bab ii kajian pustaka 2.1 landasan teori 2.1.1 ... di indonesia lebih dari 183 hari (seratus delapan...

23
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak memilki dimensi yang berbeda beda menurut Mangkoesoebroto (Timbul Hamonangan, 2012: 9) pajak adalah suatu pungutan yang berupa hak preogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya. Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (Mardiasmo, 2009:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Selain dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli diatas, salah satu definisi pajak yang paling banyak dijadikan acuan adalah yang diajarkan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani (Timbul Hamonangan, 2012: 11), pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung

Upload: doannhu

Post on 07-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pengertian Pajak

Pengertian pajak memilki dimensi yang berbeda – beda menurut

Mangkoesoebroto (Timbul Hamonangan, 2012: 9) pajak adalah suatu pungutan yang

berupa hak preogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang –

undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak dimana tidak ada

balas jasa yang langsung dapat ditunjukan penggunaannya.

Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH

(Mardiasmo, 2009:1) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan

undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.

Selain dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahli diatas, salah satu

definisi pajak yang paling banyak dijadikan acuan adalah yang diajarkan oleh Prof.

Dr. P. J. A. Adriani (Timbul Hamonangan, 2012: 11), pajak adalah iuran kepada

negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung

7

ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran

umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah.

2.1.2 Fungsi pajak

Menurut Mardiasmo (2009:1) ada dua fungsi pajak, yaitu :

1) Fungsi budgetair

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaranya.

2) Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan

pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contoh:

a) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk

mengurangi konsumsi minuman keras.

b) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah

untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

c) Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor

produk Indonesia di pasaran dunia.

2.1.3 Pengelompokan pajak

Sesuai dengan dasar pengelompokannya, menurut Mardiasmo (2009:5) pajak

dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok, seperti :

1) Menurut golongannya, pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu:

8

a) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh

Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan

kepada orang lain.

Contoh : Pajak Penghasilan

b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat

dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai

2) Menurut sifatnya, pajak dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu :

a) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan

pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib

Pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan

b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya,

tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah.

3) Menurut lembaga pemungutannya

a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat

dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak

atas Penjualan Barang Mewah.

b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah

Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

9

Pajak Daerah terdiri atas :

(a) Pajak Provinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

(b) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak

Restoran dan Pajak Hiburan.

2.1.4 Sistem pemungutan pajak

Menurut Mardiasmo (2009:7) terdapat tiga sistem pemungutan pajak yaitu :

1) Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada

pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang

oleh Wajib pajak. Ciri-cirinya:

(a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada

pada fiskus.

(b) Wajib Pajak bersifat pasif

(c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak

oleh fiskus.

2) Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi weweang

kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

terutang. Ciri-cirinya:

(a) Wewenag untuk menetukan besarnya pajak terutang ada pada

Wajib Pajak sendiri.

10

(b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan

melaporkan sendiri pajak yang terutang.

(c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi

3) With Holding System

Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang

kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang

bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh

Wajib Pajak .

Ciri-cirinya: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada

pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

2.1.5 Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak

yaitu orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas penghasilan yang

diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.

2.1.6 Subyek dan Obyek pajak penghasilan

1) Subyek pajak

Subyek pajak menurut Waluyo (2011:99) diartikan sebagai orang pribadi atau

badan atau pihak yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak berkenaan

dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek

pajak orang pribadi adalah subyek pajak yang bertempat tinggal atau berada di

Indonesia ataupun luar Indonesia. Subyek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal

11

di Indonesia lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu

12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di

Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia disebut subyek

pajak dalam negeri. Adapun yang menjadi subyek Pajak Penghasilan adalah orang

pribadi yang merupakan :

a) Pegawai;

b) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,

tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;

c) Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan

sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:

(1) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari

pengacara, akuntan, arsitek, dokter , konsultan, notaris, penilai,

dan aktuaris;

(2) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang

film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto

model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat,

pelukis, dan seniman lainnya;

(3) Olahragawan;

(4) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan

moderator;

(5) Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

(6) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer

dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi,

12

ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu

kepanitiaan;

(7) Agen iklan;

(8) Pengawas atau pengelola proyek;

(9) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang

menjadi perantara;

(10) Petugas penjaja barang dagangan;

(11) Petugas dinas luar asuransi;

(12) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling

dan kegiatan sejenis lainnya;

d) Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak

merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;

e) Mantan pegawai;

f) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan

sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara

lain:

(1) Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain

perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan,

teknologi dan perlombaan lainnya;

(2) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan

kerja;

(3) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai

penyelenggara kegiatan tertentu;

13

(4) Peserta pendidikan dan pelatihan;

(5) Peserta kegiatan lainnya.

Salah satu subyek pajak penghasilan adalah tenaga ahli, salah satunya adalah

dokter. Dokter adalah orang yang telah menempuh pendidikan di Fakultas

Kedokteran dan memperoleh gelar dokter umum. Selain itu ada juga dokter spesialis,

yaitu dokter yang mengkhususkan diri dalam suatu bidang ilmu kedokteran tertentu.

