bab ii kajian pustaka a. asas preferensi hukumeprints.umm.ac.id/45981/3/bab ii.pdf20 bab ii kajian...
TRANSCRIPT
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Asas Preferensi Hukum
Dalam realitas penerapan aturan hukum sering dijumpai beberapa
permasalahan, yaitu mulai dari kekosongan hukum (leemten in het recht),
konflik antar norma hukum (antinomi hukum) dan kekaburan norma (vage
normen) atau norma tidak jelas.28 Guna menyelesaikan permasalahan hukum
tersebut maka berlaku asas preferensi hukum. Asas preferensi hukum adalah
asas hukum yang menunjuk hukum mana yang lebih didahulukan untuk
diberlakukan, jika dalam suatu peristiwa hukum terkait atau tunduk pada
beberapa peraturan.29
Shidarta dan Petrus Lakonawa berpendapat asas preferensi hukum
memiliki berperan sebagai penyelesai konflik di antara norma-norma hukum
positif. Apabila dalam suatu perkara terdapat sejumlah undang-undang yang
berlaku menjadi hukum positif dan terjadi konflik di antara hukum positif
tersebut, maka asas preferensi hukum hadir sesuai kegunaannya untuk
memastikan peraturan perundang-undangan mana yang harus dipakai sebagai
rujukan. Oleh karena itu, asas preferensi hukum disebut sebagai pengobat
28 Ahmad Rifai. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.
Cetakan Kedu. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 90. 29 Shinta Agustina. 2015. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam
Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Jurnal Masalah-Masalah Hukum. Vol. 44 No. 4. Fakultas
Hukum. Universitas Diponegoro. Hal. 504, https://ejournal.undip.ac.id diakses pada 23 Agustus
2018.
21
hukum (legal remedies).30 Untuk lebih jelasnya, penulis jabarkan sebagai
berikut :
1. Lex Specialis Derogat Legi Generalis
Bagir Manan dan A.A. Oka Mahendra menyatakan bahwa asas lex
specialis derogat legi generali memiliki definisi yaitu aturan hukum yang
sifatnya khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang bersifat
umum. Terdapat beberapa prinsip yang patut diperhatikan dalam
penggunaan asas lex specialis derogat legi generalis, sebagai berikut :
(a) Rangkaian ketentuan/norma yang dimuat dalam aturan hukum yang
bersifat umum tetap berlaku, kecuali terdapat pengaturan secara
khusus dalam aturan hukum yang bersifat khusus tersebut.
(b) Rangkaian ketentuan/norma lex specialis, harus dalam suatu tingkatan
(hierarki) yang sama dengan rangkaian ketentuan/norma lex generalis,
contohnya UU dengan UU.
(c) Rangkaian ketentuan/norma lex specialis harus berada dalam rezim
(lingkungan hukum) yang sama dengan lex generalis. Contohnya
KUH Perdata dan KUH Dagang yang sama-sama merupakan
peraturan pada rezim keperdataan.31
30 Shidarta dan Petrus Lakonawa. 2018. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna Dan
Penggunaannya. Jakarta. Penerbit BINUS University. Rubric of Faculty Members. Dipublikasikan
pada 3 Maret 2018, http://business-law.binus.ac.id diakses tanggal 22 Agustus 2018. 31 A.A. Oka Mahendra. 2010. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta. Artikel
Hukum Tata Negara dan Peraturan Perundang-undangan. Dipublikasikan pada 29 Maret 2010, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2018.
22
2. Lex Superior Derogat Legi Inferiori
Menurut Peter Mahmud Marzuki asas lex superior derogat legi
inferiori mengacu kepada dua atau lebih peraturan perundang-undangan
yang mempunyai kedudukan yang sama secara hierarki, namun ruang
lingkup materi muatan antara peraturan perundang-undangan tersebut
tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang
lain.32
Menurut Bagir Manan dan A.A. Oka Mahendra, asas ini memiliki
makna bahwa peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih
tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang secara
hierarki lebih rendah. Namun terdapat pengecualian apabila substansi
peraturan perundang-undangan yang Lex Superior mengatur hal-hal yang
oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-
undangan yang lebih Inferiori.33
3. Lex Posterior Derogat Legi Priori
Menurut Peter Mahmud Marzuki, beliau berpendapat bahwa asas
lex posterior derogat legi priori memiliki definisi yaitu peraturan
perundang-undangan yang baru/terkini mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang lama/terdahulu. Penggunaan asas ini
mensyaratkan bahwa yang dihadapkan adalah dua peraturan perundang-
undangan dalam hierarki yang sama.34
32 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta. Penerbit Kencana
Prenada Media Grup. Hal. 139. 33 A.A. Oka Mahendra. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Loc.cit. 34 Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum. Op.cit.. Hal. 141-142.
23
Asas ini memiliki eksistensi untuk mengingat peraturan
perundang-undangan yang baru merepresentasikan situasi dan kebutuhan
yang sedang berlangsung. Namun sebaliknya, juga dapat dianalogikan
sebagai ketidakmampuan peraturan perundang-undangan yang baru dalam
memuat rangkaian ketentuan/norma yang dibutuhkan untuk menghadapi
situasi yang sedang berlangsung. Jika rangkaian ketentuan/norma yang
termuat pada peraturan perundang-undangan terdahulu tidak bertentangan
dengan landasan filosofis peraturan perundang-undangan terkini, maka
ketentuan/norma tersebut tetap berlaku melalui aturan peralihan peraturan
perundang-undangan yang baru/terkini.35
Menurut Bagir Manan dan A.A. Oka Mahendra, aturan hukum
yang baru/terkini mengesampingkan aturan hukum yang lama/terdahulu.
Asas lex posterior derogat legi priori mengutamakan penggunaan aturan
hukum yang terkini, dengan memperhatikan 2 (dua) prinsip sebagai
berikut :
(1) Aturan hukum yang baru/terkini harus dalam suatu tingkatan yang
sama atau secara hierarki lebih tinggi dari aturan hukum yang
lama/terdahulu;
(2) Aturan hukum baru/terkini dan lama/terdahulu mengatur aspek yang
sama.
Maksud asas ini adalah untuk mencegah terjadinya dualisme aturan
hukum yang dapat meni8mbulkan ketidakpastian hukum. Dengan adanya
35 Ibid.
24
asas ini, rangkaian ketentuan/norma yang mengatur pencabutan sebuah
peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak terlalu penting. Secara
yuridis, aturan lama/terdahulu yang serupa tidak akan berlaku lagi pada
saat aturan baru/terkini mulai berlaku.36
B. Pengaturan Kepailitan Di Indonesia
1. Pengertian Kepailitan
Istilah kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit yang
mana dalam perbendaharaan bahasa Perancis, Belanda, Inggris, Latin dan
Amerika yang masing-masing memiliki perbedaan terjemahan namun
pada hakikatnya memiliki maksud yang sama. Di dalam bahasa Perancis,
istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran. Oleh sebab itu orang yang mogok atau macet membayar
utangnya di dalam bahasa Perancis disebut lefailli. Untuk arti yang sama
di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillite. Kemudian dalam
bahasa Inggris di kenal istilah to fail dan di dalam bahasa Latin dikenal
dengan istilah fallire.37 Sedangkan di Amerika dikenal dengan istilah
“bankrupcy act”.38
Selain itu secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kepailitan adalah suatu keadaan atau kondisi seseorang atau
badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya dalam hal
36 A.A. Oka Mahendra. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan. Loc.cit. 37 Zainal Asikin. 2001. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta.
Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 26. 38 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 4.
25
utang-utangnya kepada si piutang.39 Menurut Munir Fuady, pailit atau
bangkrut adalah seorang debitur yang tidak sanggup lagi membayar. Lebih
tepat, ialah seseorang yang oleh pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang
aktiva atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang-
utangnya.40 Sedangkan Kartono berpendapat, kepailitan adalah suatu
sitaan dan eksekusi atas seluruh harta kekayaan debitur untuk kepentingan
seluruh krediturnya pada waktu debitur dinyatakan pailit dan mempunyai
piutang dengan jumlah piutang yang masing-masing kreditur miliki saat
itu.41
Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU K-PKPU), yang dimaksud
dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan. Hukum kepailitan
di Indonesia semula diatur dengan Faillissement Verordering (FV) yaitu
Staatsblad Th. 1905 No.217 jo. Staatsblaad Th.1906 No. 348. Peraturan FV
tersebut selanjutnya mendapatkan perubahan yang dimaknai sebagai
penyempurnaan dengan lahirnya PERPU No. 1 Tahun 1998 yang
menyesuaikan diri dengan keadaan krisis moneter yang dialami Indonesia
mulai pertengahan tahun 1997. Kemudian PERPU tersebut ditetapkan
sebagai UU No. 4 Tahun 1998, namun karena perubahan tersebut belum
memenuhi perkembangan dan kebutuhan hidup masyarakat, kemudian
39 Dadang Sunendar. (et.al). 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. kbbi.kemen-
dikbud.go.id, diakses tanggal 10 Januari 2018. 40 Munir Fuady. 2010. Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek. Bandung. Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti. Hal. 8. 41 Kartono. 1985. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran Utang. Jakarta. Penerbit
Pradnya Paramita. Hal. 5.
26
diperbaharui lagi dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004 (UU K-
PKPU).42
Tujuan hukum kepailitan pada dasarnya merupakan solusi bagi
para pihak, apabila terdapat debitur dalam keadaan berhenti membayar
atau tidak mampu membayar seluruh utangnya. Menurut Sutan Remy
Sjahdeni, tujuan utama hukum kepailitan adalah sebagai berikut :
a. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakunya asas jaminan bahwa semua kekayaan
debitur baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah
ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi
seluruh perikatan debitur, dengan cara memberikan fasilitas dan
prosedur agar mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap
debitur.
b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para
kreditur sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional
harta kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren berdasarkan
perimbangan besarnya masing-masing tagihan kreditur tersebut).
c. Mencegah debitur agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan kepentingan para kreditur. Dengan status pailit seorang
debitur maka ia kehilangan kewenangan untuk mengurus dan
memindahtangankan harta kekayaannya. Status harta kekayaan
debitur menjadi harta pailit.
42 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 8-12.
27
d. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan
perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga
perusahaan mengalami insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh
pengadilan.
e. Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk
berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-
utang debitur.43
Dalam penjelasan UU K-PKPU menerangkan bahwa untuk
menegakkan norma hukum kepailitan harus mengacu pada keberlakuan
asas-asas antara lain, sebagai berikut :
(1) Asas Keseimbangan : UU K-PKPU mengatur ketentuan-ketentuan
yang di satu sisi dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di sisi lain terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.
(2) Asas Kelangsungan Usaha : UU K-PKPU memungkinkan perusahaan
debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
(3) Asas Keadilan : bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat
mengakomodasi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.
Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan
pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap debitur, dengan tidak memedulikan kreditur lainnya.
43 Sutan Remy Sjahdeni. 2009. Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Jakarta. Penerbit Pustaka Utama Grafiti. Hal. 28.
28
(4) Asas Integrasi : asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh
dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.44
2. Para Pihak Dalam Kepailitan
a. Pemohon Pailit
Pemohon Pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU K-
PKPU yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
krediturnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, yang berhak mengajukan
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga yakni sebagai berikut :
(1) Debitur
Permohonan pernyataan pailit yang diajukan sendiri oleh debitur
(voluntary petition) menandakan bahwa permohonan pernyataan
pailit bukan saja dapat diajukan untuk kepentingan para krediturnya
tetapi dapat pula diajukan untuk kepentingan debitur sendiri.
Debitur harus dapat mengemukakan dan membuktikan bahwa ia
memiliki lebih dari satu kreditur dan tidak membayar salah satu utang
krediturnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.45
Kreditur
352.
44 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Malang. Penerbit UMM Press. Hal. 351- 45 Munir Fuady. Op.cit. Hal. 9.
29
Syarat seorang kreditur untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit tentu sama dengan syarat yang harus dipenuhi debitur dalam
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya karena
landasan bagi keduanya adalah Pasal 2 Ayat (1) UU K-PKPU.46
Permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan pihak-pihak di
luar perjanjian utang-piutang antara debitur dan kreditur. Permohonan
tersebut diajukan terhadap debitur-debitur tertentu, yaitu Jaksa untuk
kepentingan umum, Bank Indonesia jika debiturnya bank, Bapepam
jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian, serta Menteri
Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi, reasuransi, dana
pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.47
b. Kurator
Pasal 24 Ayat (1) UU K-PKPU mengatur bahwa pernyataan
pailit Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengakibatkan debitur demi
hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang
termasuk dalam harta pailit. Berdasarkan putusan pernyataan pailit
tersebut maka diangkatlah Kurator. Kurator adalah Balai Harta
Peninggalan atau orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan
untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit.48
46 Ibid. 47 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 231. 48 Sutan Remy Sjahdeni. 2016. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Cet. 1. Jakarta.
Penerbit Prenadamedia Group. Hal. 306.
30
Kurator dalam menjalankan tugasnya sebagai pengelola harta
pailit harus independen, artinya Kurator yang diangkat tidak ada
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap harta pailit.49
Adapun syarat untuk menjadi seorang Kurator yakni :
(1) Orang perorangan yang memiliki domisili di Indonesia dan
memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus
serta membereskan harta pailit.
(2) Terdaftar di kementerian yang lingkup tugas dan tanggung-
jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan,
dalam hal ini yang dimaksud adalah Kemenkumham.
Menurut penjelasan Pasal 72 Ayat (2) huruf a UU K-PKPU
yang dimaksud dengan “keahlian khusus” yaitu mereka yang telah
menempuh dan lulus pendidikan Kurator dan Pengurus. Sementara itu
ketentuan Pasal 70 Ayat (2) huruf b UU K-PKPU menormakan bahwa
yang dimaksud “terdaftar” adalah telah memenuhi syarat-syarat
pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan adalah anggota
aktif organisasi profesi Kurator dan Pengurus.
c. Hakim Pengawas
Putusan pernyataan pailit mengakibatkan penguasaan terhadap
harta debitur beralih kepada Kurator. Kurator berwenang untuk
melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam pengurusan
dan pemberesan dapat terjadi penyalahgunaan wewenang yang
49 Santoso Sembiring. 2006. Hukum Kepailitan Dan Peraturan Perundang-Undangan
Terkait Dengan Kepailitan. Bandung. Penerbit CV. Nuansa Aulia. Hal. 32.
