bukan fenomena baru di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Orde Lama gejala munculnya penyakit korupsi juga telah
nampak, yang kemudian melahirkan Peraturan Penguasa Perang Perang
Pusat Kepala Staf Angkatan Darat berupa peraturan Nomor
Prt/Peperpu/C13/1958 yang dijadikan dasar untuk melakukan
pemberantasan korupsi. Peraturan ini cukup lengkap, karena terdapat
sistem pendaftaran harta benda pejabat publik oleh Badan Pemilik Harta
Benda dan juga terdapat peraturan tentang pengajuan gugatan perdata
berdasarkan perbuatan melanggar hukum bagi orang yang mempunyai
harta benda yang tidak seimbang dengan pendapatannya. Peraturan ini
dinilai lebih lengkap dibandingkan dengan peraturan sejenis yang lahir
sesudahnya karena memuat upaya pemberantasan korupsi melalui jalur
tuntutan pidana maupun gugatan perdata, disertai sistem preventif berupa
pendaftaran harta benda pejabat. Peraturan ini kemudian dikoreksi oleh
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 yang menghilangkan jalur
-
48
preventif dan gugatan perdata sehingga praktis upaya pemberantasan
korupsi masa pemerintahan orde lama tidak efektif karena tidak membawa
pelaku tindak pidana korupsi ke meja hijau.
Memasuki era reformasi, mengingat selama 32 tahun masa orde
baru masyarakat harus menerima kenyataan tidak dapat berbuat banyak
meskipun korupsi marak terjadi, beberapa undang-undang yang bertujuan
untuk melakukan pemberantasan korupsi diterbitkan seperti Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
Yang Bersih dan Bebas KKN, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi
dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam era reformasi, pemberantasan korupsi
cukup kuat dan berdasarkan pada pasal 2 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 dibentuklah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Jenis-Jenis Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang PTPK, jenis penjatuhan
pidana yang dapat dilakukan hakim terhadapterdakwa tindak pidana
korupsi adalah sebagai berikut43
:
a. Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
43
Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: sinar grafika, 2009), hlm, 12.
-
49
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dilakukan dalam “keadaan tertentu”. Adapun yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku
tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada
waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam
keadaan krisis ekonomi (moneter).
b. Pidana Penjara
Dalam hukum pidana korupsi terdapat 2 (dua) jenis pidana pokok
yang dijatuhkan bersamaan, yakni pidana penjara dan pidana denda.
Dalam penerapannya sistem penjatuhan pidana pokok tersebut terbagi 2
(dua) macam. Pertama, penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang
bersifat imperatif, dimana antara pidana penjara dan pidana denda wajib
dijatuhkan secara serentak. Sistem imperatif-kumulatif ini diancamkan
pada tindak pidana korupsi yang palit berat. Adapun yang kedua yaitu
penjatuhan 2 (dua) jenis pidana pokok yang bersifat imperative dan
fakultatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda. Diantara 2
(dua) jenis pidana pokok ini yang wajib dijatuhkan ialah pidana penjara
(imperatif), namun dapat pula dijatuhkan secara kumulatif dengan
-
50
pidana denda (fakultatif) bersama-sama (kumulatif) dengan pidana
penjara. Mengenai sifat fakultatif ini, jika dibandingkan dengan KUHP,
sifat penjatuhan pidana fakultatif ini hanya ada pada jenis-jenis pidana
tambahan. Sistem penjatuhan pemidanaan imperatif-fakultatif ini
dirumuskan pada Pasal 3, Pasal 5,Pasal 7, Pasal10, Pasal 11, Pasal 13,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 UU PTPK.
Selanjutnya mengenai ancaman minimum dan maksimum,dalam
UU PTPK, pemidanaan pada tindak pidana korupsi menetapkan
ancaman minimum dan maksimum khusus, baik mengenai pidana
penjara maupun pidana denda. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang
ada dalam KUHP dimana dalam pemidanaannya hanya diatur ancaman
pidana maksimum umum dan minimum umum.
c. Pidana tambahan
Pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
berbunyi :
1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalamKitab
Undang-undang HukumPidana,sebagai pidanatambahan
adalah:
a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atautidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
-
51
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi;
c) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertantu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau dapatdiberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.
2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dapat dilelang untuk menutupi
uang pengganti tersebut.
