bab ii kajian pustaka 2.1 konsep-konsep dan definisi 2.1.1 ... ii.pdfdi indonesia, pengertian tenaga...

31
18 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep-Konsep dan Definisi 2.1.1 Konsep Tenaga Kerja Istilah employment dalam bahasa Inggris berasal dari kata to employ yang berarti menggunakan dalam suatu proses atau usaha memberikan pekerjaan atau sumber penghidupan. Kata employment berarti keadaan orang yang sedang mempunyai pekerjaan. Penggunaan istilah employment sehari-hari biasa dinyatakan dengan jumlah orang dan yang dimaksudkan adalah sejumlah orang yang dalam pekerjaan atau mempunyai pekerjaan. Pengertian ini memiliki dua unsur yaitu lapangan atau kesempatan kerja dan orang yang dipekerjakan atau yang melakukan pekerjaan tersebut. Pengertian employment dalam bahasa Inggris sudah jelas yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki (Soeroto, 1983) Di Indonesia, pengertian tenaga kerja atau manpower mulai sering digunakan. Tenaga kerja mencakup angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pembagian angkatan kerja terdiri dari menganggur dan bekerja, sedangkan bukan angkatan kerja mencakup penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan penerima pendapatan. Tiga golongan yang disebut terakhir pada bukan angkatan kerja seperti bersekolah, penerima pendapatan dan mengurus rumah tangga, walaupun sedang tidak bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja.

Upload: votu

Post on 06-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep-Konsep dan Definisi

2.1.1 Konsep Tenaga Kerja

Istilah employment dalam bahasa Inggris berasal dari kata to employ yang

berarti menggunakan dalam suatu proses atau usaha memberikan pekerjaan atau

sumber penghidupan. Kata employment berarti keadaan orang yang sedang

mempunyai pekerjaan. Penggunaan istilah employment sehari-hari biasa

dinyatakan dengan jumlah orang dan yang dimaksudkan adalah sejumlah orang

yang dalam pekerjaan atau mempunyai pekerjaan. Pengertian ini memiliki dua

unsur yaitu lapangan atau kesempatan kerja dan orang yang dipekerjakan atau

yang melakukan pekerjaan tersebut. Pengertian employment dalam bahasa Inggris

sudah jelas yaitu kesempatan kerja yang sudah diduduki (Soeroto, 1983)

Di Indonesia, pengertian tenaga kerja atau manpower mulai sering

digunakan. Tenaga kerja mencakup angkatan kerja dan bukan angkatan kerja.

Pembagian angkatan kerja terdiri dari menganggur dan bekerja, sedangkan bukan

angkatan kerja mencakup penduduk yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan

penerima pendapatan. Tiga golongan yang disebut terakhir pada bukan angkatan

kerja seperti bersekolah, penerima pendapatan dan mengurus rumah tangga,

walaupun sedang tidak bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu dan

sewaktu-waktu dapat ikut bekerja.

19

Menurut Lembaga Demografi FEUI (1981) tenaga kerja (manpower)

adalah jumlah seluruh penduduk dalam suatu Negara yang dapat memproduksi

barang dan jasa. Jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka

mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Indonesia, pemilihan umur minimum

seorang tenaga kerja adalah 15 tahun tanpa batasan umur maksimum. Pemilihan

15 tahun sebagai batas umur minimum adalah berdasarkan kenyataan bahwa

dalam umur tersebut sudah banyak penduduk berumur muda terutama di desa-

desa sudah bekerja atau mencari pekerjaan. Pemilihan umur 15 tahun sebagai

batas umur minimum disebabkan bertambahnya kegiatan penduduk dalam

mengenyam pendidikan. Hal ini didasarkan bila wajib sekolah 9 tahun diterapkan,

maka anak-anak sampai dengan umur 14 tahun akan berada di sekolah, dengan

kata lain jumlah penduduk yang bekerja dalam batas umur tersebut akan menjadi

sangat kecil, sehingga batas minimum lebih tepat dinaikkan menjadi 15 tahun.

Menurut pertimbangan tersebut, Undang- undang No. 25 tahun 1997 tentang

ketenagakerjaan telah menetapkan batas usia kerja menjadi 15 tahun. Menurut

pertimbangan tersebut, sesuai dengan mulai berlakunya Undang-undang ini, mulai

tanggal 1 Oktober 1998, tenaga kerja didefinisikan sebagai penduduk berumur 15

tahun atau lebih.

Menurut Simanjuntak (2001), tenagakerja atau manpower terdiri dari

angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja atau Labor Force

terdiri dari (1) golongan yang bekerja, dan (2) golongan yang menganggur dan

mencari pekerjaan. Kelompok bukan angkatan kerja terdiri dari (1) golongan

yang bersekolah, (2) golongan yang mengurus rumah tangga, (3) golongan lain-

20

lain atau penerima pendapatan. Ketiga golongan dalam kelompok angkatan kerja

sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja. Oleh karena itu,

kelompok ini sering juga dinamakan sebagai potential labor force.

2.1.2 Peranan Tenaga Kerja dalam Pembangunan Ekonomi

Menurut Sergej Vojtovich (2011) adanya hubungan yang tidak dapat

dipisahkan atau dikecualikan antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran,

meskipun beralasan, terdapat hubungan yang langsung secara aritmatik antara

tingginya GDP dengan cepatnya tingkat pertumbuhan pengangguran. Laju

pertumbuhan dan pembangunan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang di

bentuk dari beberapa sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan

tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi didaerah tersebut (Prahutama, 2013).

Salah satu sektor pembentuknya adalah ketenagakerjaan, karena sebagai salah

satu syarat yang signifikan untuk membangun dan menumbuhkan ekonomi adalah

dengan menghasilkan tenaga kerja (Celik, 2011). Menurut pendekatan Gainful

Worker, beranggapan bahwa dalam perekenomian suatu negara atau daerah,

tingkat keberhasilan yang dicapai dapat diukur melalui luasnya kesempatan kerja

yang dapat diciptakan atau dihitung dari jumlah orang yang berhasil mendapatkan

pekerjaan ( Daryono Soebagiyo, 2007).

