bab i pendahuluan -...

60
PRAGMATIK DALAM PENGAJARAN BAHASA ARAB: SURVEI TERHADAP PROSES BELAJAR MENGAJAR BAHASA ARAB DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pengajaran bahasa Arab (PBA), kurikulum termasuk satu dari beberapa instrumen penting yang menentukan sukses tidaknya PBA. Sedang dalam dunia pendidikan, pengertian kurikulum pada mulanya hanyalah sejumlah mata pelajaran tertentu yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah. Makin lama pengertian itu makin meluas menjadi sekumpulan pengalaman, sistem nilai, pengetahuan, keterampilan, dan pola sikap yang ingin diantarkan kepada siswa dengan harapan dan keyakinan bahwa keseluruhan yang diantarkannya itu merupakan bekal di kemudian hari. Kompleksitas kurikulum itu, barangkali juga timbul karena didasarkan atas asas-asas tertentu; filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologis (S. Nasution, 1994: 11). Semua asas ini cukup kompleks dan mempunyai bobot penekanan yang berbeda, sehingga perlu diadakan pemilihan. Pemilihan inilah yang kemudian akan menghasilkan sebuah kurikulum dengan kemasan dan karakteristik tersendiri. Dalam menelaah kurikulum bahasa, apalagi bahasa asing semisal bahasa Arab, harus ditempatkan dalam kerangka dan konteks bahasa itu sendiri secara

Upload: dothuan

Post on 06-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PRAGMATIK DALAM PENGAJARAN BAHASA ARAB: SURVEI

TERHADAP PROSES BELAJAR MENGAJAR BAHASA ARAB DI UIN

SYARIF HIDAYATULLAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pengajaran bahasa Arab (PBA), kurikulum termasuk satu dari

beberapa instrumen penting yang menentukan sukses tidaknya PBA. Sedang

dalam dunia pendidikan, pengertian kurikulum pada mulanya hanyalah sejumlah

mata pelajaran tertentu yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau

ijazah. Makin lama pengertian itu makin meluas menjadi sekumpulan

pengalaman, sistem nilai, pengetahuan, keterampilan, dan pola sikap yang ingin

diantarkan kepada siswa dengan harapan dan keyakinan bahwa keseluruhan yang

diantarkannya itu merupakan bekal di kemudian hari.

Kompleksitas kurikulum itu, barangkali juga timbul karena didasarkan

atas asas-asas tertentu; filosofis, sosiologis, organisatoris, dan psikologis (S.

Nasution, 1994: 11). Semua asas ini cukup kompleks dan mempunyai bobot

penekanan yang berbeda, sehingga perlu diadakan pemilihan. Pemilihan inilah

yang kemudian akan menghasilkan sebuah kurikulum dengan kemasan dan

karakteristik tersendiri.

Dalam menelaah kurikulum bahasa, apalagi bahasa asing semisal bahasa

Arab, harus ditempatkan dalam kerangka dan konteks bahasa itu sendiri secara

proporsional. Walaupun secara umum kurikulum bahasa itu jauh berbeda dengan

kurikulum bidang yang lain, namun kekhususan dan bobot penekanan terhadap

bahasa itu akan mempengaruhi pada sejauh mana pengajaran bahasa itu akan

dikembangkan.

Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam menelaah

kurikulum bahasa antara lain: informasi mengenai bahasa yang akan dipelajari,

mengenai si pembelajar, mengenai cara atau sistem penyampaian bahasa,

mengenai teori mengajar bahasa, dan mengenai prosedur serta cara-cara

mengevaluasi hasil belajar bahasa (Bistok A. Siahaan, 1987:5). Dalam

menganalisa kurikulum pengajaran bahasa, keenam hal tersebut harus mampu

disahuti secara optimal.

Selain kurikulum, pelaksanaan pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa

asing di Indonesia, juga terkait dengan problem transfer kebahasaan yang

dianggap sebagai gangguan (interference) yang bisa mengenai seluruh aspek

kebahasaan. Aspek-aspek ini meliputi ucapan, vokabulari, pembentukan morfo-

sintaksis, dan semantik. Ini bisa kita perhatikan mulai dari perbedaan ucap-tulis

dalam huruf alphabet dan hijaiyah, sampai pada persoalan pembentukan kalimat

dalam suatu wacana/ karangan.

Sisi lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan PBA sebagai

bahasa asing adalah faktor sosio-kultural. Hal ini terkait erat dengan bahasa

sebagai sistem simbol dan budaya serta identitas suatu bangsa. Dalam konteks

nasional, bahasa asing menempati tingkat ketiga setelah bahasa nasional dan

daerah. Namun ketika ditempatkan dalam konteks internasional, keberadaan

bahasa asing menjadi sangat penting dan memiliki perang sangat strategis, terlebih

karena dipakai sebagai bahasa komunikasi untuk berbagai kepentingan antar

bangsa. Tarik menarik antara dua posisi dan fungsi bahasa inilah yang kemudian

menjadi problematika tersendiri bagi pengembangan kurikulum bahasa Arab

sebagai bahasa asing.

Di Indonesia, kebijakan politik bahasa nasional dapat diartikan sebagai

suatu kewajiban bangsa Indonesia dalam mengembangkan bahasa Indonesia dan

sastranya dengan jalan melaksanakan penelitian, inventarisasi, penulisan tata

bahasa dan kamus, serta pengajarannya karena merupakan bahasa negara dan

nasional. Terhadap bahasa daerah yang dipelihara oleh pemakainya, juga

dipelihara oleh pemerintah. Akan tetapi, terhadap bahasa asing bangsa Indonesia

tidak berkewajiban membina dan mengembangkannya kecuali dari segi

pengajarannya. Yang berkewajiban membina dan mengembangkan bahasa asing

adalah negara dan masyarakat pemilik bahasa asing tersebut. Pengajaran bahasa

asing di Indonesia bertujuan mempermudah orang menggali ilmu pengetahuan

dan teknologi yang terekam dalam bahasa asing dan juga untuk komunikasi

internasional (Sjahruddin Kaseng, 1989:48).

Dengan memperhatikan beberapa paparan di atas, maka dalam

pelaksanaan PBA sebagai bahasa asing di Indonesia, diperlukan adanya

rasionalisasi program pengajaran. Artinya, seberapa jauh bahasa Arab akan

difungsikan dan diposisikan sebagai bahasa asing di Indonesia? Apakah sebatas

sebagai bahasa agama? Atau juga bahasa komunikasi atau bahasa keilmuan?

Pertanyaan ini paling tidak harus menjadi pertimbangan mendasar dan acuan

utama bagi pengembangan pembelajaran bahasa Arab berdasarkan pragmatik.

Hal di atas menunjukkan bahwa pengajaran bahasa sangat terkait dengan

fungsi bahasa, dan sejalan dengan itu para pakar pengajaran bahasa kini lebih

cenderung pada Pengajaran Bahasa dengan Pendekatan Komunikatif (PBPK), hal

ini karena: 1) PBPK mampu mengubah citra Pengajaran Bahasa (PB) yang selalu

berorientasi pada kaidah ketatabahasaan yang dikembangkan kaum struktural

yang dianggap telah gagal mengajarkan bahasa sesuai dengan fungsinya; 2) PBPK

mampu memberikan paradigmashito yang sangat mendasar serta secara radikal

memberikan warna baru terhadap proses belajar-mengajar bahasa; dan 3) PBPK

mampu menjawab dua pertanyaan pokok dalam pengajaran bahasa yaitu apakah

yang dipelajari, dan bagaimana bahasa harus dipelajari (Pranowo, 1996:60).

Paling tidak ada dua variabel penting yang perlu kita telaah dalam

kaitannya dengan analisa kebutuhan bahasa, yakni variabel bahasa dan variabel

budaya (A. Chaedar Al-Wasilah, 1991:146). Variabel pertama terkait dengan

struktur bahasa asing (dalam hal ini bahasa Arab) yang berbeda dengan bahasa

pembelajar (dalam hal ini bahasa Indonesia). Variabel kedua terkait dengan logat

(lahjah), penghayatan dan kepentingan antara negara asal dan penerima.

Oleh karena itu, sangat penting diadakan analisa terhadap kebutuhan

bahasa Arab, karena terkait langsung dengan keberadaan bahasa Arab dalam

proses belajar mengajar dan frekuensi peranan dan fungsi bahasa Arab di dalam

masyarakat Indonesia. Apalagi mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam di

mana pada banyak ritual-keagamaan memakai bahasa Arab.

Adapun langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan dalam

menganalisa kebutuhan bahasa Arab adalah dengan cara mengadakan wawancara,

penyebaran angket/kuesener, analisa terhadap muatan lokal serta terhadap hirarki

tujuan pengajaran bahasa. Dalam hal ini seorang dosen dapat menanyakan kepada

mahasiswa tentang apa tujuan mereka belajar bahasa Arab, apakah mereka lebih

mengutamakan kemampuan produktif (berbicara dan menulis) atau lebih

mementingkan keterampilan reseptif (membaca dan mendengarkan), atau

keduanya.

Selanjutnya kita dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: 1)

memperhatikan dan meneliti keperluan-keperluan pelajar terhadap bahasa yang

dipelajari; 2) mengelompokkan keperluan-keperluan itu ke dalam skala prioritas;

3) lalu berdasarkan hal tersebut dicoba untuk merumuskan tujuan yang hendak

dicapai dalam pengajaran bahasa tersebut, dan 4) menentukan fasilitas-fasilitas

apa yang diperlukan dalam pelaksanaan pengajaran bahasa Arab. Dengan

demikian, secara sederhana kita telah mengadakan analisa terhadap kebutuhan

bahasa pelajar.

Langkah ini akan terkait langsung dengan perumusan tujuan pendidikan

yang ada dalam suatu negara. Secara hirarkis, perumusan tersebut adalah: tujuan

pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan

instruksional.

Sedangkan tujuan PBA secara umum adalah agar para pelajar atau

mahasiswa mampu menguasai bahasa Arab secara lisan dan tulisan, memiliki

kemampuan ekspresif/produktif (berbicara dan menulis), kemampuan reseptif

(mendengar dan membaca), dan mengkomunikasikannya (Mahmud Yunus,

1983:21/ DEPAG, 1976: 89). Namun, kedua kemampuan tersebut tidak selalu

dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Diantara penyebabnya adalah

karena tidak berfungsinya bahasa asing (dalam hal ini bahasa Arab) tersebur

secara efektif-efisien, serta tidak adanya proporsi yang seimbang dan jelas

terhadap kebutuhan bahasa masyarakat setempat.

Dengan demikian, analisa terhadap tujuan PBA ini harus didasarkan pada

prinsip rasionalisasi dan fungsionalisasi program. Prinsip rasionalisasi yang

dimaksud adalah memperjelas suatu kurikulum bahasa dari segi pengajarannya

dengan jalan memperhatikan muatan-muatan lokal dan bahan/materi yang akan

diajarkan. Prinsip ini juga berusaha menganalisa keterbacaan dan keterpahaman

materi bagi para pelajar/mahasiswa. Sedangkan prinsip fungsionalisasi program

adalah mengacu pada hakekat dan fungsi suatu bahasa. Dalam hal ini, harus ada

penyeimbang antara bahasa sebagai fungsi komunikatif, dengan fungsi keilmuan.

