bab ii kajian pustaka 2.1 kajian tentang pembelajaran pelajaran ipa...

14
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Tentang Pembelajaran Pelajaran IPA 2.1.1 Pengertian IPA Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut juga sebagai sains (Science) yang berasal dari kata latin “scentia” pengetahuan tentang faham yang mendalam. Menurut Fowler ( Trianto, 2010:136) “Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan, dan didasarkan terutama atas pengamatan dan dedukasi”. IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi, luar angkasa, baik yang bisa diamati oleh indera maupun yang tidak dapat diamati oleh indera. Wahaya (Trianto, 2010: 136) mengatakan bahwa IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai adanya kumpulan fakta, tetapi oleh metode atau sikap ilmiah. Menurut Winaputra (Usman Samatowa, 2011: 3), IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi memerlukan kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Berdasarkan definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara terbatas pada gejala-gejala alam yang dalam pemecahan masalahnya menggunakan metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, dan terbuka jujur. Dengan begitu, pendidikan IPA di SD diharapakn dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri dan alam sekitar. 2.1.2 Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Konsep IPA di sekolah dasar merupakan konsep yang masih terpadu, belum ada pemisahan misalnya mata pelajaran kimia, biologi, dan fisika. Adapun tujuan pembelajaran sains disekolah dasar dalam Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) dimaksudkan untuk:

Upload: vodieu

Post on 07-Apr-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Tentang Pembelajaran Pelajaran IPA

2.1.1 Pengertian IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut juga sebagai sains (Science)

yang berasal dari kata latin “scentia” pengetahuan tentang faham yang mendalam.

Menurut Fowler ( Trianto, 2010:136) “Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang

sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan,

dan didasarkan terutama atas pengamatan dan dedukasi”. IPA mempelajari alam

semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi, luar angkasa, baik yang bisa

diamati oleh indera maupun yang tidak dapat diamati oleh indera.

Wahaya (Trianto, 2010: 136) mengatakan bahwa IPA merupakan suatu

kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya

secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya

ditandai adanya kumpulan fakta, tetapi oleh metode atau sikap ilmiah. Menurut

Winaputra (Usman Samatowa, 2011: 3), IPA tidak hanya merupakan kumpulan

pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi memerlukan kerja, cara

berpikir, dan cara memecahkan masalah.

Berdasarkan definisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa IPA

merupakan suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam

penggunaannya secara terbatas pada gejala-gejala alam yang dalam pemecahan

masalahnya menggunakan metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta

menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, dan terbuka jujur. Dengan

begitu, pendidikan IPA di SD diharapakn dapat menjadi wahana bagi siswa untuk

mempelajari diri dan alam sekitar.

2.1.2 Tujuan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

Konsep IPA di sekolah dasar merupakan konsep yang masih terpadu,

belum ada pemisahan misalnya mata pelajaran kimia, biologi, dan fisika. Adapun

tujuan pembelajaran sains disekolah dasar dalam Badan Nasional Standar

Pendidikan (BNSP) dimaksudkan untuk:

7

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA

yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Menggambarkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang

adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,

teknologi, dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,

memecahkan masalah, dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,

menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA

sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. (BNSP,

2006: 171).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

pengajaran IPA mempunyai tujuan untuk menanamkan sikap ilmiah pada siswa

dan nilai positif melalui proses IPA dalam memecahkan masalah. Siswa akan

selalu tertarik dengan lingkungan dan siswa akan mengenal serta dapat

memanfaatkan lingkungan sebagai sumber ilmu dan sumber belajar. Demikian

juga dalam diri siswa akan dapat mengembangkan pikiran melalui lingkungan

yang banyak memberikan pengalaman

2.1.3 Ruang Lingkup IPA di SD

Ruang lingkup pembelajaran IPA di Sekolah Dasar meliputi dua aspek yaitu

kerja ilmiah dan pemahaman konsep (Nurhadi, 2005 : 185). Ruang lingkup kerja

ilmiah meliputi kegiatan penyelidikan, berkomunikasi ilmiah, pengembangan

kreativitas, pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah.