Profil ketenagakerjaan pada saat ini tidak dapat diidentikkan dengan

angkatan kerja. Menurut Tan Gong Tiang dalam Mantra (2003) Tenaga Kerja

(Man Power ) ialah besarnya bagian dari penduduk yang dapat diikutsertakan

dalam proses ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan angkatan kerja adalah

21

penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang secara aktif melakukan kegiatan

ekonomi. Meskipun adanya perbedaan definisi dari kedua konsep tersebut namun

dalam konteks pembangunan nasional keduanya saling memperkuat satu sama

lain. Adanya peran sumber daya manusia dalam hal ini adalah ketenagakerjaan

dalam proses pembangunan menjadi sektor penting yang tentunya tidak dapat

diabaikan begitu saja.

Menurut Mulyadi (2003) minimal ada empat kebijaksanaan pokok dalam

upaya peningkatan sumber daya manusia untuk memperbaiki ketenagakerjaan

disuatu daerah yaitu : (1) Peningkatan kualitas hidup manusianya seperti jasmani,

rohani dan keuangan. (2) Pemerataan penyebaran penduduk. (3) Memanfaatkan,

mengembangkan dan menguasai IPTEK yang berwawasan lingkungan. (4)

Pengembangan pranata yang meliputi kelembagaan dan perangkat hukum.

Diharapkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga akan

mempengaruhi peningkatan kualitas serta produktivitas tenaga kerja yang

tentunya berpengaruh terhadap pembangunan. Peningkatan produktivitas tenaga

kerja dilakukan dengan peningkatan kemampuan/keterampilan, disiplin, etos kerja

produktif, sikap kreatif dan inovatif dan membina lingkungan kerja yang sehat

untuk memacu prestasi. Pelatihan tenaga kerja lebih diarahkan pada

pengembangan usaha yang mandiri dan profesional, sehingga diharapkan dapat

berkembang menjadi bibit-bibit wirausaha yang mampu menciptakan lapangan

pekerjaan. Kemudian, mobilitas sumber daya, terutama tenaga kerja dari kegiatan

yang dianggap kurang produktif diarahkan pada kegiatan yang lebih produktif,

disertai oleh pengembangan sistem perlindungan tenaga kerja.

22

Adanya proses peningkatan efektivitas dan efisiensi dari sumber daya

manusia tersebut, maka diharapkan adanya koordinasi antar lembaga pemerintah,

maupun antar lembaga-lembaga dimasyarakat serta sektor swasta. Apabila proses

terintegrasi tersebut terjadi maka pembangunan ekonomi yang diidamkan pasti

akan terjadi. Adanya partisipasi aktif antar lembaga tersebut menjadi suatu upaya

yang mendorong dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia yang

mengarah pada peningkatan pembangunan daerah maupun nasional kedepan.

2.1.3 Konsep Pengangguran dan Jenis-Jenis Pengangguran

Menurut Berzinskiene (2011), tingkat pasar tenaga kerja menggambarkan

dari situasi ekonomi di sebuah negara dan dapat menunjukkan kelemahannya.

Salah satunya adalah pengangguran (unemployment), pengangguran merupakan

kenyataan yang dihadapi tidak saja oleh negara-negara sedang berkembang

(developing countries), akan tetapi juga oleh negara-negara yang sudah maju

(developed countries). Umumnya kriteria yang digunakan untuk membandingkan

performa ekonomi disuatu negara dalam kondisi umum pada pasar tenaga kerja,

adalah tingginya tingkat pengangguran (Kavler,2009). Secara umum,

pengangguran didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang

tergolong dalam kategori angkatan kerja (labor force) tidak memiliki pekerjaan

dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi

secara aktif mencari pekerjaan tidak dapat digolongkan sebagai penganggur.

Untuk mengukur pengangguran didalam suatu negara biasanya digunakan apa

23

yang dinamakan tingkat pengangguran (unemployement rate), yaitu jumlah

penganggur dinyatakan sebagai presentase dari total angkatan kerja (labor force).

Menurut Mantra dalam Marhaeni dan Manuati Dewi (2004), seseorang

dikatakan menganggur apabia tidak bekerja atau tidak memiliki pekerjaan.

Terdapat dua kemungkinan berkaitan dengan orang yang bersangkutan. Pertama,

ia tidak bekerja karena memang tidak ingin bekerja atau tidak bekerja secara

sukarela. Kedua, ia tidak bekerja karena tidak memperoleh pekerjaan, padahal

sedang mencari pekerjaan. Menurut Edy Priyono (2002) menganggur hanya dapat

dilakukan oleh orang yang punya tabungan atau transfer dari orang lain untuk

mempertahankan hidupnya. Menurut Sensus Penduduk 1980, 1990, dan 2000

dalam Marhaeni dan Manuati Dewi (2004), di Indonesia penggolongan penduduk

yang mencari pekerjaan adalah :

1) Mereka yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan

pekerjaan atau disebut pencari kerja baru.

2) Mereka yang pernah bekerja, pada saat pencacahan sedang menganggur

dan berusaha mendapatkan pekerjaan atau pencari kerja lama.

3) Mereka yang dibebastugaskan dan sedang berusaha mendapatkan

pekerjaan atau pencari kerja lama.

Didaerah maju ketika adanya proses restrukturisasi perusahaan manufaktur

yang dihapuskan, banyak meninggalkan tingginya angka pengangguran, yang

mana sulitnya menemukan pekerjaan dikarenakan ada dua alasan : sulitnya

permintaan akan kualifikasi pekerjaan disektor lain dan permasalahan secara

24

keseluruhan adalah rendahnya permintaan akan tenaga kerja (Borsic and Alenka

Kavler 2009).

Jenis Pengangguran

Menurut Nanga (2005), dilihat dari sebab-sebab timbulnya, pengangguran

dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sebagai berikut.

1) Pengangguran Friksional atau Transisi (frictional or transition

unemployment). Pengangguran friksional adalah jenis pengangguran yang

timbul sebagai akibat adanya perubahan di dalam syarat-syarat kerja, yang

terjadi seiring dengan perkembangan atau dinamika ekonomi yang terjadi.

