bab i pendahuluan -...

63
1 | Politik Pemilik Tato di Bali Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Tato dikenal oleh masyarakat umum dengan cara yang berbeda-beda, ada yang menganggap sebagai seni, ada yang menganggap sebagai bentuk premanisme. Biasanya makna tato yang dimaksud tersebut ialah yang berasosiasi dengan kelas sosial, yakni kelas sosial bawah yang menggunakan tato, contohnya pelaku kriminal yang menggunakannya sebagai identitas preman. Sementara, ada kalangan lain yang menganggap sebagai tanda “kemachoan”, yang secara sederhana dapat dipahami merujuk kepada penampilan seorang pria yang menampakkan kejantanan dan kegagahannya dengan cara-cara tertentu, ada juga kalangan perempuan ekonomi atas yang menganggapnya sebagai sesuatu yang seksi bagi pemilik maupun penafsirnya. Apapun maknanya, tato difahami sebagai sesuatu yang mempunyai nilai dan tujuan. Ada yang tujuannya sekedar sebagai ekspresi kejiwaan, misalnya “kejantanan”, hingga bentuk pengukuhan identitas seseorang sebagai bagian dari kelompok tertentu. Bertolak dari konsep pemaknaan-pemaknaan itu, penelitian ini bermaksud mengungkap dimensi power yang tercipta melalui tato, yakni konsekuensi kuasa terhadap pemakainya. Singkatnya, penelitian ini ingin mengidentifikasi bagaimana tato yang hanya sekedar gambar di tubuh, bisa terkait dengan kekuasaan.

Upload: trankhuong

Post on 07-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

1 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Tato dikenal oleh masyarakat umum dengan cara yang berbeda-beda, ada

yang menganggap sebagai seni, ada yang menganggap sebagai bentuk

premanisme. Biasanya makna tato yang dimaksud tersebut ialah yang berasosiasi

dengan kelas sosial, yakni kelas sosial bawah yang menggunakan tato, contohnya

pelaku kriminal yang menggunakannya sebagai identitas preman. Sementara, ada

kalangan lain yang menganggap sebagai tanda “kemachoan”, yang secara

sederhana dapat dipahami merujuk kepada penampilan seorang pria yang

menampakkan kejantanan dan kegagahannya dengan cara-cara tertentu, ada juga

kalangan perempuan ekonomi atas yang menganggapnya sebagai sesuatu yang

seksi bagi pemilik maupun penafsirnya. Apapun maknanya, tato difahami sebagai

sesuatu yang mempunyai nilai dan tujuan. Ada yang tujuannya sekedar sebagai

ekspresi kejiwaan, misalnya “kejantanan”, hingga bentuk pengukuhan identitas

seseorang sebagai bagian dari kelompok tertentu. Bertolak dari konsep

pemaknaan-pemaknaan itu, penelitian ini bermaksud mengungkap dimensi power

yang tercipta melalui tato, yakni konsekuensi kuasa terhadap pemakainya.

Singkatnya, penelitian ini ingin mengidentifikasi bagaimana tato yang hanya

sekedar gambar di tubuh, bisa terkait dengan kekuasaan.

Page 2: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

2 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Membicarakan soal tato sama dengan membicarakan soal tubuh. Bukan

saja karena tato merupakan hasil “obsesi” pemilik tubuh, namun juga karena di

dalam tato terkandung refleksi tentang relasi pemilik tubuh dengan kuasa. Lewat

tato, pemilik tubuh dapat memperkokoh dan menawarkan dirinya ke berbagai

posisi di dalam realitas sosial kehidupannya. Seperti telah dikemukakan,

penelitian ini ingin menunjukkan bahwa tato lebih dari sekedar coretan di atas

tubuh. Ia merupakan entitas simbolik yang berhubungan dengan kekuasaan.

Dengan kata lain, melalui tato kita dapat memahami operasi kekuasaan yang

menggunakan arena tubuh manusia. Tato menjadi terkait dengan kekuasaan,

karena ia menjadi simbol penanda yang spesifik, misalnya simbol kekerasan

premanisme, atau simbol kelompok penguasa wilayah.

Menarik untuk dicatat, dalam hal ini rupanya perkembangan ragam

variasi makna tato turut berpengaruh pada perubahan fungsi tato. Misalkan, di

satu sisi tato dilihat sebagai simbol kuasa pada suku atau kelompok tertentu

dengan motif dan corak yang telah disepakati, sementara di sisi lain tato juga

dilihat secara utuh, bahwa dengan corak dan motif apapun, tato mampu

memancarkan energinya sebagai sebuah entitas kuasa.

Kalau memang demikian, lalu bagaimana cara tato tersebut bekerja untuk

kekuasaan? Mengapa tato begitu penting bagi kelompok tertentu untuk

memperoleh dan melanggengkan kuasanya? Kajian mengenai kuasa berbasis tato

inilah merupakan persoalan utama yang ingin dibahas dalam penelitian ini.

Page 3: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

3 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Dalam khazanah seni budaya, tato dikenal sebagai gambar, corak, atau

simbol pada kulit tubuh yang diukir dengan menggunakan alat sejenis jarum.

Biasanya, tato dihias dengan pigmen berwarna-warni. Istilah tato berasal dari kata

tatau (bahasa Tahiti), yang berarti tanda atau gambar pada kulit seseorang yang

dibuat dengan cara menusuk, menggores atau pun melukai dengan suatu alat yang

telah dicelupkan ke dalam zat warna, sehingga tidak akan hilang seumur hidup1.

Sementara itu, kata tato juga merupakan adaptasi dari bahasa Inggris, yaitu Tattoo

yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen pada

kulit2. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tato diartikan secara harfiah sebagai

lukisan pada kulit tubuh3.

Di sini, tato juga dapat dipahami sebagai coretan yang bermuatan simbol

yakni, sesuatu yang digunakan dengan sengaja untuk maksud sesuatu yang lain.

Seperti yang dikatakan Mulyana (2000) dalam Gumilar (2005), bahwa simbol

atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lain,

berdasarkan kesepakatan sekelompok orang4. Artinya, pilihan corak dan tempat

yang dipilih pada bagian tubuh pemakai tato adalah bagian dari ungkapkan suatu

nilai yang dianut. Ia tidak mewakili langsung dari apa yang ditunjukkan melalui

gambar atau lukisan tato tersebut, melainkan atas apa yang sedang dikonstruksi

oleh si pemilik tato.

1 Anggraini, Kilas Balik Budaya Tato, Tato dan Secangkir Diskusi, Yogyakarta, 2003. Lihat juga

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 9, PT Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1990, hal.216. 2 Oxford: Learner‟s Pocket Dictionary, Fourth Edition, Oxford University Press, New York,

2008. 3 Kamus besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-4, 2008. 4 Gumgum Gumilar, Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung,

Meidator, Vol.9. No.1. Juni 2008, hal.53. Lebih detailnya dapat juga dilihat Deddy, Mulyana,

Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal.84.

Page 4: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

4 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Mengingat tato merupakan perwujudan “obsesi” yang tergambar di atas

tubuh manusia, yang sifatnya intim dan langsung, maka ia lebih mewakili aspek-

aspek yang esensial dan krusial dari diri si pemilik tubuh. Misalkan saja terkait

dengan kepentingan subjektif mereka. Dengan kata lain, tato berfungsi sebagai

alat pencapai tujuan5. Jadi, seseorang pergi untuk mentato tubuhnya dengan

kesadaran dan harapan bahwa ia akan memperoleh dan mendapatkan sesuatu yang

diinginkannya. Ini artinya, ketika sekelompok masyarakat menjadikan tubuhnya

sebagai alat untuk menempatkan tato, dia melakukan politisasi atas tubuhnya

sendiri.

Jika kita mau menengok sebentar sejarah tato di Indonesia, maka kita

akan menemukan cerita yang berbeda. Mereka yang bertato, pernah dihebohkan

oleh sebuah peristiwa kelam. Pemasangan tato, sempat membuat mereka

dikategorikan sebagai preman dan penumpasan premanisme yang menggunakan

tato sebagai penanda, membuat mereka menjadi korban. Hal ini terjadi dalam

kasus PETRUS6, singkatan dari penembakan misterius, di tahun 1983-1985

7. Pada

waktu itu orang-orang yang bertato keberadaannya sangat tidak diinginkan oleh

pemerintah yang sedang berkuasa. Mereka yang bertato, ditangkap lalu ditembak

mati. Pada titik ini, tubuh bertato dipolitisir untuk dijadikan alasan pemerintah

sebagai alat kendali yang berkaitan dengan stabilitas negara.

5 Tentu saja yang dimaksud ialah motivasi dibalik individu mengenakan tato tersebut dan

pengaruhnya secara politis dan ekonomi. 6 Istilah Petrus diberikan pada kasus pembinasaan “tersembunyi” yang berlangsung dari awal

1983 hingga awal 1985 di masa Orde Baru, dalam kasus ini konon katanya telah menelan lebih

dari 10.000 jiwa korban. Orang-orang yang diidentikan dengan premanisme adalah mereka

yang bertato. Mereka ditangkap lalu ditembak mati, kegiatan ini dianggap sebagi “upaya”

pemerintah masa itu dalam memerangi kejahatan. Lihat Seno Gumira Ajidarrma,

Penembakan Misterius, Galang Press, Yogyakarta, 2007, hal.185. 7 Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, Lkis, Yogyakarta, 2006, hal.242.

Page 5: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

5 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Untuk mengekang ruang gerak mereka yang bertato, dengan langkah

represif dan politis (penguasa Orde Baru) akhirnya terciptalah stigma negatif di

tengah masyarakat luas pada masa itu terkait keberadaan orang-orang bertato,

mereka lalu dianggap sebagai bagian dari kriminalitas. Itu sebabnya, persoalan ini

kemudian muncul sebagai persoalan politik.

Di era seperti sekarang ini, hal yang setara lalu bisa berulang, namun

dengan posisi terbalik. Pemerintah justru sering membenturkan para pengunjuk

rasa dengan “preman-premannya” yang notabene bertato. Dengan cara ini, mereka

terhindar dari jeratan hukum, ketika bentrok harus dilakukan sebagai jalan satu-

satunya untuk mengakhiri aksi demonstrasi. Dalam kondisi itulah, mereka yang

bertato kemudian lebih dikenal sebagai aktor keamanan yang khas. Di sisi lain,

ternyata hal itu telah memberikan pandangan terbalik dari apa yg selama ini

dibayangkan oleh masyarakat akan keberadaan mereka. Ringkas kata, tato kini

tidak lagi diidentikan dengan simbol kejahatan dan kriminalitas.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa lunturnya stereotyping tato

sebagai sebuah simbol “premanisme”8 telah menciptakan ruang sosial baru bagi

pemiliknya, baik di domain ekonomi maupun politik. Itulah sebabnya, tato kini

tidak hanya hadir di kalangan sosial bawah seperti yang selalu diidentikan di masa

rezim Soeharto, melainkan ia telah bertransformasi menjadi sesuatu yang

prestigious untuk dimiliki oleh kalangan seniman hingga kelas sosial atas

8 Tergambar juga dalam potongan kalimat yang terdapat di artikel koran pikiran rakyat oleh Soni

Farid Maulana yang berjudul Tato, berikut penggalan kalimatnya; “Dulu, ya dulu, Tato

memang simbol napi. Tapi sekarang lain maknanya. Ia sumber keindahan, semacam aksesoris,

semacam tanda, Postmodern di akhir abad 20”. Dalam www.oocities.org/tattoosind/seni-

tattoo.htm, 04 Juli 2002, diunduh pada 1 Juli 2013.

Page 6: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

6 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

sekalipun, ambil saja contoh fenomena menjamurnya tato di kalangan publik figur

pada tahun 2000-an.

Sekalipun demikian, perlu diketahui sebelumnya bahwa bukan berarti

pemakai tato dari masyarakat sosial bawah ikut hilang. Kalau mengaca pada

realitas yang ada, justru kelompok-kelompok bertato yang diidentikan dengan

kalangan marginal9 tersebut kemudian muncul sebagai penguasa-penguasa

informal di tengah realitas kehidupan masyarakatnya. Ini ditunjukkan dengan kian

gencarnya mereka saling berebut otoritas untuk menguasai sumber daya strategis.

Itu bisa dilihat dari bagaimana mereka begitu jelas menampilkan diri dalam

mengajukan klaim kewilayahan, baik sebagai penguasa wilayah perparkiran,

pemungutan “retribusi” (beaya keamanan), tim sukses kandidat, bahkan menjadi

kandidat Pemilu. Pada kondisi semacam inilah orang-orang bertato menunjukan

eksistensi dan kuasanya.

Artinya, dalam kenyataan sosial, sosok orang-orang bertato selalu

menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Itu sebabnya secara sepintas, mereka

dengan kehidupan sosial masyarakat dapat diartikan sebagai dua sisi mata uang

yang sulit untuk dipisahkan. Lihat saja, orang bertato kini muncul menjadi

kekuatan tersendiri dalam ruang sosial masyarakat. Bahkan terkadang mereka

memegang kendali atas kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat di sekitar

mereka hidup. Hal ini terjadi karena mereka telah hadir sebagai elit sosial baru.

Sehingga jangan heran, apabila seseorang yang bertato lalu diposisikan layaknya

9 Tato yang dimiliki oleh kelompok-kelompok marginal, biasanya cenderung berbeda dengan

apa yang dibuat oleh kelompok seniman dan lainnya. Corak Tato mereka lebih cenderung

sederhana dan terlihat kasar.

Page 7: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

7 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

orang kuat lokal yang ditakuti dan dihormati. Fenomena ini muncul hampir di

semua kota besar, tidak terkecuali di Bali. Bisa dibilang ini bagian dari bentuk

euforia orang-orang bertato pasca teralienasi di bawah rezim Soeharto.

