bab i pendahuluan i -...

23
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sebagian besar dari orang- orang Asia dan belahan dunia lain mengenal agama Kristen dan menjadi Kristen melalui usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh para misionaris yang berasal dari Barat (Eropa dan Amerika). Demikian pula kekristenan di Indonesia pada umumnya dan di Maluku khususnya, juga adalah kekristenan hasil usaha para misionaris dari Barat yang datang bersamaan dengan ekspansi kolonial bangsa-bangsa Barat khususnya Eropa ke Indonesia. Menurut catatan sejarah, kekristenan pertama kali masuk di Maluku sekitar tahun 1500 bersamaan dengan datangnya orang-orang Portugis yang Katolik. Setelah Portugis dikalahkan oleh angkatan laut VOC pada tahun 1605, kekristenan di Maluku selanjutnya disebarkan oleh orang-orang Belanda yang Protestan. Sejak saat itu, kekristenan di Maluku berkembang berkat upaya dan pengaruh para misionaris dari Belanda disamping ada pula penduduk lokal yang dididik sebagai guru-guru jemaat. 1 Baru pada tahun 1935, tepatnya pada tanggal 6 September, Gereja Protestan Maluku (GPM) menjadi gereja yang independen setelah melalui perjuangan yang cukup panjang. 2 Dalam menjalankan misinya, para misionaris sangat dipengaruhi oleh pemahaman teologi yang berkembang pada saat itu di dunia Barat, yang berkembang sebelum perang dunia kedua. Pandangan teologi Barat sebelum perang dunia kedua menganggap bahwa konstruksi teologi yang mereka miliki adalah konstruksi teologi yang benar, sehingga hal- hal yang bertentangan dengan pandangan teologis mereka itu dianggap sebagai “penyelewengan iman”. 3 Selain itu mereka juga dipengaruhi oleh pandangan teologi klasik yang hanya melihat Alkitab dan tradisi gereja sebagai sumber berteologi yang isinya tidak bisa dan tidak pernah berubah, dan berada di atas kebudayaan. 4 Oleh karena itu maka tidaklah mengherankan jika kebanyakan dari para misionaris itu memiliki sikap yang 1 Th. van den End, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1 th. 1500-th. 1860, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), h. 36-79. 2 Th. van den End, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860-an Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), h. 70-71. Untuk referensi mengenai perjuangan Gereja Maluku untuk mendapatkan otonominya, lihat Johan Saimima, Autonome Moluksche Kerk: Perjuangan untuk Mendapatkan Gereja Maluku yang Otonom, 1931-1933, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2012). 3 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi di Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 31. 4 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, Terj: Yosef Maria Florisan, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), h. 2. ©UKDW

Upload: docong

Post on 02-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sebagian besar dari orang-

orang Asia dan belahan dunia lain mengenal agama Kristen dan menjadi Kristen melalui

usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh para misionaris yang berasal dari Barat (Eropa

dan Amerika). Demikian pula kekristenan di Indonesia pada umumnya dan di Maluku

khususnya, juga adalah kekristenan hasil usaha para misionaris dari Barat yang datang

bersamaan dengan ekspansi kolonial bangsa-bangsa Barat khususnya Eropa ke Indonesia.

Menurut catatan sejarah, kekristenan pertama kali masuk di Maluku sekitar tahun 1500

bersamaan dengan datangnya orang-orang Portugis yang Katolik. Setelah Portugis

dikalahkan oleh angkatan laut VOC pada tahun 1605, kekristenan di Maluku selanjutnya

disebarkan oleh orang-orang Belanda yang Protestan. Sejak saat itu, kekristenan di Maluku

berkembang berkat upaya dan pengaruh para misionaris dari Belanda disamping ada pula

penduduk lokal yang dididik sebagai guru-guru jemaat.1 Baru pada tahun 1935, tepatnya

pada tanggal 6 September, Gereja Protestan Maluku (GPM) menjadi gereja yang

independen setelah melalui perjuangan yang cukup panjang.2

Dalam menjalankan misinya, para misionaris sangat dipengaruhi oleh pemahaman

teologi yang berkembang pada saat itu di dunia Barat, yang berkembang sebelum perang

dunia kedua. Pandangan teologi Barat sebelum perang dunia kedua menganggap bahwa

konstruksi teologi yang mereka miliki adalah konstruksi teologi yang benar, sehingga hal-

hal yang bertentangan dengan pandangan teologis mereka itu dianggap sebagai

“penyelewengan iman”.3 Selain itu mereka juga dipengaruhi oleh pandangan teologi klasik

yang hanya melihat Alkitab dan tradisi gereja sebagai sumber berteologi yang isinya tidak

bisa dan tidak pernah berubah, dan berada di atas kebudayaan.4 Oleh karena itu maka

tidaklah mengherankan jika kebanyakan dari para misionaris itu memiliki sikap yang

1 Th. van den End, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1 th. 1500-th. 1860, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1980), h. 36-79. 2 Th. van den End, Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 2 1860-an – Sekarang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1989), h. 70-71. Untuk referensi mengenai perjuangan Gereja Maluku untuk mendapatkan otonominya, lihat Johan

Saimima, Autonome Moluksche Kerk: Perjuangan untuk Mendapatkan Gereja Maluku yang Otonom, 1931-1933,

(Yogyakarta: Grafika Indah, 2012). 3 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran mengenai Kontekstualisasi Teologi di

Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 31. 4 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, Terj: Yosef Maria Florisan, (Maumere: Penerbit Ledalero,

2002), h. 2.

©UKDW

Page 2: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

2

negatif dan cenderung opresif terhadap konteks masyarakat setempat, terutama terhadap

budaya dan tradisi masyarakat di mana mereka melakukan pekabaran Injil.

Padahal, konstruksi teologi yang dimiliki oleh para misionaris itu sendiri pun

sebenarnya sudah bercampur dengan tradisi dan budaya mereka di sana. Contoh sederhana

mengenai hal ini misalnya mengenai perayaan Natal yang merupakan pengambilalihan dari

perayaan Romawi untuk merayakan kemenangan dewa matahari terhadap ancaman musim

dingin yang disebut Sol Invictus.5 Oleh karena itu maka sebenarnya konstruksi teologi para

misionaris dari Barat pun tidak lepas dari pengaruh budaya dan tradisi mereka di sana. Hal

ini diungkapkan secara jelas oleh David J. Bosch bahwa, “Injil selalu datang ke bangsa-

bangsa dalam jubah kebudayaan. Tidak ada yang disebut Injil ‘murni’ yang terpisah dari

kebudayaan.”6 Bahkan, menurut Robert Setio “kekristenan harus diakui sebagai produk

kebudayaan Barat.”7 Meskipun demikian, kebanyakan dari para misionaris itu justru sangat

menentang setiap upaya untuk menghubungkan Injil Kristen dengan budaya dan tradisi

masyarakat setempat, karena hal itu kemudian dipandang sebagai “penyelewengan iman.”

Sikap kebanyakan para misionaris yang demikian juga tidak lepas cara pandang

mereka terhadap kebudayaan-kebudayaan lain. Pada masa-masa itu kebudayaan Barat

dipandang sebagai budaya yang superior terhadap budaya-budaya lain. Kebudayaan Barat

dipandang sebagai lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih baik dari budaya manapun di dunia.8

Dengan pandangan seperti ini wajar saja jika kebanyakan dari para misionaris itu

cenderung mengabaikan dan bahkan menolak budaya dan tradisi masyarakat setempat

karena dianggap rendah, buruk, jahat, dan karena itu tidak sesuai dengan kebenaran

Kristen. Hal inilah yang disebut oleh Charles H. Kraft sebagai “unconscious ethnocentrism

in theological matter” yaitu absolutisasi kebenaran Kristen hanya berdasarkan ukuran

budaya Barat.9

Akan tetapi, seiring dengan makin banyaknya perjumpaan dengan budaya dan tradisi

serta agama-agama lain di dunia dan bergesernya paradigma dalam ilmu pengetahuan yang

5 Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, h. 34-35.

6 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Terj: Stephen

Sulemaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 458. 7 Robert Setio, “Kontekstualisasi, Poskolonialisme dan Hibriditas”, dalam Teks dan Konteks yang Tiada Bertepi,

eds. by. Robert Setio, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Muria, 2012), h. 100. 8 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, h. 448-460.

9 Charles H. Kraft, Christianity in Culture: A Study in Biblical Theologizing in Cross-Cultural Perspective, (New

York: Orbis Books, 1979), h. 12. Etnosentrisme adalah “kepercayaan dan perasaan bahwa budaya seseorang lebih

baik dibandingkan yang lain.” Lihat, James Spradley, “Ethnography and Culture” dalam Conformity and Conflict:

Readings in Cultural Anthropology (Fourteenth Edition), Eds. by, James Spradley dan David W. McCurdi, (New

Jersey: Pearson Education, 2012), h. 5.

