bab i pendahuluan -...

27
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu tujuan survei hidrografi adalah untuk memetakan topografi dasar laut dan perairan lainnya atau secara spesifik disebut sebagai pemetaan batimetri. Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto, 2001). Survei batimetri dilakukan dengan cara mengukur kedalaman pada titik-titik tertentu berdasarkan jalur yang telah direncanakan. Sebelum pengukuran harus dibuat rencana jalur survei sesuai wilayah yang akan dipetakan, agar kerepetan data yang diperoleh memenuhi syarat skala peta yang akan dihasilkan dan syarat lainnya. Sementara itu, pengukuran posisi titik dan kedalaman dilakukan secara serentak sehingga diperoleh data koordinat 3D (X, Y, dan Z) pada tiap titik dasar perairan yang diukur. Peralatan dan metode yang digunakan dalam pemetaan dasar perairan bermacam-macam jenisnya, secara umum berbasis pada sistem akustik sebagai pengukur kedalaman dan dikombinasikan dengan metode penentuan posisi. Jenis alat akustik yang dapat digunakan untuk survei hidrografi adalah jenis Singebeam Echosounder dan Multibeam Echosounder (Anonim, 2008), sementara peralatan penentuan posisi yang dapat digunakan adalah GPS (Abidin, 2007), peralatan Echosounder dan GPS dipasang secara bersama pada kapal survei. Saat melakukan pemeruman, kapal survei akan bergerak maju, akibatnya dapat menyebabkan adanya kesalahan teknis. Berdasarkan ketentuan SNI 7646:2010 (Anonim, 2010) tentang survei menggunakan Singlebeam Echosounder menyebutkan bahwa besar kecepatan kapal pada survei batimetri tidak boleh melebihi 7 knot (≈ 3,5 m/s). Menurut aturan ini kecepatan kapal dapat menyebabkan adanya kesalahan squat dan settlement. Squat adalah keadaan dimana haluan kapat lebih tenggelam saat menyesuaikan kecepatannya, sedangkan settlement adalah sifat wahana terapung yang posisinya akan lebih tenggelam saat diam daripada saat bergerak. Kesalahan squat dan 1

Upload: lydien

Post on 20-Aug-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Salah satu tujuan survei hidrografi adalah untuk memetakan topografi dasar

laut dan perairan lainnya atau secara spesifik disebut sebagai pemetaan batimetri.

Pemetaan batimetri merupakan keperluan mendasar dalam rangka penyediaan

informasi spasial untuk kegiatan, perencanaan dan pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan informasi di bidang kelautan (Soeprapto, 2001). Survei batimetri

dilakukan dengan cara mengukur kedalaman pada titik-titik tertentu berdasarkan

jalur yang telah direncanakan. Sebelum pengukuran harus dibuat rencana jalur survei

sesuai wilayah yang akan dipetakan, agar kerepetan data yang diperoleh memenuhi

syarat skala peta yang akan dihasilkan dan syarat lainnya. Sementara itu, pengukuran

posisi titik dan kedalaman dilakukan secara serentak sehingga diperoleh data

koordinat 3D (X, Y, dan Z) pada tiap titik dasar perairan yang diukur.

Peralatan dan metode yang digunakan dalam pemetaan dasar perairan

bermacam-macam jenisnya, secara umum berbasis pada sistem akustik sebagai

pengukur kedalaman dan dikombinasikan dengan metode penentuan posisi. Jenis alat

akustik yang dapat digunakan untuk survei hidrografi adalah jenis Singebeam

Echosounder dan Multibeam Echosounder (Anonim, 2008), sementara peralatan

penentuan posisi yang dapat digunakan adalah GPS (Abidin, 2007), peralatan

Echosounder dan GPS dipasang secara bersama pada kapal survei. Saat melakukan

pemeruman, kapal survei akan bergerak maju, akibatnya dapat menyebabkan adanya

kesalahan teknis. Berdasarkan ketentuan SNI 7646:2010 (Anonim, 2010) tentang

survei menggunakan Singlebeam Echosounder menyebutkan bahwa besar kecepatan

kapal pada survei batimetri tidak boleh melebihi 7 knot (≈ 3,5 m/s). Menurut aturan

ini kecepatan kapal dapat menyebabkan adanya kesalahan squat dan settlement.

Squat adalah keadaan dimana haluan kapat lebih tenggelam saat menyesuaikan

kecepatannya, sedangkan settlement adalah sifat wahana terapung yang posisinya

akan lebih tenggelam saat diam daripada saat bergerak. Kesalahan squat dan

1

2

settlement bersifat teknis, namun itu menunjukkan bahwa secara nyata kecepatan

gerak kapal memang memberikan pengaruh pada hasil pengukuran.

Selain kesalahan squat dan settlement terdapat pula kesalahan sistematis.

Secara matematis kecepatan menyebabkan arah pancaran gelombang suara tidak

merambat vertikal, atau ada selang waktu yang menyebabkan kapal telah bergerak

maju ketika gelombang suaranya merambat pergi pulang. Akibatnya ukuran

kedalaman yang dihasilkan tidak vertikal sedangkan posisi saat awal gelombang

dipancarkan berbeda dengan posisi saat gelombang diterima. Prinsipnya kecepatan

kapal akan menyebabkan beda kerangka acuan sehingga nlai besaran ukuran berbeda

dengan kerangka acuan bumi (diam), atau dalam hal ini terdapat kesalahan

matematis terhadap hasil pengukuran alat Singlebeam Echosounder yang diakibatkan

oleh gerak kapal.

Permasalahan ini dianggap layak untuk diangkat sebagai topik penelitian ini,

dengan alasan yang mendasarinya adalah untuk mengkaji perbedaan sistem kerangka

acuan akibat kecepatan kapal pada proses survei batimetri menggunakan alat

Singlebeam Echosounder dan melakukan perhitungan koreksi terhadap kesalahan

akibat kecepatan kapal. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan dengan maksud

memasukkan kecepatan kapal sebagai parameter yang berpengaruh pada hasil

pengukuran, disesuaikan dengan konsep hukum gerak dan kerangka acuan. Pengaruh

kecepatan dan kesalahan yang terjadi pada pengukuran posisi horizontal maupun

pengukuran kedalaman menjadi bahan analisis pada penelitian ini.

I.2. Rumusan Masalah

Permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah faktor

kecepatan kapal (bentuk gerak relatif) yang dapat memberi pengaruh kesalahan

besaran-besaran ukuran. Gerak kecepatan kapal terjadi pada saat dilakukan

pengukuran posisi dan kedalaman titik perum, karena dalam pengukuran titik perum

kapal harus bergerak melintasi jalur-jalur ditentukan yang menyebar pada wilayah

survei. Berdasarkan teori gerak, kecepatan kapal mempengaruhi hasil pengukuran

diakibatkan perbedaan kerangka acuan pengamatan atau dengan kata lain

menyebabkan beda nilai besaran jika dibandingkan dengan pengamat diam.

