bab ii evaluasi pembelajaran mata pelajaran fiqih...
TRANSCRIPT
12
BAB II
EVALUASI PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN FIQIH
A. Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran pada
khususnya, dan sistem pendidikan pada umumnya. Artinya, evaluasi
merupakan kegiatan yang tidak mungkin dielakkan dalam proses
pembelajaran. Dengan kata lain, kegiatan evaluasi, baik evaluasi hasil belajar
maupun evaluasi pembelajaran merupakan bagian integral yang tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan pendidikan.
Ada satu prinsip umum dan penting dalam kegiatan evaluasi yaitu
adanya “triangulasi” atau hubungan erat tiga komponen antara tujuan
pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan evaluasi.1
Dalam dunia pendidikan, kegiatan evaluasi sering digunakan. Karena
selama suatu periode berlangsung, orang perlu mengetahui hasil atau prestasi
yang telah dicapai, baik oleh pihak pendidikan maupun oleh peserta didik, hal
ini dapat dirasakan dalam semua bentuk dan jenis pendidikan, baik pendidikan
formal, non formal maupun informal.
1. Pengertian Evaluasi
Secara etimologis atau bahasa, evaluasi yang berarti penilaian,2 dan
evaluasi mengacu pada suatu tindakan atau proses untuk menentukan
sesuatu. Sedangkan secara istilah, para ahli mendefinisikan evaluasi
sebagai berikut:
a. Hendry Clay Lindgren bahwa “Evaluasi is the result of the teacher’s
concern with the goals of education”.3 Evaluasi adalah hasil akhir
pengajaran pendidik atas proses pembelajaran yang telah berlangsung.
1 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),
hlm. 24 2 Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1994), hlm. 69 3 Henry Clay Lindgren, Education Psychology in The Classroom, (New York : John
Wiley & Sons, 1959), hlm. 365.
13
b. Anne Anasti sebagaimana yang dikutip Chabib Thoha dalam bukunya
Teknik Evaluasi Pendidikan mendefinisikan sebagai kegiatan untuk
menilai sesuatu secara terencana, sistematis, dan terarah berdasarkan
atas tujuan yang jelas.4
c. Wayan Nurkancana dan Sunartana mendefinisikan “evaluasi adalah
suatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu
dalam dunia pendidikan”.5 Dalam melakukan evaluasi itu merupakan
proses untuk menentukan nilai terhadap peserta didiknya yang
berkaitan dalam dunia pendidikan.
d. Suharsimi Arikunto mendefinisikan “evaluasi yang berarti menilai
yang dilakukan dengan mengukur terlebih dahulu”.6 Ini berarti bahwa
dalam kegiatan evaluasi kita harus mengadakan pengukuran terlebih
dahulu, kemudian setelah kita ukur baru kita berikan penilaian.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan pengertian evaluasi yaitu
sesuatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu obyek
dengan menggunakan instrumen tertentu dan hasilnya dibandingkan
dengan tolok ukur tertentu untuk memperoleh suatu simpulan. Dengan
mengacu pada kesimpulan tersebut, evaluasi hasil belajar adalah suatu
proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang
diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan
instrumen tes maupun yang non tes.7
Selain istilah evaluasi, terdapat pula istilah lainnya yang hampir
berdekatan, yaitu pengukuran (measurement), pengujian (test), penilaian.
Sementara orang memang lebih cenderung mengartikan kata tersebut
sebagai suatu pengertian yang sama, sehingga dalam pemakaiannya hanya
4M. Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991),
hlm. 1 5 Wayan Nurkancana dan Sunartana, Evaluasi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional,
1986), hlm. 1 6 Suharsimi Arikunto, op.cit., hlm. 3 7 PAU-PPAI UT Materi Pekerti (Peningkatan ketrampilan dasar teknik instruksional),
http://pau.ut.ac.id/isi_pekerti_1.htm.
14
tergantung dari kata mana yang siap untuk diucapkan. Tetapi, ada
beberapa ahli yang membedakan istilah tersebut.
Conny Semiawan Stamboel membedakan antara pengukuran dan
penilaian “pengukuran dilakukan terhadap kemampuan dan kemajuan
belajar di sekolah, sedangkan penilaian terhadap kelakuan yang bersifat
kualitatif, dan evaluasi mencakup kedua pengertian itu”.8
Sedangkan menurut Anas Sudijono bahwa: Pengukuran
(measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan atau dasar ukuran
tertentu dan hasil pengukuran bersifat kuantitatif dan penilaian adalah
mengambil keputusan terhadap sesuatu dengan mendasarkan diri atau
berpegangan pada ukuran baik atau buruk, sehat atau sakit, pandai atau
bodoh dan sebagainya. Hasil dari penilaiannya bersifat kualitatif.
Sedangkan evaluasi adalah mencakup dua kegiatan yang telah
dikemukakan terdahulu, yaitu mencakup pengukuran dan penilaian.9
Kemudian menurut Guilford sebagaimana yang dikutip oleh
Sumarna Surapranata dalam bukunya Panduan Penulisan Tes Tertulis
Implementasi Kurikulum 2004 bahwa: Pengukuran adalah proses
penetapan angka terhadap suatu segala menurut aturan tertentu.
Pengukuran dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Pengujian
merupakan bagian dari pengukuran yang dilanjutkan dengan kegiatan
penilaian. Sedangkan penilaian merupakan suatu pernyataan yang
berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau
sesuatu. Dan evaluasi adalah penilaian yang dilakukan secara sistematik
tentang manfaat suatu obyek.10
Jadi pengukuran adalah membandingkan suatu ukuran-ukuran dan
hasilnya bersifat kuantitatif, dan wujud dari pengukuran itu adalah
pengujian yang dikenal dengan tes. Sedangkan penilaian adalah
8 Conny Semiawan Stamboel, Prinsip dan Teknik Pengukuran dan Penilaian di Dalam
Dunia Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1990), hlm. 21. 9 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm 4-5. 10 Sumartana Surapranata, Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum
2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 17.
15
mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk.
Penilaian bersifat kualitatif, untuk mengadakan evaluasi meliputi kedua
langkah tersebut di atas yakni mengukur dan menilai.
