bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan pada era globalisasi sekarang ini,
mempunyai peranan yang amat strategis untuk
mempersiapkan generasi muda yang memiliki
keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan
menguasai megaskills yang mantap. Guru sebagai
salah satu komponen dalam pendidikan memegang
peranan penting dalam mewujudkan tantangan baru
paradigma pendidikan tersebut.
Guru yang tampil di abad pengetahuan adalah
guru yang benar-benar profesional yang mampu
mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia
pendidikan ”guru merupakan unsur manusiawi yang
sangat menentukan unsur keberhasilan
pendidikan”(Bafadal, 2006). Guru merupakan jabatan
atau profesi yang memerlukan keahlian khusus yang
ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan
jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan
iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme,
kerjasama, belajar dengan berbagai disiplin, wawasan
masa depan, kepastian karier, dan kesejahteraan lahir
2
batin. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh orang
yang tidak memiliki keahlian sebagai guru.
Ke depan tuntutan meningkatkan kualitas guru
yang profesional menjadi sangat penting dan mendesak
untuk diupayakan. Guru profesional bukan lagi
merupakan sosok yang berfungsi sebagai robot, tetapi
merupakan dinamisator yang mengantar potensi-
potensi peserta didik ke arah kerativitas. ”Tugas
seorang guru profesional meliputi tiga bidang utama (1)
dalam bidang profesi, (2) dalam bidang kemanusiaan,
dan (3) dalam bidang kemasyarakatan” (Isjoni, 2006).
Sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan
masakini, maka guru dituntut untuk terus menerus
berupaya meningkatkan kompetensinya secara
dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa
peningkatan kompetensi tersebut tidak hanya
ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor,
namun yang lebih penting adalah kemampuan diri
untuk terus menerus melakukan peningkatan
kelayakan kompetensi. Sergiovanni (dalam Mantja,
2002) menegaskan bahwa teachers are axpected to put
their knowledge to work to demonstrate they can do the
job. Finally, professional are expected to engage in a life
3
long commitment to self improvement. Self improvement
is the will-grow competency area.
Undang- undang No. 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen menyatakan bahwa ”Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Profesi
guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
Joni (dalam Mantja, 2008) menyebutkan bahwa ”guru
harus bertanggung jawab secara profesional untuk
terus menerus meningkatkan profesionalnya”.
Berdasarkan prinsip ini maka, agar guru mampu
menyandang predikat sebagai seorang profesional Ia
harus selalu mengembangkan diri agar
profesionalismenya mampu menjawab permasalahan-
permasalahan pendidikan yang setiap saat terus
berubah karena tuntutan masyarakat dan perubahan
global. Tilaar (2002) mengemukakan bahwa profesi
guru bukanlah merupakan profesi yang sudah jadi.
Guru perlu secara terus menerus mengubah diri
4
karena pengalaman mendidik bukan merupakan
pengalaman rutin. Guru merupakan pelaku dalam
tindakan pedagogik, karena pedagogik dalam
kehidupan terus menerus berubah, profesionalisme
guru akan terus berubah.
Tanggung jawab guru dalam menghadapi
perubahan paradigma pendidikan adalah dengan
melakukan pengembangan dalam proses pendidikan
baik sebelum pelaksanaan (preservice) dan selama
pelaksanaan (inservice) yang memberikan peluang dan
tantangan bagi perkembangan profesionalnya. Saat ini
telah muncul komitmen kuat dari Pemerintah
Indonesia, terutama Dinas Pendidikan untuk
merevitalisasi kinerja guru antara lain dengan
memperketat persyaratan bagi siapa saja yang ingin
meniti karir profesi di bidang keguruan. Dengan
persyaratan minimum kualifikasi akademik
sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005,
diharapkan guru benar-benar memiliki kompetensi
sebagai agen pembelajaran.
Pengembangan profesi guru sebagai agen
pembelajaraan tersebut meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi
pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola
5
pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian
menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap,
berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi
teladan peserta didik. Kompetensi profesional
menunjuk pada kemampuan penguasaan materi
pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial
menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta
didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar. Dalam Undang-undang RI No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih
diperjelas lagi bahwa sebagai tenaga profesional, guru
bertugas merencanakan dan melaksanakan program
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, serta
melakukan bimbingan dan pelatihan.
