bab ii diskripsi umum tentang bimbingan konseling...

34
17 BAB II DISKRIPSI UMUM TENTANG BIMBINGAN KONSELING ISLAM DAN KESEHATAN MENTAL A. Konsep Dasar Bimbingan Konseling Islam Dasar dari pemikiran Bimbingan Konseling Islami berangkat dari asumsi agama itu merupakan kebutuhan fitri dari semua manusia. Allah telah menciptakan manusia dan telah meniupkan ruh-Nya, sehingga iman kepada Allah merupakan sumber ketenangan, keamanan dan kebahagiaan manusia. Sebaliknya dalam paradigma ini, maka ketiadaan iman kepada Allah merupakan sumber kegelisahan dan kesengsaraan bagi manusia (Mubarok : 2002, 74-75), oleh karena itulah, dalam pandangan Islam manusia menduduki statusnya sebagai, makhluk beragama (Qs. Adz-Dzriyat : 51-56). Kedudukan manusia sebagai makhluk beragama telah mengantarkannya sebagai makhluk yang mampu melakukan hubungan vertikal dengan melaksanakan kewajiban terhadap Allah SWT sekaligus hubungan horisontal sebagai anggota komunitas sosial (Qs. Al-Hujurat : 13), untuk melaksanakan kedua statusnya sebagai makhluk bergama dan makhluk sosial tersebut, Allah SWT telah mengaruniakan kepada manusia potensi Jasmani dan Rohani (Qs. Shadd : 71- 72) (Musnamar : 1992, 7-9). Namun demikian, tidak semua manusia mampu memaksimalkan potensi tersebut, sehingga banyak diantaranya yang tidak mampu mengatasi problem hidup, yang kemudian berdampak terhadap munculnya manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk membantu

Upload: doandan

Post on 29-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

DISKRIPSI UMUM TENTANG BIMBINGAN KONSELING ISLAM DAN

KESEHATAN MENTAL

A. Konsep Dasar Bimbingan Konseling Islam

Dasar dari pemikiran Bimbingan Konseling Islami berangkat dari

asumsi agama itu merupakan kebutuhan fitri dari semua manusia. Allah telah

menciptakan manusia dan telah meniupkan ruh-Nya, sehingga iman kepada

Allah merupakan sumber ketenangan, keamanan dan kebahagiaan manusia.

Sebaliknya dalam paradigma ini, maka ketiadaan iman kepada Allah

merupakan sumber kegelisahan dan kesengsaraan bagi manusia (Mubarok :

2002, 74-75), oleh karena itulah, dalam pandangan Islam manusia menduduki

statusnya sebagai, makhluk beragama (Qs. Adz-Dzriyat : 51-56). Kedudukan

manusia sebagai makhluk beragama telah mengantarkannya sebagai makhluk

yang mampu melakukan hubungan vertikal dengan melaksanakan kewajiban

terhadap Allah SWT sekaligus hubungan horisontal sebagai anggota

komunitas sosial (Qs. Al-Hujurat : 13), untuk melaksanakan kedua statusnya

sebagai makhluk bergama dan makhluk sosial tersebut, Allah SWT telah

mengaruniakan kepada manusia potensi Jasmani dan Rohani (Qs. Shadd : 71-

72) (Musnamar : 1992, 7-9). Namun demikian, tidak semua manusia mampu

memaksimalkan potensi tersebut, sehingga banyak diantaranya yang tidak

mampu mengatasi problem hidup, yang kemudian berdampak terhadap

munculnya manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk membantu

18

menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dalam hal ini layanan bimbingan

konseling merupakan bagian yang sangat tepat, bahkan ada ahli yang

mengatakan bahwa : “Layanan konseling merupakan jantung hati dari usaha

bimbingan secara keseluruhan (conseling is the heart of guidance program).

Oleh karena itu para petugas dalam bidang bimbingan dan konseling kiranya

perlu memahami dan dapat melaksanakan usaha layanan konseling itu dengan

sebaik-baiknya (Sukardi : 1985, 11).

Bila ditinjau dari sejarah perkembangan Ilmu Bimbingan dan

Konseling di Indonesia, maka sebenarnya istilah konseling pada awalnya

dikenal dengan istilah “ penyuluhan “ yang merupakan terjemahan dari istilah

“counseling”. Penggunaan istilah “penyuluhan” sebagai terjemahan

“counseling” ini dicetuskan oleh Tatang Mahmud seorang pejabat Departemen

Tenaga Kerja Republik Indonesia pada tahun 1953 (Hellen : 2002, 1) Dalam

usahanya, Tatang Mahmud untuk mencarikan terjemahan istilah “Counseling”

ini dengan Istilah “penyuluhan” itu tidak ada yang membantahnya, maka sejak

saat itu populerlah istilah “counseling”. Akan tetapi dalam perkembangan

bahasa Indonesia selanjutnya, pada tahun 1970 sebagai awal dari masa

pembangunan orde baru, istilah “penyuluhan” yang merupakan terjemahan

dari kata “counseling” dan mempunyai konotasi “psyicological-counseling”,

banyak pula yang dipakai dalam bidang-bidang lain, seperti penyuluhan

pertanian, penyuluhan KB, penyuluhan gizi, penyuluhan hukum, penyuluhan

agama, dan lain sebagainya yang cenderung diartikan sebagai pemberian

19

penerangan atau informasi, bahkan kadang-kadang dalam bentuk pemberian

ceramah atau pemutaran film saja.

