bab ii kajian pustaka a. asas preferensi hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/bab ii.pdf20 bab ii kajian...

44
20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai beberapa permasalahan, yaitu mulai dari kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum) dan kekaburan norma (vage normen) atau norma tidak jelas. 28 Guna menyelesaikan permasalahan hukum tersebut maka berlaku asas preferensi hukum. Asas preferensi hukum adalah asas hukum yang menunjuk hukum mana yang lebih didahulukan untuk diberlakukan, jika dalam suatu peristiwa hukum terkait atau tunduk pada beberapa peraturan. 29 Shidarta dan Petrus Lakonawa berpendapat asas preferensi hukum memiliki berperan sebagai penyelesai konflik di antara norma-norma hukum positif. Apabila dalam suatu perkara terdapat sejumlah undang-undang yang berlaku menjadi hukum positif dan terjadi konflik di antara hukum positif tersebut, maka asas preferensi hukum hadir sesuai kegunaannya untuk memastikan peraturan perundang-undangan mana yang harus dipakai sebagai rujukan. Oleh karena itu, asas preferensi hukum disebut sebagai pengobat 28 Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Cetakan Kedu. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 90. 29 Shinta Agustina. 2015. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Vol. 44 No. 4. Fakultas Hukum. Universitas Diponegoro. Hal. 504, https://ejournal.undip.ac.id diakses pada 23 Agustus 2018.

Upload: others

Post on 31-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Asas Preferensi Hukum

Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai beberapa

permasalahan, yaitu mulai dari kekosongan hukum (leemten in het recht),

konflik antar norma hukum (antinomi hukum) dan kekaburan norma (vage

normen) atau norma tidak jelas.28 Guna menyelesaikan permasalahan hukum

tersebut maka berlaku asas preferensi hukum. Asas preferensi hukum adalah

asas hukum yang menunjuk hukum mana yang lebih didahulukan untuk

diberlakukan, jika dalam suatu peristiwa hukum terkait atau tunduk pada

beberapa peraturan.29

Shidarta dan Petrus Lakonawa berpendapat asas preferensi hukum

memiliki berperan sebagai penyelesai konflik di antara norma-norma hukum

positif. Apabila dalam suatu perkara terdapat sejumlah undang-undang yang

berlaku menjadi hukum positif dan terjadi konflik di antara hukum positif

tersebut, maka asas preferensi hukum hadir sesuai kegunaannya untuk

memastikan peraturan perundang-undangan mana yang harus dipakai sebagai

rujukan. Oleh karena itu, asas preferensi hukum disebut sebagai pengobat

28 Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.

Cetakan Kedu. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 90. 29 Shinta Agustina. 2015. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam

Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Vol. 44 No. 4. Fakultas

Hukum. Universitas Diponegoro. Hal. 504, https://ejournal.undip.ac.id diakses pada 23 Agustus

2018.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

21

hukum (legal remedies).30 Untuk lebih jelasnya, penulis jabarkan sebagai

berikut :

1. Lex Specialis Derogat Legi Generalis

Bagir Manan dan A.A. Oka Mahendra menyatakan bahwa asas lex

specialis derogat legi generali memiliki definisi yaitu aturan hukum yang

sifatnya khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang bersifat

umum. Terdapat beberapa prinsip yang patut diperhatikan dalam

penggunaan asas lex specialis derogat legi generalis, sebagai berikut :

(a) Rangkaian ketentuan/norma yang dimuat dalam aturan hukum yang

bersifat umum tetap berlaku, kecuali terdapat pengaturan secara

khusus dalam aturan hukum yang bersifat khusus tersebut.

(b) Rangkaian ketentuan/norma lex specialis, harus dalam suatu tingkatan

(hierarki) yang sama dengan rangkaian ketentuan/norma lex generalis,

contohnya UU dengan UU.

(c) Rangkaian ketentuan/norma lex specialis harus berada dalam rezim

(lingkungan hukum) yang sama dengan lex generalis. Contohnya

KUH Perdata dan KUH Dagang yang sama-sama merupakan

peraturan pada rezim keperdataan.31

30 Shidarta dan Petrus Lakonawa. 2018. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna Dan

Penggunaannya. Jakarta. Penerbit BINUS University. Rubric of Faculty Members. Dipublikasikan

pada 3 Maret 2018, http://business-law.binus.ac.id diakses tanggal 22 Agustus 2018. 31 A.A. Oka Mahendra. 2010. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta. Artikel

Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang-undangan. Dipublikasikan pada 29 Maret 2010, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2018.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

22

2. Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Menurut Peter Mahmud Marzuki asas lex superior derogat legi

inferiori mengacu kepada dua atau lebih peraturan perundang-undangan

yang mempunyai kedudukan yang sama secara hierarki, namun ruang

lingkup materi muatan antara peraturan perundang-undangan tersebut

tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang

lain.32

Menurut Bagir Manan dan A.A. Oka Mahendra, asas ini memiliki

makna bahwa peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih

tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang secara

hierarki lebih rendah. Namun terdapat pengecualian apabila substansi

peraturan perundang-undangan yang Lex Superior mengatur hal-hal yang

oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-

undangan yang lebih Inferiori.33

3. Lex Posterior Derogat Legi Priori

Menurut Peter Mahmud Marzuki, beliau berpendapat bahwa asas

lex posterior derogat legi priori memiliki definisi yaitu peraturan

perundang-undangan yang baru/terkini mengesampingkan peraturan

perundang-undangan yang lama/terdahulu. Penggunaan asas ini

mensyaratkan bahwa yang dihadapkan adalah dua peraturan perundang-

undangan dalam hierarki yang sama.34

32 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta. Penerbit Kencana

Prenada Media Grup. Hal. 139. 33 A.A. Oka Mahendra. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Loc.cit. 34 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Op.cit.. Hal. 141-142.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

23

Asas ini memiliki eksistensi untuk mengingat peraturan

perundang-undangan yang baru merepresentasikan situasi dan kebutuhan

yang sedang berlangsung. Namun sebaliknya, juga dapat dianalogikan

sebagai ketidakmampuan peraturan perundang-undangan yang baru dalam

memuat rangkaian ketentuan/norma yang dibutuhkan untuk menghadapi

situasi yang sedang berlangsung. Jika rangkaian ketentuan/norma yang

termuat pada peraturan perundang-undangan terdahulu tidak bertentangan

dengan landasan filosofis peraturan perundang-undangan terkini, maka

ketentuan/norma tersebut tetap berlaku melalui aturan peralihan peraturan

perundang-undangan yang baru/terkini.35

Menurut Bagir Manan dan A.A. Oka Mahendra, aturan hukum

yang baru/terkini mengesampingkan aturan hukum yang lama/terdahulu.

Asas lex posterior derogat legi priori mengutamakan penggunaan aturan

hukum yang terkini, dengan memperhatikan 2 (dua) prinsip sebagai

berikut :

(1) Aturan hukum yang baru/terkini harus dalam suatu tingkatan yang

sama atau secara hierarki lebih tinggi dari aturan hukum yang

lama/terdahulu;

(2) Aturan hukum baru/terkini dan lama/terdahulu mengatur aspek yang

sama.