Pemilihan bahan/materi pengajaran bahasa Arab merupakan langkah yang

cukup penting. Dari sinilah kemudian dapat dilihat bagaimana proses belajar

mengajar dapat mewarnai pengembangan keilmuan dan peningkatan keterampilan

pelajar. Materi-materi yang lebih menekankan pada keterampilan komunikatif

aktif, tentu akan menghasilkan kemampuan aktif pula. Demikian pula apabila

materi-materi itu lebih mengutamakan pada penguasaan teoritis atau pasif, akan

lebih memungkinkan untuk menghasilkan kemampuan pasif pula.

Pemilihan bahan pengajaran bahasa Arab juga harus memperhatikan

tingkat perkembangan kognitif para pelajar. Bahan-bahan pengajaran yang akan

diberikan juga harus sesuai dengan kemampuan dan kematangan konseptual para

pelajar. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengorganisir serta

menyeleksi bahan-bahan pengajaran yang ada. Dimulai dari penyusunan bahan

pelajaran dengan kategori sukar-mudah pada masing-masing kata dan kalimat,

sampai pada penyusunan suatu kalimat dalam karangan.

Di samping itu, bahan pengajaran harus bersifat membimbing dan

memberi pengalaman serta menemukan sendiri hal-hal seperti yang diajarkan.

Dari latihan-latihan yang dilaksanakan, diharapkan dapat memicu para pelajar

secara kreatif memproduksi bahasa yang diajarkan secara lisan ataupun tulisan

dalam komunikasi aktual, di samping mampu memahami persoalan-persoalan

yang ada dalam bidang keilmuan yang lain. Dari sinilah kemudian dapat dianalisa

tentang topik apa saja yang yang perlu diberikan kepada mereka.

Ketika pengajaran bahasa Arab lebih diarahkan kepada suatu konteks

tertentu maka yang demikian itu merujuk pada suatu bidang kajian yang bisa

dibilang baru, yaitu kajian pragmatik.

B. Perumusan Masalah

Dari paparan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan

berikut :

1. Sudah sesuaikah tujuan pengajaran bahasa Arab yang diselenggarakan di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta?

2. Apakah kurikulum bahasa Arab sudah dikembangkan sesuai dengan konsep

pragmatik?

3. Apakah silabus mata kuliah bahasa Arab sudah dikembangkan dengan konsep

pragmatik secara proporsional?

4. Apakah para dosen bahasa Arab sudah memiliki kesiapan untuk

mengembangkan konsep pragmatik dalam bahan-bahan perkuliahan mereka?

5. Instrumen pendukung apa saja yang harus dipersiapkan untuk

mengembangkan konsep pragmatik?

C. Hipotesa, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian

1. Hipotesa

Di Indonesia, pengajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing, memiliki

beberapa keistimewaan dibandingkan dengan bahasa asing lainnya. Keistimewaan

itu setidaknya bisa dilihat dari keberadaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur`an

dan Islam di mana bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk muslim. Bahkan,

bahasa Arab digunakan sebagai bahasa “slogan” dan “pergaulan” antara sesama

muslim, seperti kata-kata “Assalamua’alaikum”, “Allahu Akbar”, “Ahlan

Wasahlan”, dan sebagainya. Tentu saja hal ini menjadi satu faktor pendukung bagi

percepatan sosialisasi keilmuan di kalngan umat Islam.

Namun, pengajaran bahasa Arab yang diselenggarakan kebanyakan

lembaga pendidikan di Indonesia (khususnya UIN, IAIN, dan STAIN) kurang

memperhatikan peran dan fungsi bahasa Arab dalam hubungannya dengan

kebutuhan masyarakat. Pengajaran bahasa Arab justru lebih banyak

memprioritaskan sisi ilmiah semata, tanpa banyak menyauti hubungan sinergis

antara peran ilmiah dan kebutuhan pasar di lapangan (dikenal dengan istilah link

and match).

Oleh karena itu, jawaban tentatif atas permasalahan di atas adalah perlunya

suatu konsep atau pendekatan pembelajaran bahasa yang mampu mengaitkan

materi bahasa dengan kemampuan komunikasi, korelasi bahasa dengan

kompetensi ilmiah dan kebutuhan pasar, dan fungsi bahasa dengan kebutuhan riil

masyarakat. Konsep atau pendekatan pragmaatik adalah yang paling tepat dalam

hal ini.

2. Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui model

pengajaran bahasa Arab di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2) menciptakan

model pengajaran bahasa Arab alternatif yang sesuai dengan kebutuhan

mahasiswa; dan 3) menghasilkan model pengajaran yang memperhatikan sisi

keseimbangan antara tanggung jawab intelektual (intellectual responsibility) dan

kebutuhan pasar (market demand).

3. Kegunaan

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1) diperoleh gambaran riil

kebutuhan mahasiswa yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Arab; 2)

tercapainya alternatif kurikulum pengajaran bahasa Arab di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta; dan 3) sebagai acuan dasar bagi kemungkian

dikembangkannya pola pengajaran bahasa Arab dengan pendekatan pragmatik.

D. Kerangka Teoritis

Dalam suatu program yang menyeluruh mengenai studi bahasa sebagai

sistem komunikasi, pragmatik bisa dipandang bersifat komplementer. Dan ini

berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian

terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya.

Paradigma pragmatik sangat dipengaruhi oleh Austin dan Serle yang

meman-dang makna dari segi daya ilokusi dan Grice yang memandang makna

dari segi implikatur percakapan. Dari kedua pandangan tersebut dapat ditarik

suatu tesis bahwa komunikasi adalah pemecahan masalah. Si penutur harus

memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemakaian bahasa sesuai dengan

yang diinginkan oleh si petutur. Di lain pihak si petutur juga harus memecahkan

masalah yang berkaitan dengan maksud tuturan yang diinginkan oleh si penutur.

Dengan konsepsi komunikasi seperti itu, pragmatik didekati dengan suatu

ancangan retorik; penutur dianggap berusaha mencapai tujuannya dalam batas

kendala-kendala yang dikenakan padanya oleh prinsip-prinsip dan maksim-

maksim ‘perilaku komunikatif yang baik’. Dengan demikian, selain prinsip di

atas, prinsip sopan santun dan ironi juga harus diperhatikan. Secara ringkas dapat

dikatakan bahwa pragmatik bersifat evaluatif dan berorientasikan tujuan.

Perkembanagan belajar bahasa tidak dapat begitu saja diatur atas tahapan

dari tingkat “dasar” ke “madya”, lalu ke tingkat “lanjut”. Perkembangan proses

belajar bahasa (asing) bukanlah proses perkembangan yang lurus dan yang

seragam (bagi setiap siwa) dari “pemula” sampai ke tingkat “menyerupai penutur

asli”. Tahap perkembangan individu dapat ditempuh melalui banyak cara, dan

oleh karena itu perlu pemahaman terhadap individu siswa; misalnya pemahaman

terhadap kebutuhan siswa, pemahaman terhadap daya serap siswa di dalam proses

belajar.

Di dalam pengajaran dengan pendekatan komunikatif bahasa diajarkan

sebagaimana digunakan di dalam komunikasi. Maka yang dituju bukanlah

pencapaian pengetahuan mengenai tata bahasa atau penguasaan terhadap sekian

ribu kosa kata. Kemampuan komunikatif yang hendak dituju itu perlu diperikan

terlebih dahulu, dalam kaitannya dengan siswa yang akan dibantu menuju ke arah

itu. Baru setelah itu semua jelas, dapat kita tentukan perangkat tata bahasa apa,

kosa kata apa, dan sebagainya yang paling sesuai untuk mencapai kemampuan

komunikatif itu.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Sebagai penelitian survei, tentu metode yang digunakan bertujuan

melakukan eksplorasi dan deskripsi. Eksplorasi karena penelitian ini masih

terbuka dan berusaha menjajaki perkembangan yang berlangsung. Sedang

deeskripsi karena penelitian ini berusaha menggambarkan fenomena yang

berkembang. Kedua metode ini ditujukan pada konsep atau pendekatan pragmatik

dalam proses belajar mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber dan Pengumpulan Data

Terdapat dua sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini: primer

dan sekunder. Data primer didapat dari angket, wawancara, dan observasi. Sedang

data sekunder didapat dari penelusuran terhadap data-data yang ada di lapangan,

termasuk beberapa pemikiran atau tulisan dan catatan yang memiliki relevansi dan

mendukung terhadap penelitian yang diangkat.

Sedangkan pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

i. Kuesioner atau angket sebagai instrumen utama. Tujuannya adalah

menggali data seputar tujuan PBA, kurikulum, materi, para dosen dan

sarana penunjang.

ii. Wawancara mendalam (depth interview) dengan beberapa dosen seputaar

kesiapan mereka merealisasikan pragmatik dalam PBA.

iii. Observasi, difokuskan pada situasi dan kondisi PBA di fakultas-fakultas

yang berhubungan dengan mahasiswa, dosen dan sarana dan prasarana.

iv. Studi Dokumentasi, berupa penelusuran dan penelaahan atas beberapa

arsip atau catatan berupa: dokumentasi resmi, catatan kasus (case records),

notulen rapat, hasil penelitian lain, buku harian, dan lainnya yang dianggap

relevan.

3. Teknik dan Analisa Data

Terhadap data-data yang terkumpul, peneliti melakukan proses dan analisa

data. Pada tahap proses pengumpulan data, dilakukan dengan cara: mengorganisir,

menyusun kategori dan tipologi, dan mengedit data-data yang terkumpul.

Sedangkan analisa data menggunakan analisa “deskriptif kualitatif” terhadap data-

data yang telah terkumpul, berupa: tabel frekwensi, dokumentasi, hasil

wawancara, catatan lapangan, dan lainnya.

F. Sistematika Pembahasan

Pada bab I (Pendahuluan), berisi tentang latar belakang diangkatnya tema

penelitian beserta perangkat metodologis. Bab ini diharapkan memberi gambaran

penelitian secara terarah, sistematis, dan komprehensif.

Pada bab II (Gambaran Umum Konsep Pragmatik) akan membahasa

pengertian dan hakikat pragmatik, sumber kajiannya, pragmatik dan kurikulum,

model pembelajaran pragmatik, dan penerapan konsep pragmatik dalam

pengajaran bahasa.

Pada bab III (Kondisi Riil PBA di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) akan

menelusuri latar belakang mahasiswa, tujuan PBA di beberapa jurusan Bahasa

Arab, kurikulum dan silabus bahasa Arab, dan keberadaan staf pengajar/dosen.

Pada bab IV (Analisa Terhadap Pengembangan Konsep Pragmatik dalam

PBA) meliputi beberapa analisa: tujuan, kurikulum, silabus, bahan pengajaran,

kesiapan dosen, bahan pengajaran, dan analisa sarana penunjang.

Sedangkan pada bab V (Penutup) berisikan kesimpulan dan rekomendasi.

Pada kesimpulan akan dibahas pokok-pokok pikiran antara satu tema dengan tema

lain sehingga di dalam penelitian ini akan ditemukan satu kesatuan pemikiran

yang utuh. Sedangkan pada rekomendasi dikemukakan saran, kritik, dan refleksi

ke depan seputar penelitian yang diangkat, sehingga pihak-pihak yang terkait

(seperti para pimpinan fakultas, jurusan, dan dosen) akan menemukan arahan

yang lebih produktif dan strategis bagi pengembangan ke depan.