Bali yang saat ini berhasil menjadikan dirinya sebagai salah satu daerah

tujuan wisata terkenal di dunia, tak pelak menciptakan intensitas kontak antara

kebudayaan asli setempat dengan kebudayaan luar meningkat secara dramatik

dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Semakin meningkatnya dunia

kepariwisataan Bali dengan berbagai implikasinya, sedikit banyak memberi

pengaruh pada perubahan masyarakat Bali, termasuk pula keberadaan orang-orang

bertato disana. Nyatanya, telah pula kita ketahui bersama bahwa jumlah orang-

orang bertato di kota-kota besar seperti Bali dari tahun ke tahun kian meningkat.

Atas hal itu, selaras dengan apa yang ditulis oleh Kadir (2006), bahwa

baginya; semakin membanjirnya wisatawan mancanegara di Bali yang

kebanyakan menggunakan tato di bagian-bagian tubuh terbuka, telah menjadi

bentuk konkret gaya wisatawan yang “superordinat” ditiru keberadaannya oleh

masyarakat setempat10

. Proses itu kemudian semakin lama semakin tidak terasa

atau bahkan terlembagakan, tato yang dulunya sekedar coretan “kotor” di atas

tubuh sekarang menjadi sesuatu yang begitu mapan dan terpelihara.

Berangkat dari paparan singkat di atas, terlihat bahwa memang di

wilayah yang sering disebut sebagai pulau seribu pura, tato semakin penting

keberadaannya. Hal ini tampak pula dari menjamurnya ormas-ormas di Bali yang

10 Hatib Abdul Kadir Olong, Tato, Op,Cit, hal.236.

Page 8: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

8 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

dibarengi dengan persyaratan ketat, yang mengharuskan anggotanya untuk

terlebih dahulu bertato.

Berbicara mengenai tato di Bali, tato dalam masyarakat Bali

sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tabu. Sebagai suatu bentuk pembedaan

sosial, tato di Bali sudah sejak lama hadir bersamaan dengan nilai-nilai budaya

yang ada, pada awal perkembangannya ia hanya digemari oleh kalangan elit. Hal

ini dikarenakan corak maupun motif tato pada zaman itu berbaur dengan nilai-

nilai magis, religius dan budaya. Namun, ketika militer Jepang menginvasi Bali,

tato mengalami demistifikasi, karena penjahat, pembunuh dan perampok pada

masa itu ditandai dengan tato. Lalu, pada tahun 1970-an, di Bali tato kemudian

hadir sebagai bentuk identitas dan solidaritas antar sesama, terutama di kalangan

pemuda. Kharisma tato di Bali pada waktu itu mampu mengentalkan perasaan

yang bersifat komunal. Simbolisasi tato di Bali pada masa itu semakin terasa

ketika arah penggunaannya ditunjukkan dengan sebuah maskulinitas

(kejantanan)11

. Sehingga, tidak jarang juga dalam menghadapi sesuatu yang dari

luar kelompok mereka, cara kekerasan menjadi satu keniscayaan.

Dalam kondisi itulah, tak mengherankan bila maskulinitas menjadi

sebuah entitas yang tak bisa terelakan dari pemilik tato di Bali hari ini, ia hadir

bersamaan dengan perilaku orang-orang bertato di berbagai tempat. Seperti halnya

di beberapa daerah, tato mampu menempatkan pemiliknya ke dalam sebuah relitas

sosial, dimana mereka hadir sebagai sosok yang “menakutkan” bagi orang lain.

Sehingga, sepertinya sudah sangat layak bila penulis mengatakan wajar, bahwa

11 Ibid, hal.231-237.

Page 9: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

9 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

mereka sebagai “pecinta” tato, telah memanfaatkan kondisi ini untuk

mempolitisasi resources, baik dalam domain ekonomi maupun politik. Tujuannya

satu, menempatkan mereka sebagai penguasa informal.

Penggalan sejarah dan empirisitas di atas, telah mempertegas bahwa tato

sebagai entitas simbolik mampu mereproduksi kekuasaan. Logikanya sederhana,

tato dianggap sebagai sebuah medium untuk menunjukkan bahwa pemakainya

memiliki power tertentu. Dimensi kuasa yang muncul dalam tato, bukan karena

dia berada dalam sebuah struktur formal yang sedang berkuasa, tetapi karena

modal simbolis yang dimiliki tato itu sendiri. Di sini, tato lalu dibayangkan bukan

hanya sekedar sebagai coretan kotor di atas tubuh, melainkan sebagai media

konstruksi sosial, kultural, ekonomi dan politik bagi pemiliknya.

Terusik dengan perkembangannya seperti itu, maka persoalan tato

sebagai entitas yang mampu memberi konsekuensi kuasa pada pemiliknya

menarik untuk dikaji secara politik. Fungsi sosial tato yang pada awalnya

dianggap sebagai sebuah tanda ekslusivisme, dilanjutkan dengan sejarah kelam

(baca: “dipolitisasi”) di bawah rezim otoriter, dan pada akhirnya hadir sebagai

aktor penting dalam domain ekonomi maupun politik, tentu akan dapat

merepresentasikan realitas relasi antara tato dan kekuasaan di dalam kajian ilmu

politik secara komperhensif. Untuk itu, kajian mengenai keberadaan orang-orang

bertato di Bali bagi penulis penting untuk diteliti. Apalagi, penulis menganggap

beberapa kajian tentang kuasa simbol, baik tato sebagai instrumennya ataupun

dengan berbagai instrumen lainnya, masih melihat kuasa simbol dari aspek

struktul dan fungsional saja.

Page 10: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

10 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Sejauh pembacaan penulis atas beberapa literatur mengenai hal ini,

belum ada yang secara khusus membahas tato dalam konteks politik. Terlebih

lagi, penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan tato, belum ada

pendekatan atau perspektif yang memberikan perhatiannya pada proses konstruksi

sosial yang digunakan untuk mempresepsi, memikirkan dan menkonstruksi

struktur-struktur tersebut. Hal ini menandakan adanya kekurangpekaan para

pengkaji sebelumnya, tekait dengan perhatian atas pemahaman bahwa makna tato

bisa berubah-ubah sebagai sebuah hasil konstruksi, baik lewat tampilan maupun

perilaku si pemiliknya. Adapun limitasi lainnya, yakni belum ada metodologi

yang ditawarkan oleh pakar-pakar sebelumnya dalam menjelaskan bagaimana

orang bisa memahami makna secara baik. Karena dengan mengajukan pertanyaan

tentang „makna‟ suatu simbol, orang bisa mempunyai “pikiran yang bukan-

bukan”. Bukan soal seseorang mendukung atau melawan makna dari simbol

tersebut, tetapi apakah setiap orang bisa mengerti makna yang tersembunyi di

balik simbol itu tanpa ada kegiatan “konstruksi makna” sebelumnya. Karena

sebuah simbol tentu berbeda dengan tanda, bahwa dalam simbol subjek dituntun

memahami objek (Objek aktif), disitulah konstruksi makna yang penulis maksud

akan berlaku.

Berdasarkan uraian di atas, tentu akan menarik jika mengkaji orang-

orang bertato dari sisi subjek pemakai tato itu sendiri, untuk dapat

menggambarkan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, dan apa

yang mereka lakukan. Sehingga relasi kuasa yang ada di balik tato dapat

terjelaskan dengan cara yang lebih obyektif.

Page 11: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

11 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini bermaksud mengungkap peran tato dalam praktik kuasa.

berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan umum yang digunakan dalam

penelitian ini yakni: Bagaimana tato bertransformasi menjadi simbolic power di

Bali? Lalu, dalam rangka menggali jawaban terhadap pertanyaan tersebut, ada

sejumlah pertanyaan yang sifatnya lebih operasional yakni:

(1) Bagaimana orang-orang bertato di Bali mengkonstruksi realitas sosial mereka?

Konstruksi realitas menurut pemakai tato di Bali. Yakni, meliputi proses

pemakai tato yang nantinya akan mengungkapkan alasan mereka pertama kali

mentato tubuhnya, motif apa yang mendorong mereka memilih menggunakan tato

dalam sebuah realitas sosial dan konsep diri yang mereka pahami sehubungan

dengan kepemilikan tato di tubuhnya.

(2) Bagaimana domain ekonomi maupun politik di tempat mereka hidup

berpengaruh terhadap si pengguna tato di Bali?

Bahwa dalam realitas sosial kehidupan orang-orang bertato di Bali saat

ini, dibentuk/dipengaruhi oleh struktur-struktur ekonomi dan politik bisnis jasa

keamanan. Hal ini meliputi, apa yang dibentuk dan bagaimana proses

pembentukannya sehingga orang-orang bertato di Bali mempunyai perilaku,

penampilan dan kuasa yang khas.

(3) Bagaimana relasi antar pemakai Tato dalam domain ekonomi dan politik

Bali?

Page 12: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

12 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Strategi pengelolaan modal mereka gunakan untuk memantapkan

posisinya dalam domain ekonomi maupun politik. Pola strategi tersebut akan

tampak ketika penelitian ini mampu menelusuri “apa yang mereka lakukan dalam

upayanya menunjukkan tato yang dimilikinya sebagai modal tawar dalam realitas

sosial mereka hidup, berdasarkan sudut pandang mereka sendiri” dan “bagaimana

upaya mereka dalam mepertahankan dominasi terhadap kelompok/orang bertato

lainnya”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah Pertama, penelitian ini ingin menjelaskan

relasi tato dan kekuasaan. Kedua, ingin menjelaskan bagaimana kuasa tato bekerja

dalam menciptakan relasi-relasi kuasanya, melalui entitas yang bermakna kuasa

maupun tidak, tetapi ia tetap terlibat dalam reproduksi kekuasaan. Selain itu, hasil

penelitian ini sekiranya ingin memepertegas penelitian-penelitian yang sudah ada

sebelumnya, yakni untuk mengkoreksi teori dan konsep kekuasaan yang selama

ini telah lama menjadi konstruksi berfikir ilmu politik, bahwa kekuasaan tidak

hanya bicara negara dan struktur formal sebagai pemegang kekuasaan.

1.4. Literature Review

Dari uraian tujuan penelitian, berlangsungnya relasi antara tato dan kuasa

memiliki daya tarik tersendiri. Tatkala tato dianggap mampu mereproduksi

kekuasaan, maka terjadilah perubahan dan perluasan kajian politik. Lebih jauh

lagi, hal ini juga dapat menjadi landasan penegasan redefinisi konsep kekuasaan

oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sebagaimana mulanya, kekuasaan selalu

Page 13: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

13 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

dikonstruksikan sebagai hal yang aktual kemudian bergeser menjadi sesuatu yang

difahami sebagai hal yang potensial. Pemahaman ini kemudian menjadi bukti

bahwa kehadiran kekuasaan tidak lagi dipahami hanya melalui kepemilikan

sesuatu, melainkan lewat titik dominasi tertentu di dalam kehidupan

bermasyarakat maupun negara. Singkat kata, kekuasaan mulai dilihat sebagai

wujud ekspresi politik sehari-hari di dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti

yang diungkapkan oleh Foucault, bahwa menurutnya dimensi kuasa itu menyebar,

terpencar dan hadir dimana-mana di aras kehidupan masyarakat12

.

Berbicara mengenai tato, maka kemudian kita tidak bisa memisahkannya

dengan konsep kesimbolan. Tato sebagai entitas yang mewakili makna tertentu

dikategorikan ke dalam sebuah simbol, karena ia merupakan ekspresi suatu hal

yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang tepat. Ia juga memiliki beragam

pemaknaan atas bentukannya. Selain itu, tato tidak mempunyai hubungan khusus

dengan apa yang disimbolkannya. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara

simbolisasi dan tanda-tanda, keduanya memiliki makna, seperti pada bangunan

simbol, ia dapat memberikan makna yang beragam, tapi tanda tidak dapat

memiliki makna yang beragam, tanda hanya akan memiliki sebuah makna. Secara

konseptual itulah, tato dikategorikan sebagai sebuah simbol.

Adapun yang membedakan kadar simbolisme antara isyarat, tanda dan

simbol dapat dilihat dari konsep yang dipetakan oleh Budiono dalam tabel berikut

ini:

12 Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik

Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari

2002, hal.12.

Page 14: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

14 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Tabel.1.1. Perbedaan antara isyarat, tanda, dan lambang/simbol.

NO. ISYARAT TANDA LAMBANG/SIMBOL

1.

Diberitahukan oleh

subjek, kepada objek

(subjek aktif)

Subjek diberitahu oleh

objek (subjek pasif)

Subjek dituntun

memahami objek

(objek aktif)

2. Mempunyai satu arti Hanya memuat dua arti Mempunyai lebih banyak

arti (sedikitnya dua arti)

3.

Dibertiahukan oleh

subjek kepada objek

secara langsung

(berlaku satu kali)

Subjek diberitahu

objek terus menerus

Mempunyai lebih banyak

arti

4. Abstrak Bentuknya konkret,

bisa abstrak

Berbentuk konkret/

abstrak

5.

Dikenal diketahui

oleh manusia dan

binatang secara

langsung

Dikenal diketahui oleh

manusia setelah

diajarkan

Hanya manusia yang

memahaminya

6.

Yang dipakai untuk

isyarat tidak ada

hubungan khusus

dengan yang

diisyaratkan

Yang dipakai untuk

tanda selalu punya

hubungan khusus

dengan yang ditandai

Yang dipakai untuk simbol

tidak mempunyai

hubungan khusus dengan

yang disimbolkan

7. Diciptakan manusia

dan binatang

Diciptakan manusia,

alam dan binatang

untuk binatang dan

manusia

Diciptakan manusia untuk

manusia

Sumber: Budiono Herusatoto. 2000. Simbolisme dalam Budaya Jawa13

.