Sedangkan ruang lingkup konsep mencakup Ruang lingkup bahan kajian

IPA untuk SD/MI meliputi (1) makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu

manusia, hewan, tumbuhan, dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan,

8

(2) benda/materi, sifat-sifat dan kegunaanya meliputi: cair, padat, dan gas, (3)

energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan

pesawat sederhana, (4) bumi dan alam semesta, meliputi: tanah, bumi, tata surya,

dan benda-benda langit lainnya (BNSP: 2006).

2.2 Pengertian Model Pembelajaran

Menurut Joyce & Weil (1980 dalam Suprihatiningrum 2014: 185), “model

mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana pola yang digunakan dalam

menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran dan memberi petunjuk pengajar

dikelas”. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model mengajar adalah

suatu rencana pola yang sudah disusun sedemikian rupa dan digunakan untuk

menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran untuk mencapai tujuan

tertentu dalam pengajaran.

Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan

prosedur dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Dengan kata lain model pembelajaran merupakan pembungkus

proses pembelajaran yang didalamnya terdapat pendekatan, strategi, metode,

teknik yang dilakukan dalam pembelajaran.

2.3 Pendekatan Model Contextual Teaching and Learning (CTL)

Menurut Suryanto (Suprihatiningrum, 2014: 176) “pendekatan

pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah suatu

pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu pembelajaran

yang menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memecahkan

berbagai masalah.” Berdasarkan pengertian tersebut dapat maknai bahwa

pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) pembelajaran yang

mengaitkan pengetahuan yang dipelajari kehidupan nyata, serta dapat

memecahkan berbagai masalah yang terjadi baik disekolah, keluarga, lingkungan

dan masyarakat.

Menurut Depdiknas (Suprihatiningrum, 2014: 178) “Pendekatan

Kotekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara

materi yang diajarkannya dengan situasi dalam dunia nyata siswa membuat

9

hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sebagai anggota keluarga”.

Berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan

Contextual Teaching and Learning konsep belajar yang membantu guru dan siswa

dalam mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan nyata.

Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi

sendiri pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

Contextual Teaching and Learning merupakan pembelajaran yang

mengkaitkan konteks pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Ciri

pembelajaran kontekstual, yaitu dapat mengkaitkan topik atau konsep yang

dipelajari dengan konteks kehidupan sehari-hari anak dengan perkembangan

psikologisnya.

Mengkaitkan konteks hobi atau kebutuhan akan membuat anak lebih

mudah tertarik untuk memperhatikan konsep yang akan dipelajari. Akibat dari

konteks mengkaitkan konteks kehidupan sehari-hari dengan konsep yang

dipelajari membuat anak-anak akan lebih mudah memahami sebuah konsep.

Pembelajaran kontekstual berkaitan dengan teori psikologis konstruktivis

yang diajukan oleh Vygoysky. Didalam teori tersebut mengatakan bahwa anak

atau siswa belajar dengan mengkonstruksikan pemahamannya sendiri terhadap

apa yang dipelajari.

Menurut teori ini juga mengatakan bahwa di dalam pikiran anak terdapat

skema semacam gambar atau file komputer yang berisi gambaran pemahaman

terhadap sesuatu yang dipelajari. Skema bisa bersifat sangat sederhana, tetapi juga

bisa bersifat kompleks tergantung dari tingkat perkembangan dan kemampuan

berpikir anak.

Contextual Teaching and Learning adalah sebuah sistem yang merangsang

otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dengan

menghubungkan ilmu atau konsep dengan konteks yang berkaitan dengan

kehidupan sehari-hari.

10

Isi merupakan apa yang dipelajari dalam konteks, sementara konteks

merupakan lingkungan atau kejadian yang terjadi di suatu tempat dan waktu.