BAB II

GAMBARAN UMUM KONSEP PRAGMATIK

A. Pengertian, Hakikat, dan Sumber Kajian Pragmatik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat kata-kata pragmatik,

pragmatika, pragmatis, dan pragmatisme1. Kata pragmatik dimaknai (i)

berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya

pemakaian bahasa dalam komunikasi, (ii) berkenaan dengan negara,

pemerintahan. Tampaknya makna pertamalah yang lebih cocok berkaitan

dengan pembahasan pada bab ini. Sedangkan kata pragmatika bermakna (i)

cabang semiotika tentang asal-usul, pemakaian, dan akibat lambang dan tanda

(ii) ilmu tentang pertuturan, konteksnya, dan maknanya.

Selanjutnya kata pragmatis diberi makna (i) bersifat praktis dan

berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan

(kemanfaatan); mengenai atau bersangkutan dengan nilai-nilai praktis, (ii)

mengenai atau bersangkutan dengan pragmatisme. Sedangkan kata

pragmatisme diberi makna (i) kepercayaaan bahwa kebenaran atau nilai-nilai

ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan dan sebagainya)

bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia, (ii) paham yang

menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkaan tumbuh dan berubah

terus, (iii) pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu

1 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembang Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka , 1999), cet. Ke-10, h. 784

permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan

praktis.

Istilah pragmatik yang digunakan dalam kaitannya dengan pengajaran

bahasa sebenarnya berasal dari Charles Morris (1946) yang membagi pengkajian

bahasa menjadi tiga, yaitu:

a. Sintaksis, yaitu kajian tentang hubungan antara unsur-unsur bahasa.

b. Semantik, yaitu kajian tentang hubungan unsur-unsur bahasa dengan

maknanya.

c. Pragmatik, yaitu kajian hubungan unsur-unsur bahasa dengan pemakai

bahasa.2

Untuk lebih mendekatkan pada pemahaman, di sini, dikemukakan lima

definisi pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1983).3

Definisi pertama berbunyi:

“Pragmatics is the study of those relations between language and context that are

grammaticalized or encoded in the structure of a language.” (Pragmatik adalah

studi tentang hubungan-hubungan antar bahasa dengan konteks yang

ditatabahasakan, atau dituangkan dalam struktur bahasa).

Definisi ini membatasi bidang pragmatik pada pengkajian aspek-aspek

struktur dan bentuk bahasa yang dapat dikaitkan dengan konteks penggunaan

bahasa. Definisi ini membuat pragmatik lebih relevan pada pengajaran bahasa

yang bertujuan membuat pelajar mampu mengerti dan menghasilkan bentuk

bahasa yang sesuai dengan konteks penggunaannya. Dengan perkataan lain,

2 PWJ Nababan, Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya (untuk selanjutnya disebut Ilmu

Pragmatik), (Jakarta: Dep. P dan K, 1987), h. 1 3 Mansoer Pateda, Linguistik Terapan, (Flores: Nusa Indah, 1991), h. 177-180

pengetahuan tentang pragmatik ini akan membuat pelajar mampu menyelaraskan

bentuk bahasa, baik produktif (dalam hal ini berbicara dan menulis) maupun

reseptif (yakni menyimak dan membaca) dengan faktor-faktor yang terdapat

dalam penggunaan bahasa.4

Definisi kedua berbunyi sebagai berikut:

“pragmatics is the study of the ability of language users to pair sentences with the

context in wich they would be appropriate.” (pragmatik adalah studi tentang

kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-kalimat yang

digunakan dengan konteksnya).

Definisi ini menunjukkan bahwa untuk memahami makna yang

dimaksudkan oleh pembicara atau penulis, tidak cukup hanya memahami makna

literal kata atau kalimat yang digunakan, tetapi kita dituntut untuk mengambil

kesimpulan tentang apa yang dikatakan atau ditulis berdasarkan pemakaian,

konteks yang ada, dan pengetahuan kita tentang apa yang dikatakan dan ditulis.

Lebih lanjut, definisi ini menggambarkan bahwa pragmatik mengkaji suatu

keterampilan pemakai bahasa; yaitu keterampilan menghubungkan suatu bentuk

bahasa (kalimat) dengan konteks penggunaannya.

Definisi ketiga berbunyi:

Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in a semantic

theory. (Pragmatik adalah studi tentang semua aspek makna yang tidak

dimasukkan dalam semantik).

4 PWJ Nababan, Pengajaran Bahasa dan Pendekatan Pragmatik (untuk selanjutnya disebut

Pengajaran Bahasa), dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed), Bulir-bulir Sastra dan Bahasa:

Pembaharuan Pengajaran, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 76

Kalau semantik dianggap bidang yang khususnya menyelidiki kebenaran

logis (true value), maka pragmatik menyelidiki semantik dikurangi nilai

kebenaran. Misalnya di dalam kalimat, “paman seorang laki-laki”, kita dapat

menentukan nilai kebenaran kalimat ini kalau kita tahu bahwa makna kata paman

termasuk makna laki-laki. Tapi kalau kita berkata “paman kaya”, nilai kebenaran

kalimat ini hanya dapat ditentukan kalau kita mengetahui dengan sesungguhnya

bahwa paman memang benar-benar kaya. Kalau kenyataannya cocok, maka

kalimat itu benar. Ini hanya dapat ditentukan kalau kita menggunakan pragmatik

konteks.

Definisi keempat berbunyi:

“Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition,

speech acts, and aspects of discourse structure.” (Pragmatik adalah studi tentang

deiksis, implikatur, praanggapan, ujaran, dan aspek-aspek struktur wacana).

Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-

pindah atau berganti-ganti tergantung pada siapa yang menjadi pembicara dan

tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu. Misalnya dalam

pemakaian yang metaforis, kata anjing berpindah referennya kalau kita berkata

sambil marah. Kalimat “kau anjing” memperlihatkan bahwa “kau” bukanlah

anjing, tetapi referen anjing kita pindahkan pada leksem “kau” karena kita sedang

marah.

Implikatur adalah ungkapan yang tidak diungkapkan sebagai mana

mestinya. Hal itu karena pendengar sudah dianggap mengerti dan juga karena

antara pembicara dan pendengar biasa terjadi kerja sama.

Praanggapan (presupposition) adalah syarat yang diperlukan bagi benar-

tidaknya suatu kalimat; misalnya kalimat “ia berdagang” adalah praanggapan bagi

kebenaran kalimat “barang dagangannya sangat laku.5

Menurut teori pertuturan (speech acts) suatu ucapan hanya mempunyai

makna kalau kita dapat menentukan nilai kebenarannya, bahwa makna suatu

ucapan atau kalimat tergantung pada pemakaiannya.

Konsep terakhir pada definisi pragmatik keempat ini adalah struktur

wacana yang mencakup soal pergantian pembicara, penggunaan kalimat yang

tidak lengkap, dan kata penyela.

Definisi kelima berbunyi:

“Pragmatics is the study of the relations between language and context that are

basic to an account of language understanding.” (Pragmatik adalah studi tentang

kaitan antara bahasa dengan konteksnya yang merupakan dasar penentuan

pemahaman).

Dalam definisi ini tersirat bahwa untuk memahami makna yang dimaksud

oleh pembicara atau penulis, kita harus menarik kesimpulan berdasarkan

pemakaian, konteks yang ada, dan pengetahuan kita tentang apa yang dibicarakan

oleh pembicara atau penulis.

Berdasarkan batasan-batasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan

bahwa telaah pragmatik akan memperhatikan faktor-faktor yang mewadahi

pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan ini berarti

pemakai bahasa tidak hanya dituntut menguasai kaidah-kaidah gramatikal tetapi

5 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Jakarta: PT Gramedi Pustaka Utama, 1993), h. 176

juga harus menguasai kaidah-kaidah sosio-kultural dan konteks pemakaian

bahasa.

Dalam kaitan itu, pragmatik memanfaatkan jasa disiplin ilmu lain yang ada

kaitannya dengan faktor yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut

Nababan disiplin ilmu lain yang menjadi sumber kajian pragmatik adalah:6

a. Filsafat kebahasaan (linguistic philosophy), terutama yang berhubungan

dengan teori tindak bahasa (speech act theory), dan implikatur percakapan

(conversational implicatures). Tindak bahasa yang berhubungan dengan

loksi, ilokusi, dan perlokusitelah dijelaskan didepan, demikian pula

implikatur percakapan, misalnya yang menyangkut prinsip kerja sama

(cooperative principle) dan 4 perangkap aturan maxim.

b. Sosioliguistik yang jika dikaitkan dengan pragmatik, maka

pembahasannya berhubungan dengan beragam bahasa, kemampuan

komunikatif, dan fungsi bahasa.

c. Antropologi, misalnya pragmatik membicarakan hal-hal yang

berhubungan dengan basa-basi bahasa (linguistic etiquette), konteks situasi

sebagai faktor penentu bagi makna sesuatu ungkapan, dan faktor

nonverbal dalam pemakaian bahasa.

d. Etnografi berbahasa (ethnography of communicaton/speaking), misalnya

yang berhubungan dengan pemeran serta, di mana, kapan, topik yang

dibicarakan.

6 PWJ Nababan, Ilmu Pragmatik, h. 3

e. Linguistik, terutama yang berkaitan dengan analisis wancana dan teori

deiksis.

B. Ruang Lingkup Kajian Pragmatik

Secara umum pragmatik berhubungan dengan pemakaian bahasa tulis dan

lisan dalam situasi yang sebenarnya. Dengan ini berarti pemakaian bahasa itu

memperhatikan konteks yang seutuh-utuhnya atau selengkap-lengkapnya. Terkait

dengan pemakaian bahasa dalam konteks seutuh-utuhnya ini, dapatlah ditelusuri

ruang lingkup kajian pragmatik baik sebagai ilmu maupun sebagai ‘label’

keterampilan berbahasa ‘plus’. Adapun ruang lingkup kajian pragmatik meliputi:7

1. Variasi bahasa

Dalam kenyataannya, bahasa yang dipakai dalam kehidupan berbahasa

sehari-hari adalah variasi bahasa dari bahasa yang ada di satu wilayah. Setiap

bahasa mempunyai variasi. Variasi-variasi bahasa itu adanya dapat dikenali antara

lain dari ciri-cirinya yang ada pada pilihan kata, struktur, dan intonasi.

Selanjutnya, adanya variasi bahasa itu didukung oleh beberapa faktor, yaitu: (i)

faktor geografis, (ii) faktor kemasyarakatan, (iii)faktor situasi berbahasa, dan (iv)

faktor waktu (temporal).

Faktor geografis menimbulkan variasi bahasa yang disebut dialek (lahjah).

Faktor sosial kemasyarakatan menimbulkan variasi bahasa yang disebut ragam

sosiolek. Termasuk dalam faktor sosial kemasyarakatan ini antara lain: (i) status

7 Suyono, Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajarannya, (Malang: Yayasan Asah Asih Asuh Malang,

1990), h. 11

sosial ekonomi, (ii) tingkat pendidikan, (iii) usia, dan (iv) jenis kelamin. Faktor

situasi berbahasa akan menghasilkan variasi berbahasa yang disebut ragam

fungsiolek, yang mencakup (i) partisipan/pihak yang terlibat dalam peristiwa

berbahasa, (ii) topik yang dibicarakan, (iii) jalur yang digunakan, (iv) tingkat

keresmian berbahasa, (v) hubungan antarperan, dan (vi) anggapan antarperan.