13 Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT Hanindita Graha Widya, Yogyakarta,

2000, hal.29.

Page 15: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

15 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Sementara itu, perlu diketahui, kajian mengenai kuasa simbol bukanlah

hal baru, akan tetapi jumlahnya masih terbatas. Untuk lebih memberikan

pemahaman terhadap penelitian ini, penulis akan terlebih dahulu membeberkan

beberapa kajian tentang kuasa simbol yang selama ini sudah dilakukan oleh para

pengkaji-pengkaji sebelumnya.

Secara filosofis, ada empat tokoh yang pada gilirannya pemikiran mereka

menjadi suatu ilham tersendiri bagi terciptanya konsep kesimbolan. Salah satunya

oleh pemikiran C.S Peirce, baginya sebuah simbol lahir dari konvensi (perjanjian)

dalam masyarakat, secara resmi ataupun tidak resmi. Karenanya, kesepakatan atau

seringkali “keterpaksaan” adalah inheren dalam sebuah simbol14

. Adapun konsep

lainnya yakni, mengenai teori kekuatan simbolisme yang ada di dalam buku

Dillistone (2002) memiliki nuansa yang hampir sama dalam melakukan

pemahaman terhadap kekuatan simbol. Di dalam buku tersebut, Ia menyebutkan,

simbol ialah sebagai suatu kata atau benda atau tindakan yang mewakili dan

menggambarkan sesuatu yang lebih besar; sebagai sebuah makna, suatu cita-cita,

nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, dan realitas. Itu semua baginya

adalah refren15

.

Hal ini bagi penulis juga tidak jauh berbeda dengan nalar berpikir

Whitehead (1928), yang dalam gagasannya tersebut Whitehead menuturkan,

bahwa kekuatan simbol akan berfungsi apabila beberapa komponen pengalaman

dalam simbol tersebut mampu menggugah sebuah kesadaran, kepercayaan,

14 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2009, hal.42. 15 F.W.Dillistone, The Power Of Symbols, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal.20.

Page 16: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

16 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

perasaan mengenai komponen-komponen lain dalam pengalamannya itu.

Perangkat komponen terdahulu baginya adalah simbol-simbol dan perangkat

komponen demikian yang membentuk makna simbolik. Bahkan, Tillich dalam

buku yang sama menyebutkan bahwa sebuah simbol memiliki daya kekuatan yang

telah melekat padanya16

.

Namun, kalau disimak lebih jauh lagi, dari semua konsep yang

dipaparkan di atas tentunya memiliki perbedaan dengan sumbangan teoritik

mengenai bekerjanya simbol yang ditawarkan oleh Eriich Heller (1961). Bagi

Heller kekuatan simbol tidak selamanya hidup, dan bisa saja sewaktu-waktu

simbol tersebut tanpa makna17

. Justifikasi itu diberikannya dengan didasarkan

contoh temuan dalam kajiannya. Menurut Heller, dahulu tanda salib yang

menjulang di puncak gereja dapat membangkitkan semangat para jemaat untuk

berpikir tentang surga. Tetapi seiring dengan pertumbuhan industrialisasi,

munculnya gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di atasnya,

simbol-simbol industri lebih menarik orang-orang untuk berpikir tentang

kemakmuran duniawi. Mungkin demikian juga nasibnya dengan tempat ibadah

yang lain, masjid misalnya, atau pure, kuil maupun tempat-tempat ibadah lainnya.

Sedikit memberi telaah untuk hal ini, penulis menganggap bahwa sesungguhnya,

meskipun berbeda, gagasan Heller tersebut sedikit banyak memiliki kemiripan

cara berfikir dengan kesemua konsep kajian yang disebutkan sebelumnya, ia

masih berkutat pada bagaimana kekuatan simbol itu dilihat dari aspek fungsional

dan strukturalnya saja.

16 Ibid, hal.127. 17 Ibid, hal.207.

Page 17: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

17 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Jika mau disederhanakan berdasarkan pesan teoritik yang tersirat di

dalam ketiga literature tersebut, penulis menemui adanya perbedaan dengan nalar

berpikir Raymond Firth, menurutnya simbol memang mempunyai peranan

penting dalam urusan-urusan manusia di kehidupan sosial maupun politik yaitu

dengan menegakan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan

sosial. Bahkan, baginya simbol juga dapat memenuhi fungsi yang lebih privat dan

individual, dalam hal ini kepentingan. Akan tetapi tidak mudah untuk mengakui

adanya nilai dalam sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada

pengalaman sosial yang lebih luas18

.

Di tengah-tengah kajian yang saling melengkapi tersebut, bagi penulis

kesemuanya masih memiliki keterbatasan teori. Hal ini disebabkan kurang

pekanya kajian-kajian yang ada sebelumnya untuk mengkaji kuasa simbol dalam

konteks kekuasaan secara mendalam, ditambah belum adanya kajian yang melihat

kuasa simbol melalui aspek keterlibatan aktor atau agen yang aktif (dalam

produksi kuasa) yakni yang berpengaruh dalam medan politik, kemudian

menjelaskan bagaimana pengetahuan, keterikatan dan perilaku mereka dalam

praktek kuasa simbol tersebut. Maka, berdasarkan catatan di atas tampaknya ada

tiga hal yang perlu diperhatikan terkait limitasi ketiga materi literatur tersebut;

Pertama, sejauh pengamatan penulis bahwa kajian tentang simbol selama ini

masih berfokus pada sesuatu yang fixed, jelas bisa diterima sebagai simbol,

dengan makna yang spesifik. Tato yang dalam hal ini menjadi instrumen

penelitian, tidak berada dalam real kejelasan tersebut. Kedua, adanya

18 Ibid, hal.103.

Page 18: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

18 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

ketidakjelasan dan ketidaktegasan makna simbol tersebut, diiringi dengan dampak

yang tidak jelas secara sosial politik. Ketiga, bagaimana simbol-simbol yang tidak

jelas itu dapat dikaitkan dengan politik. Lebih lanjut, kesimpulan yang bisa

didapat dari telaah terhadap beberapa kajian yang telah dilakukan oleh beberapa

pakar yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya sudah cukup

banyak penelitian yang memberikan perhatiannya pada kajian simbol. Namun dari

sekian banyak kajian tersebut, kesemua kajian belum menjelaskan secara utuh

bagaimana bekerjanya sebuah simbol bisa dipolitisasi oleh pemiliknya, hingga

menjadi sebuah realitas sosial. Yakni, dengan merubah simbol yang tidak bernilai

kuasa menjadi bernilai kuasa. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengisi celah

keterbatasan tersebut.

Adapun beberapa pandangan mengenai simbol yang diperbincangkan di

atas, dijadikan penulis sebagai pijakan awal dalam melihat tato sebagai bagian

dari kajian simbol itu sendiri. Disini tato tidak hanya dilihat dari sisi kesimbolan

yang dipancarkan oleh coraknya, tetapi lebih jauh lagi, bahwa tato sebagai sebuah

simbol bisa dikonstruksi dan dipolitisasi oleh pemiliknya. Maka hal terpenting

lainnya yang perlu dilakukan penulis selanjutnya adalah untuk juga mencermati

kepustakaan yang khusus membahas mengenai tato. Ini dianggap perlu, sebagai

upaya mendukung penelitian ini dalam misinya menguak tabir persoalan kuasa

tato.

Pada tahap ini, ketika kita menelusuri kajian mengenai tato, maka yang

kita temui adalah adanya dua perspektif yang berbeda. Pertama dari kalangan

semiotika, yang dalam penelitiannya hanya berupaya memberi arti dan makna

Page 19: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

19 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

pada setiap bentuk, corak atau desain tato yang akan ditelitinya. Lalu, dari

perspektif yang kedua yakni dari kalangan fenomenologis. Berbeda dari perspektif

yang pertama, kalangan ini lebih melihat pada bagaimana dampak tato yang

dipakai oleh si pemakai dalam kehidupan sosialnya, yakni sejauhmana tato yang

digunakannya mampu berimplikasi luas pada setiap interaksinya dengan

kehidupan sekitar, dalam domain budaya, sosial, ekonomi, hingga politik.

Jelasnya, tato digunakan oleh pemiliknya untuk menampakkan diri.

Kenyataannya, dari sekian banyak kajian yang meneliti tentang tato,

banyak penelitian yang mengungkapkan tato dari perspektif yang pertama.

Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Tri Handoko (2010) tentang

“Perkembangan Makna, Motif dan Fungsi Tato di Kalangan Narapidana di

Yogyakarta”. Ia menjelaskan ada motif-motif tato tertentu yang diklaimnya

memiliki nilai kuasa, seperti contoh motif harimau, naga, dan rajawali yang

dipercaya mampu menempatkan pemakainya sebagai penguasa-penguasa baru

dalam kelompok masyarakat, atau penelitian Restituta Driyanti (2011) yang

datang dengan membawa tesisnya yang berjudul “Makna Simbolik Tato Bagi

Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur”, yang di dalam

tulisannya mengatakan gambar atau tanda tato merupakan simbol yang mewakili

nilai-nilai tertentu, bahwa ada ciri khas motif tertentu yang menggambarkan

adanya pola kuasa dalam tato. Kemudian, penelitian Ernawati, Arni (2011)

tentang Makna Tato Anggota Bikers Motor Antique Club Indonesia (MACI) Di

Yogyakarta. Sementara, contoh penelitian lain mengenai simbol yang memiliki

kesamaan nalar pikir dengan ketiganya ialah dalam tulisan Rias Fitriani Indriyati

Page 20: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

20 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

(2011) mengenai Grafiti dan politik, baginya relasi kuasa itu bekerja pada kata-

kata yang tersurat dalam corak grafiti tersebut. Artinya suatu grafiti baru bisa

dikatakan sebagai simbol bernilai politik atau kuasa ketika grafiti tersebut

sebentuk tulisan atau corak yang bernilai politis pula.

Adapun penelitian yang lebih menunjukkan adanya keterlibatan dari si

pemakai tato dalam mengkonstruksi makna tato yang dimilikinya ialah penelitian

yang dilakukan oleh Medhy Aginta Hidayat (2002) tentang Makna Tato Dalam

Konstruksi Identitas Mahasiswa Bertato di Yogyakarta, atau Rizki Agustin

tentang Body Image Of Teenagers With Tattoos dan Peneliti lain seperti Gumgum

Gumilar (2008) tentang Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato

Kota Bandung.

Dalam konteks ini jelas, bahwa semua kajian dan penelitian yang telah

disebutkan di atas tadi, lebih banyak menyorot bagaimana tato difungsikan

sebagai tanda atau identitas pemakainya. Dengan kata lain, para peneliti tersebut

pada umumnya terfokus ingin menegaskan bahwasanya ada relasi positif yang

dibangun oleh tato terhadap identitas individu maupun identitas sosial si pemakai.

Pada konteks ini, tato diposisikan sebagai pemberi tanda. Padahal seperti yang

kita ketahui bersama, tidak semua tato bisa diberi arti secara langsung, contoh

misalkan tato yang bercorak tribal yang terkesan tak bermakna dan asal-asalan.

Selain itu, sebuah tato dengan gambar atau corak yang sama belum tentu

dimaknai sama pula oleh pemiliknya. Artinya, tidak terlalu signifikan jika melihat

tato hanya dari wujudnya saja, melainkan perlu adanya sebuah analisis mendalam

Page 21: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

21 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

mengenai adanya fungsi sosial tato yang berbasis pada konstruksi makna (lewat

perilaku, tampilan dan gaya) oleh pemilik maupun “penikmatnya”.

Jika ingin melihat lebih jauh mengenai penelitian Handoko, ia

menggambarkan bahwa sebuah corak atau desain tato akan memiliki watak

politis, dengan catatan sebelumnya telah ada kesepakatan dan kemampuan

manusia dalam memaknai tato dengan keberagaman motif yang dimilikinya.

Kaitannya dengan bagaimana fungsi sosial tato bagi pemakainya, pada tahap ini

Handoko menyebutkan, bahwa tato di kalangan narapidana Yogyakarta berfungsi

sebagai ekspresi religiositas, daya tarik seks, keamanan diri, lambang kelompok

hingga sebagai sarana sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu

dalam kelompok19

.

Dari hasil pembacaan terhadap penelitian tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa Ia tidak menangkap fenomena lain, seperti adanya

penjelasan bahwa motif tato apapun yang melekat pada tubuh orang bertato telah

membentuk maindset dan persepsi di masyarakat, berupa ketakutan dan

“kepatuhan” pada orang bertato yang mereka temui. Hal ini berangkat dari

pemikiran penulis, karena bagi penulis tentu tidak mudah untuk semua orang bisa

mengartikan makna tato yang melekat pada mereka, apakah itu bernilai kuasa atau

tidak. Terlebih, fenomena yang ditunjukkan selama ini tato dengan berbagai

bentuknya telah menciptakan kesan tersendiri, bahwa ia memiliki nilai kuasa,

19 Tri Handoko, Perkembangan Motif, Makna, Dan Fungsi Tato di Kalangan Narapidana dan

Tahanan Di Yogyakarta, Makara, Sosial Humaniora, VOL. 14, NO. 2, Desember, 2010:114-

115.

Page 22: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

22 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

kekuatan dan kekerasan, yang akhirnya memunculkan rasa takut bagi yang

melihatnya.

Selain penelitian yang dilakukan Handoko, penelitian lain yang memiliki

kesamaan nalar dengannya ialah penelitian yang dilakukan oleh Driyanti dengan

judul Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika

Paul Ricoeur. Dalam tulisannya tersebut terlihat, ia berupaya menjelaskan makna

dari setiap masing-masing bentuk dan corak tato yang ada di dalam suku Dayak.

