bab i pendahuluan i.pdfkorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya....

39
xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-ndang Dasar Negara Repubik Indonesia tahun 1945. Jaminan dan perlindungan hukum juga telah di atur di dalamnya, masalah ini terdapat dalam ketentuan Pasal 28 D angka 1 yang menerangkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum“. Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem, aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki satu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. 1 Seperangkat aturan yang membentuk suatu sistem yang bekerja secara satu kesatuan sehingga mendukung kekuasaan Negara dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya. Kekuasaan yang dimiliki oleh Negara tidak bersifat mutlak dan kekuasaan tersebut harus didasarkan pada hukum serta digunakan untuk melaksanakan fungsi dan tujuanya untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini mempunyai makna bahwa 1 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2012. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, h. 13.

Upload: others

Post on 27-Nov-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xvii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan

(machtstaat). Hal ini terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-ndang Dasar Negara

Repubik Indonesia tahun 1945. Jaminan dan perlindungan hukum juga telah di

atur di dalamnya, masalah ini terdapat dalam ketentuan Pasal 28 D angka 1 yang

menerangkan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum“.

Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem, aturan-aturan

(rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada

satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki satu

kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.1 Seperangkat aturan yang

membentuk suatu sistem yang bekerja secara satu kesatuan sehingga mendukung

kekuasaan Negara dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya.

Kekuasaan yang dimiliki oleh Negara tidak bersifat mutlak dan kekuasaan

tersebut harus didasarkan pada hukum serta digunakan untuk melaksanakan fungsi

dan tujuanya untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini mempunyai makna bahwa

1Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, 2012.Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress,

Jakarta, h. 13.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xviii

negara tidak dapat semena- mena dalam melakukan suatu tindakan kepada

warganya walaupun dengan tujuan yang baik, akan tetapi semua tindakan haruslah

berdasarkan hukum termasuk dalam penindakan terhadap para koruptor.2

Ada tiga ciri dasar sebuah negara hukum yaitu supremasi hukum,

penegakan hukum serta pembelaan yang tidak melanggar hukum itu sendiri.

Menurut pendapat A. Hamid S. Attamimi dengan mengutip Burkens, mengatakan

bahwa “Negara Hukum (rechsstaat) secara sederhana adalah negara yang

menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan

kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan

hukum.3 Dengan demikian diharapkan hukum akan benar-benar menjadi

panglima, hukum yang ditempatkan pada derajat yang paling tinggi sehingga

diharapkan tiada seorangpun yang kebal terhadap hukum walaupun dalam

prakteknya masih sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Praktek demikian ini sering terjadi dalam kasus-kasus korupsi yang sudah ada

Lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana

korupsi. Padahal tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam

masyarakat. Perkembanganya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari

jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi

2 Mosgan Situmorang, 2014, Harmonisasi Hukum Nasional Di Bidang Korupsi Dengan

United Nationas Convention Against Corruption, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.

3Hamid S. Attamimi A dalam Morya Emmanuel Patiro Yopi, 2012. Diskresi pejabat

public dan tindak pidana korupsi,Keni Media, Bandung, h. 11

Page 3: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xix

kuwalitas tindak pidana yang dilakukan semakin sitematis serta lingkupnya yang

memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.4

Korupsi menjadi masalah yang sangat penting bahkan menjadi perhatian

utama dunia sejak lama, hal ini terbukti dengan diadakanya berbagai kongres

Internasional yang secara khusus membahas masalah korupsi secara spesifik,

Konggres Internasional mengenai The prevention of Crime and The Treatment of

Offenders yang di prakarsai oleh PBB membahas masalah korupsi dan upaya

penanggulanganya. Kongres PBB ke- 6 Tahun 1980 di Caracas Venezuela yang

menyatakan bahwa tindak pidana korupsi diklasifikasikan kedalam tipe kejahatan

yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the law).5

Sementara itu, Konferensi Internasional anti korupsi yang ke-7 tahun 1995

di Beijing mencatat bahwa tindak pidana korupsi sebagai bentuk kejahatan yang

sulit pembuktianya. Pada tanggal 16 Desember 1996, pada sidang umum PBB

mengeluarkan resolusi tentang pemberantasan korupsi yaitu United Nation

Declaration Agains Coruption And Bribery In International Commercial

Transaction. Visi masyarakat Internasional untuk saling bekerjasama dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi semakin terlihat jelas dan menguat dengan

ditanda tanganinya Declaration Of 8th

International Conference Against

Corruption Tahun 1997 di Lima Peru. Puncak deklarasi adalah United Nation

4 Evi Hartati, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 69.

5 Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep tindak Pidana dan Pemberantasannya, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 61-64.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xx

Convention Against Corruption (UNCAC) yang disahkan dalam konferensi

deplomatik di Merida Mexiko pada bulan Desember Tahun 2003.6

Tidak hanya meratifikasi UNCAC, Indonesia juga telah meratifikasi

United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC

2000) menjadi UU RI No. 5 Tahun 2009. Arti penting konvensi bagi Indonesia

adalah:

1. Untuk meningkatkan kerja sama Internsional, khususnya dalam melacak,

membekukan, menyita dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana

korupsi yang ditempatkan di luar negeri.

2. Meningkatkan kerja sama Internasional dalam mewujudkan tata

pemerintahan yang baik.

3. Meningkatkan kerja sama Internasional dalam pelaksanaan perjanjian

ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana,

pengalihan proses pidana dan kerja sama penegakan hukum.

4. Mendorong terjalinnya kerja sama tehnik dan pertukaran informasi dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung

kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup

bilateral, regional dan multilateral.

5. Harmonisani peraturan Perundang undangan nasional dalam pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan konvensi ini.7

Masalah korupsi yang terjadi di Indonesia sudah semakin pada titik nadir.

Korupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya.

Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

Legislatif maupun Yudikatif, serta telah menjalar di dunia usaha.8 Ibarat sebuah

penyakit, korupsi di Indonesia sudah sangat kronis dan susah untuk disembuhkan.

Korupsi di Indonesia sudah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat

dan sudah menyebar di semua lini.