Maksud asas ini adalah untuk mencegah terjadinya dualisme aturan

hukum yang dapat meni8mbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya

35 Ibid.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

24

asas ini, rangkaian ketentuan/norma yang mengatur pencabutan sebuah

peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak terlalu penting. Secara

yuridis, aturan lama/terdahulu yang serupa tidak akan berlaku lagi pada

saat aturan baru/terkini mulai berlaku.36

B. Pengaturan Kepailitan Di Indonesia

1. Pengertian Kepailitan

Istilah kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit yang

mana dalam perbendaharaan bahasa Perancis, Belanda, Inggris, Latin dan

Amerika yang masing-masing memiliki perbedaan terjemahan namun

pada hakikatnya memiliki maksud yang sama. Di dalam bahasa Perancis,

istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan

pembayaran. Oleh sebab itu orang yang mogok atau macet membayar

utangnya di dalam bahasa Perancis disebut lefailli. Untuk arti yang sama

di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillite. Kemudian dalam

bahasa Inggris di kenal istilah to fail dan di dalam bahasa Latin dikenal

dengan istilah fallire.37 Sedangkan di Amerika dikenal dengan istilah

“bankrupcy act”.38

Selain itu secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kepailitan adalah suatu keadaan atau kondisi seseorang atau

badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya dalam hal

36 A.A. Oka Mahendra. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Loc.cit. 37 Zainal Asikin. 2001. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta.

Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 26. 38 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 4.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

25

utang-utangnya kepada si piutang.39 Menurut Munir Fuady, pailit atau

bangkrut adalah seorang debitur yang tidak sanggup lagi membayar. Lebih

tepat, ialah seseorang yang oleh pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang

aktiva atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-

utangnya.40 Sedangkan Kartono berpendapat, kepailitan adalah suatu

sitaan dan eksekusi atas seluruh harta kekayaan debitur untuk kepentingan

seluruh krediturnya pada waktu debitur dinyatakan pailit dan mempunyai

piutang dengan jumlah piutang yang masing-masing kreditur miliki saat

itu.41

Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU K-PKPU), yang dimaksud

dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan. Hukum kepailitan

di Indonesia semula diatur dengan Faillissement Verordering (FV) yaitu

Staatsblad Th. 1905 No.217 jo. Staatsblaad Th.1906 No. 348. Peraturan FV

tersebut selanjutnya mendapatkan perubahan yang dimaknai sebagai

penyempurnaan dengan lahirnya PERPU No. 1 Tahun 1998 yang

menyesuaikan diri dengan keadaan krisis moneter yang dialami Indonesia

mulai pertengahan tahun 1997. Kemudian PERPU tersebut ditetapkan

sebagai UU No. 4 Tahun 1998, namun karena perubahan tersebut belum

memenuhi perkembangan dan kebutuhan hidup masyarakat, kemudian

39 Dadang Sunendar. (et.al). 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. kbbi.kemen-

dikbud.go.id, diakses tanggal 10 Januari 2018. 40 Munir Fuady. 2010. Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek. Bandung. Penerbit PT. Citra

Aditya Bakti. Hal. 8. 41 Kartono. 1985. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran Utang. Jakarta. Penerbit

Pradnya Paramita. Hal. 5.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

26

diperbaharui lagi dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 (UU K-

PKPU).42

Tujuan hukum kepailitan pada dasarnya merupakan solusi bagi

para pihak, apabila terdapat debitur dalam keadaan berhenti membayar

atau tidak mampu membayar seluruh utangnya. Menurut Sutan Remy

Sjahdeni, tujuan utama hukum kepailitan adalah sebagai berikut :

a. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka

sehubungan dengan berlakunya asas jaminan bahwa semua kekayaan

debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah

ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi

seluruh perikatan debitur, dengan cara memberikan fasilitas dan

prosedur agar mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap

debitur.

b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para

kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional

harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren berdasarkan

perimbangan besarnya masing-masing tagihan kreditur tersebut).

c. Mencegah debitur agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan status pailit seorang

debitur maka ia kehilangan kewenangan untuk mengurus dan

memindahtangankan harta kekayaannya. Status harta kekayaan

debitur menjadi harta pailit.

42 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 8-12.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

27

d. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan

perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga

perusahaan mengalami insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh

pengadilan.

e. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk

berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-

utang debitur.43

Dalam penjelasan UU K-PKPU menerangkan bahwa untuk

menegakkan norma hukum kepailitan harus mengacu pada keberlakuan

asas-asas antara lain, sebagai berikut :

(1) Asas Keseimbangan : UU K-PKPU mengatur ketentuan-ketentuan

yang di satu sisi dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan

lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di sisi lain terdapat

ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan

lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

(2) Asas Kelangsungan Usaha : UU K-PKPU memungkinkan perusahaan

debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

(3) Asas Keadilan : bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat

mengakomodasi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.

Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan

pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-

masing terhadap debitur, dengan tidak memedulikan kreditur lainnya.

43 Sutan Remy Sjahdeni. 2009. Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta. Penerbit Pustaka Utama Grafiti. Hal. 28.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

28

(4) Asas Integrasi : asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum

formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh

dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.44

2. Para Pihak Dalam Kepailitan

a. Pemohon Pailit

Pemohon Pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU K-

PKPU yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas

permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

krediturnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, yang berhak mengajukan

permohonan pailit ke Pengadilan Niaga yakni sebagai berikut :

(1) Debitur

Permohonan pernyataan pailit yang diajukan sendiri oleh debitur

(voluntary petition) menandakan bahwa permohonan pernyataan

pailit bukan saja dapat diajukan untuk kepentingan para krediturnya

tetapi dapat pula diajukan untuk kepentingan debitur sendiri.

Debitur harus dapat mengemukakan dan membuktikan bahwa ia

memiliki lebih dari satu kreditur dan tidak membayar salah satu utang

krediturnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.45

Kreditur

352.

44 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Malang. Penerbit UMM Press. Hal. 351- 45 Munir Fuady. Op.cit. Hal. 9.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

29

Syarat seorang kreditur untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit tentu sama dengan syarat yang harus dipenuhi debitur dalam

mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya karena

landasan bagi keduanya adalah Pasal 2 Ayat (1) UU K-PKPU.46

Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan pihak-pihak di

luar perjanjian utang-piutang antara debitur dan kreditur. Permohonan

tersebut diajukan terhadap debitur-debitur tertentu, yaitu Jaksa untuk

kepentingan umum, Bank Indonesia jika debiturnya bank, Bapepam

jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan

penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian, serta Menteri

Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana

pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.47

b. Kurator

Pasal 24 Ayat (1) UU K-PKPU mengatur bahwa pernyataan

pailit Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengakibatkan debitur demi

hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang

termasuk dalam harta pailit. Berdasarkan putusan pernyataan pailit

tersebut maka diangkatlah Kurator. Kurator adalah Balai Harta

Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan

untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit.48

46 Ibid. 47 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 231. 48 Sutan Remy Sjahdeni. 2016. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Cet. 1. Jakarta.

Penerbit Prenadamedia Group. Hal. 306.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

30

Kurator dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola harta

pailit harus independen, artinya Kurator yang diangkat tidak ada

kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap harta pailit.49

Adapun syarat untuk menjadi seorang Kurator yakni :

(1) Orang perorangan yang memiliki domisili di Indonesia dan

memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus

serta membereskan harta pailit.

