bab ii gerakan perlawanan simbol adat ......gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an....

63
23 BAB II GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN KEBIJAKAN PUBLIK Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu. Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda- beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara, Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah gerakan sosial dapat dipastikan positif. Muncul pertanyaan pada bagian ini adalah; apakah sebuah gerakan sosial dapat disamakan dengan gerakan perlawanan? Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum penulis menguraikan bagian-bagian yang lain dari bab ini. Gerakan sosial tentu mencakup semua gerakan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan dengan situasi sosial. Karena hubungan gerekan sosial selalu berhubungan dengan situasi sosial, maka untuk menilai apakah

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 23

    BAB II

    GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL ADAT SEBAGAI

    GERAKAN SOSIAL DALAM RANAH KEKUASAAN

    KEBIJAKAN PUBLIK

    Gerakan demonstrasi massa yang dimunculkan di tengah-tengah

    masyarakat merupakan sebuah gerakan sosial. Setiap gerekan sosial

    dalam bentuk demonstrasi massa, pawai, dan mimbar bebas, pasti

    digerakan oleh manusia dan memiliki tujuan tertentu.

    Setiap gerakan sosial memiliki dasar serta tujuan yang berbeda-

    beda. Dasar serta tujuan dari suatu gerakan sosial tentu memiliki

    faktor-faktor penyebab yang sangat beragam. Hal ini menyebabkan

    setiap gerakan sosial yang terjadi pada tiap-tiap wilayah akan sangat

    berbeda-beda, akan tetapi setiap gerakan sosial selalu menginginkan

    perubahan entah perubahan yang diinginkan mengarah pada hal-hal

    yang positif atau negatif, hal itu tidak bisa dipastikan. Namun dari fakta

    riil, sebuah gerakan dapat diberi nilai positif atau negatif, hal itu sangat

    tergantung pada suatu keadaan. Misalnya dalam konteks bernegara,

    Indonesia merupakan negera hukum, karena itu jika ada gerakan sosial

    yang menentang hukum yang berlaku, maka kita dapat memberi nilai

    negtif terhadap tujuan gerekan tersebut. Atau sebaliknya, jika dalam

    praktek pemerintahan terjadi pelanggaran atas hukum, dan muncul

    gerakan sosial menentang sikap pemerintahan, maka tujuan sebuah

    gerakan sosial dapat dipastikan positif.

    Muncul pertanyaan pada bagian ini adalah; apakah sebuah

    gerakan sosial dapat disamakan dengan gerakan perlawanan?

    Pertanyaan ini penting untuk dijawab sebelum penulis menguraikan

    bagian-bagian yang lain dari bab ini. Gerakan sosial tentu mencakup

    semua gerakan yang dilakukan oleh manusia yang berhubungan

    dengan situasi sosial. Karena hubungan gerekan sosial selalu

    berhubungan dengan situasi sosial, maka untuk menilai apakah

  • 24

    gerakan tersebut merupakan gerakan perlawanan, atau bukan gerakan

    perlawanan, hal itu sangat tergantung pada substansi gerakan tersebut.

    Jika terjadi gerakan sosial atas dasar menentang ketidakadilan, maka

    gerakan tersebut termasuk gerakan perlawanan karena menentang

    ketidakadilan untuk tujuan keadilan. Hal ini berbeda dengan gerakan

    sosial untuk tujuan kemanusiaan. Gerakan sosial untuk kemanusiaan

    secara langsung diarahkan pada masalah sosial yang dihadapi oleh

    sekelompok orang yang membutuhkan pelayanan kemanusiaan.

    Reaksi gerakan perlawanan simbolik adat terhadap kebijakan

    pemerintah daerah Kabupaten Kaimana, merupakan dua sisi yang

    berada dalam satu arena realitas masyarakat lokal. Antara kebijakan

    publik dan gerakan perlawanan simbol keduanya saling bersinggungan

    secara negatif. Pada konteks realitas obyektif, gerakan perlawanan

    simbol adat menginginkan adanya keadilan dalam pelaksanaan

    kebijakan pembangunan. Tuntutan obyektif masyarakat lokal,

    didasarkan pada fakta kebijakan pembangunan yang dirasakan

    mengalami kepincangan disaat kebijakan pembangunan

    diimplementasikan.

    Sesungguhnya, substansi kebijakan pemerintah daerah

    Kabupaten Kaimana, merupakan bagian dari sikap pemerintah yang

    bertujuan untuk menjawab persoalan sosial yang dialami masyarakat.

    Hal ini memiliki hubungan erat dengan mandat rakyat dipegang oleh

    seorang kepala daerah yang berasal dari rakyat. Mandat yang diberikan

    tidak hanya dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk politik yang

    menyalurkan hak politiknya, pada sisi yang lain, mandat rakyat

    dititipkan kepada seorang kepala daerah merupakan titipan dari rakyat

    sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh pihak

    lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dalam hal ini

    pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dianggap mampu

    menjawab kebutuhan manusia yang tidak bisa dipenuhinya sendiri.

    Dalam konteks tersebut, ternyata melahirkan fakta berbeda dan

    menimbulkan ketegangan masyarakat versus pemerintah.

    Terlepas dari sisi manusia sebagai makhluk politik, dan makhluk

    sosial, manusia adalah makhluk simbolik. Artinya, dalam

  • 25

    berkomunikasi dan berprilaku, manusia selalu menggunakan simbol-

    simbol untuk menyampaikan pesan-pesan yang dirasakannya kepada

    pihak lain. Interaksi manusia dengan sesama dalam menggunakan

    simbol telah terjadi sejak manusia hadir di dunia, karena itu ukuran

    usia manusia dengan usia simbol adalah sama, tidak ada yang lebih

    duluan satu dengan yang lain. Dalam konteks inilah, manusia disebut

    juga sebagai makhluk pengguna simbol. Untuk menyampaikan pesan-

    pesan dalam bentuk simbol, pesan yang disampaikan bisa bermaksud

    positif tetapi juga negatif, hal tersebut sangat tergantung pada masalah

    yang dirasakan manusia untuk disampaikan kepada pihak lain.

    Simbol selalu dipahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang

    mewakili sesuatu yang lain, maka setiap penggunaan simbol pasti

    dilakukan berdasarkan pada tujuan yang ingin disampaikan. Hal ini

    dimaksudkan agar menjadi jelas pada pihak lain sebagai sasaran atau

    tujuan penerima simbol. Untuk itu, setiap simbol yang digunakan harus

    diperjelas tujuan penggunaan simbol, mulai dari pengirim maupun

    kepada penerima simbol agar tidak menimbulkan prasangka serta

    penilaian buruk. Pada sisi lain dalam situasi tertentu simbol terkadang

    dapat dimodifikasi dan dipolitisir untuk kepentingan individu atau

    kelompok tertentu.

    Pada bagian ini penulis akan mendudukan kajian literatur

    gerakan sosial, simbol dan kebijakan publik yang memiliki kaitan

    dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah yang dijuluki

    ―Negeri 1001 Senja‖.

    Gerakan Perlawanan Simbol

    Pengertian ―pergerakan‖ menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

    Indonesia) dari kata dasar ―gerak‖ dengan pengertian ―peralihan tempat

    atau kedudukan, baik hanya sekali maupun berkali-kali‖. Selanjutnya

    kata per-gerak-an dijelaskan; 1) hal atau keadaan bergerak; 2)

    kebangkitan (untuk perjuangan atau perbaikan): contoh: ―pada waktu

    itu pergerakan nasional muncul di mana-mana‖. Untuk kata ―simbol‖

  • 26

    diartikan ―lambang‖,1 dari kedua kata jika digabung maka narasinya

    akan menjadi begini ―pergerakan simbol‖ dan memberi arti sebagai berikut: dalam suatu keadaan tertentu simbol/lambang mengalami

    pergerakan, atau digerakan oleh ―sesuatu‖.

    Sangat tidak mungkin simbol mengalami pergerakan tanpa ada

    yang menggerakan. Yang dimaksud penulis tentang ―sesuatu‖ dalam konteks ini adalah manusia sebagai penggerak simbol, sebab manusia

    adalah makhluk simbol dan makhluk pengguna simbol. Setiap gerakan

    tentu memiliki tujuan, artinya tidak ada gerakan/pergerakan yang

    dilakukan manusia tanpa memiliki dasar serta tujuan. Berdasarkan

    tujuan tersebut maka sebuah gerakan/pergerakan dilakukan untuk

    mencapai maksud dan tujuan yang dijadikan sebagai target pencapaian

    tujuan.

    Dalam catatan sejarah pergerakan sosial, munculnya berbagai

    gerakan di mana-mana selalu didasarkan atas nama kebebasan

    demokrasi. Tidak ketinggalan pula di Indonesia, bahkan sampai ke

    pelosok daerah terpencil sekalipun. Misalnya, pergerakan sosial yang

    terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an yang

    dikenal dengan nama ―komunitas gerakan hak-hak sipil di kalangan Kulit Hitam‖. Gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan solidaritas maupun

    gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Kesemuanya itu

    membawa akibat lahirnya bermacam-macam pendekatan dan teori

    tentang gerakan sosial (Fakih, 1966:35).

    Gerakan sosial dalam beberapa catatan dunia, misalnya

    perjuangan etnis atau nasionalis di negara-negara bagian (bekas) Uni

    Soviet, dan gerakan anti apartheid di Afrika Selatan. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang

    dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara, melalui apa yang disebut sebagai pembangunan

    (development).

    1 Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan an pengembangan bahsa cetakan 3 Jakarta Balai Pustaka-1990. BP No 3658.

  • 27

    Kebijakan pembangunan oleh pemerintah, merupakan bagian

    yang menampakan eksistensi/keberadaan pemerintah, sebagai institusi

    penerima kuasa/mendat rakyat dalam konteks berdemokrasi. Dalam

    pandangan masyarakat, pembangunan tidak selamanya menghadirkan

    pemerataan, karena dalam benak masyarakat, penyebab kemacetan,

    krisis ekonomi, ekologis yang mencekik kehidupan masyarakat,

    dipandang oleh masyarakat sebagai kekeliruan kebijakan pemerintah

    dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat. Menyikapi konteks

    tersebut, pergerakan perlawanan simbol masyarakat adat, dinilai

    sebagai bagian dari kritik terhadap skenario modernisasi yang memiliki

    asumsi merancang kemajuan dan kemakmuran masyarakat di suatu

    negara. Menurut pendapat Bonner, dalam konteks gerakan sosial dan

    transformasi sosial tidak dapat dipisahkan dari masalah

    ―pembangunan‖2.