Lebih jauh lagi, ia menemukan adanya unsur kuasa dalam salah satu corak tato

yang ada di sana20

.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Arni, seperti yang sempat

disinggung dimuka. Dalam penelitiannya ia mencoba melihat, bagaimana tato

dimaknai oleh pemakainya dalam komunitas motor antik di Yogyakarta. Dengan

responden penelitian yang terfokus pada satu komunitas tertentu, ia menekankan

bahwa tato yang ada di komunitas tersebut bukanlah bagian dari peneguhan

seseorang untuk menunjukkan dirinya sebagai bagian dalam kelompok tertentu,

melainkan bentuk representasi dari individu di masing-masing anggota21

. Adapun

dari temuannya itu, ia belum melihat sejauh mana tato memiliki pengaruh

terhadap kehidupan sosial, ekonomi maupun politik bagi pemiliknya.

Secara garis besar, bisa dibilang dari ke tiga penelitian di atas jelas

menunjukkan adanya kesamaan fokus penelitian. Yakni, bagaimana ketiganya

20 Restituta, Driyanti, Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika

Paul Ricoeur, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2011, hal.42-45. 21 Ernawati, Arni, Makna Tato Anggota Bikers Motor Antique Club Indonesia (MACI) Di

Yogyakarta, Airlangga University Library, Surabaya, 2011.

Page 23: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

23 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

sama-sama menggunakan semiotika sebagai pisau analisis dalam melihat tato,

yakni tato yang diberi arti tertentu. Dengan demikian, ketiga peneliti telah nyata

menghiraukkan adanya fenomena sosial lain, yakni implikasi keberadaan tato

terhadap pemiliknya.

Beberapa penelitian lain yang juga mengkaji tentang tato, adalah

penelitian-penelitian yang juga sudah sempat disinggung di atas yakni oleh

Hidayat, Agustin dan Gumilar22

. Meskipun ketiganya memiliki judul dan lokasi

penelitian yang berbeda, namun bisa dikatakan dari kesemua penelitian yang

dilakukan mereka telah menghasilkan temuan yang hampir sama, yakni mereka

berhasil mengungkapkan lebih banyak mengenai apa sebenarnya pengaruh tato

bagi pemiliknya. Hanya saja, fokus penelitiannya belum menegaskan adanya

proses dimana pemakai tato mampu mengkonstruksi makna tato yang dimilikinya,

sehingga fungsi sosial yang terdapat dalam tato tersebut bisa menghasilkan sebuah

dominasi kuasa di domain-domain tertentu.

Dengan demikian itu, ketiga peneliti tersebut dianggap tidak melihat

lebih jauh atas apa pengaruh hadirnya tato bagi pemiliknya di saat ia berinteraksi

dengan sistem sosial sekitarnya, terutama dalam domain ekonomi maupun politik.

Lebih khusus lagi, penelitian di atas belum melihat dimensi kuasa secara utuh atas

apa yang ditemuinya melalui tato. Oleh karenanya, dalam menanggapi perbedaan

masing-masing penelitian tersebut, penulis berpendapat bahwa sebuah simbol

akan bernilai kuasa atau tidak tergantung pada siapa yang memiliki dan memakai

22 Lihat, Medhy, Aginta Hidayat, Makna Tato Dalam Konstruksi Identitas Mahasiswa Bertato

di Yogyakarta, UGM, Yogyakarta, 2002. Lihat juga, Rizki, Agustin, Body Image Of Teenagers

With Tattoos, Gunadarma University, 2008. dan Gumgum, Gumilar, Op.Cit.

Page 24: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

24 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

simbol tersebut. Dalam hal ini, ia akan bernilai kuasa bukan karena tato tersebut

bercorak yang melambangkan kuasanya, tetapi dengan berbagai bentukannya, tato

akan bernilai kuasa atau tidak tergantung pada bagaimana pemilik tato tersebut

mewacanakan tato yang dimilikinya, dan bagaimana pula “penikmat” tato bisa

memahami secara baik makna apa yang ingin disampaikan. Hal itu tentu berlaku

tidak terbatas pada sekat ruang dan waktu tertentu saja. Artinya, bahwa energi

kuasa dalam sebuah simbol tidaklah muncul seketika atas ide dari bentuk dan

coraknya, tetapi melalui proses konstruksi makna dan wacana oleh pemilik

maupun penikmatnya. Singkat kata, ada sebuah konstruksi makna tertentu (lewat

tampilan, perilaku, modal penggunanya) yang digunakan sebagai basis reproduksi

kekuasaan oleh tato selama ini.

Tidak cukup hanya itu saja, dalam penelitian ini penulis mencoba

menegaskan bahwa simbol yang berlambang atau berpesan kuasa bukanlah satu-

satunya simbol yang bisa diakui sebagai kuasa simbol. Karena, untuk memahami

berbagai simbol-simbol yang ada di dunia ini, seseorang membutuhkan kejelian,

interpretasi dan keleluasaan wawasan. Sehingga, tidak semua orang yang

memiliki prasyarat di atas mampu memaknai berbagai simbol yang ada dengan

utuh. Contohnya, tato tribal yang sejatinya tidak memiliki makna kuasa atau

dimensi yang menggambarkan kekuatan sekalipun, ternyata tetap bisa benilai

kuasa bagi pemiliknya. Hal ini semakin membuktikan, bahwa suatu makna kuasa

bukan hanya timbul dari simbol-simbol fisik yang menjadi instrumen nostalgia

akan kejayaan orang-orang bertato, tetapi perilaku sosial dari masyarakat (masa

kini) yang mendukungnya juga harus diperhitungkan dalam menentukan makna

Page 25: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

25 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

tersebut. Sebab, dalam praktek sosial, mereka juga turut terlibat dalam proses

konstruksi kuasa yang dimaksud.

Selain itu, adanya sumber-sumber kekuatan lain yang menopang posisi

orang bertato di dalam struktur masyarakat menjadi fokus tersendiri untuk

menguak kuasa orang-orang bertato. Berdasar atas nalar pikir tersebut, penulis

akan menggunakan gagasan Bourdieu tentang Habitus, Capital dan Field, seorang

penganut poststruktural yang memberikan pandangan baru mengenai dialektika

antar agen dan struktur, yang hemat penulis dapat mengurai praktik kuasa orang-

orang bertato di Bali.

Dari sini menarik untuk dilihat bagaimana penelitian ini nantinya

diharapkan dapat memberikan sumbangsih keilmuan terhadap kebaharuan ilmu

politik, melalui pemahaman terhadap relasi yang kuat antara tato, pemilik tato,

dan kuasa. Di samping itu juga, dengan demikian penelitian ini akan memberikan

pijakan yang kokoh bagi penelitian mengenai tato, bahwa kajian tato yang selama

ini didominasi oleh ilmu budaya ternyata bisa dianalisis melalui ilmu-ilmu yang

lain, yang dalam konteks ini melalui kajian ilmu politik.

1.5. Kerangka Teori

Seperangkat teori yang digunakan oleh penulis disini dijelaskan sebagai

suatu bentuk pedoman dan arahan untuk dapat mengungkapkan fenomena yang

akan diteliti oleh penulis. Hal ini dilakukan, agar penelitian ini lebih terarah dan

lebih fokus. Secara konseptual, sejatinya peneliti yang dalam penelitiannya

menggunakan pendekatan kualitatif harus melepaskan dirinya dari tawanan suatu

Page 26: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

26 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

teori23

. Ini artinya fokus atau masalah penelitian berkembang menyesuaikan

dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.

Secara keseluruhan, pemilihan teori yang dipakai dalam penelitian ini

bagi penulis sudah cukup relevan untuk dapat menjelaskan fenomena, konteks dan

fokus penelitian tentang kuasa berbasis tato pejantan Bali. Teori Bourdieu

mengenai Praktik sosial yang gagasannya terdiri atas habitus, capital dan field

dianggap penulis bisa membantu dalam mengarahkan penulis untuk meneropong

fenomena yang dimaksud.

Dalam tahapan ini, melalui konsep Bourdieu, aktivitas orang-orang

bertato tidak sekedar dilihat dari makna yang terpancar melalui tato yang

dikenakannya, melainkan bersifat kaya dimensi. Namun ironisnya, sejauh ini

perilaku orang-orang bertato masih saja dilihat dari bentuk dan corak tato seperti

apa yang digunakannya, bahkan hanya sebatas memberi anggapan bahwa mereka

adalah orang yang tidak memiliki masa depan, “brandal” dan berbagai macam

konotasi negatif lainnya. Pandangan seperti ini muncul lebih dipengaruhi oleh

asumsi konvensional yang mengandaikan tato sekedar sebagai coretan kotor di

atas tubuh. Terkait hal itu penulis beranggapan, bahwa untuk memahami orang-

orang bertato tentunya tidak cukup rasanya hanya diukur melalui interpretasi

subjektif terhadap makna tato yang dilihat dan diberi arti.

Dalam analisis mengenai perilaku yang kaitannya dengan aktivitas

orang-orang bertato, Bourdieu datang dengan menawarkan rumus generatif

23 Kamanto, Sunarto, Pengantar sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta,

1993, hal.6-7.

Page 27: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

27 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

mengenai sebuah praktik sosial, yakni hubungan dialektis antara struktur dan agen

yang dilalui oleh seorang individu, dalam hal ini si pemilik tato. Di dalam

rumusan generatif tersebut, Bourdieu menjelaskan mengenai keterkaitan antara

habitus, capital, field yang bersifat langsung. Hubungan keseluruhan konsep

tersebut yang saling bertautan langsung satu sama lainnya, sangat membantu

penelitian ini untuk menerangkan bagaimana praktik kuasa orang-orang bertato di

tengah realitas sosialnya.

Pada dasarnya, alur logis teori Bourdieu ini diharapkan dapat

menjelaskan dan memetakan agen-agen (baca: orang bertato) yang berpengaruh

dalam medan politik, berikut dengan perilaku mereka dalam praktik kuasanya.

Seiring dengan hal itu, maka akan juga turut jelas terbaca bagaimana agen-agen

tersebut bertarung dan berstrategi memperebutkan posisi dominan dalam politik

pengamanan di Bali.

Kiranya perlu ditegaskan, bahwa Bourdieu menyusun teorinya tersebut

ke dalam rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik24

. Rumus ini mengganti

setiap relasi antar individu (aktor) dan struktur melalui relasi yang dibentuknya

atas dasar habitus dan field yang dimiliki dengan melibatkan capital yang ada

pada dirinya. Ini artinya nilai yang diberikan capital dihubungkan dengan

berbagai karakteristik sosial dan cultural habitus si pemakai tato, lalu disesuaikan

dengan kondisi field dimana ia berada, dan akhirnya terjadilah sebuah praktik

sosial.

24 Richard Harker dkk, (habitus x modal) + ranah = Praktik, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal.

xxi.

Page 28: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

28 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Dalam lingkup teorinya tersebut, arena (field) diartikan sebagai bentuk

relasi-relasi yang melingkupi kehidupan seseorang. Ini artinya, arena tidak dapat

dipisahkan dari ruang sosial dimana orang bertato tersebut berada. Disini arena

diartikan sebagai tempat perjuangan sosial yang mengacu pada realitas sosial dan

struktur di mana si pemakai tato tinggal. Secara analitis, arena bisa juga diartikan

sebagai sebuah metafora untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang

terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. Arena inilah yang

mengisi ruang sosial. Selanjutnya, ruang sosial individu itu dikaitkan melalui

waktu dengan serangkaian arena, dimana orang-orang berebut berbagai bentuk

capital (modal). Hal lain yang perlu diperhatikan, bahwa di dalam arena, individu

dengan habitus nya masing-masing akan berhubungan dengan individu lain yang

nantinya menghasilkan tindakan-tindakan ataupun sifat-sifat yang sesuai dengan

arena dan modal yang dimilikinya25

.

Field (arena) sendiri dipahami oleh Bourdieu sebagai:

Suatu jaringan atau suatu konfigurasi hubungan-hubungan objektif

antar berbagai posisi. Posisi secara objektif didefinisikan dalam

keberadaannya dan dalam determinasi-determinasi yang

dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, yakni agen atau

lembaga oleh suatu aktual dan situasi potensial (situs) dalam struktur

pembagian kekuasaan (atau modal) di mana kepemilikan atas

kekuasaan (atau modal) itu membuka akses ke dalam suatu

keuntungan yan menjadi taruhan di dalam arena. Dia pun juga

didefinisikan oleh relasi objektifnya dengan posisi-posisi lain

(dominasi, subordinasi, homoligi, dan lain sebagainya)26

.

25 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2012, hal. xviii. 26 Pierre Bourdieu dan Loic J.D. Wacquant, An Innovation to Reflexive Sociology, Polity Press,

Cambridge, 1992, hal.97.

Page 29: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

29 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Menggunakan perspektif tersebut, konsep arena milik Bourdieu ini

mampu menjangkau pembahasan tentang bagaimana modal yang dimiliki orang-

orang bertato bertarung, dan berebut kekuasaan. Baginya, ada jaringan relasi antar

posisi objektif di dalamnya. Keberadaan relasi-relasi ini terpisah dari kesadaran

dan kehendak individu.

Poin penting dari gagasannya mengenai sesuatu yang disebutnya tadi

sebagi ruang sosial ialah: Pertama, arena kekuatan sebagai upaya sebuah

perjuangan untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya atau modal dan

juga untuk mendapatkan akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan;

Kedua, sebentuk hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-

posisi individu maupun kelompok dalam sebuah tatanan masyarakat. Dalam hal

ini, arena juga dapat dikatakan sebagai sebuah konsep yang sangat dinamis, yaitu

saat posisi agen berubah, maka struktur arena yang ada juga ikut berubah. Ini

artinya ruang sosial merupakan suatu entitas yang di dalamnya terdiri dari

beragam arena dan memiliki aturan-aturan tersendiri di tiap arenanya. Secara

singkat, teori arena Bourdieu ini meliputi kondisi-kondisi sosial produksi,

sirkulasi dan konsumsi barang-barang simbolik.

