bab ii kajian pustaka 2.1 -...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Proses Belajar - Mengajar
2.1.1 Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu kegiatan yang membawa perubahan pada individu
yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan
melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian,
penghargaan, minat, penyesuaian diri, pendeknya mengenai segala aspek atau
pribadi seseorang (Nasution, 1995: 35). Menurut pengertian secara psikologis,
belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
(Slameto, 2003: 2).
Selanjutnya Winkel (1989: 15) mengemukakan bahwa belajar pada
manusia merupakan suatu proses siklus yang berlangsung dalam interaksi aktif
subyek dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang bersifat menetap/ konstan. Selain
itu Sardiman (1992: 22) menyatakan bahwa belajar senantiasa merupakan
perubahan tingkah laku atau keterampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya
membaca, mengamati, mendengarkan dan lain sebagainya.
Dari uraian beberapa pendapat di atas maka dapat dirumuskan defenisi
belajar yaitu suatu proses untuk mencapai suatu tujuan yaitu perubahan kearah
yang lebih baik. Perubahan tersebut adalah perubahan pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, sikap dan tingkah laku yang bersifat menetap.
2.1.2. Pengertian Mengajar.
Menurut Slameto (2001: 29) mengajar adalah penyerahan kebudayaan
berupa pengalaman dan kecakapan kepada anak didik kita. Adapun defenisi lain
di negara-negara modern yang sudah maju mengatakan bahwa mengajar adalah
bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Defenisi ini menunjukkan bahwa
yang aktif adalah siswa, yang mengalami proses belajar. Guru hanya
membimbing, menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian siswa.
8
9
Kesempatan untuk berbuat dan aktif berpikir lebih banyak diberikan kepada
siswa.
Mengajar didefinisikan oleh Sudjana (2000: 37) sebagai alat yang
direncanakan melalui pengaturan dan penyediaan kondisi yang memungkinkan
siswa melakukan berbagai kegiatan belajar seoptimal mungkin. Pasaribu (1983:
7) mengajar adalah suatu kegiatan mengorganisir (mengatur) lingkungan sebaik-
baiknya dengan anak sehingga terjadi proses belajar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu
kegiatan membimbing dan mengorganisasikan lingkungan sekitar anak didik,
agar tercipta lingkungan belajar yang kondusif yang memungkinkan terjadinya
proses belajar yang optimal.
2.1.3. Proses belajar-mengajar Matematika
Berdasarkan pengertian belajar dan mengajar di atas, dapat dikatakan
bahwa kegiatan belajar mengajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Belajar
merupakan proses perubahan sedangkan belajar merupakan proses pengaturan
agar perubahan itu terjadi. Proses belajar mengajar untuk mata pelajaran
matematika harus memperhatikan karakteristik matematika. Sumarmo (2002: 2)
mengemukakan beberapa karakteristik matematika yaitu : materi matematika
menekankan penalaran yang bersifat deduktif materi matematika bersifat hirarkis
dan terstruktur dan dalam mempelajari matematika dibutuhkan ketekunan,
keuletan, serta rasa cinta terhadap matematika. Karena materi matematika
bersifat hirarkis dan terstruktur maka dalam belajar matematika, tidak boleh
terputus-putus dan urutan materi harus diperhatikan. Artinya, perlu
mendahulukan belajar tentang konsep matematika yang mempunyai daya bantu
terhadap konsep matematika yang lain.
2.2. Keaktifan Belajar
Menurut Mc Keachie dalam Dimyati dan Mujiono (1999:45)
berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa “individu
merupakan manusia belajar yang selalu ingin tahu.” Menurut Sriyono
(1992:75),”Keaktifan adalah pada waktu guru mengajar ia harus
10
mengusahakan agar murid-muridnya aktif jasmani maupun rohani.” Menurut
Sagala (2006:124-134), keaktifan jasmani maupun rohani itu meliputi antara
lain:
a. Keaktifan indera : pendengaran, penglihatan, peraba dan lain-lain. Murid
harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin.
b. Keaktifan akal : akal anak-anak harus aktif atau diaktifkan untuk
memecahkan masalah, menimbang-nimbang, menyusun pendapat dan
mengambil keputusan.
c. Keaktifan ingatan : pada waktu mengajar, anak harus aktif menerima bahan
pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannya dalam otak,
kemudian pada suatu saat ia siap mengutarakan kembali.
d. Keaktifan emosi : dalam hal ini murid hendaklah senantiasa berusaha
mencintai pelajarannya.
