bab ii kajian pustaka 2.1. 2.1.1. proses belajar...dalam kbbi (1992: 614) bermain memiliki arti...

17
4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Proses Belajar Untuk mengetahui suatu hal, di dalam diri seseorang terjadi suatu proses yang dinamakan proses belajar. Proses belajar dapat terjadi dalam arti yang sesungguhnya jika semua tahap telah dilalui. Tahap proses belajar menurut Rooijakkers, Ad. (1991: 14) adalah sebagai berikut: Gambar 2.1 Tahap Proses Belajar Dalam KBBI (1992: 791) proses belajar adalah tingkat dan fase yang dilalui anak atau sasaran didik dalam mempelajari sesuatu. Menurut Simanjuntak, dkk (1993: 2) berpendapat bahwa proses belajar adalah mengubah atau memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman, dan kontak dengan lingkungannya. Jadi peneliti menyimpulkan bahwa proses belajar adalah proses perubahan perilaku seseorang dari keadaan tidak tahu menjadi mengerti melalui berbagai pengalaman yang dialaminya.

Upload: others

Post on 22-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Proses Belajar

Untuk mengetahui suatu hal, di dalam diri seseorang terjadi suatu proses

yang dinamakan proses belajar. Proses belajar dapat terjadi dalam arti yang

sesungguhnya jika semua tahap telah dilalui. Tahap proses belajar menurut

Rooijakkers, Ad. (1991: 14) adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Tahap Proses Belajar

Dalam KBBI (1992: 791) proses belajar adalah tingkat dan fase yang

dilalui anak atau sasaran didik dalam mempelajari sesuatu. Menurut Simanjuntak,

dkk (1993: 2) berpendapat bahwa proses belajar adalah mengubah atau

memperbaiki tingkah laku melalui latihan, pengalaman, dan kontak dengan

lingkungannya.

Jadi peneliti menyimpulkan bahwa proses belajar adalah proses perubahan

perilaku seseorang dari keadaan tidak tahu menjadi mengerti melalui berbagai

pengalaman yang dialaminya.

5

Dalam menyusun pembelajaran sangat penting untuk memperhatikan

pendekatan yang dilakukan. Menurut Sujiono dan Sujiono (2010: 27) pendekatan

yang berpusat pada anak (child centered approach) adalah suatu kegiatan belajar

di mana terjadi interaksi dinamis antara guru dan anak atau antara anak dengan

anak lainnya. Menurut Coughlin dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 27)

pendekatan yang berpusat pada anak diarahkan agar:

1. Anak mampu mewujudkan dan mengakibatkan perubahan,

2. Anak menjadi pemikir-pemikir yang kritis,

3. Anak mampu membuat pilihan-pilihan dalam hidupnya,

4. Anak mampu menemukan dan menyelesaikan permasalahan secara

konstruktif dan inovatif.

5. Anak menjadi kreatif, imajinatif, dan kaya gagasan,

6. Anak memiliki perhatian terhadap masyarakat, negara, dan lingkungannya.

Terdapat beberapa persoalan yang dapat menghambat proses belajar.

Menurut Keiter, D. (1988: 55) ada lima persoalan khusus dalam belajar, yaitu:

1. Ingatan

Dalam belajar dituntut penggunaan ingatan. Daya ingat dapat

diperkuat dengan memikirkan dan mengerti bahan yang dipelajari. Bahan

pelajaran akan lebih mudah diingat bila ada hubungannya dengan fakta-

fakta. Seseorang dapat mengingat dengan lebih cepat bila bahan

dikelompokkan.

2. Konsentrasi (pemusatan pikiran)

Terkadang seseorang merasa tidak dapat berkonsentrasi. Mungkin

seseorang tersebut bukannya tidak dapat memusatkan pikiran tetapi merasa

tidak dapat memusatkan perhatian kepada pelajaran-pelajaran. Hal itu

terjadi karena konsentrasi pikiran telah ditujukan ke hal lain.

3. Pemahaman

Kemampuan untuk memahami merupakan dasar bagi belajar.

Langkah-langkah mengajukan pertanyaan dan membaca dapat menolong

seseorang dalam memahami suatu hal.