    Gerakan Sosial

    Sejarah gerakan sosial yang terjadi di pelosok dunia, bahkan di

    Indonesia merupakan bagian dari masalah sosial yang dihadapi oleh

    umat manusia. Tentu setiap gerakan sosial memiliki dasar dan tujuan

    tersendiri, misalnya rangkaian revolusi yang melanda jazirah Eropa

    Barat pada akhir abad tujuh belas sampai abad sembilan belas. Kondisi

    tersebut pada sisi substansi, tentu memiliki perbedaan dengan yang

    terjadi di belahan dunia yang lain, namun indikator pergerakan yang

    memainkan peran dalam suatu gerakan sosial tentu memiliki

    kesamaan. Dalam kesamaan tersebut muncul berbagai teori dan analisa

    yang bertujuan untuk mengidentifikasi setiap gerakan sosial. Tujuan

    dilakukannya identifikasi setiap gerakan sosial dan penyebab

    munculnya gerakan sosial, telah dikelompokan oleh para ahli dan para

    akademisi yang memiliki kompetensi dalam memahami sebuah

    gerakan sosial, serta mampu menghasilkan pendapat dan teori-teori

    gerakan sosial. Dari sekian banyak teori gerakan sosial yang telah

    dibuat, pada bagian ini penulis mengedepankan beberapa pendapat

    2 Ibid...36.

  • 28

    para ahli dan akademisi tentang bagaimana mereka memandang

    berbagai gerakan sosial tersebut.

    Teori Perilaku Kolektif

    Sidney Tarrow (1998) berpendapat, bahwa ahli-ahli sosiologi

    terdahulu seringkali mengaitkan dampak negatif Revolusi Prancis dan

    kemarahan massa pada periode abad pencerahan sebagai akar

    perkembangan teori gerakan sosial. Salah satu teorinya adalah teori

    ―prilaku kolektif‖, kemudian menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika

    Utara. Gustave Le Bon (1895) perintis utama teori prilaku kolektif

    menginterpretasikan kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan

    bentuk perilaku kolektif yang menyerupai emosi binatang. Yang dilihat

    oleh Gustave Le Bon dari Revolusi Prancis adalah, dalam sebuah

    kerumunan massa, setiap individu yang terbentuk dalam komunitas

    pergerakan massa, tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengontrol diri,

    dan kemampuan untuk bertindak secara positif. Yang ada dalam diri

    setiap individu adalah mengikuti keinginan massa. Dengan kata lain,

    individu-individu di dalam kerumunan massa tidak lagi menjadi

    individu yang rasional dan taat terhadap tatanan norma-norma standar

    yang ada di masyarakat.

    David Popenoe (1977:259) melihat prilaku kolektif seringkali

    muncul sebagai sebuah respon atau stimulus terhadap sebuah situasi

    yang tidak stabil secara spontan dan tidak terstruktur. Dengan kata

    lain, prilaku kolektif merupakan tindakan yang tidak mencerminkan

    struktur sosial yang ada. Yang dimaksudkan dengan struktur sosial oleh

    David Popenoe berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan

    pemerintah dan lembaga formal dan non formal, seperti yang diuraikan

    oleh Herbert Blumer:

    ―….masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni membuat indikasi untuk diri mereka sendiri), tindakan individu itu merupakan suatu konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh individu melalui catatan dan penafsiran situasi dimana dia bertindak, sehingga kelompok atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan

  • 29

    individu yang disebabkan oleh penafsiran individu/pertimbangan individu terhadap setiap tindakan yang lainnya‖.(Irving Zetlin, 1995:332).

    Neil Smelser (1962) prilaku kolektif dalam bentuk gerakan sosial

    merupakan efek samping dari transformasi sosial yang berjalan begitu

    cepat. Bagi Smelser seperti yang diinterpertasi ulang oleh Donatella

    Della Porta dan Mario Diani (1999: 4) kemunculan perilaku-perilaku

    kolektif seperti gerakan sosial dan berbagai bentuk protes masyarakat

    memiliki makna ganda dalam periode transformasi sosial yang berlaku

    begitu cepat dan dalam skala besar. Pada satu sisi mencerminkan

    ketidakmampuan lembaga-lembaga dan mekanisme kontrol sosial

    mereproduksi keretakan sosial, dan di sisi lain merefleksikan berbagai

    upaya masyarakat untuk bereaksi atas krisis sosial melalui berbagai

    keprihatinan kepada kelompok yang lebih luas, kemudian menjadi

    dasar baru terbentuknya solidaritas sosial.

    Ralph H. Tuner dan Lewis M. Killian (1972) menegaskan bahwa

    ―prilaku kolektif hanya terjadi meskipun tidak harus selalu, ketika organisasi negara dan mahasiswa berhenti memberikan arahan dan menyediakan saluran bagi masyarakat‖ (Popenoe 1977:404).

    Teori pilihan rasional

    Teori ini bertolak belakang dengan teori prilaku massa, teori

    pilihan rasional memandang berbagai bentuk perlawanan masyarakat

    terhadap lembaga-lembaga negara, korporasi atau organisasi

    keagamaan dan sosial merupakan manifestasi sebuah tindakan

    individu-individu yang rasional dan dilakukan secara sadar untuk

    mengejar kepentingan individunya. Mancur Olson dalam bukunya The Logic Of Collective Action: Public Goods And The Theory Of Groups mengatakan bahwa aksi-aksi kolektif yang melibatkan berbagai bentuk

    kekerasan, menimbulkan kepanikan di tengah-tengah masyarakat,

    melanggar hukum negara dan norma-norma kepantasan di masyarakat,

    individu-individu tersebut melakukannya secara sadar sebagai bentuk

    kerasionalannya. Para pelaku tidak mempersoalkan bila aksi yang

    mereka lakukan membahayakan, bahkan mereka belajar dari

  • 30

    pengalaman-pengalaman yang tersedia dan observasi mereka sendiri,

    bahwa hanya dengan cara kekerasan tujuan individu-individu dalam

    aksi-aksi kolektif seringkali cukup efektif dalam mencapai tujuan.

    Olson berpendapat:

    ―jika anggota-anggota dalam beberapa organisasi memiliki kepentingan dan tujuan bersama, jika mereka akan menjadi lebih baik jika tujuan bersama tersebut dapat dicapai, mereka akan bertindak untuk mencapai tujuannya, sebagai bentuk rasionalitasnya dan kepentingan pribadinya‖.

    Teori perjuangan kelas vanguard dan hegemoni budaya

    Jauh sebelum Olson mencetuskan gagasan teori aksi kolektifnya

    yang dikenal dengan teori rasional, Karl Marx telah merintis terlebih

    dahulu pada abad delapan belas, dengan konsep perjuangan kelas. Di

    dalam The Manifesto of the Communist Party, Karl Marx dan Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap perkembangan

    peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini, tidak dapat

    dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000: 31). Menurut

    Marx, masyarakat selalu terdiri dari dua kelompok besar, satu

    kelompok menjadi penindas dan satu kelompok masyarakat lainnya

    menjadi yang ditindas. Kita mengenal kategori-kategori di dalam

    masyarakat sebagai berikut:―orang bebas versus budak‖, ―bangsawan versus masyarakat desa‖, raja versus hamba sahaya‖, pemilik alat produksi versus buruh‖. Karena sejarah perkembangan masyarakat selalu bergerak maju, dan secara konstan mengarah pada perbaikan dan

    kebebasan lebih besar, maka revolusi sosial seperti antara para

    penggarap tanah dengan para tuan tanah yang umumnya para

    bangsawan atau para buru dengan para pemilik alat produksi tidak bisa

    dielakan. Masing-masing revolusi sosial memberikan jalan bagi

    masyarakat yang tertindas untuk menjadi kelas yang berkuasa sebelum

    kemudian dihancurkan oleh revolusi sosial lainnya seperti revolusi

    para penggarap tanah dan para budak menghancurkan kelompok feodal

    yang kemudian memberikan jalan bagi kelas borjuis untuk berkuasa,

    begitupun sebaliknya kelas buruh akan menghancurkan kelas borjuis

  • 31

    dengan menggantikannya menjadi masyarakat sosialis dalam bergerak

    menuju ke masyarakat komunis (Giddens, 2000:12).

    Konsep perjuangan kelas Karl Marx ini menempatkan aksi-aksi

    kolektif dalam bentuk revolusi, gerakan sosial dan bentuk perlawanan

    merupakan rangkaian tindakan dari sebuah kelompok masyarakat yang

    rasional untuk keluar dari situasi buruk penindasan. Menurut Karl

    Marx, hanya dengan cara perjuangan kelas kelompok yang tertindas

    bisa keluar dari jebakan penindasan. Kelompok yang tertindas tidak

    bisa berharap dari lembaga-lembaga negara atau kerajaan, peradilan

    dan lembaga-lembaga sosial seperti organisasi keagamaan untuk

    mengeluarkan mereka dari situasi penindasan karena lembaga-

    lembaga tersebut telah menjadi alat yang berkuasa untuk

    mempertahankan kekuasaannya. Perjuangan kelas akan tumbuh

    dengan sendirinya secara spontanitas, ketika penderitaan

    berkepanjangan dari sebuah kelompok yang ditindas dan tidak bisa

    dikompromikan antara kedua kelas yang sedang bertentangan. Situasi

    penindasan ini menumbuhkan kesadaran kelas baru, dan kesadaran ini

    menjadi faktor pemicu sebuah revolusi sosial untuk menumbangkan

    kelas yang sedang berkuasa.

    Teori gerakan sosial modern

    Teori gerakan sosial modern memiliki beberapa ciri utama:

    pertama, memandang dan menempatkan aktivitas gerakan sosial

    sebagai sebuah aksi kolektif yang rasional dan memiliki nilai positif.

    Kedua, memperbaiki dan mengkontekstualisasikan teori-teori gerakan

    sosial sebelumnya ke dalam era kekinian seperti menjeneralisasi teori

    eksploitasi kelas Karl Marx menjadi teori keluhan yang lebih cocok

    dipergunakan dalam konteks saat ini, aksi-aksi kolektif berkembang

    tidak hanya didorong oleh eksploitasi kelas pemilik alat produksi

    terhadap buruh di masyarakat kapitalis. Ketiga, semakin banyaknya

    riset dan studi gerakan sosial di negara-negara di luar Amerika Utara

    dan Eropa Barat yang membuat kajian gerakan sosial semakin kaya.

    Dan ke empat, teori gerakan sosial modern berhasil mengidentifikasi

    faktor-faktor yang memfasilitasi tumbuhnya gerakan sosial, kuat

    lemahnya dan berhasil atau tidaknya sebuah gerakan sosial.

  • 32

    Teori keluhan

    Mempergunakan analisa Karl Marx berkenan dengan penyebab

    utama perjuangan kelas, Sidney Tarrow dan sejumlah akademisi

    gerakan sosial memodifikasi konsep eksploitasi kelas menjadi teori

    keluhan dan kemudian dipergunakan sebagai pisau analisa dalam

    mempelajari gerakan sosial dan berbagai bentuk politik perlawanan

    lainnya (Tarrow 1998:11). Teori keluhan ini juga digunakan untuk

    menjembatani perdebatan para ahli gerakan sosial dalam menganalisa

    pemicu utama gerakan sosial dari bingkai produk eksploitasi,

    ketidakadilan dan ketimpangan yaitu keluhan.