6 Ibid.

7 I Gede Artha, 2014, Program Doktor Ilmu Hukum,Universitas Udayana, Denpasar, h. 2.

8 Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di

Indonesia, PT. Kompas Media Indonesia, Jakarta, h.1

Page 5: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxi

Stigma korupsi di Indonesia sudah tergolong kejahatan extra ordinary

crimes karena dengan adanya korupsi yang sudah masif dan sistematis, juga telah

merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak saja merugikan

keuangan negara dan potensi kerugian ekonomi negara, tetapi juga telah meluluh

lantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, tatanan hukum dan keamanan

nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasanya tidak bisa hanya dengan instansi

tertentu dan tidak juga hanya dengan pendekatan parsial, akan tetapi harus

dilaksanankan secara komperhensif dan bersama-sama, oleh lembaga penegak

hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat.9

Fenomena korupsi yang semakin meningkat serta meluas hampir di

seluruh sektor kehidupan membuktikan bahwa modus tindak pidana korupsi di

Indonesia semakin kian sulit untuk di ungkap. Apabila hal ini tidak diatasi

secepatnya, maka dikhawatirkan akan menimbulkan ketidak percayaan publik

terhadap hukum dan sistem peradilan pidana dan dapat mengakibatkan

disfungsionalisasi hukum pidana. Atas dasar itu sudah sepatutnya dilakukan revisi

dan reorientasi kebijakan pemberantasan dalam kontek pembaharuan hukum

pidana.10

Dengan demikian pemberantasan korupsi diharapkan bisa berjalan

secara optimal. Masalah ini bisa terwujud apabila political will dari pemerintah

yang sedang berkuasa maupun oleh aparatur penegak hukum saling mendukung

serta saling bersinergi, selain itu bisa pula dilakukan dengan pembaharuan hukum

pidana.

9

Ermansjah Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 11-12.

10 Elwi Danil, 2013, Korupsi, konsep tindak pidana dan pemberantasannya, PT. Raja

Grafindo, Jakarta, h. 5

Page 6: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxii

Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi harus

dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance, legal structure,

dan legal culture.11

Pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan secara

menyeluruh, yang meliputi pembaharuan hukum pidana materiil, hukum pidana

formil dan hukum pelaksanaan pidana. Kesemuanya perlu dilakukan untuk

pentingnya penanggulangan korupsi di Indonesia.

Tindak pidana korupsi adalah salah satu bagian dari hukum pidana khusus,

sehingga mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana

umum. Hal tersebut terlihat dengan adanya penyimpangan hukum acara pidana

atau hukum pidana formil. Sebenarnya keberadaan tindak pidana korupsi dalam

hukum positif kita sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya KUHP (wetboek

van strafrecht) 1 Januari 1918, sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlakunya

bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi dan di

undangkan dalam staatblad 1915 No. 752, tanggal 15 oktober 1915.

Selanjutnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17

Agustus tahun 1945, keberadaan hukum tindak pidana korupsi juga diatur dalam

KUHP, ini terlihat pada Peraturan Pengusa Militer No: Prt/PM-06/1957, tanggal 9

April 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat:

Prt/Peperpu/013/1958, tanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan Penuntutan dan

Pemeriksaan perbuatan Pidana dan Pemilikan Harta Benda (BN. No. 401958),

Perpu No. 24 Prp tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan

Tindak Pidana korupsi (LN No:72 tahun 1960), UU. No. 73 tahun 1971 tentang

11

Ibid, h. 21.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxiii

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU

No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme, UU. No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam rangka menindaklanjuti amanah konstitusi tersebut, maka

pemeritah bersama Dewan Perwakilan Rakyat memberlakukan UU.No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan Undang undang

tersebut, maka KPK diberi kewenangan yang begitu besar, bahkan kewenangan

itu tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum yang lain dengan harapan dapat

menjawab serta mengatasi masalah masalah yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi. Stigma tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan

perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional termasuk jenis

kejahatan ekstra ordinary crimes, untuk itulah sudah sepantasnya kejahatan

tersebut harus diberantas dengan cara ekstra ordinary measure.

Dukungan untuk upaya tersebut, disamping berpedoman pada KUHAP,

juga berpedoman pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana Korupsi, UU No. 30. Tahun 2002 Tentang KPK, UU

No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakimam serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU,

penggabungan antara UU tentang KPK dan UU tentang TPPU di harapakan

sebagai fungsi ganda sekaligus sebagai sarana represif dan fungsi preventif. Tapi

dalam kenyataanya justru korupsi semakin berkembang. Korupsi semakin

Page 8: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxiv

merajalela bahkan sudah masuk ke dalam lembaga lembaga negara. Korupsi di

Indonesia telah masuk ke dalam lembaga eksekutif, legislatif serta yudikatif,

bahkan yang lebih memprihatinkan lagi ada indikasi antara KPK dengan penegak

hukum yang lain justru terjadi gesekan yang sempat menyita perhatian presiden.

Hal ini terbukti dengan adanya istilah cucak lawan buaya jilid satu dan jilid dua.

Salah satu contoh bahwa korupsi telah masuk ke lembaga yudikatif adalah

dengan terungkapnya kasus tindak pidana korupsi sekaligus TPPU yang dilakukan

oleh terdakwa Akil Muhtar yang telah di putus oleh Pengadilan Tipikor dengan

hukuman seumur hidup. Hal ini didasari oleh Pasal 6 huruf a Undang-Undang No.

46 Tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi yang menyatakan

bahwa“ Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili dan

memutus perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi”

KPK atau yang lebih di kenal dengan istilah lembaga anti rasuah

sebelumnya juga sempat menjerat para pejabat negara yang berkaitan dengan

tindak pidana korupsi serta TPPU di antaranya terhadap mantan Kakorlantas Joko

Susilo. Tidak hanya di tuntut dengan tindak pidana korupsinya saja, tetapi juga di

tuntut dengan TPPU. Fenomena tersebut di atas hanyalah sebagian kecil para

koruptor yang di tuntut di di Pengadilan Tipikor oleh KPK.

UU. No.8 Tahun 2010 tentang TPPU dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa

Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan diantaranya yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi. Dengan adanya penggabungan antara UU. No.8 Tahun 2010

tentang TPPU serta UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Page 9: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxv

komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut, maka secara otomatis

diharapkan KPK lebih mudah dan efisien dalam menjerat para koruptor.

Penggabungan instrumen UU tersebut juga sejalan dengan Undang-undang

No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 4 ayat (2) dinyatakan

bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat

dan biaya ringan”.

Pasal 68 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU dinyatakan dengan tegas

bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta

pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dilakukan sesuai

dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan kecuali ditentukan lain dalam

Undang-undang ini.”

Pasal 69 menyatakan bahwa “Untuk dapat dilakukan penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib

dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya” atau predicate crime. Pasal 74

dinyatakan dengan tegas bahwa “Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang

dilakukan olah penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara

dan ketentuan peraturan perundang undangan kecuali ditentukan lain menurut

Undang-undang ini.