2. Dasar Evaluasi
Ajaran Islam juga menaruh perhatian sangat besar terhadap
evaluasi. Adapun yang mendasari dari evaluasi dalam proses pendidikan
khususnya Islam. Seperti hadits Nabi saw. yang berbunyi sebagai berikut:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا : ويروى عن عمرا ين الخطاب قال نلى مة عامالقي موي ابسالح حفا يمانر وض االكبرللع ونيزتو
11)ه الترمذىروا. (حاسب نفسه في الدنياDiriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata: “Nilailah (introspeksi) dirimu sebelum kamu dinilai dan hiasilah dirimu dengan kehormatan yang mulia, karena keringanan hisab di hari kiamat itu tergantung pada orang yang menilai dirinya di dunia”. (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan hadits di atas, apabila dikaitkan dalam dunia
pendidikan, secara implisit bahwa evaluasi atau penilaian merupakan
introspeksi atau muhasabah pada diri sendiri sebelum melakukan atau
dinilai terhadap orang lain, untuk melihat sejauhmana kemampuan atau
kondisi (apakah mampu atau tidak).
Selanjutnya, menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya Khoiron
Rosyadi12 mengenai dasar evaluasi pembelajaran dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok, yaitu dasar psikologis, dasar didaktis, dan dasar
administratif.
Secara psikologis, orang selalu ingin mengetahui sejauh mana dia
berjalan menuju tujuan yang diinginkan atau yang dicapai. Secara didaktis
menunjukkan bahwa hasil evaluasi sangat besar manfaatnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan didaktis, misalnya untuk memotivasi
11 Abi Isa Muhammad bin Abi Isa, Sunan Tirmidzi, Juz 4, (Beirut: Darul Fikr, 1994), hlm.
207. 12 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 284.
16
belajar, untuk mendapatkan informasi/data peserta didik yang kesulitan
belajar dan untuk mengetahui cara belajar yang cocok. Kemudian secara
administratif, evaluasi ini sangat dibutuhkan, karena tanpa informasi yang
diperoleh dari evaluasi, orang tidak mungkin mengisi raport, menentukan
IP, memberikan STTB dan lain-lain.
3. Fungsi dan Tujuan Evaluasi
Ada beberapa fungsi melakukan evaluasi dalam proses belajar
mengajar sebagai berikut:
a. Diagnostik (diagnostic test)
Tes diagnostik bertujuan mendiagnosa kesulitan belajar peserta
didik untuk mengupayakan perbaikan. Dengan demikian harus lebih
dahulu disajikan tes formatif untuk mengetahui ada atau tidak bagian
yang belum dikuasai peserta didik.
b. Tes Formatif (formative test)
Tes formatif, dilaksanakan di tengah program pembelajaran
digunakan sebagai umpan balik, baik peserta didik maupun pendidik.
Berdasarkan hasil tes pendidik dapat menilai kemampuannya dan
dijadikan bahan perbaikan melalui tindakan mengajar selanjutnya.
Sedangkan peserta didik dapat mengetahui materi pelajaran yang
belum dikuasai untuk bahan perbaikan juga.
c. Tes Sumatif (summative test)
Tes hasil belajar yang dilaksanakan setelah sekumpulan satuan
program pengajaran selesai diberikan. Tes sumatif disusun atas dasar
materi pelajaran yang telah diberikan selama satu catur wulan atau satu
semester.13
Tujuan utama tes sumatif yakni untuk menentukan nilai yang
melambangkan keberhasilan peserta didik setelah menempuh proses
pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, sehingga dapat ditentukan
13 Suke Silverius, Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik, (Jakarta: Grasindo, 1991),
hlm. 9-10.
17
kedudukan peserta didik di kelasnya, mengikuti program pengajaran
sebagai bahan informasi kepada pihak yang bersangkutan.
d. Tes Penempatan (placement test)
Peserta didik dapat ditempatkan pada kelompok yang sesuai
dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki maka digunakan suatu tes.
Sekelompok peserta didik yang mempunyai hasil penilaian yang sama,
akan berada dalam kelompok yang sama dalam belajar.14
4. Prinsip dan Acuan Evaluasi
a. Prinsip Evaluasi
Dalam memberikan evaluasi dalam proses belajar mengajar
harus berdasarkan pada prinsip pelaksanaan. Adapun prinsip-prinsip
pelaksanaan evaluasi itu sebagai berikut: prinsip berkesinambungan
(continuity), prinsip menyeluruh (comprehensive), prinsip obyektivitas
(objectivities).15
1) Prinsip berkesinambungan (continuity)
Bahwa kegiatan evaluasi dilaksanakan secara terus
menerus. Artinya, pendidik harus selalu memberikan evaluasi
kepada peserta didik sehingga kesimpulan yang diambil akan lebih
cepat.
2) Prinsip menyeluruh (comprehensive)
Evaluasi itu harus dilaksanakan secara utuh dan
menyeluruh. Hal ini mencakup keseluruhan aspek tingkah laku
peserta pendidik, baik aspek berfikir (cognitive domain), aspek
nilai atau sikap (affective domain), dan aspek ketrampilan
(psychomotor domain) yang ada pada masing-masing peserta
pendidik.
14 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar ... op. cit., hlm. 11. 15 Anas Sudijono, op.cit., hlm. 31, lihat pula Zuharini, et.al., Metodologi Pendidikan
Agama, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 150.
18
3) Prinsip obyektivitas (objectivities)
Objektif dalam arti bahwa evaluasi itu dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, berdasarkan fakta dan data tanpa ada
pengaruh dari unsur-unsur subjektivitas dari evaluator. Objektif
dalam evaluasi itu dapat ditunjukkan dalam sikap, misalnya jujur
dan benar.
b. Acuan Evaluasi
Untuk dapat menginterpretasikan hasil penilaian belajar yang
direncanakan sebelumnya, ada dua jenis acuan yang digunakan, yaitu:
criterion referenced evaluation dan norm-referenced evaluation.16
1) Criterion Refenced Evaluation (PAP : Penilaian Acuan Patokan).
Merupakan cara memperbandingkan taraf keberhasilan
peserta pendidik dengan membandingkan prestasi yang dicapainya
dengan kriteria yang telah ditetapkan lebih dahulu.