    Donatella Della Porta dan Mario Diani mengutarakan

    ―kebangkitan berbagai bentuk gerakan pada tahun 1960-an dan 1970-

    an adalah sebuah kritik terhadap model interpertasi Marxis atas konflik

    kelas. Model tersebut telah menemui sejumlah masalah dalam

    menjelaskan perkembangan gerakan sosial. Transformasi sosial yang

    terjadi setelah perang dunia kedua meletakan pusat konflik antara

    buruh dengan pemilik modal dalam pertanyaan besar.

    Meluasnya akses terhadap pendidikan tinggi atau masuknya

    perempuan dalam dunia kerja telah menciptakan kemungkinan-

    kemungkinan struktur baru atas konflik dan meningkatnya relevansi

    stratifikasi sosial yang tidak hanya berbasis sumber daya ekonomi‖

    (Porta dan Diani, 1999: 11). Pandangan Alberto Melucci, gerakan sosial

    baru sebagai sebuah bentuk reaksi dan keluhan baru justru ingin

    melakukan perlawanan atas intervensi negara dan pasar yang terlalu

    besar dalam ruang privat individu-individu dan berupaya merebut

    kembali ekonomi sebagai individu yang telah dihancurkan oleh sebuah

    sistem yang sangat manipulatif. Karena itu, gerakan sosial baru tidak

    akan berhenti hanya mendapatkan porsi pembagian keuntungan dari

    pendapatan usaha produksi yang lebih berimbang dengan para

    kelompok borjuis tetapi yang lebih penting adalah gerakan ini

    melawan semua upaya lembaga-lembaga negara melakukan intervensi

    melalui aparatur birokasi dalam kehidupan sehari-hari (Melucci, 1995:

    41-63).

  • 33

    Joe Fowerker mengutip Mouffe, juga sependapat dengan

    beberapa ahli gerakan sosial, keluhan baru mendorong gerakan sosial

    baru dalam konteks negara-negara di Eropa Barat. Keluhan itu berupa

    bentuk baru subordinasi kapitalisme, komersialisasi kehidupan sosial,

    ekspansi kapitalisme yang mengkooptasi budaya, kebahagiaan dan

    seksualitas, birokratisasi masyarakat, hegemonisasi kehidupan

    masyarakat melalui intervensi media massa. Gagalnya pembangunan,

    tindakan represif militer, penolakan kebijakan populis atau dukungan

    terhadap kebijakan populis seperti pendidikan gratis bagi masyarakat

    miskin adalah bentuk-bentuk keluhan baru yang dipergunakan oleh

    para aktor dalam membangun gerakan sosial (Fowareker, 1995: 41-42).

    Dari pandangan teori para ahli dan akademisi tentang gerakan

    sosial menunjukan bahwa, terjadinya gerakan sosial diakibatkan pada

    tingkatan strata dalam kehidupan manusia. Atau, dalam kehidupan

    manusia telah tercipta tingkatan strata yang didasarkan pada tingkatan

    kedudukan sosial (jabatan, kekayaan dan kepemilikan harta) yang

    mengakibatkan munculnya tekanan pada kaum jelata yang menjadi

    pekerja rendahan. Akibat dari kedudukan dan tekanan kaum borjuis

    dan birokrasi pemerintah atau organisasi terhadap kelompok

    masyarakat jelata memungkinkan munculnya gerakan-gerakan

    pelawanan yang mengakibatkan konflik sosial.

    Simbol Dan Tanda Dalam Tindakan Manusia

    Simbol dan tanda dalam sejarah manusia sangat memainkan

    peran penting. Peran simbol dan tanda diibaratkan sebagai alur yang

    memungkinkan seseorang dapat memulai dari mana dia datang dan

    kemana dia pergi. Karena itu, memahami simbol dan tanda merupakan

    keharusan bagi manusia, baik secara individu, marga/klan, bahkan

    dalam suatu komunitas masyarakat.

    Meremehkan simbol dan tanda, akan mewajibkan seseorang

    untuk menanggung akibat dari sikap yang dilakukan. Kenyataan itu

    bisa terlihat dalam konteks keseharian manusia dalam beraktifitas di

    jalan raya, entah menggunakan kenderaan atau sebagai pejalan kaki.

  • 34

    Rambu-rambu lalulintas yang terpasang misalnya, jika tidak diakui dan

    ditaati oleh manusia, tentu akan menimbulkan kekacauan, bahkan

    dapat mengakibatkan manusia kehilangan nyawa disaat seseorang

    mengabaikan rambu-rambu lalulintas. Minimal akibat dari

    ketidaktaatan mematuhi rambu-rambu lalulintas, seseorang akan

    dikenai sanksi hukum sebagai rujukan untuk diproses berdasarkan jenis

    pelanggaran yang dilakukan. Contoh ini merupakan bagian kecil dari

    kekuatan simbol dan tanda yang diciptakan dan disepakati manusia

    dengan tujuan mengatur manusia saat beraktifitas di jalan raya.

    Dalam komunitas manusia yang berada di wilayah-wilayah

    terpencil sekalipun, simbol dan tanda dibuat untuk disepakati dan

    ditaati bersama. Tidak berbeda jauh dengan simbol dan tanda di

    wilayah perkotaan, di wilayah pedalaman atau wilayah-wilayah

    terpencil, simbol dan tanda memainkan peran penting untuk mengatur

    manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, hal ini dilakukan

    dengan tujuan agar tercipta keseimbangan antar manusia dengan

    sesama dan manusia dengan alam yang bertujuan pada keselamatan

    manusia itu sendiri.

    Salah satu tujuan mulia dibuatnya simbol dan tanda oleh

    manusia, tidak hanya untuk ditaati dan dilaksanakan, tetapi ada hal

    penting dan menjadi keinginan bersama yang kuat, yaitu untuk

    menciptakan keteraturan hidup setiap individu. Keteraturan hidup

    yang diinginkan dalam konteks ini adalah, kedamaian hidup antar

    individu, antar sesama komunitas, dan antara komunitas dengan alam.

    Pada bagian ini, akan diuraikan peran simbol dan tanda, makna

    dan tindakan simbolik manusia dalam kehidupan (individu dan

    komunitas) bersama.

    Simbol dan tanda

    Terkadang manusia mengalami kesulitan dalam membedakan

    dua kata yang berkaitan dengan simbol dan tanda. Mengawali

    penjelasan terkait simbol dan tanda, kajian ini diawali dengan

    pertanyaan apakah simbol dan apakah tanda itu?

  • 35

    Secara etimologi simbol berasal dari bahasa Yunani ―sym-ballein‖ yang berarti melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan) yang

    dikaitkan dengan ide (Hartoko dan Rakhmanto, 1998 : 133). Ada pula

    yang menyebutkan ―syimbolos‖, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000:10).

    Biasanya simbol terjadi berdasarkan metanoia (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya

    (misalnya si kaca mata untuk seseorang yang berkaca mata) dan

    metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki

    gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana,

    2001:136-138).

    Semua simbol melibatkan tiga unsur: simbol itu sendiri, suatu

    rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan rujukan.

    Ketiga hal ini merupakan dasar bagi semua makna simbol. Simbol

    adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan

    bentuk simbolik itu sendiri. Karena itu, Peirce mengemukakan bahwa:

    ―A symbol is a sign which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object‖ (Peirce 1931-58, 2.249).

    Dalam konsep Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang

    mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan

    antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda)

    sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat

    pemakainya, ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan

    menafsirkan maknanya.

    ―bahasa‖ komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah suatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), prilaku non verbal dan obyek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan mengenai

  • 36

    hubungan antara manusia dan obyek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut‖.3

    Berger (2000a:85) mengklasifikasikan simbol-simbol menjadi tiga

    bagian: (1) konvensional. Konvensional adalah kata-kata yang kita

    pelajari yang berdiri/ada untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu; (2)

    aksidental (accidental), adalah bentuk kontras dari konvensional, dia lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan

    seseorang; dan (3) universal adalah sesuatu yang berakar dari

    pengalaman semua orang4.

    Sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan manusia

    (simbol), maka simbol itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan

    manusia. Kata budaya, menurut perbendaharaan bahasa Jawa, berasal

    dari kata budi dan daya. Penyatuan dua kata menjadi satu kata membentuk satu pengertian baru yang dalam bahasa Jawa adalah:

    a. Kata budi mengandung arti:

    1. akal, dalam arti ―batin‖ untuk menimbang baik dan buruk, benar

    dan tidak; dalam bahasa Jawa : ditimbang-timbangin batin;

    2. tabiat, watak, akhlak, perangai; dalam bahasa Jawa: berbudi bawa

    laksana;

    3. kebaikan, perbuatan baik; dalam bahasa Jawa; budi luhur;

    4. daya upaya, ikhtiar; dalam bahsa Jawa: mangulir budi;

    5. kecerdikan untuk mencari pemecahan masalah; dalam bahasa Jawa:

    hambudi daya;

    b. Kata daya mengandung arti:

    1. kekuatan, tenaga; dalam bahasa Jawa : Dayaning batin;

    2. pengaruh; dalam bahasa Jawa : Daya pangaribawa;

    3. akal, jalan/cara, ikhtiar; dalam bahasa Jawa : Daya upaya;

    4. muslihat, tipu; dalam bahasa Jawa : Hambudi daya.

    Kedua kata tersebut kalau diperhatikan memiliki beberapa

    persamaan dalam arti yang dikandungnya. Setelah dijarwodosokan menjadi ―budaya‖ memperoleh pengertian yang baru yaitu: ―kekuatan

    3 Semiotika Komunikasi. Alex Sobur P.T. Remaja Rosdakarya-Bandung, 2009,hlm.156. 4 Tanda-tanda dalam kebudayaan Kontemporer. Arthur Berger Asa. Penerjemah M. Dewi marianto dan Sunarto, Yogyakarta: 2000b.Tiara Wacana.

  • 37

    batin dalam daya upayanya menuju kebaikan‖ atau ―kesadaran batin

    menuju kebaikan‖. Ada pula yang mengartikan ―daya upaya manusia

    untuk menciptakan sesuatu keindahan5.

    Konsep humanistik mengenai budaya menyebutkan dengan kata

    ―cultura animi‖ (kebudayaan dari budi)6, menurut Koentjaraningrat

    kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhaya, ialah bentuk

    jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan itu

    dapat diartikan: ―hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal‖.