Menyadari perkembangan pemakian istilah yang demikian, maka

sebagian para ahli bimbingan dan penyuluhan Indonesia yang tergabung

dalam Organisasi Profesi IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia) mulai

meragukan ketepatan penggunaan istilah “penyuluhan” sebagai terjemahan

dari istilah “counseling” tersebut. Sebagian dari mereka berpendapat,

sebaiknya istilah penyuluhan itu dikembalikan ke istilah aslinya yakni

“counseling”. Sebagian lagi ada yang menggunakan istilah lain, seperti

wawanwuruk, dan wawancara. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut,

saat ini yang paling populer adalah caunseling (Hellen : 2002, 1).

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam

Secara umum wacana tentang bimbingan dan konseling dapat

didefinisikan sebagai berikut : pertama, menurut Prayitno bimbingan dan

konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui

wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu

yang sedang mengalami suatu masalah (disebut klien), yang bermuara

pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (Priyatno dkk : 1999, 104).

Kedua, menurut Bruse Selter : Bimbingan dan konseling adalah suatu

proses interaksi yang memudahkan pengertian diri dan lingkungan serta

hasil-hasil pembentukan dan atau klarifikasi tujuan-tujuan dan nilai-nilai

yang berguna bagi tingkah laku yang akan datang (Shretzer dkk : 1968,

26). Ketiga, menurut Ketut Sukardi : bimbingan dan konseling adalah

20

merupakan bantuan yang diberikan kepada individu (seseorang) atau

kelompok (sekelompok orang) agar mereka itu dapat mandiri, melalui

berbagai bahan, interaksi, nasehat, gagasan, alat dan asuhan yang

didasarkan atas norma-norma yang berlaku (Sukardi : 1995, 3). Keempat,

menurut Latipun : bimbingan dan konseling adalah proses yang

melibatkan seseoarang profesional berusaha membantu orang lain dalam

mencapai pemahaman diri (self understanding), membuat keputusan dan

pemecahan masalah (Latipun : 2001, 5). Kelima, menurut Hasan

Langgulung : bimbingan dan konseling adalah proses yang bertujuan

menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi sosial yang

belum sampai pada tingkat kegoncangan psikologis atau kegoncangan

akal, agar ia dapat menghindari diri dari padanya (Langgulung : 1986,

452). Keenam, menurut Bimo Walgito : bimbingan dan konseling adalah

bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan

individu-individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di

dalam kehidupannya agar individu atau sekumpulan individu-individu itu

dapat mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito : 1995, 4).

Dari beberapa diskripsi di atas dapat dipahami bahwa bimbingan

dan konseling secara umum adalah suatu proses pemberian bantuan yang

dilakukan oleh seorang ahli kepada seorang atau beberapa orang, agar

mampu mengembangkan potensi bakat, minat, dan kemampuan yang

dimiliki, mengenali dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan

sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara

21

bertanggung jawab tanpa bergantung kepada orang lain (Kartono : 2002,

115).

Setelah mengetahui pengertian bimbingan dan konseling secara

umum, maka perlu juga dikemukakan pengertian bimbingan dan konseling

dari sudut pandang Islam. Menurut Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan

Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar

mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai

kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Faqih : 2001, 4), sedangkan menurut

Hallen, Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu usaha membantu

individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan Fitrah

beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari peranannya

sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk menyembah mengabdi

kepada Allah SWT sehingga akhirnya tercipta kembali hubungan yang

baik dengan Allah, dengan manusia dan alam semesta (Hellen : 2002, 22).

Sedangkan menurut Hamdani Bakran, Bimbingan dan Konseling Islam

adalah suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman

kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana

sehingga seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya,

kepribadiannya, keimanan dan keyakinannya sehingga dapat

menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri

yang berpandangan pada Al-Qur’an dan As- Sunnah Rasulullah

SAW(Adz-Dzaky : 2001, 137).

22

Bila ketiga definisi konseling di atas dianalisis dengan

menggunakan konsep unsur-unsur konseling milik Pietrofesa, menurut

Mapiare (1992, 16-17) dimana unsur konseling itu meliputi : suatu proses,

adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional, membantu orang

lain, untuk pemahaman diri, pembuatan keputusan dan pemecahan

masalah, pertemuan dari hati ke hati dan hasilnya sangat bergantung pada

kualitas hubungan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak satupun

dari ketiganya yang mampu memenuhi keenam unsur tersebut. Rata-rata

kegiatannya hanya mampu memenuhi unsur pertama, ketiga dan keempat.

Sementara itu unsur-unsur kedua, kelima dan keenam tercover. Oleh sebab

itulah, definisi Bimbingan dan Konseling Islam yang penulis rumuskan di

bawah ini diharapkan mampu memenuhi keenam unsur tersebut. Menurut

penulis Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu proses hubungan

pribadi yang terprogram, antara seorang konselor dengan satu atau lebih

klien dimana konselor dengan bekal pengetahuan profesional dalam

bidang keterampilan dan pengetahuan psikologis yang dikombinasikan

dengan pengetahuan keislamannya membantu klien dalam upaya

membantu kesehatan mental, sehingga dari hubungan terebut klien dapat

menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri

yang berpandangan pada Al-Qura’an dan As-Sunnah”.

2. Landasan dan Fungsi Bimbingan Konseling Islam

Landasan utama bimbingan konseling Islam adalah Al-Qur’an

dan Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber pedoman dan otoritas

23

puncak umat Islam (Rachman : 1996, 3). Jika Al-Qur’an dan Sunnah

merupakan landasan utama yang diposisikan sebagai landasan naqliyah

maka landasan lain yang digunakan bimbingan konseling Islam yang

sifatnya aqliyah adalah filsafat dan ilmu (Muhadjir : 2001, 15). Falsafah

disini terdiri dari falsafah tentang manusia, kehidupan, pernikahan dan

keluarga, pendidikan, masyarakat dan kehidupan bermasyarakat dan

falsafah kerja, sedangkan ilmu terdiri dari ilmu jiwa (psikologi), ilmu

syariah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi, dll).

Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam menurut Thohari

Musnamar meliputi empat fungsi, yaitu : fungsi preventif, yakni

membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi

dirinya, fungsi kuratif atau korektif, yakni membantu individu

memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya, fungsi

preservatife, yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi

yang semula tidak baik (mengandung masalah) yang telah menjadi baik

(terpecahkan) itu kembali menjadi tidak baik (menimbulkan masalah

kembali) dan fungsi development atau pengembangan, yakni membantu

individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah

baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkan menjadi

sebab munculnya masalah baginya (Musnamar : 1992, 34).

3. Asas-asas Bimbingan Konseling Islam

Dalam setiap kegiatan yang dilakukan, seharusnya ada suatu asas

atau dasar yang melandasi dilakukannya kegiatan tersebut, atau dengan

24

kata lain, ada asas yang dijadikan dasar pertimbangan. Demikian pula

halnya dalam kegiatan bimbingan konseling Islam, ada asas yang

dijadikan dasar pertimbangan kegiatan itu. Menurut Tohari Musnamar ada

lima belas asas yang terdiri dari asas kebahagiaan dunia dan akherat, asas

fitrah, asas lillahi ta’ala, asas bimbingan seumur hidup, asas kesatuan

jasmani dan rohani, asas keseimbangan rohaniah, asas kemaujudan

individu, asas sosialitas manusia, asas kekhalifahan manusia, asas

keselarasan dan keadilan, asas pembinaan akhlaqul karimah, asas kasih

sayang, asas saling menghargai dan menghormati dan asas musyawarah

serta asas keadilan (Musnamar : 1992, 20-32).

B. Kesehatan Mental

Pada bagian ini akan dikaji pengertian kesehatan mental dari berbagai

tokoh yang berkompeten dengan berbagai varian dan konsepnya.

1. Pengertian Kesehatan Mental

Sebagai sebuah disiplin keilmuan di bidang psikologi, kesehatan

mental atau hygiene mental adalah ilmu yang mempelajari masalah

kesehatan mental dan bertujuan untuk mencegah serta mengobati

(menyembuhkan) individu dari gangguan kejiwaan (Kartono dkk : 1989,

3). Sebagai kondisi kejiwaan manusia, kesehatan mental memiliki banyak

pengertian. Hal ini disebabkan karena adanya pemaknaan kesehatan

mental dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi empirik tertentu yang

merupakan bagian dari teori kesehatan mental (Mujib dkk : 2001, 133).

25

Di balik keanekaragaman konsep mengenai kesehatan jiwa,

beberapa ahli mengemukakan semacam orientasi umum dan pola-pola

wawasan kesehatan mental. Saparinah Sadli dalam Suroso (2001, 132).

mengemukakan tiga orientasi kesehatan mental, yakni : pertama, orientasi

klasik : seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai keluhan tertentu

seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak

berguna yang semuanya menimbulkan perasaan sakit atau rasa tidak sehat.

Serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak

dianut di lingkungan kedokteran. Kedua, orientasi penyesuaian diri :

seseorang dianggap sehat mental bila ia mampu mengembangkan dirinya

sesuai dengan tuntutan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya.

Ketiga, orientasi pengembangan potensi : seseorang dianggap mencapai

taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan

potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang

lain dan dirinya sendiri.

Di sisi lain Zakiyah Daradjat mengemukakan lima buah rumusan

kesehatan mental yang lazim dianut oleh para ahli, yakni (Daradjat : 1984,

3-4).

a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa

(neurosis) dan penyakit jiwa (psikosis).

b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

dirinya sendiri orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia

hidup.

26

c. Kesehatan mental adalah keharmonisan yang sungguh-sungguh antara

fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi

problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan

dan konflik batin.

d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan

untuk mengembangkan serta memanfaatkan potensi, bakat, dan

pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa

kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan

dan penyakit jiwa.

e. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-

sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian

diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungan, berlandaskan

keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan mencapai hidup yang

bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.

Menurut Hanna Jumhanna Bastaman (2001, 133-134) kesehatan

mental memiliki empat pola wawasan. Pertama : pola wawasan simptomatis,

dimana mental yang sehat ditandai dengan bebasnya seseorang dari gejala-

gejala gangguan kejiwaan. Kedua : pola wawasan penyesuaian diri, yang

menekankan pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri sebagai

unsur utama kesehatan mental. Ketiga : pola wawasan pengembangan potensi,

di mana mental yang sehat terjadi bila individu mampu mengembangkan

potensi yang dimilikinya sehingga mendatangkan manfaat, dan keempat : pola

wawasan berorientasi agama, berpandangan bahwa agama atau kerohaniaan

27

memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan mental. Dalam perspektif ini

kesehatan mental diperoleh sebagai hasil dari keimanan dan ketakwaan kepada

Tuhan, serta penerapan ajaran agama dalam hidup.

Atas dasar keempat pola wawasan ini, Bastaman menarik kesimpulan

bahwa tolak ukur kesehatan mental ada empat yang meliputi (El-Qudsi : 1989,

34-48) : pertama, bebas dari ganguan dan penyakit kejiwaan. Kedua, mampu

menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat

dan menyenangkan. Ketiga, mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat,

kemampuan, sikap sifat dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri

sendiri dan lingkungan. Keempat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta

berupaya menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Sesuai dengan kemajuan pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan

mental mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian terhadap kesehatan

mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada gangguan dan penyakit jiwa.

Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang

mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental

tersebut diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketentraman dan

kebahagiaan.