3

Pengaruh tersebut dapat menjadi masalah, sebab dalam pemetaan besaran-besaran

(koordinat) yang diukur dan digambarkan adalah besaran berdasarkan kerangka

acuan bumi (diam). Permasalahan penelitian ini secara umum terangkum dalam 2

pertanyaan di bawah ini:

1. Bagaimana kecepatan kapal mempengaruhi hasil pengukuran survei

hidrografi dengan alat Singlebeam Echosounder jika ditinjau secara

matematis?

2. Bagaimana cara pengolahan hasil ukuran tersebut agar sesuai dengan prinsip-

prinsip pemetaan?

1.3. Tujuan Penelitian

Hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Perhitungan koreksi hasil pengukuran Singlebeam Echosounder dari

kesalahan matematis yang disebabkan oleh pengaruh kecepatan kapal.

2. Analisis terhadap hasil pengujian statistik dari kesalahan yang disebabkan

oleh pengaruh kecepatan kapal untuk dibandingkan dengan hipotesis.

3. Penentuan dan penganalisisan pola kesalahan akibat kecepatan kapal

berdasarkan faktor nilai ukuran kedalaman dan nilai kecepatan kapal itu

sendiri.

I.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan diharapkan menjadi suatu penghubung antara

teori gerak (fisika) dengan teknis pelaksanaan survei hidrografi, dalam hal ini adalah

kaitan antara pengaruh kecepatan kapal dengan proses pemeruman menggunakan

Singlebeam Echosounder. Sehingga penelitian ini dapat memberikan informasi dan

menjelaskan hasil analisis tentang kesalahan sistematis yang diakibatkan oleh faktor

kecepatan kapal.

4

I.5. Batasan Masalah

Lingkup penelitian yang dilakukan adalah hitungan pengaruh kecepatan kapal

terhadap nilai ukuran hasil survei dengan menganggap terdapat kesalahan sistematis.

Agar dapat mengetahui pengaruh tersebut, nilai ukuran hasil survei dengan nilai yang

telah dikoreksi akan dianalisis dan diuji secara statistik. Sedangkan lingkup batasan

masalah yang dikerjakan dan berkaitan dengan spesifikasi data adalah sebagai

berikut:

1. Data ukuran yang digunakan merupakan hasil pengukuran dengan alat

berjenis Singlebeam Echosounder tipe Fishfinder GARMIN MAP Sounder

178C yang terintegrasi dengan antena GPS, alat merupakan milik

laboratorium hidrografi jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas

Teknik, Universitas Gadjah Mada. Lokasi pengukuran adalah waduk Sermo

di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon

Progo, Yogyakarta. Pengukuran dilakukan dengan beberapa sesi yang

berbeda pada bulan Desember 2011.

2. Ketelitian ukuran posisi GPS diketahui berdasarkan spesifikasi alat (jenis

receiver) dan metode pengukuran yang dilakukan, yaitu secara metode

absolut yang dapat diperoleh ketelitian hingga ± 3 m, tetapi karena

pembagian tingkat ketelitian mengacu pada orde pengukuran yang terdapat

dalam SNI 7646:2010 tentang survei hidrografi menggunakan Singlebeam

Echosounder, maka diasumsikan ketelitian GPS masuk dalam orde 1 (± 2 m).

3. Ketelitian kedalaman diketahui dari rumus pemodelan varian ukuran jarak

yang mengacu pada informasi standar alat Echosounder yang digunakan.

4. Berkaitan dengan akurasi nilai ukuran kedalaman, nilai kecepatan suara yang

digunakan adalah sesuai standar sebesar 1500 m/s, tanpa dilakukan koreksi

Barcheck, karena tidak mempengaruhi tujuan penetian ini. Meskipun

idealnya koreksi Barcheck harus dilakukan untuk memperoleh nilai

kedalaman yang akurat saat pembuatan peta.

5. Posisi 2D hasil pengukuran GPS adalah dalam nilai koordinat proyeksi UTM

(Universal Transverse Mercator).

5

6. Parameter kecepatan dan azimuth diturunkan berdasarkan beda posisi (jarak)

dan waktu antar titik, sehingga yang diperoleh hanya nilai rata-rata pada tiap

antar posisi bukan nilai sesaat di suatu posisi (realtime).

I.6. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian lain yang pernah dilakukan berkaitan dengan alat

Echosounder dan hasil analisisnya antara lain:

Knudsen (2009) melakukan penelitian tentang kinerja jangka panjang

penggunaan Echosounder, berkaitan dengan tren semakin baiknya metode kalibrasi

selama 3 dekade terakhir. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah akurasi

pengukuran Echosounder berpotensi ditingkatkan dengan memeriksa nilai kecepatan

suara pada jarak dekat dari transducer, sehingga secara otomatis dapat diketahui

variasi kecepatan suara terhadap EBA. Kalibrasi perlu dilakukan karena transducer

rentan dari kerusakan teknis dan penuaan atau bahkan kombinasi keduanya. Oleh

karena itu kalibrasi alat penting dilakukan secara rutin, dengan personel dan lokasi

yang berbeda (independen).

Menurut penelitian Pramanda (2013), yang melakukan pengujian kedalaman

antara alat Singlebeam Echosounder ODOM Hydrotrac II dengan Fishfinder

GARMIN Map Sounder 178C untuk tingkat kepercayaan 95% (-1,96 < to < +1,96)

menyebutkan bahwa: “secara statistik berbeda signifikan dengan data kedalaman

hasil pengukuran Fishfinder saat posisi transducer berdampingan. Sedangkan saat

posisi transducer berseberangan, data kedalaman hasil pengukuran Echosounder

ODOM tidak berbeda signifikan dengan data kedalaman hasil pengukuran

Fishfinder”. Penyebabnya adalah kepresisian data yang diperoleh, untuk posisi

transducer berdampingan standar deviasi beda kedalaman yang diperoleh lebih

tinggi (± 0,280 m) daripada posisi transducer berseberangan (± 0,456 m), sehingga

untuk tingkat kepresisian menentukan hasil pengujian statistik, karena semakin

presisi suatu data maka semakin terlihat perbedaannya (secara statistik) dengan

kelompok data lain.

Penelitian lain yang berkaitan dengan jenis alat Singlebeam Echosounder

berjenis Odom Hydrotrac II dilakukan oleh Septiyadi (2013). Penelitiannya

6

dilakukan dengan cara mengintegrasikankan menjadi satu sistem antara alat Odom

Hydrotrac II dengan Software Hydropro version 2.40 untuk melakukan survei

batimetri. Data hasil pengukuran dilakukan uji statistik dengan tingkat kepercayaan

95% (±1,96σ), dari dat diperoleh nilai mean error sebesar 0,036 m, nilai standar

deviasi (σ) beda kedalaman sebesar ±0,195 m dan nilai to sebesar 1,16. Sehingga

nilai to masih di bawah batas toleransi ±1,96. Kesimpulan penelitian ini adalah data

ukuran kedalaman yang diperoleh dari sistem Odom Hydrotrac II dengan Software

Hydropro masuk batas toleransi pada tingkat kepercayaan 95%.

