bab ii kajian pustaka a. penelitian...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Blanchard dan Dionne (2003) dalam penelitian ini menghasilkan hasil bahwa
kebijakan perusahaan terkait dengan manajemen risiko sangat dipengaruhi dengan
proporsi dewan komisaris yang memiliki kompetensi dan independensi dalam
bidangnya, semakin tinggi proporsi komisaris independen yang ada pada dewan
komisaris, maka semakin besar pula aktivitas manajemen risiko yang ada dalam
perusahaan.
Desender (2007) dalam peneletian ini menunjukkan bahwa posisi pemilik
memiliki pengaruh penting pada tingkat pengungkapan manajemen risiko.
Penelitian ini membuktikan dewan komisaris independen tidak memberikan
pengaruh dalam pengungkapan manajemen risiko. Dewan komisaris independen
hanya berpengaruh terkait dengan pengungkapan manajemen risiko ketika ada
pemisahan antara pengawasan dan pengelolaan yang menunjukkan peningkatan
level dari manajemen risiko perusahaan.
Yatim (2010) dalam penelitian ini menunjukkan hasil bahwa perusahaan
dengan dewan komisaris independen cenderung membentuk komite manajemen
risiko karena dewan direksi independen berusaha untuk melindungi reputasi mereka
sebagai pemantau ahli. Dengan demikian, adanya komite komisaris sebuah komite
manajemen risiko menunjukkan komitmen mereka untuk meningkatkan
8
pengendalian internal, dan meminimalkan risiko keuangan, operasional dan
reputasi.
Subramaniam et al. (2009) dalam penelitian ini menunjukan hasil bahwa
bahwa komite manajemen risiko cenderung berada pada perusahaan yang memiliki
komisaris independen dan ukuran dewan komisaris yang besar. Komisaris yang
independen dan ukuran dewan komisaris berpengaruh positif dan signifikan
terhadap keberadaan komite manajemen risiko dan kompleksitas berhubungan
negatif dengan keberadaan komite manajemen risiko.
Layyinatusy (2013) dalam penelitian ini menunjukan hasil bahwa ukuran
perusahaan, konsentrasi kepemilikan, reputasi auditor dan Chief Risk Officer
berpengaruh positif terhadap pengungkapan manajemen risiko, sedangkan
variabel Leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan manajemen risiko.
Sari (2013) dalam penelitian ini menunjukan hasil bahwa Komisaris
independen, reputasi auditor, Risk Management Committee, konsentrasi
kepemilikan dan ukuran perusahaan berpengaruh yang signifikan terhadap
pengungkapan manajemen risiko bisnis perusahaan.
Ramadhani et al. (2015) dalam penelitian ini menunjukan hasil bahwa
keberadaan komite khusus baik terpisah maupun tergabung dalam komite audit
terhadap penanganan manajemen risiko sangat penting sehingga perusahaan dapat
lebih fokus dalam menghadapi risiko yang mungkin terjadi dan mencari solusi atau
mitigasi dari risiko tersebut. Kehadiran dewan komisaris juga sangat berperan
dalam implementasi manajemen risiko perusahaan, dimana dewan komisaris yang
9
banyak dan proporsional diharapkan dapat meningkatkan pengawasan yang
besar pula terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko dalam perusahaan.
B. Kajian Teori
1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Definisi teori keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976) adalah
hubungan atau kontrak dimana satu orang atau beberapa orang (principal)
mengikutsertakan orang lain (agent) untuk melaksanakan sejumlah jasa untuk
kepentingan perusahaan dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan
terkait dengan pengelolaan perusahaan kepada agent tersebut. Dikarenakan adanya
pemisahan antara pemilik perusahaan dan pengelolaan oleh manajemen, hal ini
cenderung menimbulkan konflik keagenan di antara principal dan agent.