2) Pengangguran Struktural (structural unemployment). Adapun yang

dimaksud dengan pengangguran struktural adalah jenis pengangguran

yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan di dalam struktur pasar

tenaga kerja yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara

penawaran dan permintaan tenaga kerja.

3) Pengangguran Alamiah (natural unemployement) atau yang dikenal

dengan tingkat pengangguran alamiah (natural rate of unemployement).

Pengangguran Alamiah adalah tingkat pengangguran yang terjadi pada

kesempatan kerja penuh (Sachs and Larrain,1993), atau tingkat

pengangguran dimana inflasi yang diharapkan (expected inflation) sama

dengan tingkat inflasi aktual (actual inflation).

4) Pengangguran Siklis atau Konjungtural (cyclical unemployement) adalah

jenis pengangguran yang terjadi sebagai akibat dari merosotnya kegiatan

ekonomi atau terlampau kecilnya permintaan agregat (aggregate effective

25

demand ) di dalam perekonomian dibandingkan dengan penawaran agregat

(AS).

Menurut Nanga (2005), dampak pengangguran yang terjadi di dalam suatu

perekonomian dapat membawa dampak atau akibat buruk, baik terhadap

perekonomian maupun individu dan masyarakat seperti.

1) Dampak Pengangguran terhadap Perekonomian

(1) Pengangguran menyebabkan masyarakat tidak dapat

memaksimumkan tingkat kesejahteraan yang mungkin dicapainya.

Pengangguran menyebabkan output aktual (actual output) yang

dicapai lebih rendah dari atau berada dibawah output potensial

(potential output). Keadaan ini berarti tingkat kemakmuran

masyarakat yang dicapai adalah lebih rendah dari tingkat yang

mungkin akan dicapainya.

(2) Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak (tax revenue)

pemerintah berkurang. Pengangguran yang disebabkan oleh

rendahnya tingkat kegiatan ekonomi, pada gilirannya akan

menyebabkan pendapatan pajak yang mungkin diperoleh

pemerintah akan menjadi semakin sedikit.

2) Pengangguran yang tinggi akan menghambat, dalam arti tidak akan

menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran menimbulkan dua

akibat buruk kepada kegiatan sektor swasta.

26

Dampak Pengangguran terhadap Individu dan Masyarakat

(1) Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan

pendapatan. Negara-negara maju, para penganggur memperoleh

tunjangan (bantuan keuangan) dari badan asuransi pengangguran,

dan oleh sebab itu, mereka masih mempunyai pendapatan untuk

membiayai kehidupannya dan keluarganya.

(2) Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan atau berkurangnya

keterampilan. Keterampilan dalam mengerjakan suatu pekerjaan

hanya dapat dipertahankan apabila keterampilan tersebut

digunakan dalam praktek. Pengangguran dalam kurun waktu yang

lama akan menyebabkan tingkat keterampilan (skills) pekerja

menjadi semakin merosot.

(3) Pengangguran dapat pula menimbulkan ketidakstabilan sosial dan

politik. Kegiatan ekonomi yang lesu dan pengangguran yang tinggi

dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat kepada

pemerintah yang berkuasa.

2.1.4 Konsep Pasar Kerja

Pasar kerja adalah seluruh aktivitas dari pelaku-pelaku yang bertujuan

untuk mempertemukan antara pencari kerja dengan lowongan pekerjaan (Manuati

dan Marheni, 2004). Pelaku-pelaku yang berkiprah di pasar kerja adalah 1)

pengusaha/produsen/pihak manajemen suatu organisasi yang membutuhkan

tenaga kerja, 2) pencari kerja, dan 3) perantara atau pihak ketiga yang

27

memberikan kemudahan bagi pengusaha dan pencari kerja untuk saling

berhubungan. Besarnya penempatan (jumlah orang yang bekerja atau tingkat

employement) dipengaruhi oleh faktor kekuatan penyediaan dan permintaan

tersebut. Selanjutnya, besarnya penyediaan dan penawaran tenaga kerja

dipengaruhi oleh tingkat upah.

Menurut Marheni dan Manuati Dewi (2004), dalam konsep dasar pasar

kerja perlu juga dipahami tentang aktivitas – aktivitas dalam pasar kerja. Aktivitas

dalam pasar kerja secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu aktivitas

permintaan tenaga kerja dan aktivitas penawaran tenaga kerja. Aktivitas

permintaan tenaga kerja dilakukan oleh pengusaha/ produsen/pihak manajemen

organiasasi yang membutuhkan tenaga kerja. Aktivitas penawaran tenaga kerja

dilakukan oleh angkatan kerja yang mencari pekerjaan. Mereka yang mencari

pekerjaan ini mungkin saja saat ini tidak bekerja atau sudah bekerja tetapi ingin

pindah pekerjaan.

2.1.5 Pengertian Lama Menganggur dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

terhadap Lama Menganggur

Menurut Tjiptoherijanto (1989), lama menganggur berarti menunggu

seseorang angkatan kerja untuk memperoleh pekerjaan. Menurut Rudiger (2008),

lama menganggur identik dengan durasi menganggur yang artinya rata-rata

lamanya seseorang tetap menganggur. Penelitian mengenai lama menganggur

yang digunakan adalah lama menganggur secara terbuka, yaitu waktu menunggu

seseorang penganggur terbuka untuk memperoleh pekerjaan. Jangka waktu

28

menunggu untuk memperoleh pekerjaan bagi seseorang dapat dipergunakan

sebagai indikator kasar mengenai tingkat kekurangan tenaga kerja di bidang

tertentu. Menurut Kusyono (2014), lama menganggur tenaga kerja terdidik hanya

terjadi selama lulusan mengalami masa tunggu (job search periode) yang dikenal

dengan pengangguran friksional. Lama masa tunggu atau lama menganggur itu

juga bervariasi menurut tingkat pendidikan. Terdapat kecenderungan bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikan angkatan kerja semakin lama masa tunggunya.

