bab i pendahuluan 1.1. latar belakang...

24
15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar dalam berbagai lingkup kehidupan. Banyak perempuan mengalami bentuk penyiksaan fisik maupun mental yang berdampak trauma sepanjang hidup maupun berujung pada kematian. Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk ketidakadilan yang disebabkan oleh tidak setaranya sharing of power diantara antara perempuan dan laki-laki. Adanya relasi kuasa yang tidak setara muncul karena bergeraknya sistem budaya patriarkis. Masyarakat yang patriarkis telah mengaburkan perbedaan sex dan gender yang ada didalam diri perempuan dan laki-laki. Secara umum, sex merupakan pemberian dari Tuhan yang bersifat kodrat. Apakah kita dilahirkan sebagai seorang perempuan atau laki-laki, sepenuhnya hak Tuhan. Perbedaan sex antara laki-laki dan perempuan terletak pada bentuk organ reproduksi dan fungsi alat reproduksinya. Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng teater, menyampaikan pada orang lain kepada orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Feminim dan maskulin merupakan pertentangan dari blok-blok biologis yang merupakan

Upload: buibao

Post on 02-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

15  

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar

dalam berbagai lingkup kehidupan. Banyak perempuan mengalami bentuk

penyiksaan fisik maupun mental yang berdampak trauma sepanjang hidup

maupun berujung pada kematian. Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk

ketidakadilan yang disebabkan oleh tidak setaranya sharing of power diantara

antara perempuan dan laki-laki. Adanya relasi kuasa yang tidak setara muncul

karena bergeraknya sistem budaya patriarkis. Masyarakat yang patriarkis telah

mengaburkan perbedaan sex dan gender yang ada didalam diri perempuan dan

laki-laki.

Secara umum, sex merupakan pemberian dari Tuhan yang bersifat kodrat.

Apakah kita dilahirkan sebagai seorang perempuan atau laki-laki, sepenuhnya hak

Tuhan. Perbedaan sex antara laki-laki dan perempuan terletak pada bentuk organ

reproduksi dan fungsi alat reproduksinya. Gender adalah seperangkat peran yang,

seperti halnya kostum dan topeng teater, menyampaikan pada orang lain kepada

orang lain bahwa kita adalah feminim atau maskulin (Mosse, 1996). Feminim dan

maskulin merupakan pertentangan dari blok-blok biologis yang merupakan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

16  

interpretasi atas kultur dimana kita berada. Perangkat maskulin dan feminim

adalah perangkat perilaku yang menginterpretasikan bagaimana; penampilan,

pakaian, kepribadian, sikap, pekerjaan dan sekualitas.

Sejak lahir, manusia baik laki-laki maupun perempuan telah dilekatkan

pada peran-peran gender yang dikonstruksi oleh kultur. Peran-peran gender yang

dimainkan akan mempengaruhi bagaimana cara bersikap, berperilaku sampai

bentuk pencitraan yang sesuai dengan peran gender yang tengah dimainkan.

Proses pelekatan gender selama ratusan tahun berakibat pada konstruksi sosial

dalam masyarakat . Konstruksi ini melihat peran gender sebagai peran diterima

secara saklek hingga dianggap sebagai takdir. Konstruksi peran gender yang

dibentuk melalui sosialisasi, bukan hanya dipengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi

juga melalui kelas sosial, latar belakang hingga etnis (Mosse, 1996). Gender

bersifat fleksibel, ia berbeda sifatnya dari satu tempat dengan tempat yang lain.

Proses pelekatan gender tentunya berpengaruh sepanjang kehidupan laki-

laki dan perempuan. Gender berpengaruh akses terhadap sumber daya dan

otonomi diri dalam mengambil keputusan. Gender selalu berhubungan dengan

kekuasaan. Menurut Foucault, kekuasaan bukan merupakan institusi, dan bukan

struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada

suatu situasi strategi kompleks dalam suatu masyarakat, hubungan kekuasaan

tidak bisa dipisahkan dari hubungan-hubungan dalam proses ekonomi, penyebaran

pengetahuan, hubungan seksual; kekuasan adalah akibat langsung dari pemisahan,

ketidaksamaan, dan ketidakseimbangan (diskriminasi); artinya kekuasaan

merupakan situasi intern adanya perbedaan dan perbedaan ini berjalan di tempat

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

17  

kerja, keluarga, institusi, berbagai pengelompokan (Haryatmoko, 2002). Foucalt

memandang bahwa proses berjalannya kekuasaan bahkan masuk dalam kehidupan

paling intim yakni hubungan antara suami dan istri.

Akses sumber daya yang timpang antara dua jenis kelamin berimbas pada

ketidakadilan pada satu jenis kelamin atau biasa disebut ketidakadilan gender.

Ketidakadilan gender adalah kondisi yang diakibatkan oleh kekeliruan memahami

identitas gender antara laki-laki dan perempuan. Kebanyakan masyarakat masih

melibat laki-laki memiliki identitas gender yang unggul Cara pandang yang keliru

tersebut, berdampak pada bentuk-bentuk ketidakadilan gender terhadap

perempuan. Ketidakadilan tersebut mencakup diskirminasi, marginalisasi,

subordinasi, stereotipe dan mitos, serta beban ganda (Fakhih, 2008).

Ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan akibat relasi yang tidak setara

dengan laki-laki memunculkan konflik diantara laki-laki dan perempuan, yang

berdampak pada kekerasan berbasis gender, merupakan bentuk dari ketimpangan

kekuasaan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan disepanjang sejarah,

mengakibatkan adanya penguasaan (dominasi) dan diskiminasi yang dilakukan

oleh laki-laki terhadap perempuan yang dapat merintangi tercapainya kemajuan

sepenuhnya kaum perempuan (Farid&Adib, 2001)

Kekerasan berbasis gender bersumber pada akar budaya patriarkhi.

Menurut Hibbah Rauf ‘Izzat dalam al Mar’ah wa al-‘A’mal as-Siyasi: Ru’Yah

Islamiyah patriarkhisme (hukum alabi) secara historis merupakan konsep

Romawi, yang memberikan hak kepada kepala keluarga yang memliki kekuasan

mutlak atas seluruh anggota keluarga (Hasyim, 2001). Apabila peran keluarga

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

18  

secara mutlak diberikan kepada laki-laki maka bentuk standar dan aturan yang

muncul akan didominasi oleh kepentingan laki-laki. Implikasi budaya patriarki

juga terjadi dalam ranah struktur masyarakat dan institusi karena sebagian besar

masyarakat menganggap bahwa laki-laki adalah sosok pemimpin yang

mempengaruhi setiap keputusan penting. Laki-laki masih dianggap sebagai jenis

kelamin yang idamkan dalam masyarakat.

Berbagai studi tentang kekerasan domestik yang dialami oleh perempuan

dari 48 negara yang disurvei oleh Population Report, menunjukan bahwa secara

keseluruhan antara 10% sampai 69% perempuan pernah mengalami kekerasan

dari pasanganya dari satu waktu (Ellsberg&Gottemoler, 1999). Sementara

berdasarkan data dari WHO pada tahun 2005 ketika melakukan riset di 10 negara

dengan menggunakan metode yang yang sama dengan Population Report (Multi

Country Study on Domestic Violence Againts Women dan Women’s Health)

menyebutkan bahwa 13%-16% dari 10 perempuan negara tersebut pernah

mengalami kekerasan fisik dan antara 6%-59% pernah mengalami kekerasan

seksual dari pasanganya.

Sedangkan studi SEHATI di Purworejo, Jawa Tengah,menyebutkan

sebanyak 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual

dari suaminya dalam satu waktu dalam hidupnya. Lebih banyak perempuan yang

melaporkan mengalami kekerasan seksual (20%) dibandingkan dengan kekerasan

fisik 11%, sedangkan 34% atau 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan psikis

dari suaminya (Hakimi dkk, 2001). Artinya hampir seluruh kekerasan dalam

rumah tangga dilakukan oleh laki-laki. Data Rifka Annisa sejak tahun 2005-2012

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

19  

memperlihatkan dominasi kasus kekerasan terhadap istri (KTI) dalam lingkup

rumah tangga sebagai berikut

Tabel 1.1 Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Rifka Annisa

Sumber : Data Base Kasus Rifka Annisa

Kasus yang datang dari Rifka Annisa memang didominasi oleh kasus

kekerasan dalam rumah tangga, dimana kasus yang paling banyak adalah jenis

kasus kekerasan psikologis. Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga memiliki

porsi pelaporan yang besar sejak tahun 2005-2012. Banyaknya perempuan korban

yang mencari pertolongan dikarenakan akses dan pengetahuan yang semakin baik

dari publik akan kasus kekerasan terhadap perempuan. KDRT banyak dilaporkan

setiap tahunnya karena adanya jaminan hukum yang didapatkan perempuan

korban dengan adanya UUP KDRT.

Kategori Kasus 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

KDRT 226 208 242 213 201 216 219 226

Kekerasan Dalam Pacaran

35 31 37 20 28 44 41 28

Perkosaan 27 12 18 21 28 27 39 29

Pelecehan Seksual 18 8 19 24 17 10 39 9

Kekerasan Dalam Keluarga

6 9 11 5 6 7 8 11

Trafficking - - 2 1 1 6 1 -

Total 312 268 329 284 281 310 347 303

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

20  

Namun, lebih dari 200 kasus KDRT yang datang setiap tahunya ke Rifka

Annisa, hanya sekitar 10% perempuan korban yang melaporkan kasus kekerasan

yang dialaminya ke meja hukum, baik secara pidana maupun perdata.

Kebanyakan perempuan korban memutuskan kembali kepasangan dengan alasan

bahwa mereka melaporkan persoalan kekerasannya ke Rifka Annisa karena ingin

memberi efek jera kepada suami dan memberi peringatan bahwa istri berani untuk

membela dirinya. Minimnya keinginan perempuan korban KDRT untuk

melaporkan kasusnya ke jalur hukum karena didasarkan beberapa hal, yakni

KDRT masih tabu untuk diungkap ke publik, beban yang dialami oleh perempuan

sangatlah berat apabila ia berpisah dari pasangannya karena perempuan korban

masih bergantung secara ekonomi. Fakta ini memperlihatkan bahwa keinginan

perempuan yang berada dalam siklus kekerasan dan memutus siklus kekerasan

yang ia alami sangat minim. Perempuan memilih bertahan dalam pernikahan

meski dirasa itu membahayakan dirinya. Dari hal inilah, maka diperlukan strategi

lain untuk memastikan bahwa kekerasan tetap bisa diminimalisir meski

perempuan masih dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki yang melakukan

kekerasan terhadapnya.