Menurut Sudjana (1988:72), mengemukakan keaktifan siswa dalam
mengikuti proses belajar mengajar dapat dilihat dalam :
a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.
b. Terlibat dalam pemecahan masalah.
c. Bertanya kepada siswa lain atau guru apabila tidak memahami persoalan
yang dihadapinya.
d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk memecahkan
masalah.
e. Melatih diri dalam memecahkan masalah atau soal.
f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperoleh.
Menurut Paul. B. Diedrich dalam Rohani (1991:8-9)
mengklasifikasikan aktifitas menjadi :
a. Visual activities, seperti : membaca, melihat gambar, percobaan,
mengamati pekerjaan orang lain.
b. Oral activities, seperti : menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi
saran, diskusi.
c. Listening activities, seperti : mendengarkan uraian, percakapan, musik,
pidato.
11
d. Writing activities, seperti : menulis, keterangan, laporan.
e. Drawing activities, seperti : menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
f. Motor activities, seperti : melakukan percobaan, membuat konstruksi.
g. Mental activities, seperti : menanggapi, mengingat-ingat, memecahkan
soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activities, seperti : menaruh minat, merasa bosan, gembira,
bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.
Melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran IPA sangat
penting, karena dalam IPA banyak kegiatan pemecahan masalah yang
menuntut kreativitas siswa aktif. Siswa sebagai subyek didik adalah yang
merencanakan dan ia sendiri yang melaksanakan belajar. Untuk menarik
keterlibatan siswa dalam pembelajaran guru harus membangun hubungan baik
yaitu dengan menjalinan rasa simpati dan saling pengertian. Membina
hubungan baik bisa mempermudahkan pengelolaan kelas dan memperpanjang
waktu
2.3. Hasil Belajar
Hasil belajar pada dasarnya berkaitan pula dengan hasil yang dicapai
dalam belajar. Pengertian hasil belajar itu sendiri dapat diketahui dari pendapat
ahli pendidikan. Hasil belajar berasal dari kata hasil dan belajar. Agar tidak
menyimpang dari pengertian sesungguhnya maka perlu dijelaskan secara per
kata terlebih dahulu.
Hasil belajar dari gabungan kata hasil dan kata belajar. Hasil belajar
diartikan sebagai keberhasilan usaha yang dapat dicapai (Winkel,1998:162).
Hasil belajar merupakan keberhasilan yang telah dirumuskan guru berupa
kemampuan akademik. Winarno Surachmad (1981:2) menyatakan bahwa hasil
belajar merupakan nilai hasil belajar yang menentukan berhasil tidaknya siswa
dalam belajar. Hal tersebut berarti hasil belajar merupakan hasil dari proses
belajar. Dalam hasil belajar meliputi kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotor (Sunaryo,1983:4).
12
Dari berbagai kajian definisi hasil belajar di atas maka yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika yang berupa kemampuan
akademis siswa dalam mencapai standar tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan sebelumnya dan harus dimiliki siswa setelah mengikuti proses
pembelajaran. Belajar dipengaruhi pula oleh faktor-faktor baik dari dalam
maupun dari luar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara
lain dibagi menjadi dua kategori yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor
internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai berikut: 1) Kesehatan
anak, 2) Rasa aman, 3) Kemampuan dan minat, 4) Kebutuhan diri anak akan
sesuatu yang akan dipelajari (Rustiyah NK,1995:123).
Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah sebagai
berikut. 1) Lingkungan belajar, iklim, dan teman belajar. 2) Motivasi dari luar
(Rustiyah NK,1995:123).