    Zoetmulder dalam bukunya ―Cultuur, Oost en West‖ berpendapat bahwa asal kata budaya itu merupakan perkembangan dari majemuk

    ―budi-daya‖, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal.)7

    Ki Sarino Mangunpranoto berpendapat, bahwa budaya manusia

    itu terwujud karena adanya perkembangan norma hidupnya atau

    lingkungannya. Norma hidup itu terwujud dalam bentuk: alam pikir,

    alam budi, alam karya, alam tatasusila, alam seni yang meliputi: (seni

    rupa: pahat, sungging, lukis dan sebagainya; seni sastra; seni suara; seni

    tari; seni musik, seni drama, olah raga dan sebagainya).

    Keseluruhan sifat-sifat hidup ini melahirkan adanya rasa budaya

    manusia. Kalau rasa budaya ini dilaksanakan maka terjadilah

    kebudayaan atau budaya manusia.8 Begitu eratnya hubungan manusia

    dengan kebudayaannya, disebabkan oleh karena kebudayaan

    merupakan lingkup di mana manusia harus hidup. Aktifitas mulai dari

    rohani, jasmani, merupakan bagian dari kehidupan manusia yang

    menggunakan akal budi logika manusia dengan tujuan untuk

    memenuhi kebutuhan.

    Pernyataan bahwa manusia merupakan makhluk budaya

    mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam

    hidup dan tingkah laku manusia. Dalam kebudayaan tercakup hal-hal

    5 Pakem Pengetahuan tentang Keris, Koesni, penerbit C.V. Aneka Semarang, 1979, hlm. 33 6 Suatu Konsepsi Kearah Penerbitan Bidang Filsafat, The Liang Gie Penerbit Karya Kencana, Yogyakarta, 1979,hlm.128. 7 Kebudayaan, mentalitet dan Pembangunan, Koencaraningrat,Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta hlm.19. 8 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.7.

  • 38

    bagaimana manusia memberi tanggapan terhadap dunianya,

    lingkungan serta masyarakatnya, seperangkat nilai-nilai yang menjadi

    landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya,

    bahkan untuk mendasari setiap langkah yang hendak dan harus

    dilakukannya, sehubungan dengan pola hidup dan tata cara

    kemasyarakatannya. Konteks ini sejalan dengan pikiran Michael

    Landman dalam bukunya ―Filosofische Antropologie‖ menyatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dengan sesuatu tujuan,

    yaitu bahwa setiap benda alam di sekitarnya yang disentuh dan

    dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai. Nilai

    yang diperoleh manusia dapat bermacam-macam, misalnya nilai sosial,

    ekonomis keindahan, kegunaan dan sebagainya. Dengan demikian,

    berkarya berarti menciptakan nilai, atau dalam setiap karya terwujud

    sesuatu idea dari manusia. Dengan demikian, manusia disebut ―homo creator‖, karena dalam setiap karyanya, setiap manusia memberi bentuk dan isi yang manusiawi secara pribadi pada setiap benda

    budaya yang menandakan nilai tertentu, menunjukan maksud serta

    gagasan-gagasan penciptanya.9

    Dalam konteks manusia sebagai makhluk yang

    berbudaya/memiliki budaya, lahirlah konsep-konsep manusia yang

    diwujudkan dengan simbol (abstrak dan non abstrak). Simbol lahir

    sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang mampu berkreasi

    tanpa dinding pembatas dalam budayanya, sehingga budaya itu sendiri

    terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil

    karya dan prilaku manusia. Karena itu, tidaklah berlebihan apabila

    dikatakan bahwa: ―begitu eratnya kebudayaan manusia itu dengan simbol-simbol sehingga manusia dapat pula disebut sebagai makhluk bersimbol‖. Dengan perkataan lain dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol, manusia menciptakan dan menggunakan simbol.

    Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas dari mansia,

    yang dengan jelas membedakannya dari hewan. Maka Ernst Cassirer

    cenderung menyebut manusia:

    9 Menuju Kepada Manusia Seutuhnya, Soerjanto Poespowerdojo, dalam buku Sekitar Manusia Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, P.T. Gramedis, Jakarta 1978.hlm. 11.

  • 39

    ―The great thinkers who have defined man as an animal rationale,‖ writes Ernst Cassirer,―were not empiricists, nor did they ever intend to give an empirical account of human nature. By this definition they were expressing rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term with which to comprehend the forms of man‘s cultural life in all their richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence, instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum‖ (Cassirer 1974, 25-26) Digunakan untuk menyebutkan manusia sebagai: ―animal symbolicum‖ atau hewan yang bersimbol‖10.

    Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan WJS

    Poewadarminta disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam

    tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan

    suatu hal, atau mengandung suatu maksud tertentu. Misalnya, warna

    putih melambangkan kesucian, padi lambang kemakmuran, dan kopiah

    merupakan salah satu tanda mengenal warga Negara Republik

    Indonesia.

    Simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang

    merupakan pengantara pemahaman terhadap obyek. Untuk

    mempertegas pengertian simbol atau lambang dibedakan antara

    pengertian-pengertian isyarat, tanda dan simbol atau lambang. Isyarat

    ialah sesuatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh si subyek

    kepada obyek, artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk

    memberitahukan keadaan si obyek yang diberi isyarat agar si obyek

    mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan

    pemakaiannya, ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan atau dilakukan

    oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan atau disimpan

    penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda. Sedangkan tanda

    ialah sesuatu hal atau keadaan yang menerangkan atau

    memberitahukan sesuatu kepada si obyek, sedangkan simbol atau

    lambang ialah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si

    subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjukan kepada sesuatu yang

    10 An Essay on Man. An Introduction to a Philosophy of Human Culture, Ernst Cassire, New Haven, 1944, hlm 23-26.

  • 40

    riil atau benda, kejadian atau tindakan, misalnya guntur selalu ditandai

    dengan adanya kilat yang mendahuluinya. Tanda-tanda alamiah ini

    merupakan suatu bagian dari hubungan alamiah tertentu, dan

    menunjukan pada bagian yang lain yaitu hubungan sebab akibat (asap

    menandakan ada api). Tanda-tanda yang dibuat oleh manusiapun

    menunjukan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukan hal-hal

    yang tertentu, misalnya rambu-rambu lalulintas, tugu-tugu jarak

    jalanan seperti kilometer, tanda baca, tanda pangkat atau jabatan dll.11

    C.A. van Peursen dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖ yang diterjemahkan oleh Dick Hartono, menguraikan tentang pengertian

    dan proses terwujudnya simbol atau lambang dalam kebudayaan

    manusia antara lain sebagai berikut: 12

    1. Sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol atau

    lambang. Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa

    yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan

    tanda adanya api. Seekor hewan dapat diajari menghafalkan tanda-

    tanda, maka bukan hanya tanda-tanda yang diikutsertakannya. Ia

    sendiri dapat menciptakan tanda-tanda, dan tanda-tanda ciptaannya

    kita namakan simbol-simbol. Antara tanda dan apa yang ditandai tak

    ada lagi suatu pertalian alamiah. Huruf a—p—i itu merupakan sebuah

    simbol. Dengan cepat kita memahami tanda-tanda tersebut: suatu

    perjanjian lisan dan sederhana sudah cukup untuk itu. Terdapat juga

    simbol-simbol yang semata-mata berdasarkan perjanjian serupa itu,

    seperti misalnya tanda-tanda dalam ilmu aljabar atau petunjuk-

    petunjuk disebuah stasiun.

    2. Terdapat juga simbol-simbol yang terbina selama berabad-abad.

    Lambang-lambang purba seperti ―api‖, ―air‖, ―matahari‖, ―ikan‖ dan

    sebagainya mempunyai fungsi yang kadang-kadang relijius, kadang-

    kadang seni dan kadang-kadang teknis semata-mata sebagai alat

    komunikasi. Sebetulnya aspek-aspek tersebut tak dapat dipisahkan dan

    11 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.11. 12 Strategi kebudayaan, C.A. van Peursen, Yayasan Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia Jakarta, 1976.hlm.141-150.

  • 41

    dalam lingkungan kebudayaan kuno memang berjalan bersama-sama.

    Contoh yang bagus kita jumpai dalam huruf-huruf hiroglif di Mesir

    kuno. Huruf-huruf tersebut menggambarkan sesuatu, jadi mengandung

    berita, tetapi tidak lewat huruf-huruf biasa, satu huruf satu bunyi

    misalnya, melainkan lewat lambang-lambang keagamaan kuno yang

    sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.

    3. Lambang-lambang mengejawantahkan proses belajar, sehingga

    kita seolah-olah dapat naik menara dan memandang daerah-daerah

    yang luas yang dulu tidak pernah kita kenal, kita lalu tahu arah mana

    kita harus berkiblat. Manusia lalu tidak lagi seperti hewan terkurung

    dalam lingkungan alam, alam itu diangkat ke dalam daya-daya cetusan

    simbol-simbolnya sendiri. Ini berarti bahwa manusia tidak hanya

    mendirikan menara-menara yang memperluas pandangan sendiri

    diubahnya. Lambang-lambang merupakan penunjuk jalan di tengah-

    tengah kesimpangsiuran perbuatan manusiawi. Lambang itu

    melontarkan pertanyaan kepada kita: bagaimana kita menanggapi

    situasi sekeliling kita? Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang

    menandai proses belajar umat manusia, penunjuk jalan ke arah

    pembaharuan dan penyusunan kembali. Bahkan lambang-lambang

    purba yang sepenjang segala abad kita jumpai dalam dunia mitos

    kesenian, khayalan, impian dan dunia bawah sadar, bukanlah batu-

    batu yang berdiri tegak tanpa perubahan, melainkan selalu harus

    ditafsirkan kembali. Baru lewat penafsiran kembali itu lambang-

    lambang tadi tetap berlaku, seperti misalnya, dalam psikoterapi seperti

    kesenian. Daya simboliknya tetap sama, asal disusun kembali dijadikan

    kaidah-kaidah baru.

    4. Lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah yang

    berlaku dalam perbuatan manusiawi, pengertian dan ekspresi. Kaidah-

    kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan pengertian

    manusia, tetapi dengan seluruh pola kehidupannya, seluruh perbuatan

    dan harapan manusia. Kaidah-kaidah tersebut selalu mengalami

    perubahan, dan ini memerlukan suatu proses belajar yang bertalian

    dengan situasi-situasi yang disusun kembali lewat perubahan dalam

    simbol-simbol. Lambang-lambang bukan hasil pemerasan otak, bukan

  • 42

    semacam teka-teki silang. Lambang-lambang harus dipraktekkan,

    merupakan penunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita,

    alat-alat terinformasi, untuk merubah sesuatu. Semua aktivitas manusia

    berlangsung lewat kaidah-kaidah tertentu, entah dalam suatu

    mekanisme teknis, kebijaksanaan politik, perwujudan artistik, atau

    argumentasi ilmiah. Kaidah-kaidah tadi mengakomodir lambang-

    lambang.