Salah satu strategi yang potensial yang kini berkembang di gerakan

perempuan adalah upaya pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan

terhadap perempuan. Di negara berkembang seperti Indonesia, munculnya

kekerasan berbasis gender dapat dipicu oleh langgengnya maskulinitas negatif

yang dimiliki laki-laki. Framing isu kekerasan berbasis gender perlu dilihat

dengan membongkar konstruksi maskulinitas yang ada selama ini. Setidaknya

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

21  

upaya tersebut dapat menghasilkan dua hal : Pertama, untuk melihat bagaimana

kekerasan muncul dari konstruksi maskulinitas. Kedua, untuk menelusuri

bagaimana seharusnya konsep maskulinitas dikonstruksikan agar tidak berpotensi

menjadi kekerasan.

Di negara-negara Eropa, seperti Swedia telah memiliki konsep dan

pengalaman yang cukup menarik perihal maskulinitas. Mens Centrum (sebuah

lembaga pelayanan konseling untuk laki-laki) di Swedia, menggambarkan

maskulinitas terdapat dalam sosok laki-laki yang penyayang dan berempati, bukan

laki-laki superior maupun dominan. Dengan menganut nilai dan prinsip demikian,

laki-laki Swedia sangat minim untuk melakukan kekerasan. Dalam konteks rumah

tangga misalnya, laki-laki dan perempuan sudah cukup baik dalam berbagi peran

dan pemahaman akan posisi masing-masing.

Dengan konstruksi maskulinitas yang disebutkan di awal, laki-laki Swedia

justru sangat menerima untuk berbagi peran domestik dengan istri mereka. Dalam

kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan pun saling berbagi peran misalnya

perihal mengurus anak. Mereka juga saling bekerja sama dalam mengerjakan

pekerjaan rumah tangga dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi.

Persoalan komunikasi dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam

kehidupan sehari-hari ini sangat penting untuk meminimalisir kekerasan dalam

rumah tangga, karenanya kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak menjadi

permasalahan prioritas di Swedia. Kekerasan dalam rumah tangga masih ada

tetapi tidak begitu tinggi. Selain itu, kekerasan yang terjadi bukan lagi karena

permasalahan gender melainkan akibat konflik psiko sosial antar individu.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

22  

Kekerasan dalam konteks Swedia dapat dilihat sebagai keburukan

individual yang muncul atas tiga sebab: pertama, adanya gen buruk manusia yang

membuatnya begitu agresif; kedua, adanya perkembangan yang tidak baik dalam

fase kehidupannya; dan ketiga, kekerasan dapat muncul akibat penggunaan

kualitas dan sikap laki-laki dalam interaksi sosial. Jika ekologi kekerasan lebih

dipandang sebagai faktor individual maka solusi yang dilakukan juga lebih

menyasar kepada perbaikan sikap individu masing-masing.

Menilik dari pengalaman Mens Centrum, konseling yang dilakukan

kepada laki-laki pelaku kekerasan lebih efektif jika pendekatannya individual.

Tidak ada kerangka ekologis yang cukup kompleks dalam kekerasan di Swedia,

penyebabnya cenderung individual, maka solusinya lebih sederhana dan langsung

menekan individu pelaku kekerasan. Bahkan, dalam kasus kekerasan dalam rumah

tangga misalnya, tekanan (pressure) yang paling efektif datang dari pasangan.

Maka, dalam hal ini laki-laki dituntut untuk mau mendengarkan serta

berkomunikasi secara lebih baik dengan pasangannya

Konsep konseling inilah yang kemudian banyak ditiru oleh negara-negara

berkembang, seperti yang dilakukan di Indonesia. Rifka Annisa, dengan membuka

konseling bagi laki-laki pelaku kekerasan agar menghentikan siklus kekerasan

terhadap pasanganya. Rifka memiliki pengalaman panjang dalam mendampingi

perempuan korban. Refleksi Rifka Annisa memperlihatkan bahwa salah satu cara

efektif untuk memutus siklus kekerasan terhadap perempuan adalah melibatkan

laki-laki pelaku kekerasan untuk ikut dalam sesi konseling perubahan perilaku

bersama pasangan.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

23  

Dari tahun 1993 hingga tahun 2006, Rifka Annisa melihat semakin banyak

kebutuhan untuk melibatkan laki-laki pasangan ke konseling. KDRT biasanya

tidak terjadi hanya satu kali saja di dalam rumah tangga dan masyarakat masih

menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab keharmonisan rumah

tangga. Di tahun 2007, Rifka Annisa melakukan studi maskulinitas di Purworejo

yang melibatkan 30 laki-laki. Para laki-laki tersebut mengatakan bahwa menjadi

laki-laki itu berat dan sekaligus menyenangkan, karena memiliki banyak

previlege. Namun, ketika laki-laki tidak bekerja, mereka akan menjadi sensitif.

