bab ii a. anxiety” berasal dari yang berarti kaku, dan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/678/3/bab...

51
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari Bahasa Latin“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain- lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Chaplin (2006) kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa mendatang tanpa sebab khusus. Nevid, dkk. (2005) memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Upload: duonglien

Post on 29-Jun-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya “anxiety” berasal dari

Bahasa Latin“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci” yang berarti

mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa

kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang

kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif

yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego

karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau

tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai

ego dikalahkan.

Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman

subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi

umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman.

Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala

fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-

lain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat

berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Chaplin (2006) kecemasan adalah

perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa

mendatang tanpa sebab khusus. Nevid, dkk. (2005) memberikan pengertian

tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri

keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan

kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

15

Atkinson (1996) mendefinisikan kecemasan sebagai emosi yang

tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah kekawatiran yang

kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Sedangkan

menurut Hurlock (1997) kecemasan adalah situasi efektif yang dirasa tidak

menyenangkan yang diikuti oleh sensi fisik yang memperingatkan

seseorang akan bahaya yang mengancam. Daradjat (2001) menjelaskan

kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang

bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan

perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis

rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam

dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi

keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa

atau bersalah yang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa.

Sullivan (2006) mengatakan bahwa kecemasan adalah reaksi

normal terhadap kebutuhan yang tak terpenuhi dan stres seperti penolakan

(pertama dari orang tua dan kemudian dari diri sendiri dan kemudian dari

orang lain). Kecemasan juga dapat dilihat sebagai suatu mekanisme

perlindungan yang membuat seseorang tetap aman dari situasi yang

diyakini mengancam. Jhonston (dalam Hawari, 2001) mengemukakan

bahwa kecemasan merupakan reaksi terhadap adanya ancaman, hambatan

terhadap keinginan pribadi, atau merupakan perasaan tertekan karena

adanya rasa kekecewaan, rasa tidak puas, rasa tidak aman, atau sikap

permusuhan dengan orang lain.

16

Lazarus (1976) menyatakan bahwa kecemasan mempunyai dua

arti, yaitu:

1. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman

yang dirasakan tidak menyenangkan serta dikuti dengan suasana

gelisah, bingung, khawatir, dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan

ada dua, yaitu:

a. State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak

menetap pada diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu,

gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada.

b. Traith anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam

tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan

kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang

sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman

yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan

tersebut berhubungan dengan kepribadian individu yang

merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas.

2. Kecemasan sebagai intervening variable, dalam hal ini kecemasan lebih

mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan

tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah.

Hudaniyah dan Dayakisna (2009) menyatakan bahwa pada

umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf

fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan.

Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan

hadirnya orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai

17

dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari

interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami

kecemasan sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang

sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan, ketakutan,

kekhawatiran, ketidaktentuan, perasaan tertekan dan terancam dalam

menghadapi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

2. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Kecemasan sering dialami oleh setiap orang. Ada banyak hal yang

menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, misalnya cemas saat

memulai suatu hal yang baru karena takut jika melakukan kesalahan,

cemas saat menjalani ujian karena takut gagal, cemas saat presentasi

karena belum ada persiapan, cemas saat berbicara atau mengemukakan

pendapat di depan umum karena takut dianggap tidak bermutu, dan masih

banyak lagi.

Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan

dalam hal komunikasi. Burgoon dan Ruffner (1978) mendefinisikan

kecemasan dalam hal komunikasi sebagai suatu reaksi negatif dari

individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi,

baik berkomunikasi antar pribadi, komunikasi di depan kelas maupun

komunikasi masa. Sejalan dengan itu, Beaty (2000) menyebutkan bahwa

kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan

takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang

sebagai hasil proses belajar sosial.

18

Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum

adalah hal yang seringkali dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan

seseorang yang telah berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak

terlepas dari perasaaan ini. Perasaan cemas dapat muncul karena takut

secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut

bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan

dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut

bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Selanjutnya individu tersebut

akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum

bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala

psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung

berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian, yang termasuk gejala

psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang

tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian

Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS (Rakhmat, 2007)

menyatakan kecemasan membuat individu merasa rendah diri,

meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan

menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang

cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan

adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi.

Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal

dengan istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk

19

berbicara di depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995)

kecemasan berbicara yang disebut pula sebagai “communication

apprehension (CA)” terbagi atas empat jenis yaitu CA as trait, CA in

generalized context, CA with generalized people, dan CA as a state.

Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini termasuk dalam jenis

CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan

berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi

lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami

kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari

kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator.

Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas

berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah

berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato,

presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan

mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai

berlangsungnya pengalaman berbicara di depan kelas.

Menurut Nevid (dalam Asrori, 2009) kecemasan adalah rasa

khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan

sebenarnya juga dapat bermanfaat apabila dapat mendorong seseorang

untuk melakukan sesuatu yang lebih baik lagi sebagai wujud antisipasi

dari kecemasannya. Namun jika kadarnya berlebihan, maka kecemasan

dapat menjadi sesuatu hal yang tidak normal yang justru akan

menimbulkan ketidaknyamanan, mengganggu fungsi kehidupan sehari-

20

hari, menimbulkan distress, atau membuat individu menghindari situasi

sosial yang menimbulkan stress bagi individu tersebut (DSM IV, 2000).

Hal ini sejalan dengan pendapat Burgoon dan Raffner (1978) yang

menyatakan bahwa kecemasan merupakan sesuatu yang sehat apabila

kecemasan itu dapat mendorong individu untuk menambah usahanya

supaya dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Sebaliknya,

kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu individu karena dapat

menghambatnya dalam menggunakan kemampuannya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman

yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika

membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak.

Kecemasan berbicara di depan umum sebaiknya diminimalisir agar

individu dapat berbicara dengan efektif dan dapat menikmati

kehidupannya dengan lebih baik serta dapat melakukan fungsi sosialnya

dengan lebih baik pula.

3. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Beberapa gejala yang di rasakan pada saat seseorang mengalami

kecemasan antara lain detak jantung yang cepat, telapak tangan atau

punggung berkeringat, nafas terengah-engah, mulut kering, sukar menelan,

ketegangan otot (dada, tangan, leher, kaki), tangan atau kaki bergetar,

suara bergetar atau parau, berbicara cepat dan tidak jelas, tidak sanggup

mendengar atau konsentrasi, serta lupa atau ingatan menjadi berkurang.

21

Nevid, dkk. (2005) mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan

dalam tiga jenis gejala yaitu:

a. Gejala fisik dari kecemasan yaitu pusing atau sakit kepala,

kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit

bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin,

mudah marah atau tersinggung, dan sakit perut.

b. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu berperilaku menghindar,

terguncang, melekat dan dependen

c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu khawatir tentang sesuatu,

perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi

dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera

terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah,

pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi.

Sejalan dengan pendapat di atas, Rogers (2003) membagi reaksi

kecemasan berbicara menjadi dua gejala umum, yaitu:

a. Reaksi Fisiologis

Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran

yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah,

kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan.

Adanya kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ

dalam tubuh menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan

peningkatan jumlah asam lambung selama kecemasan, atau

meningkatnya detak jantung dalam memompa darah sehingga jantung

22

berdebar-debar, keluar keringat yang berlebihan, gemetar, sering

buang air, dan sirkulasi darah tidak teratur. Dalam kondisi cemas,

sering individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organ-

organ tubuh yang meningkat fungsinya secara tidak wajar. Misalnya

ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, tidur tidak nyenyak,

nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, mual, dan sebagainya.

b. Reaksi Psikologis

Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya

disertai oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi

dua gejala yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala

emosional. Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya

mengulang-ulang kata, hilang ingatan, melupakan hal-hal yang

penting, tidak dapat memusatkan perhatian, gerakan-gerakan yang

tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran tersumbat. Sedangkan gejala

emosional misalnya rasa takut, tegang, bingung, tidak menentu,

terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa tidak berdaya, rasa

kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir.