Terakhir, faktor waktu (temporal) akan menghasilkan variasi bahasa yang disebut

ragam kronolek. Variasi bahasa karena faktor waktu ini dapat dilihat dari wujud

bahasa yang digunakan dalam kegiatan berbahasa dari waktu ke waktu.

Dalam perspektif pragmatik, yang terkait dengan variasi bahasa,

bagaimana variasi-variasi bahasa itu dipakai dan ditafsirkan dalam kegiatan

berbahasa yang sesungguhnya. Karena itu, berkaitan dengan variasi bahasa, yang

perlu diajarkan melalui pendekatan pragmatik adalah: (i) kapan dan bagaimana

menggunakan berbagai variasi bahasa secara tepat, dan (ii) bagaimana

menyelaraskan bentuk-bentuk (variasi bahasa) dengan faktor sosial

kemasyarakatan dan situasi berbahasa dalam kegiatan berbahasa yang senyatanya

secara tepat.

2. Deiksis

Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila acuan/rujukan/referennya

berpindah-pindah atau berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi si

pembicara dan bergantung pula pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.

Dalam kajian pragmatik dikenal ada lima macam deiksis, yaitu: (i) deiksis

persona, (ii) deiksis tempat, (iii) deiksis waktu, (iv) deiksis wacana, dan (v)

deiksis sosial.

Deiksis persona berkaitan dengan peran atau peserta yang terlibat dalam

peristiwa berbahasa, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (i) kategori

orang pertama, (ii) kategori orang kedua, dan (iii) kategori orang ketiga. Deiksis

persona biasanya berupa kata ganti orang (saya, kamu, mereka, dan sebagainya;

dalam Bahasa Arab أنت , هو ,أنا , dan sebagainya). Di samping itu, digunakan pula

bentuk sapaan (saudara, bapak, ibu, dan sebagainya; dalam Bahasa Arab شيخ ,

,dan sebagainya). Dalam kaitannya dengan pengajaran pragmatik , فضيلة , سعادة

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan deiksis persona tersebut

dengan tepat. Dengan perkataan lain, dalam suatu peristiwa berbahasa, pemakai

bahasa dituntut untuk dapat menggunakan deiksis persona sesuai dengan kaidah

sosial (sosio-kultural) dan santun berbahasa dengan tepat.

Deiksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang (tempat)

dipandang dari lokasi pemeran dalam suatu peristiwa berbahasa. Deiksis tempat

berkaitan dengan yang dekat dengan pembicara (di sini, هنا ), dan tidak dekat

dengan pembicara (di sana هناك ), dan lain sebagainya. Dalam kaitannya dengan

pengajaran pragmatik, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menggunakan

dan menafsirkan wujud-wujud deiksis tempat dalam berbahasa secara tepat, sesuai

dengan konteksnya.

Deiksis waktu menunjuk kepada pengungkapan jarak waktu dipandang

dari waktu sesuatu ungkapan dibuat oleh pembicara. Leksem waktu yang

berdeiktis misalnya sekarang (اآلن), kemarin (أمس), besok (غدا), dan sebagainya.

Dalam hubungannya dengan pengajaran pragmatik, yang penting adalah melatih

siswa menggunakan dan menafsirkan leksem waktu yang berdeiksis dalam

kegiatan berbahasa.

Deiksis wacana berkaitan dengan bagian-bagian tertentu dalam wacana

yang telah diberikan dan atau yang sedang dikembangkan. Deiksis wacana berupa

anafora (merujuk kepada yang akan disebut). Adapun bentuk-bentuk yang biasa

digunakan untuk menyatakan deiksis wacana biasanya berupa kata atau frase,

seperti: yang terdahulu, yang pertama, sebagai brikut, كما يلي , كما ذكرنا , dan

sebagainya. Deiksis wacana bermanfaat untuk menghasilkan dan

menafsirkan/memahami wacana (tulis dan lisan) secara utuh.

Deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan kemasyarakatan yang

terdapat antara para partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa, terutama

yang berhubungan dengan aspek sosial budayanya. Adanya deiksis ini

memunculkan adanya “kesopanan/etiket berbahasa”. Dengan deiksis ini pula

bentuk/ragam bahasa yang dipilih akan diselaraskan dengan aspek-aspek sosial

budaya yang dimiliki oleh partisipan yang terlibat dalam peristiwa berbahasa.

3. Implikatur percakapan

Implikatur percakapan merupakan salah satu aspek kajian pragmatik yang

perhatian utamanya mempelajari maksud suatu ucapan sesuai dengan konteksnya.

Dengan perkataan lain, implikatur percakapan dipakai untuk menerangkan makna

implisit dibalik “apa yang diucapkan/ditulis” sebagai “sesuatu yang

diimplikasikan”. Menurut Grice (1967) ada seperangkat asumsi yang melingkupi

dan mengatur kegiatan percakapan sebagai suatu tindakan berbahasa. Seperangkat

asumsi itu akan memadu tindakan orang dalam percakapan untuk mencapai hasil

yang baik. Seperangkat asumsi itu disebut aturan percakapan (maxims of

conversation) yang merupakan prinsip kerjasama (PK) (cooperative principle)

yang terdiri dari:8

a. Maksim kuantitas yang berkaitan dengan jumlah informasi yang diberikan,

karena itu “buat sumbangan/keterangan anda seinformatif yang

diperlukan” dan “jangan memberikan sumbangan lebih informatif dari

yang diperlukan”.

b. Maksim kualitas, berkaitan dengan mutu informasi yang disampaikan,

karena itu “jangan katakan apa yang anda anggap salah” dan jangan

katakan sesuatu yang anda tidak dapat mendukung dengan bukti yang

cukup.

c. Maksim hubungan atau keinformatifan khusus mengatakan “usahakan agar

informasi yang diberikan ada relevansinya”

d. Maksim cara mengatakan “usahakan agar apa yang disampaikan mudah

dimengerti”. Grice menganggap maksim ini tidak sepenting maksim-

maksim lainnya, ia juga berpendapat bahwa maksim ini berbeda dengan

maksim-maksim yang lain karena maksim ini bukan mengatur “apa” yang

dikatakan tetapi “bagaimana” yang dikatakan itu seharusnya dikatakan.

Di samping keempat prinsip tersebut ada prinsip lain yang harus

diperhatikan dalam komunikasi yaitu prinsip sopan santun (PS) (politeness

principle) yang terdiri dari:9

8 Ibid, h.14-15. Lihat pula Geofrey Leech, Prinsip-prinsip Pragmatik, Diterjemahkan oleh M.D.D.

Oka dari The Principles of Pragmatics, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 128 9 Ibid, h. 206

a. Maksim kearifan (tact maxim), berkaitan dengan keuntungan dan kerugian

dalam berbahasa, karena itu “perkecil kerugian pada orang lain sekecil

mungkin” dan “buatlah keuntungan untuk orang lain sebesar mungkin”.

b. Maksim kedermawanan (generosity maxim), merupakan pasangan dari

maksim keaarifan yang juga berkaitan dengan keuntungan dan kerugian

dalam berbahasa, menyarankan “buatlah keuntungan untuk diri sendiri

sekecil mungkin” dan “buatlah kerugian pada diri sendiri sebesar

mungkin”.

c. Maksim pujian (approbation maxim), berkaitan dengan skala pujian dan

kecaman dalam berbahasa, menyarankan “ kurangi cacian pada orang lain

sesedikit mungkin” dan “pujilah orang lain sebanyak mungkin”.

d. Maksim kerendahan hati (modesty maxim), merupakan pasangan dari

maksim pujian yang juga berkaitan dengan skala pujian dan kecaman

dalam berbahasa, menyarankan “pujilah diri sendiri sesedikit mungkin”

dan “kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin”.

e. Maksim kesepakatan (agreement maxim) menyarankan “usahakan agar

ketaksepakatan antara diri sendiri dan orang lain terjadi sesedikit

mungkin” dan “usahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan orang

lain terjadi sebanyak mungkin”.

f. Maksim kesimpatisan (sympathy maxim) menyarankan “kurangi rasa

antipati antara diri sendiri dengan orang lain hingga sekecil mungkin” dan

“tingkatkan rasa simpati antara diri sendiri dan orang lain sebesar-

besarnya”.

4. Praanggapan

Praanggapan adalah pengetahuan latar belakang atau pengetahuan

prasyarat yang dapat membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai

makna atau masuk akal/dapat diterima oleh partisipan yang terlibat dalam

peristiwa berbahasa. Praanggapan sebagai penyimpulan dasar mengenai konteks

berbahasa akan membuat bentuk bahasa mempunyai makna bagi pendengar dan

sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat

mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Dengan kata lain, jika suatu

kalimat yang diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan

kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna yang tidak dinyatakan, tetapi

tersiratkan dari pengucapan kalimat itu.10 Misalnya percakapan si A melalui

telepon: “Kalau barang saya itu sudah laku, uangnya jangan dikirimkan ke alamat

rumah, tetapi ke alamat kantor saja”. Yang dinyatakan (asserted) pada kalimat itu

adalah pemberitahuan mengenai cara pengiriman uang, tetapi yang

dipraanggapkan (presupposed) adalah bahwa orang yang ditelpon itu masih

memiliki tanggungan yang harus dibereskan pada suatu waktu.

5. Tindak ujaran atau tindak tutur (speech act)

Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata

mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan

kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Perkataan seorang ibu rumah pondokan

putri “sudah jam sembilan”, tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada

10 Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984,

(Yogyakaarta: Penerbit Kanisius, 1990), h. 18

saat itu; akan tetapi ia juga menindakkan sesuatu, yakni memerintahkan si lawan

bicara penghuni pondokan supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.

Ada beberapa hal yang dapat ditindakkan di dalam berbicara, seperti

permintaan (requests), pemberian izin (permissions), tawaran (offers), penerimaan

akan tawaran (acceptation of offerrs).11

Tindak ujaran ada yang berupa langsung dan ada yang tidak langsung.

Seperti contoh berikut:

1. Tindak ujaran langsung

A: Minta uang untuk membeli gula!

B: Ini

2. Tindak ujaran tidak langsung

A: Gulanya habis, nyak.

B: Ini uangnya. Beli sana!

6. Struktur (situasi) percakapan

Percakapan hakikatnya adalah peristiwa berbahasa lisan antara dua orang

partisipan atau lebih yang pada umumnya terjadi dalam suasana santai.

Percakapan merupakan wadah yang memungkinkanterwujudnya prinsip-prinsip

kerja sama dan sopan santun yang muncul dalamperistiwa berbahasa secara

fungsional. Dalam percakapan, sebagai peristiwa berbahasa, ada beberapa hal

penting yang perlu diperhatikan, diantaranya: (i) bagaimana cara menarik

11 Ibid, h. 19

perhatian seseorang, (ii) bagaimana cara memulai pembicaraan (iii) bagaimana

cara mengakhiri pembicaraan, (iv) bagaimana cara menginterupsi atau memotong

pembicaraan, dan (v) bagaimana memperbaiki kesalahan.12

C. Proses Belajar Mengajar Pragmatik

Studi tentang Proses Belajar Mengajar (PBM) sangat penting bahkan

merupakan suatu keharusan bagi setiap tenaga pengajar baik di tingkat dasar,

menengah pertama, menengah atas, maupun di perguruan tinggi. Hal ini karena

hampir semua aktivitas para pengajar tercakup dalam PBM. Secara umum dapat

disimpulkan bahwa PBM menyangkut tiga permasalahan, yakni:

1. perilaku, persyaratan, kualifikasi, fungsi, dan tugas yang harus dipenuhi dan

dilaksanakan oleh pengajar,

2. minat, bakat, karakter serta masalah-masalah yang dihadapi siswa yang

wajib diperhatikan oleh guru,

3. tujuan pengajaraan, bahan, metode, media, dan evaluasi, baik evaluasi siswa

dan program pengajaran yang harus dirumuskan, maupun yang disusun dan

dilaksanakan oleh setiap guru.13

PBM bisa didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan dalam rangka

perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program pengajaran. Di dalam

PBM terlibat guru, siswa, dan komponen lainnya. PBM merupakan urat nadi

pendidikan. Bila PBM dilaksanakan dengan sempurna akan tercapai tujuan

instruksional.