Lamanya masa tunggu atau lama menganggur angkatan kerja yang memiliki

tingkat pendidikan yang tinggi juga disebabkan karena tingginya reservation

wage yang ditargetkan.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap lama menganggur seseorang

pencari kerja adalah pengalaman kerja, umur, status perkawinan, pendidikan,

status migran, pendapatan rumah tangga dan jenis pekerjaan (Tjiptoherijanto,

1989). Menurut Sengupta (2009), untuk mengukur jumlah pengangguran yang

didasarkan pada lamanya menganggur atau durasi menganggur dipergunakan dua

cara konvesional statistik – tingkat pengangguran dan rata-rata durasi dari

pengangguran – umumnya yang dipergunakan adalah indeks agregrat dari

pengangguran.

2.1.6 Teori Pencarian Kerja (Job Search Theory)

Menurut Sutomo dkk dalam Setiawan (2010) Job Search Theory adalah

suatu metode yang menjelaskan masalah pengangguran dari sudut penawaran

yaitu keputusan seseorang individu untuk berpartisipasi dipasar kerja berdasarkan

29

karakteristik individu pencari kerja. Job Search Theory merupakan bagian dari

economic uncertainty yang timbul karena informasi dipasar kerja tidak sempurna,

artinya para penganggur tidak mengetahui secara pasti kualifikasi yang

dibutuhkan maupun tingkat upah yang ditawarkan pada lowongan-lowongan

pekerjaan yang ada di pasar. Informasi yang diketahui pekerja hanyalah distribusi

frekuensi dari seluruh tawaran pekerjaan yang didistribusikan secara acak dan

sektor upah menurut tingkat keahlian. Job Search Theory mengasumsikan bahwa

pencari kerja adalah individu yang risk neutral, artinya mereka akan

memaksimasi expected income-nya. Dengan tujuan maksimasi expected net

income dan reservation wage sebagai kriteria menerima atau menolak suatu

pekerjaan. Menurut Ehrenberg dan Smith (1987) teori keputusan untuk bekerja

atau mencari pekerjaan pada akhirnya menjadi sebuah keputusan untuk

menghabiskan waktu luang. Salah satu cara yang dipergunakan untuk

menghabiskan waktu yang tersedia adalah melakukan kegiatan yang

menyenangkan di waktu luang. Salah satu caranya adalah dengan bekerja.

Pencari kerja akan mengakhiri proses mencari kerja pada saat tambahan

biaya (marginal cost) dari tambahan satu tawaran kerja tepat sama dengan

tambahan imbalan (marginal return) dari tawaran kerja tersebut. Pencari kerja

mengahadapi ketidakpastian tentang tingkat upah serta berbagai sistem imbalan

jasa yang ditawarkan oleh beberapa lowongan pekerjaan. Kalaupun informasi

tentang hal ini ada, tetapi biaya untuk memperolehnya mahal. Dengan informasi

yang sempurna, seseorang akan mengetahui perusahaan mana yang akan

menawarkan upah yang lebih baik, dan proses kerja menjadi tidak perlu

30

dilakukan. Karena hal tersebut tidak akan terjadi, seseorang akan menganggur

dalam waktu tertentu untuk mencari pekerjaan yang terbaik.

2.1.7 Teori Perkembangan Karir Ginzberg (Development Career Choice

Theory)

Teori perkembangan karir (development career choice theory) Ginzberg

merupakan hasil kerjasama suatu tim yang mempelajari tentang pengaruh

perkembangan terhadap pemilihan karir yang diinginkan seseorang. Menurut

Ginzber dalam Agus Wirawan (2012), mengatakan bahwa anak dan remaja

melewati tiga tahap pemilihan karir yaitu tahap fantasy, tentative dan realistis.

Konsep perkembangan dan pemilihan pekerjaan atau karier oleh Ginzberg

dikelompokkan kedalam tiga unsur yaitu : proses (bahwa pilihan pekerjaan itu

merupakan suatu proses); irreversibilitas (bahwa pilihan pekerjaan itu tidak dapat

diubah atau dibalik); kompromi (bahwa pilihan pekerjaan itu merupakan

kompromi antara faktor-faktor yang terlibat yaitu minat, kemampuan, dan nilai);

dan optimisasi yang merupakan penyempurnaan teori (individu yang mencari

kecocokan kerja. Selain itu adanya teori pendukung lain dari adanya pilihan-

pilihan kerja adalah Teori Holland. Teori ini berusaha memadukan pandangan-

pandangan lain yang dinilainya terlalu luas atau terlalu khusus. Holland berusaha

menjelaskan soal pilihan atau aspirasi kerja dari sudut lingkungan kerja, pribadi

dan perkembangannya, dan interaksi pribadi dengan lingkungannya. Holland juga

menyatakan adanya stereotipe pekerjaan dari orang-orang yang melakukan pilihan

31

kerja dan bahwa cenderung orang memandang pekerjaan sesuai dengan

stereotipnya atau aspirasi kerja yang diinginkannya.

2.1.8 Proses Pemilihan Karir

Menurut Ginzberg dalam Agus Wirawan (2012), perkembangan dalam

pemilihan pekerjaan mencakup tiga tahap utama fantasy,tentatif, dan realistik.

1) Masa Fantasy

Masa ini berlangsung pada individu dengan tahap usia kira-kira 10 tahun

atau 12 tahun (masa sekolah dasar). Pada masa ini, proses pemilihan

pekerjaan masi bersifat sembarangan atau asal pilih, tanpa didasarkan pada

pertimbangan yang matang (rasional dan objektif) mengenai kenyataan

yang ada dan hanya berdasarkan pada kesan dan khayalan belaka. Menurut

Ginzberg, kegiatan bermain pada masa fantasi secara bertahap menjadi

orientasi kerja dan merefleksikan preferensi awal untuk jenis aktifitas

tertentu.

2) Masa Tentatif

Pada masa tentatif, pilihan karir anak akan mengalami perkembangan.

Mula-mula pertimbangan karir itu hanya berdasarkan kesenangan,

ketertarikan, dan minat saja tanpa pertimbangan apapun, sedangkan faktor-

faktor lainnya tidak dipertimbangkan. Menyadari bahwa minatnya terus

berubah-ubah, maka anak diusia tersebut mulai memikirkan dan mulai

bertanya pada dirinya sendiri tentang kemampuan atau kapasitasnya dalam

32

melakukan pekerjaan yang dia inginkan dan apakah pekerjaan tersebut

sesuai dengan minat atau aspirasi kerjanya kedepan.