Kecemasan dapat timbul dari situasi apapun yang bersifat

mengancam keberadaan individu. Situasi yang menekan dan menghambat

yang terjadi berulang-ulang akan mengakibatkan reaksi yang

mengecemaskan. Semiun (2006) menyebutkan ada empat aspek yang

mempengaruhi kecemasan secara umum yaitu:

23

a. Aspek Suasana Hati

Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah

kecemasan, tegang, depresi, mudah marah, panik dan kekhawatiran.

Individu yang mengalami kecemasan, memiliki perasaan akan adanya

hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu

yang tidak diketahui.

b. Aspek Kognitif

Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan menujukkan

kekhawatiran dan keprihatianan mengenai bencana yang diantisipasi

oleh individu. Misalnya seseorang individu yang takut berada ditengah

khalayak ramai (agorapho), mereka akan menghabiskan banyak waktu

untuk khawatir mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan

(mengerikan) yang mungkin terjadi dan kemudian dia merencanakan

bagaimana dia harus menghindari hal-hal tersebut.

c. Aspek Somatik

Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua

kelompok. Pertama yaitu aspek langsung meliputi mulut kering,

bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala

terasa berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua yaitu apabila

kecemasan berkepanjangan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah

meningkat secara kronis, sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan

dalam pencernaan, dan rasa nyeri pada perut).

24

d. Aspek Motor

Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan

motorik menjadi tanpa arti dan tanpa tujuan. Hal ini dapat dilihat

misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk, dan sangat kaget terhadap

suara yang terjadi secara tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan

gambaran rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada individu

dan merupakan usaha untuk melindungi diri dari apa saja yang

dirasanya mengancam.

Sejalan dengan hal tersebut, Atkinson (1996) menyatakan bahwa

kecemasan dapat terjadi karena adanya beberapa aspek sebagai berikut:

a. Threat (ancaman)

Wujudnya berupa ancaman terhadap tubuh, jiwa dan psikisnya,

(seperti kehilangan arti kemerdekaan dan kehidupan) maupun ancaman

terhadap eksistensinya (seperti kehilangan hak). Jadi ancaman ini dapat

disebabkan oleh sesuatu hal yang betul-betul berhubungan dengan

realitas, atau yang tidak berhubungan dengan realitas.

b. Conflict (pertentangan)

Timbul karena adanya dua keinginan yang keadaannya saling bertolak

belakang. Hampir setiap konflik melibatkan dua alternatif atau lebih

yang masing-masing mempun yai sifat approach dan avoidance.

c. Fear (ketakutan)

Kecemasan sering kali muncul karena ketakutan akan sesuatu. Adanya

ketakutan akan kegagalan tersebut dapat menimbulkan kecemasan

misalnya ketika menghadapi ujian atau berbicara di depan kelas.

25

Burgoon dan Ruffner (1978) secara lebih spesifik menerangkan

tentang aspek-aspek kecemasan dalam berkomunikasi sebagai berikut:

a. Unwilingness atau tidak adanya minat untuk ikut berpartisipasi dalam

komunikasi. Individu berusaha untuk menghindar berbicara di muka

umum.

b. Unrewarding yaitu tidak adanya penghargaan dalam berkomunikasi

atau adanya peningkatan hukuman dalam komunikasi sebelumnya.

Kecemasan berkomunikasi disebabkan oleh penolakan dari orang lain.

c. Control yaitu kurangnya kontrol individu terhadap situasi dan

lingkungan komunikasi (termasuk tempat dan peralatan) yang dapat

menyebabkan kecemasan pada pembicara.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

komponen kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari aspek

unwilingness, unrewarding, dan control.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan

Umum

Menurut Adler dan Rodman (1991) terdapat dua hal yang dapat

menyebabkan seseorang mengalami kecemasan pada saat berbicara di

depan umum, yaitu:

a. Pengalaman negatif di masa lalu, yaitu adanya suatu pengalaman yang

tidak menyenangkan di masa yang lalu mengenai suatu peristiwa yang

dapat terulang kembali di masa mendatang apabila individu tersebut

menghadapi kejadian atau situasi yang sama dan juga tidak

menyenangkan.

26

b. Pikiran yang tidak rasional. Pada saat terjadi kecemasan, bukanlah

kejadiannya yang membuat individu cemas tetapi kepercayaan atau

keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan.

Devito (1995) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan

umum dapat timbul karena individu membangun perasaan-perasaan

negatif dan memperkirakan hasil-hasil yang negatif sebagai hasil

keterlibatannya dalam interaksi komunikasi. Beberapa faktor yang dapat

menimbulkan kecemasan atau hambatan pada individu untuk berbicara di

depan umum antara lain:

a. Kurangnya Keahlian dan Pengalaman

Seseorang yang mempunyai sedikit pengalaman dan keterampilan atau

sama sekalai tidak mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam

menghadapi situasi berbicara di depan umum, maka akan lebih besar

kemungkinannya untuk mengalami kecemasan ketika dihadapkan pada

situasi berbicara di depan umum daripada orang yang sudah

berpengalaman dan mempunyai keterampilan yang berkaitan dengan

berbicara di depan umum.

b. Tingkat Evaluasi

Apabila seseorang mengetahui atau menganggap bahwa dirinya akan

dievaluasi ketika sedang berbicara di depan umum, maka akan

semakin besar kecemasan yang terjadi.

27

c. Status Lebih Rendah

Ketika seseorang merasa bahwa orang lain adalah komunikator yang

lebih baik atau tahu lebih banyak daripada dirinya dalam hal

berkomunikasi di depan umum, maka kecemasan yang muncul pada

diri orang tersebut akan lebih besar.

d. Tingkat Kemungkinan Menjadi Pusat Perhatian

Semakin seseorang merasa dirinya sebagai pusat perhatian, maka akan

semakin besar kemungkinan orang tersebut merasa cemas. Berbicara di

depan umum jauh lebih mencemaskan daripada berbicara di dalam

kelompok kecil. Ketika berbicara di depan umum, seseorang secara

otomatis akan menjadi pusat perhatian.

e. Tingkat Kemungkinan Terprediksi Situasi

Semakin suatu situasi tidak dapat diprediksi, maka semakin besar

kemungkinan munculnya kecemasan berbicara di depan umum.

Terlebih apabila berada dalam situasi baru yang membingungkan dan

tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka akan semakin besar pula

kemungkinan timbulnya kecemasan berbicara di depan umum.

f. Tingkat Perbedaan

Ketika seseorang merasa berbeda dengan pendengar atau komunikan,

maka dapat menyebabkan orang tersebut merasa cemas. Semakin besar

perbedaan yang dirasakan seseorang atau komunikator dengan para

komunikan, maka akan semakin besar pula kemungkinan seseorang

mengalami kecemasan.

28

g. Sukses dan Gagal Sebelumnya

Sukses yang dirasakan seseorang sebelumnya pada saat berbicara di

depan umum dapat menurunkan tingkat kecemasan ketika ia berbicara

di depan umum pada kesempatan berikutnya. Demikian pula

sebaliknya, kagagalan berbicara di depan umum sebelumnya dapat

dianggap sebagai peringatan bahwa kemungkinan akan mengalami

kegagalan dalam situasi selanjutnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, praktikan memilih untuk

menggunakan komponen kecemasan yang dikemukakan oleh Rogers

(2003) sebagai karena cakupan gejala atau indikasi kecemasan yang

ditunjukkan lebih luas. Sementara itu salah satu variabel yang akan

digunakan praktikan untuk mengurangi atau mereduksi kecemasan

berbicara di depan umum adalah kecerdasan emosi. Goleman (2009)

menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang

mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan

emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri,

pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial akan membantu

seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Hal

tersebut diperkuat oleh Sundari (2005) yang berpendapat bahwa

kecerdasan emosi memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait

dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kemampuan dan

potensi emosinya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal ini

adalah kemampuan dan potensi berbicara di depan umum.

