bab ii diskripsi umum tentang bimbingan konseling...
TRANSCRIPT
17
BAB II
DISKRIPSI UMUM TENTANG BIMBINGAN KONSELING ISLAM DAN
KESEHATAN MENTAL
A. Konsep Dasar Bimbingan Konseling Islam
Dasar dari pemikiran Bimbingan Konseling Islami berangkat dari
asumsi agama itu merupakan kebutuhan fitri dari semua manusia. Allah telah
menciptakan manusia dan telah meniupkan ruh-Nya, sehingga iman kepada
Allah merupakan sumber ketenangan, keamanan dan kebahagiaan manusia.
Sebaliknya dalam paradigma ini, maka ketiadaan iman kepada Allah
merupakan sumber kegelisahan dan kesengsaraan bagi manusia (Mubarok :
2002, 74-75), oleh karena itulah, dalam pandangan Islam manusia menduduki
statusnya sebagai, makhluk beragama (Qs. Adz-Dzriyat : 51-56). Kedudukan
manusia sebagai makhluk beragama telah mengantarkannya sebagai makhluk
yang mampu melakukan hubungan vertikal dengan melaksanakan kewajiban
terhadap Allah SWT sekaligus hubungan horisontal sebagai anggota
komunitas sosial (Qs. Al-Hujurat : 13), untuk melaksanakan kedua statusnya
sebagai makhluk bergama dan makhluk sosial tersebut, Allah SWT telah
mengaruniakan kepada manusia potensi Jasmani dan Rohani (Qs. Shadd : 71-
72) (Musnamar : 1992, 7-9). Namun demikian, tidak semua manusia mampu
memaksimalkan potensi tersebut, sehingga banyak diantaranya yang tidak
mampu mengatasi problem hidup, yang kemudian berdampak terhadap
munculnya manusia membutuhkan bantuan dari orang lain untuk membantu
18
menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Dalam hal ini layanan bimbingan
konseling merupakan bagian yang sangat tepat, bahkan ada ahli yang
mengatakan bahwa : “Layanan konseling merupakan jantung hati dari usaha
bimbingan secara keseluruhan (conseling is the heart of guidance program).
Oleh karena itu para petugas dalam bidang bimbingan dan konseling kiranya
perlu memahami dan dapat melaksanakan usaha layanan konseling itu dengan
sebaik-baiknya (Sukardi : 1985, 11).
Bila ditinjau dari sejarah perkembangan Ilmu Bimbingan dan
Konseling di Indonesia, maka sebenarnya istilah konseling pada awalnya
dikenal dengan istilah “ penyuluhan “ yang merupakan terjemahan dari istilah
“counseling”. Penggunaan istilah “penyuluhan” sebagai terjemahan
“counseling” ini dicetuskan oleh Tatang Mahmud seorang pejabat Departemen
Tenaga Kerja Republik Indonesia pada tahun 1953 (Hellen : 2002, 1) Dalam
usahanya, Tatang Mahmud untuk mencarikan terjemahan istilah “Counseling”
ini dengan Istilah “penyuluhan” itu tidak ada yang membantahnya, maka sejak
saat itu populerlah istilah “counseling”. Akan tetapi dalam perkembangan
bahasa Indonesia selanjutnya, pada tahun 1970 sebagai awal dari masa
pembangunan orde baru, istilah “penyuluhan” yang merupakan terjemahan
dari kata “counseling” dan mempunyai konotasi “psyicological-counseling”,
banyak pula yang dipakai dalam bidang-bidang lain, seperti penyuluhan
pertanian, penyuluhan KB, penyuluhan gizi, penyuluhan hukum, penyuluhan
agama, dan lain sebagainya yang cenderung diartikan sebagai pemberian
19
penerangan atau informasi, bahkan kadang-kadang dalam bentuk pemberian
ceramah atau pemutaran film saja.
Menyadari perkembangan pemakian istilah yang demikian, maka
sebagian para ahli bimbingan dan penyuluhan Indonesia yang tergabung
dalam Organisasi Profesi IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia) mulai
meragukan ketepatan penggunaan istilah “penyuluhan” sebagai terjemahan
dari istilah “counseling” tersebut. Sebagian dari mereka berpendapat,
sebaiknya istilah penyuluhan itu dikembalikan ke istilah aslinya yakni
“counseling”. Sebagian lagi ada yang menggunakan istilah lain, seperti
wawanwuruk, dan wawancara. Namun diantara sekian banyak istilah tersebut,
saat ini yang paling populer adalah caunseling (Hellen : 2002, 1).
1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam
Secara umum wacana tentang bimbingan dan konseling dapat
didefinisikan sebagai berikut : pertama, menurut Prayitno bimbingan dan
konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu
yang sedang mengalami suatu masalah (disebut klien), yang bermuara
pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (Priyatno dkk : 1999, 104).
Kedua, menurut Bruse Selter : Bimbingan dan konseling adalah suatu
proses interaksi yang memudahkan pengertian diri dan lingkungan serta
hasil-hasil pembentukan dan atau klarifikasi tujuan-tujuan dan nilai-nilai
yang berguna bagi tingkah laku yang akan datang (Shretzer dkk : 1968,
26). Ketiga, menurut Ketut Sukardi : bimbingan dan konseling adalah
20
merupakan bantuan yang diberikan kepada individu (seseorang) atau
kelompok (sekelompok orang) agar mereka itu dapat mandiri, melalui
berbagai bahan, interaksi, nasehat, gagasan, alat dan asuhan yang
didasarkan atas norma-norma yang berlaku (Sukardi : 1995, 3). Keempat,
menurut Latipun : bimbingan dan konseling adalah proses yang
melibatkan seseoarang profesional berusaha membantu orang lain dalam
mencapai pemahaman diri (self understanding), membuat keputusan dan
pemecahan masalah (Latipun : 2001, 5). Kelima, menurut Hasan
Langgulung : bimbingan dan konseling adalah proses yang bertujuan
menolong seseorang yang mengidap kegoncangan emosi sosial yang
belum sampai pada tingkat kegoncangan psikologis atau kegoncangan
akal, agar ia dapat menghindari diri dari padanya (Langgulung : 1986,
452). Keenam, menurut Bimo Walgito : bimbingan dan konseling adalah
bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan
individu-individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di
dalam kehidupannya agar individu atau sekumpulan individu-individu itu
dapat mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito : 1995, 4).