Penelitian berkaitan dengan penentuan posisi horizontal yang menggunakan

alat Echosounder tipe Fishfinder GARMIN MAP Sounder 178C juga pernah

dilakukan oleh Mahbub (2011). Penelitiannya dilakukan dengan cara mengatur

pengukuran posisi GPS pada Fishfinder dari pengukuran absolut menjadi diferensial

(pengukuran relatif) metode NTRIP (Networked Transport of RTCM via Internet

Protocol), dan NTRIP akan terhubung dengan stasiun GNSS CORS. Sehingga

dibandingkan antara hasil pengukuran diferensial dengan metode absolut. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa perbedaan metode pengukuran menunjukkan

perbedaan bentuk terrain dari dasar waduk Sermo, yaitu hasil cut and fill antara

DTM (Digital Terrain Model) yang dihasilkan dari data pengukuran metode

diferensial dengan DTM yang dihasilkan dari data pengukuran metode absolut

memiliki perbedaan yang cukup signifikan, dengan selisih volume waduk mencapai

98795,72 m3. Hasil penelitian Mahbub (2011) menunjukkan bahwa metode

pengukuran GPS merupakan faktor penentu nilai ketelitian posisi yang akan

dihasilkan, yaitu diperoleh ketelitian metode diferensial dapat mencapai ± 1 m

sedangkan metode absolut disebutkan hanya sekitar ± 6 m.

Hasil penelitian Lamarolla (2013) dengan jumlah sampel data yang

bertampalan ada 16 data, data yang masuk dalam ketelitian orde khusus ada 7

sampel, sedangkan data yang masuk kedalam ketelitian orde 1 ada 8 sampel, dan

untuk orde 2 ada 1 sampel. Standar deviasi terkecil terjadi pada data titik nomor 11

s/d 649 yaitu ±0,11467 m, dan standar deviasi terbesar terjadi di titik nomor 16 s/d

645 yaitu ±0,5125 m. Mengacu pada ketelitian pembuatan Peta Dasar Lingkungan

Pantai Indonesia, alat Fishfinder Garmin GPS Map 420S dapat direkomendasikan

7

untuk pembuatan Peta Dasar Lingkungan Indonesia pada perairan yang relatif

dangkal. Alat ini memenuhi nilai ketelitian yang mencapai syarat orde 1.

I.7. Landasan Teori

I.7.1. Survei Hidrografi

Survei Hidrografi berkaitan dengan perairan, baik berupa kenampakan fisik

terrain dasar perairan, fisis dan kimiawi airnya maupun dinamika perairan tersebut

seperti pasut dan gelombang. Elemen-elemen penting dari survei hidrografi yang

akan dibahas dalam penelitian ini antara lain:

1.7.1.1. Echo Sounder

Suatu alat yang digunakan untuk mengukur kedalaman air dengan cara

memancarkan gelombang akustik dan mencatat interval waktu pemancaran dan

waktu penerimaan. Sistem Echosounder pada umumnya terdiri dari catu daya untuk

menyuplai kebutuhan energi listrik alat, seperangkat perekam data, transducer

(pemancar) dan hidrofon (penerima). Cara kerja dari sistem ini mirip dengan sistem

indera akustik pada Lumba-Lumba dan Paus, yaitu ada bagian/organ yang

memancarkan gelombang suara (SONAR) ke suatu objek (mangsa) lalu dipantulkan

dan diterima lagi untuk diterjemahkan oleh otak, sehingga dapat diketahui posisi

objek tersebut. Pada alat Echosounder, bagian transducer berfungsi untuk

memancarkan gelombang suara dengan frekuensi tertentu menuju ke dasar perairan

secara vertikal, kemudian gelombang tersebut dipantulkan kembali dan diterima oleh

hidrofon. Umumnya semakin kecil frekuensinya, kedalaman perairan yang dapat

ditembus akan semakin tinggi. Data yang diperoleh dari proses itu adalah selang

waktu gelombang mulai dipancarkan dan gelombang kembali diterima, sehingga data

kedalaman yang diperoleh alat perekam merupakan fungsi dari selang waktu dan

kecepatan rambat gelombang suara. Sebagaimana yang diuraikan dalam persamaan

hitungan dasar yang digunakan untuk menentukan kedalaman perairan sebagai

berikut (Soeprapto, 2001):

∆h’ = vs.dt ...………...................................................................( I.1)

8

Keterangan :

∆h’ : kedalaman dasar perairan yang diukur pada saat pengukuran

vs : cepat rambat gelombang suara di air

: waktu pada saat gelombang suara dipancarkan

: waktu pada saat penerimaan gelombang pantulnya

Umumnya nilai kecepatan rambat gelombang suara (vs) di air adalah 1500 m/s dan

bila beda waktu diketahui, maka nilai kedalaman perairan dapat ditentukan

(berdasarkan persamaan I.1.) dengan rumus berikut ini (Soeprapto, 2001):

∆h’ = (vs.∆t) …………................................................................... (I.2)

Keterangan :

∆h’ : kedalaman dasar perairan yang diukur pada saat pengukuran

vs : cepat rambat gelombang akustik di medium air

Δt : selang waktu pergi pulang gelombang suara, yaitu saat dipancarkan

sampai diterima lagi

Secara geometri, pelaksanaan pengukuran kedalaman dengan Echosounder akan

memenuhi gambar I.1 (Pramanda, 2013, modifikasi) berikut:

Gambar I.1. Komponen-komponen penentuan kedalaman

Draft Transducer

(Za)

Kedalaman hasil

pengukuran Kedalaman

terkoreksi (H)

Kedalaman pada Chart

Datum

Barcheck Keterangan:

: Transducer

: Chart datum

: Topografi dasar perairan

Kapal

9

Koreksi Draft Transducer adalah koreksi terhadap besarnya nilai panjang

tenggelamnya alat (posisi Transducer) dari permukaan air. Nilai ini dapat diketahui

dengan cara mengukur atau mengatur jarak tenggelamnya Transducer yang dipasang

pada tongkat. Sedangkan koreksi Barcheck berhubungan dengan pengaturan cepat

rambat gelombang suara. Pengaturan cepat rambat gelombang suara pada alat

biasanya diatur dengan nilai tertentu (standarnya 1500 m/s), tetapi pada

kenyataannya kecepatan perambatan gelombang suara tidak selalu sama dengan nilai

pengaturan alat karena bermacam faktor pada perairan lokasi pengukuran yang

mempengaruhi perambatan suara, proses kalibrasi untuk mengoreksi ketidaktepatan

besarnya nilai kecepatan suara inilah yang dimaksud Barcheck. Sehingga nilai dari

komponen kedalaman terkoreksi yang dianggap benar merupakan nilai hasil ukuran

alat Echosounder yang dikoreksi Barcheck dan koreksi Draft Transducer. Nilai

inilah yang akan digunakan untuk menentukan besarnya nilai kedalaman berdasarkan

bidang acuan atau chart datum seperti pada gambar I.1.

1.7.1.2. Chart Datum

Chart Datum merupakan acuan ketinggian vertikal muka perairan yang

dipakai sebagai referensi tinggi sebesar 0 m, untuk peta wilayah dasar laut tinggi

bidang referensi yang digunakan adalah muka air terendah atau Lowest Low Water

(LWS). Tujuan penggunaan LWS adalah untuk mendukung keperluan pelayaran

sehingga kapal-kapal tidak terdampar dan karam karena terjebak di daerah yang

menjadi kering saat LWS terjadi. Contoh lain penggunaan LWS adalah untuk

penentuan garis pangkal yang menjadi acuan penarikan batas-batas wilayah laut

suatu negara.