Kontes terdiri dari asumsi-asumsi bawah sadar manusia selama bertumbuh,

kepercayaan yang dipegang, diperoleh melalui osmosis, serta nilai-nilai yang

membentuk pengertian menjadi kenyataan.

2.3.1 Asas-Asas Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning.

Menurut Wina Sanjaya (2009: 264), mengemukakan bahwa Contextual

Teaching and Learning merupakan suatu model pembelajaran yang memiliki

tujuh asas. Asas-asas ini melandasi pelaksanaan pembelajaran dengan

mengggunakan model Contextual Teaching and Learning. Asas-asas ini juga

sering disebut sebagai komponen-komppnen Contextual Teaching and Learning.

Dibawah ini akan dijelaskan ketujuh asas-asas Contextual Teaching and Learning

tersebut.

1. Konstruktivisme (Constructivism)

Konstruktivisme (Constructivism) Konstruktivisme merupakan landasan

berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan manusia dibangun sedikit

demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Sehingga,

siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui

pengalaman nyata maupun keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar.

Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan

dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.

Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman

berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan

pengalaman baru (Nurhadi, 2002: 10).

2. Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis

CTL (Nurhadi, 2002: 12). Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa

diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari

menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan

menemukan.

Adapun langkah-langkah dalam kegiatan inkuiri adalah:

11

a. Rumusan masalah → hipotesis

b. Mengamati atau melakukan observasi → pengumpulan data

c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,

bagan, tabel, dan lain-lain.

d. Mengkomunikasikan/menyajikan hasil karya kepada pembaca, teman

sekelas, guru, atau audien yang lain.

3. Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL.

Menurut Nasution (2004: 161), bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai

kegiatan guru untuk:

a. Mendorong anak berpikir untuk memecahkan suatu soal.

b. Membangkitkan pengertian yang lama maupun yang baru.

c. Menyelidiki dan menilai penguasaan murid tentang bahan pelajaran.

d. Membangkitkan minat untuk sesuatu, sehingga timbul keinginan untuk

mempelajarinya.

e. Mendorong anak untuk menginterpretasi dan mengorganisasi

pengetahuan dan pengalamannya dalam bentuk prinsip/generalisasi

yang lebih luas.

f. Menyelidiki kepandaian, minat, kematangan, dan latar belakang anak-

anak.

g. Menarik perhatian anak atau kelas.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran

diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Metode pembelajaran dengan teknik

learning community sangat membantu proses pembelajaran di kelas. Dalam kelas

CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-

kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya

heterogen yaitu ada yang pandai dan ada yang kurang pandai supaya dapat terjadi

komunikasi dua arah (Nurhadi, 2002: 15).

12

5. Pemodelan (Modelling)

Pemodelan adalah suatu kegiatan pembelajaran keterampilan atau

pengetahuan tertentu yang dalam pelaksanaannya terdapat model yang bisa ditiru.

Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang

dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh

temannya tentang kegiatan yang akan dilakukan. Ada kalanya siswa lebih paham

apabila diberi contoh oleh temannya (Nurhadi, 2002: 16).

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dan berpikir

ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Selain itu, refleksi

merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan yang baru

diterima. Pengetahuan yang dimiliki oleh siswa diperluas melalui konteks

pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Kunci dari semua itu

adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Pada akhir

pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan

refleksi (Nurhadi, 2002: 18).

7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)

Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan

gambaran perkembangan belajar siswa. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan

penilaian bukanlah mencari informasi tentang belajar siswa. Gambaran

perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan

bahwa siswa mengalami proses pembelajaran yang benar. Pembelajaran yang

benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu

mempelajari bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di

akhir periode pembelajaran (Nurhadi, 2002: 19).