Dari beberapa diskripsi di atas dapat dipahami bahwa bimbingan
dan konseling secara umum adalah suatu proses pemberian bantuan yang
dilakukan oleh seorang ahli kepada seorang atau beberapa orang, agar
mampu mengembangkan potensi bakat, minat, dan kemampuan yang
dimiliki, mengenali dirinya sendiri, mengatasi persoalan-persoalan
sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara
21
bertanggung jawab tanpa bergantung kepada orang lain (Kartono : 2002,
115).
Setelah mengetahui pengertian bimbingan dan konseling secara
umum, maka perlu juga dikemukakan pengertian bimbingan dan konseling
dari sudut pandang Islam. Menurut Ainur Rahim Faqih, Bimbingan dan
Konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar
mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah, sehingga dapat mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Faqih : 2001, 4), sedangkan menurut
Hallen, Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu usaha membantu
individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan Fitrah
beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari peranannya
sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk menyembah mengabdi
kepada Allah SWT sehingga akhirnya tercipta kembali hubungan yang
baik dengan Allah, dengan manusia dan alam semesta (Hellen : 2002, 22).
Sedangkan menurut Hamdani Bakran, Bimbingan dan Konseling Islam
adalah suatu aktivitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman
kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana
sehingga seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya,
kepribadiannya, keimanan dan keyakinannya sehingga dapat
menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri
yang berpandangan pada Al-Qur’an dan As- Sunnah Rasulullah
SAW(Adz-Dzaky : 2001, 137).
22
Bila ketiga definisi konseling di atas dianalisis dengan
menggunakan konsep unsur-unsur konseling milik Pietrofesa, menurut
Mapiare (1992, 16-17) dimana unsur konseling itu meliputi : suatu proses,
adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional, membantu orang
lain, untuk pemahaman diri, pembuatan keputusan dan pemecahan
masalah, pertemuan dari hati ke hati dan hasilnya sangat bergantung pada
kualitas hubungan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak satupun
dari ketiganya yang mampu memenuhi keenam unsur tersebut. Rata-rata
kegiatannya hanya mampu memenuhi unsur pertama, ketiga dan keempat.
Sementara itu unsur-unsur kedua, kelima dan keenam tercover. Oleh sebab
itulah, definisi Bimbingan dan Konseling Islam yang penulis rumuskan di
bawah ini diharapkan mampu memenuhi keenam unsur tersebut. Menurut
penulis Bimbingan dan Konseling Islam adalah suatu proses hubungan
pribadi yang terprogram, antara seorang konselor dengan satu atau lebih
klien dimana konselor dengan bekal pengetahuan profesional dalam
bidang keterampilan dan pengetahuan psikologis yang dikombinasikan
dengan pengetahuan keislamannya membantu klien dalam upaya
membantu kesehatan mental, sehingga dari hubungan terebut klien dapat
menanggulangi problematika hidup dengan baik dan benar secara mandiri
yang berpandangan pada Al-Qura’an dan As-Sunnah”.
2. Landasan dan Fungsi Bimbingan Konseling Islam
Landasan utama bimbingan konseling Islam adalah Al-Qur’an
dan Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber pedoman dan otoritas
23
puncak umat Islam (Rachman : 1996, 3). Jika Al-Qur’an dan Sunnah
merupakan landasan utama yang diposisikan sebagai landasan naqliyah
maka landasan lain yang digunakan bimbingan konseling Islam yang
sifatnya aqliyah adalah filsafat dan ilmu (Muhadjir : 2001, 15). Falsafah
disini terdiri dari falsafah tentang manusia, kehidupan, pernikahan dan
keluarga, pendidikan, masyarakat dan kehidupan bermasyarakat dan
falsafah kerja, sedangkan ilmu terdiri dari ilmu jiwa (psikologi), ilmu
syariah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi, dll).
Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam menurut Thohari
Musnamar meliputi empat fungsi, yaitu : fungsi preventif, yakni
membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi
dirinya, fungsi kuratif atau korektif, yakni membantu individu
memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya, fungsi
preservatife, yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi
yang semula tidak baik (mengandung masalah) yang telah menjadi baik
(terpecahkan) itu kembali menjadi tidak baik (menimbulkan masalah
kembali) dan fungsi development atau pengembangan, yakni membantu
individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah
baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkan menjadi
sebab munculnya masalah baginya (Musnamar : 1992, 34).
3. Asas-asas Bimbingan Konseling Islam
Dalam setiap kegiatan yang dilakukan, seharusnya ada suatu asas
atau dasar yang melandasi dilakukannya kegiatan tersebut, atau dengan
24
kata lain, ada asas yang dijadikan dasar pertimbangan. Demikian pula
halnya dalam kegiatan bimbingan konseling Islam, ada asas yang
dijadikan dasar pertimbangan kegiatan itu. Menurut Tohari Musnamar ada
lima belas asas yang terdiri dari asas kebahagiaan dunia dan akherat, asas
fitrah, asas lillahi ta’ala, asas bimbingan seumur hidup, asas kesatuan
jasmani dan rohani, asas keseimbangan rohaniah, asas kemaujudan
individu, asas sosialitas manusia, asas kekhalifahan manusia, asas
keselarasan dan keadilan, asas pembinaan akhlaqul karimah, asas kasih
sayang, asas saling menghargai dan menghormati dan asas musyawarah
serta asas keadilan (Musnamar : 1992, 20-32).