(2) Terdaftar di kementerian yang lingkup tugas dan tanggung-

jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan,

dalam hal ini yang dimaksud adalah Kemenkumham.

Menurut penjelasan Pasal 72 Ayat (2) huruf a UU K-PKPU

yang dimaksud dengan “keahlian khusus” yaitu mereka yang telah

menempuh dan lulus pendidikan Kurator dan Pengurus. Sementara itu

ketentuan Pasal 70 Ayat (2) huruf b UU K-PKPU menormakan bahwa

yang dimaksud “terdaftar” adalah telah memenuhi syarat-syarat

pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan adalah anggota

aktif organisasi profesi Kurator dan Pengurus.

c. Hakim Pengawas

Putusan pernyataan pailit mengakibatkan penguasaan terhadap

harta debitur beralih kepada Kurator. Kurator berwenang untuk

melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam pengurusan

dan pemberesan dapat terjadi penyalahgunaan wewenang yang

49 Santoso Sembiring. 2006. Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-Undangan

Terkait Dengan Kepailitan. Bandung. Penerbit CV. Nuansa Aulia. Hal. 32.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

31

dilakukan oleh kurator maka diangkat seorang pengawas oleh

pengadilan yang disebut Hakim Pengawas. Hakim Pengawas bertugas

mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit (Pasal 65 UU K-

PKPU).

Pengadilan Niaga dalam membuat suatu putusan mengenai

pengurusan atau pemberesan harta pailit harus terlebih dahulu mendengar

pendapat dari Hakim Pengawas. Hakim Pengawas berhak memperoleh

segala keterangan yang diperlukan mengenai kepailitan, mendengar

saksi-saksi ataupun untuk memerintahkan diadakannya penyelidikan oleh

ahli-ahli.50 Kurator berkewajiban untuk melaporkan segala sesuatu

terkait harta pailit kepada Hakim Pengawas. Berdasarkan laporan

tersebut, Hakim Pengawas membuat suatu penetapan atas seluruh

tindakan yang dilakukan kurator dalam pemberesan harta pailit.

Ketetapan Hakim Pengawas merupakan bukti otentik dalam proses

kepailitan (Pasal 68 UU K-PKPU).

3. Permohonan Pailit

Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, seorang

pemohon pailit harus memahami syarat-syarat kepailitan yang diatur

dalam UU K-PKPU. Syarat-syarat tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal

2 Ayat (1) UU K-PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih

kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

50 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. Op.cit. Hal. 73.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

32

pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan

satu atau lebih krediturnya.51

Syarat untuk mengajukan permohonan pailit yang telah terpenuhi

tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga sesuai dengan ketentuan

Pasal 6 UU K-PKPU. Permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh

advokat yang telah mempunyai ijin praktik kepada Panitera Pengadilan

untuk didaftar. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit

kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal

permohonan didaftarkan, kemudian pada hari ketiga Pengadilan Niaga

mempelajari permohonan tersebut dan menentukan hari sidang. Setelah itu

Pengadilan Niaga melakukan pemanggilan yang dilakukan oleh juru sita

kepada :

a. Debitur dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh

kreditur, Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, Departemen

Keuangan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan apakah alat bukti

memenuhi syarat pailit;

b. Kreditur dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh

debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan

pailit telah terpenuhi.52

Sidang pemeriksaan permohonan pernyataan dilakukan secara

terbuka dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan

diajukan upaya hukum. Dalam proses persidangan, hakim dapat

51 Rahayu Hartini. 2017. BUMN Persero Konsep Keuangan Negara Dan Hukum Kepailitan

di Indonesia. Malang. Penerbit Setara Press. Hal 141. 52 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 250-251.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

33

meletakkan sita jaminan sebagian atau seluruhnya atas kekayaan debitur dan

menunjuk kurator sementara untuk mengawasi debitur maupun mengawasi

pembayaran kepada kreditur. Tahap terakhir proses persidangan adalah

pembacaan putusan. Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan

pengadilan dengan pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.53

Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan yang

menyatakan bahwa debitur telah pailit maka demi hukum ia kehilangan

haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam

harta pailit. Harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur serta segala

sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum (Pasal

21 UU K-PKPU). Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 1131 KUH

Perdata yang menyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitur, baik yang

bergerak maupun yang tidak bergerak, di kemudian hari menjadi tanggungan

bagi seluruh utang debitur.54

Harta kekayaan debitur tidak terbatas kepada harta kekayaan

berupa barang-barang tidak bergerak, seperti tanah, tetapi juga barang-

barang bergerak, seperti perhiasan, mobil, dan mesin-mesin. Termasuk

barang-barang debitur yang berada di dalam penguasaan orang lain, yang

terhadap barang-barang itu debitur memiliki hak, seperti barang-barang

debitur yang di sewa oleh pihak lain atau yang dikuasai oleh orang lain

53 Ibid. Hal. 251-252. 54 Ibid. Hal. 87-89.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

34

secara melawan hukum atau tanpa hak.55 Kekayaan Debitur Pailit tidak

seluruhnya dapat dimasukkan di dalam harta pailit. Pengecualian tersebut

sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UU K-PKPU, yakni :

a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur

sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis

yang diperlukan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang

dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30

hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai

penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang

tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim

pengawas; atau

c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban

memberi nafkah menurut Undang-Undang.56

4. Pengurusan Harta Pailit

Pengurusan adalah mengumumkan ihwal kepailitan, melakukan

penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran harta pailit, melanjutkan

usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur pailit, mengalihkan

harta pailit. Melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian

guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah

timbulnya suatu perkara. Pengurusan harta pailit dilakukan oleh Hakim

55 Adrian Sutedi. 2009. Hukum Kepailitan. Cet. 1. Bogor. Penerbit Ghalia Indonesia. Hal. 51. 56 Rahayu Hartini. BUMN Persero Konsep Keuangan Negara Dan Hukum Kepailitan di

Indonesia. Op.cit. Hal. 151-154.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

35

Pengawas, Kurator dan Balai Harta Peninggalan (BHP).57 Proses pertama

sekali setelah adanya pernyataan pailit adalah penyelesaian utang debitur

dengan mengelompokkan kedudukan kreditur berdasarkan hasil verifikasi

piutang. Verifikasi atau pencocokan piutang berarti menguji kebenaran

piutang kreditur yang dimasukkan pada kurator.58 Verifikasi diatur dalam

Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU K-PKPU. Pencocokan piutang

dilakukan dalam rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan piutang

yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.59

Pada proses kepailitan, debitur diberi kesempatan oleh UU K- PKPU

khususnya pada Pasal 144 untuk melakukan penawaran suatu perdamaian

kepada semua kreditur secara bersama. Selanjutnya pada Pasal

145 Ayat (1) UU K-PKPU, perdamaian dilakukan paling lambat 8 hari

sebelum rapat verifikasi pencocokan piutang. Perdamaian akan mengikat

semua kreditur termasuk kreditur yang tidak memberikan suara bahkan

kreditur yang tidak sepakat. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 151 UU K-