©UKDW

Page 3: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

3

tidak lagi menekankan pada universalitas tetapi pada partikularitas,10

maka semakin pula

disadari bahwa budaya Barat bukanlah satu-satunya cara pandang yang valid terhadap

realitas dan teologi Barat bukanlah satu-satunya pemahaman teologi yang benar tentang

iman Kristen. Pergeseran pemahaman ini kemudian mendorong pergeseran dalam

paradigma teologi yang justru lebih terbuka terhadap kebudayaan dan agama-agama lain di

luar konteks Barat. Konteks kebudayaan dan agama-agama lain yang dulunya didekati

secara opresif kini lebih dihargai.

Lagipula, berdasarkan studi-studi terhadap Alkitab semakin disadari bahwa Alkitab

tidak jatuh dari “langit” tetapi ditulis dalam konteks tertentu (konteks Israel dan dunia

Yunani-Romawi kuno) pada masa tertentu dan untuk menjawab kebutuhan tertentu. Dalam

Alkitab sendiri tidak pernah ada satu teologi yang menyeluruh. Alkitab sendiri terdiri dari

berbagai kitab, dan karena itu mengandung banyak teologi di dalamnya.11

Bahkan, dalam

satu kitab pun bisa terdapat lebih dari satu teologi. Karena itu maka Alkitab sendiri pada

hakikatnya bersifat kontekstual.12

Pergeseran pemahaman dan paradigma inilah yang kemudian mendorong lahirnya

teologi kontekstual, yakni upaya untuk memahami iman Kristen dipandang dari segi suatu

konteks tertentu.13

Dalam teologi kontekstual, konteks memainkan peran yang sangat

penting dalam mengembangkan teologi. Konteks yang dulunya diabaikan dalam berteologi

kini diperhatikan secara serius. Jika dulunya dalam dunia teologi hanya diakui dua sumber

teologi (loci teologici) yaitu Alkitab dan tradisi gereja saja, maka sekarang diakui bahwa

ada tiga sumber teologi yaitu Alkitab, tradisi gereja, dan konteks.14

Konteks menjadi salah

satu sumber berteologi yang sama pentingnya dengan Alkitab dan tradisi gereja. Sehingga,

dalam teologi kontekstual, penekanannya bukan pada bagaimana teologi diterapkan, tetapi

bagaimana konteks melahirkan teologi.15

Konteks itu mencakup baik pengalaman masa lalu yang terungkap dalam sejarah dan

budaya maupun pengalaman dan pergumulan masa kini seperti masalah ketidakadilan

sosial, hak-hak asasi manusia, modernisasi, sekularisasi dan lain-lain. Berteologi secara

10

Lihat, Dan R. Stiver, Theology after Ricoeur, (Lousiville: Westminster John Knox Press, 2001), h.4-22. 11

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, h. 10; Robert Setio, “Pendahuluan” dalam Teks dan

Konteks yang Tiada Bertepi, h. 1. 12

Lihat juga, David J. Hesselgrave dan Edward Romen, Kontekstualisasi: Makna, Metode, dan Model, Terj:

Stpehen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 20-29 13

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, h. 1. 14

Ibid, h. 2. 15

Emanuel Gerrit Singgih, “Pelayanan Gereja yang Kontekstual di Indonesia pada Permulaan Milenium III”, dalam

Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Millennium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2004), h. 19.

©UKDW

Page 4: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

4

kontekstual mencakup dua konteks ini. Di satu pihak, kontekstualisasi berurusan dengan

budaya dan agama tradisional, tetapi di pihak lain kontekstualisasi juga berurusan dengan

pengalaman dan pergumulan masa kini.16

Konteks yang berbeda akan melahirkan pemahaman teologi yang khas. Orang-orang

yang hidup dalam suatu konteks tertentu dengan budaya dan pergumulan tertentu sangat

mungkin akan memiliki pemahaman teologi yang khas, yang bisa saja berbeda dengan

orang-orang yang hidup dalam suatu konteks dengan budaya dan pergumulan yang

berbeda pula. Choan-Seng Song, dalam upayanya untuk berteologi dari konteks Asia,

menemukan bahwa pemahaman dan gambaran teologi yang lahir dari pergumulan dan

konteks orang-orang di Asia akan sangat berbeda dengan pemahaman dan gambaran

teologi Barat. Hal ini disebabkan karena konteks dan pergumulan orang-orang di Asia

berbeda dari konteks dan pergumulan orang-orang di Barat.17

Selain itu, konteks

pergumulan orang-orang Kristen yang beragam pun telah melahirkan berbagai teologi

seperti teologi Pembebasan yang lahir dari konteks kemiskinan dan penindasan struktural,

atau teologi Feminis yang lahir sebagai respons terhadap ketidakadilan yang dialami oleh

kaum perempuan dalam budaya patriarkhi.

Dengan demikian maka orang-orang di Indonesia dengan konteksnya yang berbeda

sangat mungkin akan memiliki pemahaman teologi yang khas, yang bisa berbeda pula.

Demikian pula orang-orang Maluku, dan secara khusus orang-orang Tanimbar, dengan

konteks yang di dalamnya terkandung budaya dan pergumulan mereka yang khas, akan

sangat mungkin memiliki pemahaman teologi yang khas pula. Tesis ini merupakan suatu

upaya berteologi dalam konteks orang-orang Tanimbar di Maluku. Mengingat luasnya

cakupan konteks sebagaimana telah diuraikan di atas, maka tesis ini hanya akan berfokus

pada upaya berteologi kontekstual yang bertolak dari salah satu budaya yang dihidupi oleh

orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis ini akan menyoroti

pemahaman tentang Allah dalam budaya Duan-Lolat.

Masyarakat Tanimbar merupakan salah satu sub-etnis yang ada di Maluku yang

hidup di Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Tanimbar sendiri merupakan gugusan kepulauan

yang terdiri dari beberapa pulau yaitu pulau Yamdena, pulau Larat, pulau Serwaru, pulau

Sera, pulau Fordata, dan pulau-pulau kecil lainnya. Menurut catatan Susan McKinnon,

kekristenan pertama kali masuk di Tanimbar sejak abad ke-17. Pada tahun 1646, Andrea

Dorstman, salah seorang perwakilan kongsi dagang Belanda Dutch East Indie Company

16

Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, h. 17-19. 17

Choan-Seng Song, Theology from the Womb of Asia, (New York: Orbis Book, 1986).

©UKDW

Page 5: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

5

mengadakan perjanjian dagang dengan orang-orang Tanimbar. Ia kemudian mendirikan

sebuah benteng di desa Romean di pulau Fordata. Pada tahun itu juga, seorang misionaris

Protestan yang bernama N. Vertregt mulai menjalankan misi di Tanimbar.18

Akan tetapi,

oleh karena situasi perdagangan yang kurang menguntungkan, maka pada pertengahan

abad ke-18 perdagangan itu dihentikan dan semua orang Belanda ditarik dari Tanimbar.

Baru pada tahun 1910, misionaris Katolik Belanda pertama mulai menjalankan misinya di

Tanimbar, yaitu di daerah pantai Timur pulau Yamdena.19

Salah satu budaya yang dimiliki oleh masyarakat Tanimbar adalah budaya Duan-

Lolat. Budaya ini sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Tanimbar, sehingga

Duan-Lolat kemudian menjadi slogan dan tertulis dalam logo kabupaten Maluku Tenggara

Barat (MTB), salah satu kabupaten di propinsi Maluku yang mayoritas penduduknya

adalah orang-orang Tanimbar. Kabupaten Maluku Tenggara Barat dikenal sebagai negeri

Duan-Lolat.

Duan dan Lolat merupakan status sosial yang berasal dari hubungan perkawinan dan

perkawinan merupakan dasar untuk menentukan status sosial Duan dan Lolat. Dalam

perkawinan, pihak yang memberikan anak perempuan pada gilirannya akan menjadi Duan,

sedangkan pihak yang menerima anak perempuan akan menjadi Lolat. Pihak Duan adalah

pemilik perempuan sedangkan pihak Lolat adalah pihak penerima perempuan. Setelah

menikah maka pihak keluarga perempuan akan menjadi Duan sedangkan pihak keluarga

laki-laki, yaitu keturunan dari pasangan yang menikah itu akan menjadi Lolat dari pihak

keluarga perempuan. Meskipun lahir dari konteks perkawinan, Duan-Lolat tidak hanya

terbatas dalam konteks perkawinan. Duan-Lolat telah menjadi pola relasi sosial yang

terbangun dalam kehidupan sosial masyarakat Tanimbar.

Kresbinol Labobar, dalam penelitiannya terhadap budaya ini menemukan bahwa pola

relasi sosial yang lahir dari budaya ini adalah pola relasi sosial yang hirarkis di mana ada

perbedaan status antara Duan dan Lolat, di mana pihak Duan dipandang sebagai pihak

yang superior sedangkan pihak Lolat adalah pihak yang inferior. Masalah perbedaan status

inilah yang menjadi fokus dalam penelitiannya. Menurutnya perbedaan status ini memiliki

dampak positif dan negatif bagi kehidupan masyarakat Tanimbar. Secara positif, perbedaan

status Duan-Lolat menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan hubungan-hubungan

interaksi sosial dan psikologis antara sesama serta menjadi perekat dalam membina dan

18

Susan McKinnon, From a Shattered Sun: Hierarchy, Gender, and Alliance in the Tanimbar Islands, (Wisconsin:

The University of Wisconsin Press, 1991), h. 4 19

Ibid, h. 8.