Terkait hal itu, dalam upaya perjuangan perebutan kekuasaan di dalam

field (arena), Bourdieu membedakan tiga jenis strategi yang dipakai oleh para

agen. Berikut strategi yang ia maksud:

Bourdieu in fact speaks of three different types of field stratcgies:

conservation, succession, subversion. Conservation strategies tend to

be pursued by those who hold dominant positions and enjoy seniority

in the field. Strategies of succession are attempts to gain access to

Page 30: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

30 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

dominant positions in a field and are generally pursued by the new

entrants. Finally, strategies of subversion are pursued by those who

expect to gain little from the dominant groups. These strategies take

the form of a more or less radical rupture with the dominant group by

challenging its legitimacy to define the standards of the field27

.

Secara detail maksud dari ketiga strategi yang ditawarkan Bourdieu itu

ialah Pertama, conservation, yaitu strategi yang biasa dipakai oleh pemegang

posisi dominan dan senior dalam sebuah arena. Kedua, succession, yaitu strategi

yang bertujuan untuk mendapatkan akses terhadap posisi-posisi dominan di dalam

arena. Posisi dominan tersebut biasanya dikejar oleh para agen pendatang baru.

Ketiga, subversion, yaitu strategi yang dipakai oleh mereka yang mengharapkan

mendapat bagian kecil saja dari kelompok-kelompok dominan. Jika strategi

conversation akan lebih banyak dipakai oleh kelompok-kelompok dominan dalam

sebuah masyarakat, maka strategi succession dan subversion lebih banyak

menjadi pilihan mereka yang tersubordinat.

Dalam konteks ini, untuk menuju pembahasan tentang makna kuasa

orang bertato, konsep arena yang dipaparkan di atas dapat digunakan dalam

rangka menejelaskan bagaimana modal yang dimiliki oleh orang-orang bertato

bertarung. Ide modal yang digunakan oleh Bourdieu ini nyatanya dapat

memetakan hubungan-hubungan kekuasaan antar pemilik tato, yakni

kemampuannya atas pembacaan terhadap modal-modal apa yang digunakan oleh

para pengguna tato di Bali dalam upayanya memperoleh dan mempertahankan

dominasi (kuasanya) di arena politik pengamanan Bali.

27 David Swartz, Culture And Power: The Sociology Of Pierre Bourdieu, The University Of

Chicago Press, London, 1997, hal.125.

Page 31: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

31 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Yang kemudian penting dalam gagasannya kali ini adalah Bourdieu

mengkonsepsikan bahwa sebuah kekuasaan selalu berada dan beroperasi dalam

suatu arena (field). Ia juga menegaskan bahwa di dalam arena ada proses

akumulasi dan negosiasi oleh para agen yang memiliki modal, baik itu modal

sosial, ekonomi, kultural, maupun simbolik. Akumulasi dari kepemilikan modal

inilah yang nantinya menentukan siapa yang berada di posisi mendominasi dan

siapa yang didominasi. Sehingga, tujuan akhir dari penguasaan modal tersebut

baginya ialah untuk mendapatkan pengakuan bahwa diri atau kelompoknyalah

yang berpengaruh, dan memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran yang

paling berhak diikuti28

. Itu sebabnya Bourdieu memberikan catatan pada kita,

bahwa kekuasaan tidaklah berada diluar sana dan berjarak dengan kita atau dalam

hubungan state-society. Ia hadir dekat dengan kita dan menyebar dalam setiap

arena sosial (social field) melalui praktik sosial.

Dalam ungkapan yang lebih tegas lagi atas penjelasannya, Bourdieu

menyebut; perwujudan kekuasaan yang dominan memerlukan perangkat-

perangkat simbolik untuk melegitimasi kekuasaan tersebut. Artinya, dominasi

kekuasaan tidak akan bisa terbentuk tanpa adanya akumulasi modal. Dalam

konteks ini, arena/ranah/field secara mudah bisa dibayangkan seperti sebuah

permainan, di mana setiap permainan mempunyai norma dan logikanya sendiri.

Jadi, konsep modal yang dijelaskannya sebagai suatu kekuatan yang

spesifik beroperasi di dalam sebuah arena, telah menegaskan poin penting bahwa

28 Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,

Juxtapose Kerja Sama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan UMY, Yogyakarta, 2007, hal.3.

Page 32: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

32 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

setiap arena menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat

secara baik dan terus menerus bertahan di dalamnya. Melihat definisi dasar

Bourdieu atas modal, modal dapat digolongkan menjadi empat29

. Pertama, modal

ekonomi (economy capital). Modal ekonomi baginya merupakan suatu hal yang

mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-

benda), dan uang yang dengan mudah digunakan dengan segala tujuan serta

diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua, modal budaya

(cultural capital) yakni, keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi,

baik melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Yang termasuk di

dalam modal budaya antara lain, kemampuan menampilkan diri di depan publik,

pemilikan benda/kode budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu

dari hasil pendidikan, dan sertifikat (gelar kesarjanahan). Ketiga, modal sosial

(social capital), yang menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (baik

individu maupun kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang

memiliki kuasa. Keempat, modal simbolik (symbolic capital) yang menurutnya

adalah segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.

Perlu diperhatikan, disini penekanan diberikan pada kenyataan bahwa

dalam pandangan antropologi Bourdieu mengenai capital ini didominasi oleh

analisis mekanisme reproduksi hierarki sosial. Ia tampak sekali bertentangan

dengan analisis Marxis, dimana ia juga mengkritik diterminisme faktor ekonomi,

yang mana ia menegaskan bahwa kapasitas aktor sosial untuk secara aktif terlibat

memaksakan dalam produksi budaya mereka dan sistem simbol memainkan peran

29 Pierre Bourdieu dan Loic J.D. Wacquant, An Innovation to Reflexive Sociology, Op.Cit, hal.119.

Page 33: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

33 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

penting dalam reproduksi struktur sosial dominasi itu sendiri. Itu sebabnya, modal

dipandangnya sebagai sebuah basis dominasi.

Lebih jauh lagi, dari paparannya tersebut, di antara ke empat modal yang

disebutkan, modal simbolik (misalnya, prestise, kehormatan, perhatian) baginya

merupakan sumber penting dari kekuasaan. Dalam penjelasannya itu, modal

simbolik menurutnya merupakan jenis modal yang dirasakan melalui skema

klasifikasi sosial yang ditanamkan. Derajat akumulasi prestise, ketersohoran, atau

kehormatan dibangun atas dialektika pengetahuan dan pengenalan. Konsep ini

bisa dikembangkan pada kekuasaan simbolis berdasarkan bentuk-bentuk modal

yang tidak bisa direduksi dalam bentuk modal ekonomi. Misalnya, jabatan, mobil

mewah, kantor, prestise, gengsi sosial, gelar, status tinggi, nama besar keluarga

termasuk juga fungsi sosial yang ditunjukan tato, pada dasarnya merupakan

bentuk pengakuan sosial oleh kelompok, ia secara institusional maupun informal

merupakan sumber daya dalam posisi sosial, akumulasi modal atau efektivitas

wacana dan tindakan pemiliknya30

. Itu sebabnya, banyak sedikitnya modal, sangat

menentukan peneguhan dan peningkatan posisi seorang agen pada arena yang

diisinya.

Menggunakan konsepsi Bourdieu mengenai modal, penelitian ini

nantinya diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan, seperti; bagaimana

agen (orang-orang bertato) menggunakan modal-modal yang dimilikinya untuk

menentukan posisi mereka dalam realitas sosial dan modal-modal apa saja yang

30 Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2010, hal.18.

Page 34: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

34 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

digunakannya dalam berebut kuasa. Artinya, konsep ini bisa dipinjam sebagai alat

ukur untuk melihat modal apa saja yang dimiliki dan sejauhmana modal-modal

tersebut berperan dalam mengharumkan nama mereka di politik pengamanan Bali.

Akhirnya, kehadiran orang-orang bertato di domain politik pengamanan

Bali memberikan kita pada pemahaman awal bahwa modal yang dimiliki mereka

sangat kuat. Cerita mengenai kesuksesan orang-orang bertato lepas dari belenggu

marginalisasi oleh rezim terdahulu dan perlahan-lahan hadir di ranah yang lebih

prestigious adalah salah satu langkah awal untuk mengetahui karakteristik modal

seperti apa yang mereka miliki dan mereka gunakan dalam mencapai suatu titik

dominasi kuasanya.

Sementara itu, selain arena dan modal, perkakas teoritik Bourdieu

lainnya yang tak kalah penting ialah soal habitus. Telah dibahas sebelumnya,

bahwa arena memiliki keterkaitan erat dengan yang namanya habitus. Bourdieu

dalam pandangan Granfell dan James (1998)31

menjelaskan bahwa konsep

habitus baginya dianggap sebagai struktur kognitif yang memperantai individu

dan realitas. Sekedar ingin memberikan pemahaman yang lebih utuh, secara

komperhensif, habitus menurut Bourdieu adalah:

“suatu sistem disposisi yang bertahan lama, dan dapat di ubah-ubah,

struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai

penstruktur struktur-struktur (structured structured predisposed to

function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang

menghasilkan dan mengatur praktik dan gambaran-gambaran yang

dapat disesuaikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa

mensyaratkan suatu kesadaran akan tujuan-tujuan tertentu atau

31 Lihat, Michal, Branfell dan David James, Bourdieu and Education:Acts of Practical Theory,

Falmer Press, London, 1998, hal.14-15.

Page 35: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

35 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

penguasaan khusus atas operasi-operasi yang diperlukan untuk

mencapai tujuan tersebut. Karena sifatnya “berkala” dan “teratur”

secara objektif, tanpa harus menjadi hasil dari kepatuhan terhadap

aturan-aturan, secara kolektif prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan

tanpa menjadi hasil dari perorganisasian tindakan oleh sang pelaku”32

.

Artinya habitus bukanlah seperti pengetahuan bawaan, ia bukan kategori

seperti dalam pengertian Immanuel Kant, bukan juga ide-ide bawaan dari dunia

seperti yang dimaksud Plato dan kaum rasionalis, tetapi habitus adalah sejarah

yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam

ruang dan waktu tertentu, yang juga menghasilkan pola perilaku tertentu pula.

Fashri (2007) dalam bukunya juga mengatakan habitus adalah kebiasaan-

kebiasaan, sesuatu yang merupakan hasil pembelajaran secara halus, tak disadari

dan tampil sebagai hal yang wajar sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah,

seakan-akan diberi oleh alam, atau ‟sudah dari sananya‟33

. Artinya, habitus

memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan tanpa

disadari dan melakukan interaksi dengan pihak lain di luar dirinya.

Apa yang ditegaskan dan dikemukakan di atas, sebenarnya sudah cukup

untuk menyederhanakan gagasan dasar soal habitus. Yakni, sebuah perangkat

sosial yang terbentuk dari pengalaman hidup aktor. Ia telah ditanamkan sudah

sejak lahir, lalu berkembang seiring dengan pertumbuhan dirinya. Sehingga

kemudian, dari kerangka Bourdieuan ini akan dilihat bagaimana fenomena-

fenomena yang terjadi di kalangan orang-orang bertato di Bali. Dikebanyakan

orang di sana, kini tato berfungsi sebagai presentasi reproduksi kuasa. Fenomena-

32 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Cambride University Press, USA, 1977,

hal.72 33 Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,

Op.Cit, hal.83.

Page 36: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

36 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

fenomena yang dimaksud ialah: Pertama, Perjuangan politik rekognisi (konstruksi

sosial) di masa Orde Baru hingga masa kini oleh pamakai tato di Bali. Kedua,

kemunculan orang-orang bertato dalam penguasaan wilayah-wilayah ekonomi

strategis di Bali. Ketiga, penggunaan orang-orang bertato dalam pengamanan

yang digunakan oleh swasta maupun negara (pemerintah Bali).

Logika ini akan mengantarkan kita pada sebuah pemahaman, bahwa

fenomena di atas akan dilihat tidak hanya sebatas bukti dari meningkatnya

ekspresi orang-orang bertato sebagai sebuah identitas, tetapi lebih dari itu, yakni

yang disebut Bourdieu sebagai praktek sosial, adanya proses integrasi antara

habitus dikalikan modal dan ditambah arena, yang secara perlahan pemanfaatan

akan keberadaan ketiga konsep tersebut kemudian memberikan kemampuan bagi

pemakai tato untuk melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah

struktur, dan sampai pada peneguhan terbentuknya sebuah identitas kelas baru

orang-orang bertato dalam relasi kuasa di kehidupan sosialnya.

Kiranya dari ulasan di atas dapat dipetik sebuah kesimpulan, bahwa

identitas orang-orang bertato sebagai orang yang dibayangkan memiliki kekuatan

dan kuasa telah tersosialisasi ke dalam masyarakat luas, yang kemudian

menempatkan mereka pada ruang-ruang kuasa tertentu dalam realitas sosial.

Ketika masuk ke dalam ruang kuasa itulah tato telah bermakna lain, bukan hanya

ekspresi seni atau coretan tanpa arti semata, tetapi secara sosial berfungsi sebagai

peneguhan identitas (affirmative identity) dan kekuasaan.

Page 37: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

37 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Hal inilah yang agaknya kemudian, tato kini berperan efektif dalam

proses kesadaran pembentukan orang-orang bertato dalam ruang kuasa, ini

disebabkan karena ia berfungsi sebagai apa yang disebut Bourdieu tadi dengan

„habitus‟. Habitus baginya juga bisa disebut sebagai “sistem pengulangan ekspresi

penampilan (disposisi) yang kemudian berkembang menjadi sebuah struktur sosial

yang berfungsi menstrukturkan struktur-struktur baru. Sistem pengulangan itu

kemudian menggenerasi menstruksturkan praktek-praktek representasi yang

secara obyektif terus berlangsung”34

.