    5. Lambang-lambang terdapat di luar badan manusia dan tidak

    terikat oleh naluri jasmaniah. Manusia dapat menangani simbol-

    simbol. Simbol dimana manusia sedang belajar, atau bila proses belajar

    sedang berlangsung. Belajar berarti memperoleh suatu kepandaian

    baru, pengertian baru, atau kaidah kelakuan yang baru. Seluruh

    kebudayaan manusia merupakan proses belajar yang besar. Untuk

    menampung hasil pelajarannya, manusia memiliki dan menggunakan

    media yaitu bahasa. Dengan bahasa itu manusia meneruskan hasil

    pelajarannya, bahkan mewariskannya kepada ingatan penerusnya.

    Dengan demikian apa yang dipelajari setiap angkatan terus menambah

    khasana pelajaran dari angkatan-angkatan sebelumnya, sehingga

    pengetahuan manusia terus bertambah. Tradisi belajar dengan lisan

    diikuti dengan tradisi belajar secara tertulis. Dan kemudian

    pengetahuan manusia meneruskan dan dialihkan dengan menggunakan

    lambang-lambang atau simbol-simbol abstrak yang disandikan/bahasa

    sandi, maka pengertian bahasa menjadi meluas, tidak hanya meliputi

    bahasa dalam arti kata yang sempit, melainkan meliputi segala macam

    bentuk lambang atau simbol berupa: kata, tarian, gambar-gambar

    isyarat.

    I. Kuntara Wiryamartana seorang ahli filsafat berpendapat

    bahwa bentuk lambang dapat berupa: bahasa, (cerita, perumpamaan,

    pantun, syair, peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu

    musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan).13

    13 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Budiono Herusatoto, Penerbit P.T. Hanindita, Yogyakarta, 1984.hlm.14.

  • 43

    Memaknai sesuatu itu (simbol), tersirat sikap individu dan

    kelompok tertentu untuk melakukan apa yang ada pada simbol

    tersebut. Memaknai menunjukan sikap yang relevan antara makna dan

    pemakna. Terjadinya perlawanan antara makna (maksud simbol) dan

    pemakna (pengguna simbol), akan muncul sikap perlawanan yang

    mengakibatkan hilangnya tujuan pada sesuatu itu (simbol). Karena itu,

    memaknai simbol dibutuhkan rasa kolektiv, cara padang kolektiv, cara

    bertindak kolektiv pada tujuan yang akan dicapai. Jika pada komunitas

    tertentu, tujuan atau hasil dari simbol yang dilakukan tidak tercapai,

    maka hal tersebut akan berdampak pada kekacauan individu, dan

    berakibat pada kesuraman simbol di masa depan. Pada uraian berikut,

    akan diuraikan makna dan tindakan simbolik manusia.

    Makna dan tindakan simbolik manusia

    Manusia dan simbol yang digunakan merupakan dua sisi yang

    memiliki kaitan, dan sangat sulit untuk dipisahkan. Bahkan, keduanya

    saling memberi pemaknaan. Untuk mengetahui manusia bersama

    seluruh aspek hidupnya, simbol menjadi pintu masuk. Dari simbol

    yang dimunculkan melalui perilaku manusia, pada saat yang sama pula,

    manusia sementara menyampaikan pesan kepada pihak lain tentang

    apa yang sementara dipikirkan dan dikerjakan. Dalam konteks

    tersebut, menurut sosiolog R.M. Maclver bahwa:

    ―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol‖14.

    Dalam bukunya berjudul, Culture and Communication, Edmund Leach (1950:340), memasukan tanda dan isyarat (sinyal) sebagai

    operator dalam proses komunikasi; ketiganya merupakan ―tindakan-

    tindakan ekspresif‖ yang ―entah hanya mengatakan sesuatu tentang

    tatanan dunia sebagaimana adanya, entah bermaksud untuk mengubah

    14 Soceiety, Macmilan, R.M. Maclver, 1950, hlm. 340.

  • 44

    tatanan itu secara metaforis‖. Operator-operator seperti isyarat, tanda,

    dan simbol, menurut Leach, bersifat deskriptif atau transformatif.15

    F.W. Dillistone, menjelskan pendapatnya tentang beberapa

    istilah umum yang berkaitan dengan gambaran, penunjuk, ikon,

    kiasan, bahwa simbol agak terpisah dari dunia, sedangkan penunjuk

    dan tanda-tanda pertama-tama diterapkan pada dunia sebagaimana

    adanya. Menurutnya, penunjuk dan tanda-tanda beroperasi dalam

    lingkungan yang relativ statis, di mana kata-kata atau gerak-gerik yang

    sudah dikenal digunakan untuk mendeskripsikan suatu barang atau

    peristiwa. Biasanya ada kesesuaian langsung, satu lawan satu; tugas

    penguraian kode (decoding), apabila pemberi dan penerima berada

    dalam masyarakat yang sama dan tetap, hanya sedikit yang

    menimbulkan kesulitan. Ia menjelaskan juga, bahwa sinyal memiliki

    perbedaan, kata sinyal mengisyaratkan permintaan perhatian atau

    tindakan, yang dengan suatu cara untuk mengubah

    (mentransformasikan) suatu keadaan atau duduk perkara yang ada.

    Kata ini lebih tepat digunakan dan sesuai dalam konteks-konteks

    kemiliteran, perdagangan, dan cara modern dalam menyampaikan

    pesan-pesan dengan sarana elektronik. Meskipun demikian, dalam

    banyak hal, baik dalam deskripsi maupun dalam tindakan

    transformatif, komunikasi dimaksudkan untuk mencapai suatu hasil

    langsung, dengan menggunakan tanda dan sinyal yang ada, dalam

    peristilahan umum suatu sisitem budaya khusus. Dalam situasi yang

    sangat kompleks, apabila bahasa simbol dan simbolisme digunakan,

    ―simbol‖ dan ―simbolis‖ dalam iklan, berita, pidato politik, prakiraan cuaca, dan analisis ekonomi, semakin tidak menunjukan

    ketidaksesuaian dengan istilah-istilah yang digunakan.16

    Symbollein17, memberi penekanan pada sebuah benda yang dipecahkan menjadi dua bagian dan masing-masing pihak memegang

    15 Culture and Communication, Edmund Leach, Cambridge University Press, 1976 16 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm. 17 Pada waktu dua orang Yunani kuno mengadakan perjanjian, mereka kerapkali memeteraikan perjanjian itu dengan memecahkan sesuatu – sebuah lempengan, sebuah cincin, sebuah benda dari tanah liat – menjadi dua bagian dan masing-masing pihak menyimpan satu bagian. Jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, kemudian menghendaki perjanjian itu dihormati, ia atau

  • 45

    kedua bagian merupakan satu kekuatan yang mengikat kedua pihak.

    Walaupun dalam kenyataannya kedua pihak tidak berada dalam satu

    wilayah, namun patahan benda tersebut sewaktu-waktu dapat dapat

    disatukan atau ―dicocokan‖ kembali. Pada saat kedua patahan benda tersebut ―dicocokan‖ maka kata ―dicocokan/disatukan‖ itu disebut simbol. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam

    pengertian yang lebih luas, misalnya, untuk anggota-anggota

    masyarakat, rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar... Sebuah simbol

    pada mulanya adalah sebuah benda, sebuah tanda, atau sebuah kata

    yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan ―arti‖ yang sudah dipahami oleh kedua pihak.

    Dari kata symbollein, Edmund Leach memberikan pernyataan bahwa:

    ―kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama... Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol, mengisyaratkan bahwa masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol18.

    A.N. Whitehead menulis dalam bukunya symbolisim ―pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen

    menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai

    komponen-komponen lain pengalamannya‖. Perangkat komponen

    terdahulu adalah ―simbol‖ dan perangkat komponen yang kemudian

    adalah ―makna‖ simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan

    adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan disebut

    ―referensi‖19.

    wakilnya akan mengidentivikasikan diri dengan mencocokan bagian dari barang yang telah dipecah itu dengan bagian yang lain. ―Mencocokan‖ dalam bahasa Yunani adalah symbollein dan atau kedua bagian atau kepingan itu disebut ―syimbola‖. 18 Culture and Communication, The logich by which symbols are connected and introduction to the use of structuralist analysis in social anthropology, Edmund Leach,Published by the press syndicate of the university of cambridge,2003.hlm.23. 19 Simbolisim, A.N. Whitehed, Cambridge University Press, 1928, hlm.9.

  • 46

    Goethe menyatakan bahwa dalam simbolisme sejati, yang khusus

    mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan,

    melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga,

    sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah simbol

    sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya

    dapat dimengerti. Pengambil bagian, atau partisipasi ini dilukiskan

    kemudian hari pada abad ke sembilan belas dengan istilah ―substansi‖ seperti misalnya oleh George MacDonald, putranya menulis tentang

    ―ujaran simbolis‖. Baginya sebuah simbol jauh melebihi tanda lahir dan terlihat arbiter untuk sebuah konsepsi yang abstrak: nilainya yang

    tinggi terletak dalam suatu substansi bersama ide yang disajikan‖20.

    Berbeda dengan Arnold Toynbee yang memusatkan

    perhatiannya pada dunia intelek, menurutnya; ―sebuah simbol tidak

    identik atau koekstensif dengan obyek yang disimbolkannya‖.

    Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak dapat menjadi

    simbol barang itu, melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan

    bahwa sebuah simbol dimaksudkan untuk menjadi reproduksi barang;

    sebenarnya simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya,

    melainkan untuk meneranginya. Pengujian yang menunjukan bahwa

    sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena simbol merepro atau

    tidak merepro dengan setiap obyek yang ditunjukannya; pengujiannya

    adalah, apakah simbol itu memberi tarang atas obyek itu, atau

    mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah

    simbol yang memberi terang, dan simbol efektif merupakan bagian

    mutlak perlengkapan intelektual kita. Jika sebuah simbol harus bekerja

    dengan efektif sebagai alat untuk tindakan intelektual – artinya,

    sebagai ―model‖ – simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta-sketsa, jadi bukan

    sebuah fotograf yang diambil dari pesawat terbang U-2‖21.

    Erwin Goodenough dalam telaahannya yang panjang lebar,

    Jewish symbols in graeco-roman period, mendefinisikan simbol sebagai berikut:

    20 Lois Macneice, Varietis Cambridge University Press, 1965.hlm.94,97. 21 A Study of History Arnold Toynbee (edisi pertama), Thomas and Hudson,1976,hlm.53.