6

4. Kesehatan

Belajar dapat lebih efektif bila badan dalam keadaan sehat. Yang

terjadi para pelajar sering membiarkan dirinya menjadi sangat lelah

sehingga mereka tidak sanggup untuk belajar dengan baik. Salah satu

syarat untuk belajar secara efektif adalah dengan membiasakan diri

menjaga kesehatan badan.

5. Siswa yang lambat

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi „kelambatan‟

adalah memulai mengerjakan tugas dengan segera, menentukan batas

waktu untuk menyelesaikan tugas, mendahulukan hal yang lebih penting,

jangan membuang-buang waktu karena ragu harus mengerjakan di mana

dan kapan, dan biasakan untuk mengerjakan tugas dengan baik sejak awal.

Hasil penelitian Musthafa dalam Sujiono dan Sujiono (2010: 6)

menyatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan pembelajaran yang

terjadi di kelas, yaitu:

1. Peran guru masih sangat dominan, hal ini dibuktikan dengan kegiatan

utama guru di dalam kelas hanyalah menyampaikan informasi yang

bersifat satu arah sehingga anak cenderung menjadi pasif,

2. Sebagian besar guru menyandarkan pemilihan bahan ajarnya pada buku

teks yang telah baku sehingga peserta didik kurang mendapatkan

perspektif yang realistik dan berdaya guna bagi pemecahan masalah dalam

kehidupan sehari-hari, adanya pengaturan tempat duduk dan penugasan

yang cenderung mengisolasi satu anak dengan anak lainnya sehingga

mempersulit komunikasi dan pertukaran pikiran antar peserta didik, serta

3. Pertanyaan yang dilontarkan lebih banyak bersifat konvergen daripada

divergen sehingga melumpuhkan kreativitas anak (dis-empowering).

Selain hal di atas, proses belajar juga dapat terhalang oleh pengekangan

dorongan rasa ingin bergerak. Dalam bukunya Singer, K. (1987: 57) memberi

contoh tentang seorang anak lelaki berusia delapan tahun yang dikeluarkan dari

sekolah karena ketidakmampuannya untuk belajar. Menurut pemeriksaan penyakit

itu timbul terutama sekali akibat ketatnya pengekangan gejolak rasa ingin

7

melakukan gerakan. Melalui suatu terapi permainan dorongan-dorongan

motorisnya yang tertekan itu menjadi bebas tersalurkan. Lambat laun ia pun dapat

mengembangkan rasa ingin bergerak yang sehat dan dapat kembali belajar.

Menurut Sujiono dan Sujiono (2010: 21) secara teoretis berdasarkan aspek

perkembangannya, seorang anak dapat belajar dengan sebaik-baiknya apabila

kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka merasa aman dan nyaman secara

psikologis. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak

membangun pengetahuannya sendiri, anak belajar melalui interaksi sosial dengan

orang dewasa dan anak-anak lainnya, anak belajar melalui bermain, minat anak

dan rasa keingintahuannya memotivasinya untuk belajar sambil bermain, serta

terdapat variasi individual dalam perkembangan dan belajar.

Proses belajar yang menyenangkan adalah kunci sukses menuju

keberhasilan. Gordon Dryden dan Jeanette Vos dalam

http://www.duniapembelajaran.com/ 2011/ 05/ menciptakan- pembelajaran-

menyenangkan.html (2011) mengungkapkan ”belajar akan efektif jika anda dalam

keadaan fun”. Kunci proses pembelajaran yang baik adalah dengan

memperhatikan enam faktor berikut:

1. Menciptakan kondisi terbaik untuk belajar,

2. Presentasi yang melibatkan seluruh indera, relaks, menyenangkan,

bervariasi, cepat, menggairahkan,

3. Berpikir aktif dan kreatif,

4. Merangsang akses materi belajar dengan permainan, lakon pendek,

praktik, dan melibatkan gerak badan,

5. Mengasosiasikan pengetahuan dengan dunia nyata, dan

6. Melakukan peninjauan ulang atau evaluasi secara teratur.

Menurut Rooijakkers, Ad. (1991: 27) untuk mempermudah siswa dalam

belajar adalah dengan mengarahkan perhatian siswa pada pengetahuan yang telah

ada dalam pikiran mereka. Seorang siswa akan lebih mudah mengerti bahan baru

yang diajarkan jika mempunyai kaitan atau jika pengajar menghubungkannya

dengan hal yang telah diketahui oleh siswa (pengetahuan pendahuluan).