B. Kesehatan Mental
Pada bagian ini akan dikaji pengertian kesehatan mental dari berbagai
tokoh yang berkompeten dengan berbagai varian dan konsepnya.
1. Pengertian Kesehatan Mental
Sebagai sebuah disiplin keilmuan di bidang psikologi, kesehatan
mental atau hygiene mental adalah ilmu yang mempelajari masalah
kesehatan mental dan bertujuan untuk mencegah serta mengobati
(menyembuhkan) individu dari gangguan kejiwaan (Kartono dkk : 1989,
3). Sebagai kondisi kejiwaan manusia, kesehatan mental memiliki banyak
pengertian. Hal ini disebabkan karena adanya pemaknaan kesehatan
mental dilatarbelakangi oleh konsepsi-konsepsi empirik tertentu yang
merupakan bagian dari teori kesehatan mental (Mujib dkk : 2001, 133).
25
Di balik keanekaragaman konsep mengenai kesehatan jiwa,
beberapa ahli mengemukakan semacam orientasi umum dan pola-pola
wawasan kesehatan mental. Saparinah Sadli dalam Suroso (2001, 132).
mengemukakan tiga orientasi kesehatan mental, yakni : pertama, orientasi
klasik : seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai keluhan tertentu
seperti ketegangan, rasa lelah, cemas, rendah diri atau perasaan tidak
berguna yang semuanya menimbulkan perasaan sakit atau rasa tidak sehat.
Serta mengganggu efisiensi kegiatan sehari-hari. Orientasi ini banyak
dianut di lingkungan kedokteran. Kedua, orientasi penyesuaian diri :
seseorang dianggap sehat mental bila ia mampu mengembangkan dirinya
sesuai dengan tuntutan orang-orang lain serta lingkungan sekitarnya.
Ketiga, orientasi pengembangan potensi : seseorang dianggap mencapai
taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan
potensialitasnya menuju kedewasaan sehingga ia bisa dihargai oleh orang
lain dan dirinya sendiri.
Di sisi lain Zakiyah Daradjat mengemukakan lima buah rumusan
kesehatan mental yang lazim dianut oleh para ahli, yakni (Daradjat : 1984,
3-4).
a. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa
(neurosis) dan penyakit jiwa (psikosis).
b. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia
hidup.
26
c. Kesehatan mental adalah keharmonisan yang sungguh-sungguh antara
fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi
problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan
dan konflik batin.
d. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan serta memanfaatkan potensi, bakat, dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa
kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan
dan penyakit jiwa.
e. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungan, berlandaskan
keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Hanna Jumhanna Bastaman (2001, 133-134) kesehatan
mental memiliki empat pola wawasan. Pertama : pola wawasan simptomatis,
dimana mental yang sehat ditandai dengan bebasnya seseorang dari gejala-
gejala gangguan kejiwaan. Kedua : pola wawasan penyesuaian diri, yang
menekankan pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri sebagai
unsur utama kesehatan mental. Ketiga : pola wawasan pengembangan potensi,
di mana mental yang sehat terjadi bila individu mampu mengembangkan
potensi yang dimilikinya sehingga mendatangkan manfaat, dan keempat : pola
wawasan berorientasi agama, berpandangan bahwa agama atau kerohaniaan
27
memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan mental. Dalam perspektif ini
kesehatan mental diperoleh sebagai hasil dari keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan, serta penerapan ajaran agama dalam hidup.
Atas dasar keempat pola wawasan ini, Bastaman menarik kesimpulan
bahwa tolak ukur kesehatan mental ada empat yang meliputi (El-Qudsi : 1989,
34-48) : pertama, bebas dari ganguan dan penyakit kejiwaan. Kedua, mampu
menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat
dan menyenangkan. Ketiga, mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat,
kemampuan, sikap sifat dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri
sendiri dan lingkungan. Keempat, beriman dan bertakwa kepada Tuhan serta
berupaya menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sesuai dengan kemajuan pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan
mental mengalami kemajuan. Sebelumnya, pengertian terhadap kesehatan
mental bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada gangguan dan penyakit jiwa.
Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu bagi orang yang
mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal kesehatan mental
tersebut diperlukan bagi setiap orang yang merindukan ketentraman dan
kebahagiaan.
Dari sini dapat dipahami bahwa kesehatan mental tidak hanya
memanifestasikan diri dalam menampakkan tanda-tanda tanpa adanya
gangguan batin saja, akan tetapi posisi pribadinya juga harmonis dan baik,
selaras dengan dunia luar dan di dalam dirinya sendiri, dan baik harmonis pula
dengan lingkungannya. Dengan demikian, orang yang sehat mentalnya itu
28
secara mudah bisa melakukan adaptasi (penyesuaian diri), selalu aktif
berpartisipasi, bisa menerapkan diri dengan lancar pada setiap perubahan
sosial, selalu baik melaksanakan realisasi diri dan senantiasa dapat menikmati
kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya (Kartono dkk : 1989, 6).
Dari beberapa pengertian kesehatan mental yang telah diungkap di
atas, menunjukan bahwa ternyata pengertian kesehatan mental sangat luas.
Namun demikian itu belum mencakup seluruh bidang kehidupan manusia.