12 Suyono, Op. cit., h. 17 13 Djago Tarigan, Proses Belajar Mengajar Pragmatik, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1990), Cet.

Ke-10, h. 37

PBM dalam arti perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program

pengajaran adalah tugas dan menjadi tanggung jawab setiap pengajar mulai dari

tingkat SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa

sebagian besar masalah dunia pendidikan seperti masalah kuantitas, kualitas,

relevansi, efisiensi, dan efektivitas dibebankan ke pundak para pengajar. Karena

itu para guru harus mengerti, menghayati dan melaksanakan tuntutan dan tugas-

tugas yang tersirat dalam PBM.

Dikaitkan dengan pengajaran pragmatik, kegiatan PBM dapat diuraikan

dalam beberapa langkah, yaitu:14

(1) perencanaan pengajaran pragmatik

(2) pelaksanaan pengajaran pragmatik

(3) penilaian pengajaran pragmatik.

1. Perencanaan Pengajaran Pragmatik

Perencanaan ini dimulai dengan proses penyusunan program satuan

pengajaran pragmatik, guru mulai dari melihat tujuan kurikuler, tujuan

instruksional umum, dan menjabarkan tujuan instruksional khusus dari tujuan

instruksional umum. Setelah itu dikembangkan alat evaluasi untuk mengukur

tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Menyusul kemudian penyusunan bahan

yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Langkah berikutnya memilih metode

penyampaian bahan dan media pengajaran yang dapat membantu pemahaman

14 Ibid, h. 43

siswa terhadap bahan yang disampaikan. Hasil penyusunan program pengajaran

ini dituangkan dalam satuan pelajaran.

Pedoman dalam menyusun program satuan pengajaran pragmatik adalah

Garis-garis Besar Penyusunan Program (GBPP). Dalam setiap GBPP sudah tertera

tujuan, bahan pengajaran, program, metode, sarana dan sumber, serta penilaian.

2. Pelaksanaan Pengajaran Pragmatik

Pelaksanaan program pengajaran pragmatik dalam kelas dilakukan setelah

perencanaannya selesai dikerjakan. Dalam melaksanakan program pengajaran

pragmatik guru hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:

a. waktu yang tersedia

b. GBPP bidang studi bahasa yang dipelajari

c. Sifat pokok bahasan pragmatik sehingga dapat ditetapkan

pengorganisasian kelas, mengintegrasikan materi, metode, sarana

dan sumber sehingga tercermin dalam kegiatan belajar-mengajar

d. Berbagai sumber dan sarana yang terdapat di lingkungan sekolah

dan lingkungan sekitarnya.

Langkah atau kegiatan guru berkaitan dengan langkah atau kegiatan siswa.

Dengan perkataan lain kegiatan guru terintegrasi dengan kegiatan siswa. Kegiatan

siswa dapat berupa tugas tertentu yang harus dilakukan dalam menguasai tujuan

pengajaran. Kegiatan belajar siswa harus memenuhi kriteria:

a. terarah ke tujuan pengajaran

b. mengembangkan kretifitas siswa

c. dipahami siswa

d. membina kemampuan atau keterampilan proses

e. dapat dinilai

KBM pada tahap akhir harus menghasilkan sesuatu. Hasil kerja siswa ini

dapat berupa model, gambar, grafik, diagram, laporan hasil diskusi kelompok,

laporan tugas kelompok dan sebagainya.

Perlu ditambahkan bahwa dalam KBM perlu dicantumkan hal-hal berikut:

a. tugas individual atau tugas kelompok

b. hal yang harus dilaksanakan (individual atau kelompok)

c. rangkuman hasil yang diharapkan/diperkirakan

d. jangka waktu penyelesaian tugas

3. Penilaian Pengajaran Pragmatik

Bagian akhir dari proses belajar pragmatik adalah tahap penilaian. Penilaian

mungkin mencakup dua hal, yaitu:

a. penilaian terhadap proses belajar mengajar yang sedang

berlangsung

b. penilaian terhadap hasil belajar siswa.

Penilaian terhadap proses belajar-mengajar pragmatik berarti menilai segi

perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian. Dalam perencanaan pengajaran

pragmatik, penilaian diarahkan terutama kepada:

a. penyusunan tujuan instruksional khusus (TIK),

b. pengembangan bahan,

c. pemilihan metode,

d. pemilihan media, sumber dan sarana,

e. cara penilaian.

Penilaian terhadap kegiatan belajar-mengajar atau pelaksanaan pengajaran

pragmatik diarahkan kepada:

a. kesesuan kegiatan siswa dengan tujuan pengajaran,

b. proses kegiatan mengembangkan keterampilan proses,

pengembangan konsep, pengembangan sikap dan nilai, serta

pengembangan keterampilan.

Sedangkan penilaian terhadap prestasi belajar siswa diarahkan terutama

kepada:

a. penguasaan konsep,

b. penumbuhan sikap dan nilai, dan atau

c. penguasaan keterampilan.

Penilaian pengetahuan dan konsep pragmatik hendaknya dapat

mengungkapkan penalaran dan kreativitas siswa. Dianjurkan agar tes uraian

sering digunakan. Bila menilai keterampilan maka tes perbuatan sering digunakan.

BAB III

DESKRIPSI SETTING PENELITIAN

A. Sejarah Berdiri

Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan perwujudan dari gagasan dan

hasrat umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia untuk membangun sistem

pendidikan yang integralistik dan komprehensif dalam berbagai disiplin ilmu

dalam rangka memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga

pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan intelektual yang profesional dan

bermoral.

Sejarah berdirinya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengungkapkan kisah

perjuangan umat Islam Indonesia yang panjang dan melelahkan sejak zaman

perintisan (pada masa penjajahan Belanda) hingga menjadi UIN Syarif

Hidayatullah sekarang ini.

1. Periode Perintisan

Gagasan untuk mencetak kader pemimpin Islam melalui pendidikan tinggi sudah

muncul sejak zaman penjajahan Belanda. Ketika Dr. Satiman Wirjosandjojo

berusaha mendirikan Pesantren Luhur sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi

Agama, usaha itu belum berhasil karena hambatan dari pihak penjajah. Pada tahun

1940 Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) di Padang mendirikan Sekolah Islam

Tinggi (SIT), tetapi hanya berjalan sampai tahun 1942 karena pendudukan Jepang

di Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang usaha mendirikan Perguruan Tinggi

Islam terus dilakukan, hingga akhirnya pemerintah Jepang menjanjikan kepada

umat Islam Indonesia untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Agama di

Jakarta. Kemudian beberapa tokoh Islam segera mendirikan sebuah yayasan yang

diketuai oleh Dr. Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir.15

Pada tanggal 8 Juli 1945 (27 Rajab 1364 H) yayasan tersebut mendirikan

Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan di Jakarta, dipimpin oleh Abdul

Kahar Mudzakkir. Dan tokoh lainnya yang juga berjasa dalam usaha mulia ini

adalah KH Mas Mansur, KH Fathurrahman Kafrawi dan KH Farid Ma’ruf.

Akibat kepindahan pusat pemerintahan RI ke Yogyakarta (1946), STI pun

ikut pindah dan pada tanggal 22 Maret 1948 berganti nama menjadi Universitas

Islam Indonesia (UII) dengan penambahan fakultas-fakultas baru, sehingga UII

mempunyai 4 fakultas, yaitu: Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas

Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.

2. Periode ADIA (1957-1960)

Fakultas Agama UII kemudian ditingkatkan dan dinegerikan menjadi

Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) bekedudukan di Yogyakarta

berdasarkan peraturan pemerintah no. 34 tahun 1950 dengan tujuan memberikan

pengajaran tingkat tinggi (Islam) dan menjadi pusat pengembangan serta

pendalaman ilmu pengetahuan Agama Islam. PTAIN ini dipimpin oleh KH

Muhammad Adnan sebagai ketua fakultas, dan mempunya tiga jurusan,

yaitu:Tarbiyah, Qadla, dan Dakwah.

Setelah PTAIN di Yogyakarta, di Jakarta berdiri pula sebuah lembaga

tinggi Agama Islam yang diberi nama Akademi Dinas Ilmu Agama pada tanggal 1

Juni 1957 dengan tujuan mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri guna

15 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Tahun

2000/2001, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 1

mencapai ijazah pendidikan akademi dan semi akademi untuk menjadi ahli didik

agama pada sekolah menengah umum, sekolah kejuruan dan sekolah agama.

Lama belajar 5 tahun yang terdiri dari tingkat semi akademi 3 tahun dan tingkat

akademi 2 tahun. ADIA mempunyai tiga jurusan yaitu Jurusan Pendidikn Agama,

Jurusan Bahasa Arab, dan Jurusan Khusus untuk Imam Tentara.

Sesuai dengan fungsinya sebagai akademi dinas, maka mahasiswa yang

mengikuti kuliah pada akademi itu terbatas pada mahasiswa tugas belajar yang

terdiri dari para pegawai/guru agama di lingkungan Departemen Agama dari

berbagai daerah seluruh Indonesia yang masuk berdasarkan seleksi. ADIA ini

dipimpin oleh Prof. Dr. Mahmud Yunus sebagai Dekan dan Prof Bustami Abdul

Gani sebagai Wakil Dekan.16

3. Periode IAIN Al-Jami’ah yang Berpusat di Yogyakarta (1960-1963)

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam kerangka usaha dan

langkah peningkatan pendidikan tinggi Islam, timbullah ide untuk

menggabungkan PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta dalam bentuk

universitas atau institut. Usaha tersebut akhirnya berhasil dengan diresmikannya

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah oleh

Menteri Agama dalam suatu upacara di gedung kepatihan Yogyakarta berdasarkan

Peraturan Presiden RI nomor 11 tahun 1960, tanggal 24 Agustus 1969 (2 Robi’ul

Awwal 1380 H). sedangkan kator pusat IAIN ini bertempat di Yogyakarta.

16 Ibid, h. 2-4

IAIN Cabang Jakart, sebagai ADIA, terdiri dari Fakultas Tarbiyah dan

Fakultas Adab. Sebagai dekan Fakultas Tarbiyah adalah Prof. Dr. Mahmud Yunus

dan dekan Fakultas Adab adalah Prof. Dr. Bustami Abdul Gani.

