bab i pendahuluan i.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i tesis... · 1 riduan syahrani, 2011,...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Hukum ada dalam masyarakat. Hukum mengatur kehidupan manusia sejak
berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Hukum mengatur semua aspek
kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, dan
keamanan, dan sebagainya). Tidak satupun segi kehidupan manusia dalam
masyarakat yang luput dari hukum.
Corak dan warna hukum dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum
merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan di mana hukum itu berlaku.
Hukum merupakan cerminan budaya masyarakat yang memilikinya. Selain
hukum mempunyai sifat universal, juga mempunyai sifat nasional, di mana
hukum suatu negara atau masyarakat yang satu berbeda dengan hukum negara
atau masyarakat yang lain, karena filsafat hidup bangsa yang satu tidak sama
dengan bangsa yang lain. Perbedaan filsafat hidup ini disebabkan oleh faktor
geografis, kepribadian dan kebudayaan yang berbeda antara masyarakat satu
masyarakat bangsa yang lain.1
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah istilah umum dari hak eksklusif
yang diberikan sebagai hasil yang diperoleh dari kreativitas atau kegiatan
manusia, sebagai tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis dan termasuk ke
1 Riduan Syahrani, 2011, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung, h.
28.
2
dalam hak tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis.2 Suatu karya intelektual
yang mendapat perlindungan hak cipta adalah karya cipta dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra. Karya tersebut baru mendapat perlindungan hukum
apabila telah diwujudkan sebagai ciptaan yang berwujud atau berupa ekspresi
yang dapat dilihat, didengar dan dibaca. Hukum hak cipta tidak melindungi
ciptaan yang masih berupa ide semata.
Secara mendalam tentang hukum hak cipta dapat ditelusuri melalui dasar
hukum pengaturannya. Di Indonesia secara nasional hak cipta diatur dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut
UU Hak Cipta). Secara Internasional pengaturan tentang hak cipta dapat diketahui
melalui konvensi seperti: Berne Convention, Universal Copyright Convention
serta TRIPs Agreement.
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu,
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.3 Untuk mengetahui kriteria agar ciptaan dapat dilindungi
hak cipta adalah :
a. Harus orisinil yaitu hasil kerativitas pencipta sendiri bukan mengcopy.
b. Ada bentuk nyata atau kongkrit misalnya diekspresikan ke dalam kertas,
audio, video tape, CD, kanvas dan sebagainya.
2 Andy Noorsman Sommeng, 2007, Penengakan Hukum di Bidang Hak Kekayaan
Intelektual, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual, Tanggerang, h.10. 3 Yusran Isnaini, 2010, Buku Pintar Haki Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan
Intelektual, Ghalia Indonesi, Bogor, h. 1.
3
c. Harus terdapat beberapa kreativitas artinya harus dapat diproduksi
dengan suatu alat oleh seseorang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta, ciptaan adalah setiap hasil
karya cipta di bidang ilmu pengetahun, seni dan sastra yang dihasilkan atas
inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian
yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ciptaan atau karya cipta di sini mendapat
perlindungan apabila menunjukan keaslian sebagai ciptaan seseorang yang
bersifat pribadi.
Pada awal perkembangannya, sistem hukum HKI kurang mendapat
perhatian di Indonesia, sering diabaikan dan banyak terjadi pelanggaran. Hal ini
disebabkan karena sistem hukum HKI bukanlah asli berasal dari Indonesia yang
memiliki konsep budaya komunal. Sistem hukum HKI adalah berasal dari
masyarakat barat yang memiliki konsep hukum individual. Sistem hukum HKI
yang berasal dari masyarakat barat yang dipelopori oleh Amerika. Oleh karena itu
tidak mengherankan ketentuan-ketentuan pengaturan HKI terlebih dahulu lahir di
negara barat.
Pada awalnya perlindungan HKI diatur melalui Paris Convention (1883)
yang lahir di Jenewa, kemudian diikuti oleh PBB dengan membentuk World
Intellectual Property Organization (WIPO), dan yang terakhir adanya ketentuan
TRIPS Agreement yang dituangkan pada ketentuan World Trade Organization
(WTO). Karena Indonesia merupakan salah satu anggota WTO sebagaimana
tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, maka sebagai konsekuensi
yuridis, Indonesia wajib mengharmonisasikan sistem hukum HKI-nya sesuai
4
dengan standar-standar yang ada di WTO-TRIPs. Sejalan dengan kebijakan
tersebut, Indonesia telah melakukan perubahan terhadap tiga paket undang-
undang di bidang HKI. Perubahan tersebut mempunyai bertujuan
menyempurnakan beberapa ketentuan yang dirasa kurang memberikan
perlindungan hukum bagi pemilik hak tersebut. HKI pada dasarnya dibagi
menjadi copyright dan industrial property right copyright meliputi hak cipta dan
hak-hak yang terkait, serta di lain sisi hak milik industri yakni paten, merek dan
sebagainya.4
Sebagai konsekuensi telah diratifikasinya hukum tentang HKI oleh
Indonesia dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maka harus disertai
dengan sikap konsisten dari pemerintah untuk membantu memberikan
perlindungan hukum terhadap karya-karya yang diwariskan oleh leluhur. Apabila
ini tidak dilakukan akan menjadi kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh
pihak asing untuk mengeksploitasi nilai ekonomis dari karya-karya tersebut.
Pada kenyataannya masyarakat Indonesia masih cenderung abai terhadap
hak cipta yang seharusnya mereka pertahankan. Hal ini juga terjadi pada pengrajin
di Bali. Dari beberapa kasus, terungkap pengrajin Bali sering lengah menyangkut
perlindungan hukum khususnya berkaitan hak cipta. Hal ini terjadi berkaitan
dengan perbedaan pola pikir masyarakat Indonesia dengan orang asing, mengenai
suatu karya. Pengrajin di Bali memiliki kebanggaan apabila karyanya ditiru oleh
orang lain dan dipakai untuk orang banyak tanpa mempedulikan bahwa ada nilai
yang melekat pada suatu kerajinan. Salah satu nilai yang dimaksud dalam
4 Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi, Mandar Maju,
Bandung, h. 3.
5
perwujudan kongkritnya saat ini apabila karya tersebut didaftarkan untuk
mendapat perlindungan hak cipta maka akan memberikan keuntungan ekonomi
bagi penciptanya.
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekadar rumusan hitam di atas putih
saja sebagaimana dalam berbagai aturan perundang-undangan tetapi hendaknya
hukum dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan
masyarakat. Budaya hukum merupakan tanggapan umum yang sama dari
masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum.5 Tanggapan yang sama dapat
bersifat menerima atau bersifat menolak budaya hukum yang lain, begitu pula
terhadap norma-norma hukum sendiri yang dikehendaki berlaku atau terhadap
norma-norma hukum lain.6 Adanya budaya hukum inilah yang membuat
perbedaan bekerjanya hukum dalam masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain.