Mereka mengatakan bahwa mereka menjadi seperti ini karena masyarakat

menginginkan mereka seperti ini. Jadi memang berat menjadi laki-laki, karena

ketika mereka bercerita, mereka akan kehilangan maskulinitasnya. Laki-laki

pelaku KDRT ini patut diperhatikan karena secara tidak langsung sebagaian besar

dari anggota masyarakat juga membentuk laki-laki menjadi seperti itu.

Di tahun 2007, Rifka Annisa memberanikan diri untuk terjun melakukan

konseling terhadap laki-laki, karena semakin banyak perempuan korban yang

tidak ingin berakhir dengan perceraian. Rifka Annisa membentuk Men’s Program

atau layanan konseling laki-laki yang membincang tentang konseling yang baik

untuk pelaku itu seperti apa. Refleksi 20 tahun bekerja dalam isu penghapusan

kekerasan terhadap perempuan, ternyata tidak cukup hanya mendampingi

perempuan korban saja, laki-laki juga harus didampingi. Keseluruhan kasus

konseling laki-laki yang sudah sudah dilakukan adalah tahun 2007 ada 8 klien,

tahun 2008 ada 10 klien, tahun 2009 ada 17 klien, tahun 2010 ada 15 klien, dan

tahun 2011 dan 22 klien. Mayoritas dari mereka masih suami dari penyintas yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

24  

kita dampingi, masih sedikit yang sukarela karena keinginan sendiri. Menarik

kemudian bagi peneliti, untuk melihat bagaimana pemaknaan diri laki-laki yang

telah melakukan sesi konseling di Rifka Annisa sebagai upaya untuk memahami

dinamika klien laki-laki yang sudah diintervensi oleh Rifka Annisa.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pemaknaan diri laki-laki mengenai tindak kekerasan dalam rumah

tangga pasca melakukan konseling di Rifka Annisa?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui pemaknaan diri laki-laki mengenai tindak kekerasan dalam

rumah tangga setelah konseling di Rifka Annisa.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Memberikan pengetahuan dan wacana pelibatan laki-laki pelaku kekerasan

dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan.

b. Memberikan alternatif perspektif studi gender yang juga memberikan

fokus kepada laki-laki sebagai pengetahuan dalam memahami isu

kekerasan terhadap perempuan.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

25  

1.5 Kerangka Teori

Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckman

Teori konstruksi sosial Peter L Berger dan Thomas Luckman tercermin

dalam sosiologi pengetahuan. Fokus yang dianalisis oleh Berger dan Luckman

terletak pada kenyataan kehidupan sehari-hari, terutama tentang pengetahuan

yang menjadi acuan manusia berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan

kehidupan sehari-hari atau par excellence merupakan kenyataan yang utama

(paramount) (Berger, 1990; 30). Kenyataan sehari-hari mempengaruhi kesadaran

manusia yang paling utama. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia melihat bahwa

kenyataan hidup sehari-hari dianggap sebagai sebuah hal yang tersusun secara

rapi dan teratur atau terjadi obyektifikasi.

Kenyataan kehidupan sehari-hari menghadirkan suatu dunia intersubyektif.

Sebuah dunia bersama yang dihuni oleh individu-individu yang saling

berhubungan satu sama lain. Individu-individu ini saling berinteraksi dan

berkomunikasi. Satu sama lain saling memahami sikap ilmiah yang muncul. Sikap

alamiah adalah sikap kesadaran akal sehat yang justru karena ia mengacu kepada

suatu dunia yang dialami oleh banyak inidividu (Berger, 1990: 32). Berbagai

individu ini pun memahami objektivikasi yang ada didalam dunia bersama.

Mereka saling memahami bahwa keberadaan mereka saling bersesuaian makna

satu dengan lainnya dan memiliki kesadaran besama tentang kenyataan yang ada.

Sehingga kemudian muncul pengetahuan akal sehat (common sense of

knowledge), yaitu pengetahuan yang dimiliki secara bersama-sama dengan orang

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

26  

lain dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam

kehidupan sehari-hari. (Berger, 1990: 33)

Sebuah kenyataan (reality) merupakan elemen subyektifitas sekaligus

obyektivitas. Hal ini diungkapkan oleh Berger :

“Dunia-dunia itu dikonstruksi secara sosial dan dipelihara secara sosial”. Realitas mereka yang berkelanjutan, baik obyektif (secara kefaktaan umum, sehari-hari) maupun subyektif (sebagai kefaktaan yang menerapkan diri pada kesadaran individual), tergantung pada proses-proses sosial spesifik, yaitu proses-proses yang secara terus menerus membangun kembali dan memelihara dunua-dunia tertentu itu. Sebaliknya, penghentian proses-proses sosial ini akan mengancam realitas (obyektif dan subyektif) dari dunia-dunia tersebut. Maka tiap dunia memerlukan suatu “basis” sosial bagi kelanjutan eksistensi sebagai suatu dunia yang nyata bagi kedirian-kedirian manusia. “Basis” ini bisa disebut struktur penalaran (Berger, 1990 :56)

Berger mengatakan bahwa kenyataan sosial bersifar prural, dinamis dan

dialektis. Kenyataan sosial bersifat prural karena ada relativitas sosial yang

disebut “pengetahuan” dan kenyataan”. Selain itu kenyataan sosial bersifat

dinamis karena selalu berada dalam proses dialektika sosial. Dialektika

berlangsung antara fakta obyektif, makna subyektif pada tingkatan individu.