  • 47

    ―simbol adalah barang atau pola yang apa pun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan itu‖. ―Simbol memiliki maknanya sendiri, atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini, daya kekuatan sendiri untuk menggerakan kita‖. Singkatnya, referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima. Malahan, daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang merangsang orang untuk bertindak dipandang sebagai ciri hakikinya‖22.

    Fungsi simbol menurut Erwin Goodenough merangsang daya

    imajinasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sementara

    Whitehead menjelaskan bahwa ‗simbol mengacu pada makna‘; bagi

    Goethe ‗simbol menggambarkan yang universal‘; bagi Coledrige ‗simbol

    berpartisipasi dalam realitas‘; bagi Toynbee ‗simbol menyinari realitas‘;

    bagi Goodenaugh ‗simbol mendatangkan transformasi atas apa yang

    harafiah dan lumrah‘; dan bagi Brown ‗simbol menyelubungi ke-Allah-

    an‘.

    F.W. Dillistone menggambarkan simbol dalam tiga bagian

    diantaranya adalah:

    1. sebuah kata, atau barang, atau obyek, atau tindakan, atau

    peristiwa, atau pola, atau pribadi, atau hal yang konkrit;

    2. yang mewakili, atau menggambarkan, atau mengisyaratkan, atau

    menandakan, atau menyelubungi, atau menyampaikan, atau

    mengunggah, atau mengungkapkan, atau mengingatkan, atau

    merujuk kepada, atau berdiri menggantikan, atau mencorakan,

    atau menunjukan, atau berhubungan dengan, atau bersesuaian

    dengan, atau menerangi, atau mengacu kepada, atau mengambil

    bagian dalam, atau menggelar kembali, atau berkaitan dengan;

    3. sesuai yang lebih besar, atau transenden, atau tertinggi, atau

    terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi,

    kepercayaan masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.

    22 Erwin Goodenough, Jewish Symbols in the Graecho-Roman Period, jilid 4, Pantheon Press, New York, 1953.hlm.28.

  • 48

    Dari ke tiga hal yang dijelaskan; poin nomor satu lebih dapat

    dilihat, lebih dapat didengar, lebih dapat diraba, lebih dekat, lebih

    konkret dari pada nomor tiga. Fungsi simbol menurut defenisi-defenisi

    ini ialah, untuk menjembatani jurang antara dunia nomor satu dan

    dunia nomor tiga, dan hal ini teramat penting demi berfungsinya hidup

    masyarakat. Fariasi yang mungkin timbul dalam defenisi-defenisi itu

    diakui secara umum, bahwa sebuah simbol sedikit banyak

    menghubugkan dua entitas.23

    Raymond Firth ―Hakikat simbolisme terletak dalam pengakuan, bahwa hal yang satu mengacu pada (mewakili) hal yang lain, dan hubungan antara keduanya, pada hakikatnya adalah hubungan yang konkret dengan hal yang abstrak, hal yang khusus dengan hal yang umum. Hubungan ini sedemikan rupa, sehingga simbol dari dirinya tampak mempunyai kemampuan, untuk menimbulkan dan menerima akibat-akibat yang dalam keadaan yang lain, hanya diperuntukan bagi obyek yang diwakili oleh simbol itu—dan akibat-akibat itu kerap kali mempunyai muatan emosional yang kuat‖.

    Simbol mempunyai peranan yang sangat penting dalam urusan-

    urusan manusia:

    ―manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol, dan bahkan merekonstruksi realitasnya dengan simbol‖. Simbol menurut pandanganya, tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan – fungsi yang dapat dianggap pertama-tama bersifat intelektual‖. Sebuah simbol dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri, seluruh semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas terakhir (tertinggi) yang diwakilinya‖.

    Sesungguhnya menurut Firth, sebuah simbol dapat menjadi

    sarana, untuk menegakkan tatanan sosial, atau untuk menggugah

    kepatuhan-kepatuhan sosial; selain itu, sebuah simbol kadang-kadang

    dapat memenuhi suatu fungsi, yang dapat bersifat privat dan

    individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam

    sebuah simbol, yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman

    sosial yang lebih luas.

    23 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm. 20, 21.

  • 49

    Pada bagian akhir, buku yang ditulis oleh Firth ―symbol and substance‖, Firth memusatkan perhatian pada soal yang asasi bagi semua teori simbolisme, dia menyatakan dengan terus terang; apa itu

    simbol? Jika dalam masyarakat bentuk-bentuk simbolis digunakan,

    apakah yang diwakili oleh bentuk-bentuk simbol itu, apa fungsinya,

    makna apa yang termaktub, apa akibatnya pada hidup orang-orang

    yang menggunakan bentuk-bentuk simbol itu? Dua istilah yang

    digunakan oleh Firth penting artinya: ―simbol‖ mencakup dua entitas: ―substansi‖ berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak terbagi. Suatu pandangan hidup yang meliputi simbol-simbol bersifat biner

    (berpasangan): tidak ada perpaduan kristalisasi penuh, menjadi sebuah

    masa yang kuat padat, melainkan antar hubungan yang tetap unsur-

    unsur satu sama lain. Suatu pandangan hidup yang berdaya upaya

    untuk mendefenisikan substansi-substansi bersifat uniter (kesatuan):

    mungkin ada banyak substansi, tetapi masing-masing atomis, mandiri,

    final. Maka dari itu, substansi hanyalah substansi; tidak dapat berkaitan

    secara hidup dengan sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak

    dapat membangun hubungan simbolis apapun (Firth 1973:105)24

    Mary Douglas dalam bukunya Natural Symbolis, pada bagian yang diberi judul; ―The Two Bodies‖. Dijelaskan ―ia sangat terkesan melihat hubungan erat yang ada antara tubuh manusia dan masyarakat

    manusia‖... Tubuh merupakan anologi yang cocok sekali untuk

    diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata kerja dan tata

    hubungan antara pelbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan

    hidup setiap masyarakat tertutup. Oleh karena adanya korelasi ini

    maka dijelaskan bahwa: ―simbol-simbol alami tidak akan ditemukan

    dalam butir-butir leksikal yang individual‖. Tubuh jasmani dapat

    mempunyai makna universal hanya sebagai sistem yang menjawab

    sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai sebuah sistem. Apa

    yang disimbolkannya secara alamiah adalah hubungan bagian-bagian

    sebuah organisme dengan keseluruhan.

    24 Lihat Syimbols: and Privasi, Allen and Unwin Raymond Firth 1973. hlm.103-105.

  • 50

    Dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat: kadang-kadang

    keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir menjadi satu; kadang-

    kadang keduanya terpisah jauh. ―Tegangan antara keduanya memungkinkan pengembangan makna-makna‖. Seperti halnya

    manusia berusaha menciptakan tatanan dan pengendalian dalam hal-

    hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian juga ia

    mengupayakan kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya.

    Sesungguhnya ia tidak dapat tumbuh berkembang mencapai

    kematangan badani dan budaya kalau tidak di dalam sistem simbolis

    yang koheren.

    Demikian juga sistem simbolis yang paling memuaskan, rupanya

    adalah apa yang terstruktur secara organis dan yang menjaga hubungan

    erat antara ungkapan sosial dan ungkapan tubuh. Bahwa bahasa

    manusia dan tata cara dipengaruhi secara mendalam oleh susunan

    masyarakat dan vice versa, bahwa setiap masyarakat menemukan simbol-simbolnya yang autentik dengan menimbah dari anologi-

    anologi yang diberikan oleh prilaku berpola tubuh manusia. Karena

    keyakinannya yang mendalam bahwa simbol-simbol sangat penting,

    tidak hanya untuk menata masyarakat tetapi juga untuk

    mengungkapkan kosmologinya.

    Viktor Turner (1969:15), dalam bukunya ―the forest of symbols‖ dan ―the ritual process‖ membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial. Ia menjelaskan ada dua segi yang harus

    dipertimbangkan: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang

    memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-

    kelompok komunal yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-

    hasrat bersama, serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang

    berbeda, dari cara-cara masyarakat luas. Ia menjelaskan, bentuk-

    bentuk simbolis dalam ritual konteks Ndembu;

    ―hampir setiap barang yang dipakai, setiap gerak-gerik yang digunakan, setiap nyanyian atau doa, setiap satuan tempat dan waktu, menurut adat, berarti sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, lebih banyak dari pada tampaknya, dan kerap kali jauh lebih banyak‖.

  • 51

    Suatu unsur, atau satuan ritual disebut chijikijilu. Secara harafiah

    kata ini berarti, suatu ―hal yang menonjol‖ atau ―nyala api‖ (untuk mencari atau membuat jalan), chijikijilu juga berarti suatu ―unsur‖ sesuatu dalam pemandangan alam yang jelas kelihatan, seperti

    misalnya sebuah sarang semut... Jadi, kata ini mempunyai dua artian (i)

    sebagai nyala api pemburu, mengartikan suatu unsur hubungan antara

    wilayah yang diketahui dan yang tidak diketahui; (ii) baik sebagai

    nyala api maupun suar, memberikan pengertian tentang, yang tersusun

    dan teratur, sebagai lawan yang tidak tersusun, dan kacau balau.

    Pemakaiannya dalam upacara sudah bersifat metaforis,

    menghubungkan dunia yang diketahui, yaitu dunia yang terserap

    pancaindra, dengan dunia yang tidak ketahui dan tidak kelihatan, yaitu

    dunia bayang-bayang gelap. Membuat apa yang misterius, dan juga

    berbahaya menjadi dapat dimengerti‖. Jika penafsiran kata chijikijilu ini benar, itu berarti ada keinginan yang kuat untuk memelihara suatu

    ―suar‖ kehidupan, yang teratur dan tepat suatu ruang keramat yang sentral, suatu tempat terbuka dalam semak belukar yang tanpa bentuk,

    di mana pribadi-pribadi simbolis dapat bekerja dengan menetapkan

    peraturan dan pemeliharaan siklus tata cara yang tepat.25

    Namun, tidak hanya masyarakat Ndembu, tetapi juga untuk banyak masyarakat suku lainnya, fungsi rangkap bentuk-bentuk

    simbolis ini perlu. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan secara

    simbolis, tempat yang keramat atau kuil, penataan terus menerus atas

    upacara-upacara yang berkaitan dengan kelahiran, masa puber, dan

    kematian, atau dengan siklus penanggalan perayaan gerakan-gerakan

    benda-benda langit. Di lain pihak, ada tata cara simbol yang harus

    dilaksanakan ketika suatu peristiwa kritis hampir terjadi: suatu

    perjalanan ekspedisi baru, perjumpaan dengan suku bangsa lain. Ini

    adalah pengalaman-pengalaman kritis, dimana kelompok-kelompok

    terbatas harus berpetualang masuk ke dalam dunia yang tidak

    diketahui. Upacara-upacara simbolis diperlukan untuk menjamin

    kepergian yang aman, dan kedatangan kembali yang membahagiakan.