Masyarakat tidak memandang warisan budaya secara bersifat memiliki,
sebaliknya masyarakat justru bersifat sangat terbuka. Mereka tidak keberatan jika
ada orang luar yang bukan anggota kelompok ingin belajar tentang pengetahuan
tradisional tertentu maupun seni tertentu dari masyarakat yang bersangkutan.
Falsafah hidup dalam kebersamaan membuat tradisi berbagi menjadi sesuatu yang
hidup. Kebudayaan berbagi menjadi salah satu ciri dari kehidupan sosial yang
sangat menghargai keserasian dan keharmonisan kehidupan bersama.
5Esmi Warassih Pujirahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila,
Tahafamedia,Yogyakarta, h.56. 6 H.Hilman Hardikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, h.
51.
6
Dalam terminologi modern hasil kreativitas anggota masyarakat tidak
dipandang sebagai kepemilikan individual sebagaimana pandangan masyarakat
Barat. Hasil kreativitas individu akan ditempatkan sebagai wujud darma bakti
anggota masyarakat tersebut dalam kelompoknya.
Ketiadaan pemilik individual dari pengetahuan tradisional dan folklore
Indonesia disebabkan karena masyarakat sendiri tidak memahami konsep bentuk
kepemilikan individual atas pengetahuan tradisional. Bagi masyarakat
pengetahuan tradisonal adalah warisan budaya yang didapat dimanfaatkan oleh
siapa saja, terutama anggota masyarakat yang bersangkutan. Salah satu contoh
pada budaya masyarakat Bali yang bersifat komunal sangat sulit menerima
konsep-konsep HKI yang menonjolkan hak-hak pribadi. Menurut masyarakat Bali
jika ada seseorang meniru hasil karya mereka, baik di bidang seni maupun di
bidang lainnya. Adapun pertanyaan bagi mereka, mengapa harus melarang pihak
lain memanfaatkan karya mereka. Di dalam kehidupan masyarakat Bali berlaku
prinsip catur purusha arta yaitu: dharma, artha, kama, dan moksa. Prinsip
dharma melahirkan tata nilai atau norma yang mewajibkan seseorang untuk,
melakukan tindakan yang berguna bagi orang lain.7
Dalam ilmu pengetahuan konsep adnyanayoga menjadi faktor pendorong
seseorang untuk menyebarkan ilmu pengetahuan kepada orang lain, agar orang
lain mengetahui dan menjadi pandai. Peniruan adalah salah satu jalan untuk
mendapatkan pengetahuan dari orang lain. Itulah sebabnya menjadi aneh bagi
masyarakat Bali ketika konsep HKI diperkenalkan kepada mereka. Salah satu
7 Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, h.105.
7
konsep HKI yang dominan adalah substansinya berupa monopoli atau lebih
halusnya hak eksklusif dari pemegang hak.8
Dalam kajian hukum adat dikenal prinsip bahwa masyarakat komunal
kedudukan individu tidak lebih tinggi dibandingkan masyarakat individu adalah
bagian dari masyarakatnya. Memang individu menurut paham masyarakat
tradisional bukanlah individu yang kehilangan hak-hak individualnya akan tetapi
hak-hak individualnya itu tidak terlalu ditonjolkan.9 Orientasinya adalah
kedamaian dan kebahagian hidup bersama yang lebih bernilai sehingga klaim-
klaim HKI menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat tradisional. Sedangkan
pandangan yang berbeda dengan masyarakat barat yang menempatkan
pengetahuan tradisional sebagai suatu kekayaan bernilai uang (intellectual
property). Bagi orang barat, gagasan, perasaan dan bahkan emosi adalah
kekayaan. Dengan demikian, mudah dipahami konsep perlindungan (intellectual
property) muncul dan berkembang dari negara-negara barat.
Prilaku dan sikap masyarakat semacam ini memang rentan untuk
terjadinya (misappropriation) ini diartikan sebagai penggunaan oleh pihak asing
dengan mengabaikan hak–hak masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional dan
sumber daya hayati yang terkait menjadi hak milik masyarakat yang bersangkutan
atas warisan budaya mereka yang dilakukan oleh orang-orang yang hanya
memandang keuntungan pribadi sebagai tujuan hidupnya. Di sinilah faktor hukum
memainkan peran yang penting. Hukum memandang warisan budaya dari sisi hak,
dalam arti siapa yang berhak. Oleh karena itu, hukum juga memandang warisan
8 Ibid. h. 106.
8
budaya dari aspek perlindungannya. Bagaimana memberikan perlindungan hukum
yang benar dan tepat, serta dapat dipahami oleh anggota masyarakat itu sendiri. 10
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seseorang atau
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Hukum menjabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsi yaitu : (1) pembuatan norma-norma, baik
yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang
dengan orang (2) penyelesaian sengketa; (3) menjamin kelangsungan kehidupan
masyarakat, yaitu dalam hal terjadinya perubahan-perubahan.11
Memahami
hukum sebagai norma berarti juga memahami hukum sebagai sesuatu yang
seharusnya (das sollen). Memahami hukum sebagai das sollen berarti memahami
hukum merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang berfungsi sebagai
pedoman. 12
Pada awalnya traditional knowledge adalah karya masyarakat tradisional
adat yang bisa berupa adat budaya, karya seni dan teknologi yang telah turun-
temurun digunakan nenek moyang. Dewasa ini pengetahuan tradisional dipilah
menjadi dua bagian. Pengetahuan tradisional yang berbasis paten dinamakan
traditional knowledge, sedangkan yang berbasis hak cipta disebut folklore.
Pengetahuan tradisional menjadi milik bersama masyarakat adat yang dijaga dan
dilestarikan belum dilindungi secara tepat dalam hukum kekayaan intelektual.13
10 Agus Sardjono, op.cit., h. 162. 11
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial : Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h.111. 12Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, h. 45. 13 Endang Purwaningsih, op.cit., h. 23.
9
Salah satu hak kekayaan intelektual masyarakat Bali adalah motif ornamen
yang dapat ditemukan pada bangunan dan hasil karya kerajinan. Motif ornamen
Bali adalah motif hias yang telah diungkapkan, diukir, ditatah, digambar dan lain-
lainya.14
Sebagai contoh hiasan pada bangunan, alat-alat/benda-benda upakara,
perabot rumah tangga dan berbagai macam cindera mata yang dibuat oleh para
pengrajin perak di Bali. Motif-motif tradisional tersebut mengandung peranan
penting dalam perwujudan seni murni (fine art) maupun seni pakai (applied art)
di Bali. Bentuk dan motif tradisional Bali yang diungkapkan sebagai hias dalam
benda-benda seni bangun maupun benda-benda kerajinan seperti motif kekatusan,
pepatraan dan kekarangan. 15
Menimbang nilai penting motif tradisional dalam berbagai karya seni di
Bali, maka perlu perlindungan secara hukum. Pentingnya perlindungan terhadap
motif–motif kerajinan tradisional seperti kerajinan perak Bali, mengingat hak
cipta pengrajin perak di Bali saat ini mulai mengalami masalah hukum seperti
gugatan pelanggaran hak cipta akibat didaftarkanya motif tradisional perak Bali
oleh perusahaan/orang asing. Apabila ditelusuri barang-barang kerajinan tersebut
sebenarnya sudah ada dan dipakai oleh pengrajin di Bali secara turun-temurun.