3) Dalam hal terpidana tidak memiliki harta benda yang
mencukupi untuk menbayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan dalam
-
52
undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
d. Gugatan Perdata Kepada Ahli Warisnya
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan
pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan
gugatan perdata kepada ahli warisnya.
e. Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh atau Atas Nama
Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan
ketentuan maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini
melalui prosedural ketentuan Pasal 20(ayat 1-6) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
E. Tinjauan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia
1. Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM) menurut pasal 1
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah seperangkat
-
53
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
HAM atau sebenarnya lebih tepat disebut dengan istilah “hak-hak
manusia” (human rights) adalah hak-hak yang diakui secara universal
sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat
kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan universal sebab hak-hak
ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak
peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang
kultural, dan agamanya. Dikatakan melekat atau inheren karena hak-hak
itu dimiliki siapapun berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan
bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun.
Karena dikatakan melekat itu pula maka pada dasarnya hak-hak ini tidak
sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.44
Indonesia menyusun UUD 1945 sebelum adanya The Universal
Declaration of Human Rights, namun ide-ide hak asasi manusia yang
tercermin dalam deklarasi tersebut sudah diketahui oleh para founding
father Indonesia dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945. Rapat besar
BPUPKI yang diselenggarakan pada tanggal 15 juli 1945 menyimpan
memori tentang perlu tidaknya pengaturan tentang HAM dicantumkan
44
Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar;iyah Etika Politik Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),
hlm. 153-154.
-
54
dalam UUD 1945. Oleh karena itu, ketentuan yang berkenaan dengan hak
asasi manusia dapat dikatakan dimuat secara terbatas dalam UUD 1945,
yaitu sebanyak tujuh pasal saja.
Dalam perjalanan sejarah, Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS) 1949 dan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang
pernah berlaku selama sekitar 10 tahun (1949-1959), justru memuat pasal-
pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan
dengan UUD 1945. Dapat dikatakan bahwa kedua UUD tersebut
mendasarkan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan HAM pada
pernyataan umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights) yang mulai berlaku pada tanggal 10 Desember 1948.
Pada tahun 1949, setelah aksi militer kedua dan dalam rangka
persiapan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat, suasana dunia
sedang diliputi berbagai macam gejolak. Sehingga merasa perlu dibentuk
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10
Desember 1948. Karena itu, dalam perundingan antara delegasi BFO dan
delegasi Republik Indonesia, didapatkan kesepakatan untuk memasukkan
seluruh ketentuan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi RIS 1949. Oleh
karena itu, UUD RIS 1949 termasuk konstitusi pelopor di dunia yang
mengadopsi ketentuan DUHAM secara utuh dan lengkap sebagai tindak
lanjut deklarasi PBB pada bulan desember 1948 tersebut.
Berdasarkan konstitusi RIS 1949, pengaturan tentang HAM
terdapat dalam bagian V yang berjudul “hak-hak dan kebebasan-
-
55
kebebasan dasar manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal, dari
pasal 7 sampai dengan pasal 33. Pasal-pasal tentang HAM yang hampir
keseluruhannya serupa dengan konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam
UUDS 1950, pasal-pasal tersebut juga terdapat dalam bagian V yang
berjudul “hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar manusia”. Bagian ini
sendiri dari 28 pasal, dari pasal 7 sampai dengan pasal 34.
2. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam
Manusia pada dasarnya berasal dari satu ayah dan satu ibu, yang
kemudian, menyebar ke berbagai penjuru dunia, membentuk aneka ragam
suku dan bangsa serta bahasa dan warna kulit yang berbeda-beda. Karena
itu, manusia, menurut pandangan Islam, adalah umat yang satu.
Karena manusia itu bersaudara yang saling mengasihi dan sama
derajatnya, manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia. Manusia adalah
bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan
orang lain. Diceritakan, ketika Umar bin Khatab mendengar bahwa
gubernurnya di Mesir, Amru bin „Ash, bersikap kasar terhadap penduduk
Mesir ia berkata: “sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal
mereka dilahirkan ibu-ibu mereka bebas?”45
Sejalan dengan ajaran kebebasan manusia dalam Islam, al-Qur‟an
menyebutkan:
45
Harun Nasution dan Bakhtiar Efendi (Ed), Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1955), hlm. X.
-
56
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut46
dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 256)47
Ayat ini cukup membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh
agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang,
dan orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”.