Sedangkan pada tingkatan sosial, pruralitas konstruksi juga mengalami proses

dialektika.

Kerangka dialektik yang dibangun oleh Berger berangkat pada hubungan

dialektis antara individu dan masyarakat. Berger menjelaskan ketika momen

dialektik tersebut berlangsung melalui tiga momentum : eksternalisasi,

obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia

sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. Objektivasi

ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

27  

mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. Internalisasi ialah

individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi

sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product”

(Basrowi, 2002).

Berger dan Luckman memperlihatkan bahwa dunia sosial yang berisi

pranata-pranata sosial, merupakan produk kegiatan manusia tetapi menghadapkan

manusia sendiri sebagai sesuatu yang eksternal, sebagi sesuatu kegiatan obyektif

(Berger, 1990 : 86). Mereka melihat bahwa terjadi kencenderungan bahwa dunia

sosial dilihat sesuatu yang berada diluar individu, tetapi juga merupakan sesuatu

yang berada diluar pengendaliannya, dan mempunyai sifat memaksa (Berry,

1982). Proses ini digambarkan oleh Berger dengan mengikuti konsep Marx

tentang pembendaan (reification) dan merupakan bentuk lain dari keterasingan

(alienation) dimana peran-peran dan hubungan sosial menjadi “reifed”, atau

menjadi tidak murni (Berger, 1990 : 128-130). Manusia menjalankan pekerjaan

atau tugas-tugas dari luar (eksternal), hanya untuk memperolah materi dapat

dikatan direifikasi

Terminologi Kekerasan di Rifka Annisa

Untuk melihat bagaimana pemaknaan diri laki-laki tentang KDRT, maka

harus dipahami terlebih dahulu apa definisi dari kekerasan dalam rumah tangga

yang mendasari adanya konseling laki-laki di Rifka Annisa. Layanan konseling

laki-laki di Rifka Annisa dilakukan berdasarkan proses pelaporan yang dilakukan

oleh klien perempuan ke Rifka Annisa, mengingat belum adanya jejaring integrasi

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

28  

dengan lembaga lain untuk perujukan layanan konseling bagi laki-laki yang

sifatnya memaksa (mandatory). Maka yang menjadi dasar untuk melihat

kekerasan yang dilakukan oleh klien laki-laki didasarkan pada UU Perlindungan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004.

Menurut UU PKDRT, kekerasan dalam rumah tangga merupakan pola

perilaku yang diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan dan

kontrol terhadap pasangan intim, berupa : Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang

dapat mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau atau luka berat, seperti;

menampar, memukul, menjambak, menendang dan dan segala tindakan yang

mengakibatkan luka fisik; Kekerasan psikologis, yaitu perbuatan yang

mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Misalnya umpatan, ejekan, cemoohan, bentakan, hinaan dan segala

tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis termasuk ancaman, pembatasan

gerak dan pengekangan, mengisolasi anda dari keluarga dan teman, mengancam

untuk menyakiti anda dan anak anda, meninggalkan pasangan untuk selingkuh

ataupun poligami; Kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual

pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam Iingkup rumah

tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Termasuk kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah pemaksaan hubungan

seksual dengan pasangan ketika tidak ingin atau dengan cara yang tidak disukai,

maupun pemaksaahn hubungan seksual dengan orang lain; Kekerasan ekonomi /

penelantaran adalah perbuatan yang mengakibatkan penelantaran, kerugian

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

29  

maupun ketergantuangan ekonomi yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.

Temasuk dalam kekerasan ekonomi atau penelantara ini adalah;

a. Menelantarkan orang yang menurut hukum atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau

pemeliharaan kepada orang tersebut, seperti tidak memberi nafkah pada

anak dan istri yang bekerja sebagai ibu rumah tangga

b. Memaksa untuk bekerja atau mengeksploitasi secara ekonomi

c. Membatasi dan atau melarang bekerja sehingga korban memiliki

ketergantungan ekonomi dan berada di bawah kendali orang tersebut

Selain menggunakan UU PKDRT sebagai rujukan terminologi kekerasan,

klien laki-laki dan perempuan juga harus melakukan proses assessment awal

dengan konselor untuk memastikan apakah ia benar-benar melakukan kekerasan

terhadap perempuan berbasis gender. Yakni, kekerasan yang disebabkan oleh

adanya relasi kekuasaan yang tidak setara akibat adanya pelabelan-pelabelan

gender pada perempuan korban yang membuat laki-laki yang memiliki kekuasaan

yang lebih besar melakukan pengontrolan dan kekerasan. Proses ini penting untuk

membedakan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks kriminal murni, misal

pada pencurian atau pembunuhan dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga

yang muncul karena faktor tidak setaranya relasi.