Adapun faktor yang datang dari luar diri anak, yaitu dari sekolah
tempat anak belajar seperti guru, waktu, sarana dan prasarana belajar,
kurikulum, materi, dan suasana belajar. Selain faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar, juga siswa mengalami hambatan-hambatan dalam
belajar baik itu bersifat endogen maupun bersifat eksogen. Yang bersifat
endogen adalah faktor biologis dan faktor psikologis siswa. Sedangkan faktor
eksogen adalah seperti sikap orang tua, suasana lingkungan, sosial
ekonominya, dan sikap budayanya. Untuk dapat meningkatkan belajar dengan
baik maka guru harus mengenal anak dengan baik pula karena setiap anak tidak
sama persis kesulitan dan permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian
guru harus mampu meneliti setiap kekurangan-kekurangan dalam hasil belajar
siswa.
Hasil belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil
akademis yaitu hasil yang dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar
mengajar yang telah dirumuskan guru baik berupa segi kognitif, afektif
maupun dari segi psikomotornya. Dalam proses belajar dan mengajar seorang
guru wajib menentukan tujuan pembelajaran baik tujuan pembelajaran umum
maupun khusus.
13
Mengukur keberhasilan belajar siswa atau hasil yang dicapai siswa
harus mampu mengevaluasi belajar siswa. Keberhasilan belajar siswa dapat
dilihat dari segi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Untuk memudahkan
guru dalam mengukur keberhasilan belajar maka guru harus menentukan
tujuan pembelajaran khusus yang baik. Ada beberapa kriteria dalam pembuatan
TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) yang baik yaitu sebagai berikut.
a) Mengandung satu jenis perbuatan.
b) Dinyatakan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan siswa.
c) Kondisi yang bagaimana yang diinginkan guru (Tim MKDK IKIP
Semarang, 1995:28).
Jadi hasil belajar dapat diartikan sebagai hasil belajar yang telah
dicapai siswa setelah mengikuti kegiatan proses belajar dan mengajar, baik
yang menyangkut segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Hasil yang
dimaksudkan dalam penelitian tindakan kelas ini, berupa hasil belajar yang
berupa hasil akademik siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar
dalam jangka waktu tertentu. Hasil akademik ini berupa angka kuantitas yang
dituliskan dalam buku raport. Sedangkan dalam kaitannya dengan penelitian
ini, hasil belajar adalah peningkatan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan guru.
Hasil belajar yang dicapai siswa berkaitan erat dengan kesulitan
belajar dan keberhasilan belajar. Kesulitan belajar siswa dalam mata pelajaran
matematika dapat diketahui dari ciri-cirinya. Kesulitan belajar yaitu di mana
anak didik atau siswa tidak mampu belajar sehingga hasil di bawah potensi
intelektualnya (Alan O Ross, 1974:103). Menurut Lerner (1931:367) dalam
buku pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, (Dr. Mulyono Abdurrahman,
1999:262) adalah kekurang pahaman tentang simbol, nilai tempat, perhitungan
dan penggunaan proses yang keliru dan tulisan yang tidak terbaca.
Menurut Mulyono Abdurrahman (1996:6) bahwa kesulitan belajar
adalah terjemahan dari learning disability. Terjemahan tersebut diartikan
sebagai ketidakmampuan belajar. Menurut Kuffman dan Lloyd (1985:14)
14
dikutip oleh Mulyono Abdurrahman (1996:6) bahwa kesulitan belajar
adalah gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang
mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan
tersebut memungkinkan menampakkan diri dalam bentuk kesulitan
mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau
berhitung. Learner berpendapat, ada beberapa karakteristik anak berkesulitan
belajar, yaitu :
a. Adanya gangguan dalam hubungan keruangan.
b. Abnormalitas persepsi visual.
c. Assosiasi visual motorik.
d. Perverasi.
e. Kesulitan mengenal dan memahami simbol.
f. Gangguan penghayatan tubuh.
g. Kesulitan dalam bahasa dan membaca
h. Performance IQ jauh lebih rendah daripada sektor verbal IQ (Mulyono
Abdurrahman, 1999:259).