Menurut penilaian acuan ini, peserta pendidik dikatakan
telah mencapai hasil belajar sebagaimana diharapkan apabila telah
menguasai bahan-bahan belajar sesuai dengan patokan yang
ditetapkan. Patokan ini dinyatakan dalam bentuk prosentase
minimal, misalnya 75%, 80%, 90% dan sebagainya. Memang tidak
ada ketentuan pasti tentang batas prosentase minimal yang harus
digunakan, biasanya digunakan atas dasar kesepakatan dari para
perencana pendidikan dan pengajaran di sekolah.17
2) Norm Referenced Evaluation (PAN: Penilaian Acuan Norma)
Merupakan cara mempertimbangkan taraf keberhasilan
belajar peserta pendidik, dengan cara memperbandingkan prestasi
individual peserta pendidik dengan nilai rata-rata kelompoknya.
Pelaksanaan penilaian ini didasarkan atas anggapan bahwa
setelah sekelompok peserta pendidik menyebar dalam kegiatan
16 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002), hlm. 249. 17 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.
228.
19
belajar, maka tingkat keberhasilan mereka akan menyebar dalam
bentuk kurva normal.
Misalnya sebagian besar (68%) dari peserta pendidik itu
akan memperoleh hasil sedang (S); sebagian kecil yaitu 13,5%
memperoleh hasil belajar baik (B) dan 13,5% lagi kurang (K),
selebihnya pada kedua ujung kurva, yaitu lebih 2,5% memperoleh
hasil belajar baik sekali (BS), dan 2,5% kurang sekali (KS).18 Alur
penilaian ukuran menaksirkan hasil belajar peserta didik
berdasarkan standar kriteria maupun norma kelompok
(terlampir).19
Dengan menggunakan batas prosentase minimal, pendidik
akan dapat menentukan mana peserta pendidik yang telah menguasai
bahan belajar dan mana yang belum. Peserta pendidik yang belum
menguasai bahan belajar digolongkan peserta pendidik yang
mengalami masalah dalam belajar.
Atas dasar kedua norma itulah peserta pendidik dinyatakan
lulus atau tidak lulus; atau berhasil atau tidak berhasil. Norma
kelulusan itu biasanya disebut batas lulus.
Untuk memberi gambaran yang jelas, berikut ini disusun
diagram yang menunjukkan persamaan dan perbedaan antara
keduanya.
Tabel 2.1
Persamaan dan Perbedaan Norm-Referenced
dan Criterion-Referenced Tes20
Perbedaan No Persamaan Norm-Referenced
(PAN) Criterion
Referenced (PAP) 1 Menurut spesifikasi
tujuan (learning outcomes)
Tujuan dinyatakan secara umum atau khusus
Cenderung sangat khusus dan mendetail
18 Abdul Majid, loc. cit. 19 Conny Semiawan Stamboel, op. cit., hlm. 336. 20 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 30.
20
2 Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar
- Mencakup rentangan hasil yang luas
- Sedikit item untuk tiap hasil
- Domain hasil (aspek yang diukur) terbatas.
- Sejumlah item untuk tiap hari
3 Menggunakan berbagai tipe item tes
Item tipe memilih (true-false, multiple, dan sebagainya)
Tidak bergantung pada item tipe memilih saja
4 Harus memenuhi syarat-syarat penulisan tes
“Daya pembeda” diperhatikan
Performance peserta pendidik lebih ditekankan
5 Menurut kegagalan hasil (variabilitas skor tinggi)
Menggunakan prosedur statistik (variabilitas skor rendah)
Tidak menggunakan prosedur statistik (variabilitas skor rendah)
6 Memiliki kegunaan tertentu
Baik untuk placement dan sumatif
Cocok untuk formatif dan diagnostik.
5. Teknik dan Bentuk Evaluasi
Dalam kegiatan evaluasi terdapat suatu alat untuk mengukur
keadaan suatu objek, yang gunanya dapat mempermudah seseorang untuk
melaksanakan tugas atau mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien.
Kata alat bisa disebut dengan istilah “instrumen”. Kemudian untuk
menggunakan alat tersebut evaluator menggunakan cara atau teknik. Pada
umumnya ada dua teknik evaluasi hasil belajar, yaitu non tes, terdiri atas
observasi, wawancara, kuesioner, check list, rating scale, riwayat hidup
dan teknik tes.21 Tes ini biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang
harus di jawab atau perintah-perintah yang harus dijalankan oleh peserta
didik, kemudian hasilnya dibandingkan dengan standar yang telah
ditetapkan. Adapun teknik bentuk tes yang digunakan beragam.
a. Dilihat dari segi bentuk
Bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh pendidik
dilakukan sebagai berikut:
21 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 26.
21
1) Tes Tertulis
Tes tertulis merupakan suatu tes di mana dalam
mengajukan pertanyaan dilakukan secara tertulis dan memberikan
jawabannya juga tertulis.22 Tes tertulis meliputi:
(a) Tes dalam bentuk uraian (subjective tes)
Tes ini meliputi semua tes yang pertanyaannya
membutuhkan jawaban yang berupa uraian, yang terdiri dari
bentuk uraian bebas dan bentuk uraian terbatas atau tes
berstruktur.
(b) Tes dalam bentuk objektif (objektif tes)
Tes objektif yakni semua bentuk tes yang
mengharuskan peserta didik memilih di antara kemungkinan-
kemungkinan jawaban yang telah disediakan, memberikan
jawaban singkat, atau mengisi jawaban pada kolom titik yang
disediakan. Bentuk tes objektif antara lain: benar atau salah,
pilihan ganda, menjodohkan, jawaban singkat, isian.23
2) Tes lisan
Tes lisan merupakan alat penilaian yang pelaksanaannya
dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung untuk
mengetahui kemampuan untuk memecahkan suatu masalah,
mempertanggungjawabkan pendapat, penguasaan bahasa dan
penguasaan materi pelajaran. Tes lisan dapat berupa jawaban atas
pertanyaan maupun tanggapan atas pertanyaan yang diajukan.24
Dari segi persiapan dan cara bertanya, tes lisan dapat
dibedakan menjadi dua yakni tes lisan bebas, tes tanpa
menggunakan pedoman yang dipersiapkan secara tertulis dan tes
lisan pedoman, tentang apa yang ditanyakan kepada peserta
didik.25
22 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 75. 23 Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Fiqih, (Jakarta: 1997), hlm.
47. 24 Ibid., hlm. 49. 25 M. Chabib Thoha, op. cit., hlm. 61.