Pengaturan tersebut juga terdapat di dalam Pasal 75 yang menyatakan

dengan tegas bahwa “Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang

cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxvi

penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dan memberitahukanya

dengan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan”.

Namun di sisi yang lain UU No.8 Tahun 2010 tentang TPPU tersebut tidak

ada pasal yang secara eksplisit serta tegas yang menyatakan bahwa KPK

berwenang menuntut perkara TPPU. Undang-undang No.30 Tahun 2002 tentang

KPK pada Pasal 6 menyatakan bahwa” KPK mempunyai tugas koordinasi,

supervisi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi serta monitoring.

UU No.8 Tahun 2010 tentang TPPU juga tidak mengatur secara khusus

mengenai penuntut umum yang menuntut perkara TPPU. Pasal 1 angka 6 KUHAP

menyatakaan bahwa “Jaksa adalah pejabat yang di beri wewenang oleh undang-

undang untuk bertindak sebagai penuntut umum.” Ketentuan serupa juga terdapat

pada Pasal 13 yang menyatakan bahwa “ Penuntut Umum adalah jaksa yang

diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntututan dan

melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian berdasarkan norma-norma

tersebut antara KUHAP, UU KPK, serta UU TPPU terdapat Disharmoni Norma

antara UU yang satu dengan UU yang lain, yang menurut pandangan penulis

adalah berupa norma kosong.

Pasal 51 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, (1) Penuntut

adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan

diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. (2) Penuntut Umum

sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 melaksanakan fungsi penuntutan tindak

Page 11: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxvii

pidana korupsi. (3) Penuntut sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 adalah

Jaksa Penuntut Umum.”

Polemik apakah KPK memiliki kewenangan dalam menuntut perkara

TPPU semakin tampak jelas serta menjadi perhatian publik pada bulan Juli tahun

2013, dalam sidang tersebut dua hakim Tipikor yaitu I Made Hendra Kusuma dan

Joko Subagyo dalam sidang kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta dengan

terdakwa LHI. Dua dari lima hakim Tipikor tersebut terjadi perbedaan pendapat

(Discenting Opinion) terkait apakah KPK memiliki kewenangan dalam menuntut

perkara TPPU.

Dalam pandangan dua hakim tersebut berimplikasi hukum antara ada atau

tidak adanya kewenangan penuntutan adalah bisa diterima atau tidaknya surat

dakwaan JPU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP.

Adapun penjelasan hakim Made Hendra yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 6

huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga ini bertugas melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal

51 ayat 1 juga mengatur bahwa “Penuntut umum pada KPK di angkat dan

diberhentikan oleh KPK.”

Polemik kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU juga mendapat

tanggapan dari mantan ketua PPATK Yunus Husein, yang menyatakan bahwa

mesti tidak diatur secara spesifik dalam UU. No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU,

KPK berwenang melakukan penuntutan perkara TPPU sepanjang tindak pidana

asalnya adalah korupsi. Kewenangan KPK dalam menuntut TPPU berkaitan

dengan kewenangan Pengadilan Tipikor dalam mengadili perkara TPPU. Pasal 6

Page 12: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxviii

huruf b UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang menyatakan

bahwa “Pengadilan Tipikor berwenang memeriksa, mengadili dan memutus

perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi”.12

Selain itu Yunus Husein juga menambahkan, bahwa kewenangan KPK

dalam menuntut perkara TPPU lebih baik di atur secara spesifik dalam UU No. 8

Tahun 2010 tentang TPPU sehingga tidak mengundang perdebatan di kemudian

hari, namun pada dasarnya KPK berwenang melakukan penuntutan perkara TPPU

yang tindak pidana asalnya adalah korupsi.13

Pendapat dari Yunus Husein diatas yang menyatakan, ”Idealnya

wewenang KPK dalam menuntut perkara TPPU diatur secara eksplisit dalam UU

seperti UU KPK atau UU TPPU”, mendapat tanggapan dari Guru Besar Emeritus

Universitas Padjajaran dan juga Ahli Hukum Pidana Romli Atmasasmita.

Menurut Romli pernyataan ini membuktikan pengakuannya bahwa KPK tidak

memiliki wewenang menuntut perkara TPPU per-UU KPK atau UU TPPU.

Kalimat, idealnya di muka kalimat berikutnya mencerminkan bahwa dalam

penyusunan UU RI Nomor 8 Tahun 2010 terselip kelalaian tim penyusun dan

dalam pembahasan RUU-nya dengan Komisi III DPR RI. Kelalaian ini tentu

berdampak sebagaimana telah diungkapkan kepada publik bahwa KPK tidak

memiliki wewenang menuntut TPPU atau tidak ada alas hukum yang kuat bagi

KPK untuk menuntut terdakwa korupsi dengan UU TPPU.14

12

Yunus Husein, 2013, www.google.com

13 Ibid.

14

Romli Atmasasmita, 2014, Koran Sindo. www.google.com.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxix

Ahli TPPU Yenti Ganarsih menilai, penerapan TPPU oleh KPK efektif

menimbulkan efek jera sekaligus memiskinkan pelaku tindak pidana korupsi.

Menurut Yenti, dengan menerapkan TPPU dua target utama KPK tercapai, yakni

perampasan aset yang berujung pada pemiskinan, serta pemberatan hukuman

pidana yang berujung terciptanya efek jera. Selain itu penerapan TPPU oleh KPK

tidak akan optimal jika tidak dilakukan perubahan terhadap Undang –undangnya.

Yenti menilai masih ada celah dalam UU TPPU yang memungkinkan penafsiran

hukum bahwa jaksa KPK tidak berwenang menuntut TPPU.15

Hingga saat ini, beberapa perkara korupsi dan TPPU yang dituntut KPK

diterima oleh Pengadilan Tipikor dan masalah ini seakan-akan sudah menjadi

Yurisprudensi. Misalnya, perkara Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan

Ishaq, Ahmad Fathanah, Rudi Rubiandini serta Tubagus Khaeri Wardhana, yang

diputus bersalah setelah hakim memeriksa dan mengadili tuntutan yang diajukan

Jaksa KPK. Meski Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent

yang ketat seperti negara-negara dengan sistem Common Law, putusan terdahulu

seringkali menjadi rujukan untuk menentukan permasalahan hukum serupa.

UU. No 31 Tahun 1999 jo UU. No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, UU. No.30 tahun 2002 tentang KPK serta UU No. 8

Tahun 2010 tentang TPPU, tidak ada norma yang secara eksplisit menyatakan

dengan tegas bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menuntut perkara TPPU.