Bahkan banyak dari motif tersebut sudah tidak diketahui siapakah penciptanya
sehingga desainnya dapat dikatakan telah menjadi milik masyarakat Bali (public
domain). Perbuatan perusahaan atau orang asing yang mendaftarkan motif barang
kerajinan khas Bali di luar negeri telah merugikan pengrajin perak Bali secara
14
Made Rinu, 2005, Ornamen Bali, Fakultas Seni Rupa dan Desaian ISI, Denpasar,
h.17. 15 Ibid. h. 18.
10
langsung. Kelemahan pengrajin perak Bali karena tidak waspada terhadap
eksploitasi orang asing akan warisan budaya.
Pentingnya perlindungan hukum terhadap motif tradisional Bali
mempunyai nilai strategis. Dilihat dari segi budaya, dengan adanya perlindungan
terhadap motif kerajinan perak bali maka pelestarian budaya bangsa akan tercapai.
Dengan demikian tidak ada klaim budaya lagi, dan dari segi ekonomi apabila
karya cipta tersebut dilindungi maka akan memberikan manfaat ekonomis bagi
penciptanya.
Dalam tataran normatif seperti diketahui perlindungan traditional
knowledge baru diatur dalam ketentuan Pasal 38 UU Hak Cipta Adapun ketentuan
Pasal 38 UUHC :
(1) Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.
(2) Negara wajib menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi
budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penggunaan ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat pengembangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh
Negara atas ekspresi budaya tradisional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam penulisan tesis ini, warisan budaya dilihat sebagai bentuk
pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan ekspresi kebudayaan
tradisional (traditional cultural expression) dari masyarakat lokal Indonesia, baik
dalam bentuk teknologi berbasis tradisi maupun ekspresi kebudayaan seperti seni
musik, tari, seni lukis atau seni rupa lainnya, arsitektur, tenun, batik, cerita,
legenda, dan sebagainya. Hukum juga memandang warisan budaya dari aspek
11
perlindungannya. Bagaimana memberikan perlindungan hukum yang benar dan
tepat, serta dapat dipahami oleh anggota masyarakat itu sendiri. 16
Pelaku seni dan Indonesia juga pernah mengalami persoalan yang
berhubungan dengan klaim HKI atas warisan budaya setempat. Kasus terjadi
ketika seorang pengrajin ukiran kayu tradisional Bali tidak boleh mengekspor
langsung ke Amerika Serikat kecuali jika membayar royalti kepada orang
Amerika. Hal ini dikarenakan desain atas ukiran itu sudah didaftarkan sebagai
design patent di USPTO oleh orang Amerika.
Dalam penulisan karya tulis ini, akan mengambil objek permasalahan
motif tradisional perak Bali. Penelitian kasus antara John Hardy, Ltd. Yang
merupakan sebuah perusahaan asing melawan I Ketut Deni Aryasa, pengrajin
perak dari Bali. John Hardy memiliki pabrik untuk membuat kerajinan perak di
Bali bernama PT. Karya Tangan Indah dan Deni Aryasa yang sebelumnya pernah
bekerja pada John Hardy, sekarang menjadi kepala pendesain dan pemilik modal
dari perusahaan bernama Bali Jewel. Deni Aryasa ditahan di Bali dengan tuduhan
menjiplak dua motif perhiasan milik John Hardy, yaitu batu kali dan Fleur
(“Bunga”), pada perhiasan yang didesain oleh Deni Aryasa untuk Bali Jewel. PT
Karya Tangan Indah memiliki gambar motif Bali yaitu motif batu kali yang diakui
diciptakan oleh Guy Bedarida, yang berwarga Negara Perancis gambar ini
diregister tanggal 19 April 2006 pada Direktorat Jendral HAKI Jakarta.
Sedangkan Deni sudah membuat barang kerajinan perak Bali dengan motif
tradisional Bali sejak tahun 2004. Deni selaku orang Bali didakwa melakukan
16 Agus Sardjono, op.cit., h. 126.
12
pelanggaran hak cipta karena membuat motif batu kali. Menurut PT Karya
Tangan Indah yang pemiliknya pihak asing, motif batu kali diciptakan oleh Guy
Bedarida (berkebangsaan Perancis). Dengan demikian motif tersebut dimiliki oleh
PT Karya Tangan Indah, sehingga pengrajin lain tidak boleh membuat motif batu
kali. Deni dan sebagian besar masyarakat Bali memprotes klaim hak cipta John
Hardy atas kedua motif tersebut karena kedua motif itu adalah motif tradisional
Bali yang telah dipergunakan turun-temurun oleh masyarakat Bali. Walaupun
belum pernah didokumentasikan atau dikompilasikan dalam database, kedua
motif tersebut umum digunakan untuk dekorasi pura di Bali, pintu masuk
bangunan di Bali, dan dalam berbagai karya seni Bali lainnya. Selama proses
pengadilan, hakim menemukan fakta bahwa John Hardy juga telah memiliki hak
cipta atas kurang lebih 800 motif tradisional Indonesia lainnya, baik yang terdaftar
di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Pengadilan Negeri Denpasar
memutuskan Deni Aryasa tidak bersalah dalam kasus ini dengan alasan karena
motif yang dibuat Deni Aryasa berbeda bentuk dan teksturnya dari motif yang
dimiliki John Hardy. Kasus semacam itu yang menjadi alasan mengapa
perlindungan hukum menjadi penting sehubungan dengan timbulnya gagasan
memanfaatkan warisan budaya sebagai sumber ekonomi baru.
Pentingnya penelitian hukum ini dilakukan, melihat kasus hukum di atas
berkaitan dangan penegakan HKI dalam kerangka hak cipta. Apabila hal ini tidak
diperhatikan dan ditangani secara khsusus akan memberikan dampak negatif pada
budaya hukum masyarakat mengenai aspek hukum dan aspek ekonomi, Budaya
hukum merupakan komponen penting untuk memahami bekerjanya sistem hukum
13
sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah
laku hukum seluruh warga masyarakat. Tanpa didukung budaya hukum yang
kondusif, suatu peraturan atau hukum tidak bisa direalisasikan sebagaimana
diharapkan baik oleh pembuat hukum maupun masyarakat yang sebagai sasaran
dari hukum. Dari segi hukum hendaknya para pelaku seni dalam menciptakan
karya seni agar mendaftarkan karya hasil ciptanya, sehingga tidak memperoleh
masalah dan tidak dituduh meniru hasil karya cipta orang lain. Dengan meniru
karya cipta membuat seseorang berhadapan dengan hukum, terlebih apabila ada
klaim dari pihak asing terhadap karya seni yang diciptakan. Dari segi ekonomi
dengan tidak mendaftarkan karya cipta membuat kerugian pada pencipta sendiri
atas memperbanyak hasil karya cipta dan menggunakan hasil karya cipta dengan
tidak mendapatkan royalti atas karya cipta yang didaftarkan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada kesempatan ini peneliti sangat
berminat untuk mengetahui dan menganalisa budaya hukum pada pengrajin perak
di Bali terhadap hukum hak cipta. Dengan mengetahui budaya hukum pengrajin
perak di Bali kiranya akan diketahui bagaimana perlindungan hukum hak cipta
terhadapkerajinan perak di Bali. Dengan demikian penelitian ini diberi judul
“Budaya Hukum Dalam Keberlakuan Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak di Bali “.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk perlindungan negara terhadap motif-motif kerajinan
perak Bali yang merupakan warisan tradisional?