Manusia hidup mempunyai pegangan hidup yaitu agama, sedangkan
pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, tidak menyangkut atau
menyinggung aspek agama. Padahal agama merupakan petunjuk bagi manusia
serta menghendaki manusia memperoleh ketentraman hati, kedamaian dan
kebahagiaan hidupnya. Pada posisi inilah, Zakiyah Daradjat, memberikan
definisi mengenai kesehatan mental sebagai berikut :
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. Dengan rumusan lain kesehatan mental ialah suatu ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, baik hubungannya dengan diri sendiri, maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan (Daradjat : 2001, 4).
Dengan masuknya aspek agama, seperti keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan dalam kesehatan mental, pengertiannya menjadi lebih luas,
karena sudah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Aspek agama dalam
perumusan kesehatan mental sudah seharusnya dimasukkan, karena agama
29
memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Agama merupakan
salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang
yang merindukan ketentraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia
akan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan tidak terpenuhi kecuali dengan
agama.
Memahami masalah kesehatan mental secara luas adalah penting di
zaman ini. Hal ini dikarenakan walaupun kemajuan ilmu teknologi, dan
industrialisasi dapat memberikan kemudahan dan kesenangan kepada manusia
tetapi semuanya itu belum dapat menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan
jiwa. Ini disebabkan kemajuan yang membawa pada perubahan dalam
kehidupan sosial dan budaya manusia dan sudah barang tentu mempengaruhi
kehidupan jiwa. Semakin maju kebudayaan dan peradaban, semakin kompleks
pula masalah dan kebutuhan hidup manusia. Adalah suatu kenyataan bahwa
kesehatan mental berhubungan dengan berbagai segi kesejahteraan masyarakat
seperti, kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, dan perumahan. Misalnya
kemiskinan dapat membuat kesejahteraan masyarakat terganggu sehingga
mengakibatkan terganggunya kesehatan mental.
Banyak kasus bunuh diri disebabkan bukan saja karena frustasi tetapi
juga karena kemiskinan dan kurangnya tingkat pendidikan yang dimiliki
seseorang. Untuk mengatasi masalah ini agama dapat membantu manusia
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama membimbing manusia
mencapai kebaikan dan kebahagian di dunia dan akhirat.
30
Berdasarkan uraian diatas, pengertian kesehatan mental yang
dipegang dan dipedomani dalam tulisan ini adalah sebagaimana dirumuskan
oleh Zakiyah Daradjat. Hanya dengan kesehatan mental dalam arti yang luaslah
bisa terwujud kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dalam arti yang
sesungguhnya. Tanpa pengertian demikian, orang mungkin saja mencapai
kondisi mental yang memadai tetapi itu hanya dalam arti semu. Kondisi
kesehatan mental yang sesungguhnya adalah mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, serta ilmu dan agama.
Ada diskripsi menarik dari Organisasi Kesehatan Se-Dunia dalam
memberikan kriteria jiwa atau mental yang sehat. Menurut organisasi ini
mental yang sehat adalah mental yang dapat menyesuaikan diri secara
konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk baginya,
memperoleh kepuasaan dari hasil jerih payah usahanya, merasa lebih puas
memberi daripada menerima, secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas,
berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan, menerima kekecewaaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk
kemudian hari, menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang
kreatif dan konstruktif dan mempunyai rasa kasih sayang yang besar dan pada
tahun 1984, WHO menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu
elemen spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat
adalah tidak hanya dalam arti fisik, psikologi dan sosial, tetapi juga sehat dalam
arti spiritual agama (empat dimensi sehat, bio-psiko-sosial-spiritual) (Hawari
1996, 12).
31
Dari definisi ini dapat diketahui bahwa peranan agama sangat penting
dalam kesehatan mental. Adanya unsur keimanan dan ketakwaan menambah
keyakinan kita untuk menjaga kesehatan mental. Keimanan dan ketakwaan di
sini adalah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, karena dengan beriman
dan bertakwa kepada-Nya manusia dengan mudah dapat mengatasi segala
gangguan dan penyakit mental, demi terwujudnya harapan manusia mencapai
hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks kekinian kesehatan
mental menjadi hal yang menarik karena ada tantangan modernitas yang kian
komplek yang memacu manusia untuk sekuat tenaga berakselerasi dengan
zaman. Dari sinilah konsekwensi-konsekwensi modernitas muncul. Kalau
diperhatikan manusia dalam kehidupannya memunculkan fenomena yang
bermacam-macam yang terlihat. Ada orang yang kelihatannya selalu berbicara
dan bahagia, walau apapun keadaan yang dihadapinya, dia disenangi orang,
tidak ada orang yang membencinya dan pekerjaannya selalu berjalan dengan
lancar, sebaliknya ada pula orang yang sering mengeluh dan bersedih hati,
tidak cocok dengan orang lain dalam pekerjaannya, tidak bersemangat serta
tidak dapat memikul tanggung jawab. Hidupnya dipenuhi kegelisahan,
kecemasan, dan ketidakpuasan dan mudah diserang oleh penyakit-penyakit
yang jarang dapat diobati. Mereka tidak pernah merasakan bahagia, di samping
itu adapula orang yang dalam hidupnya suka menganggu, melanggar hak dan
ketengan orang lain, suka mengadu domba, memfitnah, menyeleweng,
menganiaya dan menipu.
32
Gejala-gejala kegelisahaan masyarakat itulah yang mendorong para
ahli ilmu jiwa untuk berusaha menyelidiki apa yang menyebabkan tingkah laku
orang berbeda-beda, meskipun kondisinya sama, juga apa sebabnya ada orang
yang tidak mampu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup ini.