2.3.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual

Teaching and Learning)

Menurut Nurhadi (2002: 10), sebuah kelas dikatakan menggunakan

pendekatan CTL jika menerapkan komponen-komponen tersebut di atas dalam

pembelajarannya. Penerapan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,

langkahnya adalah sebagai berikut:

13

a. Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna

dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan

sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya.

b. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.

c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

d. Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).

e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

f. Melakukan refleksi di akhir pertemuan.

g. Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Dari penjelasan di atas, maka pembelajaran dengan menggunakan

pendekatan CTL dapat meningkatkan minat belajar Sains (IPA), karena ilmu dan

pengalaman yang diperoleh siswa dari menemukan sendiri, siswa dapat bertanya

maupun mengajukan pendapat tentang materi yang diajarkan, siswa dapat

melakukan kerja kelompok melalui masyarakat belajar, guru dapat melakukan

pemodelan, dan dilakukan penilaian yang sebenarnya dari kegiatan yang sudah

dilakukan siswa.

2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual

(Contextual Teaching and Learning)

Keunggulan dari Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

(Suyadi, 2013: 95).

a. Pembelajaran kontekstual dapat mendorong peserta didik menemukan

hubungan materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya,

peserta didik secara tidak langsung dituntut utnuk menangkap hubungan

antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata di

lingkungan masyarakat, sehingga mampu menggali, berdiskusi, berpikir

kritis, dan memecahkan masalah nyata yang dihadapinya bersama-sama.

b. Pembelajaran kontekstual mampu mendorong peserta didik untuk

menerapkan hasil belajarnya dalam kehidupan nyata. Artinya, peserta

didik tidak hanya diharapkan dapat memahami materi yang dipelajarinya,

tetapi bagaimana materi pelajaran itudapat mewarnai perilaku/tingkah laku

(karakter/akhlak) dalam kehidupan sehari-hari.

14

c. Pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan peserta

didik untuk menemukan materi. Artinya proses belajar diorientasikan pada

proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL

tidak mengharapkan peserta didik hanya menerima materi pembalajaran,

melainkan dengan cara proses mencari dan menemukan sendiri materi

pembelajaran.

Kelemahan dari Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

a. CTL membutuhkan waktu yang lama bagi peserta didik utnuk memahami

semua materi.

b. Guru lebih intensif dalam membimbing, karena dengan metode CTL guru

tidak lagi berperan sebagai pusat informasi.

c. Upaya menghubungkan antara materi di kelas dengan realitas di dalam

kehidupan sehari-hari peserta didik rentan kesalahan. Atas dasar ini, agar

menemukan hubungan yang tepat, sering kali peserta didik harus

mengalami kegagalan berulang.

2.4 Pengertian Belajar

Menurut R. Gagne (1984 dalam Susanto, 2013: 5) “belajar dapat

didefinisikan sebagai proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai

akibat pengalaman. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain”. Dari pengertian ini dapat dimaknai bahwa belajar

adalah perubahan perilaku sebagai akibat pengalaman. Belajar dan mengajar

merupakan konsep yang terpadu dalam kegiatan proses belajar mengajar dimana

terjadinya interaksi antara guru dan siswa pada saat proses belajar mengajar

berlangsung.

Sementara menurut Hamalik (2003 dalam Susanto, 2013) belajar adalah

memodifikasi atau memperteguhkan perilaku pengalaman (learning is defined

modifactor or strenghtening of behaiour throuh experiencing). Belajar merupakan

suatu proses perubahan tingkah laku individu sesorang melalui interaksi dengan

lingkungannya. Perubahan tingkah laku mencakup perubahan dalam kebiasaan

(habit), sikap (afektif), dan keterampilan(psikomotorik). Perubahan tingkah laku

belajar disebabakan oleh pengalaman atau latihan yang dilakukan.

15

Dari beberpa diatas pengertian di atas , dapat ditarik kesimpulan bahwa

belajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan segaja dalam

keadaan sadar untuk memperoleh suatu konsep, pemahaman, pengetahuan baru

sehingga memungkinkan seseorang terjadinya perubahan perilaku yang relaif

tetap baik dalam berpikir, merasa maupun bertindak.