3) Masa Realistik

Pada tahap realistik anak akan melakukan eksplorasi dengan memberikan

penilaian atas pengalaman-pengalaman kerja dalam kaitan dengan tuntutan

sebenarnya, sebagai syarat untuk dapat memasuki lapangan pekerjaan atau

memilih untuk tidak bekerja, dengan kata lain melanjutkan pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi. Pada masa ini, okupasi terhadap pekerjaan telah

mengalami perkembangan yang lebih realistis. Orientasi minat, kapasitas,

dan nilai yang dimiliki individu terhadap pekerjaan akan direfleksikan dan

diintegrasikan secara runtut dan terstruktur dalam frame vokasional

(kristalisasi pola-pola okupasi) untuk memilih jenis pekerjaan atau aspirasi

kerja mereka sesuai dengan arah tentatif mereka (spesifikasi).

2.1.9 Pengertian Pendapatan Pada dasarnya pendapatan dibedakan menjadi 2 (dua ) yaitu : Pendapatan

Nasional dan Pendapatan Perorangan. Pendapatan Nasional merupakan nilai

produksi barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan suatu perekonomian (negara

dalam waktu setahun). Pendapatan perorangan merupakan pendapatan yang

diterima seluruh rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas faktor-

faktor produksi yang dimiliki dari sumber dan lain. Dalam penelitian ini

pendapatan yang digunakan adalah pendapatan rumah tangga, menurut Nanga

(2005), pendapatan rumah tangga adalah merupakan pendapatan agregat (yang

33

berasal dari berbagai sumber) yang secara aktual diterima oleh seseorang atau

rumah tangga (house hold).

2.1.10 Hubungan Pendapatan dengan Lama Menganggur

Pendapatan sangat penting peranannya dalam meningkatkan kualitas

penduduk. Mengingat sebagian besar pelayanan yang diminta oleh masyarakat

harus dibayar. Salah satunya adalah kesempatan dalam mengenyam jenjang

pendidikan. Perbedaan pendapatan masyarakat mengakibatkan perbedaan dalam

kesempatan mendapatkan pendidikan formal yang diinginkan. Bila satu keluarga

telah mampu menyekolahkan anaknya beberapa tahun di perguruan tinggi,

biasanya keluarga tersebut juga mampu membiayai anaknya menganggur selama

satu sampai dua tahun lagi dalam proses mencari pekerjaan yang lebih baik.

Melihat dari pernyataan tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga

berpenghasilan besar relatif terhadap biaya hidup cenderung memperkecil jumlah

anggota keluarga untuk bekerja, sehingga tingkat partisipasi kerja cenderung

relatif rendah (Simanjuntak, 2001). Dapat dikatakan bahwa semakin besar

pendapatan rumah tangga suatu keluarga, maka lama menganggur lulusan

perguruan tinggi tersebut semakin lama. Dapat ditarik sebuah korelasi bahwa

terdapat hubungan yang positif antara pendapatan dan lama menganggur.

34

2.1.11 Teori Strategi Kelangsungan Hidup Keluarga (Household Survival

Strategy Theory)

Menurut Eboiyehi (2013) Teori Harbinson yang dikenal dengan teori

strategi kelangsungan hidup keluarga (household survival strategy) bahwa

masyarakat menghadapi perubahan situasi ekonomi yang semakin buruk

sehingga pendapatan keluarga dan tingkat kesejahteraan menurun. Salah satu

upaya untuk beradaptasi dalam situasi ini adalah mengarahkan seluruh sumber

daya yang dimiliki termasuk mengikutsertakan anggota keluarga dalam kegiatan

ekonomi. Menurut Ehrenberg dan Smith (1987) keluarga menjadi dasar yang

paling penting untuk membuat keputusan didalam kehidupan sosial, dan

keputusan penting lainnya yang berfokus pada pola konsumsi dan penawaran

tenaga kerja yang di buat dalam konteks keluarga.

Menurut Singarimbun dan Sofian Effendi dalam Hidayati (2013) strategi

kelangsungan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan keluarga adalah

merupakan suatu cara atau usaha yang dilakukan mereka untuk terus dapat

bertahan diri untuk hidup dengan melakukan alternatif atau langkah-langkah yang

ditempuh dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Hidayati (2013) untuk

dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya, perlu mencari usaha lain untuk

meningkatkan pendapatannya. Salah satu usahanya adalah melakukan aktifitas

penganekaragaman sumber pendapatan, yaitu dengan cara bekerja, baik yang

berasal dari pekerjaan pokok atau diluar pekerjaan pokok

35

2.1.12 Konsep Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya

dan masyarakat (Wikipedia, 31/08/2014). Pendidikan dapat dikatakan sebagai

katalisator untuk pengembangan sumber daya manusia, dengan asumsi bahwa

semakin terdidik seseorang, semakin tinggi pula kesadaran terhadap

pembentukan keluarga sejahtera.

Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa

sesuai dengan amanat pancasila yang telah dituangkan dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut merupakan landasan yang kuat bagi

pemerintah untuk mencanangkan program wajib belajar. Program wajib belajar

tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada

seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan.

Banyak studi telah memperlihatkan bahwa pendidikan mempunyai

hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Mereka yang terdidik lebih cepat

menyerap informasi dan menerapkan perkembangan yang terbaru sehingga

mereka menjadi lebih produktif (Bendesa, 2005). Pendidikan berorientasi pada

penyiapan tenaga kerja terdidik, terampil dan terlatih sesuai dengan kebutuhan

pasar kerja.

Pendidikan memberikan sumbangan langsung terhadap pertumbuhan

pendapatan nasional melalui peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja.

36

Pendidikan diharapkan dapat mengatasi keterbelakangan ekonomi lewat efeknya

pada peningkatan kemampuan manusia dan motivasi manusia untuk berprestasi.