Selain LWS, ada pula muka laut rerata atau Mean Sea Level (MSL) sebagai

datum vertikal. Menurut IHO Dictionary, S-32 edisi kelima (Poerbandono, dkk,

2005), MSL merupakan nilai rata-rata tinggi muka air laut yang diperoleh dari

stasiun pengamatan pasut selama 19 tahun sehingga mencakup semua siklus pasang

surut yang terjadi. MSL biasanya dianggap berimpit dengan bidang Geoid sehingga

digunakan sebagai referensi tinggi untuk pemetaan di darat. Di daerah danau atau

perairan darat lain, penentuan referensi tingginya dapat menggunakan acuan tinggi

muka perairannya (chart datum lokal) atau tingginya diikatkan ke referensi

10

MSL/Geoid sama dengan pemetaan daratan. Pada pekerjaan penelitian ini, nilai

koordinat Z diikatkan dari referensi BM yang mengacu pada tinggi dari MSL, jika

merujuk ke gambar I.1 maka rumus menghitung Z adalah:

Z = Za – H ……….……………………………………………(I.3)

Keterangan:

Z : ketinggian titik yang terukur kedalamannya

Za : ketinggian muka perairan saat pengukuran

H : kedalaman terkoreksi (dianggap benar)

1.7.1.3. Penentuan posisi dengan GPS

GPS merupakan suatu sistem penentuan posisi atau navigasi berbasis satelit

yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat (Abidin, 1999). Selain GPS ada

pula sistem navigasi satelit yang dikembangkan oleh negara-negara lain. Cara

penentuan posisi sistem ini adalah dengan metode pengukuran jarak antar titik

dengan satelit yang diketahui posisinya (pemotongan ke belakang). 3 buah

pengukuran jarak sudah cukup untuk mengikat posisi suatu titik di ata permukaan

bumi, tetapi 4 ukuran jarak diperlukan untuk menghilangkan bias jam receiver

(Abidin, 1999). Sementara metode-metode pengukuran GPS ada 2 macam, yaitu

pengukuran absolut dan relatif. Pengukuran absolut adalah pengukuran langsung

posisi suatu titik dengan ukuran-ukuran jarak terhadap satelit, menurut Abidin (1999)

metode pengukuran absolut ini adalah metode penentuan posisi yang paling

mendasar dari GPS. Sedangkan metode pengukuran relatif, posisi suatu titik

ditentukan secara relatif terhadap titik lain yang telah diketahui koordinatnya.

Tujuannya adalah untuk mengeliminir bermacam bias yang tidak dapat dikoreksi

dengan pengukuran absolut, terutama bias yang disebabkan oleh kondisi atmosfer.

Dengan demikian akurasi pengukuran relatif lebih baik daripada pengukuran absolut.

Sistem koordinat yang diperoleh dari pengukuran GPS adalah koordinat

kartesi 3D (x, y, z) geosentris atau pusat sistem berimpit dengan pusat masssa bumi.

Sedangkan sistem koordinat kutub (φ, λ, h) atau geodetis mengacu pada bidang

referensi WGS 84’ (Abidin, 1999), dengan nilai parameter a dan b masing-masing

adalah 6378137 m dan 6356752,3 m. Metode pengukuran absolut pada GPS dengan

11

4 pengukuran jarak (l1, l2, l3, l4) dari satelit beserta sistem koordinatnya pada

pekerjaan survei hidrografi ditunjukkan pada gambar I.2 di berikut ini:

Gambar I.2. Pengukuran koordinat survei hidrografi menggunakan sistem GPS

Posisi horintal yang dapat diberikan dengan GPS adalah nilai koordinat

berdasarkan bidang proyeksi peta sistem proyeksi UTM. Koordinat yang diukur

langsung oleh GPS sebenarnya adalah koordinat kartesi 3D geosentris yang

kemudian dapat ditransformasikan ke dalam nilai koordinat geodetis dengan datum

acuan WGS 84’ (Abidin, 1999). Nilai koordinat geodetis inilah yang digunakan

untuk menghitung nilai koordinat pada bidang proyeksi UTM. Kaitan

penggunaannya pada survei hidrografi, terkhusus pada alat Singlebeam Echosounder,

teknologi GPS yang digunakan merupakan receiver tipe navigasi dengan penentuan

posisi secara absolut, tetapi alat ini dilengkapi dengan fasilitas DGPS sebagai koreksi

dan output. Fasilitas ini berguna untuk melakukan koneksi terhadap yang dapat

Y(+)

Z(+)

X(+)

O b

a

Meridian standar

Kutub utara

kapal

Meridian pengamat

λ

φ

Antena GPS

Permukaan air

Topografi dasar perairan

Satelit

(posisi fix)

y x

z Garis singgung

l1 l2 l3 l4

12

mengirimkan koreksi, sehingga proses penentuan posisi selanjutnya tidak lagi secara

absolut melainkan secara relatif. Ketelitian pengukuran GPS yang dapat digunakan

dalam survei hidrografi berdasarkan metode pengukuran disajikan dalam tabel I.1

berikut (Abidin, 2007):

Tabel I.1. Ketelitian Metode Pengukuran GPS

No Jenis pengukuran Ketelitian

1 Absolute GPS Kinematic Positionimg 5 m s/d 10 m

2 DGPS (pseudorange) 1 m s/d 3 m

3

Differential GPS kinematic

Positionimg (off line)

1 cm s/d 5 cm

4 Real Time Kinematic (RTK) 1 cm s/d 5 cm

Masalah yang dapat muncul ketika melakukan penentuan posisi titik perum

dengan GPS dan pengukuran kedalaman dengan Echosounder adalah ketidaksamaan

waktu antara pengamatan satelit GPS dengan waktu proses sounding fix perum

(Abidin, 2007). Sehingga saat pemeruman harus diperhatikan untuk mengatur

keserentakan antara pengukuran GPS dan pengukuran kedalaman, yaitu diatur untuk

sstem waktu GMT dengan selang waktu tertentu untuk pengukuran tiap titik perum.

Selain itu pemasangan posisi antena GPS dengan Transducer juga harus diperhatikan

(offset), posisi keduanya dapat dipasang sejajar dalam satu garis vetikal, sehingga

hasil ukuan posisi (2D) dengan GPS dianggap sama dengan posisi (2D) titik perum

yang diukur kedalamannya.

