bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan keberagaman flora
dan fauna. Masyarakat Indonesia memanfaatkan kekayaan flora yang ada
disekitarnya menjadi obat yaitu dengan mengolahnya menjadi Jamu. Hingga saat
ini banyak masyarakat yang masih mengkonsumsi Jamu sebagai suplemen tubuh
maupun untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Salah satu contoh jamu yang
terkenal adalah kunyit asam. Khasiat utama dari kunyit berasal dari kandungan zat
aktif kurkuminoid di dalamnya yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan bagian
pigmen kuning yang terdapat dalam rimpang. Sebuah studi mengenai senyawa
kurkumin menunjukkan bahwa senyawa ini memiliki sejumlah aktivitas biologis
seperti antibakteri, antiprotozoa, antivirus, antiinflamasi (Chattopadhyay dkk.,
2004), antioksidan (Rao, 1997), antitumor dan antikarsinogenik (Huang dkk.,
1997).
Kurkumin terdapat pada berbagai genus Curcuma dalam jumlah yang
relatif kecil dan variasi struktur yang terbatas. Hal ini merupakan kendala bagi
penggunaan kurkumin dalam bidang pengobatan mengingat aktivitas biologis
kurkumin yang poten dan beragam. Selain jumlah yang cukup juga dibutuhkan
variasi struktur yang beragam. Kondisi ini sulit diperoleh melalui isolasi bahan
alam sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan metode sintesis
kurkumin (Pedersen dkk., 1985).
2
Penelitian untuk mensintesis senyawa-senyawa analog kurkumin telah
berhasil dilakukan dan dihasilkan 47 molekul berbeda. Berdasarkan struktur
cincin tengahnya, senyawa-senyawa ini dibagi menjadi tiga seri
(Heksagamavunon, Pentagamavunon, dan Gamavuton). Salah satu dari 47
senyawa analog kurkumin hasil sintesis Sardjiman (2000) adalah 1,5-bis-(4'-
triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on atau senyawa dengan kode C7 (seri
Gamavuton, struktur tengah tanpa cincin yang terikat pada karbonil). Senyawa ini
memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Aktivitas antibakteri dari senyawa ini
masih kurang baik sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mendapatkan senyawa turunan C7 dengan aktivitas yang lebih baik (Sardjiman,
2000).
PGV-0 (Pentagamavunon-0) merupakan satu dari 47 senyawa analog
kurkumin hasil sintesis Sardjiman (2000) yang telah dipatenkan (Sardjiman dkk.,
2004). PGV-0 memiliki aktivitas antioksidan (Sardjiman, 1997), antiinflamasi,
dan antikanker yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin (Da’i, 1998).
PGV-0 memiliki kesamaan stuktur dengan kurkumin, keduanya memiliki profil
farmakokinetika yang kurang baik. Kadar PGV-0 dan kurkumin dalam darah
cepat hilang sehingga profil kadar dalam darahnya mengalami fluktuasi terutama
dengan pemberian oral (Hakim dkk., 2004). Mengacu pada senyawa metabolit
dari kurkumin yaitu tetrahidrokurkumin (THC), maka Ritmaleni dan Simbara
(2010) melakukan sintesis terhadap senyawa Tetrahidropentagamavunon-0
(THPGV-0). Senyawa ini merupakan senyawa metabolit dari PGV-0. Sintesis
dilakukan dengan starting material PGV-0 melalui reaksi hidrogenasi (reduksi
dengan gas hidrogen) menggunakan pelarut metanol. Katalis yang digunakan
3
adalah paladium karbon 10% (Pd/C). Senyawa THPGV-0 hasil hidrogenasi
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan PGV-0 maupun
kurkumin (Ritmaleni dan Simbara, 2010). Widyastani (2012) menjelaskan bahwa
bentuk tereduksi (terhidrogenasi) memiliki aktivitas biologis yang relatif lebih
baik. Senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7, Tetrahidro-C7)
merupakan bentuk modifikasi (terhidrogenasi) dari 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-
penta-1,4-dien-3-on (C7). Senyawa tersebut (THC7) diprediksi memiliki aktivitas
biologis yang lebih baik dibandingkan bentuk tidak terhidrogenasinya (C7).