22
3) Tes perbuatan
Tes perbuatan adalah tes dilakukan dengan jawaban dari
peserta didik yang sedang dinilai.26 Penugasannya dapat
disampaikan secara tertulis maupun lisan.27 Sedangkan
Muhammad Athiyah al-Abrasy mendefinisikan tes perbuatan yaitu:
نستطيع أن نعرف مقدرة الطالب من : وباالمتحان العملىومالحظته , ومهارته اليدويه, الناحيتني العمليه والعلميه معا
28.القويهDengan tes praktek: kita bisa mengetahui kemampuan peserta didik dari dua segi, yaitu dari segi teori (pembelajaran) dan dari segi praktek secara bersama, kita juga dapat mengetahui ketrampilan (tangan), juga dapat mengevaluasi kemampuan peserta didik.
b. Dilihat dari segi jumlah peserta, tes hasil belajar dibedakan menjadi
dua jenis, yakni tes individual dan kelompok.29
1) Tes individual, yakni tes di mana tester hanya berhadapan dengan
satu orang testee saja. Jadi tes yang pada saat diberikan hanya
dilakukan terhadap satu orang
2) Tes kelompok, yakni tes di mana tester berhadapan dengan lebih
dari satu orang testee. Dengan demikian tes ini diberikan lebih dari
satu atau sekelompok anak.
c. Dilihat dari segi penyusunan, menurut tingkat atau taraf mutunya dapat
digolongkan menjadi dua yaitu tes buatan pendidik dan tes baku.30
1) Tes buatan pendidik
Merupakan suatu tes yang dibuat dan digunakan oleh
seorang pendidik sendiri di sekolah. Tes ini digunakan untuk
mengetahui kedudukan prestasi belajar peserta pendidik di kelas
26 Slameto, Ebaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 30. 27 Departemen Agama RI, loc. cit. 28 Muhammad Athiyah al-Abrasy, Ruh at-Tarbiyah wat Ta’lim, (Kairo: Dar al-Khaya al-
Kutub al-Arabiyah, 1369 H.), hlm. 363. 29 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 74. 30 Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), hlm. 57.
23
setelah mengikuti suatu kegiatan instruksional suatu mata pelajaran
dan untuk mengetahui kemajuannya.
2) Tes Baku
Suatu tes yang sudah distandarisasi atau sudah disusun
secara cermat oleh tim ahli penyusun tes melalui uji coba berkali-
kali sehingga tes tersebut memiliki mutu tinggi. Hasil tes tersebut
untuk mengetahui kemampuan belajar calon peserta pendidik,
penjurusan peserta pendidik yang sesuai dengan kemampuan
belajarnya.
Untuk dapat dijadikan alat pengukur, maka tes harus memenuhi
sedikitnya dua syarat, yaitu:
1) Syarat validitas
Validitas berkenaan dengan ketetapan alat penilaian
terhadap konsep yang dinilai sehingga betul-betul menilai apa yang
seharusnya dinilai. Validitas dalam hal ini tidak berlaku universal,
sebab tergantung pada situasi dan tujuan penilaian. Alat penilaian
yang valid untuk suatu tujuan tertentu belum otomatis akan valid
untuk tujuan yang lain.31
2) Reabilitas
Reabilitas alat penilaian adalah ketetapan atau keajegan alat
tersebut dalam menilai apa yang dinilainya. Artinya, kapanpun alat
penilaian tersebut menilai akan memberikan hasil yang relatif
sama.
Tes hasil belajar dikatakan tetap apabila hasil pengukuran
saat ini menunjukkan kesamaan hasil pada saat yang berlainan
waktunya terhadap siswa yang sama. Tetapi kemungkinaan terjadi
perbedaan hasil tersebut disebabkan oleh dua faktor, 1) kesalahan
yang terletak pada kelemahan soal yang tidak memiliki kepastian
jawaban atau meragukan siswa dan 2) disebabkan oleh kondisi
31 Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Remaja
Rosdakarya,1999), hlm. 12.
24
yang terjadi pada diri siswa, misal motivasi pada waktu tes pertama
berbeda pada waktu tes kedua.32
Selain kedua syarat di atas, Anas Sudiyono menambahkan dua
syarat lagi, yakni mengenai objektivitas dan praktikabilitas.
1) Bersifat objektif, apabila tes tersebut disusun dan dilaksanakan
“menurut apa adanya”. Dilihat dari segi materi tesnya mengandung
pengertian bahwa materi tes tersebut adalah diambilkan dan materi
atau bahan pelajaran yang telah diberikan sesuai atau sejalan
dengan tujuan instruksional khusus yang telah diberikan. Dan
dilihat dari pemberian skor dan penentuan nilai hasil tesnya, bahwa
pekerjaan koreksi, pemberian skor dan pemberian nilainya
terhindar dari unsur-unsur subjektivitas yang melekat pada diri
penyusun tes.
2) Bersifat praktis dan ekonomis, bahwa tes hasil belajar tersebut
dapat dilaksanakan dengan mudah, karena tes itu:
a) Bersifat sederhana, dalam arti tidak memerlukan peralatan yang
banyak atau peralatan yang sulit pengadaannya
b) Bersifat lengkap, bahwa tes tersebut telah dilengkapi dengan
petunjuk mengenai cara mengerjakannya, kunci jawabannya
dan pedoman scoring serta penentuan nilainya.
Dan bersifat ekonomis, mengandung pengertian bahwa tes
hasil belajar tersebut tidak mengandung pengertian, tes tersebut
tidak memakan waktu yang panjang dan tidak memerlukan tenaga
biaya yang banyak.33
Dengan kriteria sebagaimana tersebut di atas, seorang guru
dapat memilih/menentukan hasil belajar apa yang akan dinilai. Dengan
demikian guru dapat menentukan teknik apa yang akan digunakan
dalam menilai hasil belajar tersebut.
32 Ibid., hlm. 16-17. 33 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 96-97.
25
6. Tindak Lanjut
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, peserta didik
dapat merencanakan kegiatan tindak lanjut yang perlu dilakukan, baik
berupa upaya perbaikan (remedial) maupun penyempurnaan program
pengajaran berikutnya.34
Program perbaikan merupakan suatu kegiatan yang disediakan
sekolah untuk membantu para peserta didik yang terlambat atau
mengalami kegagalan dalam penguasaan pelajaran.35 Untuk
mengetahuinya menggunakan tes atau teknik diagnostik kesulitan belajar.
Setelah diadakan tes diketahui adanya penyebab keterlambatan atau
ketidakmampuan peserta didik.