Usaha ini menumbuhkan satu cabang termuda dari ilmu jiwa yaitu kesehatan
mental. Menurut Kartini Kartono (1989, 3-5) dalam Higiene Mental dan
Kesehatan Mental dalam Islam, secara etimologi kesehatan mental (mental
hygiene) berasal dari kata mental dan hygeia. Hygeia ialah nama dewi
kesehatan Yunani dan hygiene berarti ilmu kesehatan, sedangkan mental
berasal dari bahasa latin mens, atau mentis, yang mempunyai arti jiwa, nyawa,
sukma, roh semangat mental hygiene sering disebut pula sebagai psiko-
hygiene. Psyche (dari kata Yunani Psuche) artinya nafas, asas kehidupan,
hidup, jiwa, roh, sukma dan semangat. Menurut Zakiyah Daradjat (2001, 11-
14) dalam Kesehatan Mental banyak pengertian tentang kesehatan mental yang
diberikan oleh para ahli, sesuai dengan pandangan dan bidangnya masing-
masing. Setidaknya ada empat definisi dasar. Pertama, kesehatan mental
adalah terhindarnya orang dari segala gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)
dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose). Definisi yang ini, banyak
mendapat sambutan dari kalangan psikiater (kedokteran jiwa). Menurut definisi
ini, orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terhindar dari segala
gangguan dan penyakit jiwa.
Kedua, kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di
33
mana ia hidup. Definis kedua ini, bersifat luas dan umum, karena dihubungkan
dengan kehidupan secara keseluruhan. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri
itu, akan membawa orang kepada kenikmatan dan terhindar dari kecemasan,
kegelisahan dan ketidakpuasan. Di sampimg itu, ia penuh dengan semangat dan
kebahagiaan dalam hidup. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri,
harus lebih dulu mengenal diri sendiri dan menerimanya sebagaimana adanya,
lalu bertindak sesuai dengan kemampuan dan kekurangan yang ada. Di
samping itu, orang juga harus mengenal, memahami, dan meneliti orang lain
dari segala segi secara objektif. Jangan melihat dan menilai orang lain secara
subjektif, yaitu menurut perasaan dan ukurannya, tapi usahakanlah melihat
orang dengan ukuran-ukuran orang itu sendiri. Kita harus mengenal
keistimewaan orang di samping kekurangan atau kelemahan-kelemahannya.
Selanjutnya perlu pula diketahui lingkungan, termasuk kaidah-kaidah sosial,
peraturan-peraturan dan ada istiadat, kebiasaan, ajaran agama, undang-undang
dan suasana pada umumnya. Dalam tindakan, pandangan dan apa saja yang
terjadi, orang tidak boleh melupakan di mana oarang berada, agar tindakan kita
tidak bertentangan dengan peraturan dan kebiasaan yang berlaku, serta
menyadari sepenuhnya akan kewajiban kita terhadap lingkungan itu. Menurut
definisi yang kedua ini, orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dapat
menguasai segala faktor dalam hidupnya, sehingga ia dapat menghindarkan
tekanan-tekanan perasaan atau hal-hal yang membawa kepada frustasi.
Ketiga, Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang
bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan
34
pembawaannya yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada
kebahagian diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan
penyakit jiwa. Definisi ini mendorong orang memperkembangkan dan
memanfaatkan segala potensi yang ada. Jangan sampai ada bakat yang tidak
bertumbuh dengan baik atau yang digunakan dengan cara yang tidak membawa
kepada kebahagiaan, yang mengganggu hak dan kepentingan orang lain. Bakat
yang tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, akan membawa kepada
kegelisahan dan pertentangan batin. Dalam pergaulan dengan orang atau
keluarganya akan terlihat kaku dan mungkin sekali tidak akan mengindahkan
orang, karena ia merasa menderita, sedih, marah kepada dirinya dan orang lain.
Mungkin pula orang mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakat dan
potensi yang ada padanya dengan baik, tapi kepandaian dan kecerdasannya itu
digunakannya untuk menipu, mengambil hak orang lain, atau menyengsarakan
orang dengan fitnahan yang dibuatnya, maka orang itupun termasuk orang
yang kurang sehat.
Keempat, Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problem-probem biasa yang terjadi, dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Fungsi-fungsi jiwa seperti
pikiran, perasaan, sikap jiwa, bekerja sama satu sama lain, sehingga dapat
dikatakan adanya keharmonisan yang menjauhkan orang dari perasaan ragu
dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik).
Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan tegas itu dapat dicapai antara
35
lain dengan keyakianan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan
norma-norma agama, sosial, hukum, moral dan sebagainya. Fungsi-fungsi jiwa
dengan semua unsur-unsurnya bertindak menyesuaikan orang dengan dirinya,
dengan orang lain dan lingkungannya. Dalam menghadapi suasana yang selalu
berubah, fungsi-fungsi jiwa akan bekerja sama secara harmonis dalam
menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan tersebut. Dengan demikian
perubahan-perubahan itu tidak akan menyebabkan kegelisahan dan
kegoncangan jiwa. Kadang-kadang perubahan itu sangat besar misalnya
kekayaannya habis, orang yang paling disayangi meninggal dunia, sehingga
melampaui batas kemampuan orang yang tidak kuat, maka timbullah
ketidakharmonisan jiwa, sehingga orang menjadi bingung, murung,
menjauhkan diri dari kehidupan orang banyak, diserang oleh penyakit yang
tidak ada obatnya dan sebagainya.
Dapat dikatakan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan
diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal
mungkin dan membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya
keharmonisan jiwa dalam hidup.