Metode hidrogenasi yang digunakan oleh Ritmaleni dan Simbara (2010)
telah berhasil diaplikasikan pada beberapa penelitian terhadap sintesis senyawa
analog tetrahidrokurkumin yang lain seperti Tetrahidro-pentagamavunon-1
(THPGV-1) dari starting material Pentagamavunon-1 (PGV-1) (Andhini, 2012),
Tetrahidro-heksagamavunon-5 (THHGV-5) dari starting material
Heksagamavunon-5 (HGV-5) (Wibowo, 2013) dan Tetrahidro-heksagamavunon-7
(THHGV-7) dari starting material Heksagamavunon-7 (HGV-7) (Praditya, 2014).
Metode hidrogenasi tersebut diharapkan dapat diterapkan pada senyawa 1,5-bis-
(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) sebagai starting material untuk
mensintesis bentuk terhidrogenasinya yaitu 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-
3-on (THC7).
Sintesis 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) dengan
starting material 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) melalui
reaksi hidrogenasi (reduksi dengan gas hidrogen) belum pernah dilakukan
sebelumnya. Hasil dari sintesis tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan senyawa analog kurkumin yang aman, stabil, memiliki aktivitas
4
biologis yang lebih baik dan spesifik dibandingkan kurkumin itu sendiri sehingga
dapat membantu dalam penemuan obat baru.
B. Rumusan Masalah
Apakah senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7)
dapat disintesis dari starting material 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-
dien-3-on (C7) melalui reaksi hidrogenasi (reduksi) dengan menggunakan katalis
paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut etanol?
C. Pentingnya Penelitian Diusulkan
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan senyawa analog
kurkumin yang aman, stabil, memiliki aktivitas biologis yang lebih baik dan
spesifik dibandingkan kurkumin itu sendiri sehingga dapat membantu dalam
penemuan obat baru.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah senyawa 1,5-bis-(4'-
triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) dapat disintesis dari starting material 1,5-
bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) melalui reaksi hidrogenasi
(reduksi) dengan menggunakan katalis paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut
etanol.
5
E. Studi Pustaka
1. Kurkumin
Kurkumin 1 atau 1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-1,6-heptadiena-
3,5-dion adalah senyawa yang didapat dari tanaman kunyit (Curcuma Longa L.)
dan telah berhasil dikembangkan sintesisnya (Pabon, 1964). Kurkumin telah
diketahui memiliki aktivitas biologis sebagai antiinflamasi, antitrombosis,
antioksidan, antimutagen, antiviral, antiparasitik, dan antimikrobial (Majeed dkk.,
1995).
HO
O O
OCH3H3CO
OH
HO
O O
OCH3H3CO
OH
Gambar 1. Struktur Kurkumin (1) dan Tetrahidrokurkumin (2) (Huang dkk, 1995)
Aktivitas antioksidan kurkumin dipengaruhi oleh gugus hidroksi
aromatik terminal dan gugus β-diketon. Kurkumin telah terbukti memiliki
aktivitas antimutagenik dan antikanker pada senyawa kurkumin (Kuttan dkk.,
1985). Berbagai penelitian lain juga mendukung efek antikanker dan antiinflamasi
pada senyawa kurkumin (Nagabushan dan Bhide, 1992; Huang dkk., 1994).
Kurkumin memiliki aktivitas penghambat siklooksigenase (COX) sebesar 79%
(van der Goot, 1997) dan diduga bersifat COX-2 selektif. Kurkumin tidak toksik
pada gastrointestinal meskipun pada dosis tinggi (Kawamori dkk., 1999).
Kurkumin tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik
seperti kloroform. Secara umum, pada pH di bawah 6,5 kurkumin stabil dan
1
2
6
terdekomposisi dalam pH netral hingga pH basa. Terjadi perbedaan kinetika
degradasi yang signifikan pada kurkumin antara rentang suasana pH 6,5 hingga
pH 6,8. Kurkumin terdekomposisi 90% dalam waktu 30 menit dalam sistem
inkubasi dengan buffer fosfat 0,1 M dan suhu 37 °C. Senyawa trans-6-(4'-
hidroksi-3'-metoksifenil)-2,4-diokso-5-heksenal diketahui sebagai produk utama
degradasi kurkumin dan produk samping berupa vanilin dan asam ferulat. Jumlah
vanilin akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi (Wang dkk.,
1997).