I.7.2. Orde Ketelitian Survei Hidrografi

SNI survei hidrografi menggunakan Singlebeam Echosounder (kode:

7646:2010) yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) tahun 2010

memuat teknis pelaksanaan survei dengan standar klasifikasi derajat ketelitian yang

harus dicapai dan standar tersebut dibagi menjadi beberapa orde sebagai berikut:

a. Orde khusus (Anonim, 2010)

Orde khusus survei hidrografi adalah orde yang memiliki standar ketelitian

tertinggi hingga mendekati ketelitian survei rekayasa dan digunakan secara terbatas

di daerah-daerah kritis yaitu dengan informasi kedalaman di bawah laut sangat

minim atau dalam hal ini karakteristik dasar perairannya berpotensi membahayakan

13

kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang

bertanggung jawab di dalam masalah kualitas survei. Sebagai contoh ialah

pelabuhan-pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya kapal. Semua sumber

kesalahan harus dibuat minimal. Orde khusus memerlukan penggunaan yang

berkaitan dengan Side Scan Sonar, Multi Transducer Arrays Atau Multibeam

Echosounder dengan resolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk

mendapatkan gambaran dasar air 100% (semua area terliput survei) dan harus pula

dipastikan bahwa setiap benda dengan ukuran lebih besar dari 1 meter persegi dapat

dicakup oleh kemampuan peralatan perum yang digunakan. Penggunaan Side Scan

Sonar dan Multibeam Echosounder mungkin diperlukan di daerah-daerah yang di

dalamnya mungkin ditemukan benda-benda kecil dan rintangan bahaya, atau survei

untuk keperluan investigasi.

b. Orde satu (Anonim, 2010)

Orde satu survei hidrografi diperuntukkan bagi pelabuhan-pelabuhan, alur

pendekat, haluan yang dianjurkan, alur navigasi dan daerah pantai dengan lalu lintas

komersial yang padat, dalam hal ini adalah kedalaman bawah laut dengan luas yang

cukup memadai dan kondisi geofisik dasar lautnya tidak begitu membahayakan kapal

(misalnya lumpur atau pasir). Survei orde satu berlaku terbatas di daerah dengan

kedalaman kurang dari 100 meter. Meskipun persyaratan pemeriksaan dasar laut

tidak begitu ketat jika dibandingkan orde khusus, namun pemeriksaan dasar laut

secara menyeluruh tetap diperlukan di daerah-daerah di dalam hal ini karakteristik

dasar laut dan resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal. Pada

daerah-daerah yang diteliti tersebut, harus diyakinkan bahwa untuk kedalaman

sampai dengan 40 meter benda-benda dengan ukuran lebih besar dari 2 meter

persegi, atau pada kedalaman lebih dari 40 meter, benda-benda dengan ukuran 10%

dari kedalaman harus dapat digambarkan oleh peralatan perum yang digunakan.

c. Orde dua (Anonim, 2010)

Orde dua survei hidrografi diperuntukkan di daerah dengan kedalaman

kurang dari 200 meter yang tidak termasuk di dalam orde khusus maupun orde satu,

dan dalam hal ini gambaran batimetri secara umum sudah mencukupi untuk

meyakinkan bahwa tidak terdapat rintangan di dasar laut yang akan membahayakan

tipe kapal yang lewat atau bekerja di daerah tersebut. Hal ini merupakan kriteria

14

yang penggunaannya di bidang kelautan, sangat beraneka ragam, di dalam hal ini

orde hidrografi yang lebih tinggi tidak dapat diberlakukan. Pemeriksaan dasar laut

mungkin diperlukan pada daerah-daerah di dalam hal ini karakteristik dasar air dan

resiko adanya rintangan berpotensi membahayakan kapal

d. Orde tiga (Anonim, 2010)

Orde tiga survei hidrografi diperuntukkan untuk semua area yang tidak

tercakup oleh orde khusus, orde satu dan orde dua, yaitu pada area dengan

kedalaman lebih dari 200 meter.

Rincian komponen-komponen standar teknis pengukuran SNI 7646:2010 (Anonim,

2010) masing-masing orde disajikan pada tabel I.2 berikut ini:

Tabel 1.2. Standar Ketelitian Pengukuran Survei Hidrografi

No Deskripsi

Kelas

Orde

Khusus

Orde 1

Orde 2

Orde 3

1

Akurasi horizontal

2 m

5 m + 5% dari

kedalaman

rata-rata

20 m + 5%

dari

kedalaman

rata-rata

150 m + 5%

dari

kedalaman

rata-rata

2

Alat bantu navigasi tetap

dan kenampakan yang

berhubungan dengan

navigasi

2 m

2 m

5 m

5 m

3 Garis pantai 10 m 20 m 20 m 20 m

4

Alat bantu navigasi

terapung 10 m 10 m 20 m 20 m

5 kenampakan topografi 10 m 10 m 20 m 20 m

6

Akurasi kedalaman

a = 0,25 m

b = 0,0075

a = 0,5 m

b = 0,013

a = 1,0 m

b = 0,023

a = 1,0 m

b = 0,023

Catatan: a dan b adalah variabel untuk menentukan ketelitian kedalaman

Keterangan:

a : kesalahan independen

b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen

Orde ketelitian survei dalam SNI 7646:2010 masih mengacu pada

International Hydrographic Organization (IHO) SP-44 edisi ke 4 dan IHO SP-32

15

edisi ke 5 tahun 1994. Tetapi IHO telah menerbitkan IHO Standards Of

Hydrographics Surveys terbaru yaitu IHO SP-44 edisi ke 5 tahun 2008. Terdapat

pembaharuan pada pembagian orde ketelitian survei yaitu menjadi orde khusus, 1a,

1b, dan 2. Perubahan mendasar yang terdapat pada IHO edisi ke 5 tahun 2008 adalah

pada orde 1a pencarian dasar laut secara penuh diperlukan dan pada orde 1b tidak

diperlukan. Sementara orde 3 dihilangkan karena dianggap sama dengan orde 2

(Pramanda, 2013).

I.7.3. Gerak Relatif

I.7.3.1. Pengertian gerak relatif

Sebuah benda dikatakan bergerak relatif terhadap benda lain jika dalam

selang waktu tertentu kedudukan relatif benda tersebut berubah. Dengan demikian

bergerak ataupun diam merupakan konsep relatif berdasarkan hubungan antara benda

satu dengan benda lain yang menjadi acuannya (pengamat). Gerak tersebut akan

teramati berbeda oleh pengamat dari sistem acuan lain. Contoh gerak relatif adalah

sebuah kpal yang sedang bergerak pada sebuah lintasan lurus dengan kecepatan 10

m/s ke arah barat, di dalam kapal ada seorang penumpang sedang duduk diam di atas

kursi merasa bahwa ia sedang tidak bergerak, tetapi menurut pengamat lain yang

diam terhadap tanah, penumpang kapal tersebut diamati sedang bergerak bersama

kapal dengan pergeseran (perubahan posisi) tiap waktu sesuai dengan perubahan

posisi kapal akibat kecepatannya tadi.

I.7.3.2. Pengertian kerangka Acuan Inersial dan transformasi Galileo

Kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap disebut sebagai

kerangka acuan inersial. Peristiwa-peristiwa yang teramati oleh tiap kerangka acuan

inersial akan tampak berbeda. Tetapi hukum-hukum Newton dan fisika lainnya tetap

berlaku dalam semua kerangka acuan itu. Perbandingan pengamatan-pengamatan

yang dilakukan dalam berbagai kerangka acuan inersial diperlukan proses

transformasi antar kerangka acuan. Transformasi antar kerangka acuan pada

kecepatan yang jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya dapat menggunakan

transformasi Galileo (Gautreau, dkk, 2006). Hubungan antara kerangka acuan diam

16

dan kerangka acuan bergerak dengan kecepatan tetap disajikan pada gambar I.4 di

bawah ini:

Gambar I.3. Geometri kerangka acuan Inersial 3 dimensi

Gambar I.3. menunjukkan bahwa kerangka acuan S’ bergerak searah dengan

sumbu X dengan kecepatan sebesar v terhadap kerangka acuan S, sehingga

perbedaan nilai transformasi hanya akan terjadi pada nilai koordinat X dengan X’,

sementara nilai besaran Y dan Z masing-masing akan sama dengan Y’ dan Z’.