Dari keempat kompetensi yang harus dimiliki
guru, dua di antaranya dinilai masih menjadi problem
serius dan krusial di kalangan guru, yakni kompetensi
pedagogik dan kompetensi profesional. Dari aspek
kompetensi pedagogik, misalnya, guru dinilai belum
mampu mengelola pembelajaran secara maksimal, baik
dalam hal pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, maupun pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
6
dimilikinya. Dari aspek kompetensi profesional, banyak
guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai
materi ajar secara luas dan mendalam sehingga gagal
menyajikan kegiatan pembelajaran yang bermakna dan
bermanfaat bagi siswa. (Tuhusetya, 2008).
Ekosiswoyo (2010) dalam pidato pengukuhannya
sebagai Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Evaluasi
Pendidikan di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang (Unnes) yang berjudul
"Pengembangan Profesionalisme Guru sebagai Upaya
Peningkatan Mutu Pendidikan", bahwa profesionalisme
guru mencakup lima hal, yaitu kepribadian yang baik,
kesiapan bahan, perencanaan pengajaran, kelihaian
mengajar, dan kemampuan menimbang permasalahan.
Dari kelima aspek tersebut, kelemahan guru yang
paling menonjol adalah ketidaksiapan bahan dan pola
pengajaran. Masih banyak guru yang tidak menyeleksi
bahan ajar yang akan digunakan. Sebagian besar guru
hanya menyalin bahan ajar dari berbagai sumber.
"Tidak ada kreativitas untuk membuat bahan ajar
sendiri.”
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
profesionalisme guru dalam melaksanakan tugasnya,
yaitu faktor eksternal yang berkaitan dengan
lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai
7
latihan yang dilakukan guru serta faktor internal yang
meliputi minat dan bakat. (Sumargi 1996). Lebih lanjut
Joni (1998) menyatakan bahwa lingkungan eksternal
guru, khususnya sekolah dan Dinas Pendidikan
setempat masih belum memberdayakan guru secara
maksimal, tuntutan administratif lebih diutamakan
ketimbang pembinaan profesionalisme guru. Teramat
penting faktor internal guru, yakni kemauan untuk
menjadi seorang professional yang masih kurang.
kemalasan berinovasi, kemalasan mengembangkan diri
melalui autodidact dan riset tindakan, serta rendahnya
motivasi berprestasi semuanya itu menjadi sumber
internal rendahnya profesionalisme guru. Oleh karena
itu, perlu ada sistem pembinaan yang menjamin
adanya dukungan profesional bagi guru dalam
melaksanakan tugas mengajarnya sehari-hari sehingga
mereka senantiasa dapat meningkatkan mutu KBM.
Sistem pembinaan profesional yang dimaksud adalah
tidak lain dari pada mekanisme bagaimana membantu
guru meningkatkan mutu kemampuan profesionalnya
terutama dalam mengajar dan membelajarkan peserta
didik, atau dengan kata lain, dalam meningkatkan
mutu proses/kegiatan belajar-mengajar (KBM) sehingga
hasil mutu hasil belajar peserta didik pun meningkat.
(Yasin, 1999)
8
Salah satu upaya yang ditempuh untuk
mengembangkan tugas profesi guru adalah
pembentukan gugus sekolah. Berdasarkan Keputusan
Mendikbud RI No 0487 Tahun 1982 tentang Sekolah
Dasar, dan Keputusan Dirjen Dikdasmen No.
079/C/Kep./I/1993, tentang Pedoman Pelaksanaan
Sistem Pembinaan Profesional Guru, bahwa strategi
pembinaan dan peningkatan profesional guru sekolah
dasar adalah melalui pembentukan gugus sekolah, di
antaranya melalui kelompok kerja guru (KKG).
Demikian juga Supriyadi (2007) menyatakan bahwa
Indonesia sesungguhnya telah ada wahana yang
digunakan untuk meningkatkan profesionalisme guru,
misalnya PKG, dan KKG. Suparlan (2006) menyatakan
bahwa KKG merupakan wadah pembinaan guru SD
yang Profesional dan tergabung dalam gugus sekolah.
Dengan demikian pada prinsipnya gugus sekolah
adalah wadah sekelompok guru bidang tertentu dari
wilayah tertentu, misalnya tingkat kabupaten/kota
sebagai tempat membicarakan dan mencari solusi dari
masalah yang dihadapi bersama. KKG sebagai
kelompok kerja seluruh guru dalam satu gugus, pada
tahap pelaksanaannya dapat dibagi ke dalam kelompok
kerja guru yang lebih kecil, yaitu kelompok kerja guru
berdasarkan jenjang kelas, dan kelompok kerja guru
berdasarkan atas mata pelajaran. Misalnya guru-guru
9
Pendidikan Agama Buddha (PAB) membentuk kelompok
guru PAB. Selanjutnya anggota kelompok tadi
diharapkan mampu melakukan pembinaan profesional
di sekolah masing-masing.