31
dilakukan oleh kurator maka diangkat seorang pengawas oleh
pengadilan yang disebut Hakim Pengawas. Hakim Pengawas bertugas
mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit (Pasal 65 UU K-
PKPU).
Pengadilan Niaga dalam membuat suatu putusan mengenai
pengurusan atau pemberesan harta pailit harus terlebih dahulu mendengar
pendapat dari Hakim Pengawas. Hakim Pengawas berhak memperoleh
segala keterangan yang diperlukan mengenai kepailitan, mendengar
saksi-saksi ataupun untuk memerintahkan diadakannya penyelidikan oleh
ahli-ahli.50 Kurator berkewajiban untuk melaporkan segala sesuatu
terkait harta pailit kepada Hakim Pengawas. Berdasarkan laporan
tersebut, Hakim Pengawas membuat suatu penetapan atas seluruh
tindakan yang dilakukan kurator dalam pemberesan harta pailit.
Ketetapan Hakim Pengawas merupakan bukti otentik dalam proses
kepailitan (Pasal 68 UU K-PKPU).
3. Permohonan Pailit
Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, seorang
pemohon pailit harus memahami syarat-syarat kepailitan yang diatur
dalam UU K-PKPU. Syarat-syarat tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal
2 Ayat (1) UU K-PKPU, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih
kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
50 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. Op.cit. Hal. 73.
32
pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan
satu atau lebih krediturnya.51
Syarat untuk mengajukan permohonan pailit yang telah terpenuhi
tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga sesuai dengan ketentuan
Pasal 6 UU K-PKPU. Permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh
advokat yang telah mempunyai ijin praktik kepada Panitera Pengadilan
untuk didaftar. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit
kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan, kemudian pada hari ketiga Pengadilan Niaga
mempelajari permohonan tersebut dan menentukan hari sidang. Setelah itu
Pengadilan Niaga melakukan pemanggilan yang dilakukan oleh juru sita
kepada :
a. Debitur dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
kreditur, Kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, Departemen
Keuangan. Setelah itu dilakukan pemeriksaan apakah alat bukti
memenuhi syarat pailit;
b. Kreditur dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit telah terpenuhi.52
Sidang pemeriksaan permohonan pernyataan dilakukan secara
terbuka dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan
diajukan upaya hukum. Dalam proses persidangan, hakim dapat
51 Rahayu Hartini. 2017. BUMN Persero Konsep Keuangan Negara Dan Hukum Kepailitan
di Indonesia. Malang. Penerbit Setara Press. Hal 141. 52 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 250-251.
33
meletakkan sita jaminan sebagian atau seluruhnya atas kekayaan debitur dan
menunjuk kurator sementara untuk mengawasi debitur maupun mengawasi
pembayaran kepada kreditur. Tahap terakhir proses persidangan adalah
pembacaan putusan. Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan
pengadilan dengan pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut.53
Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan yang
menyatakan bahwa debitur telah pailit maka demi hukum ia kehilangan
haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam
harta pailit. Harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum (Pasal
21 UU K-PKPU). Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 1131 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitur, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, di kemudian hari menjadi tanggungan
bagi seluruh utang debitur.54
Harta kekayaan debitur tidak terbatas kepada harta kekayaan
berupa barang-barang tidak bergerak, seperti tanah, tetapi juga barang-
barang bergerak, seperti perhiasan, mobil, dan mesin-mesin. Termasuk
barang-barang debitur yang berada di dalam penguasaan orang lain, yang
terhadap barang-barang itu debitur memiliki hak, seperti barang-barang
debitur yang di sewa oleh pihak lain atau yang dikuasai oleh orang lain
53 Ibid. Hal. 251-252. 54 Ibid. Hal. 87-89.
34
secara melawan hukum atau tanpa hak.55 Kekayaan Debitur Pailit tidak
seluruhnya dapat dimasukkan di dalam harta pailit. Pengecualian tersebut
sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UU K-PKPU, yakni :
a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis
yang diperlukan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30
hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang
tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim
pengawas; atau
c. Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut Undang-Undang.56
4. Pengurusan Harta Pailit
Pengurusan adalah mengumumkan ihwal kepailitan, melakukan
penyegelan harta pailit, pencatatan/pendaftaran harta pailit, melanjutkan
usaha debitur, membuka surat-surat telegram debitur pailit, mengalihkan
harta pailit. Melakukan penyimpanan harta pailit, mengadakan perdamaian
guna menjamin suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah
timbulnya suatu perkara. Pengurusan harta pailit dilakukan oleh Hakim
55 Adrian Sutedi. 2009. Hukum Kepailitan. Cet. 1. Bogor. Penerbit Ghalia Indonesia. Hal. 51. 56 Rahayu Hartini. BUMN Persero Konsep Keuangan Negara Dan Hukum Kepailitan di
Indonesia. Op.cit. Hal. 151-154.
35
Pengawas, Kurator dan Balai Harta Peninggalan (BHP).57 Proses pertama
sekali setelah adanya pernyataan pailit adalah penyelesaian utang debitur
dengan mengelompokkan kedudukan kreditur berdasarkan hasil verifikasi
piutang. Verifikasi atau pencocokan piutang berarti menguji kebenaran
piutang kreditur yang dimasukkan pada kurator.58 Verifikasi diatur dalam
Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU K-PKPU. Pencocokan piutang
dilakukan dalam rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan piutang
yang dipimpin oleh Hakim Pengawas.59
Pada proses kepailitan, debitur diberi kesempatan oleh UU K- PKPU
khususnya pada Pasal 144 untuk melakukan penawaran suatu perdamaian
kepada semua kreditur secara bersama. Selanjutnya pada Pasal
145 Ayat (1) UU K-PKPU, perdamaian dilakukan paling lambat 8 hari
sebelum rapat verifikasi pencocokan piutang. Perdamaian akan mengikat
semua kreditur termasuk kreditur yang tidak memberikan suara bahkan
kreditur yang tidak sepakat. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 151 UU K-
PKPU yang mengatur bahwa rencana perdamaian diterima apabila
disepakati dalam rapat kreditur oleh lebih dari 1/2 (setengah) jumlah kreditur
konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya diakui atau yang
untuk sementara diakui yang mewakili palin sedikit 2/3 (dua pertiga) dari
57 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 105. 58 Ibid. Hal. 135-137. 59 Rachmadi Usman. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta. Penerbit
Gramedia Pustaka Utama. Hal. 89.