2. Tetrahidrokurkumin (THC)
Senyawa tetrahidrokurkumin 2 atau 1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-
heptana-3,5-dion adalah metabolit utama kurkumin. Senyawa ini memiliki
aktivitas biologi sebagai antioksidan dan antikanker (Pan dkk., 1999). Struktur
senyawa ini analog dengan kurkumin. Perbedaan struktur kedua senyawa ini
terletak pada ikatan karbon-α,β. Gambar 1 memperlihatkan bahwa pada kurkumin
ikatan tersebut merupakan ikatan rangkap (tak jenuh) sedangkan pada
tetrahidrokurkumin ikatannya adalah ikatan tunggal (jenuh). Perbedaan tersebut
menyebabkan terjadinya perbedaan warna pada kedua senyawa, kurkumin
memiliki warna kuning sedangkan tetrahidrokurkumin berwarna putih.
Tetrahidrokurkumin yang merupakan bentuk tereduksi dari kurkumin bersifat
lebih hidrofil dibanding kurkumin sehingga tetrahidrokurkumin memiliki
kestabilan yang lebih baik dalam media berair (Sneharani dkk., 2001).
Tetrahidrokurkumin dapat disintesis melalui proses hidrogenasi dari
kurkumin menggunakan katalis PtO2. Senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan
7
yang lebih baik dibanding kurkumin. Sugiyama dkk, melaporkan bahwa
mekanisme antioksidan tersebut dipengaruhi oleh bagian gugus β-diketon dari
tetrahidrokurkumin (Sugiyama, 1996). Tetrahidrokurkumin terbukti memiliki
potensi besar sebagai agen kemopreventif baru yang lebih poten dari kurkumin
dan telah diuji secara in-vivo (Lai dkk., 2011).
3. Senyawa-senyawa analog kurkumin hasil sintesis
Sejak beberapa dekade terakhir, kurkumin telah banyak diteliti dan
dikembangkan dengan harapan dapat ditemukan senyawa analog kurkumin
dengan aktivitas yang lebih baik dibandingkan kurkumin itu sendiri. Berbagai
peneliti dari seluruh dunia telah mencoba melakukan sintesis terhadap senyawa
analog kurkumin dan meneliti berbagai aspek farmakologi dan farmakokinetik
dari masing-masing senyawa mereka. Sardjiman (2000), telah berhasil
mensintesis 47 senyawa analog kurkumin dengan harapan dapat menemukan
senyawa yang memiliki aktivitas lebih baik dibanding kurkumin. Beberapa dari
senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas biologis yang cukup poten
dibandingkan kurkumin itu sendiri dan telah dipatenkan (Sardjiman dkk., 2004).
Senyawa-senyawa ini dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan struktur cincin
tengahnya yaitu Heksagamavunon 3 (kode A), Pentagamavunon 4 (kode B), dan
Gamavuton 5 (kode C).
8
O
R1
R2
R3
R1
R2
R3O
R1
R2
R3
R1
R2
R3O
R1
R2
R3
R1
R2
R3
Gambar 2. Struktur Heksagamavunon (3), Pentagamavunon (4), dan Gamavuton (5)
(Sardjiman, 2000)
4. Pentagamavunon-0 dan Tetrahidropentagamavunon-0
Senyawa 2,5-bis-(4'-hidroksi-3-metoksibenzilidin)-siklopentanon adalah
salah satu senyawa analog kurkumin hasil sintesis oleh Sardjiman (2000).
Senyawa ini bersama aktivitas biologisnya telah dipatenkan dengan nama PGV-0
(Pentagamavunon-0) (Sardjiman dkk., 2004). Sardjiman melaporkan bahwa
aktivitas antioksidan PGV-0 lebih baik daripada kurkumin (Sardjiman, 1997).
Senyawa PGV-0 diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik
dibandingkan dengan kurkumin. Aksi farmakologis PGV-0 sebagai antiinflamasi
yaitu dengan menghambat biosintesis prostaglandin melalui jalur siklooksigenase
(Nurrochmad, 1997). Meiyanto (2007) meneliti bahwa PGV-0 juga dapat
menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara T47D melalui uji
immunositokimia dan western blot. Hasil penelitian tentang farmakokinetika yang
5
4
3
9
telah dilakukan menunjukkan bahwa profil kadar PGV-0 dalam darah mengalami
fluktuasi terutama dengan pemberian oral (Hakim dkk., 2004).