Dari sini dapat dipahami bahwa kesehatan mental tidak hanya

memanifestasikan diri dalam menampakkan tanda-tanda tanpa adanya

gangguan batin saja, akan tetapi posisi pribadinya juga harmonis dan baik,

selaras dengan dunia luar dan di dalam dirinya sendiri, dan baik harmonis pula

dengan lingkungannya. Dengan demikian, orang yang sehat mentalnya itu

28

secara mudah bisa melakukan adaptasi (penyesuaian diri), selalu aktif

berpartisipasi, bisa menerapkan diri dengan lancar pada setiap perubahan

sosial, selalu baik melaksanakan realisasi diri dan senantiasa dapat menikmati

kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya (Kartono dkk : 1989, 6).

Dari beberapa pengertian kesehatan mental yang telah diungkap di

atas, menunjukan bahwa ternyata pengertian kesehatan mental sangat luas.

Namun demikian itu belum mencakup seluruh bidang kehidupan manusia.

Manusia hidup mempunyai pegangan hidup yaitu agama, sedangkan

pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, tidak menyangkut atau

menyinggung aspek agama. Padahal agama merupakan petunjuk bagi manusia

serta menghendaki manusia memperoleh ketentraman hati, kedamaian dan

kebahagiaan hidupnya. Pada posisi inilah, Zakiyah Daradjat, memberikan

definisi mengenai kesehatan mental sebagai berikut :

Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. Dengan rumusan lain kesehatan mental ialah suatu ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, baik hubungannya dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan (Daradjat : 2001, 4).

Dengan masuknya aspek agama, seperti keimanan dan ketakwaan

terhadap Tuhan dalam kesehatan mental, pengertiannya menjadi lebih luas,

karena sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Aspek agama dalam

perumusan kesehatan mental sudah seharusnya dimasukkan, karena agama

29

memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Agama merupakan

salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang

yang merindukan ketentraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia

akan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak terpenuhi kecuali dengan

agama.

Memahami masalah kesehatan mental secara luas adalah penting di

zaman ini. Hal ini dikarenakan walaupun kemajuan ilmu teknologi, dan

industrialisasi dapat memberikan kemudahan dan kesenangan kepada manusia

tetapi semuanya itu belum dapat menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan

jiwa. Ini disebabkan kemajuan yang membawa pada perubahan dalam

kehidupan sosial dan budaya manusia dan sudah barang tentu mempengaruhi

kehidupan jiwa. Semakin maju kebudayaan dan peradaban, semakin kompleks

pula masalah dan kebutuhan hidup manusia. Adalah suatu kenyataan bahwa

kesehatan mental berhubungan dengan berbagai segi kesejahteraan masyarakat

seperti, kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, dan perumahan. Misalnya

kemiskinan dapat membuat kesejahteraan masyarakat terganggu sehingga

mengakibatkan terganggunya kesehatan mental.

Banyak kasus bunuh diri disebabkan bukan saja karena frustasi tetapi

juga karena kemiskinan dan kurangnya tingkat pendidikan yang dimiliki

seseorang. Untuk mengatasi masalah ini agama dapat membantu manusia

mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama membimbing manusia

mencapai kebaikan dan kebahagian di dunia dan akhirat.

30

Berdasarkan uraian diatas, pengertian kesehatan mental yang

dipegang dan dipedomani dalam tulisan ini adalah sebagaimana dirumuskan

oleh Zakiyah Daradjat. Hanya dengan kesehatan mental dalam arti yang luaslah

bisa terwujud kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dalam arti yang

sesungguhnya. Tanpa pengertian demikian, orang mungkin saja mencapai

kondisi mental yang memadai tetapi itu hanya dalam arti semu. Kondisi

kesehatan mental yang sesungguhnya adalah mencakup seluruh aspek

kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, serta ilmu dan agama.

Ada diskripsi menarik dari Organisasi Kesehatan Se-Dunia dalam

memberikan kriteria jiwa atau mental yang sehat. Menurut organisasi ini

mental yang sehat adalah mental yang dapat menyesuaikan diri secara

konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya,

memperoleh kepuasaan dari hasil jerih payah usahanya, merasa lebih puas

memberi daripada menerima, secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas,

berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling

memuaskan, menerima kekecewaaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk

kemudian hari, menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang

kreatif dan konstruktif dan mempunyai rasa kasih sayang yang besar dan pada

tahun 1984, WHO menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu

elemen spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat

adalah tidak hanya dalam arti fisik, psikologi dan sosial, tetapi juga sehat dalam

arti spiritual agama (empat dimensi sehat, bio-psiko-sosial-spiritual) (Hawari

1996, 12).

31

Dari definisi ini dapat diketahui bahwa peranan agama sangat penting

dalam kesehatan mental. Adanya unsur keimanan dan ketakwaan menambah

keyakinan kita untuk menjaga kesehatan mental. Keimanan dan ketakwaan di

sini adalah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, karena dengan beriman

dan bertakwa kepada-Nya manusia dengan mudah dapat mengatasi segala

gangguan dan penyakit mental, demi terwujudnya harapan manusia mencapai

hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks kekinian kesehatan

mental menjadi hal yang menarik karena ada tantangan modernitas yang kian

komplek yang memacu manusia untuk sekuat tenaga berakselerasi dengan

zaman. Dari sinilah konsekwensi-konsekwensi modernitas muncul. Kalau

diperhatikan manusia dalam kehidupannya memunculkan fenomena yang

bermacam-macam yang terlihat. Ada orang yang kelihatannya selalu berbicara

dan bahagia, walau apapun keadaan yang dihadapinya, dia disenangi orang,

tidak ada orang yang membencinya dan pekerjaannya selalu berjalan dengan

lancar, sebaliknya ada pula orang yang sering mengeluh dan bersedih hati,

tidak cocok dengan orang lain dalam pekerjaannya, tidak bersemangat serta

tidak dapat memikul tanggung jawab. Hidupnya dipenuhi kegelisahan,

kecemasan, dan ketidakpuasan dan mudah diserang oleh penyakit-penyakit

yang jarang dapat diobati. Mereka tidak pernah merasakan bahagia, di samping

itu adapula orang yang dalam hidupnya suka menganggu, melanggar hak dan

ketengan orang lain, suka mengadu domba, memfitnah, menyeleweng,

menganiaya dan menipu.