Menurut W.S Winkel(2002 dalam Susanto, 2013) belajar adalah suatu

aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan

lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,

pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan

berbekas. Seseorang dikatakan belajar adalah apabila pada diri orang ini terjadi

suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku berkaitan

dengan apa yang dipelajari.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar

adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseotang dengan sengaja dalam

keadaan sadar untuk memperoleh konsep, pemahaman, pengetahuan baru

sehingga memungkinkan terjadi perubahan yang relaitf, tetap baik dalam berpikir

dan bertindak.

2.4.1 Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi

pelajaran disekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes

mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu K.Brahim (dalam Susanto, 2013).

Hasil belajar siswa adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah

melalui kegiatan belajar. Karena belajar merupakan suatu suatu proses perubahan

perilaku dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan

perilaku yang relatif menetap.

2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut teori Gelsalt (dalam Susanto, 2013) “belajar merupakan suatu

proses perkembangan. Artinya secara kodrati jiwa raga anak memgalami

perkembangan. Perkembagnan sendiri memerlukan sesuatu yang baik yang

berasal dari diri sendiri maupun pengaruh lingkungan”. Berdasarkan teori ini hasil

belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal, pertama, sendiri itu sendiri dalam

16

kemampuan berpikir atau tingkah laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan

siswa, baik jasmanai dan rohani. Kedua, lingkungan; yaitu sarana dan prasarana,

kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta dukungan

lingkungan, keluarga, dan lingkungan.

Pendapat yang dikemukakan oleh Wasliman (2007:158 dalam Susanto,

2013), hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interkasi

antara berbagai faktor yang memengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal.

Uraian mengenai faktor internal dan eksternal, sebagai berikut:

1. Faktor Internal; faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari

dalam diri peserta didik, yang memegaruhi kemampuan belajarnya.

Meliputi kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan,

sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.

2. Faktor eksternal; faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang

memengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Dikemukakan oleh Wasliman(2007: 159 dalam Susanto, 2013)

menyatakan bahwa sekolah merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan

hasil belajar siswa. Semakin tinggi kemampuan belajar siswa dan kualitas

pengajaran disekolah, semakin tinggi pula hasil belajar siswa. Menurut Wina

Sanjaya (2006: 50), bahwa guru dalah komponen yang sangat menentukan dalam

implementasi suatu strategi pembelajaran. Sementara menurut Dunkin dalam

Wina Sanjaya (2006: 51), terdapat sejumlah aspek yang dapat memengaruhi

kualitas proses pembelajaran.

1. Teacher formative experience, meliputi jenis kelamin semua pengalaman

hidup guru yang menjadi latar belakang sosial mereka. Yang termasuk

kedalam aspek ini adalah tempat asal kelahiran, termasuk suku, latar

belakang budaya, serta adat istiadat.

2. Teacher training experince, yaitu pengalaman yang berhubungan dengan

aktivitas dab latar belakang pendidikan guru, misalnya pengalaman latihan

profesional, tingkat pendidikan, dan pengalaman jabatan.

17

3. Teacher properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat

yang dimiliki dimiliki guru, misalnya sikap terhadap profesinya, sikap

terhadap siswa, kemampuan dan intelegensi guru, motivasi dan

kemampuan mereka baik dalam pengelolaan pembelajaran, merencanakan

dan evaluasi pembelajaran serta kemampuan dalam menguasai materi.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa hasil belajar merupakan hasil dari

suatu proses yang didalamnya terlibat sejumlah faktor yang saling memengaruhi.

Sudjana (1989: 39), menyatakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh siswa

dipengaruhi oleh faktor utama, yakni faktor dalam diri siswa dan faktor yang

datang dari luar diri siswa terutama lingkungan. Faktor kemampuan siswa besar

pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa.

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil belajar adanya faktor internal dan faktor ekternal hasil

interaksi yang terdapat pada diri peserta didik. Selain itu, sekolah juga merupakan

salah satu faktor yang ikut menentukan hasil belajar siswa.