Ritmaleni dan Simbara (2010) telah berhasil mereduksi
Pentagamavunon-0 (PGV-0) 6a menjadi Tetrahidropentagamavunon-0 6b
(THPGV-0). Tetrahidropentagamavunon-0 dipercaya merupakan senyawa hasil
metabolit PGV-0 didalam tubuh. Reaksi dilakukan melalui reaksi hidrogenasi
menggunakan gas hidrogen (H2) dengan katalis paladium karbon (Pd/C). Hasil
sintesis berupa padatan serbuk putih dengan jumlah rendemen sebesar 24% dan
jarak lebur senyawa 122,2-123,4 °C. Mintariyanti (2010) mengemukakan bahwa
pelarut protik terbaik yang dapat digunakan untuk hasil optimum dari reaksi
hidrogenasi tersebut adalah etanol dengan hasil rendemen hingga 44%.
O
OCH3
OH
H3CO
HO
O
OCH3
OH
H3CO
HO
Pd/CMetanol24%
H2 ,r.t
Gambar 3. Reaksi Hidrogenasi PGV-0 (5) Menjadi THPGV-0 (6)
(Ritmaleni dan Simbara, 2000)
6a
6b
10
5. Senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7)
Salah satu senyawa analog kurkumin hasil sintesis Sardjiman (2000)
adalah 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on 7. Senyawa ini berada
dalam kelompok Gamavuton 5 dengan seri kode C7. Senyawa C7 memiliki bobot
molekul 370,0 gram/mol dengan titik lebur 153,7-155,3 °C. Tidak seperti senyawa
yang lain (kode A 3 dan B 4), senyawa ini memiliki gugus karbonil yang tidak
terikat pada suatu cincin sikloheksana ataupun siklopentana. Senyawa C7
memiliki gugus karbonil yang terikat pada rantai pentana. Senyawa ini sukar larut
dalam air tetapi larut dalam beberapa pelarut organik seperti kloroform dan
metanol. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang kurang poten sebagai
antibakteri (Sardjiman, 2000).
O
CF3 CF3
Gambar 4. Struktur 1,5-Bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (7) (Sardjiman, 2000)
6. Pelarut organik
Keberadaan suatu pelarut tidak termasuk dalam stokiometri reaksi yang
terjadi dalam reaksi kimia, akan tetapi pelarut merupakan komponen penting.
Interaksi antara pelarut dan molekul terlarut dapat memodifikasi aktivitas dan
energi bebas dari molekul atau secara langsung dapat mempengaruhi reaktivitas
dari suatu molekul (Isaacs, 1987).
Molekul dari pelarut dengan momen dipol yang besar dan konsanta
dielektrik yang tinggi termasuk bersifat polar. Sedangkan molekul dari pelarut
7
11
yang memiliki momen dipol yang kecil dan konstanta dielektrik rendah
diklasifikasikan sebagai nonpolar. Sedangkan secara operasional, pelarut yang
larut dengan air termasuk polar, sedangkan pelarut yang tidak larut dalam air
termasuk nonpolar. Berdasarkan kepolaran pelarut, maka pelarut diklasifikasikan
ke dalam tiga kategori sebagai berikut:
a. Pelarut protik polar
Pelarut protik polar merupakan jenis pelarut yang memiliki banyak
muatan proton yang dapat bereaksi dengan atom elektronegatif. Dengan kata lain
pelarut protik polar adalah senyawa yang memiliki momen dipol yang besar dan
mampu untuk mengadakan ikatan hidrogen. Contoh dari pelarut protik polar ini
adalah alkohol, amina, asam karboksilat, dan air
b. Pelarut aprotik polar
Pelarut aprotik polar merupakan jenis pelarut yang memiliki proton
namun tidak memiliki gugus hidroksida atau tidak memiliki proton asam. Proton
biasanya terikat pada karbon sehingga memiliki ikatan dengan momen dipol
besar. Biasanya ikatannya merupakan ikatan ganda antara karbon dengan oksigen
atau nitrogen. Contoh dari pelarut yang termasuk kategori ini adalah
dimetilsulfoksida, alkil sianida, amina sekunder dan keton.
c. Pelarut aprotik non-polar
Pelarut aprotik non-polar merupakan pelarut yang memilki konstanta
dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air. Pelarut dengan kategori ini
memiliki momen dipol yang rendah dan tidak memiliki kemampuan untuk
mendonorkan proton asam. Contoh pelarut dari kategori ini adalah hidrokarbon,
halokarbon, dan eter (Reichardt dan Welton, 2011).