32

Gejala-gejala kegelisahaan masyarakat itulah yang mendorong para

ahli ilmu jiwa untuk berusaha menyelidiki apa yang menyebabkan tingkah laku

orang berbeda-beda, meskipun kondisinya sama, juga apa sebabnya ada orang

yang tidak mampu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup ini.

Usaha ini menumbuhkan satu cabang termuda dari ilmu jiwa yaitu kesehatan

mental. Menurut Kartini Kartono (1989, 3-5) dalam Higiene Mental dan

Kesehatan Mental dalam Islam, secara etimologi kesehatan mental (mental

hygiene) berasal dari kata mental dan hygeia. Hygeia ialah nama dewi

kesehatan Yunani dan hygiene berarti ilmu kesehatan, sedangkan mental

berasal dari bahasa latin mens, atau mentis, yang mempunyai arti jiwa, nyawa,

sukma, roh semangat mental hygiene sering disebut pula sebagai psiko-

hygiene. Psyche (dari kata Yunani Psuche) artinya nafas, asas kehidupan,

hidup, jiwa, roh, sukma dan semangat. Menurut Zakiyah Daradjat (2001, 11-

14) dalam Kesehatan Mental banyak pengertian tentang kesehatan mental yang

diberikan oleh para ahli, sesuai dengan pandangan dan bidangnya masing-

masing. Setidaknya ada empat definisi dasar. Pertama, kesehatan mental

adalah terhindarnya orang dari segala gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)

dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose). Definisi yang ini, banyak

mendapat sambutan dari kalangan psikiater (kedokteran jiwa). Menurut definisi

ini, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari segala

gangguan dan penyakit jiwa.

Kedua, kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri

dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di

33

mana ia hidup. Definis kedua ini, bersifat luas dan umum, karena dihubungkan

dengan kehidupan secara keseluruhan. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri

itu, akan membawa orang kepada kenikmatan dan terhindar dari kecemasan,

kegelisahan dan ketidakpuasan. Di sampimg itu, ia penuh dengan semangat dan

kebahagiaan dalam hidup. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri,

harus lebih dulu mengenal diri sendiri dan menerimanya sebagaimana adanya,

lalu bertindak sesuai dengan kemampuan dan kekurangan yang ada. Di

samping itu, orang juga harus mengenal, memahami, dan meneliti orang lain

dari segala segi secara objektif. Jangan melihat dan menilai orang lain secara

subjektif, yaitu menurut perasaan dan ukurannya, tapi usahakanlah melihat

orang dengan ukuran-ukuran orang itu sendiri. Kita harus mengenal

keistimewaan orang di samping kekurangan atau kelemahan-kelemahannya.

Selanjutnya perlu pula diketahui lingkungan, termasuk kaidah-kaidah sosial,

peraturan-peraturan dan ada istiadat, kebiasaan, ajaran agama, undang-undang

dan suasana pada umumnya. Dalam tindakan, pandangan dan apa saja yang

terjadi, orang tidak boleh melupakan di mana oarang berada, agar tindakan kita

tidak bertentangan dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku, serta

menyadari sepenuhnya akan kewajiban kita terhadap lingkungan itu. Menurut

definisi yang kedua ini, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dapat

menguasai segala faktor dalam hidupnya, sehingga ia dapat menghindarkan

tekanan-tekanan perasaan atau hal-hal yang membawa kepada frustasi.

Ketiga, Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang

bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan

34

pembawaannya yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada

kebahagian diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan

penyakit jiwa. Definisi ini mendorong orang memperkembangkan dan

memanfaatkan segala potensi yang ada. Jangan sampai ada bakat yang tidak

bertumbuh dengan baik atau yang digunakan dengan cara yang tidak membawa

kepada kebahagiaan, yang mengganggu hak dan kepentingan orang lain. Bakat

yang tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, akan membawa kepada

kegelisahan dan pertentangan batin. Dalam pergaulan dengan orang atau

keluarganya akan terlihat kaku dan mungkin sekali tidak akan mengindahkan

orang, karena ia merasa menderita, sedih, marah kepada dirinya dan orang lain.

Mungkin pula orang mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakat dan

potensi yang ada padanya dengan baik, tapi kepandaian dan kecerdasannya itu

digunakannya untuk menipu, mengambil hak orang lain, atau menyengsarakan

orang dengan fitnahan yang dibuatnya, maka orang itupun termasuk orang

yang kurang sehat.

Keempat, Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang

sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan

untuk menghadapi problem-probem biasa yang terjadi, dan merasakan secara

positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Fungsi-fungsi jiwa seperti

pikiran, perasaan, sikap jiwa, bekerja sama satu sama lain, sehingga dapat

dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu

dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).

Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan tegas itu dapat dicapai antara

35

lain dengan keyakianan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan

norma-norma agama, sosial, hukum, moral dan sebagainya. Fungsi-fungsi jiwa

dengan semua unsur-unsurnya bertindak menyesuaikan orang dengan dirinya,

dengan orang lain dan lingkungannya. Dalam menghadapi suasana yang selalu

berubah, fungsi-fungsi jiwa akan bekerja sama secara harmonis dalam

menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan tersebut. Dengan demikian

perubahan-perubahan itu tidak akan menyebabkan kegelisahan dan

kegoncangan jiwa. Kadang-kadang perubahan itu sangat besar misalnya

kekayaannya habis, orang yang paling disayangi meninggal dunia, sehingga

melampaui batas kemampuan orang yang tidak kuat, maka timbullah

ketidakharmonisan jiwa, sehingga orang menjadi bingung, murung,

menjauhkan diri dari kehidupan orang banyak, diserang oleh penyakit yang

tidak ada obatnya dan sebagainya.