Abdullah dan Valentine (2009) mendefinisikan teori keagenan sebagai
hubungan antara pemegang saham (principal) dan agent. Dalam teori ini,
pemegang saham adalah pemilik atau pelaku dari perusahaan yang memberikan
beberapa tugas kepada pengelola perusahaan. Pada teori agensi, baik principal
maupun agent diasumsikan sebagai orang-orang yang memiliki latar belakang
pendidikan yang tinggi dan semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadinya
masing masing, dari situasi ini maka munculah konflik keagenan yang terjadi antara
principal dan agent (Andarini dan Januarti, 2012).
Menurut Eisenhardt (1989) timbulnya agency conflict dalam teori keagenan
dilandasi oleh tiga buah asumsi, yaitu:
a. Asumsi tentang sifat manusia
10
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat: (1)
mementingkan diri sendiri (self interest); (2) manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality); (3) manusia tidak
menyukai dan cenderung menghindari risiko (risk adverse).
b. Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi,
efisien sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information antara
principal dan agent.
c. Asumsi tentang informasi
Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai
barang komoditi yang diperjualbelikan.
Untuk mengatasi tindakan para agent yang tidak sesuai dengan kepentingannya,
principal memiliki dua cara yaitu : (Subramaniam et al., 2009)
a. Memantau perilaku agen dengan mengadopsi fungsi audit dan mekanisme
tata kelola perusahaan yang baik sehingga dapat meluruskan kepentingan
agent dengan principal.
b. Memberikan insentif kerja yang menarik untuk agen dan menyediakan
struktur penghargaan yang dapat mendorong agent dalam bertindak untuk
kepentingan terbaik bagi principal.
2. Teori Sinyal (Signalling theory)
Teori sinyal membahas mengenai dorongan suatu perusahaan untuk
memberikan informasi kepada pihak eksternal. Teori sinyal muncul karena adanya
permasalahan asimetris informasi yaitu adanya perbedaan informasi yang dimiliki
11
antara pihak manajemen dan pihak eksternal (Ramadhani et al., 2015). Oleh karena
itu, untuk mengatasi terjadinya asimetris informasi, maka perusahaan harus
mengungkapkan informasi yang dimiliki baik informasi keuangan maupun
nonkeuangan. Menurut Subramaniam et al. (2009) apabila perusahaan menerapkan
praktik pengungkapan, teori sinyal akan memberikan manfaat bagi perusahaan
untuk mengungkapkan tata kelola perusahaan yang baik atau meningkatkan konsep
dan praktek tata kelola perusahaan sehingga akan menciptakan reputasi yang baik
dan perusahaan akan lebih menguntungkan dipasar. Oleh karena itu, untuk
mengurangi asimetris informasi yang akan terjadi maka perusahaan harus
mengungkapkan informasi yang dimiliki baik informasi keuangan maupun
nonkeuangan.
3. Tata Kelola Perusahaan
Beberapa pengertian tentang tata kelola perusahaan yang muncul
menunjukkan bahwa konsep tentang tata kelola perusahaan tersebut masih akan
terus berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Meskipun konsep dan
pengertian tata kelola perusahaan tidak dapat diartikan secara baku namun banyak
peneliti yang mencoba untuk mendefinisikan tentang tata kelola perusahaan.
Blanchard dan Dionne (2003) yang mendefinisikan tata kelola perusahaan sebagai
sistem kontrol yang dirancang untuk memantau operasi perusahaan dan
kemungkinan terjadi konflik karena adanya perbedaan antara masing-masing
pemangku kepentingan.
Tata kelola perusahaan merupakan serangkaian proses dan struktur untuk
mengendalikan dan mengarahkan organisasi, yang mana tata kelola perusahaan
12
merupakan faktor penting dalam mengelola perusahaan dalam lingkungan yang
kompleks saat ini (Abdullah dan Valentine, 2009). Tata kelola perusahaan
merupakan sebuah sistem yang berisi seperangkat peraturan yang mengatur
hubungan antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal
lainnya dalam kaitannya dengan hak-hak dan kewajiban mereka (Purwani, 2010).