12
7. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu dimana terjadi perubahan bentuk dari padatan
menjadi cairan pada tekanan 1 atm. Kenaikan suhu suatu zat dapat menyebabkan
meningkatnya kinetika partikel suatu zat. Ketika suhu suatu zat dinaikkan, maka
partikel-partikel zat tersebut akan menyerap energi panas dari suhu yang
dinaikkan tersebut. Energi panas ini akan menyebabkan partikel-partikel zat padat
bergerak dengan cepat dan saling menjauh sehingga wujud suatu zat akan
mengalami perubahan (Martin, 1990).
Titik lebur adalah suatu karakteristik penting pada senyawa organik yang
berwujud padat karena dapat digunakan sebagai parameter kemurnian dan juga
sebagai parameter identifikasi suatu senyawa. Senyawa murni akan memiliki
jarak lebur yang sempit yaitu 1-2 °C (Sharp dkk., 1989). Senyawa yang tidak
murni atau mengandung pengotor didalamnya memiliki titik lebur lebih rendah
atau lebih tinggi dari senyawa dalam bentuk murninya, dan memiliki jarak lebur
yang lebih besar.
8. Kromatografi
Kromatografi merupakan teknik yang digunakan untuk tujuan isolasi,
identifikasi, dan kualifikasi komponen di dalam campuran. Prinsip kromatografi
secara umum adalah memisahkan substansi campuran menjadi komponen-
komponennya. Komponen-komponen tersebut akan dipisahkan pada dua fase
yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam berfungsi untuk menahan komponen
campuran sedangkan fase gerak berfungsi untuk melarutkan zat komponen
campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal,
13
sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih
cepat. Kinerja (efisiensi dan resolusi) suatu sistem kromatografi akan semakin
baik seiring dengan semakin kecil ukuran rata-rata fase diam dan semakin sempit
ukuran kisaran fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007).
a. Kromatografi lapis tipis (KLT)
Jenis kromatografi yang paling sederhana adalah kromatografi lapis tipis
(KLT). Kromatografi tipe ini memiliki bentuk planar. Fase diamnya berupa
lapisan homogen yang melekat pada permukaan suatu bidang datar. Lapisan
tersebut didukung oleh suatu lempeng, dimana lempeng tersebut dapat terbuat dari
kaca, alumunium atau plastik. Fase diam ini berperan sebagai penjerap dengan
ukuran partikel kecil. Beberapa contoh fase diam yang biasa digunakan adalah
silika gel, selulosa, alumina, poliamida, penukar ion, dan silika gel yang berikatan
kimia. Fase gerak adalah medium pembawa dari senyawa yang akan diteliti. Fase
gerak dapat berupa larutan tunggal atau campuran dari pelarut organik. Metode
pemisahan komponen pada kromatografi lapis tipis didasarkan pada perbedaan
adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut fase gerak.
Perbedaan tersebut menyebabkan tiap komponen yang terdapat dalam totolan
sampel memiliki kecepatan dan jarak migrasi yang berbeda sesuai dengan sifat
kimianya (Fried dan Sherman, 1994).
Kromatografi lapis tipis sering digunakan untuk tujuan kualitatif,
kuantitatif, maupun tujuan preparatif. Parameter yang digunakan dapat berupa
perhitungan harga Rf (Retardation factor). Nilai Rf merupakan perbandingan
migrasi komponen dibanding jarak migrasi fase gerak. Visualisasi bercak pada
KLT dapat menggunakan sinar ultraviolet (UV) baik pada panjang gelombang
14
254 nm maupun 366 nm. Cara lain yang juga sering digunakan adalah
penyemprotan dengan pereaksi penampak bercak, yang juga berfungsi kualitatif
karena penampak bercak bersifat spesifik terhadap gugus-gugus tertentu. Untuk
keperluan kuantitatif digunakan densitometer yang dapat mengukur kerapatan
suatu bercak, baik kerapatan absorpsi cahaya oleh molekul, ataupun fluoresensi
dari molekul itu (Gandjar dan Rohman, 2007).