36
jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau untuk sementara diakui
dari keditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.60
Apabila penawaran damai yang dilakukan oleh debitur diterima
dan telah disahkan oleh Hakim Pengawas, maka kepailitan akan berakhir
dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 166 Ayat (1) UU K-
PKPU. Namun jika dalam suatu kepailitan tidak terjadi perdamaian dan
harta pailit berada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang
yang wajib dibayar maka terjadi keadaan insolvency atau gagal bayar
sebagaimana diatur dalam Pasal 178 Ayat (1) UU K-PKPU.61 Secara
prosedural hukum positif kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam
keadaan tidak mampu membayar jika :
a. Dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian, atau
b. Rencana perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau
c. Pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.62
Setelah pemberesan harta pailit selesai dengan adanya perdamaian
atau dengan keadaan insolvency, berdasarkan ketentuan Pasal 215 UU K-
PKPU debitur pailit dapat mengajukan permohonan rehabilitasi kepada
pengadilan yang semula memutus perkara kepailitan debitur. Rehabilitasi
yang dimaksud adalah pemulihan nama baik debitur yang semula dinyata-
kan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga yang berisi keterangan bahwa
debitur telah memenuhi kewajibannya. Dalam UU K-PKPU, perihal
60 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 146-147. 61 Ibid. Hal. 148-149. 62 Santosa Sembiring. Op.cit. Hal. 136.
37
pengaturan tentang rehabilitasi kepailitan tertuang dalam ketentuan Pasal
215 sampai 221.63
5. Kreditur Dalam Kepailitan
Pada dasarnya, kedudukan para kreditur ialah sejajar (paritas
creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil
eksekusi boedel pailit sesuai dengan masing-masing besarnya tagihan
mereka (pari passu pro rata parte).64 Namun asas tersebut dikecualikan
apabila terdapat kreditur yang haknya didahulukan berdasarkan UU K-
PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kreditur dalam proses
kepailitan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kreditur khusus/separatis
Kreditur separatis atau kreditur khusus adalah kreditur
pemegang jaminan kebendaan meliputi gadai, fidusia, hak tanggungan
dan hipotek kapal sebagaimana diatur dalam Pasal 1134 Ayat (2) KUH
Perdata.65 Selanjutnya dengan memperhatikan Pasal 55 Ayat (1) UU K-
PKPU, kreditur separatis dapat bertindak sendiri yang tidak terkena
akibat putusan pernyataan pailit debitur sehingga hak-hak eksekusi
kreditur separatis ini tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan
debitur.66 Debitur mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya
63 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 152-154. 64 Aria Sujadi. 2004. Kepailitan Di Negeri Pailit. Jakarta. Penerbit Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia. Hal. 122. 65 Eliana Tansah. 2008. Materi III Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak Versus
Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan Perusahaan. Jakarta. Prosiding Seminar
Nasional Kepailitan Antisipasi Krisis Keuangan Kedua 29 Oktober 2008. USAID In ACCE
Project & AKPI . Hal. 12, https://id.scribd.com, diakses tanggal 15 Maret 2018. 66 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 136.
38
sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan
tersebut tidak mencukupi tagihan kreditur separatis maka tagihan yang
belum dibayar dapat dimasukkan sebagai kreditur bersaing
(konkuren).67
b. Kreditur preferen/istimewa
Kreditur preferen adalah kreditur yang piutangnya mempunyai
kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan
terlebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditur ini berada di bawah
pemegang hak tanggungan dan gadai. Menurut Pasal 1134 KUH
Perdata, hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh hukum
kepada seorang kreditur sehingga berkedudukan lebih tinggi daripada
lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Selanjutnya Pasal
1137 KUH Perdata secara konkret mengatur bahwa :
hak didahulukan milik negara, kantor lelang dan badan umum
lain yang diadakan penguasa, tata tertib pelaksanaannya dan lama jangka waktunya diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang berhubungan dengan hal-hal itu. Hak didahulukan milik persekutuan atau badan kemasyarakatan yang berhak atau yang kemudian men- dapat hak untuk memungut bea-bea, diatur dalam undang-undang yang telah ada mengenai hal itu atau yang akan diadakan.68
c. Kreditur konkuren
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1131 jo. Pasal 1132
KUH Perdata, kreditur konkuren adalah semua kreditur yang tidak
termasuk kreditur separatis dan preferen.69 Pada ketentuan Pasal 189
Ayat (3) UU K-PKPU, mengatur bahwa kreditur konkuren harus
67 Imran Nating. Op.cit. Hal. 43. 68 Ibid. Hal. 44. 69 Eliana Tansah. Op.cit. Hal. 13.
39
diberikan bagian yang ditentukan oleh Hakim Pengawas. Kreditur
konkuren atau bersaing memiliki kedudukan yang sama dan berhak
memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada
maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi
dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditur pemegang hak
jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa secara proporsional
menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditur.70
6. Upaya Hukum Kepailitan
a. Permohonan Renvoi Prosedur
Setelah adanya putusan pailit dilakukan rapat verifikasi
(pencocokan utang-piutang). Dalam rapat verifikasi ini akan ditentukan
pertimbangan dan urutan hukum dari masing-masing kreditur. Rapat
verifikasi dipimpin hakim pengawas dengan dihadiri oleh panitera yang
bertindak sebagai pencatat, debitur yang tidak boleh diwakilkan,
kreditur atau kuasanya dan kurator.71
Hasil dari rapat verifikasi meliputi piutang diakui, piutang
sementara diakui serta piutang dibantah. Jika tidak ada kesepakatan
tentang piutang yang dibantah maka diselesaikan dengan renvoi prosedur.
Renvoi prosedur adalah bantahan kreditur terhadap daftar tagihan
(sementara) kreditur yang diakui atau dibantah Kurator. Renvoi prosedur
disampaikan pada saat rapat pencocokan piutang oleh kreditur
70 Imran Nating. Op.cit. Hal. 45. 71 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 68-69.
40
yang tidak menerima piutang yang diakui oleh kurator. Sidang renvoi
dilaksanakan di Pengadilan Niaga. Dalam praktiknya, kurator mem-
bacakan daftar tagihan di depan hakim pengawas, panitera pengganti,
kreditur dan debitur beserta catatan berupa dasar hukum dan fakta-fakta
dari bukti dokumen tagihan dan dokumen perusahaan/individu yang
diberikan kreditur berupa alasan menerima/menolaknya kurator
terhadap tagihan tersebut. Setelah itu tiap kreditur dan debitur
menandatangani persetujuan atas tagihan yang diakui kurator.72
Memperhatikan Pasal 193 Ayat (1) UU K-PKPU, kreditur yang
merasa pembagian bagi dirinya tidak dapat disetujuinya maka dapat
melakukan perlawanan terhadap daftar pembagian piutang tersebut
dengan cara mengajukan surat keberatan disertai alasan kepada panitera
Pengadilan Niaga, dengan menerima tanda bukti penerimaan selama
tenggang waktu yang disediakan. Kemudian Pasal 193 Ayat (2) UU K-
PKPU, mengatur bahwa surat keberatan tersebut harus dilampirkan oleh
panitera Pengadilan Niaga pada daftar pembagian piutang yang
disediakan di kepaniteraan. Berdasarkan surat keberatan tersebut Hakim
Pengawas menetapkan hari untuk memeriksa perlawanan tersebut di
sidang pengadilan terbuka untuk umum. Sebagaimana norma pada
Pasal 194 Ayat (3) UU K-PKPU, para Kreditur Pelawan dan Kurator
72 Amrozi, 2010. Ask-Renvoi Proses Pada Pengadilan Niaga, lawyers.forumotion.net,
diakses tanggal 28 Maret 2018.