Sejarah telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan
yang terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum
musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para muslim. Inilah
sebabnya, para muslim tidak lagi memerangi para musyrik ketika mereka
telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula dengan membayar
jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.48
Dari ajaran dasar persaudaraan, persamaan dan kebebasan ini pula
46
Thaghut ialah setan dan apa saja yang disembah selain Allah AWT. 47
www.theonlyquran.com diakses pada tanggal 30 September 2016 pukul 20.00 WIB 48
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur‟anul Majid an Nuur,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451.
http://www.theonlyquran.com/
-
57
timbul kebebasan manusia yang lainnya. Seperti kebebasan
darikekurangan, rasa takut, menyalurkan pendapat, bergerak, kebebasan
dari penganiayaan dan penyiksaan.49
Hal ini mencakup semua sisi dari apa
yang disebut hak asasi manusia seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak
berfikir, hak berbicara dan mengeluarkan pendapat, hak mendapat
pekerjaan, hak memproleh pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak
berkeluarga dan hak diperlakukan sebaga manusia yang terhormat (mulia)
dan sebagainya.
Pada saat Nabi Muhammad SAW di Madinah mendeklarasikan
perjanjian tertulis pertama di dunia yang menyatakan secara tegas dalam
pasal 1 bahwa “Ínnahum ummatan wahidatan min duuni al-naas (artinya:
Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain dari (komunitas)
manusia lain)”. Pada abad ke 6 disaat Eropa sedang dalam masa
kegelapan, masyarakat Madinah dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW telah menekankan betapa pentingnya hidup berdampingan, saling
menjaga kehormatan dan harta benda, serta saling menghormati terutama
agama dan kepercayaan kaum Yahudi dan Muhajirin. Inilah dasar-dasar
pertama konstitusi modern yang menekankan perlindungan HAM secara
universal.50
Hak asasi manusia dalam Islam sebagaimana termaktub dalam
49
Ahmad Kosasih, HAM Dalam Perspektif Islam, Menyingkap Persamaan dan
PErbedaan Islam & Barat, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), jil. 1, hlm. 16. 50
Setidaknya ada 11 prinsip HAM yang terkandung dalam Piagam Madinah, antara lain:
a) Masyarakat pendukung Piagam ini adalah masyarakat majemuk, baik ditinjau dari sisi asal keturunan, budaya maupun agama yang dianut. Tali pengikat persatuan adalah politik
dalam rangka mencapai cita-cita bersama (pasal 17, 23, dan 24);
b) Masyarakat pendukung semula terpecah belah dikelompokkan dalam kategori muslim dan non-muslim. Tali pengikat sesama muslim adalah persaudaraan seagama (pasal 15).
Diantara mereka harus ada rasa solidaritas yang tinggi (pasal 14, 19, dan 21)
-
58
fikih menurut Masdar F. Mas‟udi,51
memiliki lima prinsip utama yaitu:
(1) Hak perlindungan terhadap jiwa
Kehidupan merupakan sesuatu hal yang sangat niscaya dan tidak
boleh dilanggar oleh siapa pun. Maka barang siapa yang secara
sengaja melanggar kehidupan orang lain, dia harus dihukum setimpal
supaya orang itu tidak melakkukan hal yang sama di tempat lain.
(2) Hak Perlindungan Keyakinan
Perlindungan keyakinan ini dituangkan dalam ajaran La Iqrah
fidhien (tidak ada pemaksaan dalam beragama) atau Lakum
dienukum waliyadien (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Oleh
sebab itu, tidak diperbolehkan adanya pemaksaan dalam memeluk
agama. Etapi dalam sejarah kemudian menurut Masdar F. Mas‟udi,
hak perlindungan atas agama ini diterjemahkan dalam aturan hukum
yang memberi ketentuan keras terhadap orang yang pindah agama.
c) Negara mengakui dan melindungi kebebasan melakukan ibadat bagi orang-orang non-
muslim, khususnya Yahudi (pasal 25-30);
d) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat, wajib saling membantu dan tidak boleh seorangpun diperlakukan secara buruk (pasal 16).