4. Periode IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1963-2002)

Mengingat perkembangannya yang pesat, IAIN yang berpusat di

Yogyakarta kemudian dibagi menjadi dua institut berdasarkan keputusan Menteri

Agama RI no 49 tahun 1963 tanggal 25 Pebruari 1963. IAIN yang berpusat di

Yogyakarta menjadi IAIN Sunan Kalijaga dan IAIN yang berpusat di Jakarta

menjadi IAIN Syarif Hidayatullah.

Rektor IAIN Syarif Hidayatullah pada saat itu dijabat oleh Prof. Drs.

Soenardjo dn mempunyai empat fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah, Fakultas Adab,

Fakultas Ushuluddin di Jakarta, dan Fakultas Syari’ah di Serang. Di samping itu

juga mengkoordinasikan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah di Banda Aceh

dan Palembang. Dalam masa dua tahun sampai tahun 1965 dibuka pula fakultas-

fakultas baru, yaitu Fakultas Tarbiyah di Serang, Cirebon, Padang, dan Pekanbaru,

serta Fakultas Syari’ah di Jambi. Cabang-cabang IAIN Jakarta ini kemudian satu

per satu berdiri sendiri menjadi IAIN maupun STAIN. Sejak diterbitkannya

Keputusan Menteri Agama RI no 15 tahun 1988, IAIN Jakarta terdiri dari

Fakultas Tarbiyah, Fakultas Adb, Fakultas Ushuluddin, Fakultas Syari’ah, dan

Fakultas Dakwh di Jakarta dan Fakultas Tarbiyah di Pontianak. Selanjutnya,

berdasarkan Keputusan Presiden RI no 11 tahun 1997 tentang perubahan status

fakultas daerah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), maka

Fakultas Tarbiyah Pontianak berdiri sendir sebagai STAIN Pontianak.

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu IAIN tertua di

Indonesia menempati posisi unik dan strategis, tidak hanya sebagai ‘Jendela Islam

di Indonesia’, tetapi juga simbol bagi kemajuan pembangunan nasional,

khususnya di bidang pembangunan sosial-keagamaan.

Sebagai upaya untuk mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama,

leambaga ini mulai mengembangkan diri dengan konsep IAIN dengan mandat

yang lebih luas (IAIN with wider mandate) menuju terbentuknya Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Langkah konversi ini lebih

diintensifkan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dengan

dibukanya Jurusan Psikologi dan Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah,

serta Jurusn Ekonomi dan Perbankan Islam pada Fakultas Syari’ah pada tahun

akademik 1998/1999. pada tahun 2000 dibuka Program Studi Agribisnis dan

Teknik Informatika bekerjasma dengan IPB dan BPPT, Manajemen, dan

Akuntansi. Pada tahun 2001 diresmikan Fakultas Psikologi dan Fakultas Dirasat

Islamiyah bekerjasama dengan Al-Azhar Mesir. Selain itu dilakukan juga upaya

kerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) sebagai penyandang dana

pembangunan kampus yang modern, McGill University (CIDA), Leiden

University (INIS), Univearsitas Al-Azhar (Kairo), King Saud University

(Riyadh),UI, IPB, UMJ, Ohio University, LIA, BPPT, Bank BNI, Bank

Mu’amalat Indonesia, dan lain-lain.

Langkah perubahan bentuk IAIN menjadiUIN mendapat rekomendasi

dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan

Nasional RI nomor 4/U/KB/2001 dan Menteri agama RI nomor 500/2001 tanggal

21 Nopember 2001, dan di samping itu 12 program studi ilmu sosial dan eksakta

(Teknik Informatika, Sitem Informasi, Akuntansi, Manajemen, Agribisnis,

Psikologi, Bahasa dn Sastera Inggris, Ilmu Perpustakaan, Matematika, Kimia,

Fisika, dan Biologi) mendapat izin operasional dari Dirjen Pendidikan Tinggi

Depdiknas RI dalam surat nomor 088796/MPN2001 tanggal 22 Nopember 2001.

Lebih lanjut, rancangan Keppres tentang perubahan bentuk IAIN menjadi

UIN Syarif Hidyatullah Jakarta juga telah mendapat rekomendasi dan

pertimbangan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI dan Dirjen Anggaran

Departemen Keuangan RI nomor 02/M-PAN/I/2002 tanggal 9 Januari 2002 dan

nomorS-490/MK-2/2002 tanggal 14 Pebruari 2002. rekomendasi ini merupakan

dasr bagi Keppres no 31 tanggal 20 Mei 2002 tentang perubahan IAIN Jakarta

menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mulai 20 Mei 2002)

IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta resmi berubah menjadi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dengan terbitnya Keputusan Presiden RI nomor 31 tahun

2002 tanggal 20 Mei 2002. Peresmiannya dilakukan oleh wakil Presiden Hamzah

Haz tanggal 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke-45 dan

Lustrum ke-9 serta pemancangan tiang pertama pembangunan kampus UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.17

Sebagai upaya awal untuk menghilangkan dikotomi ilmu, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta mulai tahun akademik 2002/2003 menetapkan nama-nama

fakultas sebagai berikut:

17 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Akademik Tahun

2002/2003, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002), h. 1-7

a. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

b. Fakultas Adab dan Humaniora

c. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

d. Fakultas Syari’ah dan Hukum

e. Fakultas Dakwah dan Komunikasi

f. FakultasDirasat Islamiyah

g. Fakultas Psikologi

h. Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial

i. Fakultas Sains dan Teknologi

j. Program Pascasarjana

B. Visi, Misi, dan Tujuan

1. Visi

Untuk dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan

UIN Syarif Hidayatullah maka perlu dibuatkan gambaran masa depan

yang dirumuskan dalam sebuah visi. Dan visi yang dirumuskan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta adalah: “Menjadikan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta sebagai lembaga pendidikan tinggi terkemuka dalam

mengintegrasikan aspek keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan.”18

2. Misi

Untuk merealisasikan visi di atas maka dirumuskanlah misi sebagai berikut:19

a. Menghasilkan sarjana yang memiliki keunggulan kompetitif dalam

persaingan global.

18 Ibid, h.7 19 Ibid

b. Melakukan reintegrasi epistemologi keilmuan.

c. Memberikan landasan moral terhadap pengembangan iptek dan

melakukan pencerahan dalam pembinaan imtaq.

d. Mengembangkan keilmuan melalui kegiatan penelitian.

e. Memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup

masyarakat.

3. Tujuan

Bertolak dari visi dan misi di atas maka dirumuskanlah tujuan sebagai berikut:20

a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki

kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,

mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan agama

Islam.

b. Mengembangkan dan meanyebarluaskan ilmu pengetahuan agama

Islam serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatan taraf

kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

C. Pengajaran Bahasa Arab di UIN

1. Jurusan-jurusan Bahasa Arab

Di sini hanya ditampilkan empat jurusan yang dipandang sebagai

jurusan-jurusan yang secara khusus mempelajari Bahasa Arab dan ilmu-

ilmu Bahasa Arab, yaitu Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Jurusan

Pendidikan Bahasa Arab, Jurusan Tarjamah, Jurusan/Fakultas Dirasat

Islamiyah. Ini dijadikan tempat dan sumber penelitian karena efektifitas

20 Ibid

pembelajaran Bahasa Arab pada keempat jurusan ini, mata kuliah Bahasa

Arab bukan sekedar melengkapi kurikulum.

a. Jurusan Bahasa dan Sastra Arab

Jurusan Bahasa dan Sastra Arab bertujuan menyiapkan tenaga-

tenaga ahli yang dapat memahami ajaran Islam dari sumber aslinya ( Al-

Qur'an dan Hadits ) dan mengisi kekurangan tenaga-tenaga ahli yang

bertugas dalam Hubungan Internasional, lembaga-lembaga penelitian,

kegiatan nasional, internasional, dan sebagainya. Singkatnya, jurusan

Bahasa dan Sastra Arab bertujuan untuk mencetak sarjana yang menguasai

bidang bahasa dan sastra Arab.

b. Jurusan Pendidikan Bahasa Arab

Jurusan PBA ini bertujuan mencetak sarjana di bidang Bahasa

Arab. Jurusan ini menyiapkan sarjana bidang keguruan bahasa Arab yang

profesional untuk mengajar pada jenjang Madrasah aliyah dan sederajat

c. Jurusan Tarjamah

Jurusan Tarjamah ini bertujuan untuk mencetak sarjana yang ahli

di bidang penerjemahan baik dari bahasa Arab ke Indonesia atau dari

bahasa Indonesia ke Arab.

d. Fakultas/Jurusan Dirasat Islamiyah

Fakultas Dirasat Islamiyah bertujuan menyiapkan lulusan yang ahli

dan profesional dalam bidang studi Islam dan Bahasa Arab dengan standar

mutu Universitas Al-Azhar Mesir

2. Tujuan

Secara umum pembelajaran Bahas Arab di UIN bertujuan agar:

a. Mahasiswa mampu membaca dan memahami teks-teks yang

berhubungan agama, sosial, dan pendidikan.

b. Mahasiswa memahami bentuk serta jabatan kata dalam kalimat.

c. Mahasiswa mempunyai sikap yang positif terhadap Bahasa Arab

sebagai alat untuk mengembangkan studi agama dan mendalami dan

mengamalkan ajaran Islam.

3. Kurikulum

Sebagai Mata Kuliah Umum (MKDU), Bahasa Arab diajarkan

di semua fakultas dan jurusan di UIN Syarif Hidayatullah21 sebanyak 4

sks.

Sebagai Mata Kuliah Keahlian (MKK) di jurusan-jurusan ini diajarkan

pula mata kuliah-mata kuliah ilmu-ilmu kebahasa-araban seperti: Ilmu

Nahwu, Ilmu Sharf, Ilmu Balagah, Ilmu Lugah ‘Am (Linguistik Umum),

Fiqh al-Lugah (Linguistik Khusus), dan lain-lain. Selain itu diajarkan pula

mata kuliah-mata kuliah yang berkaitan dengan keterampilan berbahasa

seperti: Ta’bir Syafawi (Muhadatsah), Tarjamah, Muthala’ah, Insya, dan

lain-lain, bisa dilihat pada lampian.

21 Mata kuliah Bahasa Arab sebagai Mata Kuliah Dasar Umum diajarkan di semua jurusan kecuali

Fakultas/Jurusan Dirasat Islamiyah. Fakultas ini tidak mengajarkan Bahasa Arab sebagai satu mata

kuliah khusus, karena mahasiswa pada fakultas ini sudah dianggap mampu berbahasa Arab. Tapi

pada fakultas ini diajarkan ilmu-ilmu kebahasa-araban.

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DI LAPANGAN

A. Identitas Responden

Tabel 1

Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin N %

1 Laki-laki 29 58

2 Perempuan 21 42

Jumlah 50 100

Berdasarkan data responden, tampak 58% responden adalah laki-laki, dan

42% adalah perempuan. Tampaknya jumlah mahasiswa pada beberapa

jurusan/program studi, dalam hal ini jurusan-jurusan Bahasa Arab, lebih banyak

dari pada jumlah mahasiswi.

Tabel 2

Fakultas

No. Fakultas N %

1 Adab & Humaniora 30 60

2 Tarbiyah & Ilmu Keguruan 10 20

3 Dirasat Islamiyah 10 20

Jumlah 50 100

Responden kebanyakan berasal dari Fakultas Adab dan Humaniora yaitu

sebanyak 60%, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan sebanyak 20%, dan

Fakultas Dirasat Islamiyah sebanyak 20%.