Habitus (orang) bertato yang „berbau” simbol kekuatan dan kekuasaan,

di dalam prakteknya dikenalkan secara terus-menerus, dimanapun dan kapanpun

(penguasa wilayah, pengaman daerah bisnis tertentu, pengaman pemerintah dalam

demonstrasi, dan alat mobilisasi masa sewaktu Pemilu) sehingga setelah berproses

dalam jangka waktu yang cukup lama, ia membentuk sebuah kesadaran terhadap

kelompok masyarakat lainnya. Kesadaran untuk menerima orang-orang bertato

dalam domain penguasaan ekonomi maupun politik.

Sebagai prinsip-prinsip generatif yang berulang terus-menerus, habitus

kemudian memproduksi dan mereproduksi struktur-struktur baru. Ketika

kelompok yang tersadarkan itu adalah orang-orang bertato yang membutuhkan

pekerjaan, maka tato kemudian menjadi identitas sebuah kelompok yaitu

kelompok penguasa. Individu-individu yang mengenakan tato, “do not know what

they are doing that what they do has more meaning than they know”35

. Dengan

34 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Op,Cit, hal.77. 35 Ibid, hal.79.

Page 38: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

38 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

membiasakan menggunakan tato dalam ruang kuasa tertentu secara terus-menerus,

itu secara tidak langsung juga akan mengkonstruksi dunia sosial mereka melalui

praktek kehidupan sehari-hari (berperilaku, berpenampilan) dan kemudian

mengisinya dengan makna baru. Setidaknya, pada tahap ini saya sekali lagi ingin

menegaskan bahwa; bertato di realitas sosial kini lebih dari sekedar soal ekspresi

diri atau peneguhan identitas, yakni sebagai sebuah proses imajinasi pembentukan

kelas baru, berupa kelas penguasa informal.

Di dalam penjelasan mengenai habitus, gagasan lain yang tidak bisa

dilepaskan dari keberadaan habitus itu sendiri ialah yang disebut Bourdieu

sebagai doxa, yang pengertiannya menyerupai semacam suatu ideologi. Ia

menyatakan doxa sebagai:

Kesamaan struktur objektif dan struktur yang terinternalisasi yang

memerlukan ilusi pemahaman segera, karakteristik pengalaman

praksis dari dunia yang tak asing lagi dan pada saat yang sama tidak

menyertakan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin dapat dikenakan

terhadap pengalaman itu36

.

Artinya, doxa bisa diartikan sebagai suatu kepercayaan dan nilai-nilai tak

sadar, yang berakar mendalam, mendasar, lalu dipelajari (learned), kemudian

dianggap sebagai universal-universal yang terbukti dengan sendirinya (self-

evident), yang pada akhirnya menginformasikan tindakan-tindakan dan pikiran-

pikiran seorang agen dalam arena (fields) tertentu. Dalam hal ini, doxa cenderung

mendukung pengaturan sosial tertentu pada arena tersebut, dengan demikian ia

mengistimewakan pihak yang dominan dan menganggap posisi dominan tersebut

sebagai yang terbukti dengan sendirinya (self-evident) dan lebih disukai secara

36 Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, Polity Press, Cambridge, 1990, hal.20.

Page 39: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

39 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

universal (universally favorable). Doxa bisa diartikan lebih jauh sebagai tatanan

sosial dalam diri individu, yang stabil dan terikat pada tradisi, serta terdapat

kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan sudah tidak dipertanyakan lagi.

Di dalam gagasannya mengenai doxa, ada yang disebutnya dengan

seperangkat nilai dan wacana, yang demikian itu dianggapnya sebagai sebuah

prinsip-prisnsip fundamental bagi arena, dimana menurutnya ada sebuah

kebenaran yang terkandung di dalamnya. Doxic attitude (sikap) telah membuat

tubuh dan ketidaksadaran menerima kondisi-kondisi yang sebenarnya tidak masuk

akal dan sifatnya mengikat. Doxa beroperasi seolah-olah sebagai kebenaran

obyektif secara keseluruhan di ruang sosial. Doxa merupakan habitus-spesific,

sehingga apa yang menjadi doxa bagi individu atau sekelompok orang dari

habitus tertentu, tidak berarti menjadi doxa bagi sekelompok orang dengan

habitus yang lainnya37

. Dengan demikian, doxa dapat dimaknai sebagai suatu

bentuk kebenaran obyektif yang diterima dalam lintas ruang sosial, dari suatu

praktik dan persepsi individu menjadi praktik dan persepsi yang diterima

kelompok atau institusi lainnya. Artinya sebuah doxa dapat menciptakan dan

memproduksi legitimasi bagi wacana dominan yang dilakukan oleh agen yang ada

dalam struktur di realitas sosial. Inilah yang disebut Bayo dalam tesisnya bahwa

Doxa menggambarkan adanya kesesuaian antara struktur mental dan objektif38

.

37 Rohit Chopra, Neoliberalism as Doxa: Bourdieu‟s Theory Of The State And The Contemporary

Indian Discourse On Globalization And Liberalization, Cultural Studies, 17 3/4/2003, hal.

419–444. 38 Longgina Novadona Bayo, Kuasa Adat atas Gereja dan Negara di Adonara, Tesis, UGM,

2010, hal.22.

Page 40: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

40 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Di dalam doxa, agen yang profesional akan menempati kedudukan

penguasa cenderung mengembangkan dan melestarikan orthodoxa, yaitu dimana

wacana yang mendukung keberadaan wacana dominan yang dianggap absah

(doxa) dalam arena. Sedangkan agen yang menempati kedudukan marginal

cenderung mengembangkan dan melestarikan heterodoxa, yaitu yang

dimaksudnya sebagai wacana yang menentang keberadaan suatu doxa39

.

Dalam konteks relasi tato dan kuasa, hadirnya penguasa-penguasa

informal dalam domain ekonomi maupun politik merupakan bagian dari

konstruksi yang dibangun secara terus menerus melalui keberadaan efek “kuasa”

yang hadir melalui tato yang mereka pakai. Kepercayaan terhadap hal itu yang

diterima secara langsung dan sebagai sesuatu kebenaran, yang kemudian

terpelihara dengan baik dalam pikiran orang bertato maupun masyarakat setempat,

yang akhirnya telah melegitimasi posisi mereka hingga hari ini di ruang sosial

politik Bali. Oleh karena itu, penting kiranya gagasan Bourdieu di atas, baik

habitus maupun doxa digunakan sebagai alat untuk mengkaji fenomena tersebut.

Dengan demikian, apa yang ditawarkan Bourdieu melalui berbagai

konsepnya tersebut telah memberikan penjelasan, bahwa praktik kuasa yang

melekat pada fungsi (politis) tato tercipta atas aktifitas akumulasi modal dan

habitus oleh pemiliknya yang berupaya membentuk pengakuan atas

keberadaannya dalam ruang-ruang kuasa informal. Itu sebabnya, disini penulis

menyebut bahwa praktik kuasa oleh pemilik tato tidak bisa lepas dari faktor

habitus, yaitu kebiasaan-kebiasaan (perilaku dan penampilan si pengguna tato)

39 Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, Op,cit, hal.159-171.

Page 41: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

41 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

yang terjadi sudah sejak lama, yang merupakan hasil pembelajaran secara halus,

kepercayaan terhadap kebenaran tato sebagai sumber legitimasi “kuasa” menjadi

alasannya.

Adapun kepemilikan dan penguasaan modal sosial, maupun modal

simbolik oleh pemakai tato menjadi faktor lain dalam memperkokoh dan

mempertahankan keberadaan mereka sebagai penguasa informal di setiap arena

yang dimaksud dalam penelitian ini. Dari paparan di atas tampak nyata, ada

perkembangan bahwa tato di Bali yang selama ini identik dengan sebuah

kebudayaan, kemudian direduksi oleh masing-masing pemiliknya menjadi basis

legitimasi kuasa. Hal itu tentu bisa saja terjadi, dikarenakan adanya pengelolan

integrasi ketiga konsep habitus, capital, dan field yang dilakukan oleh orang-

orang bertato dalam upayanya untuk mendominasi kelompok lain di luar mereka,

atau bahkan sesama mereka.

Atas hal itu, dalam penelitian kali ini penulis kembali ingin menegaskan

bahwa tato sebagai sebuah modal simbolik yang dimiliki oleh individual, ternyata

tanpa diakui dan dikenali apakah ia bernilai kuasa atau tidak, kekuasaan itu tetap

bekerja dengan habitus dan arena yang dimilikinya. Artinya sebelumnya memang

sudah ada konstruksi “kuasa” terhadap tato secara terus menerus, sehingga secara

tidak sadar simbol tato tersebut tetaplah bernilai kuasa yang memberi efek pada

pemiliknya.

Page 42: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

42 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif40

, yakni untuk

mengungkapkan realitas sosial, seperti fenomena orang-orang bertato yang

menekankan bagaimana reproduksi kuasa dilakukan melalui konstruksi sosial oleh

masing-masing pengguna tato. Penelitian ini akan mempelajari mengenai

bagaimana tato bekerja dalam relasi-relasi kuasa di dalam realitas sosial, yakni

perlu mengidentifikasi berbagai macam variabel yang tidak bisa „diukur‟ secara

kuantitatif. Terlebih, penelitian mengenai isu ini membutuhkan pemahaman yang

kompleks dan detail. Detail ini hanya dapat direngkuh dengan cara berbicara

secara langsung dengan informan, menyambangi rumah maupun tempat kerja

mereka, membaca perilaku mereka dalam segala hal kegiatannya dan

mengizinkan mereka untuk menceritakan kisah mereka tanpa harus dibebani

dengan apa yang kita harapkan. Dalam kehidupan orang-orang bertato, realitas

sosial mereka bukan saja ditampakkan melalui fenomena lambang atau corak tato

yang mereka gunakan, melainkan melalui relasi kuasa di antara mereka sesama

yang bertato maupun antara mereka dengan orang-orang di luar kelompok

mereka.

Penelitian ini akan menggali suatu fenomena tertentu dalam suatu waktu

dan kegiatan (program, event, proses, atau kelompok sosial) dan mengumpulkan

informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur

pengumpulan data selama periode tertentu. Dalam penelitian ini, untuk

optimalisasi pengumpulan data di lapangan, terutama ketika harus „masuk‟ ke

40 David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Penelitian Ilmu Politik, Nusa Media,

Bandung, 2011, hal.240.

Page 43: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

43 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

dalam sebuah kehidupan sosial orang-orang bertato yang memiliki nilai dan cara

interaksi yang sangat spesifik, maka peneliti merasa perlu untuk „meminjam‟

teknik kualitatif fenomenologi sebagai metode teknik penelitiannya. Sedangkan

dalam tradisi berpikir, penulisan ini menggunakan interpretif yang mencoba

menjawab pertanyaan besar penelitian tentang bagaimana relasi antara kuasa dan

tato41

. Adapun dalam tradisi ini, fenomena yang terlihat nantinya tidak eksis

secara independen atau terlepas dari interpretasi kita tentang mereka; melainkan

pemahaman/interpretasi terhadap fenomena inilah yang nantinya mempengaruhi

hasil penelitian42

.

Jelasnya, dengan menggunakan metode fenomenologi, penelitian ini

menempatkan individu pemakai tato sebagai “pemberi” makna. Pemaknaan yang

berbuntut pada tindakan ini didasari oleh pengalaman sosial yang bersifat

intensional43

. Secara umum, riset dengan menggunakan metode fenomenologi ini

bertujuan untuk menjelaskan situasi yang dialami oleh pribadi individu dalam

kehidupan sehari-hari. Yakni, membantu menjelaskan makna pengalaman hidup

orang-orang bertato tentang suatu konsep atau gejala “kuasa” yang dialaminya

atas pandangan dan pendapat mereka sendiri. Fenomenologi tidak mencoba

mereduksi suatu gejala menjadi variabel-variabel yang bisa diidentifikasi dan

mengontrol konteks dimana gejala itu hendak dikaji, melainkan bertujuan untuk

41 Donny, G, A, Pengantar Fenomenologi, Penerbit Koekoesan,Jakarta, 2010, hal.4. 42 David Marsh, dan Gerry Stoker, Op.Cit, hal.32. 43 Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, UGM Press, Yogyakarta, 2012, hal.285.

Page 44: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

44 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

sebisa mungkin tetap selaras dengan gejala itu dan dengan konteks dimana gejala

itu muncul44

.

Di dalam aplikasinya, fenomenologi sebagai pendekatan di dalam kajian

ilmu-ilmu sosial–kemanusiaan ditekankan pada hal-hal berikut: 1) Fenomenologi

terfokus pada penampakan sesuatu. 2) Fenomenologi concern terhadap

keseluruhan, dengan menguji sebuah entitas dalam berbagai sudut pandang,

anggel dan perspektif sehingga unifikasi visinya didapatkan. 3) Fenomenologi

mencari makna dari penampakan, sehingga didapatkan esensinya melalui intuisi

dan refleksi atas tindakan berkesadaran dari pengalaman, ide, konsep, putusan dan

pemahaman. 4) Fenomenologi berkomitmen dengan deskripsi pengalaman, bukan

penjelasan atau analisis. 5) Fenomenologi berakar di dalam pertanyaan yang

memberi arah dan berfokus pada makna. 6) Subjek dan objek terintegrasi atau

tidak ada pemilahan subjek objek. 7) Pada keseluruhan penyelidikan realitas

intersubjektif adalah bagian dari proses. 8) Data tentang pengalaman, pikiran,

intuisi, refleksi, dan putusan dijadikan sebagai kejadian-kejadian primer dari

penyelidikan ilmiah. 9) Pertanyaan penelitian difokuskan, diarahkan dan

dirumuskan secara hati-hati45

.