Dapat dikatakan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya

seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan

diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal

mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya

keharmonisan jiwa dalam hidup.

Kesehatan mental bagaimanapun juga, menurut Zakiyah Daradjat

memiliki kolerasi positif dengan agama dan psikoterapi (Arifin, 2003: 47). Ini

dapat dilihat dari tulisannya yang berjudul “Agama sebagai Terapi terhadap

gangguan kejiwaan” dan “Peran psikoterapi dalam pembinaan

mental”(Daradjat : 1983, 85). Dalam tulisan pertama dia berpendapat bahwa

36

sebenarnya dari dahulu, agama dengan ketentuan dan hukum-hukumnya telah

dapat membendung terjadinya gangguan kejiwaan yaitu dengan

dihindarkannya segala kemungkinan-kemungkinan sikap, perasaan dan

kelakuan yang membawa kepada kegelisahan. Jika terjadi kesalahan yang

akhirnya membawa kepada penyesalan pada orang yang bersangkutan, maka

agama mencari jalan untuk mengembalikan ketenangan batin dengan minta

ampun kepada Tuhan. Dengan cara memberi nasehat dan bimbingan-

bimbingan khusus dalam kehidupan manusia, para pemimpin agama telah

berhasil memperbaiki moral dan menanamkan nilai pentingnya silaturrahmi,

sehingga kehidupan saling menyanyangi. Dalam tulisan yang kedua, dia

berpendapat psikoterapi tidak ditujukan kepada orang yang menderita penyakit

jiwa saja akan tetapi lebih banyak diperlukan oleh orang-orang yang

sebenarnya tidak sakit, akan tetapi tidak mampu menghadapi kesulitan-

kesulitan hidup sehari-hari.

Hubungan antara kesehatan mental, agama dan psikoterapi, secara

lebih lanjut dapat dilihat dalam bukunya Hanna Djumhana Bastaman (2001,

130-131) dalam Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami,

yang merefleksikan pemikiran Victor Frankl. Menurutnya salah satu padangan

mengenai hubungan antara agama dengan kesehatan mental adalah dalam dari

Viktor Frankl. Dalam bukunya mengenai logoterapi ia menunjukkan tiga

bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang

memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya, yaitu nilai-nilai

kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. Dengan memenuhi dan

37

merealisasikan nilai-nilai itu diharapkan seseorang akan menemukan dan

mengembangkan makna hidupnya, sehingga mengalami hidup secara bermakna

yang merupakan pintu terbuka ke arah kebahagiaan (Corey : 1988, 314 - 315).

Agama pada umumnya dapat digolongkan pada nilai-nilai

penghayatan, salah satu nilai yang juga dapat menjadi sumber-sumber makna

hidup dan menjadikan hidup bermakna. Walaupun demikian menurut Frankl

hubungan antara agama dan kesehatan mental tidak merupakana hubungan

kausalitas langsung, seperti dijelaskan dalam skema di bawah ini ;

Mental Health Salvation and Faith

Psychotherapy Religion

Tujuan psikoterapi pada umumnya adalah mengembangkan kehidupan

dengan mental yang sehat (mental health), sedangkan tujuan akhir agama

adalah mengembangkan keimanan dan penyelamatan ruhani. Walaupun

38

keduanya mempunyai tujuan utama yang berlainan, yang satu berdimensi

psikologis dan yang lain berdimensi spiritual, tetapi keduanya mungkin

berkaitan dalam hal akibat sampingnya. Seseorang yang beriman diharapkan

sehat mentalnya, walaupun mungkin tidak selalu demikian. Sebaliknya

seseorang yang sehat mentalnya diharapkan akan lebih terbuka baginya untuk

beriman, sekalipun tidak selalu demikian kenyataannya. Dengan lain

perkataan seorang beriman belum tentu sehat mentalnya, dan orang yang sehat

mentalnya belum tentu beriman. Suatu pernyataan yang masih dapat

diperdebatkan.

Menurut Hasan Langgulung, dalam Teori-Teori Kesehatan Mental

menerangkan kesehatan mental dalam perspektif Qur’an dan Hadist digunakan

dalam berbagai kata yaitu Najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah

(kemakmuran) dan sa’adah (kebahagiaan). Bentuk kesehatan mental dalam

perspektif Islam meliputi dua hal yaitu yang berlaku di dunia ini dan yang

berlaku di akhirat. (Langgulung, 1986 : 444)

Menurut A.F. Jailani dalam Pensucian Jiwa dan Kesehatan Mental

mengemukakan ada dua langkah untuk mencapai kesehatan mental yaitu

pengobatan, pencegahan dan pembinaan. Langkah pengobatan dalam

kesehatan mental adalah usaha-usaha yang ditempuh untuk

menyembuhkan dan merawat orang yang mengalami gangguan dan sakit

kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan wajar kembali. Langkah

pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang digunakan manusia

untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau

39

mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian, manusia dapat

menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan guncangan batin dan

ketidaktentraman hati. Usaha lain di samping merupakan usaha pribadi setiap

orang, juga termasuk usaha pemerintah untuk memperbaiki dan mempertinggi

sisitem kebudayaan dan peradaban. Langkah pembinaan, ditujukan untuk

menjaga kondisi mental yang sudah baik termasuk meliputi cara yang

ditempuh manusia untuk meningkatkan rasa gembira, bahagia, dan

kemampuan menggunakan segala potensi yang ada seoptimal mungkin.