Kesehatan mental bagaimanapun juga, menurut Zakiyah Daradjat
memiliki kolerasi positif dengan agama dan psikoterapi (Arifin, 2003: 47). Ini
dapat dilihat dari tulisannya yang berjudul “Agama sebagai Terapi terhadap
gangguan kejiwaan” dan “Peran psikoterapi dalam pembinaan
mental”(Daradjat : 1983, 85). Dalam tulisan pertama dia berpendapat bahwa
36
sebenarnya dari dahulu, agama dengan ketentuan dan hukum-hukumnya telah
dapat membendung terjadinya gangguan kejiwaan yaitu dengan
dihindarkannya segala kemungkinan-kemungkinan sikap, perasaan dan
kelakuan yang membawa kepada kegelisahan. Jika terjadi kesalahan yang
akhirnya membawa kepada penyesalan pada orang yang bersangkutan, maka
agama mencari jalan untuk mengembalikan ketenangan batin dengan minta
ampun kepada Tuhan. Dengan cara memberi nasehat dan bimbingan-
bimbingan khusus dalam kehidupan manusia, para pemimpin agama telah
berhasil memperbaiki moral dan menanamkan nilai pentingnya silaturrahmi,
sehingga kehidupan saling menyanyangi. Dalam tulisan yang kedua, dia
berpendapat psikoterapi tidak ditujukan kepada orang yang menderita penyakit
jiwa saja akan tetapi lebih banyak diperlukan oleh orang-orang yang
sebenarnya tidak sakit, akan tetapi tidak mampu menghadapi kesulitan-
kesulitan hidup sehari-hari.
Hubungan antara kesehatan mental, agama dan psikoterapi, secara
lebih lanjut dapat dilihat dalam bukunya Hanna Djumhana Bastaman (2001,
130-131) dalam Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami,
yang merefleksikan pemikiran Victor Frankl. Menurutnya salah satu padangan
mengenai hubungan antara agama dengan kesehatan mental adalah dalam dari
Viktor Frankl. Dalam bukunya mengenai logoterapi ia menunjukkan tiga
bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang
memungkinkan seseorang menemukan makna hidupnya, yaitu nilai-nilai
kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap. Dengan memenuhi dan
37
merealisasikan nilai-nilai itu diharapkan seseorang akan menemukan dan
mengembangkan makna hidupnya, sehingga mengalami hidup secara bermakna
yang merupakan pintu terbuka ke arah kebahagiaan (Corey : 1988, 314 - 315).
Agama pada umumnya dapat digolongkan pada nilai-nilai
penghayatan, salah satu nilai yang juga dapat menjadi sumber-sumber makna
hidup dan menjadikan hidup bermakna. Walaupun demikian menurut Frankl
hubungan antara agama dan kesehatan mental tidak merupakana hubungan
kausalitas langsung, seperti dijelaskan dalam skema di bawah ini ;
Mental Health Salvation and Faith
Psychotherapy Religion
Tujuan psikoterapi pada umumnya adalah mengembangkan kehidupan
dengan mental yang sehat (mental health), sedangkan tujuan akhir agama
adalah mengembangkan keimanan dan penyelamatan ruhani. Walaupun
38
keduanya mempunyai tujuan utama yang berlainan, yang satu berdimensi
psikologis dan yang lain berdimensi spiritual, tetapi keduanya mungkin
berkaitan dalam hal akibat sampingnya. Seseorang yang beriman diharapkan
sehat mentalnya, walaupun mungkin tidak selalu demikian. Sebaliknya
seseorang yang sehat mentalnya diharapkan akan lebih terbuka baginya untuk
beriman, sekalipun tidak selalu demikian kenyataannya. Dengan lain
perkataan seorang beriman belum tentu sehat mentalnya, dan orang yang sehat
mentalnya belum tentu beriman. Suatu pernyataan yang masih dapat
diperdebatkan.
Menurut Hasan Langgulung, dalam Teori-Teori Kesehatan Mental
menerangkan kesehatan mental dalam perspektif Qur’an dan Hadist digunakan
dalam berbagai kata yaitu Najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah
(kemakmuran) dan sa’adah (kebahagiaan). Bentuk kesehatan mental dalam
perspektif Islam meliputi dua hal yaitu yang berlaku di dunia ini dan yang
berlaku di akhirat. (Langgulung, 1986 : 444)
Menurut A.F. Jailani dalam Pensucian Jiwa dan Kesehatan Mental
mengemukakan ada dua langkah untuk mencapai kesehatan mental yaitu
pengobatan, pencegahan dan pembinaan. Langkah pengobatan dalam
kesehatan mental adalah usaha-usaha yang ditempuh untuk
menyembuhkan dan merawat orang yang mengalami gangguan dan sakit
kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan wajar kembali. Langkah
pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang digunakan manusia
untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau
39
mengurangi terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian, manusia dapat
menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan guncangan batin dan
ketidaktentraman hati. Usaha lain di samping merupakan usaha pribadi setiap
orang, juga termasuk usaha pemerintah untuk memperbaiki dan mempertinggi
sisitem kebudayaan dan peradaban. Langkah pembinaan, ditujukan untuk
menjaga kondisi mental yang sudah baik termasuk meliputi cara yang
ditempuh manusia untuk meningkatkan rasa gembira, bahagia, dan
kemampuan menggunakan segala potensi yang ada seoptimal mungkin.
(Jailani, 2000 : 87-88)
2. Pandangan Islam Mengenai Kesehatan Mental
Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam
pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang
sehat merupakan hasil sampingan (by product) dari kondisi pribadi yang
matang secara emosional, intelektual dan sosial terutama matang pula
ketuhanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian
dalam Islam menyatakan bahwa betapa pentingnya pengembangan pribadi-
pribadi meraih kualitas “urusan paripurna” yang otaknya sarat dengan ilmu
yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan takwa kepada Allah,
sikap dan tingkah lakunya benar-benar merealisasikannya nilai-nilai ke-
Islaman yang mantap dan teguh, otaknya terpuji dan bimbingannya terhadap
masyarakat membuahkan ketuhanan, rasa kesatuan, kedamaian dan kasih
sayang. Kesan demikian pasti jiwanyapun sehat, suatu manusia yang bertipe
ideal.