©UKDW

Page 6: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

6

melestarikan kehidupan sosial antar warga masyarakat. Sedangkan dampak negatifnya

adalah perbedaan status Duan-Lolat menciptakan kesenjangan sosial di antara warga di

mana perbedaan status itu dimanfaatkan untuk menunjukkan pengaruh sosial dan mencari

keuntungan ekonomis. Dampak negatif inilah yang kemudian dikritisi oleh Labobar karena

tidak sesuai dengan adanya tuntutan akan suatu masyarakat yang seimbang, dan

bertentangan dengan ajaran Kristen yang tidak setuju dengan pemanfaatan perbedaan

status sosial yang demikian.20

Hal yang menarik adalah pola relasi sosial yang hierarkis itu juga terbentuk oleh

karena peran dan fungsi sosial Duan dan Lolat dalam masyarakat. Seorang Duan dihargai

oleh Lolatnya, oleh karena jasanya terhadap Lolat. Seorang Duan bertanggungjawab penuh

terhadap kehidupan Lolatnya. Apapun yang terjadi dalam kehidupan Lolat menjadi

tanggungjawab Duan. Misalnya ketika seorang Lolat akan menikah, atau ketika ia sedang

mengalami masalah dalam kehidupannya, maka Duannya akan menebus segala beban

“harta” yang ditimpakan atas Lolatnya, baik untuk pernikahan maupun persoalan seperti

perkelahian atau pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat. Seorang Lolat, hanya

perlu datang kepada Duannya untuk menyampaikan maksud atau masalahnya dengan

membawa sebotol “sopi”. Karena itulah, seorang Duan kemudian dipandang sebagai

penyelamat dan penebus sedangkan Lolat adalah orang yang diselamatkan atau ditebus.21

Paulus Koritelu, yang melakukan penelitian sesudah Labobar untuk disertasinya,

menyoroti masalah perubahan hubungan sosial Duan-Lolat sebagai akibat dari perubahan

sosial yang terjadi dalam masyarakat pada tahun 1995-2004. Perubahan sosial itu ialah

perkembangan dari desa menjadi bagian integral dari kota kecamatan dan kemudian

menjadi kota Kabupaten. Ia melakukan penelitian pada dua desa yaitu desa Olilit dan

Sifnana. Kedua desa ini, sebelumnya menjadi bagian integral dari kota Saumlaki yang

merupakan kota kecamatan Tanimbar Selatan, yang kemudian berkembang menjadi

Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) sejak tahun 2000. Koritelu kemudian

menemukan bahwa dalam banyak hal hubungan sosial Duan-Lolat telah mengalami

perubahahan sebagai akibat dari perkembangan yang terjadi dalam masyarakat pada kedua

desa ini. Misalnya saja, dalam hal peran untuk memberikan harta kawin yang seharusnya

adalah tanggung jawab Duan, tidak lagi demikian adanya karena pihak Lolat telah merasa

20

Kresbinol Labobar, Duan-Lolat: Studi Sosio-Teologis dan Kritik terhadap Perbedaan Posisi Sosial dalam Tradisi

Perkawinan Adat di Waturu Kecamatan Tanimbar Utara Kabupaten Maluku Tenggara Barat Provinsi Maluku,

Tesis, (Salatiga: Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, 2005). 21

Ibid, hlm. 7.

©UKDW

Page 7: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

7

bahwa ia bisa memberikan harta kawinnya sendiri.22

Penemuan Koritelu ini tentunya

berlaku dalam konteks yang terbatas dan karena itu tidak bisa digeneralisir untuk semua

wilayah di Tanimbar. Meskipun demikian, harus diakui bahwa tetap ada perubahan, baik

dalam skala kecil maupun besar, dalam budaya Duan-Lolat sebagai akibat dari

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat oleh karena budaya bukanlah entitas yang

statis melainkan dinamis.

Jauh sebelum Labobar dan Koritelu, Susan McKinnon, telah melakukan penelitian di

Tanimbar, khususnya di kalangan orang-orang Tanimbar yang berbahasa Fordata. Hasil

penelitiannya itu kemudian diterbitkan dalam bukunya From a Shattered Sun: Hierarchy,

Gender, and Alliance in the Tanimbar Island. Memang, McKinnon tidak hanya meneliti

secara khusus tentang budaya Duan-Lolat, melainkan secara umum. Akan tetapi, karena ia

juga meneliti tentang “alliance”, maka ia juga meneliti tentang Duan-Lolat. Lagipula,

sebagaimana telah dijelaskan di atas, masyarakat Tanimbar memang tidak dapat

dipisahkan dari budaya Duan-Lolat, karena budaya ini merupakan budaya yang sangat

penting dalam kehidupan masyarakat Tanimbar.

McKinnon menemukan bahwa dalam budaya Duan-Lolat memang ada hierarki, dan

pada hakikatnya Duan-Lolat bersifat hierarki. Akan tetapi, berbeda dari Labobar yang

melihat hierarki secara “negatif” dalam pengertian hierarki sebagai bentuk “stratifikasi

sosial” dalam masyarakat, McKinnon justru melihat hierarki secara “positif” sebagaimana

yang dimaksudkan oleh Dumont, yaitu sebagai relasi antara kesatuan dengan unsur dari

kesatuan itu, dan relasi yang mencakupi yang bertentangan. Akan tetapi, berkaitan dengan

hierarki sebagai relasi antara kesatuan dengan unsur dari kesatuan itu, dimana pada level

yang superior ada kesatuan sedangkan pada level yang inferior ada pemisahan, McKinnnon

justru melihat bahwa hierarki antara Duan dan Lolat terbentuk hanya karena pihak Duan

diakui sebagai “sumber” kehidupan bagi Lolatnya, sehingga pihak Duan kemudian

menjadi “superior” dibandingkan dengan pihak Lolat, bukan karena dalam diri Duan ada

“kesatuan.” Karena pihak Duan adalah sumber kehidupan bagi Lolatnya, maka McKinnon

kemudian memaknai tantanan hierarki Duan-Lolat bukan sebagai bentuk “stratifikasi

sosial,” melainkan tatanan yang melaluinya “kehidupan dan perluasannya diwujudkan.”23

22

Paulus Koritelu, Perubahan Hubungan Sosial Duan dan Lolat di Olilit Tanimbar-MTB dalam Kurun Waktu 1995-

2004, Disertasi, (Depok: Program Pasca Sarjana Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia, 2009). 23

Lihat, Susan McKinnon, From a Shattered Sun. Dalam banyak hal, penulis juga mengacu dari McKinnon, akan

tetapi ada juga perbedaan-perbedaan mendasar. Misalnya saja, dalam hal hierarki antara Duan-Lolat, penulis

menemukan bahwa berdasarkan konstruksi sosial masyarakat Tanimbar mengenai “peran laki-laki dan perempuan”

©UKDW

Page 8: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

8

Terlepas dari persoalan hierarki dalam budaya ini, Duan-Lolat tidak hanya sebuah

pola relasi sosial yang terbentuk melalui proses perkawinan. Dalam relasi Duan-Lolat,

masyarakat Tanimbar meyakini bahwa pembangkangan atau pemberontakan seorang Lolat

terhadap Duannya akan mendatangkan kutuk bagi sang Lolat. Amarah dari sang Duan

diyakini akan mendatangkan musibah kepada sang Lolat dan keturunannya, seperti sakit,

susah untuk melahirkan, anak mengalami cacat pada saat dilahirkan oleh ibunya, dan

bahkan bisa sampai meninggal dunia.24

Hal ini menunjukkan bahwa budaya Duan-Lolat

tidak hanya merupakan sebuah pola relasi sosial yang terbentuk melalui proses perkawinan

semata, tetapi ada keyakinan dan kepercayaan tertentu di balik budaya Duan-Lolat itu

sendiri.

Memang, suatu budaya tidak hanya merupakan tindakan atau praktik yang dilakukan

secara berulang semata, tetapi di balik suatu budaya terkandung gagasan dan pemahaman

tertentu dari masyarakat yang mempraktikkan dan menghidupi budaya itu. Gagasan dan

pemahaman tertentu yang terkandung dalam suatu budaya inilah yang disebut oleh Clifford

Geertz sebagai worldview atau pandangan dunia yaitu “gambaran suatu masyarakat tentang

kenyataan apa adanya, konsep mereka tentang alam, diri, dan masyarakat serta gagasan-

gagasan mereka yang paling komprehensif mengenai tatanan.”25

Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti bagaimana Allah dipahami

dalam budaya ini. Gambaran Allah yang bagaimana yang ada dalam budaya ini, dan

bagaimana Allah dapat dipahami dari perspektif budaya Duan-Lolat. Untuk itu, tesis ini

diberi judul “Menjumpai Allah dalam Budaya Duan-Lolat: Suatu Upaya Berteologi

Kontekstual dalam Konteks Masyarakat Tanimbar.” Kata “menjumpai” yang digunakan

pada judul ini bukan berarti “menemukan” Allah secara fisik dalam budaya ini, tetapi

digunakan dalam pengertian “menemukan konsepsi dan pemahaman mengenai Allah” dari

perspektif budaya Duan-Lolat. Hal inilah yang sekaligus membedakan Tesis ini dengan

penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang telah diuraikan di atas.