Adapun penyebab keterlambatan atau ketidakmampuan peserta
didik dalam keberhasilan belajar adalah faktor internal peserta didik yang
menyangkut aspek jasmaniah maupun rohaniah atau faktor eksternal
peserta didik baik fisik maupun sosial psikologis yang berada pada
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Untuk memberikan perbaikan dapat dilakukan kegiatan-kegiatan
antara lain: kerja kelompok dalam mendiskusikan kesulitan bagian-bagian
materi pelajaran tertentu, memberikan buku pelajaran yang relevan dengan
tujuan yang bersangkutan, mengajar kembali atau mengulang pelajaran
yang belum dikuasai oleh peserta didik.
7. Makna Evaluasi
Melihat pentingnya evaluasi dalam pendidikan, maka evaluasi
memiliki makna sebagai berikut:36
34 R. Ibrahim, Nana Syaodih Sukmadinata, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), hlm. 32. 35 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 276. 36 Suke Silverius, op. cit., hlm. 6-8.
26
a. Makna bagi peserta didik
Hasil evaluasi memberi informasi tentang sejauhmana ia telah
menguasai bahan pelajaran yang disampaikan pendidik.
b. Makna bagi pendidik
Hasil evaluasi memberikan petunjuk bagi pendidik mengenai keadaan
peserta didik, materi pengajaran dan metode mengajarnya.
c. Makna bagi pembimbing/penyuluh
Bimbingan dan penyuluhan umumnya diarakan kepada usaha
peningkatan daya serap peserta didik serta penyesuaian peserta didik
dengan lingkungan, sehingga bimbingan dan penyuluhan tersebut lebih
terarah untuk memperoleh informasi yang diinginkan. Evaluasi
memegang peranan penting sesuai tujuannya, apabila ditunjang oleh
informasi yang akurat tentang keadaan peserta didik, baik dari segi
intelektualnya maupun dari segi emosionalnya.
d. Makna bagi sekolah
Keberhasilan kegiatan belajar mengajar ditentukan pula oleh
kondisi belajar yang diciptakan oleh sekolah. Efektivitas kegiatan
belajar mengajar yang diprasyaratkan antara lain adalah kondisi belajar
yang diciptakan sekolah itu diperoleh melalui evaluasi. Hasil evaluasi
yang diperoleh itu dapat dipakai sekolah untuk mengintrospeksi diri
dan untuk melihat sejauhmana kondisi belajar sehingga dapat tercipta
pembelajaran yang baik.
e. Makna bagi orang tua peserta didik
Semua orang tua ingin melihat sejauhmana tingkat kemajuan
yang dicapai anaknya di sekolah, meskipun pengetahuan itu tidak
menjamin adanya upaya dari mereka untuk meningkatkan kemajuan
anaknya.
27
B. Pembelajaran Mata Pelajaran Fiqih
1. Pengertian Pembelajaran Fiqih
Sebelum penulis menjelaskan pengertian pembelajaran mata
pelajaran fiqih terlebih dahulu penulis akan menjelaskan beberapa
pengertian tentang belajar.
Belajar menurut Uzer Usman bahwa:
Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungan, sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya.37
Gordon H. Bower, Ernes R. Hilgard mengemukakan bahwa:
Learning refers to the change in a subject’s behavior or behavior potential to a given situation brought about by the subject’s repeated experiences in that situation, provided that the behavior change cannot be explained on the basis of the subject’s native response tendencies, maturation, or temporary states.38 Belajar menunjukkan pada perubahan tingkah laku subyek atau tingkah laku yang potensial menjadi sebuah keadaan atau kondisi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman berulang-ulang subyek dalam situasi tertentu, hal ini memberi penjelasan bahwa perubahan tingkat laku itu, tidak dapat dijelaskan dari dasar.
Kemudian untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman maka
definisi tentang pembelajaran adalah:
Pembelajaran menurut Mulyasa: “Pembelajaran adalah proses
interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi
perilaku ke arah yang lebih baik”.39 Dalam interaksi tersebut banyak sekali
yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri
individu, maupun eksternal yang datang dari lingkungan.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas): “Pembelajaran adalah proses interaktif
37 Moh. Uzer Usman, Lilis Setiawati, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 4. 38 Ernest R. Hilgard, Gordon H. Bower, Theories of Learning, (USA: Prentice Hall, Inc.,
Englewood Cliffs, 1981), hlm. 11. 39 Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
2004), hlm. 100.
28
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar”.40
Kemudian menurut Annas Mahduri bahwa pembelajaran berarti
kegiatan belajar mengajar yang interaktif yang terjadi antara santri sebagai
peserta didik dan ustadz sebagai pendidik yang diatur berdasarkan
kurikulum yang telah disusun dalam rangka mencapai tujuan tertentu.41
Dengan demikian pembelajaran merupakan aktualisasi kurikulum
yang menuntut keaktivan pendidik dalam menciptakan dan menumbuhkan
kegiatan peserta didik sesuai dengan rencana yang telah diprogramkan.
Kemudian kata Fiqih menurut bahasa bermakna “tahu dan
paham”,42 sedangkan menurut istilah, banyak ahli fiqih (fuqaha’)
mendefinisikan berbeda-beda, tetapi mempunyai tujuan yang sama di
antaranya:
a. Menurut Syekh Muhammad Qasim al-Ghazy:
واصطالحا العلم باالحكام الشرعية العملية , الفقه هو لغة الفهم 43.املكتسب من أدلتها التفصيلية
Fiqih menurut bahasa adalah faham, sedangkan menurut istilah adalah ilmu tentang hukum yang syar’iyyah awaliyah yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci.
b. Kemudian menurut Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqih adalah
pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam mengenai perbuatan
manusia, yang diambil dari dalil secara terperinci.44
Jadi dapat disimpulkan dari definisi-definisi di atas, fiqih adalah
ilmu yang menjelaskan tentang hukum syari’ah yang berhubungan dengan
40 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional(SISDIKNAS), (Yogyakarta: Media Wacana, 2003), bab 1, pasal 1, hlm. 11. 41 Annas Mahduri, (Ketua Tim), Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003), hlm. 73. 42 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1999), hlm. 15. 43 Syekh Muhammad Qasim al-Ghazy, Syarah Fathul Qarib, (Semarang: Pustaka al-
Alawiyah, t.th.), hlm. 3. 44 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991),
hlm. 2.
29
segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan yang diambil
dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil syariat Islam.