Seorang dokter harus menjalani pendidikan dokter paska sarjana (spesialisi) untuk

dapat menjadi dokter spesialis. Pendidikan dokter spesialis merupakan program

pendidikan lanjutan dari program pendidikan dokter setelah dokter menyelesaikan

wajib kerja sarjananya dan atau langsung setelah menyelesaikan pendidikan dokter

umum dasar.

2) Obyek pajak

Obyek Pajak penghasilan menurut Waluyo (2011:109) dapat diartikan sebagai

sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Obyek pajak

penghasilan adalah penghasilan. Pengertian penghasilan adalah tambahan

kemampuan nilai ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang

berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai

untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan,

dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dilhat dari mengalirnya (inflow) tambahan

kemampuan ekonomis kepada subyek pajak, penghasilan dapat dikelompokkan

menjadi:

14

a) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas

seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris,

aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;

b) penghasilan dari usaha dan kegiatan;

c) penghasilan dari modal atau investasi, yang berupa harta gerak

ataupun harta tidak bergerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa,

keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk

usaha, dan lain sebagainya;

d) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain

sebagainya.

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan yang

termasuk penghasilan sebagai obyek pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun

termasuk :

a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,

komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk

lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang pajak

penghasilan;

b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c) laba usaha;

d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

15

(1) keuntungan karena pengalihan harta karena perseroan,

persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau

penyertaan modal.

(2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,

sekuritas, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan,

dan badan lainnya;

(3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,

pemekaran, pemecahan pengambilalihan usaha, atau organisasi

dengan nama dan dalam bentuk apapun;

(4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan

atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan

keagamaan dan badan pendidikan, badan sosial termasuk

yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha

mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau

penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

(5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau

seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan,

atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai

biaya; dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

16

f) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang;

g) deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden

dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa

hasil usaha operasi;

h) royalti; atau imbalan atas penggunaan hak;

i) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l) keuntungan selisih kurs mata uang asing;

m) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n) premi asuransi;

o) iuran yng diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang

terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum

dikenai pajak;

q) penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;

r) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang

mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

s) surplus Bank Indonesia.

17

2.1.7 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,

honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun

sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh

orang pribadi. Subjek pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dari Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

tersebut diatas, ada tiga unsure atau syarat berlakunya PPh Pasal 21, yaitu ada

pemotongan pajak, ada objek pajak dan ada penerima penghasilan sebagai pihak yang

dipotong pajak. Apabila ketiga unsur tersebut itu dipenuhi maka pemotong pajak

harus melakukan pemotongan pajak kepada penerima penghasilan atas

penghasilannya sebagai objek pajak PPh pasal 21.

1) Pemotong Pajak PPh Pasal 21

Pemotong PPh pasal 21 adalah pihak-pihak yang membayarkan

penghasilannya, yang terdiri atas :

a) Penyelenggara kegiatan:

b) Pemberi Kerja.

c) Bendahara atau pemegang kas pemerintah.

d) Dana Pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja.

e) Orang pribadi

2) Objek Pajak PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yaitu:

18

a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa

penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.

b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur

berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.

c) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan

penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus

berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau

jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis

d) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah

harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang

dibayarkan secara bulanan.

e) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi,

fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang

dilakukan.

f) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang

representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan

nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama

apapun.

3) Dasar hukum pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21

Dasar hukum pelaksanaan pemotongan PPh 21 atas jasa tenaga ahli

(Konsultan Pajak) di kantor Konsultan Pajak CV. Prima Artha Konsultama

antara lain:

19

a) Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16

Tahun 2000.

b) Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000

dan terakhir diubah menjadi Undang-Undang No.36 Tahun 2008.

c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan

pekerjaan Jasa dan kegiatan Orang Pribadi.

d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.03/2008 tentang jenis Jasa

lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (1) huruf D Undang-Undang

No.36 Tahun 2008

e) PMK-262/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak

atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan kegiatan Orang

Pribadi.

f) PER-31/PJ/2009 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan

Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26

Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

20

2.1.8 Pengertian PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli

Pajak peghasilan atas tenaga ahli merupakan penghasilan/fee yang

diterima atau diperoleh oleh orang pribadi yang melakukan pekerjaan, jasa

atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

2.1.9 Subjek dan Objek Pajak PPh Pasal 21 Atas Tenaga Ahli

Subjek pajak dari pajak penghasilan atas tenaga ahli adalah orang

pribadi yang memperoleh penghasilan/fee dari pekerjaan bebas, sedangkan

objeknya adalah penghasilan yang diterima dari pekerjaan bebas.

2.1.10 Dasar Hukum PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli

Dasar hukum yang mengatur PPh Pasal 21 atas tenaga ahli antara lain

sebagai berikut:

a) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK/.03/2008 Tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan

Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan kegiatan orang pribadi.

b) Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 31 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan

Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Sehubungan dengan

pekerjaan, jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

21

c) Peraturan Direktur Jendral pajak Nomor 57 Tahun 2009 Tentang

perubahan atas Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 31 tahun

2009.

d) Peraturan Direktur jendral Pajak Nomor 31 Tahun 2012 Tentang

Pedoman Teknis tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan

Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sehubungan dengan

Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

2.1.11 Pemotongan PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli

Pemotongan PPh atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli

adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

serta badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai

imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang

pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli

sendiri.