Persamaan transformasi Galileo digunakan untuk mentransformasi nilai-nilai hasil

pengamatan berdasar kerangka acuan kapal dengan kecepatan v ke dalam kerangka

acuan diam terhadap bumi. Dalam pemetaan nilai besaran-besaran yang diukur harus

mengacu pada kerangka acuan diam terhadap bumi. Nilai berdasar acuan diam

terhadap bumi inilah yang akan digambarkan menjadi peta. Persamaan transformasi

Galileo untuk koordinat dan waktu adalah (Gautreau, dkk, 2006):

X’ = X – v.t …………………………………………………(I.4)

Y’ = Y …………………………………………………(I.5)

Z’ = Z …………………………………………………(I.6)

t’ = t ………………………………………………....(I.7)

dan transformasi kebalikannya:

X = X’ + v.t …………………………………………………(I.8)

Y = Y’ …………………………………………………(I.9)

Z = Z’ ..………………………………………………(I.10)

t = t’ ..……………………………………………....(I.11)

keterangan:

Y’(+) Y(+)

x(+) = x’(+)

Z’(+) Z(+)

X

d = v.t benda

X’

17

(X’, Y’, Z’, t’) : koordinat 4D benda menurut kerangka acuan S’

(X, Y, Z, t) : koordinat 4D benda menurut kerangka acuan S

v : kecepatan kerangka acuan S’ terhadap S

Rumus I.4 sampai I.7 merupakan rumus mentransformasikan besaran koordinat

(X, Y, Z) menurut kerangka acuan diam (S) ke nilai besaran koordinat (X’, Y, Z’)

menurut kerangka acuan bergerak (S’), jika diketahui kecepatan (V) dan waktu

perpindahan (t). Sedangkan rumus I.8 sampai I.11 adalah rumus transformasi

kebalikan untuk menghitung besaran koordinat menurut kerangka acuan S dari

besaran koordinat kerangka acuan S’ yang diketahui. Konsep inilah yang dimaksud

transformasi Galilieo, yaitu konsep transformasi terhadap beda kerangka acuan

berdasarkan faktor kecepatan.

I.7.3.3. Penerapan transformasi Galileo dalam pemeruman

Berdasarkan persamaan nomor I.8 sampai I.11 (atau rumus untuk

mentransfomasikan nilai besaran dari kerangka acuan bergerak ke kerangka acuan

diam) dan gambar I.5, jika konsepnya diterapkan pada proses sounding untuk

pemeruman dengan kapal yang bergerak, maka antara lokasi saat gelombang

dipancarkan dan diterima lagi akan berbeda, geometrinya akan mengikuti gambar 1.4

berikut ini:

A0

Gambar 1.4. Pergeseran akibat kecepatan kapal

Vk A1 A0

Permukaan air

Topografi dasar perairan

Vk.∆t

Perambatan

gelombang suara Keterangan:

: arah kecepatan kapal

: Transducer

: topografi dasar perairan

18

Merujuk gambar I.4, A0 adalah posisi saat gelombang dipancarkan sedangkan

A1 adalah posisi saat gelombang diteima lagi. Geometri gambar I.4 diperoleh

berdasarkan pengamatan oleh pengamat yang diam, sementara bagi pengamat di

kapal yang bergerak, antara A0 dan A1 merupakan lokasi yang sama di suatu tempat

pada sistem alat pada kapal saat melakukan pengukuran di waktu (t) tertentu.

Menurut pengamat yang bergerak gelombang suara akan teramati bergerak benar-

benar vertikal, sementara menurut pengamat diam, arah rambat gelombang suara

adalah resultan dari arah vertikal kecepatan gelombang dan arah kecepatan kapal.

Jika arah gerak kerangka acuan S’ merupakan pengamat di kapal menyimpang dari

kerangka acuan diam S sebesar sudut azimuth tertentu (α) maka rumus transformasi

Galileo disusun menjadi:

X = X’ + Vk . ∆t . sin α …………………………….………….…(I.12)

Y = Y’ + Vk . ∆t . cos α …..……………………………………....(I.13)

Z = Z’ …………………………….…………….(I.10)

keterangan:

(X’, Y’, Z’) : koordinat 3D benda menurut kerangka acuan kapal

(X, Y, Z) : koordinat 3D benda menurut kerangka acuan diam

∆t : selang waktu

A0 : posisi saat t0 (saat gelombang dipancarkan)

A1 : posisi saat t1 (saat gelombang diterima)

Vk : kecepatan kapal

α : azimuth (arah kecepatan kapal)

∆t : selang waktu perpindahan posisi kapal

Persamaan 1.10 menunjukkan bahwa Z dan Z’ mempunyai nilai yang sama

karena perubahan posisi hanya terjadi secara horizontal, meskipun demikian

sebenarnya hasil pengukuran kedalaman akan terpengaruh oleh gerak tersebut, yaitu

tidak vertikalnya lintasan gelombang suara akibat adanya pergeseran yang

disebabkan kecepatan kapal. Sehingga berdasarkan gambar 1.4. proses penurunan

rumus koreksi untuk ukuran kedalaman akan memenuhi bentuk segitiga sama kaki

berikut:

19

Gambar I.5. Geometri kesalahan pengukuran kedalaman

Dengan demikian persamaan kedalaman terkoreksi (∆h) adalah:

∆h = …………………………………………….…(I.14)

Sesuai gambar I.5, bahwa waktu yang diperlukan bagi kapal untuk menempuh jarak

A0A1 sama dengan waktu yang diperlukan bagi sinyal suara untuk menempuh jarak

A0Ah lalu jarak AhA0 atau dengan kata lain merupakan selang waktu pengukuran

pergi-pulang oleh gelombang suara melalui jarak 2.∆h’. Sehingga dapat dirumuskan:

= ……....………………………………………………….…….….…..(I.15)

Dengan demikian:

A0A1 = 2Vk ……….…………………………………………………….……(I.16)

Pada bagian selanjutnya nilai A0A1 dianggap merupakan bentuk kesalahan

horizontal posisi pemeruman akibat pengaruh kecepatan kapal, sehingga kesalahan

horizontal akan disimbolkan sebagai fs. Dengan demikian:

fs = Vk …………..……………………..……….……………………………..(I.17)

Nilai kecepatan kapal rata-rata antar titik sebagai pendekatan dapat diperoleh dari

hitungan jarak antar titik perum (titik p’ dan titik q’) ukuran GPS dibagi interval

waktu tempuh antar titik (∆tpq). Berikut rumusnya:

A1 A0

A0A1

∆h’