    25 The Ritual Process, Routledge and Kegan Paul, 1969. hlm.15.

  • 52

    Jadi, di satu pihak ada bentuk-bentuk simbolis yang diperlukan,

    untuk menjaga kesehatan yang berkelangsungan dan kehidupan teratur

    seluruh masyarakat. Seiring dengan itu, Turner membuat perbedaan

    antara simbol dan tanda: dalam simbol-simbol, ada semacam kemiripan

    (entah bersifat metafora atau bersifat metanomia), antara hal yang

    ditandai maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak mempunyai

    kemiripan seperti itu... Tanda-tanda hampir selalu ditata dengan sitem-

    sistem ―tertutup‖, sedangkan simbol-simbol, khususnya simbol yang

    dominan dari dirinya sendiri bersifat ―terbuka‖ secara semantis. Makna

    simbol sama sekali tidaklah tetap... Makna-makna baru, dapat saja

    ditambahkan oleh ―arbriter‖26, pada wahana-wahana simbolis yang

    lama. Lagi pula, individu-individu dapat menambahkan makna pribadi

    pada makna umum sebuah simbol.27

    Clifford Geertz selama beberapa tahun menetapkan tujuan utama

    hidupnya untuk menafsirkan kebudayaan-kebudayaan. Dalam

    bukunya berjudul ―Anthropological Approaches to the Study of Religion‖ yang disunting oleh Michael Banton (1968:3), Geertz menyatakan, bahwa

    ―dalam praktek-praktek keagamaan yang ditelaah oleh para ahli antropologi budaya ―kebudayaan‖ telah menjadi istilah yang kabur dan kerap kali ambigu dibanyak tempat. Menurut penggunaan Geertz, ―kebudayaan‖ berarti ―suatu pola yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan penge-tahuan mereka, sikap-sikap terhadap hidup‖28.

    26 ...disepakati oleh dua belah pihak yang bersengketa untuk memberikan keputusan yang akan ditaati oleh kedua belah pihak. Dalam hubungannya dengan kesepakatan terhadap pemaknaan penggunaan simbol, terkadang simbol mengalami perubahan desain berdasarkan konteks,maka ―arbriter‖ menjadi pilihan bersama dan semua pihak diminta untuk menaati perubahan penambahan atau pengurangan terhadap simbol bersama. Konteks ini dalam kehidupan suku Mairasi di Kabupaten Kaimana, komunitas suku telah mengubah sikap lama yang terikat kental dengan sikap masa lalu ―nyawa ganti nyawa‖ jika ada anggota suku yang terbunuh. Masa sekarang,tuntutan tersebut mengalami perubahan, anggota suku yang terbunuh diganti dengan seorang anak (dalam keadaan hidup-bukan dalam bentuk membalas membunuh). 27 F.W. Dillistone, Relegious Experience and Christian Faith, SCM Press, 1983. 28 Michael Banton (ed), Anthropologival Aproaces to the Study of Religion, Methuen,1968.hlm, 3.

  • 53

    Jadi, makna yang diejawantahkan dalam simbol, konsep yang

    terungkap dalam bentuk simbolis, merupakan pusat minat dan

    pilihannya. ―Geertz memberikan paradigma; simbol keagamaan

    ―berfungsi mensintesiskan etos suatu bangsa – nada, watak, mutu hidup mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya – serta pandangan hidup yang

    mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan mereka

    yang paling komprehensip tentang tatanan‖. Cara hidup dan

    pandangan hidup saling melengkapi, kerap kali melewati satu bentuk

    simbolis. Hal ini memberikan gambaran tatanan yang komprehensif,

    dan pada waktu yang sama, mewujudkan pola sintesis perilaku sosial.

    Ada kongruensi, atau kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan

    universial, dan hal ini terungkap dalam sebuah simbol yang terkait

    dengan keduanya.

    Setiap obyek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang

    dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi; dan konsepsi ini adalah,

    ―makna‖ simbol. Jadi penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, terserap,

    umum, dan konkret. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol

    yang mensintesiskan ―dunia sebagaimana dihayati dan dunia

    sebagaimana dibayangkan‖, dan simbol-simbol ini berguna untuk

    menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan. Dengan

    memegang pandangan ini, Geertz menyingkirkan semua teori

    mentalitas primitif, atau evolusi budaya. Yang diinginkan Geertz

    adalah, memahami apa arti atau makna tindakan-tindakan simbolis,

    bagi orang-orang yang melakukannya, membeberkan ―struktur-struktur konseptual yang dinyatakan oleh tindakan-tindakan ritual‖29.

    Kekuasaan Simbolik Dalam Bahasa Dan Prilaku Manusia

    Dalam kehidupan sosial, wujud kekuasaan seringkali terpatri

    dalam gagasan politik formal seperti negara, dan kekerasan

    diidentikkan dengan aktivitas fisik yang merugikan. Perwujudan relasi

    29 The Power Of Simbols, F.W. Dillistone, diterjemahkan oleh A. Widyamartaya Kanisius 2002.hlm.115.

  • 54

    kekuasaan dan kekerasan dilihat sebagai peristiwa yang melibatkan

    entitas-entitas fisik, seperti tubuh para aktor, sarana prasarana fisik,

    institusi, dan lainnya.

    Seiring dengan globalisasi dan teknologi informasi, wujud

    kekuasaan dan kekerasan mengalami perubahan secara radikal.

    Keduanya hadir dalam sebuah ruang yang seolah-olah tidak terjadi apa-

    apa, atau seakan-akan kosong dari segala kepentingan. Kekuasaan dan

    kekerasan dipikirkan sebagai suatu entitas yang terpisah, dimana

    kekuasaan sepertinya tak bersinggungan dengan kekerasan, dan

    begitupun sebaliknya. Perwujudan relasi kekuasaan dan kekerasan

    pada era sekarang ini tidak lagi tampil dalam ruang konkrit yang

    melibatkan aktivitas fisik, keduanya beroperasi dalam sebuah ruang

    representasi, yang menjadikan sumber daya simbol sebagai kekuatan

    abstrak, untuk menciptakan kebenaran.

    Melalui representasi, sebuah realitas yang sebelumnya tidak

    dapat dihadirkan, bisa dipresentasikan kembali melalui mobilisasi

    sistem simbol, entah itu bahasa, wacana, gambar, dan semacamnya.

    Representasi kebenaran melalui semesta simbolik mampu menciptakan

    mekanisme sosial yang di dalamnya terdapat pertautan antara

    kekuasaan dan kekerasan. Representasi yang seharusnya mengandung

    keselarasan antara tanda-tanda yang diproduksi dengan apa yang

    dipresentasikannya, seringkali mengaburkan realitas yang sebenarnya.

    Hal ini terjadi dikarenakan adanya patahan-patahan dalam sistem

    representasi tersebut, di mana sistem simbolik sebagai medium

    representasi telah didominasi oleh sistem kekuasaan tertentu.

    Pengambilalihan sistem simbol ini terjadi sedemikian rupa, sehingga

    menyebabkan mereka yang menerimanya tidak merasakan apa-apa.

    Penerimaan begitu saja oleh mereka yang didominasi terhadap segala

    bentuk tata simbol itulah yang menandakan berlangsungnya praktik

    kekerasan dalam ruang sosial. Dengan kata lain, relasi kekuasaan dan

    kekerasan senantiasa hadir dalam bilik-bilik kehidupan, walaupun

    pola, teknik, dan mekanismenya mengambil bentuk yang berbeda.30

    30 Pierre Bourdieu/Fashri, Fauzi, Menyingkap Kuasa Simbol, Yogyakarta 2014.hlm.10.

  • 55

    Setiap rezim yang muncul dalam menjalankan kekuasaannya,

    tentu menghadirkan pula simbol-simbol yang menjadi tujuan dan

    mewarnai kebijakan yang menjadi tujuan.

    Orde politik era Sukarno misalnya, memproduksi gagasan

    NASAKOM31 (Nasionalisme Agama Komunis) sebagai gugus simbolik

    yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terbelah

    pada masa itu. Di era Orde Baru32, sistem simbolik bersarang pada

    wacana pembangunan. Begitu pula pada masa SBY-JK, wacana good

    31 Konsepsi ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Sukarno muda di tahun 1926, melalui artikel berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga aliran itu, kata Sukarno, merupakan kekuatan politik utama dalam pergerakan kemerdekaan di Indonesia. Nah, dalam kerangka melawan kolonialisme, penyatuan tiga aliran itu menjadi mutlak adanya. Dalam Suluh Indonesia Muda, tahun 1926, Sukarno sudah mengemukakan gagasan Nasakom ini. ―Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah azas-azas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat diseluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan diIndonesia-kita ini,‖ kata Sukarno. Bukan tanpa alasan Sukarno mengatakan demikian. Memang sejak awal perjuangan kemerdekaan, kita memang sudah mengenal tiga aliran politik ini mewarnai berbagai organisasi pergerakan zaman itu. Semisal Indsche partij dan Sarekat Hindia yang ―Nasionalis‖, Sarikat Islam yang berideologi islam, dan kemudian ISDV/PKI yang berideologi marxisme. Dalam surat kabar pemandangan, melalui artikel berjudul Menjadi Pembantu Pemandangan, tahun 1941. Sukarno menganggap dirinya sebagai perasaan dari nasakom. Nasakom menjadi konsepsi Sukarno untuk menyatukan berbagai barisan perjuangan dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan. Saat memberi amanat di Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia, di Istana Negara, 23 Oktober 1965, Sukarno terang-terangan menyebut dirinya sebagai perasan dari nasakom. ―Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one, Sukarno. Lain kali disini, dimuka Istana merdeka saya pernah berkata, aku adalah perasan dari pada Nasakom‖ (Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-konsep-persatuan-nasakom/. Diunduh pada tanggal 21 Januari 2018. 32 Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal koreksi terhadap penyelewengan pada masa yang lalu. Orde Baru bisa diartikan sebagai orde yang mempunyai sikap dan tekad mendalam untuk mengabdi kepada rakyat serta mengabdi kepada kepentingan nasional yang didasari oleh falsafah Pancasila dan menjunjung tinggi asas serta sendi Undang-undang Dasar 1945. ―Orde Baru juga bisa diartikan sebagai masyarakat yang tertib dan negara yang berdasarkan hukum, dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta warga negara mempunyai pemimpin atau penguasa yang tunduk kepada ketentuan yang berlaku‖ (Jenderal Soeharto, 1967:7). ―Surat Perinttah 11 Maret 1966 atau Supersemar itulah yg menjadi titik awal lahirnyya Orde Baru‖ sebab dengan Supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tidakan-tindakan pembaharuan dan stabilisasi politik. Dan dengan Supersemar itulah sebenarnya kekuasaan Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin menjadi lenyap. Lenyapnya kekuasaan Soekarno kemudian diperkuat dengan ketetapan MPRS yang melalui sidang istimewa pada tahun 1967 mengangkat Letjen Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sehingga sebagai simbol pun Soekarno tidak diakui sebagai pemegang kekuasaan. Kemudian pada bulan Maret 1968 MPRS menganggkat dan melantik Letjen Soeharto sebagai Presiden (Marwati Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984: 415).

    http://www.berdikarionline.com/sukarno-dan-konsep-persatuan-nasakom/

  • 56

    governance dijadikan simbol utama untuk mendayung visi besar pemerintahan. Rezim politik juga seringkali melukiskan dirinya dalam

    bahasa simbolik seperti ―penyambung lidah rakyat‖, ―bapak

    pembangunan‖, atau ―anak bangsa‖. Pemilik simbol dapat mengejewantahkan dirinya seperti apa yang disimbolkan. Jika

    demikian, rezim politik bisa menjalankan praktik kekuasaan-nya, atas

    nama simbol yang diciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk

    menjadikan simbol itu nyata, dan mendapatkan pengakuan bahwa

    rezim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter

    yang disimbolkan.

    Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk wajah realitas.

    Kekuatan itu tersimpan dalam proses kategorisasi, penilaian, dan

    pemaksaan ide-ide tertentu kepada obyek yang menafsirkan simbol.

    Dalam dunia politik, operasi kerja kekuatan tak bisa dilepaskan dari

    kekuatan struktur aktor politik yang berkepentingan mengonstruksi

    realitas. Wacana good governance yang digulirkan pemerintah SBY-JK sebagai visi besar pengelolaan negara. Mangacu pada pandangan

    Edward Said di bagian pendahuluan Magnum Opus-nya, menyatakan bahwa ―there is no such things as a delivered presence; there is onli re-presence, or representation‖ di balik pewacanaan good governance terdapat upaya menyembunyikan relasi kuasa yang tak tampak, seolah-

    olah objektif. Wacana terorisme, misalnya, digunakan oleh pemerintah

    untuk menentukan kelompok mana yang disebut teroris dan mana

    yang bukan. Terorisme sebagai wacana simbolik dijadikan modal

    politik bagi pemerintah dalam mengesahkan Undang-Undang

    Terorisme yang memberikan payung hukum sah untuk melakukan

    praktik politik, seperti membuat kategori teroris hingga ke proses

    penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dikategorikan

    terorisme33.

    Niccolo Mechiavelli dalam karyanya ―The Prince‖, kekuasaan harus dilestarikan melalui cara apapun agar kedaulatan sang penguasa

    (negara) tetap tegak. Karenanya penggunaan kekerasan yang bersifat

    fisik pun dapat dibenarkan, seperti intimidasi, penyiksaan penculikan,

    33 Ibid.hlm. 11-13.

  • 57

    dan sebagainya. Dengan kata lain, negara memiliki kewenangan

    melakukan politik kekerasan untuk mempertahankan dominasinya

    terhadap yang dikuasainya. Antonio Gramsci seorang pemikir

    neomarxis dari Itali–menyatakan, bahwa kekuasaan dapat

    dilanggengkan melalui strategi hegemoni. Hegemoni yang

    dimaksudkan oleh Gramsci ialah: peran kepemimpinan intelektual dan

    moral (intellectual and moral leadership) untuk menciptakan ide-ide dominan. Kekuasaan yang dimaksudkan diperoleh lewat hegemoni ide-

    ide (dalam wilayah budaya) didasarkan atas mekanisme konsensus.

    Melalui hegemoni, ide-ide yang diciptakan penguasa menentukan

    struktur kognitif masyarakat34.

    Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan

    dan relasi kekuasaan, Louis Althusser menyatakan, negara sebagai

    institusi sentral yang berperan mempersatukan dan memaksa

    masyarakat dalam reproduksi kekuasaan, Ia membedakan antara kuasa

    negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara)

    sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatus negara di sisi lain.

    Pada bagian ini, uraian simbol kuasa dalam bahasa dan prilaku

    simbolik manusia akan diuraikan lebih lanjut oleh penulis.

    Simbol kuasa dalam bahasa manusia

    Bahasa berperan positif bagi pembentukan makna, dalam

    bentuk-bentuk kekuasaan di balik beroperasinya/penggunaan bahasa.

    Artinya, bahasa menempati posisi strategi bagi penyemaian ideologi

    yang ada di baliknya, serta mengandaikan modus kekuasaan tertentu

    dalam setiap praktik bahasa, pilihan kata, gaya mengungkapkan dan

    perbendaharaan kata, hingga kandungan pengetahuan yang

    diungkapkan, atau disamarkan oleh suatu bahasa. Karena itu, bahasa

    menjadi begitu penting bagi individu maupun kelompok tertentu

    untuk meraih, melanggengkan, bahkan melawan suatu kekuasaan.

    Perkara ini digambarkan oleh John B. Thompson sebagai berikut:

    34 Menyingkap Kuasa Simbol, Pierre Bourdieu/Fashri, Fauzi, Yogyakarta 2014.hlm.16.

  • 58

    ―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power. We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy. We are aware that individuals speak with differing degrees of authority, that words are loaded with unequal weights, depending on who utters them and how they are said, such that some word uttered in certain circumstances have a farces and a conviction that they wauld not have elsewhere. We are experts in the innumerable and subtle strategies by which words can be used as instruments of coercion and constrain, as tools of intimidation and abuse, as signs politeness, condescension and contempt‖.35

    Bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup

    sekumpulan kata-kata bermakna, dalam sebuah proses pemahaman. Ia

    juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi

    semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu

    ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai

    kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan

    otoritas guna menanamkan otoritas. Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang

    plural), karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang sesuai

    dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan simbolik, selalu

    terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama yang diakui secara

    resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial, dan memaksa

    pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam pertarungan

    simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan tujuan akhir

    memperoleh kekuasaan.

    Kekuasaan simbolik—dalam pengertian Bourdieu—merupakan

    suatu kekuasaan untuk mengonstruksi realitas, melalui tatanan

    gneosological, yaitu melalui pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial untuk kelompok atau orang. Kekuasaan simbolik ialah

    kekuasaan tak tampak dan hanya dikenali dari tujunnya untuk

    memperoleh pengakuan. Sebuah kekuasaan simbolik meski tidak

    35 Ibid..hlm.116.

  • 59

    dikenali bentuk aslinya, tapi ia tetap diakui. Kekuasaan simbolik

    bekerja dengan menggunakan simbol-simbol sebagai instrumen

    ―pemaksa‖, terhadap kelompok subordinat yang turut berperan mereproduksi tatanan sosial, sesuai dengan keinginan kelompok

    dominan. Seperti yang dipaparkan oleh Bourdieu. ―What creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them‖36.

    Kekuasaan simbolik bagi Bourdieu, dalam mengoptimalkan

    kekuatannya, sangat bergantung pada dua hal. Pertama, seperti halnya wacana performatif, kekuasaan simbolik didasarkan pada kepemilikan

    modal simbolik (symbolic capital). Semakin besar seseorang atau suatu kelompok memiliki modal simbolik, semakin besar peluangnya untuk

    menang. Artinya, modal simbolik merupakan kredit bagi terbentuknya

    otoritas sosial yang diperoleh dari pertarungan sebelumnya. Kedua, bergantung pada efektivitas simbolik di mana strategi investasi

    sombolik bekerja. Efektivitas ini atas dasar pandangan yang

    ditawarkan, atau sejauh mana strategi investasi simbolik dijalankan.

    Dalam pandangan ini, kekuasaan simbolik merupakan sebuah

    kekuasaan pentahbisan, sebuah kekuasaan untuk menyembunyikan

    atau menampakkan sesuatu lewat kata-kata.37

    Dominasi yang mengambil bentuk halus inilah yang disebut

    Bourdieu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah kekerasan yang lembut (a gentle violence), sebuah kekerasan tak kasat mata (imperceptible and visible) secara lebih lengkap, kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak

    tampak yang dibaliknya menyembunyikan praktik dominasi. Bourdieu

    bertutur:

    ...‖the gentle, invisible form of violence, misrecognized as such, chosen as much as it is submitted to, the violence of confidence, of personal loyality, of hospitality, of the gift, of the debt, of

    36 Ibid..hlm.142. 37 Ibid..hlm.143.

  • 60

    recognition, of piety—of all virtues, in a word, which an honoured by the ethics of honour‖38.

    Kekerasan simbolik menciptakan mekanisme kekerasan sosial yang

    bersifat obyektif, di mana mereka yang dikuasai menerimanya begitu

    saja. Mekanisme objektif yang diciptakan kekerasan simbolik

    memanfaatkan simbol-simbol yang ada untuk memenuhi fungsi

    politiknya, yaitu kehendak untuk berkuasa.

    Prilaku simbolik manusia

    Tidak bisa dipungkiri bahwa simbol dalam kehidupan

    masyarakat (lokal, kelompok garis keras, politik dll), telah melekat dan

    menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Simbol telah menjadi identitas,

    individu, marga/klan, hingga komunitas kesukuan. Karena itu,

    kehidupan manusia memang digerakan oleh simbol-simbol, dibentuk

    oleh simbol-simbol dan dirayakan dengan simbol-simbol.

    Sebagai sebuah identitas dalam hal apapun, simbol terkadang

    diagung-agungkan, dibesar-besarkan, bahkan dipahami sebagai sebuah

    peradaban. Baik menyangkut peradaban masa lalu hingga peradaban

    masa sekarang. Karena itu, di tengah-tengah munculnya ketegangan

    antara pihak-pihak tertentu, simbol menjadi sasaran penghancuran

    musuh. Ketika simbol dihancurkan, orang dapat mengetahui siapa yang

    melakukan dan dengan alasan apa musuh itu menghancurkan simbol

    tersebut.

    Ketika aksi terorisme 11 September meluluhlantakan gedung

    kembar WTC (World Trade Center) di kawasan Manhattan New York Amerika Serikat; dan ketika orang-orang di negeri hiruk pikuk

    menghancurkan, memorak-porandakan dan membakari gedung

    pemerintahan, kendaraan, mall, atau tempat-tempat ibadah, sasaran sesungguhnya bukan pada benda-benda itu sendiri. Sasaran mereka

    sebenarnya adalah simbol. Gedung-gedung pencakar langit, kendaraan,

    pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat ibadah, hal itu bisa saja

    dilihat sebagai simbol ―kecongkakan‖, ―kekuasaan‖, ―kesewenangan‖,

    ―keserakahan‖, ―ke-pura-pura-an‖, dan itulah yang menjadi sasaran

    38 Ibid..hlm.143.

  • 61

    penghancuran oleh kelompok-kelompok yang menganggap dirinya

    sebagai musuh pemilik simbol-simbol tersebut39.