29

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada berbagai

macam teknik untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan

berbicara di depan umum. Utami (1999) menyatakan bahwa untuk

mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan

mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan

efikasi diri. Sementara itu Agustina, dkk. (2015) menggunakan teknik

pelatihan relaksasi untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum.

B. Pelatihan Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Pelatihan Kecerdasan Emosi

Pelatihan atau training merupakan pengalaman belajar yang

dirancang secara sistematik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan,

sikap, maupun perilaku yang menghasikan perubahan atau kinerja secara

permanen. Pelatihan juga merupakan proses perubahan pengetahuan,

sikap, ataupun perilaku guna mencapai tujuan organisasi (individu) untuk

menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan, atau

perilaku tertentu (Widyana, 2011).

Ancok (2007) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang harus

dilalui agar dalam suatu pelatihan terjadi proses pembelajaran yang efektif,

antara lain:

a. Pembentukan Pengalaman (experience)

Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau

permainan bersama orang lain. Kegiatan atau permainan ini adalah

salah satu bentuk pemberian pengalaman secara langsung kepada

30

peserta. Hal tersebut yang akan menjadi wahana untuk menimbulkan

pengalaman kognitif, afektif, dan konatif. Melalui pengalaman tersebut

setiap peserta siap untuk memasuki tahapan kegiatan berikutnya yaitu

tahapan pencarian makna (debriefing) melalui kegiatan perenungan.

b. Perenungan Pengalaman (reflect)

Tahap ini bertujuan untuk memproses pengalaman yang telah

diperoleh peserta dari kegiatan yang telah dilakukan. Pada tahap ini

setiap peserta melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang

dirasakan saat kegiatan berlangsung, baik yang dilakukan secara

intelektual, emosional, maupun fisikal.

c. Pembentukan Konsep (form concept)

Tahap ini bertujuan untuk mencari makna dari pengalaman kognitif,

afektif, dan konatif yang diperoleh melalui keterlibatannya dalam

kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahapan ini merupakan

kelanjutan tahapan refleksi dengan menanyakan kepada peserta tentang

hubungan antara kegiatan yag dilakukan dan perilaku yang

sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari.

d. Pengujian Konsep (test concept)

Tahap terakhir ini bertujuan untuk merenungkan dan mendiskusikan

sejauhmana konsep yang telah terbentuk di tahap ketiga dapat

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kehidupan

bersama keluarga, teman, maupun masyarakat (transfer of learning).

Peserta melihat relevansi pengalaman yang telah dialami, kemudian

direfleksikan, dan dikonsepkan sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

31

Ada beragam model-model pelatihan kecerdasan emosi yang

disampaikan oleh para tokoh. Gotman (2003) dalam bukunya tentang Kiat-

Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional

menyatakan ada lima langkah yang dapat digunakan untuk melatih emosi

pada anak antara lain menyadari emosi anak, mengenali emosi sebagai

peluang untuk menjadi akrab dan mengajar, mendengarkan dengan penuh

empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak, menolong anak untuk

memberi label emosi-emosi dengan kata-kata, dan menentukan batas-batas

sambil menolong si anak memecahkan masalahnya.

Sejalan dengan hal tersebut Wipperman (2000) menuliskan ide

mengenai cara merangsang kecerdasan emosional dengan sebutan

Kurikulum Sepuluh Langkah Untuk Kebijaksanaan Emosional. Langkah-

langkah tersebut antara lain memprioritaskan kesehatan tubuh, menelusuri

perasaan dalam tubuh bukan di otak, membangun otot emosional setiap

hari dengan mengambil waktu untuk fokus pada pengalaman emosional,

menerima semua yang dirasakan, membuka hati bagi orang lain,

mengambil tindakan dengan melakukan berbagai hal yang membuat diri

merasa berguna, mendengarkan dengan empati, menceritakan bagaimana

perasaan kita, menggunakan perubahan sebagai suatu kesempatan untuk

tumbuh dewasa, dan membawa humor kemanapun pergi.

Burke (2004) menyatakan bahwa orang tua dapat membentuk anak

yang bertanggung jawab dengan memanfaatkan kecerdasan emosinya.

Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah metode preventif dan

32

korektif dalam mengajarkan keterampilan sosial. Anak diajarkan

bagaimana menerima kritik, berbeda pendapat dengan orang lain, meminta

bantuan, meminta ijin, meminta maaf, bergaul dengan orang lain, memberi

dan menerima pujian, serta berbagai keterampilan sosial yang lain. Metode

ini selanjutnya disingkat dengan metode SODAS (Situation, Option,

Disadvantages, Advantages, and Solution). Dengan metode tersebut

diharapkan dapat membantu seseorang untuk berpikir lebih jelas dan

membuat keputusan berdasarkan pada alasan yang kuat.

Goleman (1995), dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan

Emosional menerangkan berbagai cara untuk melatih kecerdasan emosi

anak di sekolah dan keluarga. Cara yang ditempuh antara lain dengan

menumbuhkan kesadaran diri, pengambilan keputusan pribadi, mengelola

perasaan, menangani stress, empati, komunikasi, membuka diri,

pemahaman, menerima diri sendiri, tanggung jawab pribadi, ketegasan,

dinamika kelompok, dan menyelesaikan konflik.

Goleman (2009) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai

kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain dalam

hubungannya dengan orang lain. Pengertian lain disampaikan oleh

Gottman (2003) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi mencakup

kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, menunda pemuasan,

memberi motivasi diri mereka sendiri, membaca isyarat sosial orang lain,

dan menangani naik turunnya kehidupan. Sejalan dengan pengertian di

atas, Segal (1997) menyatakan bahwa wilayah kecerdasan emosi adalah

33

hubungan pribadi dan antarpribadi serta bertanggung jawab atas harga diri,

kesadaran diri, kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial. Sementara

itu menurut Coopeer dan Sawaf (dalam Agustian, 2001) menyatakan

bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan

secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber

energi, informasi, koneksi, serta pengaruh yang manusiawi.

Berdasarkan berbagai teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa

pelatihan kecerdasan emosi adalah proses perubahan pengetahuan, sikap,

ataupun perilaku untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap

mental, dan keterampilan, atau perilaku yang penuh kesadaran. Melalui

pelatihan kecerdasan emosi akan membentuk pikiran yang terdidik dan

teratur serta terbiasa berpedoman dalam nilai-nilai positif atau nilai

kebaikan. Emosi cerdas yang terkelola dalam nilai-nilai positif selalu

produktif dan terkendali untuk menghasilkan kinerja dan prestasi terbaik.

Dengan demikian emosi yang cerdas menjadikan seseorang dalam hal ini

khususnya pelajar dapat lebih produktif dan berkualitas sehingga

mendorong perilaku menjadi lebih tenang dalam energi positif. Kondisi ini

akan mendorong seseorang untuk berani menjawab berbagai tantangan

yang dihadirkan oleh kompleksitas kehidupan dan mengembangkan

kemampuan diri untuk menghadapi berbagai peristiwa dan realitas dengan

tindakan yang optimis dan produktif.

34

Melalui pelatihan kecerdasan emosi individu akan mampu untuk

merespon hidupnya dengan optimis, memahami dan menghormati diri

sendiri dan orang lain dengan lebih baik, serta mampu meningkatkan

kualitas diri. Dengan demikian seseorang diharapkan mampu memiliki dan

menerapkan keterampilan personal dan interpersonal dalam kehidupan

sehari-hari dengan lebih baik.