14
2. Bagaimana budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Adapun ruang lingkup masalah dalam tesis adalah permasalahan mengenai
budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait keberlakuan Undang-undang Nomor
28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta dan perlindungan Negara terhadap motif-
motif kerajinan perak Bali yang merupakan warisan tradisional.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
khususnya hukum hak kekayaan intelektual yaitu keberlakuan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 20014 tentang Hak Cipta pada pengrajin perak di Bali.
1.4.2 Tujuan Khusus
Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik
diharapkan mampu :
1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh
negara terhadap motif-motif kerajinan perak Bali yang merupakan
warisan tradisional.
15
2. Untuk mengetahui budaya hukum pengrajin perak di Bali terkait dengan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
1.5 Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis
pada khususnya sehingga penelitan ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum hak
kekayaan intelektual terutama mengenai hak cipta.
1.5.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis yaitu
memberi sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terkait dalam
Keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada
pengrajin perak di Bali.
1. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan di bidang hukum, khususnya dalam bidang
hukum hak kekayaan intelektual, serta dipakai sebagai acuan dalam
perlindungan terhadap motif tradisional perak Bali.
2. Bagi pengrajin perak, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai
sebagai bahan evaluasi untuk memperjelas perlindungan yang didapat
16
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menggunakan motif-
motif tradisional serta memperbaiki budaya hukum masyarakat yang
bersifat komunal karena dalam hak cipta sifatnya individual.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Dalam pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Budaya Hukum
dalam Keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pada Pengrajin Perak di Bali” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya. Akan tetapi permasalahan yang berkaitan dengan hak cipta sudah
pernah diteliti oleh beberapa orang antara lain :
1. Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai Warisan Budaya
Bangsa (Studi Terhadap Karya Seni Batik Tradisional Kraton
Surakarta), yang ditulis oleh Fanny Kusumaningtyas S.H., B4A007100,
Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Diponegoro
Semarang 2008. Dengan rumusan masalah :
- Bagaimana eksistensi karya cipta seni batik tradisional khususnya
motif batik Keraton Surakarta sebagai warisan budaya bangsa?
- Apakah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta
memadai dalam memberikan perlindungan atas motif batik sebagai
warisan budaya khususnya sebagai batik tradisional?17
.
17 Fanny Kusumaningtyas, 2008, “ Perlindungan Hak Cipta Atas Motif Batik Sebagai
Warisan Budaya Bangsa ( Studi Terhadap Karya Seni Batik Tradisional Surakarta)” (tesis)
Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang.
http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10 Agustus 2014.
17
Dalam penulisan tesis yang ditulis oleh Fanny dengan penulis,
perbedaan penulisan tesis Fanny objek kajiannya pada karya cipta seni
Batik sedangkan penulis pada seni perak dan Fanny lebih memaparkan
tentang seni batik yang merupakan warisan budaya dari tahun ke tahun
sedangkan penulis membahas mengenai budaya hukum terhadap
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada
pengrajin perak di Bali. Membahas mengenai budaya hukum dalam
keberlakuan dalam Undang-undang Hak Cipta terhadap pengrajin perak
Bali tentu membuat suatu ide baru di mana penulis menekankan
bagaimana budaya hukum dalam masyarakat terhadap suatu peraturan
hukum, penulis menggunakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta yang merupakan perubahan dari Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta untuk menjawab
permasalahan hukum. Persamaannya sama-sama membahas hak cipta.
2. Penerapan Hukum Hak Cipta Atas Seni Batik Pekalongan Sebagai
Komoditas Internasional (Studi Upaya pemerintah kota Pekalongan
sebagai Komoditas Internasional), yang ditulis oleh Nur Endang
Trimargawati S.H., B4A006312, Program Pascasarjana Magister
Hukum Universitas Diponegoro Semarang 2008. Dengan rumusan
masalah :
- Bagaimana penerapan karya cipta pada seni batik kontemporer
Pekalongan sebagai komoditas internasional?
18
- Bagaimanakah upaya pemerintah kota Pekalongan menjadikan batik
Pekalongan sebagai komoditas internasional?18
.
Dalam penulisan tesis Nur Endang dengan membandingkan tesis
penulis terdapat perbedaan, dalam penulisan Nur Endang membahas
penerapan karya cipta batik sedangkan penulis membahas bagaimana
budaya hukum pengrajin perak di Bali dan Nur membahas bagaimana
upaya Pemerintah terhadap seni Kontenporer sebagai Batik pekalongan
sebagai komoditas Internasional sedangkan penulis membahas
mengenai perlindungan yang diberikan pada negara terhadap motif
tradisonal perak serta penulis menggunakan Undang-undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta untuk menjawab masalah hukum.
Adapun persamaan membahas masalah hak cipta.
3. Implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Terhadap
Perlindungan Hukum Bagi Para Pengrajin Di bidang Kerajinan Perak di
Daerah IstimewaYogyakarta, yang ditulis oleh Qurrotu Ani S.H.
B4A006314, Program Pascasarjana Megister Hukum Universitas
Diponegoro Semarang 2008. Dengan rumusan masalah :
- Bagaimana implementasi UUHC 2002 di kalangan Pengrajin di
bidang kerajinan perak di Daerah Istimewa Yogyakarta?
18 Nur Endang Trimargawati, 2008, “ Penerapan Hukum Hak Cipta seni Batik
pekalongan sebagai Komoditas Internasional (Studi Upaya Pemerintah kota Pekalongan
sebagai Komoditas Internasional)” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas
Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10
Agustus 2014.
19
- Bagaiman Peran pemerintah daerah dalam mengimplementasi UUHC
2002 terhadap Perlindungan Hukum Pengrajin di bidang kerajinan
perak di Daerah Istimewa Yogyakarta?19
.
Perbedaan penulisan tesis penulis dengan Qurrotu adalah penulis
menggunakan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 yang merupakan
perubahan dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta untuk mengkaji permasalahan. Sedangkan Qurrotu membahas
menggunakan Undang-undang yang lama dalam pengaturan hukum hak
cipta dan penulis mendeskripsikan budaya hukum pengrajin perak di
Bali dalam keberlakuannya Undang-undang Nomor 28 Tahun tentang
Hak Cipta.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
1.7.1 Landasan Teoritis
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah istilah umum dari hak ekslusif
yang diberikan sebagai hasil yang diperoleh dari kreativitas atau kegiatan
manusia, sebagai tanda yang digunakan dalam kegiatan bisnis dan termasuk
ke dalam hak tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis.20
19
Qurrotu Ani, 2008, “ Impelementasi Undang- undang Nomor 19 tahun 2002
Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Para Pengrajin di bidang kerajinan prak di Daerah
Istimewa Yogyakarta” (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas
Diponogoro, Semarang. http :// law/ tesis hak cipta /image / tesis % hukum , Di akses 10
Agustus 2014.