(Jailani, 2000 : 87-88)

2. Pandangan Islam Mengenai Kesehatan Mental

Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam

pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang

sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondisi pribadi yang

matang secara emosional, intelektual dan sosial terutama matang pula

ketuhanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian

dalam Islam menyatakan bahwa betapa pentingnya pengembangan pribadi-

pribadi meraih kualitas “urusan paripurna” yang otaknya sarat dengan ilmu

yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan takwa kepada Allah,

sikap dan tingkah lakunya benar-benar merealisasikannya nilai-nilai ke-

Islaman yang mantap dan teguh, otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap

masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kedamaian dan kasih

sayang. Kesan demikian pasti jiwanyapun sehat, suatu manusia yang bertipe

ideal.

40

Sejak dikembangkan metode-metode dalam psikoterapi yaitu berkaitan

dengan metode mistik dan spiritual, maka agama menjadi standar utama dalam

melihat kesehatan mental seseorang. Tolak ukur dari setiap definisi kesehatan

mental dalam konsepsi agama Islam, sehingga orang-orang yang benar-benar

sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, serta berusaha secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama,

sehingga kehidupannya itu dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia

secara sadar berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti

bakat, kemampuan, sifat serta kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif

(Bastaman : 2001, 135).

Inti utama masalah kesehatan mental menurut Islam adalah bagaimana

menumbuhkembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) serta sekaligus

menghilangkan sifat-sifat tercela (mazmumah) pada pribadi seseorang. Dalam

Islam sifat-sifat mahmudah adalah sifat Ilahiyah sedangkan sifat-sifat

mazmumah adalah sifat syaitaniyah.

Demikian juga pandangan Islam terhadap kesehatan mental antara lain

dapat dilihat peran agama Islam sendiri bagi kehidupan manusia, agama Islam

memberikan tugas dan tujuan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Misalnya tugas dan tujuan manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada

Allah dan menjadi khalifahnya di bumi, yaitu dengan melaksanakan konsep

ibadat dan khalifah, orang yang dapat mengembangkan potensi jiwa dan

memperoleh kesehatan mentalnya. Peranan ajaran Islam demikian dapat

41

membantu orang dalam mengatasi jiwanya dan mencegahnya dari gangguan

kejiwaan serta membina kesehatan mental.

Berdasarkan pemikiran di atas maka setidak-tidaknya ada empat

prinsip keagaman dan falsafah yang mendasari pandangan Islam tentang

kesehatan mental. Pertama, prinsip dan falsafah tentang maksud dan tujuan

Allah menciptakan manusia dan alam semesta. Kedua, keadaan dan sifat-sifat

Allah yang hubungannya dengan sifat-sifat manusia. Ketiga, keadaan amanah

dan fungsi manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini.

Keempat, perjanjian mistaq antara Allah dan manusia sewaktu dilahirkan atau

masih dalam kandungan (Jaya : 1994, 87). Maksud dan tujuan Allah

menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah dalam pengertian

yang luas kegiatannya mencakup aspek kehidupan manusia, baik bersifat

i’tikad, pemikiran, sosial, jasmani, rohani, ahlak dan keindahan.

3. Psikoneurotik Sebagai Gangguan kesehatan Mental

Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa

adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang

berhubungan dengan fisik maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut

tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian badan, meskipun

kadang-kadang gejala terlihat pada fisik. Keabnormalan itu dapat dibagi atas

dua golongan yaitu gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psikose)

(Daradjat, 2001: 26).

Psikoneurotik adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang

bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan

42

perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Psikoneurotik itu

mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa

berdosa atau bersalah, terancam dan lain sebagainya. Juga ada segi-segi yang

terjadi di luar kesadaran yang tidak bisa dihindari perasaan yang tidak

menyenangkan itu.

Gangguan psikoneurotik menciptakan kepuasaan substitutif pada

gejala-gejalanya bagi si penderita, dan hal ini akan menyebabkan penderita

bagi dirinya atau menjadi sumber-sumber penderitaan baginya dengan

meningkatkan taraf kesulitan dalam pergaulan dengan lingkungan dan

masyarakat tempat ia berasal. Fakta selanjutnya akan mudah dipahami, yang

sebelumnya telah memberi kita permasalahan baru. Namun peradaban

menuntut pengorbanan-pengorbanan lain di samping pengorbanan seksual.

Kita telah memperlakukan kesulitan perkembangan kebudayaan

sebagai kesulitan umum proses perkembangan, dengan menelusurinya hingga

ke inersia libido, pada keengganannya untuk menganti posisi lama dengan

yang baru (Tasmara, 1999 : 54).

Seseorang yang mengalami gangguan psikoneurotik kepribadiaanya

sangat terganggu, dan menyebabkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan

wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya, sering kali orang yang

menderita gangguan psikoneurotik ia tidak merasa sakit dan sebaliknya dia

menganggap dirinya normal saja.

Pertama disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh.

Misalnya, otak sentral saraf, atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar,

43

saraf-saraf atau gangguan fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini

mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minuman keras, obat-obat

perangsang atau narkotik, akibat penyakit kotor dan lain sebagainya.

Kedua disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-

larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyesuaian secara wajar atau

dengan kata lain perkataan disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara

menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan

batin, dan sebagainya (Daradjat, 2002: 49).

Dari pemaparan tersebut di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa

seseorang yang mengalami gangguan psikoneurotik, dapat mengganggu

kesehatan mental seseorang. Dan orang senantiasa tidak dapat

mengintegrasikan jiwanya, tidak dapat menyesuaikan kondisi yang ada.