40
Sejak dikembangkan metode-metode dalam psikoterapi yaitu berkaitan
dengan metode mistik dan spiritual, maka agama menjadi standar utama dalam
melihat kesehatan mental seseorang. Tolak ukur dari setiap definisi kesehatan
mental dalam konsepsi agama Islam, sehingga orang-orang yang benar-benar
sehat mentalnya adalah orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, serta berusaha secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama,
sehingga kehidupannya itu dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia
secara sadar berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti
bakat, kemampuan, sifat serta kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif
(Bastaman : 2001, 135).
Inti utama masalah kesehatan mental menurut Islam adalah bagaimana
menumbuhkembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) serta sekaligus
menghilangkan sifat-sifat tercela (mazmumah) pada pribadi seseorang. Dalam
Islam sifat-sifat mahmudah adalah sifat Ilahiyah sedangkan sifat-sifat
mazmumah adalah sifat syaitaniyah.
Demikian juga pandangan Islam terhadap kesehatan mental antara lain
dapat dilihat peran agama Islam sendiri bagi kehidupan manusia, agama Islam
memberikan tugas dan tujuan bagi kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Misalnya tugas dan tujuan manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada
Allah dan menjadi khalifahnya di bumi, yaitu dengan melaksanakan konsep
ibadat dan khalifah, orang yang dapat mengembangkan potensi jiwa dan
memperoleh kesehatan mentalnya. Peranan ajaran Islam demikian dapat
41
membantu orang dalam mengatasi jiwanya dan mencegahnya dari gangguan
kejiwaan serta membina kesehatan mental.
Berdasarkan pemikiran di atas maka setidak-tidaknya ada empat
prinsip keagaman dan falsafah yang mendasari pandangan Islam tentang
kesehatan mental. Pertama, prinsip dan falsafah tentang maksud dan tujuan
Allah menciptakan manusia dan alam semesta. Kedua, keadaan dan sifat-sifat
Allah yang hubungannya dengan sifat-sifat manusia. Ketiga, keadaan amanah
dan fungsi manusia dijadikan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini.
Keempat, perjanjian mistaq antara Allah dan manusia sewaktu dilahirkan atau
masih dalam kandungan (Jaya : 1994, 87). Maksud dan tujuan Allah
menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk beribadah dalam pengertian
yang luas kegiatannya mencakup aspek kehidupan manusia, baik bersifat
i’tikad, pemikiran, sosial, jasmani, rohani, ahlak dan keindahan.
3. Psikoneurotik Sebagai Gangguan kesehatan Mental
Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan jiwa
adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang
berhubungan dengan fisik maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut
tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian badan, meskipun
kadang-kadang gejala terlihat pada fisik. Keabnormalan itu dapat dibagi atas
dua golongan yaitu gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psikose)
(Daradjat, 2001: 26).
Psikoneurotik adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang
bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan
42
perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Psikoneurotik itu
mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa
berdosa atau bersalah, terancam dan lain sebagainya. Juga ada segi-segi yang
terjadi di luar kesadaran yang tidak bisa dihindari perasaan yang tidak
menyenangkan itu.
Gangguan psikoneurotik menciptakan kepuasaan substitutif pada
gejala-gejalanya bagi si penderita, dan hal ini akan menyebabkan penderita
bagi dirinya atau menjadi sumber-sumber penderitaan baginya dengan
meningkatkan taraf kesulitan dalam pergaulan dengan lingkungan dan
masyarakat tempat ia berasal. Fakta selanjutnya akan mudah dipahami, yang
sebelumnya telah memberi kita permasalahan baru. Namun peradaban
menuntut pengorbanan-pengorbanan lain di samping pengorbanan seksual.
Kita telah memperlakukan kesulitan perkembangan kebudayaan
sebagai kesulitan umum proses perkembangan, dengan menelusurinya hingga
ke inersia libido, pada keengganannya untuk menganti posisi lama dengan
yang baru (Tasmara, 1999 : 54).
Seseorang yang mengalami gangguan psikoneurotik kepribadiaanya
sangat terganggu, dan menyebabkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan
wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya, sering kali orang yang
menderita gangguan psikoneurotik ia tidak merasa sakit dan sebaliknya dia
menganggap dirinya normal saja.
Pertama disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh.
Misalnya, otak sentral saraf, atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar,
43
saraf-saraf atau gangguan fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minuman keras, obat-obat
perangsang atau narkotik, akibat penyakit kotor dan lain sebagainya.
Kedua disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-
larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyesuaian secara wajar atau
dengan kata lain perkataan disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara
menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan
batin, dan sebagainya (Daradjat, 2002: 49).
Dari pemaparan tersebut di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa
seseorang yang mengalami gangguan psikoneurotik, dapat mengganggu
kesehatan mental seseorang. Dan orang senantiasa tidak dapat
mengintegrasikan jiwanya, tidak dapat menyesuaikan kondisi yang ada.