20 Mastur, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Paten, Jurnal
Ilmiah Hukum Vol 6, No 1, Edisi 1 Januari 2012, Fakultas Hukum, Universitas wahid Hasyin,
Semarang.
20
Membahas mengenai HKI, maka dari segi substansif, norma hukum yang
mengatur tentang hak kekayaan intelektual itu tidak hanya terbatas pada norma
hukum yang dikeluarkan oleh suatu negara tertentu, tetapi juga pada norma-norma
hukum Internasional. Oleh karena itu negara-negara yang turut dalam kesepakatan
Internasional harus menyesuaikan peraturan dalam negerinya dengan ketentuan
Internasional, yang dalam kerangka GATT/WTO adalah kesepakatan TRIPs,
sebagai salah satu dari Final Act Embodying The Uruguay Round of Multilateral
Trade Negotiaton, yang ditandatangani di Marakesh, pada bulan April 1994 oleh
124 negara dan 1 wakil dari Masyarakat Ekonomi Eropa.
Indonesia termasuk salah satu negara yang turut menandatangani
kesepakatan itu dan ratifikasinya telah dilakukan melalui Undang-undang Nomor
7 Tahun 1994 tentang ratifikasi perjanjian pembentukan organisasi perdagangan
dunia. Dengan demikian Indonesia harus menyesuaikan kembali semua peraturan
yang berkaitan dengan perlindungan hak kekayaan intelektual dan menambah
beberapa peraturan yang belum tercakup dalam peraturan yang sudah ada.21
Dalam UU Hak Cipta pada Pasal 1 angka (1) hak cipta adalah hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku
Dalam ketentuan UUHC karya cipta yang dilindungi pada Pasal 40 :
(1) Ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra terdiri atas :
a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan dan semua
hasil karya tulis lainnya;
21 OK Saidin, op.cit., h.23.
21
b. Cermah, kuliah,pidato dan ciptaan sejenis lainnya;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. Lagu dan atau music dengan atau tanpa teks;
e. Drama, drama musikal, tari , koreografi, pewayangan dan
pantomim;
f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran
kaligrafi, seni pahat, patungm atau kolase;
g. Karya seni terapan
h. Karya arsitektur
i. Peta
j. Karya seni batik atau motif lain;
k. Karya fotografi;
l. Potret
m. Karya Sinematografi
n. Terjemahan,tafsir, saduran bunga rampaim basisi data, adaptasi ,
aransemen, dan karya lain dari hasil transformasi;
o. Terjemahan, adapatasi aransemen, transformasi atau modifikasi
ekspresi budaya tradisional
p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca
dengan Program Komputer maupun media lainnya;
q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli;
r. Permainan video dan;
s. Program komputer.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dilindungi
sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas
Ciptaan asli.
(3) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang tidak atau belum
dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata
yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut.
Perlindungan traditional knowledge melalui rezim HKI dimaksudkan
untuk melindungi hak hasil penciptaan intelektual. Tujuan dari upaya ini adalah :
1. Mendorong penciptaan karya-karya intelektual baru.
2. Adanya keterbukaan karya-karya intelektual baru.
3. Memfasilitasi ketertiban pasar melalui penghapusan kebingungan
(kebijakan yang didasarkan pada hukum merek dan indikasi geografis),
dan tindakan unfair competition.
22
4. Melindungi ketertutupan informasi dari pengguna yang tidak baik.
HKI menjadi penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang
ada pada akhirnya membawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya
pengurangan angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat
terbentuknya perdagangan bebas, jika impor barang dan jasa dibiarkan bebas
diduplikasi secara illegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan
internasional.Indonesia dikenal memiliki keragaman hayati yang tinggi, bahkan
tergolong paling tinggi di dunia. Bukan itu saja Indonesia juga mempunyai
beragam budaya dan karya tradisional. Namun tanpa disadari banyak aset dan
kekayaan intelektual lokal telah terdaftar di luar negeri sebagai milik asing. 22
Teori hukum tentu berbeda dengan apa yang dipahami dengan hukum
positif. Hal ini perlu dipahami guna menghindarkan kesalahpahaman, bahwa
seolah-olah tidak dibedakan antara keduanya. Ada kajian filosofis di dalam teori
hukum sebagaimana dikatakan Gustav Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah
membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan
filosofisnya tertinggi.23
Dalam menganalisa penulisan digunakan Teori
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Teori Sistem Hukum, Prinsip-prinsip
HKI dan Konsep Budaya Hukum.
1.Teori Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual
Teori Perlindungan HKI digunakan dalam penulisan ini, sebagai pisau
analisa untuk menjawab masalah pertama dari penulisan tesis ini. Terutama dalam
rangka memberikan deskripsi dan jawaban atas perlindungan Negara terhadap
22 Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7. 23 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, h. 45.
23
motif-motif kerajinan perak yang merupakan warisan tradisional. Sebuah Teori
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dalam kerangka hak cipta yang mendasari
perlunya suatu bentuk perlindungan hukum. Hak eksklusif dalam hak cipta
menurut sifatnya diberikan kepada pencipta untuk mengeksplotasi haknya untuk
mencegah pihak lain menggunakan tanpa ijin pemiliknya. Pemberian hak
eksklusif pada pencipta tidak semua karya cipta dapat dapat diberikan
perlindungan hak cipta ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, seseorang
harus benar-benar berhasil menciptakan karya yang idenya orisinil asli dari
pencipta sendiri tidak meniru karya cipta yang ada dalam bidang hak cipta, kedua
karya cipta diberikan perlindungan apabila karya itu telah berwujud dapat dilihat
secara nyata dan ketiga karya cipta itu dapat diproduksi.
Salah satu yang dapat menopang pembangunan adalah hak kekayaan
intelektual yang merupakan hak yang berasal dari kegiatan kemampuan berpikir
manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk,
memiliki kemanfaatan serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga
memiliki nilai ekonomi, maka kepada pemilik hak tersebut perlu diberikan
penghargaan dan pengakuan atas keberhasilan dalam melahirkan karya-karya
yang inovatif. Untuk itu setiap hak kekayaan intelektual dalam kerangka hak cipta
yang dihasilkan dari kreasi dan pemikiran rasio manusia patut diberikan
perlindungan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut terdapat beberapa teori dasar
Perlindungan HKI salah satunya dikemukan oleh Robert M. Sherwood. Adapun
teori mengenai perlindungan hukum tersebut adalah :
Reward Theory
24
Teori ini menjelaskan pengakuan terhadap karya intelektual yang
telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau
pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya
kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual
tersebut.