Mengacu pada Standar Pengembangan KKG yang
dikeluarkan oleh Direktorat Profesi Pendidik Dirjen
Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Departemen Pendidikan Nasional (Ditjen PMPTK 2008)
bahwa tujuan dari KKG adalah:
(1) Memperluas wawasan dan pengetahuan guru dalam
berbagai hal, khususnya penguasaan substansi materi
pembelajaran, penyusunan silabus, penyusunan bahan-bahan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode
pembelajaran, memaksimalkan pemakaian
sarana/prasarana belajar, memanfaatkan sumber belajar;
(2) Memberi kesempatan kepada anggota kelompok kerja
atau musyawarah kerja untuk berbagi pengalaman serta
saling memberikan bantuan dan umpan balik; (3) Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta
mengadopsi pendekatan pembaharuan dalam pembelajaran
yang lebih profesional bagi peserta kelompok kerja atau
musyawarah kerja; (4) Memberdayakan dan membantu
anggota kelompok kerja dalam melaksanakan tugas-tugas pembelajaran di sekolah; (5) Mengubah budaya kerja
anggota kelompok kerja atau musyawarah kerja
(meningkatkan pengetahuan, kompetensi dan kinerja) dan
mengembangkan profesionalisme guru melalui kegiatan-
kegiatan pengembangan profesionalisme di tingkat KKG; (6)
Meningkatkan mutu proses pendidikan dan pembelajaran yang tercermin dari peningkatan hasil belajar peserta didik;
(7) Meningkatkan kompetensi guru melalui kegiatan-
kegiatan di tingkat KKG. (Ditjen PMPTK, 2008)
Dalam pelaksanaannya, KKG Pendidikan Agama
Buddha Kabupaten Semarang (KKG PAB) berdasarkan
10
data pra penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 13
dan 27 Maret 2011, secara realitas pelaksanaan
Kelompok Kerja Guru Pendidikan Agama Buddha (KKG
PAB) di Kabupaten Semarang seperti yang
diinformasikan oleh Ibu Jiyem yang merupakan guru
agama Buddha di SD Negeri Kenteng 02 Kecamatan
Susukan, kabupaten Semarang, bahwa pembentukan
organisasi KKG PAB ini sebenarnya bertujuan untuk
meningkatkan profesionalisme para guru Agama
Buddha dalam memberikan pembelajaran di hadapan
para siswa. Di samping itu juga karena peranan guru
agama di masyarakat yang dianggap sebagai tokoh
agama, menurutnya bahwa guru agama Buddha di
Kabupaten Semarang secara akademik sebagian besar
sudah lulus sarjana. Menurut perkiraan Ibu Jiyem dari
18 guru agama Buddha di Kabupaten Semarang yang
berstatus PNS hanya kurang lebih tiga sampai empat
orang saja yang belum lulus sarjana. Dalam kaitannya
dengan pengelolaan pembelajaran menurut Ibu Jiyem,
kebanyakan dari mereka bingung mencari informasi
dari guru-guru yang lain mengenai kelengkapan
administrasi pembelajaran apabila ada pemeriksaan
administrasi oleh kepala sekolah maupun dari
pengawas.
11
Keefektifan KKG Pendidikan Agama Buddha di
Kabupaten Semarang disampaikan oleh Ibu Sutinem
yang merupakan guru agama Buddha di SD Negeri
Kenteng 01, Kecamatan Susukan bahwa, “fungsi KKG
rasanya tidak efektif, yang hadir cuma 5%”. Motivasi
kehadiran hanya kalau ada atasan yang hadir,
misalnya apabila pertemuan itu mengagendakan
pembinaan dengan menghadirkan Pembimas, baru
anggota KKG menyempatkan hadir.
Pengelolaan KKG pendidikan agama Buddha
dalam meningkatkan profesionalisme guru agama
Buddha juga disampaikan Ibu Maryati yang mengajar
pendidikan agama Buddha di SD Negeri Getasan 03,
Kecamatan Getasan. “KKG sebenarnya bisa dijadikan
sebagai wadah untuk meningkatkan profesionalisme
guru Agama Buddha, bila ditangani secara serius,
setiap pertemuan agendanya hanya apel, reuni, makan-
makan saja!”. Penyusunan program kegiatan KKG PAB
seperti yang disampaikan Ibu Jiyem bahwa, “yang
membuat program hanya orang-orang tertentu saja,
yang lainnya tinggal meng-copy”.