Akan tetapi faktanya disamping menuntut perkara tindak pidana korupsi, KPK

juga menuntut perkara TPPU yang tindak pidana asalnya adalah korupsi.

15

Yenti Ganarsih, 2015, CNN Indonesia. www.google.com.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxx

Berdasarkan uraian beberapa Undang-undang tersebut diatas serta

pendapat dari beberapa Ahli, maka peneliti menganggap bahwa normanya kosong

sehingga peneliti ingin meneliti tentang “KEWENANGAN KOMISI

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM MENUNTUT PERKARA TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG”

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan dalam

menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang?

2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan dalam perkara

Tindak Pidana Pencucian Uang yang terkait dengan tindak pidana korupsi?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah di

batasi pada kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU. Apakah KPK

memiliki kewenangan dalam menuntut TPPU. Ruang lingkup selanjutnya adalah

mengenai Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan masalah penuntutan

dalam TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi (Ius Constituandum)

Ruang lingkup penelitian merupakan bingkai penelitian serta untuk

membatasi area penelitian. Berkaitan dengan pembatasan terhadap masalah untuk

memperjelas batas kajian.16

Kajian masalah dalam penelitian ini dibatasi pada

kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.

16 Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2012. Pengantar MetodePenelitian Hukum. PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 41.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxi

Kajian didahului dengan pembahasan mengenai TPPU dan kewenangan

KPK, Selanjutnya akan dibahas mengenai kajian bahan hukum dalam TPPU,

ditunjang dengan teori kewenangan dan teori fungsi. Dalam hal ini khusus

membahas kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU

.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

1. Penelitian ini bertujuan dalam upaya pengembangan ilmu Hukum pada

umumnya khususnya di bidang hukum pidana formil serta hukum pidana

materiil serta hukum pidana yang bersifat khusus dalam substansi

kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.

2. Sebagai masukan untuk dijadikan referensi serta bahan pemikiran

mengenai kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU dan juga

mengenai pengaturan ke depan masalah penuntutan dalam perkara TPPU

yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengkaji, memahami dan menemukan hal-hal yang berkaitan dari

aspek normatif serta menganalisa tentang kewenangan KPK dalam

menuntut perkara TPPU

2. Untuk mengetahui, mengkaji serta memberi solusi hukumnya tentang

bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan dalam perkara

TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

1.5 Manfaat Penelitian

Page 16: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxii

1.5.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara keilmuan dapat menambah wawasan ilmu

pengetahuan hukum pada umumnya, sehingga secara substansial lebih

terfokus pada bidang studi hukum yang bersifat khusus mengenai kewenangan

KPK dalam menuntut perkara TPPU, serta pengaturan ke depan penuntutan

dalam TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan khususnya

bagi masyarakat dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara

guna mengetahui kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.

2. Bagi para penegak hukum agar dapat menjalankan peran seta fungsi sistem

peradilan pidana dengan benar dan berkeadilan khususnya kewenangan

KPK dalam menuntut perkara TPPU.

1.6 Orisinilitas Penelitian

Permasalahan mengenai TPPU sering dibahas dalam berbagai penelitian

lain, baik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis maupun disertasi, Namun dalam

penelusuran kepustakaan belum ditemukan penelitian dalam bentuk tesis yang

secara spesifik meneliti tentang Kewenangan KPK dalam menuntut perkara

TPPU. Dalam mencermati beberapa penelitian terkait, dapat ditarik kesimpulan

bahwa belum ada penelitian yang membahas secara khusus dalam hal

Kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU. Selain itu, objek, ruang

Page 17: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxiii

lingkup dan rumusan masalahnya juga berbeda, karena itu penelitian ini dapat

kiranya dinyatakan sebagai penelitian yang orisinal.

Beberapa Tesis yang penulis temukan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Tesis dengan judul Peranan JPU KPK Dalam Penuntutan Perkara Tindak

Pidana Pencucian Uang, yang ditulis oleh Agus Joko Prasetyo tahun 2015

mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung, yang

menjelaskan tentang peranan JPU KPK dalam penuntutan TPPU serta

Implikasi Hukum Peranan JPU KPK Dalam Penuntutan perkara TPPU

terhadap upaya pemberantasan Korupsi.

2. Penerapan Ketentuan TPPU Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di

Indonesia, yang ditulis oleh Ignatius Wahyu Prabowo Tahun 2014, mahasiswa

Program Magister Ilmu Hukum UNS Solo Jawa Tengah yang mengkaji

tentang Ketentuan-Ketentuan Dalam Perundang Undangan Pencucian Uang

Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan hasil penelusuran serta pengkajian penulis terhadap judul,

rumusan masalah isi serta kesimpulan dari masing-masing penelitian diatas, dapat

diketahui bahwa penelitian dengan judul serta rumusan masalah seperti yang akan

diteliti oleh penulis belum dibahas dalam penelitian tersebut. Oleh karena itu

penulis berpendapat bahwa penelitian ini telah memenuhi syarat dari segi

orisinalitas.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir

1.7.1. Landasan Teoritis

Page 18: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxiv

Landasan teori adalah merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis

mengenai suatu permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teori

yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.17

Melalui landasan teori maka

ditentukan arah penelitian dan dalam memilih konsep yang tepat guna

pembentukan analisis dan hasil penelitian yang dilakukan.18

Dalam Landasan

teoritis selain terdapat teori-teori yang digunakan untuk mengupas permasalahan

juga terdapat asas, konsep, dan doktrin19

yang memiliki korelasi yang erat dengan

permasalahan yang di bahas yaitu kewenangan KPK dalam menuntut perkara

TPPU.

Adapun asas-asas hukum yang menurut peneliti cukup relevan adalah asas

Legalitas, asas Lex Spesialis derogat Legi Generali, asas Perkara Cepat dan Biaya

Ringan serta asas Manfaat. Asas Legalitas dalam sistem hukum Negara kita

sampai saat ini masih menjadi asas yang Fundamental. Istilah “Nullum delictum

nulla poena sine praevia lege poenali, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak

ada pidana, tanpa ketentuan Undang-undang terlebih dahulu.20

Maksud dari

kalimat tersebut adalah seseorang tidak bisa dijatuhi pidana apabila belum di atur

di dalam Undang-undang itu sendiri.

Asas Perkara Cepat dan Biaya Ringan merupakan asas-asas yang ada

dalam UU. No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila di

hubungkan dengan kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU merupakan

17 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama,

Bandung, h. 8 18

Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13

19 Hans Kelsen 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 23

20 Schaffmeister dkk, 2007, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 5.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxv

satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, karena apabila kewenangan KPK

sebatas dalam hal penyidikan, sementara penuntutan diberikan oleh JPU dan

bukan Jaksa dari KPK, maka hal ini menjadi sangat tidak efektif serta butuh

waktu yang cukup lama. Padahal penanganan perkara korupsi dalam tugas pokok

KPK harus mendapat skala prioritas.