Memang, McKinnon juga membahas mengenai sosok “yang ilahi” dalam konsepsi

masyarakat Tanimbar, tetapi ia melihatnya secara umum, tidak secara khusus dalam kaitan

dengan budaya Duan-Lolat.

Sebagai upaya berteologi kontekstual dari budaya maka ada bahaya yang senantiasa

mengancam yaitu jatuh pada “romantisme budaya” sehingga hanya melihat hal-hal yang

maka dalam diri Duan ada “kesatuan,” yaitu kesatuan peran baik laki-laki maupun perempuan. Hal inilah yang

membuat pihak Duan menjadi “superior” terhadap pihak Lolat. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Bab II. 24

Kresbinol Labobar, Duan-Lolat, hlm. 103. 25

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, (New York: Basic Books, Inc., Publishers, 1973), h. 89.

©UKDW

Page 9: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

9

baik saja dari budaya dan bersikap tidak kritis terhadap budaya itu sendiri.26

Bahaya

romantisme ini semakin mengancam jika melihat latar belakang penulis sebagai orang

Tanimbar yang akan meneliti mengenai budaya Tanimbar. Untuk mengatasi hal ini,

Emanuel Gerrit Singgih mengusulkan bahwa dalam setiap upaya berteologi kontekstual

kita tidak hanya melakukan konfirmasi terhadap nilai-nilai yang positif dalam budaya dan

menghindari konfrontasi dengan nilai-nilai yang kurang baik yang ada dalam budaya

tersebut, tetapi dalam kontekstualisasi kita juga harus berani melakukan konfrontasi.27

Dalam kaitan itu maka sikap kritis terhadap budaya Duan-Lolat juga akan menjadi

perhatian serius dalam tesis ini. Sebagaimana telah diuraikan di atas, salah satu masalah

yang ada dalam budaya ini adalah struktur dan pola relasi sosial yang bersifat hierarkis

dalam masyarakat. Pola relasi sosial ini, sebagaimana ditemukan oleh Labobar dalam

penelitiannya, dimanfaatkan oleh sebagian orang, terutama dari pihak Duan karena posisi

sosialnya yang tinggi, untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Hal ini menyisakan

pertanyaan apakah kekurangan dalam suatu tatanan dan struktur yang hierarkis, khususnya

dalam budaya Duan-Lolat dan bagaimana menyikapi kekurangan itu.

I.2 Perumusan Masalah

Uraian latar belakang di atas telah memberi gambaran bahwa penelitian ini akan

berfokus pada upaya menemukan bagaimana suatu masyarakat dalam konteks kebudayaan

tertentu, yaitu orang-orang Tanimbar bisa memahami Allah dari perspektif budaya mereka

sendiri yaitu budaya Duan-Lolat.

I.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama yang akan dijawab dalam tesis ini adalah bagaimana masyarakat

Tanimbar bisa memahami Allah dari sudut pandang budaya Duan-Lolat?

Pertanyaan utama ini kemudian dijabarkan dalam beberapa sub-pertanyaan sebagai

berikut:

a. Apa itu budaya Duan-Lolat dan bagaimana budaya ini dipraktekkan oleh masyarakat

Tanimbar?

b. Mengapa Duan harus melindungi Lolatnya dan Lolat harus menghargai Duannya?

c. Gambaran Allah yang bagaimana yang terdapat dalam budaya Duan-Lolat?

26

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, h. 107-108. 27

Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, h. 28-30;

©UKDW

Page 10: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

10

d. Apakah kekurangan dari tatanan hierarkis dalam budaya Duan-Lolat dan bagaimana

menyikapinya?

I.4 Tujuan Penulisan

Mengacu pada perumusan masalah dan pertanyaan penelitian di atas maka penulisan

tesis ini bertujuan untuk menemukan gambaran masyarakat mengenai Allah dalam budaya

Duan-Lolat.

Selain itu, ada beberapa sub tujuan yang ingin dicapai dari penulisan tesis ini yaitu:

a. Memahami secara mendalam budaya Duan-Lolat dan bagaimana budaya ini

dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Tanimbar.

b. Berupaya untuk mengembangkan suatu teologi yang kontekstual bagi masyarakat

Tanimbar dari budaya Duan-Lolat.

c. Mengkritisi nilai-nilai negatif yang ada dalam budaya Duan-Lolat.

I.5 Kegunaan Penulisan

Penulisan tesis ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

a. Menolong masyarakat Tanimbar untuk memahami iman Kristen melalui budaya

mereka sendiri.

b. Memperkaya khazanah berteologi di Gereja Protestan Maluku secara khusus dan di

Indonesia secara umum.

c. Memberikan sumbangsih bagi Gereja Protestan Maluku dalam rangka

mengembangkan teologi kontekstual di Maluku.

I.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian latar belakang di atas, ruang lingkup

penulisan tesis ini hanya akan dibatasi pada upaya berteologi secara kontekstual dari

budaya “tradisional,” yaitu budaya Duan-Lolat di Tanimbar, Maluku. Upaya berteologi

kontekstual dari budaya Duan-Lolat ini hanya akan berfokus pada upaya menemukan

gambaran Allah dalam budaya ini.

Budaya ini telah ada jauh sebelum kekristenan masuk di Tanimbar dan tetap

dipertahankan dan dihidupi oleh masyarakat Tanimbar sampai saat ini. Dalam ruang dan

waktu serta dinamika masyarakat yang terus menerus berubah, maka budaya ini pun telah

mengalami perjumpaan dan interaksi yang dinamis dari waktu ke waktu dan dari generasi

ke generasi. Artinya, seperti halnya budaya pada umumya, budaya Duan-Lolat bukanlah

©UKDW

Page 11: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

11

entitas yang statis melainkan dinamis yang terus menerus berkembang seiring dengan

dinamika masyarakat. Mengacu pada kesadaran itu, maka studi ini bukanlah suatu upaya

penelusuran historis terhadap budaya Duan-Lolat. Studi ini berfokus pada budaya Duan-

Lolat sebagaimana adanya sekarang, budaya Duan-Lolat yang dihidupi dan dipraktekkan

oleh masyarakat Tanimbar di masa kini. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa dimensi

sejarah sama sekali akan diabaikan. Dimensi sejarah tetap penting dan akan melengkapi

penelitian ini karena analisis budaya dan sejarah saling berkelindan.28

Selain itu, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Tanimbar adalah suatu wilayah yang

cukup luas, yang terdiri dari banyak pulau. Tidak hanya itu, di Tanimbar juga, empat

rumpun bahasa daerah yaitu bahasa Yamdena, Fordata, Selaru dan Seluwasa, di samping

bahasa Indonesia yang digunakan dalam interaksi sosial masyarakat. Dalam kaitan itu,

penting untuk diketahui bahwa penelitian ini tidak dilakukan di seluruh wilayah Tanimbar

dan karena itu juga tidak mencakup semua rumpun bahasa yang ada di sana. Penelitian ini

akan dilakukan di Desa Lamdesar Timur, yang terletak di pulau Larat, yang mana

masyarakat di sana berbicara dalam bahasa Fordata.29

Dengan demikian, “Tanimbar” yang

dimaksudkan dalam Tesis ini adalah orang-orang Tanimbar yang hidup salah satu pulau

yang ada di sana yaitu di pulau Larat dan yang berbahasa Fordata. Meskipun demikian,

dalam kaitan dengan bahasa, perbandingan dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan

budaya Duan-Lolat dalam rumpun bahasa yang lain, terutama dalam bahasa Yamdena,

akan dilakukan juga untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai budaya ini.

I.7 Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi

penelitian kualitatif. Metodologi penelitian kualitatif dipilih karena metodologi ini

berupaya untuk menggambarkan dunia-kehidupan “dari dalam,” dari sudut pandang orang

yang diteliti. Dengan demikian maka metodologi penelitian kualitatif mencoba untuk

menyajikan pemahaman yang lebih baik tentang kenyataan sosial dan memberi perhatian

pada proses, pola-pola makna dan unsur-unsur struktural. Selain itu, penelitian kualitatif

tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga terbuka bagi segala kemungkinan, dengan

28

Mieke Bal, Traveling Concepts in the Humanities: A Rough Guide, (Toronto: University of Toronto Press

Incorporated, 2002), h. 136. 29

Lebih detil mengenai kepulauan Tanimbar dan Lokasi Penelitian, lihat bagian Lampiran yang berisi Peta

Kepulauan Tanimbar.