Pemahaman kekerasan berbasis gender menjadi penting, karena dalam

proses penanganan kasus, terutama dalam penyelesaian secara hukum, laki-laki

kerap menggunakan UU PKDRT sebagai acuan untuk melaporkan balik atas

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

30  

kekerasan yang dilakukan oleh istrinya. Sehingga, semangat yang digunakan

dalam UU PKDRT untuk memberikan perlindungan bagi perempuan korban

kekerasan, sering disalah gunakan oleh laki-laki untuk mengkriminalkan

perempuan korban. Padahal kebanyakan perempuan yang melawan dan

dilaporkan sudah bertahun-tahun mengalami kekerasan. Identifikasi kekerasan

terhadap perempuan berbasis gender menjadi acuan untuk menangani kasus-kasus

yang masuk di Rifka Annisa guna memastikan apakah pelaporan kekerasan itu

dapat dilanjutkan pada tahap konseling lanjutan atau masuk ke dalam kasus

kriminal murni, dengan mempertimbangkan penyebab terjadinya kekerasan

karena konstruksi gender atau bukan, jenis kekerasan, dan dampak kekerasan.

1.6 Tinjauan Pustaka

Gerakan anti kekerasan terhadap perempuan dimulai sekitar tiga dekade

yang lalu dimulai di Eropa, dengan menggunakan pendekatan perempuan murni

(Women’s Approach). Ketika itu, gerakan anti pemukulan terhadap

isteri/pasangan berinisiatif membentuk refuge house sebagai sarana berlindung

bagi para isteri yang terpaksa lari dari rumahnya karena tindak kekerasan

suaminya (Nicharty, 1984). Women’s approach dalam upaya pendampingan

perempuan korban kekerasan ini selanjutnya berkembang menyeberangi ke benua

lainnya seperti Asia dan Amerika. Pendekatan kedua lahir (Family Approach)

ketika mulai ada dukungan dari negara untuk mengakomodasi masalah

penganiayaan terhadap perempuan dalam rumah tangga melalui produk hukum

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

31  

dan kebijakan negara, dimana lelaki jelas-jelas akan mendapatkan sanksi hukum

akibat perbuatannya itu.

Kedua pendekatan ini popular dalam dunia pendampingan perempuan

korban kekerasan, dan masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangan yang

bersifat lokal. Pendekatan perempuan misalnya, hanya menguntungkan diterapkan

di negara-negara yang sistem dan struktur masyarakatnya telah

mengakomodasikan masalah kekerasan terhadap perempuan, karena, produk

perundangan dan sistem hukumnya telah menetapkan sanksi bagi pelaku dan hak

perlindungan bagi perempuan koran. Sementara itu, family approach lebih

memberikan ruang bagi penjangkauan terhadap kaum lelaki sebagai pelaku,

karena asumsi bahwa mereka perlu memperoleh treatment terutama berkaitan

dengan penyadaran akan kesetaraan hubungan lelaki perempuan serta

pengembangan keterampilan berkomunikasi yang nir kekerasan. Pendekatan ini

memang memandang bahwa lelaki, sebagai pihak yang lebih berpeluang menjadi

pelaku kekerasan, perlu juga mengupayakan perubahan diri melalui sesi-sesi re-

edukasi perubahan perilaku.

Menurut teori tentang kekerasan terhadap perempuan, ”The Ecological

Framework” menunjukkan bahwa risk factor terjadinya kekerasan terhadap

perempuan adalah karena persoalan yang berasal dari berbagai level, sejak dari

level individual hingga level struktural negara. Bila masalah kekerasan ditinjau

menggunakan teori ini, maka pengembangan intervensi di tingkat individual

hingga struktural juga diperlukan terhadap kelompok laki-laki ini (Heise, 1998:

262-290). Dengan cara pandang dan kerangka pikir yang mencakup semua level

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

32  

untuk dilibatkan dalam penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan ini,

maka sesungguhnya pendekatan yang digunakan sudah tidak lagi pendekatan

perempuan ataupun pendekatan keluarga, melainkan pendekatan komunitas.

Prinsip feminis tentang kekerasan terhadap perempuan adalah ’lelaki

pelaku kekerasan harus bertanggung jawab atas perbuatannya’, maka titik tolak

berikutnya adalah berinisiatif untuk mengembangkan intervensi bagi kaum lelaki.

Bila hanya aspek hukum negara atau sanksi moral saja yang menjadi imbalan bagi

lelaki pelaku kekerasan, maka sangat mungkin bahwa si lelaki pelaku kekerasan

akan mengulang kembali perbuatannya kepada pasangan perempuannya yang

berikut. Pola berulang ini dikenal sebagai ”siklus kekerasan” dan harus diakhiri

dengan cara memutus atau memotong siklus tersebut (Dutton, 1997;169-191).

Salah satu cara memotong siklus tersebut adalah dengan mengupayakan kesadaran

& perubahan perilaku dari lelaki pelaku kekerasan itu.