2. Manfaat Pelatihan Kecerdasan Emosi

Menurut Djajendra (2015) pelatihan kecerdasan emosi mampu

membantu individu untuk mempelajari bagaimana kompetensi kecerdasan

emosional mampu meningkatkan kualitas hidup dan membantu meraih

prestasi. Dalam hal ini individu belajar cara menganalisa perilaku diri

sendiri, mengatur reaksi dari orang lain, dan menciptakan perilaku yang

seimbang dalam menjalani peran kehidupan. Melalui pelatihan kecerdasan

emosi, individu akan belajar cara mengadopsi strategi untuk mencegah

masuknya emosi negatif ke dalam diri dan cara mengganti pikiran yang

merusak dengan pikiran yang kuat.

Imadayani (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi

dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja. Melalui pelatihan

tersebut peserta akan belajar tentang hal-hal yang diperlukan untuk bisa

percaya pada diri sendiri dan cara untuk mendapatkan motivasi. Mereka

akan dilatih untuk menangani perasaan takut, perasaan marah, dan cara

untuk meningkatkan harga diri. Sejalan dengan hal tersebut Saptoto (2010)

menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan

35

kemampuan coping adaptif pada pelajar SMU. Melalui pelatihan

kecerdasan emosi mereka belajar untuk dapat membantu orang lain

dengan meminimalkan konflik emosional dan mengelola hubungan.

Peserta belajar cara mengendalikan pengaruh orang lain dan mengelola

emosi pelarian atau emosi liar, serta memandu interaksi dan komunikasi

untuk saling menghormati dan tidak saling menyakitkan. Peserta belajar

cara memonitor hubungan dirinya dengan orang lain dan menyadari

konsekuensinya.

Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi

dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui

pelatihan kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya

interaksi dan komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang

diperlukan untuk menjalin hubungan positif yang penuh empati. Siswa

belajar cara berkomunikasi dengan kekuatan empati dan memperkuat

hubungan melalui tata krama yang etis dengan orang lain. Siswa juga

belajar cara mengakui orang lain dan meningkatkan kontribusi dalam

setiap hubungan.

Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009), ada beberapa aspek

yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi antara lain:

a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri

Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali

perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti

waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana

hati untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang

36

tepat. Goleman (2009) menyatakan bahwa dalam kondisi terbaik,

pengamatan diri memungkinkan adanya semacam kesadaran yang

mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak. Pada titik

terendah, kesadaran diri memastikan dirinya semata-mata sebagai

sedikit langkah mundur dari pengalaman. Waspada terhadap apa yang

terjadi bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya. Keadaan sadar

diri berarti bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak

berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang terjadi. Sedangkan tidak

sadar diri merupakan kebalikan dari sikap peduli dengan lingkungan,

acuh, tanpa perasaan, dan memperkecil pengalaman kesadaran

emosional. Setiap orang memiliki pengalaman kesadaran emosional

yang berbeda. Bagi sebagian orang, kesadaran emosi merupakan

keadaan yang mendesak, sementara bagi yang lain hampir tidak terasa.

Menurut Mayer (dalam Goleman, 2009), gaya-gaya yang khas

dalam menangani emosi seseorang, adalah sebagai berikut:

1) Sadar diri, adalah peka akan suasana hati ketika mengalami suatu

peristiwa, berpendapat positif tentang kehidupan serta tidak larut

dalam kesedihan. Ketajaman pola pikir yang menjadi penyeimbang

untuk mengatur emosi diri. Maka, apabila suasana hati sedang

dalam keadaan tidak baik, diri menanggapinya dengan biasa, tidak

risau, tidak larut ke dalamnya, serta mampu membawa diri agar

merasa lebih nyaman.

37

2) Tenggelam dalam permasalahan, adalah merasa dikuasai oleh

emosi, tidak peka akan perasaan sehingga larut dalam perasaan

serta tidak mempunyai kendali atas emosi diri. Seseorang menjadi

mudah marah, larut dengan keadaan yang dialami, tidak peka akan

perasaan diri sehingga tidak mencari perspektif baru, dan terkesan

kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang tidak baik.

3) Pasrah, adalah peka terhadap suasana hati dan menerimanya begitu

saja serta tidak berusaha mengubahnya.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan

agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola

dengan tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi

terlalu ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi,

cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan

emosional yang berlebihan. Normalnya individu harus memiliki emosi

yang wajar, yakni keadaan yang mampu menyeimbangan antara

perasaan dan lingkungan. Jika emosi tidak dikendalikan maka emosi

akan menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah. Pemicu

hal-hal tersebut umumnya adalah perasaan terancam bahaya. Ancaman

tersebut bukan hanya dipicu secara fisik langsung, melainkan juga

secara simbolik, diperlakukan tidak adil, dicaci-maki atau diremehkan.

Hal-hal tersebut bagi individu merupakan pilihan, apakah tetap berada

pada gelombang emosi, mengupayakan meredam diri atau menjauhkan

diri dari serangan kekhawatiran dan kecemasan.

38

c. Memotivasi Diri Sendiri

Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam

mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi

pencapaian tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi

diri untuk menata emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan

efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006),

motivasi diri adalah tetap pada tujuan yang diinginkan, mengatasi

impuls emosi negatif, dan menunda kesenangan sesaat untuk

memperoleh hasil yang diinginkan. Tujuan yang ditetapkan seseorang

yang mampu memotivasi diri akan dicapai dengan penuh optimis,

karena pribadi yang memiliki motivasi berarti mengandaikan tujuan

sebagai jalan yang wajib dilalui dalam berkendara. Memotivasi diri

diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis dan yakin

akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah

dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman

dengan diri sendiri dan orang lain. Peran individu dalam memotivasi

diri dalam kehidupan terlihat ketika seseorang menghadapi suatu

problem yang membuat dia berada dalam posisi memilih. Individu

bermotivasi tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi

tantangan. Daya dorongan hati yang tidak sejalan dengan harapan akan

diperkecil kemunculannya. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki

motivasi akan mengikuti pola arus yang telah ada, kurang

berkosentrasi, dan mudah menyerah.

39

d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati

Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap

tanda sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan,

dibutuhkan/dikehendaki orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga

sebagai kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk memahami

perasaan orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain

adalah mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara. Misalnya

nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain.

e. Membina Hubungan dengan Orang Lain

Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk

menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi

dengan orang lain secara cermat serta mampu membaca situasi dan

jaringan sosial yang ada di sekitarnya. Menurut Goleman (2009) suatu

tata krama menimbulkan norma, salah satunya adalah meminimalkan

tampilan emosi di hadapan orang lain, tidak cemberut dan

mengerutkan dahi. Karena tampilan emosi memiliki konsekuensi

langsung atas pengaruh yang ditimbulkannya pada orang lain. Aturan

bagaimana menyembunyikan emosi, menggantinya dengan perasaan

bohong yang tidak menyakitkan adalah lebih dari tata karma sosial.

Mengikuti aturan dengan baik berarti mengoptimalkan pengaruhnya,

melaksanakannya dengan buruk berarti menimbulkan kekacauan

emosi. Keterampilan kita dalam mengirimkan isyarat-isyarat

emosional dalam berhubungan dengan orang lain mempengaruhi

40

kualitas hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial

maka semakin baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam

bahasa verbal maupun non verbal. Kadar hubungan emosi dapat

dirasakan dalam suatu percakapan, rapi dalam koordinasi gerakan fisik

saat berbicara. Keterampilan antarpribadi yang baik dapat menjalin

hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau ungkapan emosi diri

maupun orang lain, selalu berupaya menyetarakan diri terhadap

bagaimana orang lain bereaksi, serta memiliki kepekaan akan perasaan

dan kebutuhan diri.

3. Tahapan dan Prosedur Pelatihan Kecerdasan Emosi

Pelatihan kecerdasan emosi yang dilakukan dengan pendekatan

kelompok ini akan menggunakan konsep experiental learning. Dalam hal

ini menurut Johnson & Johnson (2001) perilaku manusia terbentuk

berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk

menambah efektivitas. Semakin lama perilaku menjadi suatu kebiasaan

dan berjalan otomatis, maka individu semakin berusaha memodifikasi

perilaku yang sesuai dengan situasi.