Pendidikan berfungsi untuk menyiapkan salah satu input dalam proses produksi

yaitu tenaga kerja, agar dapat bekerja dengan produktif karena kualitasnya.

2.1.13 Hubungan Pendidikan terhadap Lama Menganggur Lulusan

Perguruan Tinggi

Tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh angkatan kerja dapat menjadi

salah satu indikator kualitas angkatan kerja. Semakin rendahnya pendidikan yang

ditamatkan oleh angkatan kerja semakin rendah pula kualitas angkatan kerja

tersebut yang pada akhirnya akan berakibat semakin rendahnya peluang angkatan

kerja tersebut untuk bersaing di pasar kerja. Pencari kerja terdidik selalu berusaha

mencari pekerjaan dengan upah, jaminan sosial, dan lingkungan kerja yang baik.

Biasanya kecenderungan mereka yang baru menyelesaikan pendidikan berusaha

mencari kerja sesuai dengan aspirasi mereka. Aspirasi mereka adalah bekerja

disektor modern atau kantor, untuk mendapatkan pekerjaan itu mereka bersedia

menunggu untuk beberapa lama (Kuncoro,2003). Sebaliknya pencari kerja tenaga

tidak terdidik yang biasanya datang dari keluarga miskin, tidak mampu

menganggur lebih lama dan terpaksa menerima pekerjaan apa saja yang tersedia

(Simanjuntak,2001). Dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara pendidikan dengan lama menganggur.

37

2.1.14 Teori Human Capital

Menurut Simanjuntak (1998) asumsi dasar teori human capital adalah

bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan

pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, disatu pihak,

meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan sesorang, akan tetapi,

dipihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam

mengikuti sekolah. Menurut Ace Suryadi dalam Setiawan (2010), pendidikan

memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi karena pendidikan berperan

dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Adanya anggapan atas teori ini

dimana meningkatnya pertumbuhan ekonomi ataupun pembangunan suatu daerah

tergantung dari produktivitas perorangan dari suatu kelompok masyarakat

tersebut. Teori Human Capital ini menganggap pendidikan formal merupakan

suatu investasi, baik itu bagi individu maupun suatu masyarakat.

Selain itu ide dasar yang sebenarnya terdapat pada teori The Human

Capital Model adalah adanya investasi dalam rangka peningkatan produktivitas.

Dalam model ini selain menjelaskan tentang pentingnya pendidikan, kesehatan,

dan pelatihan dalam peningkatan produktivitas dalam model ini juga menjelaskan

bahwa adanya niat untuk melakukan migrasi dipengaruhi oleh motivasi untuk

mencari kesempatan kerja dan pendapatan yang lebih tinggi. Maka dari itu, salah

satu penyebab adanya pengangguran adalah adanya arus migrasi dari desa ke kota.

Perbedaan pendapatan yang terjadi antara daerah yang mobilitas ekonominya

kurang baik dengan daerah yang mobilitas ekonominya baik inilah yang menjadi

penyebab adanya arus mobilisasi penduduk.

38

2.1.15 Keterampilan yang dimiliki

Keterampilan atau skill tambahan biasanya sangat membantu seseorang

dalam mempercepat seseorang dalam memperoleh pekerjaan. Dari adanya skill

atau keterampilan yang dimiliki membuat seorang pencari kerja memiliki nilai

plus didalam dunia kerja. Dari adanya skill tambahan yang dimiliki pencari kerja

didapat dari mengikuti kursus atau pelatihan-pelatihan tertentu sesuai dengan

bidang yang ditekuni. Semakin banyak skill yang dimiliki maka semakin mudah

pula sesorang tersebut memasuki dunia kerja, sedangkan sebaliknya semakin

sedikitnya sesorang atau tidak memiliki kemampuan tambahan maka semakin

sulitnya seseorang dapat diterima di dalam dunia kerja. Diperkirakan bahwa

dengan semakin banyak keterampilan yang dimiliki, pencari kerja lebih sanggup

untuk mendapat pekerjaan yang sesuai, selain itu keterampilan yang dimiliki

menggambarkan pengetahuan pasar kerja (Setiawan, 2010).

2.1.16 Hubungan Keterampilan dengan Lama Menganggur

Diperkirakan bahwa dengan keterampilan yang dimiliki pencari kerja lebih

sanggup untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Selain itu keterampilan yang

dimiliki menggambarkan pengetahuan para pekerja terhadap pasar kerja yang

akan dituju. Menurut Sumoto dkk dalam Setiawan (2010), dengan memiliki

keterampilan didukung dengan pendidikan yang tinggi, maka tenaga kerja akan

mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Jadi, ada

pengaruh yang negatif antara keterampilan yang dimiliki dengan lama

menganggur.

39

2.1.17 Jumlah Tanggungan Keluarga

Menurut Simanjuntak (2001), komposisi ketenagakerjaan dibagi menjadi

dua kelompok, yaitu:

1) Angkatan Kerja

Adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha

untuk terlibat, dalam kegiatan produktif yaitu produksi barang dan jasa.

2) Bukan Angkatan Kerja

Penduduk yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah

mereka yang berumur kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun.

Menurut Vivi Silvia (2009) besarnya angkatan kerja dapat dipengaruhi

oleh komposisi demografi penduduk dan bagaimana Tingkat Partisipasi Angkatan

Kerja yang relatif tinggi dengan jumlah usia kerja yang besar akan mengakibatkan

jumlah angkatan kerja yang tinggi. Dari komposisi penduduk tersebut, maka yang

termasuk kedalam jumlah tanggungan rumah tangga adalah penduduk yang tidak

termasuk dalam angkatan kerja, karena pada umumnya penduduk tersebut belum

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri sehingga membutuhkan tanggungan

orang lain. Menurut Mantra (2003), yang termasuk dalam jumlah tanggungan

rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang tinggal dan makan dari

satu dapur dengan kelompok penduduk yang sudah termasuk dalam kelompok

tenaga kerja. Kelompok yang dimaksud makan dari satu dapur adalah jika

pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama menjadi satu.