41
diberitahukan secara tertulis oleh juru sita mengenai penyediaan
permohonan keberatan pada Kepaniteraan Pengadilan Niaga.73
Mencermati ketentuan Pasal 195 Ayat (1) UU K-PKPU, kreditur
yang piutangnya belum dicocokkan dalam rapat pencocokan piutang
dan kreditur yang piutangnya telah dicocokkan untuk suatu jumlah yang
sangat rendah menurut pelaporannya sendiri dapat mengajukan
perlawanan dengan syarat paling lama dua hari sebelum pemeriksaan
perlawanan di sidang pengadilan dengan ketentuan :
(1) Piutang atau bagian piutang yang belum dicocokkan itu diajukan
kepada Kurator;
(2) Salinan surat piutang dan bukti penerimaan dari Kurator
dilampirkan pada surat perlawanan;
(3) Dalam perlawanan tersebut diajukan pula permohonan untuk
mencocokkan piutang atau bagian piutang tersebut.74
Proses persidangan renvoi prosedur dalam proses kepailitan terdiri
dari 3 (tiga) tahap, yaitu sidang pembukaan, sidang pembuktian dan
sidang putusan. Dalam proses persidangan kurator dan setiap kreditur atas
kuasanya dapat mendukung atau membantah daftar pembagian tersebut
dengan mengemukakan alasannya. Menurut Pasal
194 Ayat (6) UU K-PKPU, putusan renvoi prosedur ditetapkan Majelis
73 Ibid. 74 Ibid.
75 Sutan Remi Sjahdeni. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Cet. 1. Op.cit. Hal. 382. 76 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 69-70.
42
Hakim Pengadilan Niaga pada sidang pertama atau paling lama tujuh
hari kemudian.75
b. Permohonan Kasasi
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur yang
keberatan terhadap daftar piutang dan kurator setelah adanya Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Niaga adalah permohonan kasasi sebagaimana
ketentuan Pasal 196 Ayat (1) UU K-PKPU. Untuk kepentingan
pemeriksaan atas permohonan kasasi, Majelis Hakim dari Mahkamah
Agung (MA) dapat memanggil kurator atau kreditur untuk didengar
alasannya dengan memperhatikan ketentuan Pasal 196 Ayat (3) UU K-
PKPU.
Permohonan kasasi ke MA diajukan dalam jangka waktu paling
lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan.
Berdasarkan Pasal 196 Ayat (1) jo. Pasal 13 UU K-PKPU, sidang
pemeriksaan dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan
kasasi diterima oleh MA dan putusan atas permohonan kasasi harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi
diterima oleh MA.76
Putusan MA tingkat kasasi dapat diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) golongan, yaitu :
(1) Permohonan kasasi tidak dapat diterima
77 Ibid. Hal. 71-72. 78 Ibid. Hal. 73-74.
43
Apabila suatu permohonan kasasi tidak memenuhi syarat
formal untuk mengajukan kasasi seperti dilampauinya tenggang
waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus kasasi tidak memenuhi
syarat, tidak ada atau terlambat mengajukan memori kasasi maka
hal demikian dapat diklasifikasikan bahwa permohon- an kasasi
dinyatakan tidak dapat diterima.77
(2) Permohonan kasasi ditolak
Permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi yang ditolak oleh
MA dapat disebabkan oleh Judex Factie tidak salah menerapkan
hukum. Pemohon kasasi dalam memori kasasi mempersoalkan
tentang kejadian atau hal yang tidak merupakan wewenang Majelis
Hakim kasasi. Penolakan permohonan kasasi juga dapat disebabkan
karena Pemohon Kasasi dalam mengajukan memori kasasi tidak
relevan dengan pokok perkara.78
(3) Permohonan kasasi dikabulkan
Permohonan kasasi yang dikabulkan disebabkan alasan-
alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan pemohon
kasasi dalam memori kasasi dibenarkan oleh MA bahwa Judex
Factie telah salah dan tidak tepat dalam penerapan hukum atau
karena alasan-alasan hukum lain. Apabila permohonan kasasi
dikabulkan karena alasan dari pemohon kasasi atau karena alasan
hukum lain maka MA akan membatalkan putusan Judex Factie.
79 Ibid. Hal. 75-76. 80 Jono. 2010. Hukum Kepailitan. Jakarta. Penerbit Sinar Grafika. Hal. 96.
44
Dengan demikian, ada dua kemungkinan dalam putusan akhirnya
yaitu MA menyerahkan perkara tersebut ke pengadilan lain yang
berwenang memeriksa dan memutuskannya atau MA memutus
sendiri perkara yang dimohonkan itu dan putusannya bersifat
final.79
c. Permohonan Peninjauan Kembali
Setelah mekanisme perkara kasasi di MA selesai, apabila salah
satu atau para pihak tetap merasa keberatan maka dimungkinkan untuk
pihak yang merasa keberatan tersebut melakukan upaya hukum terakhir
yang disebut dengan Peninjauan Kembali (PK). Permohonan PK dapat
diajukan apabila ditemukan bukti baru dan apabila dalam putusan yang
bersangkutan terdapat kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum.
Ketentuan tentang upaya hukum PK diatur dalam Pasal 295 sampai
dengan Pasal 298 UU K-PKPU. 80
Alasan permohonan PK diatur dalam Pasal 67 UU No. 4 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah terakhir dengan
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UU No.
4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Namun, UU K-
PKPU secara khusus mengatur alasan permohonan PK dalam Pasal 295
Ayat (2), yaitu :
45
(1) Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan
sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau
(2) Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang
nyata.
Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum
tetap. Pengajuan disampaikan kepada panitera pengadilan dan panitera
mendaftarkan permohonan PK pada tanggal permohonan diajukan.
Selanjutnya panitera pengadilan menyampaikan permohonan PK
kepada panitera MA dalam jangka waktu 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan. Permohonan PK wajib menyampaikan bukti
pendukung kepada panitera yang menjadi dasar pengajuan permohonan
peninjauan kembali. MA memeriksa dan memberikan putusan atas
permohonan PK dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah tanggal permohonan diterima Kepaniteraan MA. Putusan atas
permohonan PK harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.81
81 Rahayu Hartini. 2017. Hukum Kepailitan. Cet. 4. Op.cit. Hal. 80-81.
46
C. Pengaturan Perpajakan Di Indonesia
1. Pengertian Pajak
Secara lex superior Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Pasal 23 huruf (a), mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, selanjutnya peraturan yang
bersifat lex inferiori yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terakhir diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) menyatakan bahwa
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.82
Timbulnya utang pajak dapat dilihat menurut ajaran material dan
formil. Menurut ajaran material timbulnya utang pajak karena berlakunya
undang-undang perpajakan, bukan karena adanya ketetapan Pajak
sedangkan menurut ajaran formil, yang menyebabkan timbulnya utang pajak
adalah karena peristiwa dan perbuatan (tatbestand).83
Pajak menurut Rochmat Soemitro adalah peralihan kekayaan dari
pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
apabila terdapat surplus digunakan untuk public serving yang merupakan
82 Suparmanto. Melalui Pajak, Kita Membangun Negeri. Loc.cit. 83 Marihot Siahaan. 2004. Utang Pajak, Pemenuhan Kewajiban dan Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa. Jakarta. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 127-129.