Asas manfaat maksudnya dalam penanganan perkara korupsi serta TPPU

maka kemanfaatan adalah merupakan tujuan utama hukum. Kemanfaatan adalah

kebahagiaan, sehingga dengan adanya kewenangan KPK dalam menuntut perkara

TPPU, maka manfaat akan dirasakan oleh masyarakat, karena korupsi tidak hanya

merugikan perekonomian Negara serta keuangan Negara, tetapi juga merusak

sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Adapun konsep-konsep hukum yang membangun dan melandasi judul

yang disajikan meliputi pengertian, makna dan kewenangan KPK dalam menuntut

perkara TPPU serta bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan

dalam perkara TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

Yurisprudensi yang dimaksud adalah sehubungan dengan penelitian yang

akan dilakukan adalah berupa putusan-putusan pengadilan yang menyangkut

kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU. Putusan-putusan yang

dimaksud adalah sebagai penunjang serta untuk memperkuat bahasan serta kajian

dari permasalahan yang dibahas.

Hasil penelitian terdahulu yang dimaksudkan adalah sebagai bahan

penunjang yang berguna sebagai keakurasian bahan kajian yang dilakukuan dalam

mengkaji serta menganalisis suatu permasalahan dalam penelitian tesis ini.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxvi

Teori-teori yang relevan dan berkorelasi serta yang cocok untuk digunakan

dalam membahas serta mengkaji permasalahan yang disajikan menurut perspektif

penulis adalah :

1. Teori Kewenangan

2. Teori Fungsi

3. Teori Manfaat (Utilitirianisme

4. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Berkenaan dengan konsep-konsep hukum yang berkaitan serta releven

dengan permasalahan yang di bahas adalah Konsep Negara Hukum serta

Penegakan Hukum. Adapun Konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,

dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechsstaat”. Sedangkan

dalam tradisi Anglo Saxon, Konsep Negara Hukum dikembangkan oleh

kepeloporan A.V Dicey dengan sebutan “ Rule of Law”. Menurut Julius Stahl

konsep Negara hukum yang disebut rechstaat mencakup empat elemen penting:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang.

4. Peradilan Tata Usaha Negara21

Negara hukum merupakan terjemahan dari dari itilah rechsstaat dan rule

of law. Rule of law itu sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk perumusan yuridis

dari gagasan kostitusionalisme. Dalam arti sederhana rule of law diartikan sebagai

21

M. Hata Ali dan Amran Suadi, 2014, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Indonesia,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 57-58.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxvii

tiada satu pun yang berada di atas hukum dan hukumlah yang berkuasa. Oleh

karena itu, konstitusi dan Negara Hukum merupakan dua lembaga yang tidak

terpisahkan. Secara sederhana yang dimaksud Negara hukum adalah Negara yang

penyengaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum.

a. Konsep Rechtsstaat

Konsep Rechtsstaat lahir dari sebuah upaya perjuangan menentang

absolutism kekuasaan raja sebagaimana pernah dipraktekkan di Perancis

sehingga konsep ini sifatnya revolusioner adanya. Dengan meletusnya Revolusi

Perancis (1897) yang melahirkan adanya tiga tuntutan dasar, yakni Egalite

(kesamaan), Fraternite (kemanusiaan), dan Liberte (kebebasan) mrmberikan

penegasan bahwa kesewenang-wenangan yang diperlakukan oleh raja dalam

penyelenggarakan pemerintahan sudah tidak dapat ditahan atau ditoleransi lagi

oleh rakyat dikarenakan telah menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang

sangat dalam bagi rakyat.22

Unsur-unsur utama dari pengembangan konsep rechtsstat banyak

terpengaruh dari pemikiran seorang John Locke tentang hak-hak manusia secara

alamiah, yakni hak untuk hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Tujuan utama

konsep rechtsstat ialah bagaimana kekuasaan itu agak tidak terjadi kesewenang-

wenangan. Hal itu di sebabkan berdasar latar belakang dari kekuasaan raja yang

sering kali melampaui batas kekuasaanya sehingga menimbulkan trauma yang

mendalam pada sejarah berbangsa dan bernegara.

22 Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Prenada media Group, Jakarta, h.

52.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxviii

b. Konsep Rule of Law

Dalam membahas pengertian apa yang dimaksudkan dengan konsep rule of

Law, tentunya harus merujuk kepada konsep yang dikembangkan di Negara-

negara yang bersistem hukum Common Law system. Sejarah dari konsep ini lahir

dari suatu proses evolusi yang artinya berkembang tahap demi tahap, sampai

memperoleh kematanganya.

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

sebuah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya”atau das sollen,

dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan

norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang-

undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi

individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan

dengan sesama individu maupun dalam hubunganya dengan masyarakat.

Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau

melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan

aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.23

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatig yang

didasarkan pada aliran pemikiran positivistis, yang cenderung melihat hukum

sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri karena bagi penganut aliran ini tujuan

hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum24

Muhamamad Tahir Ashary menyebutkan, secara konsepsional terdapat 5 konsep

utama Negara hukum yaitu “Rechtstaat, Rule of Law, Socialist Legaly, Nomokraci

Islam dan Negara Hukum Pancasila.25

23

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h. 158.

24 Akhmad Ali, 2002, Menguak Takbir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis),

Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, h. 82. 25

Muhammad Tahir Azhary, 2004, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini), Bulan Bintang, Jakarta, h. 73-74

Page 23: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xxxix

Secara konseptual, teori Negara Hukum menjunjung tinggi sistem hukum

yang menjamin adanya kepastian hukum (rechts zekerheids) dan perlindungan

terhadap hak asasi manusia (human rights). Pada dasarnya suatu negara berdasar

atas hukum harus menjamin adanya persamaan di depan hukum (Equality before

the Law) termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan haknya.

Korelasi dengan aspek tersebut di atas termuat dalam pembukaan UUD

tahun 1945 yang menentukan bahwa tujuan hukum diformulasikan mencakup

berbagai dimensi melalui konsepsi yang bersifat futuristik, yaitu hukum ditujukan

untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia……………26

Konsep Negara hukum seperti yang dimaksud diatas difungsikan oleh

KPK dalam upaya penuntutan perkara korupsi serta TPPU oleh para koruptor

yang pada umumnya sudah berubah bentuk itu bisa dijadikan sarana untuk

memaksa, sehingga dengan demikian maka hasil kejahatan tersebut bisa kembali

serta disita oleh KPK untuk dikembalikan pada Negara.