b. Kromatografi kolom
Kromatografi kolom merupakan salah satu metode kromatografi dengan
fase gerak cair dan fase diam padat. Prinsip pemisahan dalam kromatografi kolom
sama dengan prinsip pada KLT. Pemisahan dalam sistem kromatografi kolom
dibantu dengan adanya dorongan gravitasi sehingga eluen akan mengalir keluar
kolom melewati fase diam. Penggunaan fase gerak (eluen) disesuaikan dengan
kepolaran senyawa yang akan dipisahkan. Fase diam ditempatkan dalam tabung
kaca berbentuk silinder, pada bagian bawah tertutup dengan katup atau kran dan
fase gerak dibiarkan mengalir ke bawah karena gaya gravitasi. Fase gerak atau
eluen yang merupakan komponen campuran biasanya dipisahkan dengan cara
membiarkannya mengalir keluar dari kolom dan mengumpulkannya sebagai
fraksi. Jenis adsorben yang paling banyak digunakan dan mudah didapat adalah
alumina dan silika gel (Gritter dkk.,1991).
9. Spektroskopi
Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari atribut suatu materi dan
yang didasarkan pada suara, cahaya, atau partikel yang diserap, dipancarkan atau
dipantulkan oleh materi tersebut. Spektroskopi juga dapat didefinisikan sebagai
15
ilmu yang mendalami tentang fenomena antaraksi energi dan materi. Saat ini
definisi spektroskopi berkembang seiring teknik-teknik baru yang dikembangkan
untuk memanfaatkan tidak hanya cahaya tampak, tetapi juga bentuk lain dari
radiasi elektromagnetik dan non-elektromagnetik seperti gelombang mikro,
gelombang radio, elektron, gelombang suara, sinar dan lain sebagainya (Gandjar
dan Rohman, 2007).
Spektroskopi umumnya digunakan dalam kimia fisik dan kimia
analisis untuk mengidentifikasi suatu substansi melalui spektra yang dipancarkan,
diteruskan ataupun yang diserap. Alat untuk merekam spektra
disebut spektrometer. Panjang gelombang pada suatu senyawa organik mampu
menyerap energi cahaya, intensitas penyerapan tersebut bergantung pada struktur
senyawa tersebut. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan
untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui dan untuk mempelajari
karakteristik ikatan dari senyawa yang telah diketahui sebelumnya (Hollas, 2004).
a. Spektroskopi infra merah
Suatu molekul yang menyerap energi (dalam hal ini, energi berasal dari
radiasi infra merah) akan mengalami eksitasi. Spektroskopi infra merah
merupakan metode spektroskopi yang memanfaatkan vibrasi dari suatu molekul
yang tereksitasi tersebut dan menghasilkan suatu spektra infra merah. Spektra
infra merah dapat menyediakan informasi spesifik dari gugus fungsional yang
mengalami vibrasi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan adalah
spektrometer infra merah. Radiasi infra merah yang digunakan untuk analisis
instrumental adalah radiasi pada rentang bilangan gelombang 4000-650 cm-1
.
Sinyal yang terukur dapat diukur pada berbagai panjang gelombang. Absorpsi
16
energi radiasi infra merah merupakan proses terkuantifikasi seperti proses
absorpsi energi lainnya, hanya frekuensi tertentu yang akan diserap suatu molekul
(Pavia dkk., 2001).
Radiasi infra merah tidak dapat diserap secara sempurna oleh semua
senyawa. Hanya senyawa dengan ikatan kimia tertentu yang mampu menyerap
radiasi infra merah, yaitu ikatan yang cukup memiliki momen dipol. Masing-
masing ikatan kimia memiliki frekuensi vibrasi alamiah yang spesifik sesuai
dengan ikatan tersebut. Jika suatu ikatan kimia dipaparkan terhadap radiasi infra
merah yang frekuensinya sesuai dengan frekuensi alaminya maka akan terjadi
interaksi medan listrik. Hal tersebut menyebabkan perubahan vibrasi yang
menandakan absorpsi radiasi infra merah oleh molekul bersangkutan. Energi yang
diserap akan digunakan untuk meningkatkan amplitudo vibrasi ikatan-ikatan
dalam molekul (Pavia dkk., 2001).