Materi pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan dalam

penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada indikator

kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Goleman (2009), antara lain:

1. Kesadaran diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan

makna kesadaran diri sehingga dapat mengenali perasaan diri sendiri

sewaktu perasaan itu terjadi.

41

2. Pengaturan diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan

makna pengaturan diri sehingga dapat mengenali perasaan yang

sedang terjadi untuk selanjutnya dapat mengekspresikannya dengan

baik.

3. Memotivasi diri, tujuannya agar peserta mampu untuk memotivasi atau

memberikan semangat untuk dirinya sendiri di setiap situasi dalam

kehidupannya.

4. Empati, tujuannya agar peserta mampu untuk mengenali emosi orang

lain sehingga dapat merasakan perasaan yang sedang dialami oleh

orang lain.

5. Keterampilan sosial, tujuannya agar peserta memiliki keterampilan

sosial sehingga dapat mengatur suasana hati dan dapat menjalin

hubungan baik dengan orang lain.

Pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan terdiri atas

lima sesi dengan durasi waktu selama enam setengah jam.

a. Sesi pertama diawali dengan perkenalan dan ice breaker (menyanyi

bersama). Ice breaker dimaksudkan untuk menghilangkan kebekuan

diantara peserta dalam suatu pelatihan. Dengan demikian diharapkan

mereka akan dapat saling mengenal, mengerti, dan dapat saling

berinteraksi dengan baik satu sama lain. Tujuan dilaksanakannya ice

breaker adalah 1) agar tercipta kondisi-kondisi yang equal (setara)

antara sesama peserta dalam forum pelatihan; 2) menghilangkan sekat-

sekat pembatas diantara peserta sehingga tidak ada lagi anggapan

bahwa ada yang merasa lebih pintar, ada yang merasa bodoh, ada

42

yang merasa kaya, dan lain sebagainya, yang ada hanyalah kesamaan

kesempatan untuk maju; 3) terciptanya kondisi yang dinamis di antara

peserta; 4) menimbulkan kegairahan atau motivasi antara sesama

peserta untuk melakukan aktivitas bersama selama pelatihan

berlangsung (Sunarno, 2005).

b. Sesi kedua diisi dengan orientasi. Sesi orientasi yang dimaksud adalah

suatu proses pemberian pemahaman kepada peserta tentang segala

sesuatu yang bekaitan dengan pelatihan yang sedang dilaksanakan.

Tujuan dari sesi orientasi adalah 1) menghilangkan kebingungan

peserta tentang apa yang sebenarnya sedang mereka ikuti; 2)

meluruskan motivasi awal peserta untuk mengikuti pelatihan; 3)

memberikan pemahaman tentang hal-hal apa saja yang seharusnya

peserta lakukan selama mengikuti pelatihan; 4) memberikan gambaran

ringkas tentang hal-hal yang akan peserta temui selama mengikuti

pelatihan (dengan tidak memberitahu hal-hal yang sangat

rahasia/esensial); 5) memunculkan komitmen dan kesediaan peserta

untuk mengikuti acara pelathan dari awal sampai akhir denagn penuh

perhatian dan kesadaran diri (Sunarno, 2005). Tahap selanjutnya diisi

dengan permainan yang berhubungan dengan indikator kecerdasan

emosi.

c. Sesi ketiga diisi dengan ceramah tentang tujuan, dan manfaat

pelatihan, serta penjelasan tentang metode dan teknik pelaksanaan

pelatihan. Hal ini bertujuan agar peserta memahami tujuan dan

manfaat pelatihan serta dapat mengikuti setiap sesi pelatihan sesuai

43

dengan prosedur yang telah ditentukan. Selain itu, melalui metode

ceramah dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta

sehingga dapat mengubah struktur kognitif peserta. Setelah ceramah

dilanjutkan diskusi tentang pentingnya kecerdasan emosi. Peserta

dikondisikan untuk saling menasihati sesama responden terdekat

secara bergantian. Sebelum sesi ketiga usai, acara diisi dengan

penayangan video motivasi terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan

metode ceramah dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat

Simamora (2006) yang menyatakan bahwa metode ceramah adalah

penyajian informasi secara lisan dan merupakan bentuk pelatihan yang

paling umum. Metode ceramah memungkinkan untuk menyajikan

cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas. Teknik

ceramah dianggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi

yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam

metode ceramah dapat pula disertakan media lain seperti notebook,

hand out, infocus, dan alat peraga. Kelebihan metode ceramah antara

lain: 1) dapat mengkomunikasikan minat intrinsik dan antusiasme

terhadap materi bahasan yang dapat meningkatkan minat partisipan

dalam proses pelatihan; 2) dapat mencakup materi selain yang sudah

ada sebelumnya; 3) dapat menjangkau lebih banyak pendengar

sekaligus; 4) pelatih dapat bertindak sebagai model yang efektif bagi

peserta; 5) mudah mengendalikan materi yang disampaikan. Dalam

kesehariannya proses belajar mengajar yang dilakukan pada sekolah

yang akan diteliti menggunakan metode ceramah. Dengan demikian

44

perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok

intervensi dilakukan dengan bentuk ceramah serta dilanjutkan dengan

diskusi sensitivitas (sensitivity training). Menurut Simamora (2006),

diskusi sensitivitas adalah metode untuk meningkatkan sensitivitas

antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang perasaan,

sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Dalam sesi ini para peserta

pelatihan didorong untuk memberitahu peserta lain (pasangannya)

secara terbuka tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya

pasangan memberikan penilaian serta masukan terhadap sikap dan

perilaku tersebut. Tujuan dari metode diskusi sensitivitas ini adalah

agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap, kebiasaan,

dan perilaku ke arah yang lebih baik.

d. Sesi keempat diisi dengan penyampaian kesimpulan akan pentingnya

kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Tahap selanjutnya diisi

dengan penyampaian pesan dan kesan responden terhadap pelatihan.

Peneliti juga meminta responden untuk memberikan masukan terkait

jalannya pelatihan untuk peningkatan kualitas pelaksanaan pelatihan

berikutnya.

e. Sesi kelima diisi dengan muhasabah yaitu pemutaran video motivasi

terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan metode muhasabah dalam

akhir sesi pelatihan bertujuan untuk mengistirahatkan pikiran, hati, dan

fisik, agar memperoleh stamina, energi, gelora, harapan, dan motivasi

baru. Sehingga diharapkan setelah mengikuti pelatihan, peserta dapat

lebih memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan pada masa

45

yang akan datang (Bachrun, 2011). Sementara itu, pemilihan metode

video didasarkan pada banyaknya manfaat yang akan didapat dari

penggunaan media film atau video jika diterapkan dalam pelatihan

maupun saat proses pembelajaran. Menurut Arsyad (2013) ada tujuh

keuntungan menggunakan media film dan video, yaitu: 1) Melengkapi

pengalaman-pengalaman dasar dari peserta ketika mereka membaca,

berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Film merupakan pengganti alam

sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal tidak

dapat dilihat, 2) Menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat

disaksikan secara berulang-ulang jika dipandang perlu, 3) Selain

mendorong dan meningkatkan motivasi, film dan video menanamkan

sikap dan segi-segi afektif lainnya, 4) Mengandung nilai-nilai positif

yang dapat mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok,

5) Dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara

langsung, 6) Dapat ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok

kecil, kelompok heterogen, maupun perorangan, serta 7) Melalui

penayangan gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan

normal memakan satu minggu dapat ditampilkan secara singkat dalam

beberapa menit saja.