4. Beberapa Prinsip dan Langkah Mencapai Kesehatan Mental
Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan mental ialah fundamen atau
dasar-dasar yang harus ditegakkan manusia guna mendapatkan kesehatan
mental dan terhindar dari gangguan kejiwaaan. Kartini Kartono
mengemukakan beberapa prinsip kesehatan mental yaitu, pertama :
pemenuhan kebutuhan pokok yaitu bahwa setiap manusia memiliki dorongan
untuk memenuhi
kebutuhì¥Á� � �5@ � � �ð ¿� � � � � � 0� � � � � � � � d¶� �
44
� bjbjÏ2Ï2� � � � � � � � � � � � � � � � � �
� � � >Ø� � -X� � -X� � .®� � � � � � 5� � � � � � � � � � � � � � � � �
� � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � �
� � � � � � � � ˆ� � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � �
�Þ � � � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � � � � � � � � � � �ò � � � � � � V
� � � � � � � �V � � � � � � �V � � 8� � � � � � � $� ì¥Á� � �5@ � � �ð ¿�
� � � � � 0� � � � � � � � d¶� �
45
� bjbjÏ2Ï2� � � � � � � � � � � � � � � � � �
� � � >Ø� � -X� � -X� � .®� � � � � � 5� � � � � � � � � � � � � � � � �
� � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � � �ÿÿ � � � � � � � � �
� � � � � � � � ˆ� � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � �
�Þ � � � � � � �Þ � � � � � � �Þ � � � � � � � � � � � � � � �ò � � � � � � V
� � � � � � � �V � � � � � � �V � � 8� � � � � � � $� : 2000, 29-30).
Senada dengan hal tersebut, A.F. Jaelani mengemukakan delapan
pokok prinsip-prinsip kesehatan mental yaitu :
1. Gambaran dan sikap baik terhadap diri sendiri
Yaitu orang yang mau menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya, dan
percaya terhadap dirinya sendiri sehingga mampu beradaptasi dengan
orang lain, lingkungan dan Tuhan.
2. Keterpaduan atau integrasi diri
Yaitu keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan
pandang (falsafah) hidup, dan sanggup mengatasi stres (ketegangan
emosi), yang berarti keseimbangan kekuatan id, ego, dan super egonya.
3. Perwujudan diri
Yaitu kemampuan mempergunakan potensi jiwa dan memiliki gambaran
dan sikap yang baik terhadap diri sendiri serta peningkatan motivasi dan
semangat hidup.
4. Berkemampuan untuk menerima orang lain, melakukan aktivitas sosial
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggal.
46
Yaitu mau bekerja sama dengan orang lain dan melakukan pekerjaan
sosial yang menggugah hati dan tidak menyendiri dari lingkungan, hal ini
dimaksudkan untuk menimbulkan perasaan aman, damai dan bahagia
dalam hidup bermasyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
5. Berminat dalam tugas dan kerja
Yaitu pribadi yang sehat dan normal adalah orang yang aktif, produktif
dan berminat dalam tugas dan pekerjaannya. Ia dapat bertanggung jawab
terhadap tugas yang diberikan sehingga menumbuhkan rasa kepuasan,
kegembiraan, dan kebahagiaan.
6. Agama, cita-cita dan falsafah hidup.
Yaitu dengan agama manusia dapat terbantu dalam mengatasi persoalan
hidup yang di luar kesanggupannya sebagai manusia yang lemah, dengan
cita-cita manusia dapat bersemangat dan bergairah dalam perjuangan
hidup yang berorientasi ke masa depan, membentuk kehidupan secara
tertib, dan mengadakan perwujudan diri dengan baik. Dengan falsafah
hidup manusia dapat menghadapi tantangan yang dihadapinya dengan
mudah.
7. Pengawasan diri
Yaitu mampu mengendalikan keinginan atau hawa nafsu yang bersifat
negatif dan lebih menggunakan akal pikiran dalam setiap perbuatan atau
tingkah lakunya.
8. Rasa benar dan tanggung jawab
47
Yaitu membebaskan manusia dari perasaan berdosa, bersalah, dan kecewa
sehingga menimbulkan perasaan aman agar manusia dapat melakukan
kebaikan dan kesuksesan dalam hidup (Jaelani : 2000, 83-86).
Demikian beberapa prinsip kesehatan mental, pengembangan dan
penyesuaian diri yang merupakan dasar dari kebahagiaan hidup manusia. Oleh
karena itu kekurangan pelaksanaan prinsip-prinsip itu akan mengurangi
kebahagiaannya. Derajat kebahagiaan antara lain dapat diukur dari
kemantapan pelaksanaan prinsip-prinsip kesehatan mental tersebut, sedangkan
untuk mencapai kesehatan mental ada tiga langkah atau metode yang harus
ditempuh manusia, yaitu pengobatan (kuratif), pencegahan (preventif) dan
pembinaan (konstruktif). Langkah pengobatan dalam kesehatan mental adalah
usaha-usaha yang ditempuh untuk menyembuhkan dan merawat orang yang
mengalami gangguan dan sakit kejiwaan sehingga dapat menjadi sehat dan
wajar kembali.
Langkah pencegahan dalam kesehatan mental adalah metode yang
digunakan manusia untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna
meniadakan atau mengurangi terjadinya ganguan kejiwaan. Dengan demikian,
manusia dapat menjaga dirinya dan orang lain dari kemungkinan goncangan
batin dan ketidaktentraman hati. Usaha ini di samping usaha pribadi setiap
orang, juga termasuk usaha pemerintah untuk memperbaiki dan mempertinggi
kebudayaan dan peradaban. Langkah pembinaan, ditujukan untuk menjaga
kondisi mental yang sudah baik termasuk meliputi cara yang ditempuh
manusia untuk meningkatkan rasa gembira, bahagia, dan kemampuan
48
menggunakan segala potensi yang ada seoptimal mungkin seperti memperkuat
ingatan, fantasi, kemauan, dan kepribadiannya (Jaelani : 2000, 88-91).
Apabila ketiga metode di atas dapat dimanifestasikan manusia ke
dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat menghindarkan seseorang dari
gangguan mental dan menciptakan suatu pribadi yang sehat mentalnya
sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupannya dengan
menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang sekitarnya.