Tabel 3

Jurusan

No. Jurusan N %

1 Bahasa & Sastra Arab 17 34

2 Terjemah 13 26

3 Pendidikan Bahasa Arab 10 20

4 Dirasat Islamiyah 10 20

Jumlah 50 100

Sedangkan berdasarkan jurusan, responden dari jurusan Bahasa dan Sastra

Arab sebanyak 34%, jurusan Tarjamah sebanyak 26%, jurusan Pendidikan Bahasa

Arab sebanyak 20%, dan jurusan Dirasat Islamiyah sebanyak 20%

Tabel 4

Asal Sekolah

No. Asal Sekolah N %

1 MA 37 74

2 SMU 6 12

3 Pesantren 7 14

Jumlah 50 100

Dilihat dari latar belakang pendidikan mahasiswa, sebagian besar

responden berasal dari sekolah agama yaitu dari Madrasah Aliyah Negeri dan

Swasta dan Pesantren. Sedangkan rinciannya adalah sebagai berikut: Madrasah

Aliyah mencapai 74%, Pesantren mencapai 14%, dan Sekolah Menengah Umum

mencapai 12%.

Tabel 5

Bahasa Ibu

No. Bahasa Ibu N %

1 Betawi 13 26

2 Sunda 12 24

3 Jawa 10 20

4 Minang 2 4

5 Sasak 2 4

6 Palembang 1 2

7 Indonesia 10 20

Jumlah 50 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa bahasa ibu responden yang paling

dominan adalah Bahasa Betawi sebanyak 26%, kemudian Bahasa Sunda sebanyak

24%, selanjutnya Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia memiliki jumlah responden

yang sama banyak yaitu masing-masing 20%. Sedangkan sisanya sebanyak 10%

dibagi-bagi kepada Bahasa Minang sebanyak 4%, Bahasa Sasak sebanyak 4%,

dan Bahasa Palembang sebanyak 2%.

Tabel 6

Bahasa Sehari-hari

No. Bahasa Sehari-hari N %

1 Betawi 8 16

2 Sunda 7 14

3 Jawa 1 2

4 Melayu 1 2

5 Minang 1 2

6 Indonesia 32 64

Jumlah 50 100

Walaupun pada tabel 15 Bahasa Betawi lebih dominan dari bahasa

lainnya, namun pada kehidupan sehari-harinya para mahasiswa lebih banyak

menggunakan Bahasa Indonesia yaitu 64% dari responden, kemudian disusul

Bahasa Betawi sebanyak 16%, Bahasa Sunda 14%, dan Bahasa Jawa, Bahasa

Melayu, Bahasa Minang masing-masing sebanyak 2%.

B. Tujuan

Tabel 7

Mengetahui Tujuan PBA di Jurusan

No. Jawaban N %

1 Ya 33 66

2 Tidak 17 34

Jumlah 50 100

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden

mengetahui tujuan Pengajaran Bahasa Arab di jurusan masing-masing, yaitu

sebanyak 66%. Sedangkan yanng menyatakan tidak mengetahui sebanyak 34%.

Tabel 8

Dari mana Mengetahui Tujuan

No. Jawaban N %

1 Dosen 23 70

2 Kebijakan Jurusan 3 9

3 Teman 1 3

4 Dekan 1 3

5 Kesimpulan pribadi 3 9

6 Silabus 1 3

7 Perkuliahan 1 3

Jumlah 33 100

Adapun yang menjadi sumber bagi para mahasiswa, dari jumlah

mahasiswa yang mengetahui tujuan yaitu 33 orang, untuk mengetahui tujuan

pengajaran Bahasa Arab tersebut, mayoritas responden menyatakan dari dosen

yaitu sebanyak 70%, kemudian dari kebijakan jurusan sebanyak 9%, dari

kesimpulan sendiri sebanyak 9%, dari teman sebanyak 3%, dari dekan sebanyak

3%, dari silabus sebanyak 3%, dan dari perkuliahan sebanyak 3%.

Tabel 9

Tujuan PBA Sesuai dengan Kebutuhan

No. Jawaban N %

1 Ya 14 42

2 Tidak 18 55

3 Kadang-kadang 1 3

Jumlah 33 100

Dari tabel di atas terlihat bahwa mayoritas mahasiswa merasa bahwa

tujuan Pengajaran Bahasa Arab di jurusan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan

mereka, mencapai 55%, sedangkan yang merasa sesuai sebanyak 48%, dan

lainnya sebanyak 2% menyebut kadang-kadang sesuai dan kadang-kadang tidak.

Tabel 10

Alasan Tidak Tahu Tujuan PBA

No. Jawaban N %

1 Dosen tidak menjelaskan tujuan

PBA

12 70

2 Jurusan belum membuat

kurikulum

2 12

3 Tidak jelas semuanya 2 12

4 Kurikulumnya tidak jelas 1 6

Jumlah 17 100

Sedangkan dari 17 mahasiswa yang tidak mengetahui tujuan Pengajaran

Bahasa Arab tersebut mereka memberi alasan beragam, yaitu sebanyak 70%

responden mengatakan bahwa dosen tidak menjelaskan tujuan, 12% responden

mengatakan bahwa jurusan belum membuat kurikulum, 12% responden lainnya

menyatakan tidak jelas semuanya, dan sebanyak 6% responden menyatakan

kurikulumnya yang tidak jelas.

Tabel 11

Dosen Menjelaskan Tujuan PBA di Awal Perkuliahan

No. Jawaban N %

1 Ya 15 30

2 Tidak 22 44

3 Tidak tahu 13 26

Jumlah 50 100

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden menyatakan

bahwa dosen tidak memberi penjelasan mengenai tujuan Pengajaran Bahasa Arab

di jurusan mereka, yaitu sebanyak 44% responden, 30% responden menyatakan

bahwa dosen menjelaskan tujuan, dan 26% responden mengatakan tidak tahu.

C. Kurikulum

Tabel 12

Mengetahui Kurikulum Bahasa Arab

No. Jawaban N %

1 Ya 21 42

2 Tidak 29 58

Jumlah 50 100

Tabel di atas menyatakan bahwa jumlah mahasiswa yang tidak mengetahui

kurikulum Bahasa Arab di jurusannya masing-masing lebih dominan dari pada

jumlah mahasiswa yang mengetahuinya. 58% responden menyatakan tidak tahu,

sedangkan sisanya, yaitu 42%, mengaku telah mengetahui kurikulum yang akan

dipelajari.

Tabel 13

Waktu yang Disediakan Cukup untuk Memenuhi Target Kurikulum

No. Jawaban N %

1 Sangat leluasa 2 4

2 Cukup 13 26

3 Tidak cukup 35 70

Jumlah 50 100

Tabel di atas menggambarkan waktu yang disediakan untuk memenuhi

target kurikulum, mayoritas responden menyatakan bahwa waktu yang disediakan

tidak cukup untuk memenuhi target, ini dapat dilihat dari prosentase yang

mencapai 70%, sedangkan yang menyatakan cukup mencapai 26%, dan yang

menyatakan sangat leluasa hanya mendapat 4%.

Tabel 14

Alasan Tidak Cukupnya waktu untuk Memenuhi Target Kurikulum

No. Jawaban N %

1 Jumlah sks yang terlalu sedikit - -

2 Banyak materi yang kurang sesuai 10 20

3 Kurangnya sarana dan prasarana

yang mendukung

31 62

4 Banyak materi yang kurang sesuai

dan kurangnya sarana dan

prasaran yang mendukung

3 6

5 Kualitas dosen yang kurang 1 2

6 Disiplin dosen yang kurang 2 4

7 Kualitas dan disiplin dosen yang

kurang

1 2

8 Banyak materi yang tumpang

tindih

2 4

Jumlah 50 100

Berkaitan dengan alasan tidak cukupnya waktu untuk memenuhi target

kurikulum mayoritas responden yaitu sebanyak 62% mempersoalkan minimnya

sarana dan prasarana pendukung, kemudian banyaknya materi yang kurang sesuai

juga menjadi alasan 20% responden. 6% responden justru mempersoalkan kedua-

duanya (banyaknya materi yang kurang sesuai dan minimya sarana dan prasarana

yang mendukun), Faktor kurangnya disiplin para dosen dan banyaknya materi

yang tumpang tindih dikemukakan oleh masing-masing 4% responden, kualitas

dosen yang kurang juga menjadi alasan bagi 2% responden, sedangkan 2%

lainnya menyebutkan kurangnya kualitas dan disiplin para dosen sebagai alasan.

Tabel 15

Faktor yang Mendukung dan Menghambat Suksesnya Pelaksanaan Kurikulum

No. Jawaban N %

1 Dosen 3 6

2 Buku-buku/Referensi 10 20

3 Sarana penunjang pembelajaran 26 52

4 Dosen dan Referensi 2 4

5 Referensi dan sarana penunjang 1 2

6 Penyusunan kurikulum 1 2

7 Lokal belajar 3 6

8 Sekjur kurang teliti 1 2

9 Sistem 1 2

10 Sarana penunjang dan

penyusunan kurikulum

1 2

11 Sistem dan sarana penunjang 1 2

Jumlah 50 100

Tabel di atas menggambarkan faktor-faktor yang dapat mendukung

sekaligus menghambat suksesnya pelaksanaan kurikulum yang ada. Sarana

penunjang pembelajaran menjadi faktor yang paling dominan yaitu mencapai 52%

responden, buku-buku/referensi sebanyak 20% responden, faktor dosen sebanyak

6% responden, masalah lokal belajar sebanyak 6% responden, dosen dan referensi

sebanyak 4% responden, referensi dan sarana penunjang sebanyak 2% responden,

penyusunan kurikulum sebanyak 2% responden, kekurang telitian sekretaris

jurusan sebanyak 2% responden, semerawutnya sistem sebanyak 2% responden,

sarana penunjang dan masalah penyusunan kurikulum sebanyak 2% responden,

dan masalah kesemerawutan sistem dan sarana penunjang sebanyak 2%

responden.

Tabel 16

Pandangan terhadap Keberadaan Kurikulum yang sedang Berjalan

No. Jawaban N %

1 Dirombak total 13 26

2 Dimodifikasi 11 22

3 Disesuaikan 25 50

4 Seperti adanya 1 2

Jumlah 50 100

Setelah melihat kekurangan-kekurangan kurikulum yang sedang berjalan,

para mahasiswa memberikan komentar berkaitan dengan keberadaan dan masa

depan kurikulum tersebut. Separuh mahasiswa atau 50% responden menyatakan

bahwa kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan. 26%

responden menginginkan kurikulum dirombak total, 22% responden mengusulkan

kurikulum lebih dimodifikasi lagi, dan 2% responden membiarkan kurikulum apa

adanya.

Tabel 17

Kurikulum Bahasa Arab di Jurusan sudah Sesuai dengan Tujuan PBA

No. Jawaban N %

1 Ya 15 30

2 Tidak 32 64

3 Tidak tahu 3 6

Jumlah 50 100

Tabel di atas menggambarkan pendapat para mahasiswa tentang

kesesuaian kurikulum Bahasa Arab di jurusan mereka dengan tujuan pengajaran

Bahasa Arab di sana. 64% responden menyatakan tidak adanya kesesuaian, 30%

menyatakan sudah sesuai, dan 6% mengaku tidak tahu.