Sehingga dapat ditarik pengertian bahwa pembelajaran mata
pelajaran fiqih sebagai proses belajar yang dibangun oleh pendidik untuk
mengembangkan kreativitas berfikir yang dapat meningkatkan
kemampuan berfikir peserta didik, serta dapat meningkatkan kemampuan
membangun pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan
yang baik terhadap materi pelajaran Fiqih.
2. Tujuan Mata Pelajaran Fiqih
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi umat islam untuk
mempelajari fiqih,45 ialah:
a. Untuk mencari kebisaan paham dan pengertian dari agama Islam
b. Untuk mempelajari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan
kehidupan manusia.
c. Memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum Islam agama baik
dalam bidang akidah dan akhlak maupun dalam bidang ibadat dan
muamalat.
3. Materi Mata Pelajaran Fiqih
Materi yang dibahas dalam Ilmu Fiqih meliputi pembahasan
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan individu, masyarakat dan negara,
meliputi Pertama, Fiqih Ibadah yang menjelaskan masalah ketentuan-
ketentuan syari’ah dengan segala syarat dan rukunnya untuk bisa
diterimanya ibadah mahdhah. Muatannya seperti: thaharah, zakat, puasa
dan haji. Kedua, Fiqih Muamalat adalah yang mengatur segala sesuatu
dalam kegiatan kemasyarakatan, yakni tata norma agama yang berisikan
aturan-aturan untuk dipatuhi dalam proses interaksi sosial kemasyarakatan.
Ketiga, Fiqih yang mengatur masalah keluarga, negara, (Fiqih al-Siyasah)
45 Syafii Karim, Fiqih/Ushul Fiqih ,(Bandung: Pustaka Setia, 1997),hlm. 53.
30
lengkap dengan arkanul mustama’nya yang mengatur eksistensi dari
beragamnya organisasi yang muncul dalam kehidupan kemasyarakatan.46
Jadi, materi mata pelajaran Fiqih berisi pokok-pokok mengenai
hubungan manusia dengan Allah (Fiqih al-Ibadah), hubungan manusia
dengan manusia (Fiqih al-Muamalah), hubungan manusia dengan negara
(Fiqih al-Siyasah) dan setiap pokok ilmu Fiqih meliputi materi tersendiri.
4. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran merupakan cara yang dipergunakan untuk
menyampaikan ajaran sampai ke tujuan. Metode-metode inidapat
ditetapkan dalam klasikal maupun non klasikal.
a. Metode Bandungan (Wetonan)
Dilakukan oleh seorang pendidik (ustadz) terhadap
sekelompok peserta didik (santri), untuk mendengarkan dan menyimak
apa yang dibaca dari sebuah kitab.
b. Metode Sorogan
Merupakan kegiatan pembelajaran bagi santri yang lebih
menitikberatkan pada pengembangan kemampuan individu, di bawah
bimbingan seorang ustadz.47
c. Metode Halaqah
Belajar bersama secara diskusi untuk saling mencocokkan
pemahaman mengenai arti terjemahan dari isi kitab.48
d. Metode Ceramah
Metode ceramah ialah sebuah bentuk interaksi edukatif melalui
penerangan dan penuturan secara lisan oleh pendidik atau pendidik
terhadap sekelompok pendengar (peserta didik).49
46 Irfan Hielmy, Modernisasi Pesantren, (Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 92. 47 Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pesantren, (Jakarta: 2003), hlm. 45. 48 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm.144. 49 Zuharini, et.al., op. cit., hlm. 74.
31
e. Metode Tanya Jawab
Suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai bentuk
pertanyaan dijawab peserta didik. Metode ini dapat dikembangkan
ketrampilan: mengamati, mengklasifikasi, menginterpretasi, dan lain-
lain.50
f. Metode Demontrasi
Cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan
suatu ketrampilan dalam pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan
secara perorangan atau kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan
ustadz.51
5. Evaluasi dalam Pembelajaran Mata Pelajaran Fiqh
Evaluasi keberhasilan belajar di pondok pesantren ditentukan oleh
penampilan kemampuan mengajar kitab kepada orang lain. Jika
audiensinya merasa puas, maka santri yang bersangkutan telah lulus.52
Dengan kata lain, bahwa keberhasilan belajar (kelulusan) santri ditentukan
oleh masyarakat. Namun, penilaian tersebut sulit dikembangkan dalam
pendidikan seperti sekarang ini. Lepas dari pro dan kontra, pengembangan
sistem penilaian tidak harus mengikuti model penilaian pendidikan umum,
melainkan dikembangkan sistem penilaian yang komprehensif sesuai
dengan tenaga pendidikan yang ada di pesantren.53
Adapun evaluasi dalam mata pelajaran Fiqih meliputi:
a. Aspek yang dinilai
Penilaian yang dilakukan untuk menilai hasil dari suatu proses
belajar mengajar dan hasil belajar. Adapun sasaran atau aspek
penilaian mata pelajaran Fiqih yang terkandung di dalam tujuan dalam
pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya, meliputi:
50 Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi, dan Aksi,
(Jakarta: Gema Windu Panca Perkasa, 2000), hlm.68. 51 Annas Mahduri (Ketua Tim), op. cit., hlm. 102. 52 Mastuhu, op. cit., hlm. 145. 53 Saefudin Zuhri, “Reformulasi Kurikulum Pesantren”, dalam Ismail SM. (eds.),
Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 104 .
32
1) Aspek kognitif
Yaitu ranah yang mencakup kegiatan mental (otak).54 Yang
mencakup semua materi unsur pokok pendidikan yang disampaikan
kepada peserta didik dalam kegiatan proses belajar mengajar.55
Tingkatan aspek yang harus dicapai oleh peserta didik
sesuai dengan taksonomi Bloom yaitu:
1) Pengetahuan (knowledge), adalah kemampuan seseorang untuk
mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali
tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya,
tanpa mengharapkan kemampuan untuk menggunakannya.56
Contohnya adalah peserta didik dapat menghafal surat Al-
Baqarah ayat 34, menerjemahkan dan menuliskannya secara
baik dan benar, sebagai salah satu materi pelajaran Fiqih yang
diberikan oleh pendidik.
2) Pemahaman (Comprehension), adalah kemampuan seseorang
untuk mengerti dan memahami sesuatu setelah sesuatu itu
diketahui dan diingat.57 Peserta didik dapat dikatakan
memahami sesuatu apabila dapat memberikan penjelasan lebih
rinci tentang suatu hal dengan menggunakan kata-katanya
sendiri. Contohnya peserta didik dapat menguraikan makna
shalat yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 34 secara
lancar dan jelas.