PKPU yang mengatur bahwa rencana perdamaian diterima apabila

disepakati dalam rapat kreditur oleh lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kreditur

konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya diakui atau yang

untuk sementara diakui yang mewakili palin sedikit 2/3 (dua pertiga) dari

57 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 105. 58 Ibid. Hal. 135-137. 59 Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta. Penerbit

Gramedia Pustaka Utama. Hal. 89.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

36

jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau untuk sementara diakui

dari keditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.60

Apabila penawaran damai yang dilakukan oleh debitur diterima

dan telah disahkan oleh Hakim Pengawas, maka kepailitan akan berakhir

dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 166 Ayat (1) UU K-

PKPU. Namun jika dalam suatu kepailitan tidak terjadi perdamaian dan

harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang

yang wajib dibayar maka terjadi keadaan insolvency atau gagal bayar

sebagaimana diatur dalam Pasal 178 Ayat (1) UU K-PKPU.61 Secara

prosedural hukum positif kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam

keadaan tidak mampu membayar jika :

a. Dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau

b. Rencana perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau

c. Pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.62

Setelah pemberesan harta pailit selesai dengan adanya perdamaian

atau dengan keadaan insolvency, berdasarkan ketentuan Pasal 215 UU K-

PKPU debitur pailit dapat mengajukan permohonan rehabilitasi kepada

pengadilan yang semula memutus perkara kepailitan debitur. Rehabilitasi

yang dimaksud adalah pemulihan nama baik debitur yang semula dinyata-

kan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga yang berisi keterangan bahwa

debitur telah memenuhi kewajibannya. Dalam UU K-PKPU, perihal

60 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 146-147. 61 Ibid. Hal. 148-149. 62 Santosa Sembiring. Op.cit. Hal. 136.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

37

pengaturan tentang rehabilitasi kepailitan tertuang dalam ketentuan Pasal

215 sampai 221.63

5. Kreditur Dalam Kepailitan

Pada dasarnya, kedudukan para kreditur ialah sejajar (paritas

creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil

eksekusi boedel pailit sesuai dengan masing-masing besarnya tagihan

mereka (pari passu pro rata parte).64 Namun asas tersebut dikecualikan

apabila terdapat kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan UU K-

PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kreditur dalam proses

kepailitan dapat dikelompokkan sebagai berikut :

a. Kreditur khusus/separatis

Kreditur separatis atau kreditur khusus adalah kreditur

pemegang jaminan kebendaan meliputi gadai, fidusia, hak tanggungan

dan hipotek kapal sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 Ayat (2) KUH

Perdata.65 Selanjutnya dengan memperhatikan Pasal 55 Ayat (1) UU K-

PKPU, kreditur separatis dapat bertindak sendiri yang tidak terkena

akibat putusan pernyataan pailit debitur sehingga hak-hak eksekusi

kreditur separatis ini tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan

debitur.66 Debitur mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya

63 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 152-154. 64 Aria Sujadi. 2004. Kepailitan Di Negeri Pailit. Jakarta. Penerbit Pusat Studi Hukum &

Kebijakan Indonesia. Hal. 122. 65 Eliana Tansah. 2008. Materi III Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak Versus

Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan Perusahaan. Jakarta. Prosiding Seminar

Nasional Kepailitan Antisipasi Krisis Keuangan Kedua 29 Oktober 2008. USAID In ACCE

Project & AKPI . Hal. 12, https://id.scribd.com, diakses tanggal 15 Maret 2018. 66 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 136.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

38

sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan

tersebut tidak mencukupi tagihan kreditur separatis maka tagihan yang

belum dibayar dapat dimasukkan sebagai kreditur bersaing

(konkuren).67

b. Kreditur preferen/istimewa

Kreditur preferen adalah kreditur yang piutangnya mempunyai

kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan

terlebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditur ini berada di bawah

pemegang hak tanggungan dan gadai. Menurut Pasal 1134 KUH

Perdata, hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh hukum

kepada seorang kreditur sehingga berkedudukan lebih tinggi daripada

lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Selanjutnya Pasal

1137 KUH Perdata secara konkret mengatur bahwa :

hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum

lain yang diadakan penguasa, tata tertib pelaksanaannya dan lama jangka waktunya diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian men- dapat hak untuk memungut bea-bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan.68

c. Kreditur konkuren

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1131 jo. Pasal 1132

KUH Perdata, kreditur konkuren adalah semua kreditur yang tidak

termasuk kreditur separatis dan preferen.69 Pada ketentuan Pasal 189

Ayat (3) UU K-PKPU, mengatur bahwa kreditur konkuren harus

67 Imran Nating. Op.cit. Hal. 43. 68 Ibid. Hal. 44. 69 Eliana Tansah. Op.cit. Hal. 13.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

39

diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. Kreditur

konkuren atau bersaing memiliki kedudukan yang sama dan berhak

memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada

maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi

dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditur pemegang hak

jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa secara proporsional

menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditur.70

6. Upaya Hukum Kepailitan

a. Permohonan Renvoi Prosedur

Setelah adanya putusan pailit dilakukan rapat verifikasi

(pencocokan utang-piutang). Dalam rapat verifikasi ini akan ditentukan

pertimbangan dan urutan hukum dari masing-masing kreditur. Rapat

verifikasi dipimpin hakim pengawas dengan dihadiri oleh panitera yang

bertindak sebagai pencatat, debitur yang tidak boleh diwakilkan,

kreditur atau kuasanya dan kurator.71

Hasil dari rapat verifikasi meliputi piutang diakui, piutang

sementara diakui serta piutang dibantah. Jika tidak ada kesepakatan

tentang piutang yang dibantah maka diselesaikan dengan renvoi prosedur.

Renvoi prosedur adalah bantahan kreditur terhadap daftar tagihan

(sementara) kreditur yang diakui atau dibantah Kurator. Renvoi prosedur

disampaikan pada saat rapat pencocokan piutang oleh kreditur

70 Imran Nating. Op.cit. Hal. 45. 71 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 68-69.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

40

yang tidak menerima piutang yang diakui oleh kurator. Sidang renvoi

dilaksanakan di Pengadilan Niaga. Dalam praktiknya, kurator mem-

bacakan daftar tagihan di depan hakim pengawas, panitera pengganti,

kreditur dan debitur beserta catatan berupa dasar hukum dan fakta-fakta

dari bukti dokumen tagihan dan dokumen perusahaan/individu yang

diberikan kreditur berupa alasan menerima/menolaknya kurator

terhadap tagihan tersebut. Setelah itu tiap kreditur dan debitur

menandatangani persetujuan atas tagihan yang diakui kurator.72

Memperhatikan Pasal 193 Ayat (1) UU K-PKPU, kreditur yang

merasa pembagian bagi dirinya tidak dapat disetujuinya maka dapat

melakukan perlawanan terhadap daftar pembagian piutang tersebut

dengan cara mengajukan surat keberatan disertai alasan kepada panitera

Pengadilan Niaga, dengan menerima tanda bukti penerimaan selama

tenggang waktu yang disediakan. Kemudian Pasal 193 Ayat (2) UU K-

PKPU, mengatur bahwa surat keberatan tersebut harus dilampirkan oleh

panitera Pengadilan Niaga pada daftar pembagian piutang yang

disediakan di kepaniteraan. Berdasarkan surat keberatan tersebut Hakim

Pengawas menetapkan hari untuk memeriksa perlawanan tersebut di

sidang pengadilan terbuka untuk umum. Sebagaimana norma pada

Pasal 194 Ayat (3) UU K-PKPU, para Kreditur Pelawan dan Kurator

72 Amrozi, 2010. Ask-Renvoi Proses Pada Pengadilan Niaga, lawyers.forumotion.net,

diakses tanggal 28 Maret 2018.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