Recovery Theory
Teori ini menyatakan bahwa penemu/pencipta/pendesain yang
telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya
intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang dikeluarkannya
tersebut.
Incentive Theory
Teori ini mengaitkan pengembangan kreativitas dengan
memberikan insentif bagi para penemu/pencipta atau pendesain tersebut.
Risk Theory
Teori ini menyatakan bahwa hak atas kekayaan intelektual
merupakan suatu hasil karya yang mengandung risiko. Hak Atas Kekayaan
Intelektual yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengandung resiko
yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan
cara tersebut memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar
untuk memberikan suatu perlindungan hukum terhadap upaya atau
kegiatan yang mengandung resiko tersebut.
Economic Growth Stimulus Theory
Teori ini mengakui bahwa perlindungan atas HAKI merupakan
suatu alat dari pembangunan ekonomi dan yang dimaksud dengan
pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu
sisten perlindungan atas HAKI yang efektif. 24
Secara sederhana perlindungan tersebut memiliki beberapa tujuan.
Pertama, agar bentuk penggunaan komersial dari kekayaan intelektual dapat
dilakukan langsung oleh pemilik kekayaan tersebut. Dengan demikian, pihak
pemilik dapat secara langsung memperoleh kompensasi finansial akibat transaksi
yang menyangkut penggunaan kekayaan intelektual tersebut. Kedua, pemilik
dapat menjual atau memperoleh kompensasi finansial dengan memperbolehkan
24 Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era
Perdagangan Bebas, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 45.
25
penggunaa hak atas kekayaan tersebut kepada pihak lain. Ketiga, pemilik hak atas
kekayaan tersebut dapat mencegah pihak lain memperoleh dan
mempergunakaannya. Atas dasar konsepsi tersebut, maka terhadap setiap
penemuan atau ciptaan sebagai hasil suatu karya cipta manusia baik di bidang
seni, sastra, ilmu pengetahuan dan industri diperlukan suatu perlindungan agar
pemilik HKI dapat memperoleh keuntungan dari ciptaannya tersebut.
Berdasarkan prinsip ini terdapat sifat eksklusif bagi pencipta. Namun
demikian tingkatan paling tinggi dari hubungan kepemilikan, hukum bertindak
lebih jauh, dan menjamin bagi setiap manusia penguasaan dan penikmataan
eksklusif atas benda atau ciptaannya tersebut dengan bantuan negara. Jaminan
terpeliharanya kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat tercermin
dalam sistem HKI.
Hak Kekayaan Intelektual ialah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda
yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio
manusia yang menalar. Hasil kerjanya berupa benda immaterial.25
Prinsip utama
pada HKI yaitu bahwa hasil kreasi dari pekerjaan dengan memakai kemampuan
intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasikannya mendapatan
kepemilikannya berupa hak alamiah (natural). Begitulah sistem Hukum Romawi
menyebutkannya sebagai cara perolehan alamiah berbentuk spesifikasi yaitu
melalui penciptaan.
25 H. OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Right), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 11.
26
Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan dan peranan pribadi
individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Atas Kekayaan
Intelektual berdasarkan pada prinsip :
a. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)
Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil
dari kemampuan intelektualnya memperoleh imbalan. Imbalan tersebut
dapat berupa materi maupun bukan materi. Seperti: adanya rasa aman
karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan
perlindungan tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu
kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut, yang
disebut sebagai hak. Setiap hak menurut hukum mempunyai title, yaitu
suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual, maka peristiwa yang
menjadi alasan melekatnya itu adalah penciptaan yang mendasarkan
kemampuan intelektualnya.
b. Prinsip Ekonomi (the economic argument)
Hak Atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari
hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang
diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk yang
memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia,
maksudnya bahwa kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia
yang menjadikan hal itu suatu keharusan untuk menujang kehidupannya
di dalam masyarakat. Dengan demikian hak atas kekayaan Intelektual
merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Dari
kepemilikannya seseorang akan mendapat keuntungan misalnya suatu
bentuk pembayaran royalti atau technical fee.
c. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument)
Karya manusia pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkannya
hidup, dari hasil karya itu bertujuan pula suatu gerak hidup yang harus
menghasilkan lebih banyak karya lagi. Dengan konsepsi demikian maka
pertumbuhan, perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat
besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat
manusia. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa dan cipta manusia yang
dibakukan dalam sistem hak milik intelektual adalah suatu usaha yang
tidak dapat dilepaskan sebagai perwujudan suasana yang diharapkan
mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong
melahirkan ciptaan baru.
d. Prinsip Sosial (the social argument)
Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang
berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur
kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain yang sama-sama terikat dalam suatu
ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian hak apapun yang diakui oleh
27
hukum dan diberikan kepada perseorangan atau persekutuan atau
kesatuan lain, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi
kepentingan perseorangan atau persekutuan atau kesatuan saja, tetapi
pemberian hak kepada perseorangan, persekutuan atau kesatuan hukum
itu, kepentingan seluruh masyarakat akan terpenuhi.
Dari keseluruhan prinsip yang melekat pada hak atas kekayaan intelektual
maka setiap negara berbeda penekanannya. Berbeda sistem hukumnya, sistem
politiknya dan landasan filosofisnya maka berbeda pula pandangan terhadap
prinsip tersebut. Sejarah kemerdekaan suatu negara juga mempengaruhi prinsip
yang dianutnya. Negara berkembang dan negara bekas jajahan, dengan negara
maju industrinya sangat berbeda pula cara memandang persoalan prinsip hak atas
kekayaan intelektual. 26
2. Teori Sistem Hukum
Teori Sistem Hukum digunakan dalam penulisan tesis ini sebagai pisau
analisa untuk menjawab permasalahan kedua dari penulisan tesis ini. Terutamanya
dalam memberikan deskripsi dan jawaban mengenai budaya hukum pengrajin
perak di Bali terkait keberlakuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Teori
Sistem Hukum oleh Lawrence M. Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus
diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur tersebut meliputi: struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
Struktur sistem hukum terdiri dari :
a. Unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis
kasus yang mereka periksa dan bagaimana)
b. Cara naik banding dari suatu pengadilan ke pengadilan lainnya
26Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual : Sejarah, Teori
dan Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 27
28
c. Bagaimana legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan hukum. Di Indonesia, lembaga
yang berwenang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan dan
pengadilan.
Pengertian substansi hukum meliputi:
a. Aturan, norma dan prilaku nyata manusiayang berada dalam
sistemhukum
b. Produk hukum yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun.
Substansi hukum berkaitan dengan isi hukum norma hukum ini ada yang dibuat
oleh negara dan ada juga yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat (living
law). Budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan
hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan
pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan
hukum. Budaya hukum dibedakan menjadi dua, kultur hukum eksternal adalah
kultur hukum yang ada pada populasi umum. Kultur hukum internal adalah kultur
hukum para anggota masyarakat yang menjalankan tugas-tugas hukum yang
terspesialisasi.27
Menurut Friedman, budaya hukum mengacu kepada bagian-bagian dari
budaya pada umumnya yang berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berprilaku dan
berpikir yang mendukung atau menghindari hukum. Budaya hukum merupakan
27 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 306.