∆h

terrain Ah

Arah rambat

gelombang

suara

20

Vk = = ..…………………………………….………….(I.18)

∆tp’q’ = tq’ – tp’ …………………………….………………………….………..(I.19)

Arah kecepatan kapal atau azimuth pada saat pengukuran kedalaman (αp’p) dapat

memakai pendekatan azimuth dari p ke p, sebagaimana gambar berikut:

Gambar I.6. Penentuan arah kecepatan kapal

Titik p’ dan q’ adalah lokasi tiik ke-n dan ke-(n+1) yaitu titik-titik saat gelombang

dipancarkan dan pengukuran posisi dilakukan secara periodik, sementara titik p

adalah posisi hasil proyeksi dari titik di dasar perairan (titik Ah; lihat gambar I.7)

yang memantulkan gelombang suara. Sehingga mengacu gambar I.8 nilai azimuth

p’p sama dengan p’q’ adalah:

αp’p = αp’q’ ……………………………………………………...……………….. (I.20)

sehingga:

αp’p = arc tan( ) ……….……………………………….….………..….…(I.21)

Dengan demikian rumus koreksi X, Y dan ∆h merupakan pengembangan dari konsep

transformasi antar kerangka acuan.

Transformasi nilai koordinat X:

Xp = Xp’ + Vk sin(αp’q’) …….……………………………….…….…………(I.22)

Xp = Xp’ + sin(αp’q’) ……………………...............…………….….…….(I.23)

Xp = Xp’ + sin(arc tan( )) ………………….……(I.24)

Transformasi nilai koordinat Y:

αp’p p’ p q’

Utara

21

Yp = Yp’ + Vk cos(αp’q’) ………………………………….………………....(I.25)

Yp = Yp’ + cos(αp’q’) ………………………………………………….....(I.26)

Yp = Yp’ + cos(arc tan( ))……………………….(I.27)

Transformasi nilai kedalaman (∆h):

∆h = …………………………………………….……….….....….(I.28)

fs = Dp’p = = …………………….….…...…(I.29)

Keberadaan tersendiri dari nilai fs diperlukan untuk mempermudah menghitung

kedalaman terkoreksi. Karena jika rumus fs disubstitusikan secara langsung akan

mempersulit hitungan perambatan kesalahannya.

Keterangan:

(Xp,Yp) : koordinat titik perum terkoreksi berdasar kerangka acuan diam

(Xp’, Yp’) : koordinat titik perum terukur berdasar kerangka acuan kapal

∆h’ : kedalaman terukur

∆h : kedalaman terkoreksi

Dp’q’ : jarak antara titik perum terukur ke-i dengan titik perum ke-(i+1)

αp’q’ : azimuth p’q’

vs : konstanta cepat rambat gelombang suara

Vk : kecepatan kapal

tp’ : waktu saat di titik P’ (waktu GPS)

tq’ : waktu saat di titik Q’ (waktu GPS)

fs : kesalahan horizontal akibat kecepatan kapal

I.7.4. Penentuan Standar Deviasi (σ)

Nilai ketelitian atau standar deviasi (σ) ukuran dari pengukuran GPS dapat

langsung diketahui dari metode pengukuran yang dilakukan (lihat tabel I.1),

sedangkan standar deviasi ukuran kedalaman dengan menggunakan alat sounding

22

dapat diperoleh dari suatu pemodelan varian (σ2). Pemodelan varian ukuran

kedalaman (∆h’) mengikuti konsep pemodelan varian pengukuran jarak. Pemodelan

varian menurut Mikhail untuk pengukuran jarak dihitung menurut persamaan berikut

ini (Mikhail, dkk, 1981):

= a2 + b

2 Di

2 ……………………………...…………….(I.30)

Dalam hal ini,

: varian total jarak pengukuran ke-i

: jarak ukuran ke-i

b : ketelitian relatif alat (konstanta pengali)

a : ketelitian jarak yang tidak tergantung jarak sebenarnya di lapangan

(konstanta penambah)

I.7.5. Perambatan Kesalahan Acak

Kesalahan acak merupakan suatu kesalahan yang pasti selalu terjadi dalam

pengukuran apapun. Menurut Basuki (2006), kesalahan acak/random terjadi karena

hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, kesalahan ini dapat disebabkan oleh faktor-

faktor yang terjadi di alam maupun dari si pengamat sendiri. Kesalahan ini akan

terlihat jika suatu pengukuran dilakukan secara berulang-ulang dan hasil tiap ukuran

pasti tidak selalu sama satu sama lain. Semakin banyak hasil ukuran berulang

tersebut makan akan konsisten terhadap kurva distribusi normal Gauss, atau dengan

kata lain, kurva distribusi normal merupakan representasi sebaran statistik dari nilai-

nilai ukuran berulang sebanyak mendekati tak terhingga. Representasi kesalahan

acak dalam teori pengukuran adalah standar deviasi.

Jika suatu besaran A dan B tidak diketahui nilai standar deviasinya dan

besaran ini merupakan fungsi dari besaran-besaran lain (x, y, z) yang diketahui

standar deviasinya, maka standar deviasi besaran A dan B dapat dihitung dengan

rumus perambatan kesalahan. Rumus untuk menghitung perambatan kesalahan acak

A dan B adalah sebagai berikut:

Jika diketahui,

A = F(x, y, z) = ax + by + cz ………………...………………………….(I.31)

B = F(x, y, z) = dx + ey + fz ………………………...………………….(I.32)

23

Dan matriks varian-kovarian parameter x, y dan z adalah:

∑xy =

Sehingga untuk menghitung nilai varian A (σA2) dan B (σB

2) serta kovariannya (σAB)

berdasarkan deret Taylor dengan linierisasi sampai turunan pertama maka

perambatan kesalahan untuk menghitung varian besaran A dan B mengikuti

persamaan di bawah ini (Widjajanti, 2012):

σA2 = ( )2

(σx)2 + ( )2

(σy)2 + ( )2

(σz)2 + 2.( )( )σxy + 2.( )( )σxz

+ 2.( )( )σyz ……………………………...…………….(I.33)

σB2 = ( )2

(σx)2 + ( )2

(σy)2 + ( )2

(σz)2 + 2.( )( )σxy + 2.( )( )σxz

+ 2.( )( )σyz ……………………...…………………….(I.34)

Keterangan:

∑xy : Matriks Varian-Kovarian besaran ukuran x, y dan z

σA2 : Varian Besaran A

σB2 : Varian Besaran B

σx2 : Varian Besaran x

σy2 : Varian Besaran y

σz2 : Varian Besaran z

σxy : Kovarian xy

σxz : Kovarian xz

σyz : Kovarian yz

Tetapi jika semua pengukuran tidak berkorelasi atau nilai kovarian = 0, maka

persamaan tersebut menjadi:

24

σA2 = ( )2

(σx)2 + ( )2

(σy)2 + ( )2

(σz)2

= a2(σx)

2 + b

2(σy)

2 + c

2(σz)

2 ……………………...…………………….(I.35)

σB2 = ( )2

(σx)2 + ( )2

(σy)2 + ( )2

(σz)2

= d2(σx)

2 + e

2(σy)