Setelah semua sesi selesai, peneliti mengakhiri sesi kelima dengan ucapan

terima kasih sekaligus menutup proses pelatihan. Pelaksanaan sesi-sesi

dalam pelatihan dijelaskan dalam Tabel 1:

46

Tabel 1 Tabel Pelaksanaan Pelatihan

Sesi Pelatihan Waktu Metode Pelatihan

Pembukaan 60 menit

a. Perkenalan

b. Ice Breaker: Brain Gym

c. Penjelasan kegiatan

d. Kontrak & peraturan pelatihan

Sesi:

Kesadaran dan

Pengaturan Diri

90 menit

a. Ceramah, simulasi, diskusi

b. Permainan “Kayu Jatuh”

c. Sesi Hening

d. Lembar kerja subjek

Istirahat 1 15 menit -

Sesi:

Memotivasi Diri

60 menit

a. Video “Jangan Menyerah”

b. Ceramah, diskusi

c. Video “Every One is Number 1”

d. Lembar kerja subjek

Istirahat 2 30 menit -

Sesi:

Empati dan

Keterampilan Sosial

60 menit

a. Senam Chicken Dance

b. Video “Penyandang DMD

Berprestasi”

c. Ceramah, diskusi

d. Lembar kerja subjek

Penutupan 75 menit

a. Muhasabah: instrumentalia

“Bismillah”

b. Video narasi “The Eagle”

c. Sesi Cooling Down (Release)

d. Evaluasi pelatihan

e. Ucapan terima kasih

Total 390 menit

47

C. Pelatihan Kecerdasan Emosi untuk Menurunkan Kecemasan

Berbicara di Depan Umum pada Siswa

Pelajar sebagai generasi penerus bangsa akan sangat diharapkan ide

dan gagasannya dalam mengisi pembangunan. Untuk mengungkapkan ide dan

gagasan tersebut diantaranya dibutuhkan kemampuan berbicara di depan

umum. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelajar yang masih takut

berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum sangatlah

umum terjadi baik di kalangan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. Jika

hal ini terjadi pada pelajar atau siswa, maka dapat mengakibatkan siswa

cenderung menghindari mata pelajaran tertentu atau bahkan jurusan tertentu

yang memerlukan presentasi lisan. Dampaknya ke depan dapat pula

mengakibatkan mereka memutus terhadap suatu jurusan atau karir tertentu

yang memerlukan kemampuan untuk berbicara di depan umum serta dapat

pula mengakibatkan mereka menghindari kontak atau kegiatan sosial di

masyarakat.

Menurut Osborne (2004) perasaan cemas ini muncul karena takut

secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa

dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan

dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa

mungkin dirinya akan membosankan. Menurut Santoso (1998) kecemasan

berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala

fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan

berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian,

48

yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan,

tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik.

Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS menyatakan

kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri,

menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak

menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami

kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan

yang sangat tinggi. Kemudian, individu tersebut akan menolak untuk

bersosialisasi dengan orang lain, keadaan individu akan membaik ketika

ketegangannya berkurang (Rakhmat, 2007).

Individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk

menarik diri dan tidak efektif dalam interaksi sosial, ini dimungkinkan karena

individu tersebut mempersepsi akan adanya reaksi negatif. Kecemasan

merupakan suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang

gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial,

misalnya ketika individu mengalami nervous, individu tersebut mungkin

menunjukkan indikasi-indikasi seperti gemetar, gelisah, menghindari orang

lain, tidak lancar berbicara dan kesulitan konsentrasi (Dayakisna &

Hudaniyah, 2009).

Sundari (2005) menyatakan bahwa kecemasan timbul karena

manifestasi perpaduan bermacam-macam emosi. Oleh karena itu upaya

penanggulangannya juga melibatkan faktor emosi. Penelitian lainnya

dilakukan oleh Spielberger, Liebert, dan Morris (dalam Elliot, 1999) dalam

suatu percobaan konseptual menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami

49

oleh individu terdiri atas dua dimensi utama yaitu kekhawatiran dan

emosionalitas.

Kecemasan berbicara di depan umum bukan hanya disebabkan oleh

ketidakmampuan individu dalam berkomunikasi. Namun sering disebabkan

juga oleh pikiran negatif dan irasional (Rahayu, dkk. 2004), kestabilan emosi

(MacIntyre & Thiviegre, dalam Roach, 1999), keyakinan atau kepercayaan

diri (Matindas dalam Astrid, 2003), perbedaaan jenis kelamin ((Elliot &

Chong dalam Astrid, 2003), pengalaman yang tidak menyenangkan serta

kurangnya pengalaman (Burgoon & Ruffner dalam Dewi & Andrianto, 2003).

Oleh karena itu untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan

berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir,

meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri (Utami, 1999).

Penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2009) menyatakan bahwa

faktor kecerdasan emosi berpengaruh pada tingkat kecemasan berbicara di

depan umum. Menurutnya kemampuan seseorang mengatur kehidupan

emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan

pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri,

motivasi, dan keterampilan sosial, akan membantu seseorang dalam mengatasi

kecemasan saat berbicara di depan umum. Pendapat tersebut didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2015) yang menyatakan bahwa

teknik relaksasi merupakan salah satu upaya untuk dapat mengurangi

kecemasan berbicara di depan umum. Selama relaksasi subjek akan

dikondisikan untuk mengenali dan mengelola emosi mereka agar dapat

mengurangi ketegangan. Proses mengenali dan mengelola emosi merupakan

50

bagian dari aspek kecerdasan emosi yang bertujuan agar subjek waspada

terhadap suasana dan hati pikiran untuk selanjutnya dapat menangani dan

mengungkapkannya dengan cara yang tepat. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Nevid, Rathus, dan Greene (2005) yang menyatakan bahwa

kecemasan adalah suatu keadaan emosional atau keadaan khawatir yang

mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Seseorang yang

memiliki kecerdasan emosi akan dapat menempatkan emosinya pada porsi

yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur suasana hati.

Wahyuni (2014) mengemukakan bahwa ada hubungan antara

kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum. Kepercayaan

diri berkaitan erat dengan upaya seseorang dalam memotivasi diri. Orang yang

percaya diri akan mampu memotivasi dirinya untuk menata emosi dengan

baik, cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka

kerjakan. Hal tersebut diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis

dan yakin akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah

dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman dengan diri

sendiri dan orang lain (Freud, 2006).

Fatma (2008) menunjukkan bahwa melalui pendekatan perilaku

kognitif dapat mengelola kecemasan berbicara di depan umum. Perilaku

kognitif memegang peran penting dalam kemampuan berempati. Empati

melibatkan aspek kognitif untuk mampu menangkap tanda sosial misalnya

membaca pesan non verbal dari lawan bicara sehingga mengetahui apa yang

dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain.

51

Djajendra (2015) menyatakan bahwa melalui pelatihan kecerdasan

emosi individu tidak lagi merasa cemas ketika diminta untuk berbicara di

depan umum. Mereka dapat berpikir tentang interaksi masa depan mereka

dengan cara yang baru untuk meningkatkan keterampilan komunikasi mereka

sehingga akan mendapatkan lebih banyak keuntungan dari kehidupan. Hal ini

sesuai dengan pendapat Goleman (2009) yang menyatakan bahwa salah satu

aspek kecerdasan emosi adalah keterampilan membina hubungan dengan

orang lain. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk dapat menangani

emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain

secara cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di

sekitarnya.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas maka intervensi untuk

menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum salah satunya

dengan cara memberikan pelatihan kecerdasan emosi kepada para siswa.

Apabila para pelajar sebagai generasi penerus bangsa tidak lagi mengalami

kecemasan ketika berbicara di depan umum, maka diharapkan mereka akan

memiliki kesadaran diri, mampu mengatur diri, memotivasi diri, mampu

berempati, dan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga dapat

menyampaikan ide dan gagasannya dengan lebih mantab dan percaya diri

untuk mengisi pembangunan.

Setiap sesi dalam pelatihan diharapkan dapat berkontribusi terhadap

penurunan kecemasan berbicara di depan umum pada siswa. Misalnya melalui

sesi kesadaran diri atau mengenali emosi. Siswa akan dilatih untuk dapat

bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak berlebihan dalam

52

menanggapi sesuatu yang terjadi. Aktivitas tersebut sesuai dengan pendapat

Goleman (2009) yang menyatakan bahwa mengenali emosi berarti waspada

terhadap apa yang terjadi, bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya.