Ada atau tidaknya absorpsi pada frekuensi tertentu dalam suatu spektra
infra merah dapat dijadikan indikator ada tidaknya gugus fungsional tertentu. Hal
ini sangat penting dalam mengidentifikasi senyawa yang diteliti. Senyawa organik
akan memberikan spektra infra merah yang khas, baik pada daerah gugus fungsi
maupun daerah sidik jari. Sedikit perbedaan pada atom-atom yang mengelilingi
gugus fungsional akan mempengaruhi pola spektra infra merah yang ada. Atas
dasar tersebut spektra infra merah dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif
senyawa organik (Pavia dkk., 2001).
17
b. Spektroskopi massa
Spektrometer massa bekerja dengan cara menembaki suatu molekul
dengan elektron berenergi tinggi. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan
salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari
molekul tersebut dan berubah menjadi ion radikal positif. Ion yang dihasilkan oleh
pembombardiran elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi
fragmen yang kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Ion-ion
tersebut kemudian dipercepat dalam medan listrik dan dipisahkan sesuai rasio
massa-muatan dalam medan magnet atau medan listrik. Ion dengan rasio massa-
muatan (m/z) tertentu dideteksi dengan alat yang dapat menghitung jumlah ion
yang menumbuknya (Pavia dkk., 2001).
Ada beberapa cara ionisasi untuk menjadikan suatu molekul ion agar
dapat dideteksi oleh spektrometer massa, yaitu: Electron Impact (EI), Chemical
Ionization (CI), Field-Desorption Ionization (FDI), Fast Atom Bombardement
(FAB), Matrix Assisted Laser Desorption Ionization (MALDI), Electrospray-
Ionization (ESI). Masing-masing metode tersebut digunakan sesuai dengan sifat
dari sampel dan informasi yang ingin kita dapat dari spektroskopi massa. Metode
Electron Impact adalah cara yang paling sering digunakan dalam analisis
spektroskopi massa (Williams dan Fleming, 1995).
Data yang diperoleh dari spektra massa dapat memberikan informasi
antara lain puncak ion molekul dan m/z fragmen yang terjadi beserta
kelimpahannya. Puncak ion molekul menunjukkan berat molekul senyawa yang
dianalisis, sedangkan fragmen (m/z) beserta kelimpahannya dapat digunakan
untuk menyusun kemungkinan reaksi fragmentasi yang terjadi. Analisis
18
mekanisme reaksi fragmentasi digunakan untuk mendukung struktur molekul asal
serta bagaimana fragmen-fragmen terbentuk (Silverstein dan Webster, 1998).
c. Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance)
Spektroskopi NMR merupakan metode spektroskopi yang digunakan
untuk mengidentifikasi struktur kimia dari suatu senyawa organik terutama
senyawa organik yang mengandung atom karbon dan hidrogen. Secara esensial,
spektroskopi NMR merupakan spektroskopi absorpsi seperti spektroskopi infra
merah dan ultraviolet. Suatu sampel dapat menyerap radiasi elektromagnetik pada
rentang frekuensi tertentu yang tergantung dari sifat-sifat sampel. Berbeda dari
spektroskopi infra merah yang berfungsi untuk mengidentifikasi gugus fungsional
dari suatu senyawa organik, spektroskopi NMR dapat memberikan informasi dari
suatu senyawa organik mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda maupun
memperoleh informasi mengenai sifat lingkungan langsung dari masing-masing
inti atom tersebut. Informasi tersebut dapat membantu dalam identifikasi struktur
suatu senyawa organik yang dipelajari (Pavia dkk., 2001).
Setiap inti atom memiliki muatan yang berputar pada sumbu inti
tersebut. Perputaran muatan inti ini kemudian menimbulkan suatu dipol magnetik
selaras dengan sumbu inti, dipol atau momen magnetik ini dinyatakan dengan μ.