©UKDW

Page 12: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

12

menjadikan hal-hal yang tidak diduga sebelumnya menjadi sumber refleksi dan membuat

hal-hal yang tidak diketahui sebelumnya menjadi diketahui.30

Penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut:

a. Penelitian lapangan (field research).

Sebagaimana telah diuraikan di atas, penelitian ini akan dilakukan di salah satu

Desa Lamdesar Timur, Kecamatan Tanimbar Utara, yang terletak di pulau Larat. Desa

ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena sejauh yang penulis ketahui, masyarakat di

desa ini masih sangat kuat mempertahankan tradisi dan adat istiadat.

b. Pengumpulan data tentang budaya Duan-Lolat.

Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data verbal dan data hasil

observasi.

Pengumpulan data melalui observasi akan dilakukan melalui observasi langsung

(participant observation).

Pengumpulan data verbal akan dilakukan melalui dua cara yaitu wawancara dan

diskusi kelompok (Group Discussion).

1. Wawancara yang akan dilakukan yaitu wawancara terfokus (focus interview)

yakni wawancara yang berfokus pada subjek atau topik tertentu yang telah

ditentukan sebelumnya, dan mencoba untuk mengumpulkan reaksi dan

interpretasi dalam wawancara dengan bentuk-bentuk yang terbuka secara

relatif.31

Wawancara akan dilakukan dengan tokoh-tokoh adat dan tokoh-

tokoh masyarakat setempat yang diharapkan bisa memberikan informasi

mengenai budaya Duan-Lolat.

2. Diskusi kelompok (group discussion) yaitu membangun diskusi dengan

orang-orang atau kelompok tertentu sebagai representasi masyarakat secara

umum (macro-sosial).32

c. Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian lapangan dan

mengumpulkan data adalah satu bulan dan dua minggu.

30

Uwe Flick, dkk., “What is Qualitative Research? An Introduction to the Field”, dalam A Companion to

Qualitative Research, Eds. by: Uwe Flick, dkk., (London: Sage Publication, 2004), h. 3. 31

Christel Hopf, “Qualitative Interviews: An Overview”, dalam A Companion to Qualitative Research, Eds. by:

Uwe Flick, dkk., h. 205. 32

Ralf Bohnsack, “Group Discussion and Focus Groups”, dalam A Companion to Qualitative Research, Eds. by:

Uwe Flick, dkk., h. 216.

©UKDW

Page 13: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

13

d. Metode Interpretasi Data/Rencana Analisis

Metode interpretasi data yang dipakai dalam penulisan tesis ini mengacu pada

metode etnografi yang dikembangkan oleh Clifford Geertz yaitu Thick Description.33

Thick Description, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Geertz, bukan hanya

deskripsi tentang bagaimana budaya dipraktekkan melainkan sampai kepada makna

tindakan-tindakan itu dalam setting sosial tertentu. Hal ini berarti bahwa deskripsi dan

analisis bukanlah dua proses yang terpisah melainkan menyatu dalam satu deskripsi.

Oleh karena penelitian ini bukan hanya membedah budaya tetapi juga berteologi

dari budaya maka interpretasi dan analisis juga mencakup interpretasi dan analisis

terhadap teks-teks Alkitab dan tradisi-tradisi teologis yang telah ada. Teks-teks

Alkitab dan tradisi teologis yang dipilih adalah yang berkaitan dengan gambaran dan

pemahaman tentang Allah yang relevan dengan tema-tema budaya yang muncul dalam

thick description di atas, baik yang mendukung maupun yang mengkritisi pemahaman

tentang Allah yang muncul dari analisis terhadap budaya Duan-Lolat. Proses

selanjutnya adalah mendialogkan tema-tema budaya yang berkaitan dengan

pemahaman masyarakat Tanimbar mengenai Allah dalam budaya Duan-Lolat, dengan

tema-tema teologis yang telah dianalisis baik dari Alkitab maupun tradisi teologis.

I.8 Kerangka Teori

Tesis ini merupakan suatu upaya berteologi kontestual dari budaya yaitu budaya

Duan-Lolat yang dihidupi dan dipraktikkan oleh masyarakat Tanimbar di Maluku. Sebagai

upaya berteologi kontekstual dari budaya maka penelitian ini akan berurusan dengan

budaya dan bagaimana memahami suatu budaya serta bagaimana berteologi dari budaya.

Oleh karena itu maka teori-teori yang akan digunakan sebagai acuan adalah teori-teori

tentang budaya dan bagaimana memahami suatu budaya, serta bagaimana berteologi dari

budaya.

Apa itu budaya merupakan pertanyaan yang sulit dan tidak ada definisi yang baku

mengenai apa itu budaya. Ada banyak sekali definisi tentang budaya dan berbagai macam

pemahaman mengenai budaya itu sendiri. Dua ahli Antropologi, Kroeber dan Kluchon

pernah mengumpulkan definisi-definisi tentang budaya dalam buku Culture, A Critical

Review of Concept and Definitions, di mana mereka menemukan seratusan definisi budaya.

Mereka kemudian menganalisis definisi-definisi itu dan mengelompokkannya. Setidaknya,

33

Penjelasan lebih rinci mengenai Thick Description dibahas dalam bagian Kerangka Teori di bawah.

©UKDW

Page 14: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

14

menurut mereka, ada enam pemahaman pokok mengenai budaya, yaitu definisi deskriptif,

historis, normantif, psikologis, struktural dan genetis.34

Beragamnya definisi dan pemahaman mengenai budaya menunjukkan bahwa ada

berbagai pendekatan untuk memahami budaya. Setiap pendekatan tentunya memiliki

kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam rangka berteologi secara kontekstual

dari budaya, Robert J. Schreiter menganjurkan bahwa paling kurang ada tiga pertimbangan

yang harus diperhatikan dalam memilih pendekatan untuk menganalisis budaya.

Pertimbangan pertama adalah bahwa pendekatan manapun terhadap suatu budaya harus

menyeluruh atau holistik, artinya analisis itu tidak bisa terpusat hanya pada satu bagian

budaya dan mengabaikan bagian-bagian lain dari budaya. Pertimbangan kedua adalah

bahwa pendekatan apapun terhadap budaya harus mampu menunjuk pada kekuatan-

kekuatan yang membentuk jati diri dalam suatu budaya. Dan pertimbangan ketiga adalah

pendekatan apapun terhadap budaya harus mampu berbicara pada masalah perubahan

sosial.35

Bertolak dari pertimbangan-pertimbangan itu, Schreiter kemudian mengusulkan

empat pendekatan, yaitu pendekatan fungsionalis, pendekatan ekologis dan materialis,

pendekatan strukturalis, dan pendekatan semiotik.36

Menurutnya, setiap pendekatan ini

dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan teologi kontekstual dari budaya. Akan

tetapi Schreiter lebih memilih pendekatan semiotik karena menurutnya model ini

memberikan jalan untuk memungkinkan potensi simbolis suatu budaya menjadi nyata.

Dalam pandangan Schreiter, pendekatan semiotik lebih cocok dalam rangka

mengembangkan teologi kontekstual dari budaya karena beberapa alasan. Pertama,

pendekatan semiotik terhadap budaya merupakan pendekatan antar-bidang dan

keprihatinannya akan semua dimensi budaya, baik verbal maupun non-verbal, baik empiris

maupun non-empiris, mewakili jenis holisme yang penting dalam rangka memahami suatu

budaya. Kedua, oleh karena pendekatan semiotik memberi perhatian pada berbagai sistem

lambang dalam suatu budaya dan konfigurasi lambang-lambang itu, maka akan

memungkinkan suatu pandangan yang lebih teliti tentang bagaimana identitas budaya dan

identitas anggota-anggota budaya itu terbentuk. Ketiga, karena keprihatinan akan pola-pola

perubahan dalam pendekatan semiotik amatlah kuat.37

34

Lihat, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (eds.), Teori-Teori Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 9 35

Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, Terj: Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2008), h. 70-73. Schreiter tidak menggunakan istilah “teologi kontekstual” tetapi “teologi lokal.” 36

Ibid, hlm. 77-94. 37

Ibid, hlm. 87-88.

©UKDW

Page 15: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

15

Mengacu pada usulan Schreiter di atas, maka teori budaya yang akan digunakan

untuk memahami budaya Duan-Lolat adalah teori budaya dari Clifford Geertz, oleh karena

pendekatan Geertz adalah pendekatan semiotik.38

Teori semiotik dari Clifford Geertz

dipilih oleh karena penelitian ini berurusan dengan sesuatu yang tidak terungkap secara

eksplisit melainkan implisit dalam suatu budaya dan karena itu maka teori Geertz yang

menekankan pada interpretasi terhadap makna akan sangat membantu. Selain itu, Geertz

menekankan bahwa penghargaan terhadap suatu budaya apa adanya sangat penting dan

penelitian terhadap suatu budaya tidak harus dilakukan dengan memasukkan konsep-

konsep abstrak ke dalamnya tetapi mulai dari budaya itu sendiri. Penegasan Geertz ini

sangat cocok dengan upaya berteologi kontekstual yang juga menekankan pada

penghargaan terhadap budaya dan berteologi dari budaya bukan dengan membawa konsep-

konsep teologi yang sudah ada ke dalam suatu budaya tertentu, tetapi bagaimana suatu

budaya dapat melahirkan teologi. Selanjutnya, model pengembangan teologi kontekstual

akan mengacu dari metode yang dikembangkan oleh Robert Schreiter, oleh karena

Schreiter menyajikan langkah-langkah yang sangat detail tentang hal ini.

Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai “pola-pola makna yang ditransmisikan

secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep-konsep yang

diwariskan yang terungkap dalam simbol-simbol yang dengannya manusia berkomunikasi,

hidup terus menerus, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap terhadap

hidup.”39

Artinya, Geertz memahami budaya sebagai jaringan yang sangat kompleks dari

sistem tanda-tanda, simbol-simbol dan mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan

yang membutuhkan pendekatan hermeneutis.40

Definisi ini juga menunjukkan bahwa

Geertz memahami budaya, bukan sebagai entitas yang statis melainkan dinamis oleh

karena budaya terus menerus mengalami “transmisi secara historis.”

Menurut Geertz, pendekatan terhadap budaya bukanlah masalah metode seperti

membangun hubungan yang akrab, menyeleksi informan, menulis catatan, menyusun

silsilah, memetakan lapangan, dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena yang dihadapi

oleh seseorang yang meneliti suatu budaya adalah struktur konseptual yang kompleks,

yang kebanyakan tumpang tindih satu dengan yang lain, yang pada saat yang sama asing,

38

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 5. Buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia,

dalam dua jilid, yaitu Tafsir Kebudayaan, terj: F.B. Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) dan Kebudayaan dan

Agama, terj: F.B. Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Schreiter juga mengulas sedikit mengenai pandangan

Geertz tentang budaya dalam bukunya. Lihat, Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, h, 89-91, 94-96. 39

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 89. 40

Mh. Nurul Huda, “Budaya sebagai Teks: Narasi dan Hermeneutik”, dalam Teori-Teori Kebudayaan, eds. by

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, h. 212.

©UKDW

Page 16: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

16

tidak biasa, dan tidak ekplisit. Karena itu, kadang-kadang seseorang yang meneliti suatu

budaya harus berupaya untuk menggenggamnya dan menerjemahkannya. Dengan kata

lain, penelitian terhadap suatu budaya membutuhkan pendekatan hermeneutis, dan menurut

Geertz, pendekatan hermeneutis tidak membutuhkan metode yang kaku.41

Penelitian

terhadap budaya seperti mencoba untuk membaca sebuah manuskrip yang asing, kabur,

dan membingungkan, yang ditulis bukan dalam bunyi yang konvensional tetapi dalam

contoh-contoh sementara dari perilaku.42

Dengan demikian maka “pola-pola makna” dan

“konsep-konsep” budaya “yang terwujud atau terungkap dalam simbol-simbol” hanya

dapat dipahami dengan cara menganalisis bagaimana suatu budaya dipraktekkan.

Menurut Geertz, dalam penelitian antropologi terhadap budaya hal yang sangat

penting yang mesti dilakukan oleh seorang peneliti adalah etnografi, yang dapat dipahami

sebagai cara tertentu untuk “menulis” budaya. Akan tetapi, sebuah catatan etnografis bukan

hanya deskripsi tentang budaya apa adanya, tetapi merupakan upaya memahami budaya

itu.43

Oleh karena itu maka menurut Geertz deskripsi etnografis itu haruslah sebuah

deskripsi yang ia sebut sebagai “thick description” atau “deskripsi tebal.” Istilah thick

description ini dipinjam oleh Geertz dari filsuf Gilbert Ryle. Ryle membedakan antara

thick dan thin description. Menurut Ryle, suatu deskripsi yang thin atau thin description

tidak melihat adanya perbedaan antara dua hal atau perilaku yang kelihatannya seperti

tidak ada perbedaan tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang sangat besar di antara

keduanya. Sedangkan suatu deskripsi yang thick atau thick description justru melihat

perbedaan itu dan berupaya untuk menemukan makna dari masing-masing tindakan

tersebut.

Ryle menggunakan contoh mengejangkan (twitch) dan mengedipkan (wink) mata.

Dalam thin description, keduanya akan dilihat sebagai tindakan yang sama saja, yaitu

kontraksi kelopak mata dari salah satu mata. Akan tetapi, dalam thick description,

keduanya justru akan dilihat sebagai dua tindakan yang sama sekali berbeda. Bisa jadi

masing-masing tindakan itu merupakan simbol konspirasi dari seseorang kepada orang

lain. Tidak hanya sampai di situ, oleh karena komplikasi (dan signifikansi) selanjutnya

muncul dalam perbedaan antara twitch, wink, meniru-niru twitch, memparodikan wink,

41

Clifford Geertz, Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology, (2000 Edition), (New York:

Basic Books, 2000), h. 5. 42

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 5-10; lihat juga, Joseph Errington, “On Not Doing System”

dalam Interpreting Clifford Geertz: Cultural Investigation in the Social Sciences, Eds. by Jeffrey C. Alexander,

dkk., (New York: Palgrave Macmillan, 2011), h. 36. 43

Lihat, Andrew Edgar and Peter Sedgwick (eds.), Cultural Theory: The Key Concepts, (New York: Routledge,

2002), h. 133.

©UKDW

Page 17: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

17

melatih lagi parodisasi wink, dan seterusnya. Mendeskripsikan tingkatan permukaan makna

seperti inilah yang merupakan cara mendeskripsikan secara thick.44

Artinya, thick

description tidak hanya mendeskripsikan tindakan yang kelihatan saja, tetapi

mendeskripsikan sampai kepada makna terdalam dari tindakan itu dalam konteks tertentu.

Thick deskription adalah deskripsi yang tidak hanya mendeskripsikan bagaimana budaya

dipraktekkan tetapi juga pola-pola makna dan konsep-konsep yang terkandung dalam

budaya tersebut.

Thick description, menurut Geertz, memilki empat karakter yang juga harus menjadi

karakter dari deskripsi etnografi.45

Keempat karakter ini sekaligus juga menjadi petunjuk

bagaimana menganalisis suatu budaya. Pertama deskripsi itu adalah hasil interpretasi dari

seorang peneliti. Dalam penelitian terhadap budaya, seorang peneliti memang berupaya

untuk memahami suatu budaya tanpa mereduksi partikularitas budaya itu sendiri. Akan

tetapi pemahaman itu bisa sangat subjektif, dalam pengertian sangat tergantung pada siapa

yang melihat dan berupaya untuk memahami budaya itu (actor-oriented). Hal ini berarti

bahwa deskripsi terhadap suatu budaya merupakan konstruksi yang sangat tergantung dari

bagaimana seorang peneliti membayangkan apa yang dijalani oleh suatu masyarakat dan

rumusan yang mereka gunakan untuk menjelaskan apa yang terjadi pada mereka. Dengan

kata lain, deskripsi terhadap suatu budaya dimulai dari interpretasi seorang peneliti tentang

apa yang terjadi, baru kemudian mensistematisasikannya. Dengan demikian maka batas

antara budaya sebagai kenyaatan faktual dan budaya sebagai entitas teoritis cenderung

kabur.46

Kedua, apa yang diinterpretasikan dalam thick description itu adalah aliran wacana

sosial. Artinya, dalam penelitian terhadap budaya, seorang peneliti tidak datang dengan

membawa konsep-konsep dan kemudian mencocokkannya dengan kenyataan sosial yang

ada, tetapi sebaliknya penelitian terhadap budaya harus dimulai dari mengamati dan

menganalisis perilaku-perilaku konkrit dalam suatu masyarakat. Hal ini penting oleh

karena bentuk-bentuk budaya akan memperoleh artikulasinya dalam perilaku masyarakat.

Artikulasi suatu budaya memang bisa ditemukan dalam berbagai macam artefak dan

beragam kondisi kesadaran, tetapi maknanya akan ditemukan dalam bagaimana budaya itu

dipraktekkan, dalam pola-pola kehidupan yang terus berkembang. Di samping itu, oleh

44

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 6-7; lihat juga, Nigel Rapport dan Joanna Overring, Social and

Cultural Anthropolgy: The Key Concepts, (London and New York: Routledge, 2000), h. 350; Jerry D. Moore,

Visions of Culture: An Introduction to Anthropological Theories and Theorists (Third Edition), (Lanham: Altamira

Press, 2009), h. 264-265. 45

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 10-23. 46

Lihat juga, Clifford Geertz, Local Knowledge, h. 5-6.