1. Teori Kewenangan

Menurut Kamus Praktis bahasa Indonesia yang di susun oleh A.A waskito,

kata kewenangan memiliki arti hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk

melakukan sesuatu. Istilah kewenangan tidak bisa disamakan dengan istilah

urusan, karena kewenangan dapat diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk

menjalankan satu atau beberapa fungsi managemen (pengaturan, perencanaan,

26 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT> Alumni, Bandung, h. 143

Page 24: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xl

pengorganisasian, pengurusan dan pengawasan) atas suatu obyek tertentu yang

ditangani oleh pemerintahan.27

Guna menjustifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh

kelembagaan karena jabatanya maka dilakukan melalui tindakan yang namanya

wewenang. Secara keilmuwan hukum, wewenang merupakan konsep inti dalam

ranah hukum Tata Negara dan hukum Administrasi Negara. Wewenang yang

dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang

lazimnya di sebut dengan teori Kewenangan.28

Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi

imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwenang, dan sebagainya.

Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Kewenangan berarti hak

dan kekuasaan yang mempunyai atau mendapat hak dan kekuasaan untuk

melakukan sesuatu.29

Kalangan Doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna wewenang

tersebut, para ilmuan hukum di bidangnya seperti:

1. H.D. South, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan

dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek

hukum publik dalam hubungan hukum publik.

2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap

sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan

27 Agus Salim, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, h.

95 28

Sunaryati Ni Wayan, 2015, Fungsi Jaksa Dalam Menuntut Terdakwa Korupsi Untuk Pengembalian Keuangan Negara Prespektif sistem Peradilan Pidana Indonesia, Program pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 34.

29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, h.1128.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xli

begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan

warga Negara.30

3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh

suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum yang sah.31

4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.32

Beberapa pendapat dan rumusan pengertian dari wewenang tersebut apabila

dicermati, maka mengandung unsur-unsur seperti:

1. Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik

2. Dilakukan oleh subyek hukum publik.

3. Adanya kemampuan bertindak.

4. Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik

5. Diberikan oleh Undang-undang.

6. Mengandung hak dan kewajiban.

7. Menumbuhkan akibat hukum yang sah.

Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis diperoleh

atau melekat setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk

memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van

Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegasi dan mandat, yang

masing-masing dimaknai sebagai berikut:

30

Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negera di Indonesia, Program Pasca

Unibraw, Malang, h. 52.

31 Indiharto, 2004, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha

Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 94

32 Bagir Manan, 2007, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara,

Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, h. 51.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xlii

Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

Undang-undang kepada organ pemerintahan, Delegasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ

pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan

mengijinkan wewenangnya dijalankan oleh organ lain atas namanya.33

Kewenangan yaitu bersumber dari Perundang-undangan (atribusi) secara

jelas dinyatakan serta diberikan kepada organ pemerintahan. Sehingga jelaslah

bahwa lembaga KPK sebagai pelengkap aparat penegak hukum dalam melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi telah memiliki kewenangan dalam menuntut

perkara tindak pindak pidana korupsi sebagaimana amanah dari Undang-undang

No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Menurut ketentuan Pasal 6 UU No. 30 tahun

2002 tentang KPK menyebutkan bahwa terdapat lima tugas KPK yang harus

dilaksanakan yaitu, koordinasi dengan instansi yang berwenang, melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi, melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-

tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap

penyelenggaraan Negara.34

Diantara perundang-undangan yang menjadi landasan hukum terkait

keberadaan lembaga KPK yaitu Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK

yang secara substansial mengatur kewenangan, tugas dan fungsi KPK dalam

memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Aparatur Negara yang

33

Sadjojono, 2008, Memahami beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laks Bang

Pressindo, Yogyakarta, h. 58.

34 Mahrus Ali, 2011, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 170.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xliii

bertanggung jawab melaksanakan kewenangan, fungsi hukum administrasi

Negara merupakan landasan bagi aparatur Negara guna melakukan tindakan-

tindakan hukum yang memiliki legitimasi dalam melakukan pelayanan publik.

Menurut Joseph Raz, dalam hal mengapresiasi hukum positif justru lebih

berorentasi pada otoritas atau kewenangan;

“ A much more promising approach to the normativity of law is a found in

Joseph Raz’s theory of authorithy with also shows how such a theory of

normativity of law and tell important conclution with respect to the condition

of legal validity. The basic insight of Raz’s argument is that the law is an

authoritative social institution. The law, Razs claims, is a the facto authority.

How ever, it is also essential to law that it mush be held to claim legitimate

authority. Any particular legal system mayfail, of course, in its ful-fillment of

this claim. But the law is the cain of institutions with necessarily claim to be

a legitimate authority35

.

Terjemahan bebas: Suatu pendekatan yang lebih menjajikan terhadap

kenormatifan hukum dikemukakan dalam teori Joseph Raz tentang otoritas

(kewenangan), yang juga dihubungkan dengan teori kenormatifan hukum,

sehingga menghasilkan kesimpulan penting yang berkaitan dengan kondisi

validitas hukum. Pokok pemikiran yang mendasar dari pemikiran Joseph Raz

adalah bahwa hukum merupakan sebuah lembaga sosial otoritatif. Razs

beranggapan bahwa, hukum adalah kewenangan de facto. Maka dari itu,

keberadaan hukum yang diciptakan atau Undang-undang sebagai produk hukum

harus dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas atau kewenangan yang sah.