2 + f

2(σz)

2 ………………………...………………….(I.36)

Penerapan perambatan kesalahan dapat diaplikasikan pada persamaan koreksi

kecepatan yang telah diketahui fungsi terhadap masing-masing parameternya, artinya

besaran terkoreksi merupakan fungsi dari besaran ukuran, yaitu:

1. Berdasar rumus I.22 diketahui bahwa: Xp = f (Xp’, Dpq, ∆h’, αpq)

2. Berdasar rumus I.25 diketahui bahwa: Yp = f (Yp’, Dpq, ∆h’, αpq)

3. Berdasar rumus I.28 diketahui bahwa: ∆h = f (∆h’, fs)

4. Fungsi jarak: Dp’q’ = f (Xp’, Xq’, Yp’, Yq’)

5. Berdasar rumus I.21 diketahui bahwa: αp’q’ = f (Xp’, Xq’, Yp’, Yq’)

6. Berdasar rumus I.29 diketahui bahwa: fs = f (Xp, Xp’, Yp, Yp’)

sehingga:

σDp’q’

2 = ( )2

(σXp’)2 + ( )2

(σXq’)2 + ( )2

(σYp’)2 + ( )2

(σYq’)2

= ( )2(σXp’)

2 + ( )2

(σXq’)2 + ( )2

(σYp’)2 +

( )2(σYq’)

2 ………………...………………………….(I.37)

σαpq

2 = ( )2

(σXp’)2 + ( )2

(σXq’)2 + ( )2

(σYp’)2 + ( )2

(σYq’)2

= ( )2(σXp’)

2 + ( )2

(σXq’)2 + ( )2

(σYp’)2 +

( )2(σYq’)

2 …………………...……………………….(I.38)

Kemudian dapat dihitung varian koordinat terkoreksi (Xp, Yp)

25

σXp

2 = ( )2

(σXp’)2 + ( )2

(σDpq)2 + ( )2

(σ∆h’)2 + ( )2

(σαpq)2

= 12. (σXp’)

2 + ( sin(αp’q’))

2(σDpq)

2 + ( sin(αp’q’))

2(σ∆h’)

2 + (

cos(αp’q’))2(σαpq)

2 ………………………...………………….(I.39)

σYp

2 = ( )2

(σYp’)2 + ( )2

(σDpq)2 + ( )2

(σ∆h’)2 + ( )2

(σαpq)2

= 12. (σYp’)

2 + ( cos(αp’q’))

2(σDpq)

2 + ( cos(αp’q’))

2(σ∆h’)

2 +

( (-sin(αp’q’)))2(σαpq)

2 …………………………...……………….(I.40)

Dan menghitung nilai varian kesalahan horizontal untuk memudahkan menghitung

nilai varian kedalaman terkoreksi (∆h):

σfs

2 = ( )2

(σXp)2 + ( )2

(σXp’)2 + ( )2

(σYp)2 + ( )2

(σYp’)2

= ( )2(σXp)

2 + ( )2

(σXp’)2 + ( )2

(σYp)2 +

( )2(σYp’)

2 ………………………..………………….(I.41)

σ∆h2 = ( )2

(σ∆h’)2 + ( )2

(σfs)2

= ( )2(σ∆h’)

2 + ( )2

(σfs)2 ………………………………...………….(I.42)

Keterangan:

σDp’q’

2 : Varian Jarak p’q”

σαpq

2 : Varian Azimuth p’q”

σXp

2 : Varian Xp (terkoreksi)

σYp

2 : Varian Xp (terkoreksi)

26

σfs

2 : Varian Kesalahan Horizontal

σ∆h2 : Varian Kedalaman (terkoreksi)

I.7.6. Uji Kualitas Data Perum

Dasar penentukan batas toleransi kesalahan beda kedalaman untuk uji

kualitas ini adalah IHO SP-44 tahun 2008 dan SNI 7646:2010 dengan tingkat

kepercayaan 95% (± 1,96σ). Sementara rumus yang digunakan untuk menghitung

batas toleransi tersebut dapat dilihat pada rumus I.43 berikut:

± ………...……………...………………………(I.43)

Keterangan:

a : kesalahan independen

b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen

d : kedalaman rata-rata (minimal 30 titik perpotongan)

Nilai a dan b dalam persamaan I.43 tersebut disesuaikan dengan orde survei yang

dilakukan seperti yang tercantum pada tabel I.2.

I.7.7. Uji Statistik Signifikansi Parameter 2 Kelompok Data

Pengujian statistik ini dilakukan untuk menganalisis dua kelompok data yang

dianggap merupakan representasi suatu objek yang sama, tujuan pengujian adalah

untuk menguji apakah antara besaran-besaran pada kelompok data 1 dengan

kelompok data 2 sama atau tidak secara ststistik. Pada penelitian ini kelompok data 1

mewakili data koordinat X’, Y’ dan ∆h’ yang merupakan data hasil ukuran,

sedangkan kelompok data 2 mewakili data koordinat X, Y dan ∆h yang telah

dikoreksi kesalahan kecepatan kapal berdasarkan konsep Transformasi Galileo.

Untuk melakukan pengujian ini harus mengetahui nilai data kelompok 1 dan data

kelompok 2 beserta masing-masing ketelitiannya (standar deviasi) pada setiap

parameter besaran yang akan diuji. Hipotesis yang disusun adalah:

H0 : parameter kelompok I sama dengan parameter kelompok II

Ha : parameter kelompok I tidak sama dengan parameter kelompok II

27

Hipotesis nol (H0) akan diterima jika memenuhi kriteria hitungan berikut (Widjajanti,

2013):

≤ Tα,F ……...…………………………………….(I.44)

dengan nilai F adalah:

F = F1 + F2 ……...…………………………………….(I.45)

Keterangan:

Tα,F : sebaran fungsi T dari tabel T (Student)

Si : nilai ke-i kelompok data 1

Si’ : nilai ke-i kelompok data 2

σSi : standar deviasi Si

σSi’ : standar deviasi Si’

F1 : derajat kebebasan (Degree Of Freedom) kelompok data 1

F2 : derajat kebebasan (Degree Of Freedom) kelompok data 2

α : taraf uji atau tingkat kepercayaan

I.8. Hipotesis

Secara teori, suatu benda yang bergerak pasti memiliki kerangka acuan yang

berbeda dengan kerangka acuan bumi (diam), dengan demikian besaran-besaran

ukurannya juga memiliki perbedaan nilai dengan nilai menurut kerangka acuan bumi

(diam) atau terdapat kesalahan. Sehingga nilai ukuran harus dikoreksi agar nilainya

sesuai dengan kerangka acuan bumi, karena dalam pemetaan memakai nilai besaran

berdasar acuan bumi, persamaan koreksi ini dapat disusun dan dikembangkan sesuai

dengan parameter-parameter pengukuran yang harus diketahui (nilai kecepatan dan

azimuth), argumen inilah yang menjadi dasar penyusunan hipotesis penelitian ini.

Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa “kecepatan kapal memberikan

pengaruh beda nilai (kesalahan) pada hasil pengukuran kedalaman dan

penentuan posisi yang menggunakan alat Singlebeam Echosounder”.