Melalui gambaran singkat di atas, jelas, pendekatan ini dapat

diimplementasikan untuk kajian pemakai tato di Bali. Keterkaitan tato dan kuasa

di Bali, sesungguhnya adalah fenomena yang menarik untuk dikaji melalui

pendekatan ini. Maka yang akan digali melalui metode ini ialah situasi dimana

44 Jonathan A, Smith, Psikologi Kualitatif, Sage Publication, New Delhi, 2006, hal.36. 45 Nur Syam, Tarekat Petani, Lkis, Yogyakarta, 2013, hal.35.

Page 45: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

45 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

para pemakai tato mengalami sendiri pengalaman mereka sehingga bisa

menggambarkan/menjelaskan seperti apa sebenarnya realitas yang terjadi dalam

kehidupan mereka, ini bertujuan untuk menangkap secermat mungkin bagaimana

gejala itu dialami oleh pemakai tato sebagai objek yang diteliti.

Teknik kualitatif fenomenologi ini akan diwujudkan melalui keterlibatan

peneliti dalam waktu 3-4 bulan di lokasi penelitian, dengan intensitas tinggi dan

tanpa interupsi46

. Metode ini menjadi penting bagi peneliti untuk dapat

mengombinasikan yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Karena apa yang

dijawab oleh informan/narasumber bisa jadi sifatnya normatif, sehingga perlu

untuk melihat lebih lanjut bagaimana informan menafsirkan yang dikatakan dalam

perilakunya.

1.6.1. Tahapan-tahapan prosedur pengumpulan data

Dalam penelitian ini, peneliti akan memperoleh data dari informan

langsung. Data-data yang diperoleh melalui beberapa proses yakni seperti

wawancara dan observasi, selain itu juga didukung dengan rujukan data sekunder

berupa beberapa literatur dan sumber data penunjang, seperti buku, media massa,

laporan penelitian, jurnal, majalah dan sebagainya. Kemudian, karena penelitian

ini menggunakan pendekatan fenomenologi, maka penelitian ini akan dilengkapi

dengan mengamati perilaku mereka secara langsung, diharapkan dengan

menggunakan teknik-teknik ini satu dengan lainnya akan saling melengkapi.

Selanjutnya peneliti melakukan aktivitas tahapan penelitian dengan mengacu pada

46 Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal.61.

Page 46: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

46 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

aktivitas pengumpulan data dari Creswell, yang disebutnya sebagai lingkaran

pengumpulan data47

.

Berikut pola prosedurnya:

Gambar.1.1. Lingkaran Tahapan Pengumpulan data

Berdasarkan bagan di atas, pola lingkaran pengumpulan data dimulai dari

locating site/individual, gaining access and making, purposefully sampling,

collecting data, recording information, resolving field issues, dan diakhiri dengan

storing data. Setelah prosedur ini dilewati, Creswell menyarankan agar peneliti

memulainya pada penentuan tempat atau individu siapa yang akan menjadi

informan penelitian ini.

47 John W, Creswell. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition,

Sage Publication, USA, 1998, hal.110.

Storing

Data

Gaining Access

and Making

Rapport

Locating

Site/Individu

al

Collecting

data

Recording

Information

Purposefully

Sampling Resolving

Field Issues

Page 47: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

47 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

1.6.2. Lokasi Penelitian dan Informan

Lokasi penelitian dalam sebuah tradisi studi fenomenologi bisa satu

tempat atau tersebar, dengan memperhatikan pada orang-orang yang akan menjadi

informan dapat memberikan penjelasan dengan baik, dengan jumlah informan

sebanyak 3-10 orang48

.

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan lebih dari itu, hanya

saja yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini sebanyak 8-10 orang, sama

seperti yang disarankan oleh Creswell. Selain itu, penelitian ini dipilih lokasi yang

tersebar di seluruh wilayah Bali, dengan memperhatikan beberapa aspek seperti:

Pengamatan langsung terhadap hadirnya orang-orang bertato dalam arena politik

pengamanan Bali, misal ambil contoh objek wisata pantai Kuta, hingga hadirnya

mereka dalam sebuah kelompok organisasi masyarakat di Bali. Adapun kelompok

yang dijadikan informan yakni Laskar Bali, Baladika dan Pecalang. Pendekatan

yang digunakan dalam membaca keberadaan orang-orang bertato dari kelompok

tersebut ialah dengan menggunakan keempat konsep Bourdieu yakni habitus,

capital, field, dan practice yang dimiliki oleh masing-masing kelompok dengan

keberadaan mereka di domain-domain tertentu.

Adapun pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara

komprehensif yakni seleksi berdasarkan kasus, kejadian (event), dan unsur yang

48 Ibid, hal.122.

Page 48: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

48 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

relevan49

. Dari pertimbangan tersebut, berikut rencana daftar informan yang akan

dijadikan penulis sebagai sumber informasi dalam penelitian ini:

1. Petinggi Laskar Bali, Baladika, dan Pecalang

2. Delapan sampai sepuluh orang yang memiliki peranan penting dalam

kelompok tersebut

3. Beberapa anggota dalam kelompok tersebut yang hadir sebagai aktor di

lapangan dalam kegiatannya di domain ekonomi maupun politik

pengamanan

4. Anggota di ketiga kelompok yang tidak terlibat di dalam domain-domain

tersebut

1.6.3. Gaining Acces and Making Rapport ( Proses Pendekatan Informan)

Karena informan yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah informan

yang seperti “biasanya”. Misalkan, sulitnya mereka menerima pihak asing serta

menaruh kecurigaan yang tinggi terhadap riset ini, maka untuk melakukan

wawancara mendalam terhadap mereka tidaklah mudah. Untuk itu, perlu beberapa

strategi yang digunakan dalam upayannya mencapai kedalaman hasil wawancara.

Pertama, memanfaatkan tokoh penting yang kaitannya dengan kelompok yang

akan diteliti. Kedua, menciptakan pertemuan yang kesannya tidak disengaja.

49 Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006,

hal.12-13.

Page 49: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

49 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Setelah mendapatkan akses, maka yang dilakukan ialah

menindaklanjutinya dengan membangun kedekatan dengan informan. Ini

ditujukkan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dan sesuai dengan

harapan.

1.6.4. Strategi Pemilihan Informan

Memilih informan yang dianggap mampu menjelaskan pengalaman

hidupnya dan mampu memberi pandangannya mengenai sesuatu yang nantinya

akan dipertanyakan. Dalam proses penentuan orang-orang bertato seperti apa yang

akan menjadi informan bukanlah perkara mudah, perlu ketelatenan dan

pemahaman terhadap posisi mereka di dalam fenomena yang akan dilihat.

Memilih orang-orang bertato yang bisa mewakili keberadaan kelompoknya dan

mewakili mereka sendiri secara individu, penting dilakukan untuk mendapatkan

informasi yang luas dengan waktu yang singkat. Untuk itu, memilih para anggota

maupun petinggi di ketiga kelompok tersebut yang dianggap memenuhi

persyaratan seperti yang disebutkan di atas, sudah cukup tepat.

1.6.5. Teknik Pengumpulan Data

Asumsi dasar yang dibangun adalah bahwa bentuk sosial dan praktik

sosial orang-orang bertato tersebut dianggap merupakan susunan yang ada dalam

pikiran (mind) orang-orang bertato, dan tugas peneliti adalah mengoreknya keluar

dari pikiran mereka sehingga membutuhkan hubungan yang tidak berjarak antara

peneliti dengan subjek penelitian. Untuk merealisasikan hal-hal tersebut, maka

peneliti akan melakukan 4 teknik yang berbeda dalam melakukan penelitian.

Page 50: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

50 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Seperti apa yang disebutkan oleh Creswell bahwa dalam studi kualitatif

terdapat beberapa teknik dalam melakuan pengumpulan data50

, yakni: Pertama,

Observasi: observasi kualitatif, di dalamnya peneliti langsung turun ke lapangan

untuk mengamati dan mengikuti keseharian informan dengan melihat perilaku dan

aktifitasnya di dalam lokasi penelitian. Dalam pengamatan seperti ini, peneliti

dituntut untuk merekam atau mencatat dengan cara terstruktur atau semistruktur51

.

Observasi dilakukan melalui beberapa tahap, tahap pertama ialah pemilihan

setting. Terdapat berbagai observasi yang masing-masing menyangkut beberapa

isu, yakni:52

1. Tingkat keterlibatan periset, 2. Fokus yang diamati, 3. Sikap

periset, 4. Lama pengamatan.

Selain itu, observasi dilakukan secara netral, artinya peneliti hanya

menemani informan dalam melakukan aktivitasnya. Adapula sesekali peneliti

melakukan penelitian ini tanpa diketahui informan, yakni dengan menjaga jarak

dengannya, ini dimaksudkan untuk mengamati perilaku mereka agar perilaku atau

pengalaman yang mereka munculkan tidak terganggu atau bahkan dikhawatirkan

akan menjadi tidak natural oleh adanya kehadiran peneliti dalam setiap

aktifitasnya. Tujuan dari observasi ini ialah peneliti mendapatkan pengalaman

langsung dari informan, peneliti juga dapat langsung merekam ketika ada

informasi yang muncul. Ini tentu membantu peneliti dalam menemukan data-data

yang diharapkan. Kedua, seperti yang telah disebutkan dalam prosedur

50 John W, Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition,

Op,Cit, hal.120. 51 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, 2012, hal.267. 52 Agus Salim, Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial, Op,Cit, hal.15.

Page 51: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

51 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

pengumpulan data wawancara secara langsung dilakukan secara mendalam.

Peneliti dapat melakukan face to face interview53

. Proses ini tentu saja

membutuhkan pertanyaan-pertanyaan. Hanya saja, pertanyaan-pertanyaan yang

diajukan tidak terstruktur dan lebih cair. Ini dilakukan untuk menghilangkan

kondisi formalitas untuk menyesuaikan keadaan orang-orang bertato. Selanjutnya,

dalam wawancara ini perekam audio maupun video digunakan untuk

mendokumentasikan percakapan antara peneliti dan informan. Proses wawancara

ini penting bagi peneliti, ketika peneliti tidak bisa mengobservasi secara langsung

semua informan.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, wawancara dalam penelitian

ini dilakukan secara khusus yakni dilakukan dengan cara informal dan terbuka.

Oleh karena itu, wawancara dalam penelitan ini meliputi pertanyaan yang bersifat

fenomenologis:

Pertama, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada

orang-orang bertato terkait Field:

Adakah tempat-tempat tertentu untuk bertemunya anda dan teman-teman

sesama orang-orang yang bertato?

Pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan anda bersama teman-teman?

Bagaimana tanggapan anda terhadap larangan orang-orang bertato kerja

di tempat yang formal? sejauhmana anda menyikapinya?

53 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif Dan Mixed, Op,Cit.

Page 52: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

52 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Apa perasaan yang muncul ketika anda hadir dalam arena-arena

tertentu?

Kedua, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada

orang-orang bertato terkait Capital:

Apa alasan anda untuk mengenakan tato di tubuh anda?

Mengapa motif atau corak tato ini yang anda pilih?

Apa yang anda pikirkan berkaitan dengan tato yang anda kenakan?

Adakah pengaruh pada diri anda setelah mengenakan tato (positif-

negatif)?

Ketiga, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada

orang-orang bertato terkait Habitus:

Dapatkan Anda menceritakan pengalaman anda mengenai proses pertama

kali anda bertato?

Bagaimana anda berkomunikasi dengan lingkungan anda? Adakah

perbedaan cara ketika anda berhadapan dengan orang-orang yang

sesama bertato dan orang yang tidak bertato?

Bagaimana pengalaman anda selama bekerja?

Adakah perubahan yang anda rasakan ketika bertato dan sebelum

bertato? Dan perubahan apa yang anda rasakan?

Apakah menurut anda ada pengaruh tato yang anda kenakan terhadap

rasa hormat orang untuk tetap percaya menempatkan anda sebagai

“pekerja-pekerjanya”?

Page 53: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

53 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Keempat, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada

orang-orang bertato terkait practice social:

Anda mungkin memiliki pengalaman khusus ketika berinteraksi dengan

masyarakat di sekitar tempat tinggal maupun tempat kerja anda.

Dapatkah anda berbagi mengenai pengalaman tersebut?

Bagaimana cara anda dan teman-teman membuat orang percaya akan

kemampuan kalian ketika hadir sebagai pengamanan di domain ekonomi

dan pemangamanan di domain politik?

Bagaimana peristiwa yang anda alami dalam mempengaruhi orang lain di

sekitar anda?

Lalu, hal penting lain yang harus digunakan peneliti untuk melengkapi

data yang diperoleh langsung dari informan ialah menggunakan teknik

dokumentasi, yaitu mengambil data-data tertulis seperti; buku, media massa,

laporan penelitian, jurnal, majalah dan sebagainya. Terakhir, menggunakan

Audio-visual seperti; foto, film, video. Hal ini dilakukan untuk membantu peneliti

untuk menyajikan data yang berbobot, dapat diakses kapan saja dan menghemat

waktu peneliti dalam proses penelitian.

Selanjutnya, untuk memelihara rangkaian antar bukti apa yang didapat di

lapangan melaui masing-masing teknik, maka penulis meminjam cara Creswell,

dalam menjelaskan pengumpulan data melalui matriks sumber informasi. Matriks

ini mengandung berbagai tipe data: wawancara, observasi, dokumen, materi

audio-visual beserta bentuk spesifik dari informasi serta berupa rincian dari

Page 54: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

54 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

tempat di mana fenomena-fenomena yang relevan dengan fokus penelitian ini

terjadi54

. Penyampaian data melalui matriks ini ditujukan untuk melihat

kedalaman dan banyaknya bentuk dari pengumpulan data sehingga menunjukkan

kompleksitas dari kasus.