29
salah satu komponen dari sistem hukum di samping komponen struktur dan
substansi hukum. Komponen budaya hukum merupakan variabel penting dalam
sistem hukum karena dapat menentukan bekerjanya sistem hukum. Budaya
hukum merupakan sikap dan nilai-nilai dari individu-individu dan kelompok
masyarakat yang mempunyai kepentingan (interest) yang kemudian diproses
menjadi tuntutan-tuntutan (demands) berkaitan dengan hukum. Kepentingan dan
tuntutan tersebut merupakan kekuatan sosial yang sangat menentukan berjalan
atau tidaknya sistem hukum. 28
Budaya Hukum dari Lawrence M Friedman yaitu29
:
a. Budaya hukum itu mengacu pada bagian-bagian kebudayaan secara
umum (kebiasaan pendapat, bertindak dan berpikir) yang dalam cara
tertentu dapat menggerakkan kekuataan sosial mendekat atau menjauh
dari hukum.
b. Budaya hukum adalah sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat masyarakat
dalam berurusan dengan hukum dan sistem hukum, budaya hukum
adalah sumber hukumnya.
c. Budaya adalah jejaring nilai-nilai dan sikap yang berkaitan dengan
hukum, yang menentukan kapan mengapa dan bagaimana masyarakat
mematuhi atau menolak hukum menentukan struktur hukum apa yang
digunakan dan apa alasannya dan peraturan hukum apa yang dipilih
untuk diterapkan dan dikesampingkan serta apa alasannya.
Pentingnya budaya hukum dalam konstruksi hukum itu sejalan dengan
pendapat Friedman, apabila ”sistem hukum” diibaratkan untuk memproduksi
suatu barang kedudukan “subsatansi hukum” diibaratkan sebagai barang apa yang
diproduksi suatu barang dan “struktur hukum” diibaratkan sebagai mesin-mesin
pengelola barang. Sedangkan “budaya hukum” diibaratkan sebagai orang-orang
yang menjalankan mesin dan berkewajiban untuk menghidupkan, menjalankan
28 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, op.cit., h. 154. 29 Esmi Warrasih Pujirahayu, op.cit., h. 50.
30
dan mematikan mesin ini. Agar dapat menentukan baik buruknya hasil yang
diproduksi.
Budaya hukum dalam pembahasan bagian ini digunakan untuk
menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu
masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan
masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan
kesadaran, sehingga masyarakat lebih meyerupai suatu keluarga besar, maka
hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.30
3. Teori Keberlakuan Hukum
Teori Keberlakuan Hukum digunakan dalam penulisan tesis ini untuk
menjawab budaya hukum dalam keberlakuan Undang-undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Teori Keberlakuan menurut J.J.H. Bruggink
dibagi atas tiga bagian yaitu :
a. Keberlakuan faktual atau empiris kaidah hukum,
b. Keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, dan
c. Keberlakuan evaluatif kaidah hukum.31
Keberlakuan faktual juga dapat dikatakan sebagai efektifitas hukum.
Untuk dapat mengukur keberlakuan ini digunakan dua kategori, yaitu pertama,
manakala dalam suatu masyarakat yang pada umumnya warganya berprilaku
dengan mengacu pada seluruh kaidah, hukum maka dapat dikatakan bahwa
hukum itu berlaku secara faktul. Kedua, manakala secara umum oleh para
30 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar
Maju, Bandung, h. 156. 31 J.J.H Brugink,1999, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief Sidartha, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.149
31
pejabat hukum yang bewenang diterapkan dan ditegakkan. Kemudian
keberlakuan normatif atau formal kaidah hukum, jika kaidah itu merupakan
bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang di dalamnya kaidah-
kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap yang lainnya. Kaidah
hukum yang khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum
yang lebih tinggi. Sedangkan keberlakuan evaluatif, jika kaidah hukum itu
berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dengan cara empiris, yaitu mengamati,
apakah terdapat keberlakuan faktual kaidah hukum di masyarakat tentang
budaya hukum masyarakat terhadap Undang -Undang Hak Cipta pada
pengrajin, dengan diteliti secara empiris dilihat adanya kepatuhan atau
pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan tentang Undang-undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
1.7.2 Kerangka Berpikir
Dalam pembahasan mengenai Budaya Hukum Dalam Keberlakuan
Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Pada Pengrajin Perak
Di Bali, Hak Atas Kekayaan Intelektual oleh Robert M Sherwood, dan Prinsip-
prinsip Hak Atas Kekayaan Intelektual, Teori Sistem Hukum Lawrence M.
Friedman dan Teori Keberlakuan Hukum J.J.H Bruggink Kerangka berpikir
yang digunakan dapat diuraikan ke dalam bagan sebagai berikut :
32
Budaya Hukum dalam Keberlakuan Undang-undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak cipta Pada Pengrajin Perak Di Bali
Arna hukum
a
Indonesia meratifikasi Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994 sebagai
konsekuensinya Negara berkewajiban
menyesuaikan semua keterketaitan
peraturan perlindungan HKI dan
menambah peraturan yang sudah ada
dengan menyesuaikan dengan standar
perlindungan HAKI dalam TRIPS.
Sedangkan budaya hukum Indonesia
yang bersifat komunal sedangkan
perlindungan HAKI bersifat individual.
Ketentuan karya cipta mendapat
perlindungan hukum secara
otomatis tertuang dalam UU Hak
Cipta Pasal 38 ayat 1 Negara
memegang hak cipta atas ekspresi
budaya. Namun Faktanya di
lapangang banyak karya cipta
kerajinan perak dengan motif
tradisional didaftarkan oleh pihak
asing salah satu faktor penyebabnya
para pencipta tidak mengetahui
perlindungan hak cipta terhadap
kerajinan perak.
Bagaimana perlindungan Negara
terhadap motif-motif kerajinan
perak Bali merupakan warisan
budaya?
Bagaimana budaya hukum pengrajin
perak Bali terkait keberlakuan
Undang-undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta ?
Teori Sistem Hukum dari Lawrence
M.Friedman digunakan untuk menganalisa pola prilaku budaya
hukum masyarakat pengrajin perak
terkait keberlakuan Undang-UndangNomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta. Unsur budaya
hukum dipandang dapat menentukan
bekerjanya sistem hukum. Teori Keberlakuan Hukum oleh J.J.H
Bruggink
Dalam membuat karya cipta diperlukan
pengorbanan pemikiran, waktu dan uang sehingga karya cipta yang dihasilkan
perlu dilindungi. Teori Perlindungan
HKI dipergunakan sebagai landasan untuk memberikan perlindungan
terhadap motif-motif tradisional perak
Bali sertaPrinsip-prinsip HKI sebagai
penyeimbang kepentingan individual
dan masyarakat
33
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan yang diajukan, maka jenis penelitian
karya tulis ini termasuk jenis penelitian hukum empiris. Pangkal tolak penelitian
hukum empiris adalah fenomena hukum masyarakat. Penelitian hukum empiris
lebih menekankan pada segi observasinya. Pengamatannya terletak pada
kenyataan atau fakta-fakta sosial yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat
sebagai budaya hidup masyarakat.32
Kajian Hukum empiris memandang hukum
sebagai kenyataan, sosial dan kultur. Kajian hukum empiris mengkaji law in
action dengan demikian kajian empiris dunianya adalah das sein (apa
kenyataan).33
Pemahaman penelitian hukum dapat dilihat dari pendapat Morris L.