47
sumber utama untuk membiayai public investment. Selanjutnya
Soeparman Soemahamidjaja berpendapat bahwa pajak adalah iuran wajib,
berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan
norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-
jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.84
Terminologi pajak di atas mempunyai unsur-unsur yang sama
dengan pungutan lainnya, unsur pajak menurut Rochmat Soemitro adalah :
a. Masyarakat (kepentingan umum);
b. Undang-Undang;
c. Pemungut Pajak - Penguasa Masyarakat;
d. Subjek pajak - Wajib Pajak;
e. Objek pajak - Tatbestand;
f. Surat ketetapan pajak (fakultatif).85
2. Subjek Pajak
Subjek Pajak tidak identik dengan subjek hukum, oleh karena itu
untuk menjadi subjek pajak tidak perlu merupakan subjek hukum. Dengan
demikian firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, orang gila, ataupun anak yang masih di bawah umur dapat menjadi
subjek pajak. Tetapi untuk orang gila dan anak yang masih di
84 Santoso Brotodihardjo. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung. Penerbit Rafika
Aditama. Hal. 3-6. 85 Sari Pudyatmoko. 2006. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta. Penerbit Andi. Hal. 6.
48
bawah umur diperlukan wali yang dapat dipertanggungjawabkan untuk
memenuhi kewajiban-kewajibannya.86
Terminologi Pajak Penghasilan adalah seseorang atau badan yang
telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif akan menjadi Wajib
Pajak. Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang
memenuhi syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di
Indonesia. Subjek pajak baru menjadi Wajib Pajak jika memenuhi syarat
objektif. Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali mendapat revisi, dan
yang terbaru dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan bahwa subjek pajak adalah :
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak;
b. Badan; dan
c. Bentuk usaha tetap.87
Subjek Pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Yang dimaksud subjek pajak dalam negeri adalah
sebagai berikut :
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
86 Sumyar. Op.cit. Hal. 47. 87 Ibid.
49
dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia;
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.88
Pemungutan terhadap subjek pajak selain subjek pajak dalam
negeri adalah kepada subjek pajak yang berada di luar negeri. Subjek
pajak luar negeri adalah :
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
88 Ibid. Hal. 49-50.
50
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia.89
UU PPh menyatakan bahwa bentuk usaha tetap tersebut tetap
merupakan subjek pajak yang perlakuan pajaknya dipersamakan dengan
subjek pajak badan. Uraian mengenai batasan-batasan subjek pajak di atas
adalah apa yang dimaksud dengan syarat subjektif. Sedangkan yang
dimaksudkan dengan syarat objektif utamanya adalah penghasilan yang
diperoleh dan/atau diterima yang bersumber dari Indonesia.
3. Objek Pajak
Objek pajak yang dapat dikenakan pajak adalah penghasilan.
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan. Bentuk-bentuk objek pajak telah diatur di dalam
Pasal 4 UU PPh dengan nama atau bentuk apa saja, termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
89 Ibid.
51
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa
hasil usaha koperasi;
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU KUP; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
Klasifikasi terhadap jenis-jenis penghasilan di atas adalah beberapa
jenis penghasilan yang dapat dikenakan pajak. Wajib Pajak yang telah
memenuhi syarat subjektif dan objektif sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) UU
KUP wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib
pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan
pada adanya surat ketetapan pajak.
Pada prinsipnya segala sesuatu yang ada pada masyarakat dapat
dijadikan sasaran atau objek pajak, yaitu :
52
a. Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu saat tertentu, misalnya
memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki tanah atau
barang tak bergerak, menempati rumah tertentu;
b. Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian,
mendirikan rumah atau gedung, mengadakan pertunjukan atau
keramaian, memperoleh penghasilan, bepergian ke luar negeri;
c. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak,
anugerah yang diperoleh secara tak terduga, pada intinya adalah segala
sesuatu yang terjadi di luar kehendak manusia.90
4. Utang Pajak
Secara lex generalis Pasal 1233 KUH Perdata menormakan bahwa
tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena
ketentuan perundang-undangan. Perikatan yang lahir karena undang- undang
dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu perikatan yang timbul karena
undang-undang saja dan perikatan yang timbul karena undang- undang
dan perbuatan manusia.91
Kemudian secara lex specialis dalam Pasal 1 angka 8 Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa (UU PPSP), terminologi utang pajak adalah pajak yang masih harus
dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan
yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
101.
90 Rochmat Soemitro. 1998. Asas Dan Perpajakan I. Jakarta. Penerbit Rafika Aditama. Hal. 91 Sumyar. Op.cit. Hal. 77.
94 Santoso Brotodiharjo. Op.cit. Hal. 113.
53
berdasarkan ketentuan peralihan perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara eksplisit utang pajak merupakan
suatu utang dalam bentuk pajak yang lahir karena suatu perikatan yang
ditetapkan sepihak oleh pemerintah dengan adanya UU No. 28 Tahun
2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Hukum pajak memiliki kaitan yang erat dengan Hukum Perdata,
sehingga ketentuan utang dalam hukum perdata berlaku juga dalam hukum
pajak.92 Pengertian utang dalam hukum perdata dapat mempunyai arti luas
dan sempit. Utang dalam arti luas ialah segala sesuatu yang harus
dilakukan oleh yang berkewajiban sebagai konsekuensi perikatan, seperti
menyerah-kan barang, membuat lukisan, melakukan perbuatan tertentu,
membayar harga barang dan sebagainya.93 Utang dalam arti sempit adalah
perikatan sebagai akibat perjanjian khusus yang disebut utang piutang,
yang mewajibkan debitur untuk membayar (kembali) jumlah utang yang
telah dipinjamnya dari kreditur. Meskipun pajak bertalian erat dengan
hukum perdata, tetapi utang pajak bukan merupakan utang perdata
melainkan utang publik.
Menurut Santoso Brotodiharjo, utang pajak pelunasannya dapat
dipaksakan secara langsung dengan cara-cara yang dilindungi oleh hukum.94
Kewajiban untuk membayar pajak tidak terlepas dari timbulnya
utang pajak. Terdapat 2 (dua) teori mengenai timbulnya utang pajak :
92 Marihot Siahaan. Op.cit. Hal. 123. 93 Sumyar. Op.cit. Hal. 78.
54
a. Ajaran Materiil Menurut ajaran ini, utang pajak timbul karena adanya
undang-undang pajak dan peristiwa, keadaan atau perbuatan tertentu
(Taatbestand) bukan karena tindakan pemerintah atau fiskus.95
b. Ajaran Formil Menurut ajaran ini, utang pajak timbul pada saat
dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak bukan karena adanya taatbestand
sebagai dasar yang menimbulkan utang pajak.96
Dengan kata lain, ajaran formil pada dasarnya menyatakan bahwa
utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Timbulnya utang
pajak disebabkan karena beberapa hal. Seseorang dikenakan pajak karena
adanya suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self
assessment system sebagaimana yang berlaku di Indonesia. Penagihan
terhadap utang pajak juga dapat hapus. Hapusnya utang pajak disebabkan
oleh beberapa hal, yaitu pembayaran, kompensasi, daluarsa, pembebasan
dan penghapusan.97 Pembayaran dalam hukum pajak adalah pembayaran
dengan mata uang negara pemungut pajak.98 Dalam melakukan
pembayaran pajak tersebut, tata cara pembayaran, penyetoran pajak dan
pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak
diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.99
Setiap perikatan dalam hukum perdata selalu terdapat minimal
seorang kreditur dan antara mereka terdapat suatu hubungan hukum.