Selama ini ada anggapan bahwa kekerasan terhadap isteri atau pasangan

perempuan terjadi karena memang ada konflik diantara keduanya. Namun,

faktanya memukul atau menganiaya yang menjadi pilihan dalam menyelesaikan

konflik tersebut. Berdasarkan penelitian dari berbagai negara tentang sisi

individual lelaki pelaku kekerasan terungkap bahwa ternyata memang ada latar

belakang psikologis yang memungkinkan seorang lelaki melakukan kekerasan

terhadap pasangannya. Tindakan menguasai dan menganiaya pasangan seringkali

merupakan ekspresi dari perasaan-perasaan ketidakberdayaan (Eliasson, 2001) . 

Sementara itu penelitian di Canada, Alberta Social Service and

Community Health pada tahun 1985 juga mengindikasikan bahwa lelaki pelaku

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

33  

kekerasan sesungguhnya memiliki self-esteem yang rendah, dan berlaku

menguasai atau bertindak kasar kepada pasangan merupakan manifestasi

kompensasi dari self esteem yang rendah itu. Artinya, suatu bentuk pendekatan

khusus sangatlah diperlukan bagi kaum lelaki, dalam konteks konseling untuk

merubah konsep diri & perilaku mereka. Penjangkauan bagi kelompok lelaki ini,

diharapkan dapat menjadi cara untuk memutuskan siklus kekerasan terhadap

pasangan. Di negara-negara yang telah mengakui persoalan kekerasan terhadap

perempuan sebagai persoalan serius, seperti di Midwest oleh Domestic Violence

Resource Cente tahun 1989,    penangan masalah kekerasan domestik dirancang

sedemikian rupa sehingga baik korban (perempuan/isteri) maupun pelaku

(lelaki/suami) sama-sama mendapatkan penanganan oleh pihak yang berkompeten

Data sosial kesehatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan,

angka kesakitan dan kematian laki-laki dalam rentang umur 15 sampai 24 tahun

jauh lebih tinggi daripada perempuan, juga jauh lebih tinggi daripada laki-laki

yang rentang umurnya lebih tua. Tingginya angka itu sangat terkait dengan

tingginya perilaku berisiko pada laki-laki berumur 15-24 tahun. Perilaku berisiko

itu seperti keterlibatan dalam tindak kekerasan (perkelahian menggunakan

senjata), penggunaan alkohol, narkotika dan psikotropika, perilaku seks tidak

aman (berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom), atau penggunaan

kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi yang banyak berakhir dengan

kematian prematur.

Hasil penelitian Barker pada laki-laki berumur 15-24 tahun di Amerika

Serikat, Brasil, negara-negara Karibia, Nigeria, dan Afrika Selatan menunjukkan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

34  

pentingnya peran maskulinitas dalam memicu perilaku berisiko di atas dan jauh

lebih jamak ditemukan di kalangan anak muda laki-laki dari kelas sosial-ekonomi

bawah. Penelitian Barker ini sebenarnya banyak bertumpu pada konsep

hegemonic masculinity yang diajukan sosiolog asal Australia, Bob Cornell,

(Connell, 1994) maskulinitas tidak bersifat tunggal, tetapi beragam dan terkait erat

dengan status sosial-ekonomi. Dalam studi lain di AS dan Canada oleh Alberta

Social Service and Community Health pada tahun 1985, menunjukkan bahwa

ancaman sanksi hukum dan atau pressure terhadap pelaku kekerasan meredakan

40%-70% kemungkinan si lelaki (pelaku kekerasan) untuk mengulangi

perbuatannya.

Studi yang dilakukan oleh WHO melaporkan 10 - 51 % perempuan di

seluruh dunia khususnya wilayah Asia, telah mengalami kekerasan dari pasangan

laki-lakinya. Sedangkan di Indonesia sendiri, diperkirakan 10-25 % perempuan

mengalami kekerasan dari pasangan laki-lakinya dan hampir 90% korban

kekerasan memilih untuk rujuk pada pasangannya. Pendekatan satu arah yang

berorientasi pada perempuan/korban ternyata diketahui justru mengundang

resistensi dari laki-laki sebagai pelaku dan tidak menghentikan tindak kekerasan

yang dilakukan. Seringkali laki-laki merasa disalahkan dan terancam statusnya

sebagai figur kepala rumah tangga sehingga justru semakin gencar tindak

kekerasan yang dilakukan. Hasil evaluasi tersebut melemparkan sebuah wacana

baru dalam penanganan KDRT berupa pendekatan dari sisi pelaku.

Jika mengkaji lebih mendalam terhadap permasalahan yang terjadi, pelaku

kekerasan sendiri merupakan korban dari konstruksi sosial, doktrin budaya

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

35  

patriarkhi yang menganggap bahwa laki-laki adalah tulang punggung utama dari

rumah tangga. Studi awal yang dilakukan oleh Rifka Annisa pada awal tahun

2007 tentang konsep maskulinitas dengan menggunakan metode diskusi

kelompok terarah yang diikuti oleh beberapa laki-laki di Yogyakarta dan

Purworejo Jawa Tengah terungkap, bahwa menjadi laki-laki dalam rumah tangga

adalah hal yang sangat berat sekalipun membanggakan. Segala tindak tanduk laki-

laki di masyarakat akan membawa pengaruh terhadap nama baik dan

kelangsungan hidup keluarga.