8

Menurut Thomas Staton, T. F. (1978: 29) salah satu faktor psikologis yang

sangat mempengaruhi proses belajar adalah comprehension. Comprehension

merupakan langkah terakhir dalam proses belajar. Ia adalah persepsi (penglihatan)

akan arti dan implikasi terhadap bahan yang dipelajari, dan pemahaman

penggunaannya (pengetrapannya). Siswa harus belajar untuk memahami, bukan

sekedar untuk mengingat. Memahami maksudnya adalah menangkap makna, dan

itu merupakan tujuan akhir dari setiap proses belajar.

Setiap anak membangun pengetahuan mereka sendiri berkat pengalaman-

pengalaman dan interaksi aktif dengan lingkungan sekitar dan budaya di mana

mereka berada melalui bermain (Sujiono dan Sujiono, 2010: 32).

2.1.2. Pembelajaran Matematika

Dalam KBBI (1992: 637) matematika memiliki arti ilmu tentang bilangan,

hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam

penyelesaian masalah mengenai bilangan.

Menurut Syarifuddin (2008), pembelajaran matematika adalah proses yang

sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan

memungkinkan seseorang (pembelajar) melaksanakan kegiatan belajar

matematika, dan proses tersebut berpusat pada guru yang mengajar matematika.

Dari beberapa pengertian di atas peneliti menyimpulkan pembelajaran

matematika adalah kegiatan yang sengaja dilakukan untuk mempelajari tentang

bilangan, hubungan antar bilangan, dan pengoperasiannya dalam memecahkan

masalah.

2.1.3. Metode Pembelajaran

2.1.3.1.Metode Ceramah

Menurut KBBI (1992: 653) metode ceramah adalah cara belajar atau

mengajar yang menekankan pemberitahuan satu arah dari pengajar kepada pelajar

(pengajar aktif, pelajar pasif).

Bligh dalam Zaini, dkk (2004: 93) menyatakan bahwa ceramah adalah

pendengar belajar sesuatu dari pembicara yang terus menerus berbicara atau

9

menjelaskan. Metode ceramah identik dengan teacher centered. Hal ini terjadi

karena guru adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap

penyampaian materi kepada siswa, sehingga arah komunikasi cenderung hanya

satu arah, yaitu dari guru kepada siswa.

Penulis menyimpulkan metode ceramah adalah metode pengajaran yang

dilakukan secara satu arah dengan maksud menyampaikan suatu informasi.

Hasil suatu penyelidikan oleh Bligh dalam Rooijakkers, Ad. (1991: 3)

menyatakan pelajaran atau kuliah yang diberikan secara massal, atau kepada suatu

kelompok besar, sangat efektif untuk tujuan menyampaikan informasi. Dengan

mengutarakan halnya sekali saja, suatu masalah dapat sampai kepada banyak

pendengar. Tetapi dalam proses belajar-mengajar terdapat lebih dari hanya satu

aspek saja yang harus diperhitungkan. Tujuan apa yang pengajar kehendaki untuk

dicapai siswanya. Hanya untuk mendapatkan pengetahuan saja atau juga disertai

dengan perubahan sikap. Sebagai pengajar seseorang harus dapat merangsang

terjadinya proses berpikir, harus dapat membantu tumbuhnya sikap kritis, serta

harus mampu mengubah pandangan para siswanya. Dalam metode ceramah hal-

hal lain kurang mendapat perhatian tetapi bentuk ini akan dapat menjadi suatu

bentuk pengajaran yang amat baik, bilamana dipakai untuk menyampaikan

pengetahuan atau pandangan suatu fakta. Menurut Zaini, dkk (2004) berikut

kelebihan dan kelemahan dalam penggunaan metode ceramah:

Kelebihan metode ceramah:

1. Praktis dari sisi persiapan dan media yang digunakan,

2. Efisien dari sisi waktu dan biaya,

3. Dapat menyampaikan banyak materi,

4. Lebih mudah mengontrol kelas,

5. Siswa tidak perlu persiapan, dan

6. Siswa dapat langsung menerima ilmu pengetahuan.

Kelemahan metode ceramah:

1. Membosankan,

2. Siswa tidak aktif,

3. Informasi hanya satu arah,

10

4. Feed back relatif rendah,

5. Menggurui dan melelahkan,

6. Kurang melekat pada ingatan siswa,

7. Kurang terkendali, baik waktu maupun materi,

8. Monoton,

9. Tidak mengembangkan kreativitas siswa,

10. Menjadikan siswa hanya sebagai objek didik, dan

11. Tidak merangsang siswa untuk membaca.

2.1.3.2.Metode Bermain

Pellegrini (1991) dalam Bennett, dkk (2005: 6) menyatakan bahwa

permainan didefinisikan menurut tiga matra berikut ini:

1. Permainan sebagai kecenderungan.

2. Permainan sebagai konteks.

3. Permainan sebagai perilaku yang dapat diamati.

Dalam KBBI (1992: 614) bermain memiliki arti melakukan sesuatu untuk

bersenang-senang. Menurut Ismail, A. (2006: 119) permainan edukatif, yaitu

suatu kegiatan yang sangat menyenangkan dan dapat merupakan cara atau alat

pendidikan yang bersifat mendidik. Ismail, A. (2006: 24) juga meninjau bermain

dari perspektif pendidikan yaitu sebuah kegiatan yang memberi peluang kepada

anak untuk dapat berswakarya, melakukan, dan menciptakan sesuatu dari

permainan itu dengan tenaganya sendiri, baik dilakukan di dalam maupun di luar

ruangan.

Dengan bermain akan muncul aktivitas belajar bersama. Menurut English,

E. W. (2005: 19-20) aktivitas-aktivitas belajar bersama bisa juga meningkatkan

terbukanya pandangan para siswa pada berbagai pengalaman budaya dan

membentuk seluruh kelas sebagai suatu komunitas. Dengan demikian bisa

membuat ruang kelas menjadi suatu lingkungan yang lebih baik untuk belajar.

Keterampilan-keterampilan sosial dari kerja tim, negosiasi, dan pemecahan

masalah juga menjadi jenis-jenis keterampilan bagi para siswa untuk berkembang

dan mengantarkan mereka ke tempat-tempat kerja mereka di masa yang akan

11

datang. Belajar bersama itu secara alamiah menggunakan kecerdasan yang

beragam. Di berbagai proyek bersama, para siswa memiliki kesempatan untuk

memakai berbagai gaya dan kekuatan khusus mereka ke arah penyelesaian tugas

kelompok yang beraneka ragam.

Penulis menyimpulkan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang

menyenangkan dan dapat digunakan untuk tujuan pendidikan dan dapat dilakukan

di dalam atau di luar ruangan.

Bermain begitu penting bagi anak, dalam pembelajaran sebaiknya dikemas

dengan cara yang menyenangkan dan tidak melupakan keberadaan anak dalam

usia bermainnya. Dengan bermain anak-anak mendapatkan berbagai pengalaman

dan pengetahuannya. Melalui bermain, anak memperoleh pelajaran yang

mengandung aspek perkembangan kognitif, sosial, emosi, dan fisik.

Dalam bukunya Ismail, A. (2006: 119) memuat pernyataan para ahli

pendidikan anak yang menyatakan bahwa cara belajar anak yang paling efektif

ada pada permainan anak, yaitu dengan bermain dalam kegiatan belajar

mengajarnya. Dalam bermain, ia dapat mengembangkan otot besar dan halusnya

(motorik-kasar dan motorik-halus), meningkatakan penalaran, dan memahami

keberadaan di lingkungan teman sebaya, membentuk daya imajinasi dengan dunia

sesungguhnya, mengikuti peraturan, tata tertib, dan disiplin yang tinggi. Secara

alamiah, bermain dapat memotivasi anak untuk mengetahui sesuatu lebih

mendalam, dan secara spontan pula anak mengembangkan bahasanya, mendapat

kesempatan bereksperimen, dan memahami konsep-konsep sesuai dengan

permainan dirinya.

Rumbold dalam Bennett, dkk (2005: 23) melaporkan penelitiannya bahwa

permainan yang memiliki arah jelas adalah hal yang benar dan lahan subur bagi

proses pembelajaran. Permainan adalah motivator yang penuh daya, mendorong

anak menjadi kreatif dan mengembangkan gagasan, pemahaman dan bahasa

mereka. Melalui permainan, anak-anak melakukan eksplorasi, menerapkan dan

menguji hal-hal yang mereka ketahui dan dapat mereka lakukan.