41

diberitahukan secara tertulis oleh juru sita mengenai penyediaan

permohonan keberatan pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga.73

Mencermati ketentuan Pasal 195 Ayat (1) UU K-PKPU, kreditur

yang piutangnya belum dicocokkan dalam rapat pencocokan piutang

dan kreditur yang piutangnya telah dicocokkan untuk suatu jumlah yang

sangat rendah menurut pelaporannya sendiri dapat mengajukan

perlawanan dengan syarat paling lama dua hari sebelum pemeriksaan

perlawanan di sidang pengadilan dengan ketentuan :

(1) Piutang atau bagian piutang yang belum dicocokkan itu diajukan

kepada Kurator;

(2) Salinan surat piutang dan bukti penerimaan dari Kurator

dilampirkan pada surat perlawanan;

(3) Dalam perlawanan tersebut diajukan pula permohonan untuk

mencocokkan piutang atau bagian piutang tersebut.74

Proses persidangan renvoi prosedur dalam proses kepailitan terdiri

dari 3 (tiga) tahap, yaitu sidang pembukaan, sidang pembuktian dan

sidang putusan. Dalam proses persidangan kurator dan setiap kreditur atas

kuasanya dapat mendukung atau membantah daftar pembagian tersebut

dengan mengemukakan alasannya. Menurut Pasal

194 Ayat (6) UU K-PKPU, putusan renvoi prosedur ditetapkan Majelis

73 Ibid. 74 Ibid.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

75 Sutan Remi Sjahdeni. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Cet. 1. Op.cit. Hal. 382. 76 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 69-70.

42

Hakim Pengadilan Niaga pada sidang pertama atau paling lama tujuh

hari kemudian.75

b. Permohonan Kasasi

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur yang

keberatan terhadap daftar piutang dan kurator setelah adanya Putusan

Majelis Hakim Pengadilan Niaga adalah permohonan kasasi sebagaimana

ketentuan Pasal 196 Ayat (1) UU K-PKPU. Untuk kepentingan

pemeriksaan atas permohonan kasasi, Majelis Hakim dari Mahkamah

Agung (MA) dapat memanggil kurator atau kreditur untuk didengar

alasannya dengan memperhatikan ketentuan Pasal 196 Ayat (3) UU K-

PKPU.

Permohonan kasasi ke MA diajukan dalam jangka waktu paling

lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan.

Berdasarkan Pasal 196 Ayat (1) jo. Pasal 13 UU K-PKPU, sidang

pemeriksaan dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan

kasasi diterima oleh MA dan putusan atas permohonan kasasi harus

diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi

diterima oleh MA.76

Putusan MA tingkat kasasi dapat diklasifikasikan menjadi 3

(tiga) golongan, yaitu :

(1) Permohonan kasasi tidak dapat diterima

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

77 Ibid. Hal. 71-72. 78 Ibid. Hal. 73-74.

43

Apabila suatu permohonan kasasi tidak memenuhi syarat

formal untuk mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang

waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi

syarat, tidak ada atau terlambat mengajukan memori kasasi maka

hal demikian dapat diklasifikasikan bahwa permohon- an kasasi

dinyatakan tidak dapat diterima.77

(2) Permohonan kasasi ditolak

Permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi yang ditolak oleh

MA dapat disebabkan oleh Judex Factie tidak salah menerapkan

hukum. Pemohon kasasi dalam memori kasasi mempersoalkan

tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan wewenang Majelis

Hakim kasasi. Penolakan permohonan kasasi juga dapat disebabkan

karena Pemohon Kasasi dalam mengajukan memori kasasi tidak

relevan dengan pokok perkara.78

(3) Permohonan kasasi dikabulkan

Permohonan kasasi yang dikabulkan disebabkan alasan-

alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon

kasasi dalam memori kasasi dibenarkan oleh MA bahwa Judex

Factie telah salah dan tidak tepat dalam penerapan hukum atau

karena alasan-alasan hukum lain. Apabila permohonan kasasi

dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau karena alasan

hukum lain maka MA akan membatalkan putusan Judex Factie.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

79 Ibid. Hal. 75-76. 80 Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 96.

44

Dengan demikian, ada dua kemungkinan dalam putusan akhirnya

yaitu MA menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan lain yang

berwenang memeriksa dan memutuskannya atau MA memutus

sendiri perkara yang dimohonkan itu dan putusannya bersifat

final.79

c. Permohonan Peninjauan Kembali

Setelah mekanisme perkara kasasi di MA selesai, apabila salah

satu atau para pihak tetap merasa keberatan maka dimungkinkan untuk

pihak yang merasa keberatan tersebut melakukan upaya hukum terakhir

yang disebut dengan Peninjauan Kembali (PK). Permohonan PK dapat

diajukan apabila ditemukan bukti baru dan apabila dalam putusan yang

bersangkutan terdapat kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum.

Ketentuan tentang upaya hukum PK diatur dalam Pasal 295 sampai

dengan Pasal 298 UU K-PKPU. 80

Alasan permohonan PK diatur dalam Pasal 67 UU No. 4 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah terakhir dengan

UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UU No.

4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Namun, UU K-

PKPU secara khusus mengatur alasan permohonan PK dalam Pasal 295

Ayat (2), yaitu :

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

45

(1) Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan

sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau

(2) Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang

nyata.

Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu

paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan

yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum

tetap. Pengajuan disampaikan kepada panitera pengadilan dan panitera

mendaftarkan permohonan PK pada tanggal permohonan diajukan.

Selanjutnya panitera pengadilan menyampaikan permohonan PK

kepada panitera MA dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal

permohonan didaftarkan. Permohonan PK wajib menyampaikan bukti

pendukung kepada panitera yang menjadi dasar pengajuan permohonan

peninjauan kembali. MA memeriksa dan memberikan putusan atas

permohonan PK dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari

setelah tanggal permohonan diterima Kepaniteraan MA. Putusan atas

permohonan PK harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.81

81 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 80-81.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

46

C. Pengaturan Perpajakan Di Indonesia

1. Pengertian Pajak

Secara lex superior Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)

Pasal 23 huruf (a), mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, selanjutnya peraturan yang

bersifat lex inferiori yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terakhir diubah dengan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) menyatakan bahwa

pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.82

Timbulnya utang pajak dapat dilihat menurut ajaran material dan

formil. Menurut ajaran material timbulnya utang pajak karena berlakunya

undang-undang perpajakan, bukan karena adanya ketetapan Pajak

sedangkan menurut ajaran formil, yang menyebabkan timbulnya utang pajak

adalah karena peristiwa dan perbuatan (tatbestand).83

Pajak menurut Rochmat Soemitro adalah peralihan kekayaan dari

pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan

apabila terdapat surplus digunakan untuk public serving yang merupakan

82 Suparmanto. Melalui Pajak, Kita Membangun Negeri. Loc.cit. 83 Marihot Siahaan. 2004. Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Pajak dengan