Menurut Nuswandari (2009) tata kelola perusahaan adalah seperangkat
sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai
tambah bagi stakeholder. Tata kelola perusahaan memacu terbentuknya pola
manajemen yang profesional, transparan, bersih dan berkelanjutan.
Secara umum terdapat lima (5) prinsip dalam Tata kelola perusahaan menurut
KNKG (2006) yaitu :
a. Transparansi (Transparency), yaitu penyediaan informasi yang material dan
relevan dengan cara yang mudah diakses dan mudah dipahami oleh pemangku
kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan
informasi. Bukan hanya informasi yang disyaratkan oleh peraturan perundang-
undangan tetapi juga hal-hal penting untuk pengambilan keputusan pemegang
saham, kreditur, dan pemangku kepentingan lainnya.
b. Akuntabilitas (Accountability), yaitu pertanggungjawaban kinerja perusahaan
secara transparan dan wajar. Perusahaan harus dikelola secara benar, terukur,
dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.
13
c. Responsibilitas (Responsibility), yaitu pematuhan peraturan perundang-
undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan
lingkungan. Perusahaan dapat memelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate.
d. Independensi (Independency), yaitu pengelolaan perusahaan secara independen
(tidak terafiliasi dengan pihak manapun) sehingga masing–masing organ tidak
saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
e. Kewajaran dan kesetaraan (Fairness), yaitu penjaminan perlindungan hak–hak
para pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk hak–hak
pemegang saham minoritas dan para pemegang saham asing, serta menjamin
terlaksananya komitmen kepada para investor.
4. Manajemen Risiko
Menurut kamus bahasa, risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan
(merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010.2009 mendefinisikan risiko merupakan
potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian. Bagi sebuah
perusahaan, risiko merupakan ketidakpastian yang dihadapi yang berdampak
merugikan atau mungkin saja menguntungkan (Tugiman, 2009).
Kondisi dunia usaha selalu penuh dengan ketidakpastian, apabila
ketidakpastian tersebut berdampak menguntungkan, maka ini dikenal dengan
kesempatan (opportunity), tetapi apabila ketidakpastian ini terjadi dan merugikan
perusahaan maka ini disebut dengan istilah risiko (risk). Sehubungan dengan itu,
maka perusahaan berinisiatif untuk mengelola risiko tersebut. Pengelolaan risiko
14
yang baik dapat menghindarkan perusahaan dari kondisi yang tidak diinginkan
yang dapat mengancam kelangsungan usaha atau aktivitas perusahaan. Cara-cara
yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengelola risiko disebut manajemen risiko.
Manajemen risiko bertujuan untuk mengelola risiko sehingga suatu
perusahaan bisa bertahan. Menurut Subramaniam et al. (2009) manajemen risiko
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari praktik bisnis yang baik dan telah
dilakukan secara berkelanjutan dan informal oleh banyak organisasi. Secara
tradisional, manajemen risiko telah dikembangkan secara profesional dan teknis di
sejumlah bidang utama, yaitu keuangan, kesehatan dan keselamatan, klinis dan
lingkungan.
COSO (2004) mendefinisikan manajemen risiko sebagai suatu proses yang
melibatkan seluruh anggota perusahaan untuk mengidentifikasi dan mendeteksi
suatu kejadian atau potensi kejadian yang dapat menimbulkan risiko. Mengelola
risiko tersebut secara keseluruhan, dengan tujuan untuk menjamin pencapaian
tujuan perusahaan. Selain itu, (Saputro, 2015) berpendapat bahwa manajemen
risiko dimulai dari adanya kesadaran manajemen menyadari bahwa risiko itu
pasti ada di dalam suatu perusahaan. Informasi mengenai manajemen risiko sangat
berguna bagi para pemangku kepentingan, khususnya bagi para pemegang saham.