Pelaksanaan kewenangan yang dimiliki aparatur negara, harus dilakukan

secara konsekwen sesuai ketentuan hukum yang berlaku, tak terkecuai termasuk

35

Syaiful Ahmad Dinar, 2012, KPK dan Korupsi dalam Studi Kasus, Cintya Press,

Jakarta, h. 69.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xliv

pelaksanaan yang dilakukan oleh KPK berdasarkan legalitas hukum berdasarkan

UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

2. Teori Fungsional/Teori Fungsi

Pencetus teori fungsional atau teori fungsi ini adalah ahli hukum di

Rotterdam Belanda bernama J.Ter Heide. Esensi ajaran dari teori fungsi ini terkait

dengan hukum bahwa “berfungsinya hukum dapat dipahami sebagai

pengartikulasian (produksi/hasil) suatu hubungan yang ajeg diantara sejumlah

variable.36

Ter Heide, merumuskan hubungan yang ajeg itu dengan rumus: B: FPE

artinya prilaku yuris, hakim dan pembentuk undang-undang (B) berada dalam

suatu hubungan yang ajeg (F) terhadap suatu pihak berbagai kaidah hukum (P)

dalam pihak di lingkungan konkret (E), maka inti teori fungsi ini terkait dengan

hukum, dilihat dari aspek fungsi hukum atau kegunaan hukum tersebut maka para

yuris, hakim, pembentuk undang-undang dalam menjalankan fungsi atau perannya

masing-masing harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. 37

Dalam Sistem Peradilan Pidana salah satu sub unsur struktur (structure)

termasuk sebagai penegak hukum sekaligus berlatar belakang pendidikan tinggi

hukum atau juris adalah jaksa selaku penuntut umum. Fungsi jaksa salah satunya

adalah melakukan penuntutan yang diberikan kewenangan secara atributif oleh

Undang-undang, hal ini sama juga dengan KPK yang juga diberikan kewenangan

untuk melakukan penuntunan pada perkara tindak pidana korupsi, kewenangan

36

Ni Wayan Sinaryati, Op Cit, h. 36-37.

37 Ibid.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xlv

secara atributif itu di amanahkan oleh Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang

KPK.

3. Teori Manfaat (Utilitarianisme)

Teori manfaat merupakan aliran utilitarianisme yang meletakan

kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai

kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya hukum, bergantung

dari apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.38

Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan individu.Tetapi jika tidak

mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), di upayakan agar kebahagian itu

dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (The greatest

happiness for the greates number of people).39

Utilitarianisme secara etimologi berasal dari bahasa latin dari kata Utilitas,

yang berarti useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi faham ini

menilai baik atau tidaknya, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi

kegunaan atau faedah yang didatangkannya. Sedangkan secara terminologi,

utilitarianisme merupakan suatu faham etis yang berpendapat bahwa yang baik

adalah yang berguna, berfaedah dan menguntungkan. Sebaiknya yang jahat atau

buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan, karena itu baik

38

Dardji darmodiharjo dan Shidartha, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum- Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.117.

39 Sukarno Aburaera, dkk, 2013, Filsafat Hukum-Teori dan Praktik, kencana Prenada

Media Group, Jakarta, h.111.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xlvi

buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah dan

menguntungkan atau tidak.40

Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham,

Jhon Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Bentham berpendapat bahwa alam

memberikan kebahagian dan kesusahan.manusia selalu berusaha memperbanyak

kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya.

Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada

keterkaitan yang erat antara kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah

memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.Tegasnya memelihara kegunaan.41

2. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah kebijakan di ambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek”

(Belanda). Dengan demikian maka istilah Kebijakan Hukum Pidana dapat pula

disebut Politik Hukum Pidana. Dalam kepustakaan asing politik hukum pidana

sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain penal policy, criminal law policy

atau strafrechts politiek Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat

dilihat dari politik hukum maupun dari politik criminal.

Menurut Sudarto, politik hukum adalah

a. Usaha untuk mewujutkan peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

40

Zaenal Asikin, 2013, Mengenal Filsafat Hukum, Pusaka Reka Cipta, Bandung, h.116-

117.

41 Dardji Darmodiharjo dan Shidartha, Op Cit, h. 118.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xlvii

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang di kehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang

terkandung di dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang

dicita-citakan.42

Masih dalam pandangan Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana

berarti memenuhi mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-

undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Menurut Marc Ancel, modern Criminal science itu terdiri dari tiga komponen di

antaranya adalah Criminology, Criminal Law dan Penal Policy.

Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis yang memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik untuk memberi pedoman tidak hanya kepada

pembuat undang-undang, tetapi kepada pengadilan yang menerapkan undang-

undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.43

Masih menurut Barda Nawawi Arief, bahwa makna dan hakekat

pembaharuan hukum pidana apabila dilihat dari sudut pendekatan kebijakan

adalah :

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah

sosial

42 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media

Group, Jakarta, h. 26. 43

Op Cit, h. 23

Page 32: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xlviii

b. Sebagai bagian dari kebijakan criminal, pembaharuan hukum pidana

pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat.

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum.

Ditegaskan pula bahwa pada hakekatnya masalah kebijakan hukum pidana

bukan semata mata pekerjaan tehnik perundang undangan yang dapat dilakukan

secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Di samping pendekatan yuridis

normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis factual

yang berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan

pula pendekatan dari berbagai disiplin sosial lainya dan pendekatan integral

dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasioanal pada umunya.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini

maka peran penegak hukum khususnya para hakim tipikor tidak hanya

menerapkan norma-norma hukum belaka, akan tetapi diharapkan melalui

kebijakan hukum pidana mampu mewujudkan peraturan perundang-undangan

khususnya dalam menjatuhkan putusan yang adil bagi para koruptor untuk

merampas asset-asset dari hasil kejahatan sehingga bisa dikembalikan untuk

menutupi kerugian keuangan Negara. Khusus dalam perkara TPPU yang berasal

dari korupsi menurut hemat penulis putusan-putusan para hakim tipikor selama ini

juga sudah tepat, artinya dengan menggabungkan antara korupsi dan TPPU, maka

Page 33: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

xlix

upaya memiskinkan para koruptor bisa terlaksana dengan demikian keadilan dapat

dirasakan oleh masyarakat luas.

Mengingat bahwa perkara TPPU yang tindak pidana asal dari korupsi,

maka dimensi penegakan hukum ini sangat dibutuhkan serta dikedepankan,

karena dalam suatu Negara hukum diharapkan setiap orang yang melanggar

hukum kiranya harus dapat dapat di adili sesuai dengan kesalahanya serta sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan tetap mengutamakan pada aspek

dimensi keadilan.

Selain itu perkara TPPU ini merupakan tindak pidana yang khas jika

dibandingkan dengan tindak pidana yang lain. Dikatakan khas karena TPPU ini

tidak berdiri sendiri, terutama kajahatan lanjutan khususnya hasil tindak pidana

dari korupsi. Apabila ditelaah dari uraian tersebut di atas, maka penanggulangan

tindak pidana korupsi dan TPPU melalui sarana Kebijakan Hukum Pidana (penal

policy) adalah merupakan suatu keniscayaan.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

l

1.7.2 Kerangka Berfikir

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam

Menuntut Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang

UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana

korupsi, serta UU No.30 tahun 2002 tentang KPK tidak ada norma yang secara eksplisit

menyatakan bahwa KPK memiliki kewenangan dalam menuntut perkara TPPU, Tetapi

faktanya disamping menuntut perkara korupsi, KPK juga menuntut perkaraTPPU.