Ada pepatah yang mengatakan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”

pengalaman bisa memberikan pelajaran yang berharga jika dimaknai dengan baik.

12

Menurut Suparman (2010: 171) permainan dapat digunakan untuk menarik

perhatian dan konsentrasi, melatih kekompakan, memperetat hubungan keakraban

antar anak didik, solidaritas, toleransi, kerjasama, dan kepemimpinan.

Jika pembelajaran dilakukan dengan metode bermain maka belajar bukan

menjadi suatu hal yang menakutkan lagi. Siswa akan dengan rela menerima

materi yang disampaikan pengajar dan materi akan mudah dipahami karena tidak

adanya rasa terpaksa dalam diri siswa. Siswa akan dapat belajar dalam kondisi

yang menyenangkan dan tanpa perasaan tertekan. Sehingga akan muncul

kepribadian yang kreatif dalam diri siswa.

Menurut Munandar, U. (2004: 35) ciri-ciri kepribadian kreatif adalah

selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan

aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan

memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan

perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya, tidak takut membuat kesalahan

dan mengemukakan pendapat.

Bennett, dkk (2005: 46) menyimpulkan beberapa wilayah kunci sehingga

permainan dipandang istimewa sekaligus vital dalam pendidikan sebagai berikut:

1. Rasa memiliki merupakan hal yang pokok bagi pembelajaran anak yang

diperoleh melalui permainan.

2. Anak-anak mempelajari cara belajar melalui permainan.

3. Anak-anak lebih mungkin mengingat hal-hal yang mereka lakukan dalam

permainan.

4. Pembelajaran melalui permainan terjadi dengan gampang, tanpa ketakutan

dan tanpa hambatan yang menghadang.

5. Permainan itu alamiah, anak-anak adalah diri mereka sendiri.

6. Dilihat dari sudut perkembangan (developmental), permainan itu memadai.

Anak-anak secara intuitif mengetahui hal-hal yang mereka butuhkan dan

memenuhi kebutuhan itu melalui permainan.

7. Anak-anak tak bisa gagal di dalam permainan karena tidak ada yang benar

atau salah.

13

8. Permainan memampukan para guru untuk mengamati pembelajaran yang

sesungguhnya.

9. Anak-anak mengalami berkurangnya frustasi di dalam permainan sehingga

mengurangi masalah disiplin.

Dalam kegiatan bermain muncul inisiatif dalam benak anak-anak yang

akan mengarah pada pilihan, pengendalian, kepemilikan, dan kemandirian.

Permainan adalah sesuatu yang memberikan kenikmatan, juga menguatkan minat,

keterlibatan, dan motivasi. Karena itu, permainan menyediakan pengalaman yang

relevan dan bermakna serta mengarahkan pada pembelajaran.

Jadi, permainan menguatkan sikap positif terhadap pembelajaran sehingga

membantu anak untuk mengembangkan kepercayaan diri dan harga diri, menjadi

lebih mandiri serta bertanggung jawab pada keputusan mereka sendiri.

Dalam permainan terdapat beberapa kendala yang menghambat dalam

pelaksanaannya juga terdapat manfaat yang berguna bagi pengajar maupun siswa.

Benett, dkk (2005: 201) menyampaikan kendala-kendala dan manfaat dari

penggunaan permainan dalam pembelajaran sebagai berikut:

Kendala:

1. Tuntutan kurikulum nasional,

2. Jumlah siswa di kelas,

3. Kurangnya pengalaman guru, dan

4. Keterbatasan anak.

Manfaat:

1. Fungsi „penyingkapan‟. Menunjukkan anak sudah sampai di tahap mana.

2. Sebagai medium pembelajaran.

3. Membangun keyakinan.

4. Perilaku alamiah, anak-anak melakukan yang mereka kehendaki.

5. Anak-anak dapat berinisiatif.

2.1.4. Permainan Puzzle

Puzzle secara bahasa Indonesia diartikan sebagai tebakan. Tebakan adalah

sebuah masalah atau "enigma" yang diberikan sebagai hiburan yang biasanya

14

ditulis atau dilakukan. Dalam KBBI (1992: 1017) tebakan adalah sesuatu yang

ditebak, teka-teki. Banyak tebakan berakar dari masalah matematika dan logistik

serius.