Surat Paksa. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 127-129.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

47

sumber utama untuk membiayai public investment. Selanjutnya

Soeparman Soemahamidjaja berpendapat bahwa pajak adalah iuran wajib,

berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan

norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-

jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.84

Terminologi pajak di atas mempunyai unsur-unsur yang sama

dengan pungutan lainnya, unsur pajak menurut Rochmat Soemitro adalah :

a. Masyarakat (kepentingan umum);

b. Undang-Undang;

c. Pemungut Pajak - Penguasa Masyarakat;

d. Subjek pajak - Wajib Pajak;

e. Objek pajak - Tatbestand;

f. Surat ketetapan pajak (fakultatif).85

2. Subjek Pajak

Subjek Pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu

untuk menjadi subjek pajak tidak perlu merupakan subjek hukum. Dengan

demikian firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu

kesatuan, orang gila, ataupun anak yang masih di bawah umur dapat menjadi

subjek pajak. Tetapi untuk orang gila dan anak yang masih di

84 Santoso Brotodihardjo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung. Penerbit Rafika

Aditama. Hal. 3-6. 85 Sari Pudyatmoko. 2006. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta. Penerbit Andi. Hal. 6.

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

48

bawah umur diperlukan wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk

memenuhi kewajiban-kewajibannya.86

Terminologi Pajak Penghasilan adalah seseorang atau badan yang

telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif akan menjadi Wajib

Pajak. Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang

memenuhi syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di

Indonesia. Subjek pajak baru menjadi Wajib Pajak jika memenuhi syarat

objektif. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali mendapat revisi, dan

yang terbaru dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang

Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan bahwa subjek pajak adalah :

a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,

menggantikan yang berhak;

b. Badan; dan

c. Bentuk usaha tetap.87

Subjek Pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan

subjek pajak luar negeri. Yang dimaksud subjek pajak dalam negeri adalah

sebagai berikut :

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi

yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang

86 Sumyar. Op.cit. Hal. 47. 87 Ibid.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

49

dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk

bertempat tinggal di Indonesia;

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit

tertentu dari badan pemerintah.

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang

berhak.88

Pemungutan terhadap subjek pajak selain subjek pajak dalam

negeri adalah kepada subjek pajak yang berada di luar negeri. Subjek

pajak luar negeri adalah :

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

dan

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari

88 Ibid. Hal. 49-50.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

50

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap

di Indonesia.89

UU PPh menyatakan bahwa bentuk usaha tetap tersebut tetap

merupakan subjek pajak yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan

subjek pajak badan. Uraian mengenai batasan-batasan subjek pajak di atas

adalah apa yang dimaksud dengan syarat subjektif. Sedangkan yang

dimaksudkan dengan syarat objektif utamanya adalah penghasilan yang

diperoleh dan/atau diterima yang bersumber dari Indonesia.

3. Objek Pajak

Objek pajak yang dapat dikenakan pajak adalah penghasilan.

Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

Wajib Pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang

dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib

Pajak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk objek pajak telah diatur di dalam

Pasal 4 UU PPh dengan nama atau bentuk apa saja, termasuk :

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa

yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,

honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan

dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang

ini;

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. Laba usaha;

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan

sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang;

89 Ibid.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

51

g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa

hasil usaha koperasi;

h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan

jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. Premi asuransi;

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya

yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau

pekerjaan bebas;

p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenakan pajak;

q. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;

r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP; dan

s. Surplus Bank Indonesia.

Klasifikasi terhadap jenis-jenis penghasilan di atas adalah beberapa

jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak. Wajib Pajak yang telah

memenuhi syarat subjektif dan objektif sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) UU

KUP wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang

wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib

pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan

pada adanya surat ketetapan pajak.

Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada pada masyarakat dapat

dijadikan sasaran atau objek pajak, yaitu :

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

52

a. Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu, misalnya

memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau

barang tak bergerak, menempati rumah tertentu;

b. Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian,

mendirikan rumah atau gedung, mengadakan pertunjukan atau

keramaian, memperoleh penghasilan, bepergian ke luar negeri;

c. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak,

anugerah yang diperoleh secara tak terduga, pada intinya adalah segala

sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia.90

4. Utang Pajak

Secara lex generalis Pasal 1233 KUH Perdata menormakan bahwa

tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena

ketentuan perundang-undangan. Perikatan yang lahir karena undang- undang

dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu perikatan yang timbul karena

undang-undang saja dan perikatan yang timbul karena undang- undang

dan perbuatan manusia.91

Kemudian secara lex specialis dalam Pasal 1 angka 8 Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat

Paksa (UU PPSP), terminologi utang pajak adalah pajak yang masih harus

dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan

yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya

101.

90 Rochmat Soemitro. 1998. Asas Dan Perpajakan I. Jakarta. Penerbit Rafika Aditama. Hal. 91 Sumyar. Op.cit. Hal. 77.

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

94 Santoso Brotodiharjo. Op.cit. Hal. 113.

53

berdasarkan ketentuan peralihan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, secara eksplisit utang pajak merupakan

suatu utang dalam bentuk pajak yang lahir karena suatu perikatan yang

ditetapkan sepihak oleh pemerintah dengan adanya UU No. 28 Tahun

2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Hukum pajak memiliki kaitan yang erat dengan Hukum Perdata,

sehingga ketentuan utang dalam hukum perdata berlaku juga dalam hukum

pajak.92 Pengertian utang dalam hukum perdata dapat mempunyai arti luas

dan sempit. Utang dalam arti luas ialah segala sesuatu yang harus

dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi perikatan, seperti

menyerah-kan barang, membuat lukisan, melakukan perbuatan tertentu,

membayar harga barang dan sebagainya.93 Utang dalam arti sempit adalah

perikatan sebagai akibat perjanjian khusus yang disebut utang piutang,

yang mewajibkan debitur untuk membayar (kembali) jumlah utang yang

telah dipinjamnya dari kreditur. Meskipun pajak bertalian erat dengan

hukum perdata, tetapi utang pajak bukan merupakan utang perdata

melainkan utang publik.

Menurut Santoso Brotodiharjo, utang pajak pelunasannya dapat

dipaksakan secara langsung dengan cara-cara yang dilindungi oleh hukum.94

Kewajiban untuk membayar pajak tidak terlepas dari timbulnya

utang pajak. Terdapat 2 (dua) teori mengenai timbulnya utang pajak :

92 Marihot Siahaan. Op.cit. Hal. 123. 93 Sumyar. Op.cit. Hal. 78.

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

54

a. Ajaran Materiil Menurut ajaran ini, utang pajak timbul karena adanya

undang-undang pajak dan peristiwa, keadaan atau perbuatan tertentu

(Taatbestand) bukan karena tindakan pemerintah atau fiskus.95

b. Ajaran Formil Menurut ajaran ini, utang pajak timbul pada saat

dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak bukan karena adanya taatbestand

sebagai dasar yang menimbulkan utang pajak.96

Dengan kata lain, ajaran formil pada dasarnya menyatakan bahwa

utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Timbulnya utang

pajak disebabkan karena beberapa hal. Seseorang dikenakan pajak karena

adanya suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self

assessment system sebagaimana yang berlaku di Indonesia. Penagihan

terhadap utang pajak juga dapat hapus. Hapusnya utang pajak disebabkan

oleh beberapa hal, yaitu pembayaran, kompensasi, daluarsa, pembebasan

dan penghapusan.97 Pembayaran dalam hukum pajak adalah pembayaran

dengan mata uang negara pemungut pajak.98 Dalam melakukan

pembayaran pajak tersebut, tata cara pembayaran, penyetoran pajak dan

pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak

diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.99

Setiap perikatan dalam hukum perdata selalu terdapat minimal

seorang kreditur dan antara mereka terdapat suatu hubungan hukum.