2.1.12 Pelaporan PPh Pasal 21 atas Tenaga Ahli

Bagi pemotongan pajak yang memotong PPh Pasal 21 atas tenaga ahli,

pelaporan pajak terhutangnya akan dilaporkan menjadi satu di SPT Masa

1721 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.

22

2.1.13 Pengertian Pembukuan

Pembukuan menurut Siti Resmi (2011:61) adalah suatu proses pencatatan

yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan

yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga

perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan

keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir.

Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:

1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau

pekerjaan bebas di Indonesia;

2. Wajib Pajak badan di Indonesia.

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi

wajib melakukan pencatatan adalah:

1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau

pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan

neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan

Neto;

2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan

usaha atau pekerjaan bebas.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembukuan

atau pencatatan:

23

1) Pembukuan atau pencatatan harus dilakukan dengan itikad baik dan

mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia

dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang

Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesiaatau dalam bahasa asing

yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

3) Pembukuan dilaksanakan dengan taat asas dan dengan stelsel akrual

atau stelsel kas. Perubahan terhadap metode dan atau tahun buku,

harus mendapat persetujuan dari Direktur Jendral Pajak.

4) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta,

kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan

pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

5) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain

Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapatkan

izin dari Menteri Keuangan.

Dalam hal ini pajak dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan kewajiban

melakukan pencatatan, pencatatan harus mncakup seluruh data yang dikumpulkan

secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto

sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan

yang bukan obyek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan

dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola

secara elektronik atau secara aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 tahun di

24

Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi,

atau ditempat kedudukan Wajib Pajak badan.

2.1.14 Pengertian Norma

Menurut Waluyo (2011:105) untuk memberikan kemudahan dalam

menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang

menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur

Jenderal Pajak menerbitkan norma perhitungan.

Norma perhitungan sebagai pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan

neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus.

Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:

a) tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan

yang lengkap atau

b) pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata

diselenggarakan secara tidak benar.

Norma Penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian

data lain, dengan memperhatikan kewajaran. Norma penghitungan akan sangat

membantu Wajib Pajak yang belum mampu meyelenggarakan pembukuan untuk

menghitung penghasilan neto.

25

2.1.15 Norma Perhitungan

2.1.15.1 Dokter yang Mendapat Penghasilan dari Pemberi Kerja

Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 Pasal 3 dan Pasal

9, menjelaskan bahwa:

1. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan

sehubungan dengan pemberian jasa, yaitu tenaga ahli yang melakukan

pekerjaan bebas seperti dokter.

2. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku

bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c

yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.

2.1.15.2 Dokter yang Mendapat Penghasilan dari Usaha Praktek

Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP-536/PJ/2000 untuk 10 ibu

kota provinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,

Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak dikenakan tarif sebesar 45% dari jumlah

bruto. Peraturan Direktur Jendral Pajak ini berlaku mulai tahun 2001 dan seterusnya

2.1.16 Pengertian Dokter

Adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-

orang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut

dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus

dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran.

26

2.1.17 Surat Pemberitahunan SPT

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2007 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa Surat

Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk

melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan

objek pajak dan/atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan perundang-undangan

perpajakan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 menyebutkan

bahwa terdapat dua macam SPT yaitu:

1) SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak.

2) SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau

bagian tahun pajak.

a) Pengisian dan Penyampaian SPT

1) Setiap wajib pajak mengisi SPT dalam bahasa Indonesia dengan

menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan

menandatangani serta menyampaikan ke Kantor Direktorat Jendral

Pajak tempat wajib pajakt terdaftar atau dikukuhkan.

2) Wajib pajak yang telah mendapat ijin Menteri Keuangan untuk

menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing

dan mata uang selain rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa

27

Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan dan mata uang

selain rupiah yang diizinkan.

b) Fungsi SPT

1) Bagi Wajib Pajak PPh, SPT berfungsi untuk melaporkan dan

mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya

terutang dan untuk melaporkan tentang:

a) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri

dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1

(satu) tahun pajak atau bagian tahun pajak.

b) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek

pajak.

c) Harta dan kewajiban.

d) Penyetoran dari pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi

atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak.

3) Mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang

sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:

a) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;

b) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri

oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu

masa pajak.

28

4) Bagi pemotong atau pemungut pajak, sebagai sarana untuk

melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau

dipungut dan distorkannya

c) Sanksi tidak atau terlambat menyampaikan SPT

SPT yang tidak disampaikan atau tidak sesuai dengan batas waktu

yang ditentukan, dikenakan sanksi berupa denda:

a) SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Rp. 100.000,-

b) SPT Tahunan PPh Badan Rp. 1.000.000,-

c) SPT Masa PPN Rp. 500.000,-

d) SPT Masa lainnya Rp. 100.000,-