Jadi kesulitan belajar matematika disebabkan rendahnya kemampuan
intelegensi, banyaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep visual dan
adanya gangguan assosiasi visual motorik. Gejala adanya kesulitan belajar
meliputi :
a. Hasil yang rendah di bawah rata-rata kelompok kelas.
b. Hasil yang dicapai dengan usaha tidak seimbang.
c. Lambat dalam melakukan tugas belajar.
d. Menunjukkan sikap kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura
dusta dan lain-lain.
e. Menunjukkan tingkah laku yang berlainan (Widodo Supriyono, 1991:89).
Jenis kesulitan belajar menurut Erman Amti, (1992:67) masalah
belajar pada dasarnya digolongkan atas: (a) sangat cepat dalam belajar, b)
keterlambatan akademik, (c) lambat belajar, (d) penempatan kelas, (e) kurang
motivasi dalam belajar, (f) sikap dan kebiasaan yang buruk dalam belajar dan
kehadiran di sekolah sering tidak masuk. Dengan demikian bahwa anak yang
15
perlu mendapat bantuan dari guru dalam hal ini adalah layanan bimbingan
belajar, agar peserta didik dapat melaksanakan kegiatan belajar secara baik dan
terarah.
2.4. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Pembelajaran Matematika di SD merupakan salah satu kajian yang
selalu menarik untuk dikemukakan karena adanya perbedaan karakteristik
khususnya antara hakekat anak dan hakekat matematika. Untuk itu diperlukan
adanya jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut.
Anak usia SD sedang mengalami perkembangan dalam tingkat berfikirnya.
Para ahli jiwa seperti Reaget, Bruner, bruwnell Dienes percaya bahwa
jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu kepada anak didik, maka
harus diperhatikan tingkat perkembangan berfikir anak tersebut.
Jean Reaget dengan teori belajar yang disebut perkembangan mental
anak (mental atau intelektual atau kognitif) atau ada pula yang menyebutkan
teori tingkat perkembangan berfikir anak telah membagi tahapan yaitu tahapan
sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun), tahap operasional awal, pra
operasional (usia 2 sampai 7 tahun), tahap operasional / oprasi konkret (usia 7
sampai 11 tahun) dan tahap operasional formal / operasi formal (usia 11 tahun
ke atas)
Jadi, pada dasarnya agar pelajaran matematika di SD itu dapat
dimengerti oleh para siswa dengan baik. Maka seyogyanya kita akan melihat
untuk bisa mengetahui tahapan perkembangan intelektual atau berfikir siswa di
SD dalam pembelajaran matematika.
2.5. Pembelajaran Kooperatif
Konsep pembelajaran kooperatif (cooperative learning) bukanlah suatu
konsep baru, melainkan telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pada awal
abad pertama, seorang filosofi berpendapat bahwa agar seseorang belajar harus
memiliki pasangan.
16
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
mengutamakan adanya kerja sama, yakni kerja sama antar siswa dalam
kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran (Johnson dan Johnson dalam
Ismail, 2002: 12). Para siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dan
diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan, dalam hal
ini sebagaian besar aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa yakni
mempelajari materi pelajaran dan berdiskusi untuk memecahkan masalah
(tugas). Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan
kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir
dalam kegiatan belajar mengajar.
Model pembelajaran koopertif tidak sama dengan sekedar belajar dalam
kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan secara asal-
asalan. Pelaksanaan prosedur model pembelajaran kooperatif dengan benar
akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan efektif.
Roger dan David Johnson dalam Lie (2002: 30) mengatakan bahwa
tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk
mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran
kooperatif harus diterapkan. Kelima unsur tersebut yaitu : 1) saling
ketergantungan positif, 2) tanggung jawab perseorangan, 3) tatap muka, 4)
komunikasi antar anggota, 5) evaluasi proses kelompok.