©UKDW

Page 18: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

18

karena budaya adalah sistem simbol maka seorang peneliti budaya akan mendapatkan

akses empiris ke dalam sistem simbol itu dengan menelusuri peristiwa-peristiwa dan bukan

dengan membawa konsepsi-konsepsi abstrak ke dalam pola-pola tertentu.47

Ketiga, interpretasi yang terdapat dalam deskripsi itu merupakan upaya untuk

menyelamatkan “perkataan” dalam wacana tertentu dari peristiwa yang telah mati dan

menempatkannya dalam istilah-istilah yang dapat dibaca. Maksudnya adalah dengan

menuliskan deskripsi itu, seorang etnografer telah mengalihkan peristiwa-peristiwa itu dari

sekedar peristiwa masa lampau ke dalam suatu peristiwa yang terdapat dalam deksripsi itu

dan bisa dikonsultasikan ulang. Analisis budaya dengan demikian adalah menerka makna,

menaksir terkaan, dan membuat kesimpulan penjelasan dari terkaan terbaik.

Keempat, deskripsi itu mikroskopik. Hal ini tidak berarti bahwa interpretasi

antropologis tidak mempunyai skala besar seperti masyarakat secara utuh, peristiwa-

peristiwa dunia dan sebagainya. Tetapi seorang antropolog secara karakteristik mendekati

interpretasi-interpretasi yang lebih luas dan analisis-analisis yang lebih abstrak itu dengan

hal-hal yang kecil. Hal yang paling penting tentang penemuan antropologi adalah bahwa

penemuan antropologi, yang dihasilkan dalam waktu lama, dengan partisipasi yang tinggi,

dan hampir merupakan studi lapangan yang teliti dalam konteks yang terbatas, membuat

konsep-konsep besar dalam ilmu sosial kontemporer menjadi lebih aktual dan berpikir

tentang konsep-konsep itu secara konkrit dan realistis. Tetapi yang lebih penting adalah

penemuan antropologi merupakan cara berpikir secara kreatif dan imajinatif dengan

konsep-konsep itu.48

Secara spesifik, penelitian ini akan berupaya untuk menemukan gambaran atau

pemahaman masyarakat Tanimbar mengenai Allah atau yang ilahi dalam budaya Duan-

Lolat. Oleh karena itu maka penting juga untuk menguraikan bagaimana pandangan Geertz

mengenai gambaran tentang yang ilahi dalam suatu budaya. Dalam studi antropologi

terhadap budaya dan agama ditemukan bahwa pemahaman dan konsepsi atau gambaran

tentang yang suci atau yang ilahi (the sacred self) ada pada semua budaya. Akan tetapi

pemahaman atau gambaran tentang yang ilahi itu berbeda dari satu kebudayan ke

kebudayaan lainnya.49

Geertz memang tidak membahas secara eksplisit mengenai gambaran atau

pemahaman mengenai yang suci atau yang ilahi dalam suatu komunitas atau budaya. Ia

47

Lihat juga, Nigel Rapport dan Joanna Overring, Social and Cultural Anthropolgy, h. 350. 48

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 14-15. 49

Jacob Pandian, Culture, Religion, and The Sacred Self: A Critical Introduction to the Anthropological Studi of

Religion, (New Jersey: Prentice Hall, 1991), h. 18-20.

©UKDW

Page 19: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

19

hanya membahas mengenai hubungan antara worldview dan ethos dalam agama. Meskipun

demikian, Geertz tidak membedakan secara tajam antara budaya dan agama, oleh karena ia

memandang agama sebagai sistem kebudayaan dan menyoroti dimensi kulutural dari

agama.50

Dalam pembahasannya ia pun lebih banyak menggunakan contoh-contoh dari

budaya seperti kosep cocog dalam budaya Jawa.51

Jadi, apa yang ia bahas tentang

hubungan antara pandangan dunia dan etos dalam agama dapat juga diterapkan dalam

analisis terhadap budaya.

Geertz mendefinisikan worldview atau pandangan dunia sebagai gambaran suatu

masyarakat tentang kenyataan apa adanya, konsep mereka tentang alam, diri, dan

masyarakat serta gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif mengenai tatanan.52

Pandangan dunia itu berkaitan erat dan berkelindan dengan apa yang disebut Geertz

sebagai ethos atau etos yaitu karakter, watak, dan kualitas kehidupan, moral dan gaya

estetis dan suasana-suasana hati, sikap mendasar suatu masyarakat terhadap diri sendiri dan

terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan.53

Padangan dunia dan etos

berkaitan erat satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Pandangan dunia

menyajikan suatu gambaran tentang dunia dengan tatanan tertentu yang menuntut sikap

hidup tertentu. Sedangkan etos merupakan sikap hidup ideal yang sesuai dengan gambaran

dunia yang disajikan oleh pandangan dunia tersebut. Dengan demikian maka terjadi

konfrontasi dan konfirmasi timbal balik antara keduanya. Padangan dunia, pada satu pihak

mendukung etos, dan sebaliknya, pada pihak lain, etos mendukung pandangan dunia.54

Pandangan dunia menjiwai etos dan etos merefleksikan pandangan dunia.

Sintesis antara pandangan dunia dan etos ini terjadi dalam simbol-simbol sakral.

Simbol-simbol sakral itu memainkan peran untuk merumuskan kesesuaian antara etos

(gaya kehidupan tertentu) dan pandangan dunia (metafisika khusus), dan dengan demikian

mendukung masing-masing dengan otoritas yang dipinjam dari yang lain, menghubungkan

yang ontologi dan kosmologi dengan yang estetis dan moralitas.55

Oleh karena itulah maka

simbol-simbol sakral memainkan peranan penting dalam agama.

Menurut Geertz, melalui sintesis antara pandangan dunia dan etos dalam simbol-

simbol sakral, agama memainkan peran ganda yaitu sebagai model dari dan model untuk

kenyataan. Sebagai model dari kenyataan, agama menyajikan suatu gagasan atau konsepsi

50

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 89. 51

Ibid, h. 129-130. 52

Ibid, h. 89, 127. 53

Ibid. 54

Ibid, h. 90. 55

Ibid, h. 127.

©UKDW

Page 20: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

20

umum tentang kenyataan yang kemudian memberi makna bagi pengalaman konkrit

manusia. Sedangkan sebagai model untuk kenyataan, agama berperan untuk menyajikan

seperangkat kriteria etis yang menata perilaku manusia, dan dengan cara itu, agama turut

membentuk kenayataan itu sendiri.56

Sederhananya, agama sekaligus merupakan cara

pandangan hidup dan cara hidup, agama sekaligus merupakan worldview dan ethos.

Dengan demikian maka menurut Geertz agama bukan hanya metafisika semata, yaitu

pengamalan dan kepercayaan terhadap yang ilahi, entah apapun sebutannya (sebagai mana,

Brahman, atau Trinitas), tetapi selalu memiliki implikasi yang lebih jauh dalam

mengarahkan tingkah laku manusia. Akan tetapi agama juga bukan hanya etika semata

pula karena sumber vitalitas moralnya dipahami terdapat dalam kepercayaan, yang dengan

kepercayaan tersebut agama mengungkapkan hakikat fundamental dari kenyataan.57

Oleh

karena itu, menurut Geertz, penelitian terhadap agama merupakan penelitian dua tahap,

yaitu, pertama suatu analisis atas sistem makna-makna yang terkandung dalam simbol-

simbol yang meliputi agama tertentu, dan kedua, mengaitkan sistem-sistem ini pada

struktur sosial dan proses-proses psikologis. Menurutnya, selama ini studi antropologis dan

sosiologis terhadap agama hanya berfokus pada yang kedua dan mengabaikan yang

pertama. Padahal keduanya harus diperhatikan dalam rangka memahami kenyataan sosial

agama secara utuh.58

Meskipun Geertz tidak secara eksplisit membahas tentang yang ilahi, tetapi dengan

mengetahui pandangan dunia maka dapat dianalisis gambaran tentang yang ilahi yang

terkandung dalam pandangan dunia tersebut. Pendekatan yang ditawarkan oleh Geertz

sebagaimana diuraikan di atas, nampaknya sejalan dengan pendekatan yang melihat fungsi

personal dan kultural dari gambaran tentang yang ilahi dalam suatu budaya. Asumsi dasar

dari pendekatan ini adalah bahwa setiap gambaran tentang yang ilahi dalam sebuah

kebudayaan memiliki fungsi dan makna bagi mereka yang mempercayainya dan bahwa

kepercayaan terhadap keberadaan dan kekuatan yang ilahi itu didasarkan pada fungsinya

dalam suatu kebudayaan. Oleh karena itu yang dilakukan adalah dengan mendeksripsikan

hal-hal yang berkaitan dengan rumusan dan praktik budaya yang berhubungan dengan

keberadaan dan kekuatan yang ilahi dan kemudian menginterpretasikan signifikansi dan

maknanya bagi mereka yang menggunakannya.59

56

Ibid, h. 123-124; Brian Morris, Anthropological Studies of Religion: An Introductory Text, (New York:

Cambridge University Press, 1987) h. 313 57

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, h. 126. 58

Ibid, h. 125. 59

Jacob Pandian, Culture, Religion, and The Sacred Self, h. 507-508.