Setelah mengenali emosinya, selanjutnya siswa dilatih untuk dapat

mengelola emosi dengan lebih tepat melalui sesi mengelola emosi. Emosi

yang terjadi akan dapat dikendalikan dengan lebih baik sehingga tidak akan

meluap secara ekstrim. Misalnya ketika presentasi di depan kelas, materi

dianggap tidak penting oleh sekelompok teman. Siswa yang mampu

mengelola emosi dengan baik akan bersikap sewajarnya dan tidak berlebihan

menanggapi hal tersebut. Kondisi ini akan membuat tetap rileks, percaya diri,

menghindarkan dari depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-

luap, serta gangguan emosional yang berlebihan. Dengan demikian siswa tetap

dapat menyelesaikan presentasi dengan lancar. Hal ini sesuai dengan pendapat

Goleman (2009) yang menyatakan bahwa emosi yang tidak dikendalikan akan

menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah.

Sesi motivasi diri akan membantu siswa untuk mampu menentukan

pilihan yang tepat pada saat dihadapkan pada suatu permasalahan.

Kemampuan memotivasi diri akan membuat seseorang memiliki motivasi

yang tinggi pula dalam hidupnya sehingga akan mendorong individu untuk

tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan. Misalnya ketika tiba-tiba

diminta untuk berbicara di depan orang banyak, sering muncul ketakutan

ditertawakan, disalahkan, dan lain sebagainya. Maka siswa yang mampu

memotivasi diri akan dapat merespon ketakutan itu sebagai tantangan yang

harus dihadapi untuk meningkatkan kompetensi. Selain itu siswa juga akan

53

berusaha untuk memperkecil setiap peluang kemunculan ketakutan dan

kekhawatiran yang justru akan menghambatnya. Menurut pendapat Freud

(2006), peran individu dalam memotivasi diri terlihat ketika menghadapi

problem yang membuatnya berada dalam posisi memilih. Individu bermotivasi

tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan serta mampu

memperkecil kemunculan dorongan hati yang tidak sejalan dengan

harapannya.

Sesi empati akan melatih siswa untuk memahami perasaan orang lain.

Siswa diharapkan mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara

meliputi nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain.

Misalnya saat presentasi di depan kelas, ada beberapa teman yang menguap

atau berulang kali melihat jam dinding. Dalam kondisi tersebut maka siswa

diharapkan dapat segera tanggap bahwa mungkin cara penyampaian materinya

monoton atau menjemukan sehingga orang lain mulai jenuh dengan apa yang

disampaikannya. Apabila ini terjadi maka siswa harus segera mengubah

metode presentasinya. Misalnya dengan memberikan jeda untuk menyanyi,

permainan, atau spontanitas lainnya yang bersifat dapat me-recharge

semangat teman yang lain sehingga mau mengikuti presentasi dengan

antusias. Goleman (2009) yang menyatakan bahwa individu yang mampu

berempati ditandai dengan kemampuannya menangkap tanda sosial sehingga

dapat mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan, atau dikehendaki oleh

orang lain.

54

Sesi membina hubungan dengan orang lain akan melatih siswa untuk

dapat lebih terampil dalam mengirimkan isyarat-isyarat emosional ketika

berhubungan dengan orang lain sehingga akan berpengaruh pada kualitas

hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial maka semakin

baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam bahasa verbal maupun

non verbal. Misalnya saat orang menganggap tidak penting terhadap materi

yang sedang disampaikan dengan memberikan komentar negatif, maka

melalui pelatihan ini diharapkan siswa dapat meresponnya dengan cara yang

lebih positif menggunakan diksi atau pilihan kata yang tepat disertai ekspresi

wajah yang tetap santun dan ramah. Hal ini sejalan dengan pendapat Goleman

(2009) menyatakan bahwa keterampilan membina hubungan dengan orang

lain dapat menjalin hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau

ungkapan emosi diri terhadap bagaimana orang bereaksi, serta memiliki

kepekaan akan perasaan dan kebutuhan diri.

Diharapkan dengan diberikannya pelatihan kecerdasan emosi tersebut

maka pelajar akan mampu menurunkan kecemasan berbicara di depan umum.

Pelajar akan lebih mampu mengenali atau mendeteksi sejak awal perasaan

yang dialaminya ketika berbicara di depan umum untuk selanjutnya dapat

mengatur respon yang akan diberikan terkait dengan apa yang sedang

dirasakannya. Pelajar juga akan dapat memotivasi dirinya untuk berusaha

melawan segala bentuk perasaan cemas yang dialaminya ketika berbicara di

depan umum. Disamping hal tersebut, pelajar juga akan belajar untuk

menempatkan dirinya pada posisi orang lain yang mengalami kecemasan

55

ketika harus berbicara di depan umum. Dengan demikian mereka tidak akan

melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menambah kecemasan ataupun

perasaan tidak nyaman pada orang lain saat berbicara di depan umum. Selain

itu melalui pelatihan kecerdasan emosi tersebut pelajar akan dilatih untuk

memiliki keterampilan sosial sehingga dapat menjalin hubungan yang lebih

baik dengan orang lain sehingga dapat meningkatkan kualitas dalam interaksi

sosialnya.

D. Landasan Teori

Banyak permasalahan kompleks dan sulit yang harus dihadapi oleh

pelajar sebagai generasi penerus sekaligus pengisi kemerdekaan. Stresor-

stresor yang sering dialami oleh para pelajar meliputi kemampuan beradaptasi

dengan lingkungan sekolah, pergaulan dengan teman sebaya, dan kemampuan

yang menuntut mereka untuk mengasah pengetahuan maupun keterampilan

untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah merupakan suatu

tantangan tersendiri. Bekal pengetahuan dan keterampilan tersebut tentunya

akan turut berkontribusi pada keberhasilan mereka dalam pencapaian karir di

masa depan.

Jurusan Bahasa adalah jurusan yang mewajibkan siswa untuk

menguasai lebih banyak hal yang berhubungan dengan kemampuan siswa

secara verbal. Siswa jurusan bahasa diharapkan dapat mendefinisikan,

mendeskripsikan, dan memaparkan suatu pengertian maupun argumen dengan

baik. Siswa diharapkan dapat lebih komunikatif dan terampil dalam menjalin

56

hubungan interpersonal. Namun pada kenyataannya banyak siswa khususnya

dari jurusan bahasa yang masih merasa kesulitan bahkan mengalami

kecemasan saat diminta untuk melakukan komunikasi di depan umum.

Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan

istilah “demam panggung” yang difokuskan pada ketakutan untuk berbicara di

depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995) kecemasan berbicara

yang disebut pula sebagai “communication apprehension (CA)” terbagi atas

empat jenis yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized

people, dan CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini

termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami

kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada

situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami

kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari

kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator.

Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas

berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah

berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato,

presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan

mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya

pengalaman berbicara di depan kelas.

57

Rogers (2003) membagi reaksi kecemasan berbicara menjadi dua

gejala umum, yaitu:

a. Reaksi Fisiologis

Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran

yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah,

kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan. Adanya

kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ dalam tubuh

menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan

jumlah asam lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak

jantung dalam memompa darah sehingga jantung berdebar-debar, keluar

keringat yang berlebihan, gemetar, sering buang air, dan sirkulasi darah

tidak teratur. Dalam kondisi cemas, sering individu mengalami rasa sakit

yang berkaitan dengan organ-organ tubuh yang meningkat fungsinya

secara tidak wajar. Misalnya ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak

teratur, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas

sesak, mual, dan sebagainya.

b. Reaksi Psikologis

Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya disertai

oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi dua gejala

yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala emosional.

Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya mengulang-ulang kata,

hilang ingatan, melupakan hal-hal yang penting, tidak dapat memusatkan

perhatian, gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran

58

tersumbat. Sedangkan gejala emosional misalnya rasa takut, tegang,

bingung, tidak menentu, terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa

tidak berdaya, rasa kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir.

Menghadapi adanya kenyataan tersebut dibutuhkan intervensi yang dapat

membuat para siswa khususnya dari jurusan bahasa untuk mengatasi

kecemasan berbicara di depan umum. Salah satu upaya untuk mengatasi

kecemasan berbicara di depan umum adalah dengan meningkatkan

kecerdasan emosi.

Kemampuan berbicara di depan umum merupakan bagian dari

kemampuan komunikasi. Metode pelatihan kecerdasan emosi, efektif untuk

meningkatkan kemampuan komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya

peningkatan kemampuan komunikasi setelah pemberian pelatihan kecerdasan

emosi. Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat

meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui pelatihan

kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya interaksi dan

komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang diperlukan untuk menjalin

hubungan positif yang penuh empati. Siswa belajar cara berkomunikasi

dengan kekuatan empati dan memperkuat hubungan melalui tata krama yang

etis dengan orang lain. Siswa juga belajar cara mengakui orang lain dan

meningkatkan kontribusi dalam setiap hubungan.

Menurut Goleman (2003), pelatihan kecerdasan emosi merupakan

rangkaian aktivitas atau strategi dengan menggunakan perasaan sendiri yang

muncul pada saat berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Strategi

59

tersebut mencakup penggunaan pengalaman seperti kesan, ketegangan, dan

trauma dalam kehidupan seseorang. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009),

ada beberapa aspek yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi

antara lain:

a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri

Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali

perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti

waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati

untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang tepat.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan

agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola dengan

tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi terlalu

ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi, cemas yang

berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang

berlebihan (Goleman, 2009).

c. Memotivasi Diri Sendiri

Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam

mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian

tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi diri untuk menata

emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun

yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006), motivasi diri adalah tetap

pada tujuan yang diinginkan, mengatasi impuls emosi negatif, dan

menunda untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

60

d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati

Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap tanda

sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki

orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan

berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain.

e. Membina Hubungan dengan Orang Lain

Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk

menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi

dengan orang lain serta cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan

sosial yang ada di sekitarnya.

Peningkatan kecerdasan emosi dalam penelitian ini diperoleh melalui

pendekatan pelatihan. Hal ini dipilih karena pelatihan adalah metode

pembelajaran yang mempunyai tujuan mengubah aspek kognitif, afektif, dan

keterampilan atau keahlian (Kikpatrick dalam Salas dkk, 2001). Pelatihan,

berbicara pada masalah-masalah yang betul-betul terjadi sebagai topik hari ini.

Bila suatu pengalaman diulang berkali-kali, otak memikirkannya sebagai

jalur-jalur yang diperkuat, sehingga dapat meningkatkan kemampuan syaraf

yang akan digunakan pada saat sulit. Meskipun bahan pelatihan tampak

sederhana, hasilnya bisa mengubah seseorang menjadi bertemperamen baik

dan sukses di masa depan (Goleman, 2003).

Metode pelatihan dapat mempengaruhi hasil pelatihan. Metode yang

digunakan dalam pelatihan ini cukup variatif, antara lain eksplorasi diri,

ceramah, permainan, diskusi, pemantauan diri, mengisi lembar kerja, umpan

balik, dan presentasi. Keberhasilan suatu penelitian juga dipengaruhi oleh

61

metode yang digunakan. Semakin bervariasi penggunaan metode, maka

pelatihan akan lebih menarik dan peserta akan merasa terlibat di dalamnya

(Pfeiffer & Ballew, 1988).

Pelatihan kecerdasan emosi dalam penelitian ini menggunakan metode

kuliah (lecture), diskusi sensitivitas, dan permainan. Menurut Simamora

(2006), metode kuliah adalah penyajian informasi secara lisan. Metode kuliah

merupakan bentuk pelatihan yang paling umum yang memungkinkan untuk

menyajikan cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas.

Metode kuliah dinggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi

yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam metode

kuliah dapat menyertakan media lain seperti notebook, hand out, in focus, dan

alat peraga. Kelebihan metode kuliah antara lain dapat mengkomunikasikan

minat intrinsik dan antusiasme terhadap materi bahasan yang dapat

meningkatkan minat partisipan dalam proses pelatihan. Kelebihan lainnya

adalah dapat mencakup materi selain yang sudah ada dan dapat menjangkau

banyak pendengar sekaligus. Selain itu dalam metode kuliah pelatih dapat

bertindak sebagai model yang efektif bagi peserta kuliah dan mudah

mengendalikan materi yang disampaikan. Metode kuliah diharapkan dapat

menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta sehingga dapat

mengubah struktur kognitif peserta. Pada umumnya proses belajar mengajar

yang dilakukan pada SMA yang akan diteliti menggunakan metode kuliah

atau ceramah. Perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok

intervensi dilakukan dengan bentuk kuliah (lecture) dan dikombinasikan

62

dengan diskusi sensitivitas (sensitivity training). Sebelum peneliti memberikan

pelatihan kecerdasan emosi dengan metode kuliah, terlebih dahulu peneliti

menjabarkan indikator kecerdasan emosi menurut Goleman (2009) yang

bertujuan untuk menurunkan tingkat kecemasan berbicara di depan umum

pada subjek penelitian.

Diskusi sensitivitas merupakan metode untuk meningkatkan

sensitivitas antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang

perasaan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Para peserta pelatihan

didorong untuk memberi tahu peserta lain (pasangannya) secara terbuka

tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya pasangan memberikan

penilaian serta masukan terhadap sikap dan perilaku tersebut. Tujuan diskusi

ini adalah agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap,

kebiasaan, dan perilaku ke arah yang lebih baik (Simamora, 2006).

Metode eksposure melalui presentasi ditujukan untuk mengasah

keterampilan berbicara di depan umum dan membiasakan peserta untuk

menerima umpan balik dari orang lain. Metode permainan ditujukan agar

peserta mendapatkan insight terhadap tujuan pelatihan. Situasi yang

menyenangkan dan keberhasilan presentasi dapat mengurangi perasaan cemas

untuk berbicara di depan umum. Umpan balik yang didapatkan dari trainer

maupun peserta lain dapat meningkatkan rasa percaya diri untuk berbicara di

depan umum. Komentar dan masukan yang didapat dari anggota kelompok

yang mengalami permasalahan yang sama akan lebih dipercaya dan mudah

dicerna. Hal ini memungkinkan masukan yang didapat oleh peserta dapat

mengurangi ketakutan yang berlebihan terhadap evaluasi negatif dari orang

63

lain. Selain itu peserta juga akan lebih memahami kelebihan dan

kekurangannya dalam melakukan presentasi sehingga fokus yang berlebihan

terhadap kekurangannya dapat dikurangi (Prawitasari, 1999).

Berdasarkan penjelasan teori di atas, maka kerangka berpikir dalam

penelitian ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Intervensi

Pelatihan Kecerdasan Emosi

Goleman (2009):

1. Mengenali emosi

2. Mengelola emosi

3. Memotivasi diri

4. Empati

5. Membina hubungan dengan

orang lain

Kecemasan

Reaksi kecemasan, Rogers (2003):

1. Reaksi Fisiologis

2. Reaksi Psikologis

a. Proses Mental

b. Gejala Emosional

Target

Kecemasan menurun

Stressor

Situasi kecemasan berbicara

di depan umum

64

E. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang

diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Kecemasan berbicara di depan umum setelah diberi pelatihan kecerdasan

emosi lebih rendah daripada sebelum pelatihan.

2. Kecemasan berbicara di depan umum pada kelompok eksperimen

mengalami penurunan lebih besar daripada kelompok kontrol.