Tabel. 1.2. Matrix Pengumpulan Data

Instrumen

yang akan

diteliti

Catatan

observasi

lapangan

Catatan dan

trakskrip

wawancara

Dokumentasi Audio-Visual

Laskar Bali,

Baladika dan

Pecalang di

politik

pengamanan

Bali

Karena data yang dikumpulkan juga bukan hanya dari hasil wawancara

ataupun pengamatan langsung, namun juga dokumen-dokumen yang terkait

dengan aktivitas orang-orang bertato di Bali. Maka, berikut ini adalah rincian

berbagai data yang dibutuhkan berdasarkan konsep kunci, sumber data, dan juga

teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini:

54 Ibid, hal.268-270.

Page 55: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

55 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Tabel.1.3. Pemetaan Proses Pengumpulan Data

Konsep Kunci Data yang dicari Sumber Data Teknik

pengumpulan

data yang dipakai

Napak Tilas

keberadaan tato di

Pulau Seribu Pura

(Bab II)

Membaca keberadaan

tato di Pulau Seribu

Pura beserta

kemunculan ormas-

ormas di Bali yang

terkait dengan

kepemilikan tato para

anggotanya

- Informan Utama

- Dokumentasi

- Foto

- Wawancara

- Studi

Dokumentasi

- Audio Visual

Konstruksi relasi

kuasa dan identitas

orang bertato:

Menegaskan

Kejantanan,

Meneguhkan

Kekuasaan

(Bab III)

- Alasan dan proses

membuat tato oleh

pemiliknya.

- Justifikasi makna

Tato oleh

pemiliknya

- Perilaku yang

tampak dari orang-

orang bertato.

- Informan Utama

- Informan

Pendukung

- Dokumentasi

- Foto, Video

- Wawancara

- Pengamatan

Langsung

- Studi

Dokumentasi

- Audio Visual

Politik

pengamanan Bali

sebagai arena

pejantan Bali

bererbut kuasa

(Bab IV)

- Memahami arena

“pelanggengan”

dominasi orang-

orang bertato di

Bali Beserta modal

permainannya.

- Modal apa saja

yang terlacak dari

pemakai tato

- Dinamika yang

- Informan Utama

- Informan

Pendukung

- Dokumentasi

- Foto, Video

- Wawancara

- Pengamatan

Langsung

- Studi

Dokumentasi

- Audio Visual

Page 56: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

56 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Konsep Kunci Data yang dicari Sumber Data Teknik

pengumpulan

data yang dipakai

terjadi di ketiga

kelompok tersebut

- Bagaimana

Interaksi antara

orang-orang bertato

dengan dunia

luarnya

Strategi kuasa

pemilik tato di Bali

(Bab V)

- Strategi berebut dan

bertahan dalam

kuasa politik

pengamanan Bali

- Strategi

menciptakan

kepercayaan akan

posisi mereka

sebagai penguasa

informal.

- Informan Utama

- Informan

Pendukung

- Dokumentasi

- Foto, video

- Wawancara

- Pengamatan

langsung

- Studi

Dokumentasi

- Audio-Visual

Penggunaan matriks ini akan bermanfaat apabila diterapkan dalam suatu

penelitian yang kaya informasi seperti dalam penelitian ini. Selain itu, matrix

tersebut membantu peneliti dalam mengoperasionalkan masing-masing konsep

kunci di dalam penelitiannya. Paling tidak, gambaran awal yang bisa dilakukan

untuk mengoperasionalkan kesemuanya ialah seperti sebegai berikut:

Field: Merekam jejak orang-orang bertato di tempat-tempat tertentu dalam

memainkan habitus dan capital yang dimilikinya. Mulai dari sini, maka konsep

lainnya akan bisa terekam. Seperti yang dikatakan oleh Bourdieu, bahwa arena

Page 57: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

57 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

akan mengkondisikan habitus dan arena terus menuntut agen untuk memiliki

capital khusus sebagai alat untuk mempertahankan dominasinya. Untuk

sementara, hadirnya orang-orang bertato di Bali yang terkait dengan kekuasaan

terlihat pada domain politik pengamanan di Bali.

Capital: Kekuasaan itu abstrak, hanya saja konsekuensi dari kekuasaan itu

tampak nyata. Hal itu dapat dilihat dari capital pemilik “kuasa”.

- Modal simbolik orang-orang bertato: Penghormatan terhadap mereka

yang bertato dalam peristiwa-peristiwa sosial. Ini dibuktikan dengan

dipercayanya mereka dalam memberikan pengamanan yang baik pada

lokasi-lokasi strategis.

- Modal sosial orang-orang bertato: Sejaumana jejaring yang dibangun

orang-orang bertato. Ini terbukti dari kuatnya jejaring orang-orang

bertato di Bali, baik antar sesama mereka yang bertato maupun dengan

orang di luar mereka, termasuk penguasa formal di Bali seperti

Gubernur.

Habitus: Merekam segala disposisi / karakteristik / kebiasaan orang-orang

bertato di setiap peristiwa sosial yang dilaluinya.

- Preman: Adanya kepercayaan orang-orang terhadap kemampuan orang

bertato dalam memberikan pengamanan yang baik pada tempat-tempat

usahanya (memberi rasa takut pada orang yang membuat onar pada

tempat usaha tersebut). Ini muncul seiring sejarah tato yang dulunya

diidentikan dengan kriminalitas.

Page 58: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

58 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

- Maskulinitas: Konsep diri orang-orang bertato, terkait dengan persepsi

tentang diri sendiri yang relatif menetap setelah mengenakan tato,

biasanya mereka identikan dengan kejantanan dan kekuatan.

- Kekar, sangar dan melanggar / Gagah, wibawa dan profesional: “Gaya”

dalam berpenampilan agar bisa diterima sebagai aktor pengamanan di

Bali.

Practice: Merekam segala bentuk aktivitas orang-orang bertato, yang

kaitannya dengan pengelolaan habitus dan capital oleh orang-orang bertato, di

setiap arena dalam upayanya melestarikan dominasi kuasanya.

1.6.6. Prosedur Pencatatan Data

Yang dimaksud prosedur pencatatan data disini ialah proses pencatatan

hasil wawancara, Creswell menyarankan 4 cara dalam proses ini, yakni:

1. Gunakan Judul untuk mencatat informasi penting dan sebagai

pengingat tujuan wawancara dilakukan.

2. Tempatkan jarak di antara pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada

lembaran khusus

3. Ingatlah pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk memperkecil

kehilangan kontak mata.

Page 59: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

59 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

4. Catatlah komentar-komentar penutup yang menyatakan ucapan

terimakasih kepada narasumber, dan mintalah informasi lanjut jika

diperlukan wawancara di kemudian hari kepada informan55

.

1.6.7. Isu-isu Lapangan

Ini dimaksudkan untuk merekam beberapa kejadian dalam sebuah

penelitian yang terkait dengan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaanya. Artinya,

bagaimana kondisi-kondisi yang terjadi selama pengamatan dipengaruhi oleh

beberapa aktifitas yang berkaitan dengan isu penelitian. Misalkan, hadirnya polisi

dalam ruang kerja mereka pada arena politik keamanan wisata. Maka, yang

diamati ialah bagaimana interaksi yang terlihat di antara mereka.

1.6.8. Proses Penyimpanan data

Proses akhir dari pengumpulan data yakni penyimpanan data (storing

data). Seluruh bentuk data atau informasi yang didapat, baik melalui observasi

ataupun wawancara dikumpulkan ke dalam kategorinya masing-masing untuk

disimpan ke dalam komputer, hardisk, cd maupun ke tempat lainnya yang bisa

“membackup” seluruh data penelitian yang didapat. Bagi creswell56

ini dilakukan

bertujuan untuk melindungi dan mempermudah peneliti dalam proses pengolahan

data nantinya.

55 John W, Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition,

Op,Cit, hal.109-126. 56 Ibid, hal.134.

Page 60: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

60 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

1.6.9. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana

pergulatan praktik sosial orang-orang bertato menjadi penguasa informal serta

bagaimana proses konstruksi makna yang dibangun orang-orang bertato. Setelah

data yang telah dikumpulkan terkumpul, maka akan dianalisis dengan

menggunakan beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan seperti yang

dianjurkan oleh Creswell, diantaranya 57

:

1. Menyiapkan dan mengorganisasikan data

Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui pengamatan

langsung maupun wawancara mendalam (in-depth interview), dimana data

tersebut direkam dengan tape recorder dibantu alat tulis lainnya. Lalu data di

sortir dan dirangkai ke dalam tipe-tipe yang berbeda. Ada proses dimana peneliti

mengkategorikan data-data penelitian yang diperolehnya. Ini dilakukan agar

memudahkannya dalam membaca dan memahami informasi yang dapat diperoleh

dari data tersebut.

Pada tahap ini dibutuhkan pengertian yang mendalam terhadap data,

perhatian yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa

yang ingin digali.

2. Membaca seluruh data

Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang secara utuh, agar penulis

mengerti benar atas data dan hasil yang telah didapatkan. Selain itu, proses ini

57 John, W, Creswell, Research Design:Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches.

Sage Publication, London, 2009, hal.185-189.

Page 61: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

61 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

dapat membantu peneliti dalam menemukan genereal sense dari informasi untuk

bisa merefleksikan semuanya ke dalam penjelasan yang utuh.

3. Mendetailkan proses analisis dengan menggunakan coding.

Berdasarkan kerangka teori, pedoman wawancara dan pedoman

observasi, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan

pedoman dalam melakukan coding. Data yang telah dikelompokan tersebut oleh

peneliti dicoba untuk dipahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting

serta kata kuncinya. Sehingga peneliti dapat menangkap pengalaman,

permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. Sebelum masuk ke step 4,

peneliti harus melewati proses coding. Pertama, peneliti harus memiliki sense dari

semuanya, yakni dengan membaca semua transkip secara datail. Kedua, ambil

dokumen yang dianggap paling menarik. Ketiga, membuat list dari semua topik

data. Keempat, kemudian buatlah list dan kembali ke data. Kelima, temukan kata

yang paling mendiskripsikan topik penelitian dan kembalikan ke kategori data.

Keenam, buatlah keputusan akhir pada inti data dari masing-masing kategori dan

kodenya disusun berdasarkan alpabeth. Ketujuh, memasang dan mengumpulkan

material data kepada masing-masing kategori dalam satu tempat. Kedelapan,

lakukan analisis sementara terhadap data.

4. Menggunakan proses coding untuk menghasilkan deskripsi dari informan

sebagaimana tema atau kategori yang telah disusun untuk sebuah analisis.

5. Kembangkan bagaimana deskripsi dan tema itu dapat di representasikan ke

dalam narasi kualitatif.

Page 62: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

62 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

Proses ini dilakukan untuk menyampaikan kesimpulan dari analisis

terhadap data yang diperoleh.

6. Menulis hasil penelitian lewat interpretasi dari data tersebut.

Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu

hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang

dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah

presentase data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian

berdasarkan wawancara mendalam dan observasi. Selanjutnya dilakukan

interprestasi secara keseluruhan, dimana di dalamnya mencangkup keseluruhan

kesimpulan dari hasil penelitian dan dibandingkan dengan literatur ataupun teori

yang digunakan.

1.7. Sistematika Penulisan:

Bab I Pendahuluan

Latar belakang, rumusan masalah, literature review, beserta kerangka

teori, dan metode penelitian yang terkandung di dalamnya bertujuan untuk

mengungkapkan suatu landasan pemikiran dan bagaimana cara bekerjanya. Yang

bertujuan untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang pokok

permasalahan di dalam penelitian ini.

Bab II Napak Tilas Keberadaan Tato di Pulau Seribu Pura

Bagaimana sejarah perkembangan tato di Indonesia dan kaitannya

dengan kekuasaan? Berbicara mengenai sejarah kehadiran tato di Indonesia,

sekaligus dengan berbagai asosiasinya. Bagaimana tato dimaknai dan kaitannya

Page 63: Bab I Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77848/potongan/S2-2015... · yang diartikan sebagai gambar atau desain yang dibuat secara permanen

63 | P o l i t i k P e m i l i k T a t o d i B a l i

dengan praktik-praktik kekuasaan secara umum di Indonesia dan di Bali pada

khususnya. Tujuan bab ini memahami kuasa orang bertato di Bali hari ini lewat

pemaknaan sejarah tato itu sendiri.

Bab III Konstruksi Relasi Kuasa dan Identitas Orang Bertato: Menegaskan

Kejantanan, Meneguhkan Kekuasaan

Bagaimana proses pembentukan habitus orang-orang bertato di tengah-

tengah masyarakat? Menjelaskan bagaimana tato secara terus menerus diproduksi

keberadaannya sebagai sebuah entitas kuasa. Bagaimana pemakai tato di Bali

mempolitisasi tatonya untuk hadir sebagai penguasa di arena ekonomi hingga

politik (sudut pandang pemakai tato). Apa yang melatarbelakangi pembuatan tato

oleh pemakainya? Fungsi dan makna tato dalam perspektif pemakai tato.

Bab IV Politik Pengamanan Bali sebagai Arena Pejantan Bali Berebut Kuasa

Bagaimana orang-orang bertato hadir di ruang sosialnya yang baru, yakni

politik pengamanan Bali? politik pengamanan Bali disini didefinisikan sebagai

arena perjuangan merebut dan merawat kuasa antar orang bertato.

Bab V Srategi Kuasa Pemilik Tato Di Bali

Bagaimana strategi orang bertato dalam mendominasi arena politik

pengamanan Bali? Bab ini akan menjelaskan bagaimana strategi dominasi oleh

pemilik tato, dilihat dari kumpulan peristiwa yang dilewati oleh masing-masing

penggunanya.

Bab VI Penutup: Temuan, kesimpulan dan Catatan Akhir