©UKDW

Page 21: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

21

Setelah melakukan analisis terhadap budaya maka akan muncul teks-teks budaya

yang di dalamnya terkandung tema-tema yang merupakan inti budaya yang darinya akan

dikembangkan suatu teologi. Langkah selanjutnya adalah melihat tradisi-tradisi gereja atau

dalam istilah Schreiter “membuka tradisi gereja.” Dalam hal ini maka tradisi gereja akan

dipandang sebagai teologi-teologi lokal. Tradisi gereja merupakan rangkaian teologi-

teologi lokal yang bertumbuh sebagai tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan dalam

konteks tertentu. Dalam memahami tradisi sebagai teologi lokal, maka Schreiter

mengusulkan agar diterapkan sosiologi ilmu pengetahuan ke dalam sejarah teologi Kristen

untuk melihat hubungan antara bentuk-bentuk teologi dengan konteks di mana teologi itu

lahir.60

Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah mendialogkan61

antara tema-tema budaya

dengan teologi-teologi lokal dalam tradisi gereja. Dialog ini merupakan upaya untuk

menemukan paralelisme atau kesejajaran antara teologi-teologi lokal dalam tradisi gereja

dengan tema-tema atau kebutuhan lokal, baik dalam isi, konteks, bentuk, ataupun ketiga-

tiganya. Akan tetapi, tidak selalu situasi dan pengalaman komunitas lokal masa kini sama

dengan pengalaman-pengalaman komunitas lokal dalam tradisi gereja. Karena itu maka

harus juga diperhatikan perbedaan-perbedaan itu. Dalam dialog itu, keduanya bisa saling

melengkapi. Baik tradisi gereja melengkapi dan mengukuhkan teologi lokal maupun juga

dalam beberapa hal tradisi gereja bisa mengkritisi teologi lokal. Begitu pula sebaliknya,

teologi lokal bisa melengkapi dan mengukuhkan tradisi gereja, bahkan teologi-teologi

lokal itu bisa mengingatkan tradisi gereja tentang hal-hal yang selama ini kurang mendapat

perhatian dalam tradisi. Teologi-teologi lokal itu juga dapat menjadi kritik terhadap tradisi-

tradisi gereja yang menindas. Selain itu, teologi-teologi lokal pada suatu tempat tertentu

dapat memberikan sumbangsih bagi permasalahan-permasalah yang dihadapi oleh suatu

komunitas di tempat lainnya. Pada akhirnya, teologi lokal yang dibangun akan mempunyai

pengaruh terhadap budaya di mana teologi itu lahir.62

Dengan kata lain, Pada tahap ini,

terjadilah apa yang disebut oleh Martien Brinkman sebagai “double transformation” atau

“transformasi ganda” di mana pada satu pihak pemahaman teologi dalam tradisi

60

Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, h. 54-55, 127-158. 61

Ibid, hlm. 55. Schreiter tidak menggunakan istilah “mendialogkan”, tetapi menggunakan istilah “perjumpaan.” 62

Ibid, hlm 55-60

©UKDW

Page 22: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

22

ditransformasi oleh pemahaman yang muncul dari teologi lokal, dan sebaliknya teologi

lokal juga ditransformasi oleh tradisi.63

Apa yang dimaksudkan oleh Schreiter dengan “tradisi gereja” adalah tradisi-tradisi

teologi yang berkembang dalam gereja selama ini. Dalam penjelasannya sama sekali ia

tidak menyinggung tentang Alkitab. Hal ini menunjukkan bahwa menurut pemahaman

Schreiter, dalam teologi kontekstual hanya terjadi dialog dengan tradisi-tradisi teologi yang

berkembang dalam gereja, tetapi tidak dengan Alkitab. Barangkali ia masih dipengaruhi

oleh pandangan yang melihat Alkitab sebagai firman Allah yang isinya tidak bisa berubah

dan berada di atas kebudayaan sehingga ia kemudian membatasinya hanya pada tradisi

teologis gereja saja. Dalam hal ini penulis berbeda dengan Schreiter mengenai pembatasan

semacam itu. Penulis lebih setuju dengan Emanuel Gerrit Singgih64

yang juga setuju

dengan pandangan banyak ahli biblika bahwa Alkitab sendiri lahir dalam konteks tertentu,

yaitu konteks Israel dan Gereja Perdana. Pergumulan dengan konteks yang berbeda pada

masa penulisan bagian-bagian dalam Alkitab melahirkan jawaban-jawaban yang berbeda

yang diyakini sebagai firman Allah. Tentunya ada perbedaan antara konteks sosial budaya

pada masa Alkitab dengan konteks masa kini sehingga perlu dilakukan interpretasi baik

terhadap konteks masa kini maupun konteks Alkitab. Teologi kontekstual dengan demikian

bukan hanya dialog dengan teologi yang sudah ada (tradisi) melainkan juga dialog dengan

Alkitab.

Mengenai gambaran Allah, di dalam Alkitab sendiri pun akan dijumpai gambaran

Allah yang beragam. Menurut Paul Ricoeur,65

gambaran Allah dalam Alkitab beragam

oleh karena bentuk-bentuk wacana dalam Alkitab pun beragam, yang mana masing-masing

bentuk wacana itu mempunyai gambaran Allah yang berbeda. Gambaran Allah yang

terungkap dalam kitab-kitab sejarah misalnya, berbeda dengan gambaran Allah yang

terungkap dalam kitab-kitab yang berisi nyanyian-nyanyian seperti Mazmur. Menurut

Ricoeur, gambaran Allah tidak harus ditemukan dalam rumusan-rumusan filosofis ataupun

teologis tetapi harus ditemukan dalam bentuk-bentuk pengungkapannya yaitu bagaimana

suatu komunitas atau masyarakat menginterpretasikan dan mengungkapkan pengalaman

mereka bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Dalam konteks pembicaraan Ricoeur

63

Martien Brinkman, Non-Western Jesus, ceramah Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta, 14 November 2012; Lihat

juga Wahju S. Wibowo, “Teologi Kontekstual sebagai Transformasi Ganda” dalam Teks dan Konteks yang Tiada

Bertepi, eds. by. Robert Setio, dkk., h. 115-132. 64

Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, h. 25-28; lihat juga Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi

Kontekstual, h. 100. 65

Paul Ricoeur, Figuring The Sacred: Religion, Narrative and Imagination, (Minneapolis: Fortress Press, 1995),

h.217-228. Ricoeur memang tidak menggunakan istilah “gambaran Allah” (images of God) tetapi menggunakan

istilah “menamai Allah” (naming God).

©UKDW

Page 23: BAB I PENDAHULUAN I - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/50110288/6af243... · orang-orang Tanimbar yaitu budaya Duan-Lolat. Secara spesifik, tesis

23

mengenai gambaran Allah dalam Alkitab maka bentuk-bentuk pengungkapan itu adalah

bentuk-bentuk wacana sebagaimana ditemukan dalam Alkitab.66

Jika bentuk-bentuk pengungkapan, sebagaimana yang dimaksusdkan Ricoeur,

diperluas tidak hanya terbatas pada “wacana” maka dapat dipahami mengapa kemudian

muncul berbagai gambaran tentang Allah. Misalnya gambaran Allah sebagai Bapa yang

lahir dalam konteks budaya patriarkhi, yang kemudian dikritik oleh kaum feminis karena

gambaran Allah ini memungkinkan terjadinya penindasan terhadap kaum perempuan. Atau

gambaran Allah yang turut menderita sebagai lawan dari gambaran Allah yang kaya dan

berkuasa, yang muncul dari pengalaman penderitaan dan kemiskinan yang dialami oleh

mereka yang miskin, tertindas dan terpinggirkan dalam masyarakat. Gambaran Allah yang

turut menderita ini menekankan pada Allah yang berpihak kepada orang-orang miskin dan

orang-orang lemah, orang-orang yang terpinggirkan dalam masyarakat, mereka yang

menderita.67

Hal ini menunjukkan bahwa gambaran Allah yang muncul dalam pemahaman

suatu komunitas akan sangat tergantung pada konteks dan pergumulan mereka.

I.9 Metode Penulisan

Hasil penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bab sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari beberapa sub bagian yaitu: Latar Belakang, Perumusan Masalah,

Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Metodologi

Penelitian, Kerangka Teoritik, Hipotesis, serta Sistematika Penulisan.

Bab II Duan Lolat: Relasi Asal-Usul Kehidupan yang Hierarkis

Bab ini akan memuat deskripsi tentang lokasi penelitian dan “Thick Description”

tentang budaya Duan-Lolat.

Bab III Menjumpai Allah dalam Budaya Duan Lolat: Upaya Berteologi Kontekstual

Bab ini akan berisi refleksi dan evaluasi teologis mengenai gambaran Allah dalam

budaya Duan-Lolat, dan juga penilaian kritis terhadap budaya Duan-Lolat.

Bab IV Penutup

Bab ini merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan.

66

Menurut Ricoeur, bentuk-bentuk wacana dalam Alkitab itu antara lain narasi, kenabian, hukum, kebijaksanaan,

dan nyanyian. 67

Choan-Seng Song, Allah yang Turut Menderita: Usaha Berteologi Transposisional, Terj. Stephen Sulemaan,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995).

©UKDW