95 Marihot Siahaan. Op.cit. Hal. 127-128. 96 Ibid. Hal. 128-129. 97 Mardiasmo. 2016. Perpajakan. Edisi Terbaru 2016. Yogyakarta. Penerbit CV. Andi Offset.
Hal. 9. 98 Ibid. Hal. 8. 99 Ibid. Hal. 126.
55
Menurut Santoso Brotodihardjo mengenai hubungan hukum dalam pajak,
yang kesimpulannya bahwa sekalipun perikatan antara negara dan yang
berutang pajak didasarkan atas hukum publik, namun persamaannya
dengan perikatan-perikatan yang diuraikan dalam Buku III KUH Perdata
adalah besar.100
5. Penagihan Pajak
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 9 UU PPSP, penagihan
pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan memberi teguran, memberi
peringatan lalu melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, menjalankan
penyitaan, menjalankan penyanderaan, sampai dengan menjual barang
sitaan. Penagihan pajak pada pelaksanaannya sangat dimungkinkan terjadi
keadaan juru sita pajak tidak menemukan Wajib Pajak (WP), sehingga hal
tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam melakukan penagihan pajak.
Dalam melaksanakan tindakan yang diperlukan terhadap WP, juru
sita dapat menggunakan mekanisme Surat Paksa. Definisi Surat Paksa
menurut Pasal 1 angka 12 UU PPSP adalah surat perintah membayar utang
pajak dan biaya penagihan pajak. Surat Paksa bersifat mutlak sehingga tidak
menghiraukan bagaimana keadaan WP. Hal tersebut sebagaimana ketentuan
Pasal 10 Ayat (5) UU PPSP yang mengatur bahwa Dalam hal
Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator,
100 Ibid. Hal. 115.
56
Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib
Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan
kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan,
atau likuidator.
Selain itu juru sita diberikan kewenangan untuk tidak hanya
melakukan tindakan terhadap WP tetapi juga terhadap pihak lain yang ikut
bertanggung jawab. Pihak lain dalam sistem perpajakan Indonesia di
Indonesia dikenal sebagai Penanggung Pajak.101 Pasal 1 angka 25 UU
KUP mengatur bahwa penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan
yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Dari definisi ini, tampak
bahwa pengertian penanggung pajak lebih luas dari pengertian wajib
pajak. UU KUP menjelaskan siapa saja yang termasuk penanggung pajak
yang mewakili wajib pajak dalam menjalankan hak dan memenuhi
kewajibannya, antara lain :
a. Badan oleh pengurus;
b. Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau badan yang
dibebani untuk melakukan pemberesan;
c. Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya,
pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
101 Marihot Siahaan. Op.cit. Hal. 170.
57
d. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan
oleh wali atau pengampunya.
Para wakil tersebut memiliki tanggung jawab secara pribadi dan
dapat juga secara tanggung renteng terhadap utang pajak yang harus dibayar,
kecuali dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jendral (Dirjen) Pajak
bahwa dalam kedudukan mereka sebagai wakil benar-benar tidak
memungkinkan untuk menerima beban tanggung jawab atas utang pajak
WP. Selanjutnya perihal pengertian pengurus pada suatu badan ialah orang
yang secara nyata memiliki kewenangan untuk turut menentukan kebijakan
dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
6. Pajak Dalam Kepailitan
Pada saat Wajib Pajak (WP) dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi,
maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit,
pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditor lainnya
sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak dari
wajib pajak yang bersangkutan.102 Setelah WP berada dalam kondisi pailit
berdasarkan putusan Pengadilan Niaga, maka penagihan pajak dengan surat
paksa sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU PPSP ini tidak dapat diterapkan
dalam proses kepailitan karena dengan surat paksa ini tidak dapat dibenarkan
untuk melakukan penyitaan dan menjual harta WP sebagai debitur pailit.
Pihak fiskus sebagai petugas
102 Billy Ivan Tansuria. 2010. Pokok-Pokok Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta.
Penerbit Graha Ilmu. Hal. 303.
58
pajak atau Direktorat Jenderal Pajak harus mengikuti ketentuan dalam proses
kepailitan karena wajib pajak sudah diputus pailit. Sehingga ketika wajib
pajak diputus pailit, hukum yang harus diterapkan adalah UU K- PKPU
khususnya Pasal 3 Ayat (1) dengan mendasarkan pada asas lex specialis
derogat legi generalis.103
Pasal 113 Ayat (1) huruf b UU K-PKPU, mengatur bahwa batas
akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai
dengan UU di bidang perpajakan.104 Selanjutnya UU KUP mengatur
bahwa hak preferen atau mendahului yang dimiliki negara untuk utang pajak
terhadap barang-barang milik penanggung pajak. Hal tersebut dimuat
pada norma Pasal 21 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (3a) UU KUP,
yakni sebagai berikut :
(1) Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-
barang milik penanggung pajak.
(2) Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga,
denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak.
(3) Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu
lainnya, kecuali terhadap :
a. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman
untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak
bergerak;
b. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang
dimaksud; dan/atau biaya perkara yang hanya disebabkan oleh
pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
(3a) Dalam hal WP dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi maka
kurator, likuidator atau orang atau badan yang ditugasi untuk
melakukan pemberesan dilarang membagikan harta WP dalam
pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau
103 Paulus Herdianto Manurung. 2015. Hak Mendahului Tagihan Pajak Untuk Wajib Pajak
Yang Dinyatakan Pailit. Medan. Jurnal Premise Law. Vol. 11 No. 7. Fakultas Hukum. Universitas
Sumatera Utara. Hal. 11, https://jurnal.usu.ac.id, diakses tanggal 8 Mei 2018. 104 Rahayu Hartini. 2012. Hukum Kepailitan. Cet. 3. Op.cit. Hal. 285.