D. Dosen

Tabel 18

Dosen sudah Mengajarkan Bahasa Arab dengan Baik

No. Jawaban N %

1 Ya 22 44

2 Tidak 28 56

Jumlah 50 100

Ketika diminta untuk menjawab pertanyaan berkaitan dengan kinerja

dosen dalam mengajar, 56% responden mengatakan tidak baik, sedangkan 44%

responden lainnya mengatakan sudah baik.

Tabel 19

Faktor yang Menyebabkan Dosen tidak Mengajar Bahasa Arab dengan Baik

No. Jawaban N %

1 Kurang menguasai materi 1 3,6

2 Metode tidak sesuai 11 39

3 Lemahnya analisa kebahasaan 14 50

4 Kurangnya pengalaman 1 3,6

5 Cara penyampaian dosen

menjemukan

1 3,6

Jumlah 28 99,8 (100)

Faktor paling menonjol yang dirasakan oleh para mahasiswa yang

menyebabkan dosen tampak tidak baik dalam mengajar Bahasa Arab adalah

lemahnya analisa kebahasaan sebagai faktor paling dominan yang dipilih oleh

50% responden, metode tidak sesuai dipilih oleh 39% responden, kurang

menguasai materi dipilih oleh 3,6% responden, kurang pengalaman dalam

mengajar dipilih oleh 3,6% responden, 3,6% responden menyatakan bahwa cara

penyampaiannya menjemukan.

Tabel 20

Dosen Menggunakan Sarana Penunjang dalam Mengajar Bahasa Arab

No. Jawaban N %

1 Selalu - -

2 Sering 2 4

3 Jarang 30 60

4 Tidak sama sekali 18 36

Jumlah 50 100

Dalam melakukan proses belajar mengajar mata kuliah Bahasa Arab, agar

pelajaran lebih mudah dicerna, sebaiknya dosen dibantu dengan sarana penunjang

lainnya. Tabel di atas menggambarkan usaha dosen dalam menggunakan sarana

penunjang. 60% responden mengatakan bahwa dosen jarang menggunakan sarana

penunjang, 36% responden mengatakan tidak pernah menggunakan, dan hanya

4% responden yang mengatakan sering menggunakan.

Tabel 21

Dosen Mengajar Sesuai dengan Silabus yang Ditetapkan Jurusan

No. Jawaban N %

1 Ya 41 82

2 Tidak 8 16

3 Tidak tahu 1 2

Jumlah 50 100

Dalam menyusun program pengajaran Bahasa Arab, dosen semestinya

berpedoman pada silabus yang sudah ditetapkan jurusan. Begitu juga ketika dosen

melaksanakan proses belajar mengajar, semestinya dosen menyesuaikan dengan

silabus yang ada. Tabel di atas menunjukkan pandangan para mahasiswa atas hal

itu. 82% responden mengatakan sudah sesuai, 16% mengatakan tidak sesuai, 2%

mengatakan tidak tahu.

Tabel 22

Dosen Mendorong Mahasiswa untuk Dapat Menguasai Bahasa Arab Sesuai

dengan Tujuan

No. Jawaban N %

1 Selalu 19 38

2 Kadang-kadang 29 58

3 Tidak pernah 2 4

Jumlah 50 100

Untuk dapat menguasai Bahas Arab sesuai dengan tujuan, selain

melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, dosen juga dituntut untuk

selalu memberikan dorongan dan motivasi, dan itu biasanya jarang dilakukan oleh

para dosen. Itu setidaknya dapat dilihat dari tabel di atas. 58% responden

mengatakan hal itu kadang-kadang dilakukan, 38% responden mengatakan selalu

dilakukan, dan hanya 4% yang mengatakan tidak pernah.

E. Materi

Tabel 23

Materi Bahasa Arab yang Diberikan Dosen Mendukung Pencapaian Tujuan

No. Jawaban N %

1 Ya 25 50

2 Tidak 25 50

Jumlah 50 100

Dalam melihat materi Bahasa Arab yang disampaikan dosen, apakah hal itu

mendukung pencapaian tujuan, 50% reponden mengatakan “ya” dan sebanyak itu

pula yang mengatakan tidak.

Tabel 24

Keterampilan yang paling Ditekankan Dosen

No. Jawaban N %

1 Menyimak 11 22

2 Berbicara 11 22

3 Membaca 15 30

4 Menulis 4 8

5 Menyimak dan menulis 2 4

6 Semuanya 5 10

7 Tidak satu pun 2 4

Jumlah 50 100

Dalam belajar bahasa dikenal empat keterampilan yaitu: keterampilan

menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan

menulis. Dalam menyajikan materi dosen mana yang lebih ditekankannya. 30%

responden menyebut keterampilan membaca yang paling ditekankan, 22%

responden menyebut keterampilan menyimak, 22% respon menyebut

keterampilan berbicara, 10% responden menyebutkan semua keterampilan

berbahasa, 8% responden menyebut keterampilan menulis, 4% menyebut dua

keterampilan yaitu menyimak dan menulis, dan 4% lainnya mengatakan tidak satu

pun keterampilan bahasa yang ditekankan.

Tabel 25

Dosen sudah Komunikatif dalam Mengajar Bahasa Arab

No. Jawaban N %

1 Ya 20 40

2 Tidak 27 54

3 Tidak tahu 3 6

Jumlah 50 100

Dalam rangka memberi rangsangan kepada para mahasiswa, semestinya

dosen bersikap komunikatif dalam proses belajar mengajar Bahasa Arab. Ditanya

tentang hal itu 54% responden mengatakan bahwa dosen tidak komunikatif, 40%

responden mengatakan komunikatif, dan 6% responden mengatakan tidak tahu.

Tabel 26

Kepuasan Mahasiswa terhadap Materi Bahasa Arab

No. Jawaban N %

1 Sangat puas 3 6

2 Puas 13 26

3 Tidak puas 26 52

4 Sangat tidak puas 5 10

5 Tidak tahu 3 6

Jumlah 50 100

Tabel di atas menggambarkan kadar kepuasan para mahasiswa terhadap

pengajaran Bahasa Arab di jurusan mereka. Mahasiswa yang tidak puas mencapai

52% responden, yang puas sebanyak 26% responden, yang merasa sangat tidak

puas sebanyak10% responden, yang sangat puas sebanyak 6% responden, dan

yang tidak menyatakan sikap sebanyak 6% responden.

Tabel 27

PBA di Jurusan Membantu Memahami Teks-teks yang Berkaitan dengan

Konsentrasi Mahasiswa

No. Jawaban N %

1 Ya 20 40

2 Tidak 29 58

3 Kadang-kadang 1 2

Jumlah 50 100

Pengajaran Bahasa Arab di jurusan-jurusan semestinya dapat membantu para

mahasiswa untuk memahami teks-teks berbahasa Arab yang berkaitan dengan

konsentrasi mereka. Dari tabel di atas terlihat bahwa mahasiswa yang merasa

tidak terbantu lebih dominan yaitu mencapai 58% responden, sedangkan 40%

responden merasa terbantu, dan 2% responden lainnya merasa kadang-kadang

terbantu.

F. F. Sarana Penunjang

Tabel 28

Sarana Penunjang PBA yang Ada

No. Jawaban N %

1 Buku-buku 31 62

2 Audio visual 1 2

3 Laboratorium 3 6

4 Buku-buku dan audio visual 2 4

5 Buku-buku dan laboratorium 4 8

6 Buku-buku, audio visual, dan

laboratorium

2 4

7 Tidak ada 4 8

8 Papan tulis dan spidol 1 2

9 Praktikum percakapan 1 2

10 Micro teaching 1 2

Jumlah 50 100

Tabel di atas menggambarkan sarana penunjang pengajaran Bahasa Arab

yang ada di beberapa jurusan. 68% responden menyebutkan hanya buku-buku

(perpustakaan) yang menjadi sarana penunjang, 8% responden menyebutkan

buku-buku dan laboratorium, 6% responden menyebutkan laboratorium, 4%

responden menyebutkan buku-buku dan audio-visual sebagai sarana penunjang,

4% responden menyebutkan buku-buku, audio-visual dan laboratorium, 2%

responden hanya menyebutkan audio-visual, 2% responden menyebutkan papan

tulis dan spidol, 2% responden menyebutkan praktikum percakapan, 2%

responden menyebutkan micro teaching, dan 8% responden menyebut tidak ada.

Tabel 29

Sarana Penunjang Mendukung Peningkatan Kualitas Belajar Bahasa Arab

No. Jawaban N %

1 Sangat mendukung 9 18

2 Sedikit mendukung 13 26

3 Kurang mendukung 21 42

4 Tidak mendukung 4 8

5 Tidak tahu 3 6

Jumlah 50 100

Ketika ditanya tentang kegunaan sarana-sarana penunjang tersebut

terhadap peningkatan kualitas belajar Bahasa Arab, 42% responden menyatakan

kurang mendukung, 26% responden menyatakan sedikit mendukung, 18%

responden menyatakan sangat mendukung, 8% responden menyatakan tidak

mendukung, dan 6% responden menyatakan tidak tahu.

Tabel 30

Kampus Mendukung Suksesnya Proses Belajar Mengajar Bahasa Arab

No. Jawaban N %

1 Sangat mendukung 7 14

2 Sedikit mendukung 7 14

3 Kurang mendukung 22 44

4 Tidak mendukung 12 24

5 Tidak tahu 2 4

Jumlah 50 100

Tabel terakhir ini menggambarkan andil lingkungan kampus dalam

mendukung suksesnya proses bealajar mengajar Bahasa Arab di jurusan-jurusan.

44% responden mengatakan bahwa lingkungan kampus kurang mendukung PBM

Bahasa Arab, 24% responden mengatakan tidak mendukung, 14% responden

mengatakan sedikit mendukung, 14% responden mengatakan sangat mendukung,

dan 4% responden mengatakan tidak tahu.

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tujuan Pengajaran Bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tampaknya belum sesuai dengan kebutuhan Mahasiswa,

baik dalam praktek komunikasi ataupun dalam mendukung peningkatan

pemahaman terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan program studi

yang mereka tekuni.

2. Kurikulum Bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta belum secara utuh menampilakan konsep pragmatik hal ini bisa dilihat

dalam kurikulum dan silabus yang disajikan terlalu umum.

3. Dalam hal seperti itu, dosen yang semestinya mempunyai inisiatif dan

persiapan yang matang, sebagian mereka mengajar dengan tanpa konsep.

4. dalam hal seperti ini pula, dosen, ketika mengajar, semestinya menggunakan

sebanyak mungkin sarana penunjang, dan tidak hanya mengutamakan

keterampilan membaca tapi juga yang lainnya seperti keterampilan menyimak,

keterampilan berbicara, dan keterampilam menulis.

B. Saran-saran

1. Para dosen Bahasa Arab lebih memahami lagi konsep pragmatik, sehingga

hal itu bisa berdampak baik ketika memberi kuliah.

2. Pihak yang berwenang lebih memperhatikan lagi peningkatan kualitas dosen-

dosen Bahasa Arab melalui pelatihan dan workshop yang diikuti oleh seluruh

dosen mata kuliah ini.

3. Dalam penyusunan kurikulum, seluruh dosen terkait dilibatkan, tidak hanya

sebagian kecil saja.

4. Pihak yang berwenang hendaknya lebih memperhatikan juga sarana

penunjang pengajaran Bahasa Arab, sehingga para dosen tidak kesulitan lagi

mengembangkan materi perkuliahannya.