5. Manajemen Risiko Perusahaan
Perlu disadari bahwa risiko bukan hanya terjadi pada hal yang berhubungan
dengan fisik dan finansial, namun risiko dapat terjadi pada bagian operasional dan
permasalahan strategis perusahaan. Diperlukan suatu konsep yang baik untuk
mengelola suatu risiko yang ada di perusahaan. Salah satu cara yang digunakan oleh
15
perusahaan adalah manajemen risiko bisnis perusahaan, manajemen risiko bisnis
perusahaan ini digunakan oleh perusahaan untuk menentukan risiko apa saja yang
kemungkinan akan menimpa perusahaan serta cara dan risiko yang mana saja yang
seharusnya dihindari.
Manajemen risiko perusahaan juga diartikan sebagai suatu proses untuk
mengelola risiko-risiko perusahaan secara menyeluruh (firm-wide basis) yang
menjangkau berbagai jenis risiko, lokasi dan aktivitas bisnis. (D’Arcy dan Brogan,
2001) mendefinisikan manajemen risiko perusahaan merupakan pendekatan
manajemen risiko secara keseluruhan untuk risiko. Manajemen risiko perusahaan
ini mencakup manajemen perusahaan risiko, manajemen risiko bisnis, manajemen
risiko holistik, manajemen risiko strategis dan manajemen risiko yang terintegrasi.
COSO (2004) dalam executive summary menyatakan bahwa manajemen
risiko perusahaan meliputi hal sebagai berikut:
Aligning risk appetite and strategy, manajemen mempertimbangkan besar
risiko entitas dalam mengevaluasi strategi alternatif, menetapkan tujuan yang
terkait, dan mengembangkan mekanisme untuk mengelola risiko yang terkait.
Enchancing risk response decisions, manajemen risiko perusahaan menyediakan
kekuatan untuk mengidentifikasi dan memilih di antara tanggapan alternatif dari
risiko apakah menghindari, mengurangi, membagi, dan menerima risiko. Reducing
operational surprises and losses, perusahaan mengambil keuntungan dengan
meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi peristiwa yang berpotensi dan
respon yang ada, mengurangi adanya kejutan-kejutan dan menghubungkan dengan
biaya atau kerugian. Identifying and managing multiple and cross-enterprise risks,
16
setiap perusahaan menghadapi banyak sekali risiko yang memengaruhi berbagai
bagian organisasi dan manajemen risiko memfasilitasi respon yang efektif terhadap
dampak yang saling berhubungan dan mengintegrasikan respon terhadap beberapa
risiko. Improving deployment of capital, memiliki informasi risiko yang baik dapat
memungkinkan manajemen untuk secara efektif menilai kebutuhan modal secara
keseluruhan dan meningkatkan alokasi modal.
C. Kerangka Pikiran
Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan, maka dapat
dikembangkan seperti dalam gambar model penelitian, yang menggambarkan
bahwa penerapan tata kelola perusahaan mempengaruhi pengungkapan manajemen
risiko bisnis perusahaan.
Gambar 2.1 Kerangka Pikiran
Pengungkapan
Manajemen
Risiko
Perusahaan (Y)
Tata Kelola Perusahaan :
1. Proporsi Dewan Komisaris
Independen (X1)
2. Komite Audit (X2)
3. Frekuensi Rapat Umum Dewan
Komisaris (X3)
17
D. Pengembangan Hipotesis
1. Hubungan proporsi dewan komisaris independen dengan pengungkapan
manajemen risiko bisnis perusahaan.
Dewan Komisaris sebagai organ perusahaan bertugas dan bertanggungjawab
secara kolektif untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada
direksi serta memastikan bahwa Perusahaan melaksanakan Good corporate
governance (KNKG, 2006). Proporsi anggota independen dalam dewan komisaris
dikatakan sebagai indikator independensi dewan. Kehadiran komisaris independen
dapat meningkatkan kualitas pengawasan karena tidak terafiliasi dengan
perusahaan sehingga bebas dalam pengambilan keputusan (Meizaroh, 2011).