Untuk memenuhi kelima unsur tersebut harus dibutuhkan proses yang
melibatkan niat dan kiat para anggota kelompok para peserta didik harus
mempunyai niat untuk bekerja sama dengan yang lainnya dalam kegiatan
belajar kelompok yang akan saling menguntungkan. Selain niat, peserta didik
juga harus menguasai kiat-kiat berinteraksi dan bekerja sama dengan orang
lain. Salah satu cara untuk mengembangkan niat dan kerja sama antar peserta
didik dalam model pembelajaran kooperatif adalah melalui pengelolaan kelas.
Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model
pembelajaran kooperatif, yakni pengelompokan semangat kerja sama dan
penataan ruang kelas.
17
2.5.1.Ciri-ciri pembelajaran kooperatif
Menurut Stahl dalam Ismail (2002: 12) bahwa ciri-ciri pembelajaran
kooperatif adalah :
1. Belajar dengan teman
2. Tatap muka antar teman
3. Mendengarkan diantara anggota
4. Belajar dari teman sendiri dalam kelompok
5. Belajar dalam kelompok kecil
6. Produktif berbicara atau mengemukakan pendapat
7. Siswa membuat keputusan
8. Siswa aktif
Sedangkan menurut Johnson dalam Ismail (2002: 12) belajar dengan koopertif
mempunyai ciri :
1) Saling ketergantungan yang positif
2) Dapat dipertanggungjawabkan secara individu
3) Heterogen
4) Berbagi kepemimpinan
5) Berbagi tanggung jawab
6) Ditekankan pada tugas dan kebersamaan
7) Mempunyai ketrampilan dalam berhubungan sosial
8) Guru mengamati
9) Efektifitas tergantung kepada kelompok
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
kooperatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1) Siswa belajar dalam kelompok, produktif mendengar, mengemukakan
pendapat dan membuat keputusan secara bersama.
2) Kelompok siswa yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari
latar belakang sosial, jenis kelamin, dan kemampuan belajar.
3) Panghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok.
18
Menurut Ibrahim (2000: 6) unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut :
1) Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka sehidup sepenanggungan
bersama.
2) Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya,
seperti milik mereka sendiri.
3) Siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya
memiliki tujuan yang sama.
4) Siswa haruslah berbagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara
anggota kelompoknya.
5) Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang
juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan
untuk belajar bersama dalam proses belajarnya.
7) Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi
yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
2.5.2. Tujuan pembelajaran kooperatif
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
mempunyai tiga tujuan yang hendak dicapai :
1. Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam
tugas-tugas akademik. Banyak ahli yang berpendapat bahwa model
pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa untuk memahami
konsep-konsep yang sulit.
2. Pengakuan adanya keragaman
Model pembelajaran kooperatif bertujuan agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai macam perbedaan latar
belakang. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama,
kemampuan akademik dan tingkat sosial.
3. Pengembangan keterampilan sosial
19
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan keterampilan
social siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud dalam pembelajaran
kooperatif adalah berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang
lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, dan bekerja sama dalam
kelompok.
2.5.3. Manfaat Model Pembelajaran Kooperatif
Manfaat-manfaat model pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil
belajar yang rendah, antara lain Linda Lundgren dalam Ibrahim
(2000 : 18) adalah :
1) Rasa harga diri menjadi lebih tinggi
2) Memperbaiki kehadiran
3) Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar
4) Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
5) Konflik antar pribadi berkurang
6) Pemahaman yang lebih mendalam
7) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
8) Hasil belajar lebih tinggi
2.6. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang
dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa dalam memiliki
tujuan untuk meningkatkan penguasaan isi akademik. Tipe ini dikembangkan
oleh Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28) dengan melibatkan para siswa dalam
menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep
Spencer Kagen dalam Ibrahim (2000 : 28) untuk melibatkan lebih banyak
siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dengan
mengecek pemahaman mereka mengenai isi pelajaran tersebut. Sebagai
pengganti pertanyaan lansung kepada seluruh kelas, guru menggunakan empat
20
langkah sebagai berikut : (a) Penomoran, (b) Pengajuan pertanyaan, (c)
Berpikir bersama, (d) Pemberian jawaban.