Bahwa orang yang lemah harus dilindungi dan dibantu (pasal 11);
e) Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama (pasal 24, 36, 37, 38, dan 44);
f) Seiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum (pasal 34, 40, dan 46);
g) Hukum adat (tradisi masa lalu) dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap diberlakukan (pasal 2 dan 10);
h) Hukum harus ditegakkan, siapapun tidka boleh melindungi kejahatan apalagi berpihak pada orang yang melakukan kejahatan. Demi tegaknya keadilan dan kebenaran, siapapun
pelaku kejahatn harus dihukum tanpa pandang bulu (pasal 13, 22, dan 43);
i) Pedamaian adalah tujuan utama, namun dalam mengusahakan perdamaian tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan (pasal 45);
j) Hak setiap orang harus dihormati (pasal 12); k) Pengakuan terhadap hak milik individu (pasal 47).
51 Masdar F. Mas‟udi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Dala Sobirin Malian dan
Supaman Marzuki, Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: UII
Press, 2003), hlm. 103-104.
-
59
Padahal dalam konteks yang paling mendasar (al-Qur‟an), tidak ada
pemaksaan dalam ketentuan memeluk agama.52
(3) Hak Perlindungan Terhadap Akal Pikiran
Hak perlindungan terhadap akal pikiran ini diterjemahkan dalam
perangkat hukum yang sangat elementer, yakni tentang haramnya
makan atau minum yang bisa merusak akal pikiran. Barang siapa
yang melanggar hal itu hukumannya cukup keras. Hukuman yang
keras dimaksud sebagai perlindungan terhadap akal pikiran.
Sebenarnya dari penjabaran yang elementer ini bisa ditarik lebih
jauh, yakni perlindungan kebebasan berpendapat, dan hak
memperoleh pendidikan.
(4) Hak Perlindungan Terhadap Hak Milik
Perlindungan ini diterjemahkan dalam hukum tentang keharaman
mencuri dan hukuman yang keras terhadap pencuri hak milik yang
dilindungi secara sah. Kalau diterjemahkan lebih luas, hak ini dapat
dipahami sebagai hak bekerja atau memperoleh pendapatan yang
layak, hak cipta, dan hak kekayaan intelektual.
(5) Hak Berkeluarga atau Hak Memperoleh Keturunan dan
Mempertahankan Nama Baik
Hak ini diterjemahkan begitu keras terutama bagi mereka yang
melakukan perbuatan zina. Orang yang menuduh seseorang berbuat
zina haruslah membuktikan dengan bukti 4 orang saksi seperti yang
52
Ibid, hlm. 104
-
60
terdapat di dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 4. Jika tidak terbukti
maka seseorang itu tidak dapat dipersalahkan.
Kebebasan manusia dalam Islam tidak bersifat mutlak (absolut).
Hak yang bersifat absolut itu, menurut Islam, hanya milik Allah. Allah
adalah pemilik yang sesungguhnya terhadap alam semesta termasuk
manusia itu sendiri. Berdasarkan ini pula manusia tidak boleh semena-
mena dalam menggunakan haknya. Manusia punya kewajiban mematuhi
perintah dan larangan-Nya. Kesemuanya itu adalah dalam rangka
kemaslahatan manusia dan kebaikan seesta (rahmatan lil „alamin).
Sebagai contoh, hak hidup disertai dengan kewajiban memelihara
dan menghormati hidup orang lain, hak mengumpulkan harta diimbangi
dengan kewajiban mengumpulkannya secara halal, dan kewajiban
mengeluarkan zakatnya, kebebasan berbicara harus pula disertai dengan
kewajiban memelihara perasaan serta kehormatan diri orang lain agar tidak
tersakiti. Demikian pula dengan hak memperoleh ilmu diimbangi dengan
kewajiban mengajarkannya kepada orang lain. Pendeknya, pembicaraan
mengenai hak di dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan
tentang kewajiban, dan tidak bisa berdiri sendiri.
3. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara harfiyah, kata hak berarti kewenangan untuk sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Adapun kata asasi berasal dari kata asas yang
-
61
berarti dasar, alas, dan fondasi, yaitu “sesuatu yang menjadi tumpuan
berfikir atau berpendapat”. Kemudian kata itu mendapat imbuhan akhiran
“I” lalu menjadi asasi. Kata asasi bermakna sesuatu yang bersifat dasar
atau pokok.53
Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang
dimiliki oleh seseorang yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan pilihan hidupnya. Hak-hak asasi manusia adalah
hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat
dipisahkan dari pada hakekatnya dan itu karena bersifat suci.