Komisaris Independen ini dapat disebut sebagai komisaris yang tidak berasal
dari pihak yang terafiliasi. Pihak terafiliasi adalah pihak yang mempunyai
hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota
dewan direksi dan dewan komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri
(Ramadhani et al., 2015).
Dewan komisaris indepeden dengan proporsi yang lebih tinggi cenderung
membentuk komite manajemen risiko untuk meningkatkan kemampuan mereka
dalam mengawasi perusahaan. Dewan komisaris independen akan cenderung
meningkatkan aktivitas manajemen risiko serta mengungkapkan apa yang sudah
dilakukan oleh mereka untuk mencari solusi dan mengatasi risiko perusahaan yang
mereka kelola (Subramaniam et al., 2009). Menurut Peraturan Otoritas Jasa
18
Keungan (OJK) Nomor 33 /POJK.04/2014 Tentang Direksi dan dewan komisaris
emiten atau perusahaan publik pasal 20 Nomor 03 dalam hal dewan komisaris
terdiri lebih dari 2 (dua) orang anggota dewan komisaris, jumlah Komisaris
Independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh
anggota dewan komisaris.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diusulkan sebagai berikut:
H1: Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap
pengungkapan manajemen risiko bisnis perusahaan.
2. Hubungan komite audit dengan pengungkapan manajemen risiko bisnis
perusahaan.
Komite Audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan
bahwa: (1) laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum; (2) struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan
dengan baik; (3) pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai
dengan standar audit yang berlaku; (4) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan
oleh manajemen (KNKG, 2006). Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
No.55/POJK.04/2015 yang dikeluarkan pada tanggal 23 Desember 2015 tentang
Pembentukan dan Pedoman Kerja Komite Audit pasal 10 huruf f menjelaskan
bahwa komite audit memiliki tugas dan tanggung jawab dalam melakukan
penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan oleh
direksi, jika emiten atau perusahaan publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko
di bawah dewan komisaris. Selain itu, sesuai dengan lampiran keputusan Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) No. Kep-29/PM/2004 tentang pedoman
19
pelaksanaan kerja komite audit bahwa salah satu tugas dan tanggung jawab
komite audit adalah melaporkan kepada dewan komisaris mengenai berbagai
risiko dan pelaksanaan manajemen risiko.
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diusulkan sebagai berikut:
H3: Komite audit berpengaruh terhadap pengungkapan manajemen risiko
bisnis perusahaan.
3. Hubungan frekuensi rapat umum dewan komisaris dengan pengungkapan
manajemen risiko bisnis perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yatim (2010) fokus pada rapat dewan
komisaris adalah mengingat bahwa pertemuan yang sering dilakukan oleh dewan
komisaris memungkinkan berpotensi untuk meningkatkan komunikasi antara
direksi dan dewan komisaris serta fungsi pengendalian internal terhadap komite
manajemen risiko dan memungkinkan direksi untuk menjadi lebih efektif dalam
melakukan pengawasan terhadap internal perusahaan.
Frekuensi pertemuan yang lebih besar dihubungkan dengan penurunan
insiden dan mengurangi masalah pelaporan keuangan dengan kualitas audit
eksternal yang lebih besar. Frekuensi rapat mendorong dewan komisaris untuk
mendapatkan informasi tentang kondisi perseroan lebih intensif, relevan, dan tepat
waktu terutama tentang risiko serta kualitas pengendalian internal yang lebih baik
(DeZoort et al., 2002).
Frekuensi rapat dewan komisaris yang lebih tinggi menunjukkan bahwa
dewan komisaris lebih aktif dalam peran mereka yaitu melakukan pengawasan dan
20
cenderung melakukan diskusi mengenai manajemen risiko pada saat rapat umum
dewan komisaris (Yatim, 2010).
Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diusulkan sebagai berikut:
H4: Frekuensi rapat umum dewan komisaris berpengaruh terhadap
pengungkapan manajemen risiko bisnis perusahaan