3) Penerapan (application), adalah penggunaan abstraksi pada
situasi konkret atau situasi khusus.58 Pada tingkatan ini
merupakan proses berfikir yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pemahaman. Contohnya peserta didik mampu
54 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 49. 55 Departemen Agama RI, Petunjuk Teknik…op. cit., hlm. 46. 56 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 50. 57 Ibid. 58 Nana Sudjana,Penilaian Hasil……. op. cit. hlm. 25.
33
memikirkan penerapan tentang konsep shalat dalam kehidupan
sehari-hari.
4) Analisis (analysis), adalah usaha memilah suatu integritas
menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas
hierarkinya dan atau susunannya.59 Contohnya peserta didik
dapat merenung dan memikirkan tentang wujud nyata dari shalat
seorang siswa di rumah, sekolah dan kehidupan sehari-hari
sebagai bagian dari ajaran Islam.
5) Sintesis (synthesis), menunjuk pada suatu kemampuan untuk
menghimpun atau menyatukan bagian-bagian atau elemen-
elemen untuk membentuk pola baru.60 Contoh hasil belajar pada
tingkat ini adalah peserta didik dapat menuliskan karangan
tentang pentingnya shalat sebagaimana telah dianjurkan dalam
Islam.
6) Evaluasi (Evaluation), merujuk pada kemampuan untuk
memutuskan atau menentukan nilai suatu materi (pernyataan,
novel, puisi, laporan penelitian) untuk suatu tujuan yang telah
ditentukan.61 Contohnya peserta didik mampu menimbang-
nimbang tentang manfaat yang dapat dipetik oleh seseorang
melakukan shalat dan dapat menunjukkan akibat negatif yang
akan menimpa jika tidak shalat, sehingga pada akhirnya sampai
pada kesimpulan penilaian, bahwa shalat merupakan perintah
Allah yang wajib dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
2) Aspek afektif
Kemampuan afektif berhubungan dengan perasaan, emosi,
sistem nilai, dan sikap hati yang menunjukkan penerimaan atau
penolakan terhadap sesuatu.62 Penilaian dalam bentuk afektif lebih
59 Ibid, hlm. 27. 60 Hisyam Zaini, dkk, Desain Pembelajaran Di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga,2002),hlm.70. 61 Ibid. 62 R. Ibrahim, Nana Syaodih Sukmadinata, op. cit., hlm. 76.
34
ditekankan kepada unsur pokok pengalaman sehari-hari melalui
tingah laku perbuatan.63
Jenjang pada aspek ini meliputi:
a) Menerima (receiving), kemampuan peserta didik yang mengacu
kepada kesukarelaan memperhatikan dan memberikan respon
terhadap stimulasi yang tepat.64 Pada jenjang ini peserta didik
dibina agar bersedia menerima nilai-nilai yang diajarkan, dan
mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu. Contoh
hasil belajar pada jenjang ini peserta didik menyadari bahwa
shalat harus ditegakkan, dan sifat malas harus disingkirkan jauh-
jauh.
b) Menanggapi (responding), kemampuan yang dimiliki peserta
didik yang mengacu kepada keikutsertaan secara aktif menjadi
peserta dan tertarik.65 Pada jenjang ini peserta didik tidak hanya
ikut serta akan tetapi juga dapat melakukan reaksi dalam
fenomena yang terjadi. Contohnya peserta didik tumbuh
hasratnya untuk lebih mempelajari lebih jauh atau menggali
lebih dalam lagi ajaran-ajaran Islam tentang shalat.
c) Menilai (evaluating), jenjang ini bertalian dengan nilai yang
dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena, atau tingkah
laku tertentu, pada jenjang ini mulai dari hanya sekedar
penerimaan nilai sampai ketingkat komitmen yang lebih
tinggi.66 Contoh hasil belajar pada jenjang ini adalah tumbuhnya
kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk melakukan
shalat.
d) Mengorganisasi (organization), kemampuan yang mengacu
kepada penyatuan nilai yang menimbulkan suatu sikap
63 Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis … loc. cit. 64 Arnie Fajar, Portofolio dalam Pelajaran IPS, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm. 225. 65 Ibid. 66 Daryanto, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 117.
35
tertentu.67 Dalam mengorganisasikan ini merupakan
pengembangan dari nilai ke dalam suatu sistem organisasi,
termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan
prioritas nilai yang telah dimilikinya.
e) Membentuk watak (characterization), kemampuan yang
mengacu pada karakter dan gaya hidup seseorang.68 Nilai-nilai
berkembang dengan tertentu sehingga tingkah laku menjadi
lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan, pada tingkatan ini
terjadi adanya hubungan antara ketentuan pribadi, sosial, dan
emosi siswa. Contoh hasil belajar pada jenjang ini peserta didik
memiliki kebulatan sikap untuk menjadikan perintah Allah yang
tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 34 sebagai
pegangan hidupnya menyangkut shalat.
Untuk mengukur hasil belajar yang berupa sikap paling
tepat dipakai skala sikap, skala sikap yaitu sejenis angket tertutup
di mana pertanyaan/pernyataan mengandung sifat-sifat dari nilai-
nilai yang menjadi tujuan pengajaran.69
3) Aspek psikomotor
Ranah psikomotorik berhubungan erat dengan kerja otot
sehingga menyebabkan geraknya tubuh atau bagian-bagiannya.70
Penilaiannya menekankan kepada pelaksanaan pengalaman. Aspek
ini lebih ditekankan pada unsur pelaksanaan ibadah seperti: shalat,
puasa dan sebagainya.71
Aspek psikomotorik meliputi:
a) Peniruan, yaitu ketrampilan untuk menirukan ketrampilan tertentu.
b) Pemanfaatan, yaitu kemampuan untuk menggunakan ketrampilan-ketrampilan yang telah berhasil ditirukan dalam situasi yang tepat.
67 Ibid. 68 Ibid. 69 Slameto, op. cit., hlm. 124. 70 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 122. 71 Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis … loc. cit.
36
c) Kecermatan/ketepatan, yaitu kemampuan untuk menggunakan ketrampilan-ketrampilan tersebut secara cermat/tepat.
d) Naturalisasi, yaitu kematangan dari ketrampilan-ketrampilan sehingga menjadi otomatis dan natural (tidak kaku).72
Hasil belajar psikomotorik merupakan kelanjutan dari hasil
belajar kognitif dan hasil belajar afektif, kedua hasil belajar tersebut
akan menjadi hasil belajar psikomotorik apabila peserta didik telah
menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna
yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya.