Data assessment Program Kerja KKG tahun
2009/2010 KKG Pendidikan Agama Buddha Kabupaten
Semarang tercermin dari sebagai berikut:
12
Tabel I.1
EVALUASI PROGRAM KERJA KKG PENDIDIKAN AGAMA
BUDDHA KABUPATEN SEMARANG
NO PROGRAM KERJA BULAN TERLAKSANA
I JANGKA PENDEK
1. Menyusun ADM
Kesiswaan
Juli 2009 100%
2. Menyusun ADM Guru Juli 50%
a. KTSP
Juli s.d Sept 2009
100%
b. KKM Juli s.d
Sept 2009 100%
c. RPP Juli s.d
Sept 2009 100%
d. Silabus Okt
s.d
Des 2009
100%
II JANGKA MENENGAH
3. Pekan Penghayatan
Dhamma
Perencanaan dilaksanakan
secara bersama setiap
kecamatan hanya dilaksanakan oleh satuan
pendidikan pada saat bulan
puasa selama 2 hari dan
hanya kecamatan Getasan
yang telah melaksanakan
sekali
Okt 2009 25%
4. Menyusun LKS
Membentuk team penyusun
terkendala, koordinasi
anggota team yang sebagian
besar mengikuti program
strata I menghadapi penyusunan skripsi sehingga
hasil penyusunan anggota
yang telah berhasil belum
bisa digandakan
Pebruari
s.d April
0%
5. Penyusunan soal PAB April s.d
Juli 2010
6. Menyusun Alat Peraga Agustus 0%
13
Terkendala sumber bahan
dan buku penunjang sebagai
referensi sehingga team
penyusun yang dibentuk belum dapat menyusun alat
peraga
s.d
Desember
2010
III JANGKA PANJANG
1. Lomba Mapel
2. Lomba dhammapada
3. Lomba vihara githa
4. Lomba LCC Tidak terlaksana kurang
terkoordinasi sehingga
pengiriman peserta sippa
Dhamma sampajja ke jakarta
hanya penunjukkan oleh penyuluh agama Buddha
dengan pertimbangan
subjektif, tidak melalui
seleksi dengan alasan waktu
untuk seleksi terlalu singkat
dan menganggap satuan pendidikan tidak siap.
Agustus
2010 s.d
Desember
2010
0%
Rata-rata 52.3 %
Sumber: Dokumen KKG PAB Kabupaten Semarang
Hasil assessment internal program kerja KKG
pendidikan agama Buddha kabupaten Semarang
menunjukkan bahwa rata-rata keterlaksanaan program
yang ditentukan KKG PAB baru mencapai 52,3 %.
Mengacu pada indicator keseuaian standar
pengembangan KKG yang menjelaskan bahwa
pengembangan KKG PAB Kabupaten Semarang
dikategorikan Sesuai (S) skor 51 – 75% apabila
pengembangan KKG PAB Kabupaten Semarang sesuai
dengan indikator Standar Pengembangan KKG. Dengan
demikian pengembangan program KKG PAB Kabupaten
14
Semarang dikategorikan sesuai tetapi dengan skor
minimal.
Kondisi seperti ini menuntut penganalisaan
masalah pengelolaan KKG Pendidikan Agama Buddha
di Kabupaten Semarang untuk menentukan model
pengembangan KKG Pendidikan Agama Buddha di
Kabupaten Semarang berdasarkan pada pendekatan-
pendekatan tertentu. Pendekatan-pendekatan yang
akan diambil tentunya harus mengacu pada Standar
Operasional Penyelenggaraan KKG yang meliputi
standar operasional organisasi, penyusunan program,
SDM, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penjaminan mutu.