Choen dan Kent C. Olsen sebagai berikut :
“Legal research is an essential component of legal pratctice. It is the
process of finding the law that governs an activity and materials that
explain or analyze that law”.34
(Pada intinya penelitian hukum adalah
komponen yang penting dari praktik hukum ini adalah proses menemukan
hukum yang mengatur aktivitas dan bahan-bahan yang menjelaskan atau
menganalisa hukum itu).
32 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
Jambi, h. 125. 33
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Mengkaji Kajian Empiris terhadap Hukum,
Kencana, Jakarta, h. 2. 34 Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research in a Nutshell, west Group ,
Amerika, h. 1.
34
Adapun pendapat lain mengenai penelitian hukum, merunjuk pendapat
Terry Hutchinson dan Terri LeCelerq sebagai berikut :
“The legal research banner is not one dimensional. It includes both
doctrinal and non-doctrinal methodologies, and covers the varied prisms
of legal activity not encompassed in practice-oriented research conducted
within traditional frameworks by solicitors and barristers”.35
(Penelitian
hukum tidaklah bersifat satu dimensi. Penelitian hukum termasuk juga
metode doktrinal dan metode non doctrinal, dan mencakup juga
bermacam-macam prisma dari kegiatan hukum yang tidak hanya meliputi
penelitian dengan orientasi praktek yang diselenggarakan dalam kerangka
tradisional oleh jaksa dan pengacara).
“Because requires to recognize both side of any issue and simultaneously
to be precise and concise”. 36
(Penulisan hukum adalah tuntutan bagi
mahasiswa untuk mendapatkan gelar, yang memungkin untuk diminta
untuk mengakui kedua sisi dari beberapa isu dan sekaligus untuk menjadi
tepat dan ringkas).
1.8.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian tesis ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif
bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala
atau kelompok tertentu atau untuk penyebaran suatu gejala atau untuk
35 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co, Australia, h.
7 36 Terri LeClerq, 2007, Guide to Legal Writing Style, Apen Publisher, New York, h. xii
35
menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat. 37
1.8.3 Data dan Sumber Data
Di dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan dari bahan pustaka, yang pertama disebut data primer atau data
dasar (primary data atau basic data) dan yang kedua disebut data sekunder
(secondary data).38
Jenis dan sumber data dalam tesis ini bersumber dari dua jenis
data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian hukum
adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian empiris, yaitu penelitian
yang dilakukan langsung di masyarakat.39
Data primer dalam penelitian ini di
dapat dari hasil wawancara di lapangan dengan sampel yang telah ditentukan .
Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil
penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan
pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian. Data sekunder
dalam tesis ini diperoleh dari buku–buku maupun literatur yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Data sekunder ini terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat.40
Bahan hukum primer yang digunakan adalah :
- Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
- Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
37 Amiruddin dan H.Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 25. 38 Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 12. 39 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 156. 40
Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. h. 113.
36
b. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik
literatur hukum maupun non hukum dan artikel yang diperoleh via
internet.
c. Bahan hukum tersier seperti kamus hukum.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai
berikut:
- Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan masalah penelitian.
- Teknik wawancara dilakukan dengan maksud melakukan tanya jawab
secara langsung antara peneliti dengan responden atau narasumber atau
informan untuk mendapatkan informasi. Wawancara merupakan cara
yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna
mencapai tujuan tertentu.41
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Populasi yang diambil dalam tesis ini tersebar di tiga lokasi, yakni,di Kota
Madya Denpasar, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Klungkung. Sampel yang
diteliti dari populasi pengrajin perak di Bali dengan menggunakan teknik non
41 Burhan Ashofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 95.
37
probability atau non random sampling, dengan bentuk snowball sampling. Teknik
non probability adalah suatu cara menentukan sampel di mana peneliti telah
menentukan atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya. Peneliti
menggunakan teknik non probability atau non random sampling karena ketiga
tempat penelitian tersebut merupakan pusat kerajinan perak di Bali. Menggunakan
snowball sampling, sampel responden atau informan dipilih berdasarkan
penunjukan rekomendasi sebelumnya.42
Bentuk snowball sampling, sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri
oleh si peneliti yaitu dengan mencari key informan (informan kunci) atau
responden kunci yang dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang
dilakukan oleh si peneliti. Dalam penarikan sampel yang menggunakan teknik non
probability atau non random sampling dengan menggunakan snowball sampling,
jumlah sampel yang akan diteliti tidak ditentukan secara pasti baik dalam bentuk
sejumlah angka atau sejumlah persentase, melainkan besarnya jumlah sampel
yang diteliti sesuai dengan “titik jenuh” . Dalam hal ini penelitian akan dihentikan
dan dianggap telah mewakili keseluruhan objek penelitian jika data telah
menunjukan titik jenuh. Data dianggap telah mencapai titik jenuh jika dari
jawaban-jawaban responden dan informan telah ada kesamaan atau kemiripan
jawaban.
1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan pengkajian atau telah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu
42 Ibid. h. 85.
38
dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Analisis data dalam tesis ini
menggunakan metode kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang
menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu data yang dinyatakan oleh responden
secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata yang diteliti dan dipelajari
sebagai sesuatu yang utuh. Makna kualitatif dari setiap data dapat diungkapkan
pencarian dan pengejaran makna dari setiap upaya peneliti di lapangan adalah
puncak prestasi dari peneliti.43
Oleh karena itu peneliti harus dapat menentukan
data mana atau bahan hukum mana yang memiliki kualitas sebagai data atau
bahan hukum yang diharapkan atau diperlukan dalam penelitian. Sehingga dalam
analisis kualitatif ini yang dipentingkan adalah kualitas data artinya peneliti
melakukan analisis terhadap data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas
saja.44
Data yang telah ada dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun
kepustakan disajikan dengan deskriptif artinya menganalisis objek permasalahan,
peneliti memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian
sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan untuk dapat memperoleh simpulan
yang tepat dan logis sesuai permasalahan yang dikaji. Mempergunakan metode
kualitatif tidak semata-mata bertujuan, mengungkapkan kebenaran saja, tapi juga
memahami kebenaran tersebut.
43 H.M Burhan Bungin, 2011, Penelitian Kualitatif, Kencana, Jakarta, h.105. 44 Mukti Fajar, op.cit., h. 120.