Untuk mengukur aspek psikomotorik adalah menggunakan
teknik non tes yakni dengan observasi, suatu upaya untuk mengukur
hasil belajar peserta didik melalui pengamatan, sedangkan peserta
didik diukur kemampuannya diminta untuk melakukan atau
mempraktekkan sesuatu. Dalam praktek, metode observasi harus
dilengkapi dengan instrumen lain yaitu daftar check, skala
penilaian, catatan kegiatan khusus.73 Contoh penilaian dengan skala
penilaian terhadap mata pelajaran Fiqih mengenai ketrampilan
berwudlu sebagai dalam tabel berikut:
Tabel 2.2
Tabel Penilaian Dengan Skala Penilaian Terhadap Mata
Pelajaran Fiqih Mengenai Ketrampilan Berwudlu74
No. Jenis perilaku/ketrampilan Ya 1. Santri membersihkan semua kotoran di
sekitar muka (0) 1 2 3 4
2. Santri berkumur sebelum berwudlu 0 1 2 3 4 (4) 3. Santri membaca do’a sebelum berwudlu 0 1 2 (3) 4 4. Santri membasuh muka hingga merata 0 1 2 3 (4) 5. Santri membasuh kedua tangan hingga
siku 0 1 2 (3) 4 6. Santri membasuh sebagian kepala 0 1 2 3 (4) 7. Santri membasuk kedua telapak kaki 0 1 2 (3) 4
72 Mastuki (et al.), Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm.
103. 73 Ibid., hlm. 105. 74 Ibid., hlm. 107.
37
hingga tumit 8. Santri membasuh 1-7 tersebut sebanyak 3
kali 0 1 2 (3) 4
9. Santri mmebaca doa setelah berwudlu (0) 1 2 3 4 Jumlah Skor 25
b. Waktu pelaksanaan evaluasi
Jenis penilaian dalam prosedur pelaksanaan evaluasi untuk
mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar dalam mata pelajaran
Fiqih selama pembelajaran perlu membuat alat informasi berupa
tagihan dan pelaksanaan penilaiannya dapat dilakukan pada tahap
waktu yang berbeda.
1) Pertanyaan lisan di kelas.75 Materi yang ditanyakan berupa
pemahaman konsep, prinsip atau teorema. Pertanyaan ini dapat
dilakukan pada awal atau akhir pelajaran.
2) Kuis. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta didik dalam waktu
yang terbatas, misal kurang lebih 15 menit. Pertanyaan berupa
pilihan atau jawaban singkat. Waktu pelaksanaan pada umumnya
di awal pembelajaran.76
3) Ulangan Harian
Ulangan harian merupakan ulangan yang mencakup kajian
satu bahasan atau beberapa pokok bahasan.77 Dapat dilakukan
secara periodik, misal satu atau dua kali setiap materi pokok selesai
diajarkan. Penilaian hasil belajar pada ulangan harian bertujuan
untuk mengetahui sejauhmana penguasaan peserta didik terhadap
materi sesuai dengan tujuan pembelajaran telah ditentukan dan
hasilnya untuk memperbaiki proses belajar selanjutnya.
75 Martinis Yamin, Pengembangan Kompetensi Pebelajar, (Jakarta: UI Press, 2004), hlm.
149. 76 Ibid., hlm. 150. 77 Departemen Agama RI., Petunjuk Teknis … op. cit., hlm. 49.
38
Ulangan harian dapat disamakan dengan evaluasi formatif.78
Dalam bentuk soal bisa menggunakan obyektif maupun subyektif.
4) Tugas Individu dan kelompok. Tugas individu dapat diberikan
setiap minggu dalam bentuk tugas atau soal uraian baik obyektif
maupun non obyektif. Sedangkan tugas kelompok diberikan untuk
menilai kemampuan pembelajaran dalam kerja kelompok. Bentuk
soal yang digunakan uraian.79
5) Ujian Praktek. Digunakan untuk mengetahui penguasaan akhir
peserta didik terhadap materi pelajaran pada tingkat kognitif dan
psikomotorik. Tugas ini diberikan kaitannya dengan praktek di
laboratorium.80
6) Ulangan Semester
Merupakan ulangan yang mencakup bahan kajian seluruh
pokok bahasan. Selain untuk mengetahui tingkat pencapaian
peserta didik terhadap bahan kajian yang telah dipelajari, juga
untuk menentukan kemajuan atau hasil belajar masing-masing
peserta didik. Hasil penjelasan tersebut digunakan untuk keperluan
laporan pada orang tua dan keperluan administrasi lainnya.81
Ulangan semester pada umumnya dikenal dengan evaluasi
sumatif. Menurut Anita E. Woolfolk, bahwa “Summative
assessment occurs at the end of instruction. Its purpose is to let the
teacher and the students know the level of accomplishment
attained”.82 Artinya: Evaluasi sumatif dilaksanakan setelah selesai
pengajaran. Evaluasi sumatif ditujukan agar pendidik dan para
peserta pendidik tahu tatanan prestasi yang dihasilkan.
Sedangkan menurut Anas Sudijono, bahwa:
78 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 71. 79 Martinis Yamin, loc. cit. 80 Ibid., hlm. 151. 81 Ibid., hlm. 50. 82 Anita E. Woolfalk, Educational Psychology, (United States of America : Allyn &
Bacon, 1995), hlm. 551
39
Tes sumatif adalah tes yang dilaksanakan setelah sekumpulan program pelajaran selesai diberikan (berakhir), dengan kata lain, evaluasi yang dilaksanakan setelah seluruh unit pelajaran selesai diajarkan.83
Dalam setiap semester minimal bisa dilakukan dua kali
yakni pada pertengahan semester dan akhir semester.
7) Ujian Akhir
Menguji kemampuan peserta didik dari kelas awal sampai
kelas akhir. Ujian akhir bisa bersifat nasional, regional, maupun
lokal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hasil penilaian tahap
akhir ini dapat digunakan untuk bahan pertimbangan kelulusan
peserta didik yang dinyatakan telah menyelesaikan pendidikan.84
83 Anas Sudijono, op. cit., hlm. 23. 84 Ibid., hlm. 51.