Bagaimanakah sebaiknya pengaturan ke depan penuntutan dalam perkara TPPU yang terkait dengan tindak pidana korupsi?

Asas : Legalitas, Lex Specialis Derogat legi generali, Perkara

cepat dan biaya ringan

Konsep : Negara Hukum

Doktrin : Korupsi,Kewenangan KPK dalam menuntut TPPU

Apakah KPK memiliki kewenangan

dalam menuntut perkara Tindak Pidana

Pencucian Uang ?

Di kaji melalui teori kewenangan dan

teori Fungsi

Di kaji melalui teori Manfaat dan

teori Kebijakan Hukum Pidana

Page 35: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

li

1.8. Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau

penelitian hukum kepustakaan, karena penelitian hukum ini dilakukan dengan

cara meneliti bahan kepustakaan (library research).

Menurut William H. Putman, “Legal research is a part of the legal analys

process. It is that part of the legal analysis process that involves finding the law

that applies to the legal question raised by the facts of client’s case”.44

Terjemahan bebas: Penelitian hukum adalah bagian dari proses analisis hukum

termasuk mencakup dalam hal menemukan hukum yang dapat diaplikasikan

dalam pernyataan hukum yang diajukan berdasarkan fakta-fakta dari kasus-kasus.

Menurut Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif

atau penelitian hukum kepustakaan tersebut meliputi

44 William H. Putman,2009, Legal Research: Second Edition, Delmar, United State of

America, h. 372.

Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Sekunder

Penutup

Simpulan Saran

Page 36: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

lii

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

2. Penelitian terhadap sistematika hukum.

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal.

4. Perbandingan hukum.

5. Sejarah hukum45

Sehubungan dengan klasifikasi tersebut diatas, maka penelitian hukum

normatif ini menyangkut penelitian taraf sinkronisasi vertical atas disharmoni

norma yang ada antara UU. KPK dengan UU. No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU

serta Undang-undang yang lainya.

1.8.2 Metode Pendekatan

Sesuai dengan karakteristik dan sifat penelitian hukum normatif

(penelitian hukum kepustakaan), maka dalam penelitian ini akan memakai

beberapa metode pendekatan yaitu pendekatan Perundang-undangan (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach) serta pendekatan

konseptual (conceptual approach).46

1. The statute approach pendekatan perundang undangan, yakni penelusuran

terhadap beberapa peraturan perundang undangan seperti KUHAP, UU

No. 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, UU No. 8

Tahun 2010 tentang TPPU, UU. 46 Tahun 2009 tentang Peradilan Tipikor

serta UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

45

Artha I Gede, Kebijakan Formulatif Upaya Hukum Terhadap Putusan Bebas Bagi

Penuntut Umum Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Disertasi Unversitas

Brawijaya Malang, h. 14 46

Peter Mahmud Marjuki, 2014, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, h. 133

Page 37: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

liii

2. The case approach atau pendekatan kasus. Dalam menggunakan

pendekatan kasus dilakukan dengan cara telaah terhadap kasus-kasus yang

berkaitan dengan masalah kewenangan KPK dalam penuntutan korupsi

dan TPPU serta yang telah diputus oleh Hakim Tipikor.

3. Historical approach atau pendekatan sejarah. Pendekatan ini mempelajari

tentang sejarah perkembangan korupsi dan TPPU

4. Comparative approach atau pendekatan komparatif, yaitu dengan cara

melihat beberapa perundang-undangan tentang penuntutan TPPU di

beberapa Negara lain.

5. Pendekatan Konseptual (conceptual approach) yaitu dengan cara melihat

serta mempelajari masalah doktrin-doktrin, asas-asas hukum serta konsep

hukum.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah

terdiri dari bahan hukum Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta

bahan hukum tersier.47

a. Bahan hukum primer (primery resource atau authoritative record) adalah

bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat yaitu berupa UUD 1945,

Ketetapan MPR, UU serta KUHP, peraturan perundang-undangan beserta

pelaksanaanya khususnya mengenai kewenangan KPK dalam menuntut

perkara TPPU. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang

47 Sutrisno Hadi, 2010, Methodologi Research 1, Gadjah Mada University, Semarang, h.

26

Page 38: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

liv

bersifat mengikat dan terdiri dari peraturan perundang-undangan yang

berlaku.48

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang

memeperkuat bahan hukum primer baik berupa pendapat para pakar atau

doktrin tertentu.49

Bahan hukum sekunder (secondary resource atau not

authoritative records) yaitu berupa bahan-bahan hukum yang memberikan

kejelasan terhadap bahan hukum primer seperti literatur, hasil-hasil penelitian,

putusan pengadilan, makalah- makalah dalam seminar seminar, artikel-artikel

yang berkaitan dengan kewenangan KPK dalam menuntut perkara TPPU.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier (tertiary resource) dalah bahan-bahan hukum yang

memberikan informasi atau kejelasan terhadap bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder seperti yang berasal dari kamus, ensiklopedia dan

sebagainya terutama yang berkaitan dengan kewenangan KPK dalam menuntut

perkara TPPU.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Adapaun teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui studi

kepustakaan yang merupakan bahan hukum utama dalam penelitian ini

48

Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 141.

49 Sudikno Mertokusumo, 2009, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, h. 58.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN I.pdfKorupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di tingkat Eksekutif,

lv

dikumpulkan dengan menggunakan metode sistematis, yaitu dengan di catat serta

dikumpulkan guna untuk lebih mempermudah dalam menganalisa suatu

permasalahan.

Bahan-bahan tersebut meliputi permasalahan, asas-asas, argumentasi,

implementasi yang di tempuh serta alternatif pemecahanya. Kemudian berkaitan

dengan bahan kepustakaan yang lebih dominan dipergunakan adalah kepustakaan

dalam hukum pidana yang bersifat khusus serta beberapa hukum pidana asing

yang berkaitan dengan penanganan perkara korupsi serta TPPU.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Berkaitan dengan penulisan tesis ini, untuk menganalisis bahan hukum

yang telah diperoleh di berbagai sumber, peneliti menggunakan beberapa tehnik

analisis seperti:

1. Teknik Interprestasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran gramatika, historis, sistimatis, teologis,

kontektual, dan lain-lain.

2. Teknik Evaluasi, adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap

suatu pandangan, proposisi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik

yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum

sekunder.

3. Tehnik Agrumentasi adalah tidak bisa dilepaskan dari tehnik-tehnik

bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum

makin banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran

hukum.

4. Tehnik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu

konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-

undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.