Selanjutnya menurut Mantra (2003), kelompok penduduk yang termasuk

dalam beban tanggungan rumah tangga adalah kelompok penduduk umur 0-14

40

tahun, dianggap sebagai kelompok penduduk yang belum produktif secara

ekonomis. Kelompok umur 15-64 tahun sebagai kelompok produktif dan

penduduk umur 65 tahun keatas sebagai kelompok penduduk yang tidak lagi

produktif. Maka rasio beban tanggungan rumah tangga dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut:

Rasio Beban Tanggungan = ��� ��� �� �� �������� �

�������� �� �� �� ���������� �� �� ���� �����

x100%.......................................(2.1)

Apabila rasio beban tanggungan yang dihasilkan tinggi maka akan

menjadi faktor penghambat pembangunan ekonomi suatu daerah khususnya,

karena sebagian dari pendapatan yang diperoleh oleh golongan yang produktif,

terpaksa harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang belum

produktif.

2.1.18 Hubungan Jumlah Tanggungan dengan Lama Menganggur Lulusan

Perguruan Tinggi

Tanggungan keluarga merupakan salah satu alasan utama bagi para pencari

kerja bekerja untuk memperoleh penghasilan. Besarnya jumlah tanggungan keluarga

merupakan faktor yang mempengaruhi kemauan untuk melakukan pekerjaan.

Semakin banyak responden mempunyai tanggungan, maka semakin tinggi pula

jumlah pencari kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan, serta semakin rendah pula

keinginan seseorang untuk menyia-nyiakan perkerjaan yang ada sehingga lama

menganggurpun semakin kecil. Jadi, terdapat hubungan yang negatif antara jumlah

tanggungan dengan lama menganggur.

41

2.1.19 Jarak

Perpindahan penduduk dianggap sebagai sebuah proses alamiah yang akan

menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah yang jaraknya jauh dengan akses

informasi tentang lowongan pekerjaan ke daerah yang memiliki akses yang baik

tentang informasi lowongan pekerjaan. Menurut Todaro (2000), hal ini dipandang

proses positif secara sosial, karena kemungkinan berlangsungnya suatu pergeseran

sumber daya manusia dari tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi

lain yang produk marjinalnya tidak hanya positif tetapi juga terus meningkat

sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi. Menurut

Mulyadi (2003), adanya proses tersebut menyebabkan lahirnya mobilitas

penduduk berdasarkan jenis pekerjaan dan memilih daerah-daerah umum yang

mampu menyediakan cukup lapangan kerja walaupun para pencari kerja harus

menempuh jarak tempuh yang jauh sekalipun dari tempat tinggalnya untuk

mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

Menurut Harri Yulianto (2006), semakin maju suatu wilayah, akan

semakin menarik bagi para pendatang yang memberikan kontribusi positif bagi

peningkatan aksesibilitas sosial ekonomi, sebaliknya semakin tertinggal suatu

daerah dalam aspek ekonomi dapat dijadikan salah satu pendorong bagi seseorang

untuk pindah atau mencari peluang kerja ke daerah lain dengan jarak tempuh yang

berbeda-beda. Sehingga ide dasar dari The Human Capital Model ini adalah

keputusan seseorang untuk melakukan perpindahan dari suatu daerah yang

jaraknya jauh dari perkotaan dengan daerah yang jaraknya lebih dekat menuju

42

akses ekonomi maupun sosial yang merupakan respon dari harapan untuk

memperoleh kesempatan kerja dan pendapatan yang baik.

2.1.20 Hubungan Jarak dengan Lama Menganggur

Menurut Harri Yulianto (2006), jarak yang ditempuh untuk mendapatkan

pekerjaan merupakan suatu proses yang secara selektif mempengaruhi setiap

individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan, dan demografi tertentu,

maka segenap pengaruhnya secara relatif terhadap faktor-faktor ekonomi dan non

ekonomi dari masing-masing individu tertentu akan bervariasi. Hal ini dapat

dikatakan bahwa semakin dekat akses atau jarak yang diperlukan untuk

mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya yang diberikan di suatu wilayah

maka lama menganggur seseorang juga akan semakin sedikit pula. Hal ini

dikarenakan pencari kerja akan mencari pekerjaan di suatu daerah yang mampu

menyediakan peluang ekonomi yang lebih baik terkait dengan peningkatan

kualitas hidup sesorang baik dari segi pendapatan, fasilitas kesehatan dan sosial-

ekonomi lainnya. Selain itu biasanya para pencari kerja yang jarak mencari

kerjanya jauh dengan tempat tinggal biasanya mengandalkan semua jaringan

sosial untuk mencari kerja (Frijters,2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

pengaruh positif antara jarak dengan lama menganggur lulusan.

43

2.2 Keaslian Penelitian

Penelitian mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,

hal ini dilakukan agar memberi dasar yang kuat dalam penyajian materi,

pemantapan variabel maupun konsep-konsep yang dipakai peneliti dalam

penelitian ini. Dimana penelitian ini didukung oleh adanya teori-teori, konsep-

konsep penelitian sebelumnya yang dikaitkan sehingga dihasilkan penelitian yang

memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian ini menambahkan

beberapan variabel seperti variabel aspirasi kerja sebagai variabel antara. Selain

itu penelitian ini juga menambahkan variabel pendapatan rumah tangga,

keterampilan, jumlah tanggungan dan jarak sebagai variabel independen.

Sehingga memberikan perbedaan dari masing-masing penelitian terdahulu.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Ratih Pratiwi (2012), Satrio Adi Setiawan

(2010), A. Ihsan Triputrajaya (2011), Kiki Suko Suroso (2012), dan Peter Khun

dan Mikal Skuterud (2004). Studi tersebut dapat dipergunakan sebagai rujukan

yang sangat relevan bagi penelitian ini. Pemaparan yang lebih lanjut tentang

penelitian sebelumnya dapat dilihat dalam Tabel 2.1

44

No Penulisan Judul dan Tahun Penerbitan

Variabel Penelitian Model Analisis Hasil Perbedaan dan Persamaan

1.