Menurut Wahyuni dan Maureen dalam http://www.alat-

peraga.net/manfaat-dan-tips-memilih-puzzle.htm (2011), puzzle adalah media

visual dua dimensi yang mempunyai kemampuan untuk menyampaikan informasi

secara visual tentang segala sesuatu sebagai pindahan dari wujud yang

sebenarnya. Menurut Ismail, A. (2006: 218) puzzle adalah permainan yang

menyusun suatu gambar atau benda yang telah dipecah dalam beberapa bagian.

Peneliti menarik kesimpulan bahwa puzzle adalah permainan teka-teki

menyatukan kembali beberapa bagian objek yang acak pada tempatnya yang

sesuai.

Permainan puzzle melibatkan koordinasi mata dan tangan. Namun secara

khusus puzzle biasanya terbentuk dari sebuah gambar yang terpotong-potong

menurut bagian tertentu. Puzzle dapat terbuat dari plastik, spon, kertas, ataupun

kayu tebal. Bahan puzzle yang paling baik bagi kegiatan belajar mengajar adalah

dari kayu. Guru dapat menggunakan puzzle ini untuk mengarahkan anak pada

pelajaran yang akan diajarkan pada saat itu.

Puzzle beragam jenisnya. Ada yang terbuat dari karton tebal dan ada yang

terbuat dari kayu. Seiring waktu, semakin tinggi usia anak, maka makin tinggi

tingkat kesulitan puzzle akan semakin bertambah. Biasanya hal ini ditunjukkan

dengan jumlah kepingan yang semakin banyak dengan ukuran yang lebih kecil.

Tips memilih puzzle yang baik adalah potongan kepingan harus memenuhi

presisi bentuk dan tidak ada bagian yang tajam sehingga memudahkan anak

memasang ke tempat yang sesuai, tidak membuat anak frustasi dan tidak

membahayakan. Sebaiknya jangan memilih puzzle dari karton tipis sebab akan

menyulitkan anak memasang bentuk karena mudah terlepas satu dengan yang lain

dan mudah rusak.

Manfaat puzzle dalam http://www.alat-peraga.net/manfaat-dan-tips-

memilih-puzzle.htm (2011) adalah sebagai berikut:

15

1. Meningkatkan Keterampilan Kognitif

Keterampilan kognitif (cognitive skill) berkaitan dengan

kemampuan untuk belajar dan memecahkan masalah. Dengan bermain

puzzle anak akan mencoba memecahkan masalah yaitu menyusun gambar.

Pada tahap awal mengenal puzzle, mereka mungkin mencoba untuk

menyusun gambar puzzle dengan cara mencoba memasang-masangkan

bagian-bagian puzzle tanpa petunjuk. Dengan sedikit arahan dan contoh,

maka anak sudah dapat mengembangkan kemampuan kognitifnya dengan

cara mencoba menyesuaikan bentuk, menyesuaikan warna, atau logika.

Contoh usaha anak menyesuaikan bentuk misalnya bentuk cembung harus

dipasangkan dengan bentuk cekung. Contoh usaha anak menyesuaikan

warna misalnya warna merah dipasangkan dengan warna merah. Contoh

usaha anak menggunakan logika, misalnya bagian gambar roda atau kaki

posisinya selalu berada di bawah.

2. Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus

Keterampilan motorik halus (fine motor skill) berkaitan dengan

kemampuan anak menggunakan otot-otot kecilnya khususnya tangan dan

jari-jari tangan. Dengan bermain puzzle tanpa disadari anak akan belajar

secara aktif menggunakan jari-jari tangannya. Supaya puzzle dapat

tersusun membentuk gambar maka bagian-bagian puzzle harus disusun

secara hati-hati. Perhatikan cara anak-anak memegang bagian puzzle akan

berbeda dengan caranya memegang boneka atau bola. Memegang dan

meletakkan puzzle mungkin hanya menggunakan dua atau tiga jari,

sedangkan memegang boneka atau bola dapat dilakukan dengan

mengempit di ketiak (tanpa melibatkan jari tangan) atau menggunakan

kelima jari dan telapak tangan sekaligus.