Definisi HAM diartikan oleh Ramdlon Naning yang menyatakan
bahwa HAM adalah hak yang melekat pada martabat manusia, yang
melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa atau hak-hak
dasar yang prinsip sebagai anugerah ilahi. Berarti HAM merupakan hak-
hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat
dipisahkan dari hakikatnya, karena itu HAM bersifat luhur dan suci.54
Hak asasi manusia dibagi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu derogable
rights dan nonderogable rights. Istilah derogable rights diartikan sebagai
hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi dan dikurangi
pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu atau dengan kata lain
hak yang memiliki pembatasan. Sementara itu istilah nonderogable rights
adalah hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan atau dibatasi dan dikurangi
53
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 474 54
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lembaga Kriminolog
UI, 1983), hlm. 12
-
62
pemenuhannya oleh negara dan oleh pihak manapun, meskipun dalam
kondisi darurat apapun atau dapat dikatakan sebagai sifat hak asasi
manusia yang tidak terdapat batasan dengan alasan apapun.
Prof. Aswanto (2008, Bahan Kuliah PPS Doktor Ilmu Hukum
UNHAS), mengemukakan bahwa HAM secara umum dapat
dikelompokkan dalam empat kelompok, sebagai berikut:55
1) Civil Rights, yang meliputi:
a Integrity Rights
b Due Process Rights
2) Political Rights, meliputi:
a Opinion and expression (hak kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dan pikiran)
b Assembly and association (hak untuk berserikat dan berkumpul)
c Take part in government (hak turut erta ambil bagian dalam
pemerintahan),
d Equal access to public service (hak untuk mendapatkan akses
pelayanan publik yang sama),
e Elect and be elected (hak untuk memilih dan dipilih),
3) Socio economic rights, meliputi:
a Right to work (hak untuk bekerja),
b Equal pay for equal work (hak untuk mendapatkan upah yang
sama dari pekerjaan yang sama),
55
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), hlm. 96-100.
-
63
c No force labour (larangan adanya kerja paksa),
d Trade union (serikat pekerja atau buruh)
e Organize and bargaining (mengatur dan tawar menawar).
f Restand leisure (hak cuti dan libur),
g Adequate standard of living (standar hidup yang layak),
h Right to food (hak untuk mendapatkan makanan),
i Right to health (hak untuk mendapatkan kesehatan),
j Right to housting (hak untuk mendapatkan tempat tinggal),
k Right to education (hak untuk mendapatkan pendidikan).
4) Cultural rights, meliputi:
a Take part in cultural life (hak berperan serta dalam kehidupan
budaya)
b To benefit from scientific progress (hak memperoleh manfaat dari
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan)
c Protection of anothership and copyright (perlindungan terhadap
hak cipta)
d Freedom in scientific research and creative activity (kebebasan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian)
4. Hak Memilih dan Dipilih Sebagai Hak Asasi Manusia
Sejak lahirnya NKRI tahun 1945 bangsa ini telah menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut Nampak dari Pancasila
dan UUD 1945, yang memuat beberapa ketentuan- ketentuan tentang
-
64
penghormatan HAM warga Negara. Sehingga pada praktek
penyelenggaraan negara, perlindungan, atau penjaminan terhadap HAM
dan hak-hak warga negara (citizen‟s rights) atau hak-hak constitusional
warga negara (the citizen‟s constitusional rights) dapat terlaksana. Hak
memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar
(basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin
pemenuhannya oleh negara.
Hak politik warga negara mencakup hak untuk memilih dan
dipilih. Penjamin hak dipilih secara tersurat dalam UUD NKRI Tahun
1945 mulai pasal 27 ayat (1) dan (2); pasal 28, pasal 28D ayat (3), pasal
28E ayat (3); sementara hak memilih juga diatur dalam pasal 1 ayat (2);
pasal 2 ayat (1); pasal 6A (1); pasal 19 ayat (1) dan pasal 22C (1) UUD
NKRI Tahun 1945. Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas
bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan,
agama, dan keturunan. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama
dan implementasi hak dan kewajiban pun harus bersama-sama. Ketentuan
UUD NKRI Tahun 1945 diatas mengarahkan bahwa negara harus
memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya
berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi
berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam pemilihan umum di
Indonesia.