59
kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk
membayar utang pajak WP tersebut
Penjelasan Pasal 21 Ayat (1) UU KUP, menerangkan bahwa
kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai
hak mendahului atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan
dilelang di muka umum dan pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan
setelah utang pajak dilunasi. Dengan mencermati ketentuan tersebut,
Yustinus Prastowo berpendapat bahwa undang-undang melarang
dilakukannya pembagian harta pailit atau pembubaran kepada para
pemegang sahamnya sebelum hutang pajaknya diselesaikan menggunakan
harta tersebut.105
Perihal keutamaan hak preferen negara sebagai pemilik piutang
pajak yang mengakibatkan pelunasannya menjadi prioritas dikuatkan
dengan pendapat para ahli, sebagai berikut :
a. Menurut Sutan Remy Sjaydeni tagihan pajak, bea dan biaya kantor
lelang merupakan hak istimewa yang pelunasannya harus didahulukan
dari tagihan yang dijamin dengan hak jaminan dalam hal harta kekayaan
debitur pailit atau dilikuidasi.106
b. Munir Fuady menerangkan pada mulanya Pasal 1134 Ayat (2) KUH
Perdata mengatur bahwa kreditur separatis menduduki kedudukan
tertinggi kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan,
105 Yustinus Prastowo. 2018. Perihal Pajak Dan Kedudukannya Dalam Proses Kepailitan.
Jakarta. Makalah Pendidikan Kurator dan Pengurus Angkatan XXV 4 Oktober 2018. AKPI. Hal. 16, diperoleh tanggal 23 Oktober 2018.
106 Sutan Remy Sjahdeni. Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan. Op.cit. Hal. 7.
Putusan Pengadilan Niaga. Loc.cit.
60
kemudian Pasal 21 KUP mengatur kedudukan utang pajak yang lebih
tinggi daripada utang lain termasuk utang hak jaminan sehingga
aturan tersebut menjadi pengecualian yang dimaksud Pasal 1134 Ayat
(2) KUH Perdata.107
c. Elijana Tansah menyatakan bahwa sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 1134 Ayat (2) jo. Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 UU
KUP piutang pajak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kreditur separatis mengeksekusi objek jaminan kebendaannya
berdasarkan Pasal 55 Ayat (1) UU K-PKPU.108
Hak preferen piutang pajak semakin dipertegas dengan adanya
Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) melalui putusan Nomor : 070
PK/PDT.SUS/2009 tentang perkara Peninjauan Kembali (PK) antara Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Dua (KPP PJTAD) melawan
Kurator PT. Artika Optima Inti (dalam pailit) dan PT. Bank Mandiri
(Persero) Tbk, menyatakan bahwa pelunasan hutang pajak harus
didahulukan setelah itu baru pelunasan kreditur lainnya.109
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.67/ PUU-
XI/2013, menyatakan bahwa hak preferen piutang pajak bukan lagi
menduduki posisi yang diutamakan, apabila dalam suatu kepailitan
bertemu dengan tagihan upah buruh/pekerja dan hak-hak pekerja/buruh
lainnya. Putusan MK ini telah menempatkan upah pekerja sebagai prioritas
107 Munir Fuady. Op.cit. Hal 153-154. 108 Eliana Tansah. Materi III Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak Versus Kedudukan
Kreditur Separatis Dalam Kepailitan Perusahaan. Loc.cit. 109 Ratih Candrakirana. Hak Mendahului Negara Atas Pembayaran Utang Pajak Dalam
Wijaya Kusuma. Hal. 17, diakses tanggal 10 Oktober 2018.
61
pertama dari pembayaran dalam hal terjadi kepailitan, prioritas selanjutnya
adalah hak negara yakni utang pajak, kemudian kreditur separatis sebagai
pemegang hak tanggungan dan yang terakhir pembayaran bagi kreditur
konkuren.110
Namun apabila debitur pailit sebagai Wajib Pajak (WP) secara
nyata dan terbukti tidak mampu melunasi tagihan pajak, maka dapat
dilakukan tindakan penghapusan piutang pajak sebagaimana diatur dalam
Pasal 24 UU KUP yang menyatakan bahwa tata cara penghapusan piutang
pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan. Oleh karena itu berlaku Peraturan Menteri Keuangan No.
68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan
Penetapan Besarnya Penghapusan (PMK No. 68/PMK.03/2012). Dalam
hal ini apabila hak preferen piutang pajak telah melampaui jangka waktu
dalam jangka waktu 5 tahun sesuai Pasal 21 ayat (4) UU KUP terhitung sejak
penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat Keputusan
Keberatan (SKK), Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali
(PK) yang mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak yang harus dibayar
oleh WP.111
110 Rahayu Hartini. 2018. Payment of Tax Dues And Workers' Wages In Bankruptcy In
Indonesia. Malang. Fakultas Hukum. Universitas Muhammadiyah Malang. Hal. 5. 111 Stefanus Kurniawan Dharmadji. 2014. Akibat Hukum Penghapusan Piutang Pajak Atas
Kepailitan Perseroan Terbatas Bagi Para Kreditor. Surabaya. Fakultas Hukum. Universitas
62
Lebih lanjut Pasal 1 Ayat (3) PMK No. 68/PMK.03/2012,
menyebutkan bahwa piutang pajak yang dapat dihapuskan untuk WP
badan adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena :
a. WP bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat
ditemukan;
b. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
c. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah
dilakukan penelusuran secara optimal sesuai UU di bidang perpajakan;
d. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan
karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan
kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.112
Khusus untuk Perseroan Terbatas (PT) yang telah dinyatakan pailit
oleh Pengadilan Niaga, maka secara formil dapat dikenakan penghapusan
piutang pajak. Penghapusan piutang pajak ini diajukan oleh kurator
sebagai pengampu dari debitur pailit sebagai WP badan kepada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak badan tersebut. Sebagaimana
diatur pada Pasal 2 Ayat (1) PMK No. 68/PMK.03/2012, untuk
memastikan keadaan WP atau piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi,
112 Jessica Tanuwijaya dan Doni Budiono. 2014. Proses Penagihan Pajak Dengan Surat
Paksa Berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Surabaya. Jurnal Tax
& Accounting Review. Vol. 4. No. 1. Program Akuntansi Pajak. Program Studi Akuntansi.
Universitas Kristen Petra. Hal. 6, https://media.neliti.com diakses tanggal 30 Oktober 2018.
63
wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh
KPP.113
Kepala Kanwil DJP menyampaikan daftar usulan penghapusan
piutang pajak yang telah dilakukan penelitian kepada Direktur Jenderal
Pajak (Dirjen Pajak). Selanjutnya Dirjen Pajak memberi pengarahan
pelaksanaan bimbingan teknis kepada Kanwil DJP dalam proses pengusulan
penghapusan piutang pajak dan melanjutkan usulan penghapusan piutang
pajak kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan usulan penghapusan piutang
pajak yang diusulkan oleh Dirjen Pajak, selanjutnya Menteri Keuangan
menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) mengenai penghapusan
piutang pajak. KMK yang dimaksud dibuat sesuai format Lampiran dari
PMK No. 68/PMK.03/2012. Melalui mekanisme tersebut, Dirjen Pajak
melakukan tindakan berupa :
a. Penetapan perincian atas besarnya penghapusan piutang pajak; dan
b. Hapus tagih dan hapus buku atas piutang pajak tersebut sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku.114
Selain itu penghapusan piutang pajak dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan PMK No. 68/PMK.03/2012 khususnya Pasal 6,
yang mengatur bahwa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atas
penugasan dari Menteri Keuangan melakukan review atas usulan
penghapusan piutang pajak yang disampaikan oleh Dirjen Pajak.115
113 Stefanus Kurniawan Dharmadji. Op.cit. Hal. 18 114 Ibid. 19 115 Ibid. 20.