3. Meningkatkan Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan berinteraksi

dengan orang lain. Puzzle dapat dimainkan secara perorangan. Namun

puzzle dapat pula dimainkan secara kelompok. Permainan yang dilakukan

oleh anak-anak secara kelompok akan meningkatkan interaksi sosial anak.

16

Dalam kelompok anak akan saling menghargai, saling membantu, dan

berdiskusi satu sama lain. Jika anak bermain puzzle di rumah orang tua

dapat menemani anak untuk berdiskusi menyelesaikan puzzle-nya, tetapi

sebaiknya orang tua hanya memberikan arahan kepada anak dan tidak

terlibat secara aktif membantu anak menyusun puzzle.

4. Melatih koordinasi mata dan tangan.

Anak belajar mencocokkan keping-keping puzzle dan

menyusunnya menjadi satu gambar. Ini langkah penting menuju

pengembangan keterampilan membaca.

5. Melatih Logika.

Membantu melatih logika anak. Misalnya puzzle bergambar

manusia. Anak dilatih menyimpulkan di mana letak kepala, tangan, dan

kaki sesuai logika.

6. Melatih kesabaran.

Bermain puzzle membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan

memerlukan waktu untuk berfikir dalam menyelesaikan tantangan.

7. Memperluas pengetahuan.

Anak akan belajar banyak hal, warna, bentuk, angka, huruf.

Pengetahuan yang diperoleh dari cara ini biasanya mengesankan bagi anak

dibandingkan yang dihafalkan. Anak dapat belajar konsep dasar, binatang,

alam sekitar, buah-buahan, alfabet dan lain-lain. Tentu saja dengan

bantuan ibu dan ayah.

Kekurangan penggunaan puzzle dalam pembelajaran antara lain sebagai

berikut:

1. Membutuhkan waktu yang lebih panjang,

2. Menuntut kreativitas pengajar, dan

3. Kelas menjadi kurang terkendali.

2.1.5. Hasil Belajar

Menurut Hasan & Zainul (1991: 23) di Indonesia, hasil belajar dinyatakan

dalam klasifikasi yang dikembangkan oleh Bloom dan kawan-kawannya.

17

Taksonomi Bloom membagi hasil belajar atas tiga ranah yaitu kognitif, afektif,

dan psikomotor.

1. Ranah kognitif

Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir. Ada 6 jenjang:

pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

2. Ranah afektif

Ranah afektif berhubungan dengan minat, perhatian, sikap, emosi,

penghargaan, proses internalisasi dan pembentukan karakteristik diri. Ada

5 jenjang: penerimaan, penanggapan, penghargaan, pengorganisasian, dan

penjatidirian.

3. Ranah psikomotor

Ranah psikomotor berhubungan dengan kemampuan gerak atau

manipulasi yang bukan disebabkan oleh kematangan biologis.

Kemampuan gerak atau manipulasi tersebut dikendalikan oleh kematangan

psikologis.

Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran

karena dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam

upaya mencapai tujuan pembelajaran. Melalui informasi tersebut, guru dapat

menyusun kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas

maupun individu.

Penelitian ini mengharapkan hasil belajar berupa terjadinya perubahan

pengetahuan siswa terhadap pembelajaran matematika tentang sifat bangun datar

melalui permainan puzzle. Perubahan tersebut dibuktikan dengan adanya

peningkatan hasil belajar siswa.

Berdasarkan kajian teori tentang proses belajar, metode pembelajaran

ceramah dan bermain, hasil belajar, pembelajaran matematika dan permainan

puzzle, dapat disimpulkan bahwa dalam mengajarkan matematika yang memiliki

sifat abstrak khususnya pada materi sifat bangun datar yakni persegi, persegi

panjang, dan segitiga, guru harus menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai

dengan karakteristik siswa kelas III melalui permainan puzzle. Penggunaan

18

permainan ini dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi ajar

sehingga hasil belajar pun meningkat.