95 Marihot Siahaan. Op.cit. Hal. 127-128. 96 Ibid. Hal. 128-129. 97 Mardiasmo. 2016. Perpajakan. Edisi Terbaru 2016. Yogyakarta. Penerbit CV. Andi Offset.

Hal. 9. 98 Ibid. Hal. 8. 99 Ibid. Hal. 126.

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

55

Menurut Santoso Brotodihardjo mengenai hubungan hukum dalam pajak,

yang kesimpulannya bahwa sekalipun perikatan antara negara dan yang

berutang pajak didasarkan atas hukum publik, namun persamaannya

dengan perikatan-perikatan yang diuraikan dalam Buku III KUH Perdata

adalah besar.100

5. Penagihan Pajak

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 9 UU PPSP, penagihan

pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi

utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan memberi teguran, memberi

peringatan lalu melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,

memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, menjalankan

penyitaan, menjalankan penyanderaan, sampai dengan menjual barang

sitaan. Penagihan pajak pada pelaksanaannya sangat dimungkinkan terjadi

keadaan juru sita pajak tidak menemukan Wajib Pajak (WP), sehingga hal

tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan penagihan pajak.

Dalam melaksanakan tindakan yang diperlukan terhadap WP, juru

sita dapat menggunakan mekanisme Surat Paksa. Definisi Surat Paksa

menurut Pasal 1 angka 12 UU PPSP adalah surat perintah membayar utang

pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa bersifat mutlak sehingga tidak

menghiraukan bagaimana keadaan WP. Hal tersebut sebagaimana ketentuan

Pasal 10 Ayat (5) UU PPSP yang mengatur bahwa Dalam hal

Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator,

100 Ibid. Hal. 115.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

56

Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib

Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan

kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan,

atau likuidator.

Selain itu juru sita diberikan kewenangan untuk tidak hanya

melakukan tindakan terhadap WP tetapi juga terhadap pihak lain yang ikut

bertanggung jawab. Pihak lain dalam sistem perpajakan Indonesia di

Indonesia dikenal sebagai Penanggung Pajak.101 Pasal 1 angka 25 UU

KUP mengatur bahwa penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan

yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang

menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. Dari definisi ini, tampak

bahwa pengertian penanggung pajak lebih luas dari pengertian wajib

pajak. UU KUP menjelaskan siapa saja yang termasuk penanggung pajak

yang mewakili wajib pajak dalam menjalankan hak dan memenuhi

kewajibannya, antara lain :

a. Badan oleh pengurus;

b. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang

dibebani untuk melakukan pemberesan;

c. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,

pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;

101 Marihot Siahaan. Op.cit. Hal. 170.

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

57

d. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan

oleh wali atau pengampunya.

Para wakil tersebut memiliki tanggung jawab secara pribadi dan

dapat juga secara tanggung renteng terhadap utang pajak yang harus dibayar,

kecuali dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jendral (Dirjen) Pajak

bahwa dalam kedudukan mereka sebagai wakil benar-benar tidak

memungkinkan untuk menerima beban tanggung jawab atas utang pajak

WP. Selanjutnya perihal pengertian pengurus pada suatu badan ialah orang

yang secara nyata memiliki kewenangan untuk turut menentukan kebijakan

dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

6. Pajak Dalam Kepailitan

Pada saat Wajib Pajak (WP) dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi,

maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk

melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit,

pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya

sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak dari

wajib pajak yang bersangkutan.102 Setelah WP berada dalam kondisi pailit

berdasarkan putusan Pengadilan Niaga, maka penagihan pajak dengan surat

paksa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPSP ini tidak dapat diterapkan

dalam proses kepailitan karena dengan surat paksa ini tidak dapat dibenarkan

untuk melakukan penyitaan dan menjual harta WP sebagai debitur pailit.

Pihak fiskus sebagai petugas

102 Billy Ivan Tansuria. 2010. Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta.

Penerbit Graha Ilmu. Hal. 303.

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

58

pajak atau Direktorat Jenderal Pajak harus mengikuti ketentuan dalam proses

kepailitan karena wajib pajak sudah diputus pailit. Sehingga ketika wajib

pajak diputus pailit, hukum yang harus diterapkan adalah UU K- PKPU

khususnya Pasal 3 Ayat (1) dengan mendasarkan pada asas lex specialis

derogat legi generalis.103

Pasal 113 Ayat (1) huruf b UU K-PKPU, mengatur bahwa batas

akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai

dengan UU di bidang perpajakan.104 Selanjutnya UU KUP mengatur

bahwa hak preferen atau mendahului yang dimiliki negara untuk utang pajak

terhadap barang-barang milik penanggung pajak. Hal tersebut dimuat

pada norma Pasal 21 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (3a) UU KUP,

yakni sebagai berikut :

(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-

barang milik penanggung pajak.

(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada

Ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga,

denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak.

(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu

lainnya, kecuali terhadap :

a. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman

untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak

bergerak;

b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang

dimaksud; dan/atau biaya perkara yang hanya disebabkan oleh

pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

(3a) Dalam hal WP dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi maka

kurator, likuidator atau orang atau badan yang ditugasi untuk

melakukan pemberesan dilarang membagikan harta WP dalam

pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau

103 Paulus Herdianto Manurung. 2015. Hak Mendahului Tagihan Pajak Untuk Wajib Pajak

Yang Dinyatakan Pailit. Medan. Jurnal Premise Law. Vol. 11 No. 7. Fakultas Hukum. Universitas

Sumatera Utara. Hal. 11, https://jurnal.usu.ac.id, diakses tanggal 8 Mei 2018. 104 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 285.

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

59

kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk

membayar utang pajak WP tersebut

Penjelasan Pasal 21 Ayat (1) UU KUP, menerangkan bahwa

kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai

hak mendahului atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan

dilelang di muka umum dan pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan

setelah utang pajak dilunasi. Dengan mencermati ketentuan tersebut,

Yustinus Prastowo berpendapat bahwa undang-undang melarang

dilakukannya pembagian harta pailit atau pembubaran kepada para

pemegang sahamnya sebelum hutang pajaknya diselesaikan menggunakan

harta tersebut.105

Perihal keutamaan hak preferen negara sebagai pemilik piutang

pajak yang mengakibatkan pelunasannya menjadi prioritas dikuatkan

dengan pendapat para ahli, sebagai berikut :

a. Menurut Sutan Remy Sjaydeni tagihan pajak, bea dan biaya kantor

lelang merupakan hak istimewa yang pelunasannya harus didahulukan

dari tagihan yang dijamin dengan hak jaminan dalam hal harta kekayaan

debitur pailit atau dilikuidasi.106

b. Munir Fuady menerangkan pada mulanya Pasal 1134 Ayat (2) KUH

Perdata mengatur bahwa kreditur separatis menduduki kedudukan

tertinggi kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan,

105 Yustinus Prastowo. 2018. Perihal Pajak Dan Kedudukannya Dalam Proses Kepailitan.

Jakarta. Makalah Pendidikan Kurator dan Pengurus Angkatan XXV 4 Oktober 2018. AKPI. Hal. 16, diperoleh tanggal 23 Oktober 2018.