Ratih Pratiwi. (2012), dalam penelitian yang berjudul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Lama Mencari Kerja Lulusan Sekolah Menengah dan Pendidikan Tinggi di Indonesia pada Tahun 2012

Lama Mencari Kerja Jenis Kelamin, Umur, Tempat Tinggal , Tingkat Pendidikan, Pendidikan Teknis, Metode Mencari kerja dan Jenis Pekerjaan yang Dicari.

1) Metode Regresi Berganda (OLS) : Ln Dur = Genderi + Agei - Areai -Trainingi + Educ_SMKi

- Educ_Diplomai - Educ_Sarjanai +Method1i-Method3i-Method4i - Jobi + νi 2) Metode Logit (Logistic Method) : Ln (Pi/1-Pi) = Genderi - Agei + Areai

+Trainingi

+Educ_SMKi + Educ_Diplomai + Educ_Sarjanai -Method1i + Method3i + Method4i + Jobi + νi

1) Variabel jenis kelamin, umur dan metode mencari kerja berpengaruh signifikan terhadap lama mencari kerja lulusan, sedangkan variabel tempat tinggal, pelatihan teknis, pendidikan dan jenis pekerjaan yang dicari berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja lulusan. 2) Terdapat perbedaan lama mencari kerja antara pencari kerja laki-laki dengan pencari kerja perempuan. Hasil ini penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin memiliki pengaruh yang negatif

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah adanya penggunaan variabel jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pendidikan teknis dan metode dalam mencari kerja sebagai faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi lama mencari kerja lulusan sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Sedangkan persamaannya adalah adanya variabel independen yaitu variabel tempat tinggal yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja, serta variabel dependen yaitu lama mencari kerja atau lama menganggur lulusan perguruan tinggi.

Tabel 2.1

Rangkuman Hasil Penelitian Terdahulu

45

lama mencari kerja berarti terdapat kecenderungan bahwa pencari kerja perempuan untuk mengakhiri masa mencari kerja kurang dari setahun semakin menurun.

2.

Satrio Adi Setiawan. (2010), dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Umur, Pendidikan, Pendapatan, Pengalaman Kerja dan Jenis Kelamin terhadap Lama Mencari Kerja Terdidik di Kota Magelang”

Lama Mencari Kerja, Umur, Pendidikan, Pendapatan, Pengalaman Kerja dan Jenis Kelamin

Metode Regresi Berganda (OLS) LMK = a0 + a1+ Umur + Pendidikan + Pendapatan + Pengalaman Kerja - Jenis Kelamin

Variabel Umur, Pendidikan, Pendapatan, Pengalaman Kerja tersebut berpengaruh positif dan signifikan terhadap lama mencari kerja bagi tenaga kerja terdidik. Sedangkan variabel jenis kelamin berpengaruh negatif terhadap lama mencari kerja terdidik.

Perbedaan penelitian ini adalah adanya penambahan variabel jumlah tanggungan, jarak sebagai variabel independen serta variabel aspirasi kerja sebagai variabel antara yang mempengaruhi lama menganggur lulusan perguruan tinggi. Penelitian sebelumnya menggunakan variabel umur dan jenis kelamin yang mempengaruhi lama mencari kerja terdidik. Sedangkan persamaanya adalah sama-sama

46

menggunakan variabel pendapatan dan pengalaman kerja sebagai variabel independen dan variabel lama mencari kerja atau lama menganggur sebagai variabel dependen.

3.

A. Ihsan Triputrajaya. (2011), dalam penelitian yang berjudul “ Preferensi Pekerja dalam Memilih Pekerjaan Sektor Formal”

Preferensi Jenis Pekerjaan yang Dipilih, Lama studi, Pendapatan Tahun Pertama, Jam Kerja, Kesesuaian Jurusan, Lingkungan Kerja, Status Pekerjaan Sebelumnya dan Status Prestise Kerja

Analisis regresi biner Logistic Y= f (X1,X2,X3,X4,X5,X6,X7) Y1 = β0+β1X1+β2X2+ β3X3+β4X4+ β5X5+β6X6+ β7X7+µ

Hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa variabel lama studi, jam kerja, kesesuaian jurusan, status pekerjaan tidak berpengaruh terhadap preferensi pekerja dalam memilih pekerjaan di sektor formal. Sedangkan, pendapatan ditahun pertama dan lingkungan kerja berpengaruh terhadap preferensi pekerja dalam memilih pekerjaan di sektor formal.

Perbedaan penelitian ini adalah adanya variabel pendapatan rumah tangga, jumlah tanggungan, keterampilan, jarak terhadap lama menganggur. Sedangkan persamaannya adalah preferensi pekerjaan atau aspirasi kerja yang mempengaruhi pilihan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan.

47

4.

Kiki Suko Suroso. (2012), dalam penelitian yang berjudul “ Analisis Pengaruh Pendidikan, Keterampilan dan Upah terhadap Lama Mencari Kerja pada Tenaga Kerja Terdidik di Beberapa Kecamatan di Kabupaten Demak”

Lama Mencari Kerja, Pendidikan, Keterampilan dan Upah

LMK = α + β1 TP + β2

TK D+ β3 WAGE + µ

Hasil penelitian tersebut bahwa diperoleh variabel pendidikan, keterampilan dan upah berpengaruh positif dan signifikan terhadap lama mencari kerja tenaga kerja terdidik.

Perbedaan penelitian ini adalah adanya variabel pendapatan rumah tangga, jarak, jumlah tanggungan dan aspirasi kerja yang mempengaruhi lama menganggur lulusan. Sedangkan persamaannya adalah adanya variabel keterampilan yang berpengaruh terhadap lama mencari kerja terdidik.

5.

Peter Khun dan Mikal Skuterud (2004), dalam penelitian yang berjudul “Internet Job Search and Unemployment Duration”

Umur, status perkawinan, Status Pekerjaan, tingkat pendidikan, Migran, Akses Internet

Metode Analisis Probit

Hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa pencarian kerja menggunakan internet tidak mempersingkat waktu mencari kerja.

Perbedaan dalam penelitian ini adalah penggunaan variabel adanya variabel umur, status perkawinan , status pekerjaan dan adanya akses internet yang mempengaruhi durasi dari seseorang menganggur.