Langkah-langkah tersebut kemudian dikembangkan menjadi enam
langkah sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penelitian ini. Keenam langkah
tersebut adalah sebagai berikut :
Langkah 1. Persiapan
Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan
membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa
(LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Langkah 2. pembentukan kelompok
Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi siswa menjadi beberapa
kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa. Guru memberi nomor
kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda.
Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar
belakang sosial, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu, dalam
pembentukan kelompok digunakan nilai tes (pre-test) sebagai dasar dalam
menentukan masing-masing kelompok.
Sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, guru memperkenalkan
keterampilan kooperatif dan menjelaskan tiga aturan dasar dalam pembelajaran
kooperatif yaitu :
1) Tetap berada dalam kelas
2) Mengajukan pertanyaan kepada kelompok sebelum mengajukan
pertanyaan kepada guru
3) Memberikan umpan balik terhadap ide-ide serta menghindari saling
mengkritik sesama siswa dalam kelompok.
Langkah 3. Diskusi masalah
Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa
sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok, setiap siswa
berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa setiap orang
mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau
21
pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari
spesifik sampai yang bersifat umum.
Langkah 4. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban
Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap
kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan
jawaban kepada siswa di kelas.
Langkah 5. Memberi kesimpulan
Guru memberikan kesimpulan atau jawaban akhir dari semua
pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan.
Langkah 6. Memberikan penghargaan
Pada tahap ini, guru memberikan penghargaan berupa kata-kata pujian
pada siswa dan memberi nilai yang lebih tinggi kepada kelompok yang hasil
belajarnya lebih baik.
2.7. Hasil Penelitian Yang Relevan Hastuti, Dwi Eri (2008) dalam penelitian yang berjudul Pengaruh
Kecemasan Matematika dan Motivasi Belajar Siswa Dalam Kooperatif Tipe
NHT Terhadap Hasil Belajar Matematika di SMP N 6 Pekalongan
menunjukkan bahwa pada siklus 1 siswa mengalami ketuntasan belajar 64,57%
dan motivasi belajar 70,42%. Pada siklus 2 ketuntasan belajar 84,85% dan
motivasi belajar 81,69%.
Lestari, Indriyati (2008) dalam penelitian yang berjudul Peningkatan
Prestasi Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada
Siswa SD Negeri Pancakarya Semarang menunjukkan bahwa sebelum siklus
ketuntasan belajar sebesar 22%, setelah siklus I menjadi 48%, Siklus II 70%,
Siklus III 91%.
Nadziroh, Aeni (2008) dalam penelitian yang berjudul Keefektifan
Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Melalui Pemanfaatan LKS Materi Pokok
Bangun Ruang Sisi Datar (Kubus dan Balok) Siswa Kelas VIII Semester 2
SMP N 36 Semarang menunjukkan bahwa pada aktivitas belajar siswa
22
mengalami peningkatan dari siklus I - III, yaitu siklus I 59,24% siklus II
64,87% dan siklus III 82,5%.
2.8. Kerangka Berpikir
Kondisi akhir Kondisi awal
Proses pembelajaran masih berpusat pada guru
Hasil belajar meningkat
Pemahaman materi meningkat Komunikasi siswa tidak
terjadi
Aktivitas siswa meningkat
Sugiyono, 2010
2.9. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini
adalah model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan keaktifan
Aktivitas siswa rendah
Pemahaman materi rendah
Hasil belajar rendah
Komunikasi siswa terjadi
Pelaksanaan siklus I dan siklus II
Inovasi model pembelajaran Numbered Heads Together
Tindakan
Aktivitas guru dalam pembelajaran kurang
Aktivitas guru dalam pembelajaran meningkat
23
dan hasil belajar tentang materi menaksir dan membulatkan operasi hitung pada
siswa kelas IV SD Kepohkencono 01 Semester 1 tahun 2011/2012.