Semakin tinggi kemampuan siswa makan kualitas pengajaran disekolah

semakin tinggi. Guru merupakan komponen yang sangat menentukan

keberhasilan siswa melalui implementasi suatu strategi yang diterapkan dalam

pembelajaran.

2.5 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan.

Hasil penelitian yang relevan merupakan hasil uraian sistematis tentang

hasil-hasil yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang relevan dan sesuai dengan

substansi yang diteliti. Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan

ada beberapa penelitian yang di anggap relevan dengan penelitian ini, diantaranya

adalah:

Febrianti Wulandari (2007) yang mengadakan penelitian tentang pengaruh

model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning-CTL) dalam

pemecahan masalah matematika terhadap prestasi belajar siswa. Dari penelitian

ini terbukti bahwa dengan metode pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching

and Learning) bisa meningkatkan prestasi belajar siswa.

18

Sedangkan Wening Wahyuni (2009) mengadakan penelitian tentang

peningkatan minat belajar IPA melalui pembelajaran kontekstual pada siswa kelas

V, membuktikan bahwa dengan metode pembelajaran kontekstual (Contextual

Teaching and Learning-CTL) bisa meningkatkan minat belajar siswa.

Penelitian diatas menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran dan

pengajaran berpengaruh terhadap prestasi siswa, sedangkan metode yang sesuai

dapat membantu keberhasilan siswa dalam meningkatkan hasil belajarmya.

2.6 Kerangka Pikir

Gambar 2.1 Skema Kerangka pikir

Pada pembahasan mengenai model Contextual Teaching and Learning di

atas, dikemukakan menurut Wening Wahyuni bahwa model pembelajaran

KONDISI

AWAL

Guru:

Belum menggunakan

model Contextual

Teaching and

learning dalam

pembelajaran.

Siswa: Siswa kurang

antusias dalam

mengikuti

pembelajaran dan

masih banyak siswa

yang mendapatkan

nilai di bawah KKM

TINDAKAN

Menggunaan model

Contextual Teaching

and learning dalam

pembelajaran

Siklus I Menggunakan

model Contextual

Teachingand Learning

dan media dalam

pembelajaran

Siklus II Menggunakan

model Contextual

Teaching and Learning

dan media dalam

pembelajaran(pada

kegiatan inti) KONDISI

AKHIR

Diduga dengan menggunakan model Contextual Teaching and

Learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar

siswa pada kelas V SDN Candirejo 02, pada mata pelajaran IPA

materi sifat-sifat cahaya.

19

kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah cara penyajian

pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

menemukan informasi sehingga dapat meningkatkan hasil belajar IPA.

Berdasar pada peneliti tersebut, penulis memilih model Contextual

Teaching and Learning untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SDN

Candirejo 02 Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016 pada mata pelajaran IPA.

Hal ini sesuai dengan karakteristik model Contextual Teaching and Learning

dalam pembelajaran sains yang menuntut pola pembelajaran aktif, kreatif, dan

komprehensif, karena (1) dapat menambah pengetahuan peserta didik melalui

lingkungan sekitar, (2) melatih peserta didik memiliki kesadaran sendiri

kebutuhan belajarnya, (3) belajar dari konteks untuk mengkaitkan konteks dengan

kehidupan nyata.

Dengan asas pembelajaran yang aktif digunakan dalam proses belajar

mengajar yang menuntut keaktifan partisipasi siswa secara optimal sehingga

siswa mampu menguasai pengetahuan dan keterampilan dengan lebih efektif dan

efisien.

2.7 Hipotesis Tindakan.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada kajian teori diatas, maka

dapat dikemukakan hipotesa tindakan dalam penelitian ini adalah “ melalui

model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dapat meningkatkan

hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD Negeri Candirejo 02 Kecamatan

Tuntang Kabupaten Semarang tahun ajaran 2015/2016.