106 Sutan Remy Sjahdeni. Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan. Op.cit. Hal. 7.

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

Putusan Pengadilan Niaga. Loc.cit.

60

kemudian Pasal 21 KUP mengatur kedudukan utang pajak yang lebih

tinggi daripada utang lain termasuk utang hak jaminan sehingga

aturan tersebut menjadi pengecualian yang dimaksud Pasal 1134 Ayat

(2) KUH Perdata.107

c. Elijana Tansah menyatakan bahwa sebagaimana ketentuan dalam

Pasal 1134 Ayat (2) jo. Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 UU

KUP piutang pajak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kreditur separatis mengeksekusi objek jaminan kebendaannya

berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) UU K-PKPU.108

Hak preferen piutang pajak semakin dipertegas dengan adanya

Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Nomor : 070

PK/PDT.SUS/2009 tentang perkara Peninjauan Kembali (PK) antara Kantor

Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Dua (KPP PJTAD) melawan

Kurator PT. Artika Optima Inti (dalam pailit) dan PT. Bank Mandiri

(Persero) Tbk, menyatakan bahwa pelunasan hutang pajak harus

didahulukan setelah itu baru pelunasan kreditur lainnya.109

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.67/ PUU-

XI/2013, menyatakan bahwa hak preferen piutang pajak bukan lagi

menduduki posisi yang diutamakan, apabila dalam suatu kepailitan

bertemu dengan tagihan upah buruh/pekerja dan hak-hak pekerja/buruh

lainnya. Putusan MK ini telah menempatkan upah pekerja sebagai prioritas

107 Munir Fuady. Op.cit. Hal 153-154. 108 Eliana Tansah. Materi III Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak Versus Kedudukan

Kreditur Separatis Dalam Kepailitan Perusahaan. Loc.cit. 109 Ratih Candrakirana. Hak Mendahului Negara Atas Pembayaran Utang Pajak Dalam

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

Wijaya Kusuma. Hal. 17, diakses tanggal 10 Oktober 2018.

61

pertama dari pembayaran dalam hal terjadi kepailitan, prioritas selanjutnya

adalah hak negara yakni utang pajak, kemudian kreditur separatis sebagai

pemegang hak tanggungan dan yang terakhir pembayaran bagi kreditur

konkuren.110

Namun apabila debitur pailit sebagai Wajib Pajak (WP) secara

nyata dan terbukti tidak mampu melunasi tagihan pajak, maka dapat

dilakukan tindakan penghapusan piutang pajak sebagaimana diatur dalam

Pasal 24 UU KUP yang menyatakan bahwa tata cara penghapusan piutang

pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan Peraturan Menteri

Keuangan. Oleh karena itu berlaku Peraturan Menteri Keuangan No.

68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan

Penetapan Besarnya Penghapusan (PMK No. 68/PMK.03/2012). Dalam

hal ini apabila hak preferen piutang pajak telah melampaui jangka waktu

dalam jangka waktu 5 tahun sesuai Pasal 21 ayat (4) UU KUP terhitung sejak

penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

(SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan

Keberatan (SKK), Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali

(PK) yang mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak yang harus dibayar

oleh WP.111

110 Rahayu Hartini. 2018. Payment of Tax Dues And Workers' Wages In Bankruptcy In

Indonesia. Malang. Fakultas Hukum. Universitas Muhammadiyah Malang. Hal. 5. 111 Stefanus Kurniawan Dharmadji. 2014. Akibat Hukum Penghapusan Piutang Pajak Atas

Kepailitan Perseroan Terbatas Bagi Para Kreditor. Surabaya. Fakultas Hukum. Universitas

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

62

Lebih lanjut Pasal 1 Ayat (3) PMK No. 68/PMK.03/2012,

menyebutkan bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan untuk WP

badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena :

a. WP bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat

ditemukan;

b. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;

c. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah

dilakukan penelusuran secara optimal sesuai UU di bidang perpajakan;

d. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan

karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan

kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh

Menteri Keuangan.112

Khusus untuk Perseroan Terbatas (PT) yang telah dinyatakan pailit

oleh Pengadilan Niaga, maka secara formil dapat dikenakan penghapusan

piutang pajak. Penghapusan piutang pajak ini diajukan oleh kurator

sebagai pengampu dari debitur pailit sebagai WP badan kepada Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak badan tersebut. Sebagaimana

diatur pada Pasal 2 Ayat (1) PMK No. 68/PMK.03/2012, untuk

memastikan keadaan WP atau piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi,

112 Jessica Tanuwijaya dan Doni Budiono. 2014. Proses Penagihan Pajak Dengan Surat

Paksa Berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Surabaya. Jurnal Tax

& Accounting Review. Vol. 4. No. 1. Program Akuntansi Pajak. Program Studi Akuntansi.

Universitas Kristen Petra. Hal. 6, https://media.neliti.com diakses tanggal 30 Oktober 2018.

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/BAB II.pdf20 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Asas Preferensi Hukum Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai

63

wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh

KPP.113

Kepala Kanwil DJP menyampaikan daftar usulan penghapusan

piutang pajak yang telah dilakukan penelitian kepada Direktur Jenderal

Pajak (Dirjen Pajak). Selanjutnya Dirjen Pajak memberi pengarahan

pelaksanaan bimbingan teknis kepada Kanwil DJP dalam proses pengusulan

penghapusan piutang pajak dan melanjutkan usulan penghapusan piutang

pajak kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan usulan penghapusan piutang

pajak yang diusulkan oleh Dirjen Pajak, selanjutnya Menteri Keuangan

menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) mengenai penghapusan

piutang pajak. KMK yang dimaksud dibuat sesuai format Lampiran dari

PMK No. 68/PMK.03/2012. Melalui mekanisme tersebut, Dirjen Pajak

melakukan tindakan berupa :

a. Penetapan perincian atas besarnya penghapusan piutang pajak; dan

b. Hapus tagih dan hapus buku atas piutang pajak tersebut sesuai dengan

Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku.114

Selain itu penghapusan piutang pajak dilakukan dengan

memperhatikan ketentuan PMK No. 68/PMK.03/2012 khususnya Pasal 6,

yang mengatur bahwa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atas

penugasan dari Menteri Keuangan melakukan review atas usulan

penghapusan piutang pajak yang disampaikan oleh Dirjen Pajak.115

113 Stefanus Kurniawan Dharmadji. Op.cit. Hal. 18 114 Ibid. 19 115 Ibid. 20.