Berikut ini adalah gambaran hasil pengukuran
tentang kesesuaian pengembangan Kelompok Kerja
Pendidikan Agama Buddha Kabupaten Semarang
dengan Standar pengembangan KKG:
Tabel I.2
Keseuaian Pengembangan KKG Pendidikan Agama Buddha
Kabupaten Semarang
No Standar KKG Indikator Kesesuaian
TS KS S SS
1 Program 1,6% 5,8% 48,6% 44%
2 Organisasi 0,7% 3,5% 37,9% 57,9%
3 Pengelolaan 2,8% 15% 45,5% 36,7%
4 Sarana dan
Prasarana
0% 20% 56,6% 23,4 %
5 Sumber Daya
Manusia
0% 7.5% 52.5% 40%
6 Pembiayaan 1,2% 3,2% 47,4% 48,2%
15
7 Penjaminan Mutu 1.2% 11,1 63,5% 24,2%
Sumber: Diolah dari pengisian instrument Keseuaian
Pengembangan KKG PAB dengan Standar
Pengembangan KKG
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa terdapat
beberapa ketidaksesuaian pengembangan KKG PAB
Kabupaten Semarang apabila dibandingkan dengan
standar pengembangan KKG. Hasil Pengukuran
diperoleh peneliti berdasarkan instrument pengisian
kesesuaian pengembangan KKG PAB Kabupaten
Semarang dengan Standar Pengembangan KKG yang
dikembangkan oleh peneliti sendiri. Instrumen ini
kemudian diisi oleh guru-guru pendidikan agama
Budddha diseluruh Kabupaten Semarang yang menjadi
anggota KKG PAB.
Dari hasil pengamatan, survey lapangan dan
Focus Group Discussion (FGD) dengan seluruh anggota
KKG PAB Kabupaten Semarang, model pengembangan
KKG PAB Kab. Semarang dapat digambarkan sebagai
berikut:
16
Gambar 1.1 Model Organisasi KKG PAB Kab. Semarang
Penjelasan Gambar: 1. Pengembangan KKG PAB mengalami perubahan
akibat adanya faktor eksternal, yaitu perubahan
paradigma pendidikan dari model sistem industri "Teacher centered/Tradisional" yang berpusat
pada guru untuk mendidik anak-anak, ke sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa, sistem pembelajaran yang berbasis pada pemecahan
masalah, dan sistem pembelajaran yang berbasis pada pemahaman.
2. Faktor internal pengembangan profesional lebih diarahkan pada motivasi pribadi guru sebagai agen perubahan (agent of change).
3. Faktor Eksternal dan Faktor Internal inilah yang menuntut adannya pengembangan KKG PAB melalui strategi pengembangan baru sebagai
jaminan layanan terhadap anggotanya yaitu peningkatan kompetensi dan profesionalisme
Guru Pendidikan Agama Buddha dengan sumber daya yang dimiliki (Ijin Operasional, Program,
Eksternal
Exchange
Perubahan
Paradigma Pendidikan
Internal Exchange
Guru Pendidikan
Agama Buddha
Pengembangan KKG PAB Kab.
Semarang
Ijin Operasional
Program
Kepengurusan
Sarana dan Prasarana
Nara Sumber
Pembiayaan
Lap.Pertanggung
Jawaban
OUTPUT
Peningkatan
Kompetensi
dan
Profesionalis
me Guru
17
Kepengurusan, Sarana dan Prasarana, Nara Sumber, Pembiayaan, dan Laporan
Pertanggungjawaban). 4. Sebagai Output setelah guru mengikuti kegiatan
di dalam organisasi KKG PAB terjadi adanya peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru pendidikan agama Buddha.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana model pengembangan kelompok kerja guru
pendidikan agama Buddha dalam meningkatkan
profesionalisme guru-guru agama Buddha di
Kabupaten Semarang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah menyusun pengembangan
model KKG pendidikan Agama Buddha dalam
meningkatkan profesionalisme guru agama Buddha di
Kabupaten Semarang.
D. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini adalah:
1. Kegunaan Praktis
Membantu memecahkan dan mengantisipasi
masalah yang ada pada KKG Kabupaten Semarang
dalam upaya meningkatkan profesionalitas guru-
18
guru pendidikan agama Buddha di Kabupaten
Semarang.
2. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis kegunaan hasil penelitian ini adalah
untuk mengembangkan ilmu dalam kaitannya
dengan upaya meningkatkan profesionalitas guru.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam lima bab, dengan
urutan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
hasil penelitian, dan sistematika penulisan;
Bab II Dasar Teori, berisi pengertian KKG, upaya
pengembangan KKG, tujuan KKG, kegiatan
pengembangan profesi melalui KKG PAB, kajian
yang relevan;
Bab III Metode penelitian meliputi: jenis penelitian,
prosedur penelitian, tempat dan waktu
penelitian, jenis dan teknik pengumpulan data;
Bab IV Hasil penelitian, berisi profil KKG PAB Kab.
Semarang, Program kerja KKG PAB Kab.
Semarang, analisis SWOT, pengembangan
model KKG PAB;
Bab V Penutup, berisi kesimpulan dan saran.