4. Beberapa Prinsip dan Langkah Mencapai Kesehatan Mental

Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan mental ialah fundamen atau

dasar-dasar yang harus ditegakkan manusia guna mendapatkan kesehatan

mental dan terhindar dari gangguan kejiwaaan. Kartini Kartono

mengemukakan beberapa prinsip kesehatan mental yaitu, pertama :

pemenuhan kebutuhan pokok yaitu bahwa setiap manusia memiliki dorongan

untuk memenuhi

kebutuhì¥Á� � �5@ � � �ð ¿� � � � � � 0� � � � � � � � d¶� �

44

� bjbjÏ2Ï2� � � � � � � � � � � � � � � � � �

� � � >Ø� � -X� � -X� � .®� � � � � � 5� � � � � � � � � � � � � � � � �

� � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � �

� � � � � � � � ˆ� � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � �

�Þ � � � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � � � � � � � � � � �ò � � � � � � V

� � � � � � � �V � � � � � � �V � � 8� � � � � � � $� ì¥Á� � �5@ � � �ð ¿�

� � � � � 0� � � � � � � � d¶� �

45

� bjbjÏ2Ï2� � � � � � � � � � � � � � � � � �

� � � >Ø� � -X� � -X� � .®� � � � � � 5� � � � � � � � � � � � � � � � �

� � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � �

� � � � � � � � ˆ� � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � �

�Þ � � � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � � � � � � � � � � �ò � � � � � � V

� � � � � � � �V � � � � � � �V � � 8� � � � � � � $� : 2000, 29-30).

Senada dengan hal tersebut, A.F. Jaelani mengemukakan delapan

pokok prinsip-prinsip kesehatan mental yaitu :

1. Gambaran dan sikap baik terhadap diri sendiri

Yaitu orang yang mau menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya, dan

percaya terhadap dirinya sendiri sehingga mampu beradaptasi dengan

orang lain, lingkungan dan Tuhan.

2. Keterpaduan atau integrasi diri

Yaitu keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan

pandang (falsafah) hidup, dan sanggup mengatasi stres (ketegangan

emosi), yang berarti keseimbangan kekuatan id, ego, dan super egonya.

3. Perwujudan diri

Yaitu kemampuan mempergunakan potensi jiwa dan memiliki gambaran

dan sikap yang baik terhadap diri sendiri serta peningkatan motivasi dan

semangat hidup.

4. Berkemampuan untuk menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial

dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal.

46

Yaitu mau bekerja sama dengan orang lain dan melakukan pekerjaan

sosial yang menggugah hati dan tidak menyendiri dari lingkungan, hal ini

dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan aman, damai dan bahagia

dalam hidup bermasyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.

5. Berminat dalam tugas dan kerja

Yaitu pribadi yang sehat dan normal adalah orang yang aktif, produktif

dan berminat dalam tugas dan pekerjaannya. Ia dapat bertanggung jawab

terhadap tugas yang diberikan sehingga menumbuhkan rasa kepuasan,

kegembiraan, dan kebahagiaan.

6. Agama, cita-cita dan falsafah hidup.

Yaitu dengan agama manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan

hidup yang di luar kesanggupannya sebagai manusia yang lemah, dengan

cita-cita manusia dapat bersemangat dan bergairah dalam perjuangan

hidup yang berorientasi ke masa depan, membentuk kehidupan secara

tertib, dan mengadakan perwujudan diri dengan baik. Dengan falsafah

hidup manusia dapat menghadapi tantangan yang dihadapinya dengan

mudah.

7. Pengawasan diri

Yaitu mampu mengendalikan keinginan atau hawa nafsu yang bersifat

negatif dan lebih menggunakan akal pikiran dalam setiap perbuatan atau

tingkah lakunya.

8. Rasa benar dan tanggung jawab

47

Yaitu membebaskan manusia dari perasaan berdosa, bersalah, dan kecewa

sehingga menimbulkan perasaan aman agar manusia dapat melakukan

kebaikan dan kesuksesan dalam hidup (Jaelani : 2000, 83-86).

Demikian beberapa prinsip kesehatan mental, pengembangan dan

penyesuaian diri yang merupakan dasar dari kebahagiaan hidup manusia. Oleh

karena itu kekurangan pelaksanaan prinsip-prinsip itu akan mengurangi

kebahagiaannya. Derajat kebahagiaan antara lain dapat diukur dari

kemantapan pelaksanaan prinsip-prinsip kesehatan mental tersebut, sedangkan

untuk mencapai kesehatan mental ada tiga langkah atau metode yang harus

ditempuh manusia, yaitu pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif) dan

pembinaan (konstruktif). Langkah pengobatan dalam kesehatan mental adalah

usaha-usaha yang ditempuh untuk menyembuhkan dan merawat orang yang

mengalami gangguan dan sakit kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan

wajar kembali.

Langkah pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang

digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna

meniadakan atau mengurangi terjadinya ganguan kejiwaan. Dengan demikian,

manusia dapat menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan goncangan

batin dan ketidaktentraman hati. Usaha ini di samping usaha pribadi setiap

orang, juga termasuk usaha pemerintah untuk memperbaiki dan mempertinggi

kebudayaan dan peradaban. Langkah pembinaan, ditujukan untuk menjaga

kondisi mental yang sudah baik termasuk meliputi cara yang ditempuh

manusia untuk meningkatkan rasa gembira, bahagia, dan kemampuan

48

menggunakan segala potensi yang ada seoptimal mungkin seperti memperkuat

ingatan, fantasi, kemauan, dan kepribadiannya (Jaelani : 2000, 88-91).

Apabila ketiga metode di atas dapat dimanifestasikan manusia ke

dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat menghindarkan seseorang dari

gangguan mental dan menciptakan suatu pribadi yang sehat mentalnya

sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupannya dengan

menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitarnya.

49

50