2.2. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini

antara lain:

1. Dwi, W. Prasetyo (2009) dalam penelitian “Peningkatan Hasil Belajar

Matematika Melalui Metode Permainan Mendidik dengan Menggunakan

Permainan Dakon pada Siswa Kelas IV SD Ngampel 2 Blora, Semester 1

Tahun 2009/2010” menyatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan (1)

pada siklus I, rata-rata siswa 70 dengan ketuntasan belajar 61%. Hasil ini

belum mencapai indikator yang ditetapkan. Pada siklus II, rata-rata siswa

80 dengan ketuntasan belajar 92%. Hasil ini sudah mencapai indikator

yang ditetapkan. Dengan demikian diperoleh kesimpulan bahwa melalui

pelaksanaan pembelajaran dengan metode permainan mendidik

menggunakan permainan dakon hasil belajar, ketuntasan pada pokok

bahasan faktor dan kelipatan meningkat. Oleh karena itu guru disarankan

untuk dapat menerapkan metode permainan mendidik dengan

menggunakan permainan dakon sebagai salah satu alternatif metode

pembelajaran di kelas.

2. Basuki (2010) dalam penelitian “Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas

VI SD Negeri Soroyudan dalam Penghitungan Luas Gabungan Bangun

Datar Melalui Permainan” menyatakan beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

a. Metode permainan dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas VI

SD Negeri Soroyudan dalam penghitungan luas gabungan bangun

datar.

b. Pembahasan soal gabungan bangun datar memerlukan pengetahuan

awal tentang luas bangun datar tunggal.

19

c. Perlunya pemahaman tentang sisi-sisi sejajar yang seukuran pada diri

siswa, sehingga siswa dapat menghitungkan panjang sisi yang belum

diketahui.

d. Metode permainan membuat siswa lebih “rela” menerima pelajaran

karena pembelajaran tersaji dalam situasi yang menyenangkan.

3. Purwandari, S. (2010) dalam penelitian “Peningkatan Hasil Belajar Siswa

dalam Pembelajaran Matematika Tentang Bangun Datar Melalui

Permainan Puzzle Kelas 1 SDN 2 Genengadal Tahun Pelajaran

2009/2010” menyatakan bahwa permainan puzzle dapat meningkatkan

hasil belajar. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan pada rata-rata

kelas dan ketuntasan hasil belajar siswa. Prasiklus = 59,62. Siklus 1 =

72,96. Siklus 2 = 84,07. Ketuntasan hasil belajar juga meningkat: 27

siswa. Prasiklus = 15 (56%) tuntas. Siklus 1 = 22 (81%) tuntas. Siklus 2 =

100% tuntas.

2.3. Kerangka Pikir

Proses belajar mengajar merupakan peran penting dalam pencapaian hasil

belajar. Guru mempunyai tugas utama dalam penyelenggara pembelajaran.

Dengan pemilihan dan penggunaan metode yang tepat diharapkan siswa dapat

menguasai materi yang telah disampaikan dengan tercapainya KKM yang telah

ditetapkan. Sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Salah satu metode

belajar yang dapat digunakan pada proses belajar mengajar adalah metode

bermain. Dalam penelitian ini peneliti memilih permainan puzzle untuk

dieksperimenkan.

Langkah yang dilakukan peneliti adalah membentuk dua kelas yaitu kelas

eksperimen yang diajar dengan menggunakan metode bermain dengan puzzle dan

kelas kontrol yang diajar dengan metode konvensional (metode ceramah).

Adapun kerangka pikir dari penelitian ini dijelaskan pada gambar alur

berikut:

20

Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian kerangka pikir, peneliti mengemukakan hipotesis

penelitian yaitu terdapat pengaruh signifikan pada hasil belajar siswa dengan

menggunaan metode bermain dengan puzzle.

Hipotesis Statistika

H0 : X1 = X2

Yaitu “Rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (SD Kristen Satya

Wacana Kelas III B) sama dengan rata-rata hasil belajar siswa kelompok kontrol

(SD Kristen Satya Wacana Kelas III A). Artinya tidak ada pengaruh penggunaan

metode bermain dengan puzzle terhadap hasil belajar.”

H1 : X1 > X2

Yaitu “Rata-rata hasil belajar siswa kelompok eksperimen (SD Kristen Satya

Wacana Kelas III B) lebih besar dari rata-rata hasil belajar siswa kelompok

kontrol (SD Kristen Satya Wacana Kelas III A). Artinya terdapat pengaruh

penggunaan metode bermain dengan puzzle terhadap hasil belajar.”