Dalam Undang- Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia,
Hak politik warga Negara diatur dalam bab hak turut serta dalam
-
65
pemerintahan, yakni diatur dalam Pasal 45 ayat (1), (2), dan (3) serta pasal
44 yang berbunyi sebagai berikut:56
Pasal 43
1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
2) pemilihan umum berdasarkan persamaan hak
melaluipemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan
dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang
dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
4) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan
pemerintahan.
Pasal 44
Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak
mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau
usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan
lisan maupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
56
Indonesia,Undang-Undang Hak Asasi Manusia. No. 39 tahun 1999. LN No 165 Tahun
1999. TLN.No 3886. Ps. 43 (1), (2), (3) dan Ps. 44.
-
66
Dari semua konsepsi perlindungan hak politik sebagaimana yang
telah dibahas diatas, maka secara general, hak politik yang dilindungi
instrument hukum international maupun hukum nasional Republik
Indonesia mencakup hak-hak sebagai berikut:
1) Hak masyarakat untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum
2) Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung
atau dengan perantara wakil yang dipilihnya.
3) Hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan,
dan atau usulan kepada pemerintah baik dengan lisan maupun
dengan tulisan.
4) Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan publik
dalam pemerintahan.
Hak pertama yakni untuk hak dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat untuk ikut dalam
memberikan suara dalam pemilu dan mencalonkan diri menjadi calon
pejabat publik dalam pemilihan umum. Khusus hak politik untuk dipilih
merupakan ranah politik praktis dimana jabatan-jabatan politik tersedia
antara lain: Jabatan Presiden dan wakil presiden yang pemilihannya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum. Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan Gubernur, Bupati, Wali
-
67
kota, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Terakhir Jabatan Anggota DPR, DPD dan DPRD yang
pengaturannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, Undang- Undang
mengatur pula tentang pembatasan atas hak-hak tersebut. Berdasarkan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan bahwa
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945,
jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan yang demikian ini
mengacu pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam Undang-
undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut
maka tidak dimungkinkan adanya pembatasan terhadap pelaksanaan hak
dan kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara
Indonesia.
Kerangka hukum yang demikian ini perlu untuk dipahami secara
-
68
bersama- sama dalam rangka memaknai “hak” yang telah diakui dan diatur
secara hukum di Indonesia. Kondisi demikian tersebut diatas, apabila
mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan adanya bentuk
pelanggaran hukum terhadap jaminan hak memilih dan dipilih yang
melekat pada warga negara Indonesia.
Adanya ruang untuk melakukan pembatasan tersebut sebagaimana
yang telah dipaparkan diatas, melahirkan pengaturan bahwa hak memilih
dan dipilih tersebut dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga
negara Indonesia. Artinya, hak memilih tersebut diberikan pembatasan-
pembatasan sehingga warga negara yang diberikan jaminan memiliki hak
dipilih dan memilih. tersebut benar-benar merupakan warga negara yang
telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.57
5. Ketentuan Hak Asasi Manusia dengan Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan norma tingkah laku yang patut dan tidak
patut dilakukan serta sekaligus memelihara hubungan yang harmonis
antara pemegang kekuasaan atau negara dengan masyarakatnya. Yang
dimaksud dengan hubungan hukum yang harmonis adalah bahwa
pembentukan norma-norma hukum pidana tersebut sejauh mungkin tidak
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan hak dasar anggota
57
https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-
sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu diakses pada 30 September 2016 pukul
21.21 WIB
https://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemiluhttps://reazaoktafiansyah.wordpress.com/2014/04/19/hak-pilih-warga-negara-sebagai-sarana-pelaksanaan-kedaulatan-rakyat-dalam-pemilu
-
69
masyarakatnya baik dibidang hukum, politik, ekonomi maupun di bidang
sosial sehingga hukum pidana bukan merupakan ancaman terhadap
keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya sendiri.
Sebaliknya, hukum pidana diharapkan berfungsi sebagai pengayom
yang berwibawa dalam konteks hubungan tersebut. Sifat hukum pidana
sejak awal kelahirannya tetap memiliki fungsi represif disamping fungsi
preventif dalam arti yang prospektif. Hukum pidana adalah hukum
prospektif atau hukum untuk pedoman tingkah laku manusia di masa yang
akan datang. Hukum pidana harus menjaga agar selalu terdapat
keseimbangan dan harmonisasi antara hak-hak dasar manusia dan
kewajiban asasi manusia.