Dalam konteks memutuskan siklus kekerasan sebagaimana dimaksudkan

di atas, suatu intervensi yang menjangkau kelompok lelaki yang dilakukan oleh

lelaki, menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Apalagi saat ini Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) telah berlaku,

sehingga lelaki yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya dapat terjerat

hukum. Berkait dengan UUPKDRT tersebut, menjalani program re-edukasi bagi

lelaki pelaku kekerasan masih bersifat pilihan (voluntarily), dan bukan kewajiban

(mandatory). Untuk itulah, penjangkauan terhadap kaum lelaki untuk tujuan

penyadaran kesetaraan gender dan anti terhadap kekerasan tidak cukup bila hanya

dilakukan melalui konteks pendekatan individual saja (misalnya konseling) tetapi

juga harus melalui berbagai cara lain seperti kampanye melalui publikasi, program

radio, diskusi publik.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

36  

1.7 Metodelogi Penelitian

Dalam peneltian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif

dengan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologis berusaha

memahami makna dari suatu peristiwa dan saling berpengaruh dengan manusia

dalam situasi tertentu. Pendekatan fenomenologis berfokus pada aktor.

Subyektivitas dipandang sebagai hal utama untuk membuat obyek memiliki

makna. Fenomenologi mengandalkan interpretatif practice untuk memahami

hubungan antara manusia dengan masyarakatnya (Agus, 2006). Pendekatan

fenomenologis memiliki karakteristik, tidak berasumsi dengan para aktor yang

akan diteliti, memulai penelitiannya dengan keheningan atau diam untuk

menangkap fenomena yang diteliti, menekankan subyektifitas perilaku yang

diteliti dan masuk dalam dunia konseptual subyek agar dapat memahami makna

apa yang mereka konstruksikan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-

hari, percaya bahwa dalam kehidupan manusia banyak cara yang dapat dipakai

untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman dari masing-masing melalui interaksi

dengan orang lain, dan bahwa hal ini merupakan makna dari pengalaman kita

yang merupakan realitas dan hasil realitas kemudian di konstruksi secara sosial

dengan berangkat dari pandangan subyektivitas aktor (Asla, 2003)

1.7.1 Tekhnik Pengumpulan Data

a. Wawancara Mendalam

Pengumpulan data dengan menggunakan wawancara mendalam

merupakan salah satu komponen yang penting dalam metode penelitian

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

37  

kualitatif untuk mendapatkan data primer. Wawacara dilakukan dengan

klien laki-laki mengingat lembaga yang memberikan layanan konseling

laki-laki untuk upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan untuk

pertama kalinya di Indonesia dilakukan Rifka Annisa.

b. Observasi

Observasi dilakukan di kantor Rifka Annisa untuk mencatat berbagai

perilaku, kejadian, obyek yang dilihat saat peneliti berada di sana. Hal ini

diperlukan peneliti untuk mendukung data-data penelitian. Selama bekerja

sebagai staff di Rifka Annisa, peneliti telah mendapatkan gambaran awal

tentang program konseling di Rifka Annisa.

c. Studi Literatur.

Studi ini sangat penting dilakukan mengingat bahwa wacana pelibatan

laki-laki dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan

merupakan pendekataan yang baru di Indonesia. Sehingga data kajian

tentang pelibatan laki-laki dalam penghapusan tindak kekerasan terhadap

perempuan sangat membantu peneliti

1.7.2 Sasaran Penelitian

Penelitian akan dilakukan kepada kepada klien laki-laki yang melakukan

konseling di Rifka Annisa. Hal ini karena lembaga layanan yang memberikan

layanan konseling bagi laki-laki yang mengalami persoalan rumah tangga di

Yogyakarta dan Indonesia, khusus bagi pelaku baru dilakukan oleh Rifka Annisa.

Penelitian ini melihat bagaimana dinamika didalam ruang konseling memberi

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70034/potongan/S1-2014...Selama ratusan tahun, kekerasan terhadap perempuan telah mengakar ... mengaburkan

38  

pemaknaan pada klien laki-laki tentang kekerasan dalam rumah tangga pasca

konseling.

1.7.3 Analisis Data

Setelah data terkumpul dari lapangan, maka dilakukan tahapan analisis

data. Tahapan analisis data dilakukan dalam tiga tahap yakni reduksi data,

penyajian data penelitian dan terakhir adalah penarikan kesimpulan. Reduksi data

merupakan proses pemilihan data, melakukan pemusatan dan penyederhanaan

data dan melakukan transformasi terhadap data yang kasar yang muncul dari

temuan data di lapangan. Setelah seluruh data terkumpul, maka dilakukan

penyajian data. Penyajian data ini berisi serangkaian informasi yang ditemukan

dilapangan hingga bisa menarik kesimpulan. Penyajian data yang dilakukan oleh

peneliti merupakan perpaduan dari teks narasi dan deskriptif. Tahap ketiga adalah

penarikan kesimpulan dan verifikasi. Ketiga alur analisis data tesebut besifat

berkesinambungan dan berlangsung secara terus menerus