Tidak semua inti bersifat sebagai magnet, hanya inti atom yang memiliki nomor
atom gasal, nomor massa gasal, dan atom yang memiliki nomor atom juga nomor
massa gasal yang dapat berlaku sebagai magnet. Semua orientasi dari suatu inti
memiliki tingkat energi terdegenerasi dalam keadaan normal, inti tersebut tidak
dikenai medan magnet eksternal. Bila suatu inti dikenai medan magnet maka
orientasi/tingkat spin inti tidak lagi berenergi sama. Hal ini disebabkan karena inti
19
mempunyai momen magnetik (μ) yang ditimbulkan oleh berpusingnya muatan.
Fenomena NMR terjadi apabila inti yang searah dengan medan magnet eksternal
dibuat mengabsorpsi energi atau suatu radiasi elektromagnetik sehingga orientasi
spin dari inti tersebut berubah, yaitu dari searah menjadi berlawanan arah dengan
medan magnet eksternal. Peristiwa ini disebut resonansi dan resonansi yang
terjadi akan dibaca oleh instrumen sebagai suatu sinyal (Pavia dkk., 2001).
Spektroskopi 1H-NMR dan
13C-NMR paling penting dan sering
digunakan dalam penggunaan spektroskopi NMR. Atom 1H dan
13C memiliki
spin dengan nilai setengah sehingga inti-inti tersebut hanya dapat mengambil
salah satu dari dua orientasi, yaitu orientasi energi yang rendah sejalan dengan
bidang yang diterapkan dan orientasi energi tinggi yang bertentangan dengan
medan listrik (Williams dan Fleming, 1995).
Isotop 13
C magnetik memiliki momen magnetik serta resonansinya lebih
rendah dibandingkan isotop 12
C. Parameter yang digunakan pada spektra 13
C
adalah geseran kimia atau chemical shift. Interaksi spin-spin yang sangat jarang
antara karbon-karbon yang berdekatan dikarenakan kelimpahan isotop 13
C yang
sangat rendah, kemungkinan untuk mendapatkan dua atom 13
C yang bersebelahan
sangat kecil. Isotop atom 13
C akan mengalami interaksi spin-spin dengan atom 1H
yang saling berikatan (Pavia dkk., 2001).
10. Hidrogenasi dengan katalis paladium karbon
a. Hidrogenasi
Reduksi merupakan reaksi kimia yang menyebabkan substansi target
menerima elektron (Anonim, 2011). Reaksi hidrogenasi merupakan reaksi
20
hidrogen dengan senyawa organik dan tergolong dalam reaksi reduksi. Reaksi ini
terjadi melalui penambahan (adisi) hidrogen secara langsung pada ikatan rangkap
dari molekul yang tidak jenuh sehingga dihasilkan suatu produk yang jenuh.
Proses hidrogenasi merupakan salah satu proses yang penting dan banyak
digunakan dalam pembuatan bermacam-macam senyawa organik. Proses ini
umumnya terdiri dari adisi sepasang atom hidrogen ke sebuah molekul. Reaksi
membutuhkan suhu dan tekanan yang berbeda tergantung pada substrat dan
aktivitas katalis (Hudlicky, 1996).
b. Katalis paladium karbon
Paladium adalah logam berwarna putih baja yang termasuk dalam
golongan logam Platinum Group Metals (PGMs), yang terdiri dari enam logam
yang saling berhubungan, yaitu platina (Pt), paladium (Pd), rhodium (Rh),
ruthenium (Ru), iridium (Ir) dan osmium (Os). Paladium tidak mengkilap di udara
dan memiliki bobot jenis yang paling ringan dan titik lebur paling rendah diantara
golongan PGMs yang lain (Aldrich, 1996).
Paladium dalam karbon (Pd/C) merupakan suatu katalis heterogen
(organopaladium). Senyawa ini sering digunakan sebagai katalisator dalam
berbagai reaksi hidrogenasi gugus keton, imina, alkena, alkuna, golongan nitro,
benzenoid dan heterosiklik aromatik. Katalis ini juga dapat digunakan untuk
dehidrogenasi aromatik dan deformilasi aldehid (Wipf, 2005). Paladium karbon
memiliki chemoselectivity untuk mereduksi ikatan rangkap karbon-α,β tanpa
mereduksi gugus karbonilnya dibandingkan dengan katalis organologam lain
(Solomons, 1990).
21
c. Hidrogenasi dengan katalis paladium karbon
Penggunaan katalis diperlukan agar reaksi dapat berjalan secara efisien
dengan cara meningkatkan laju reaksi (Martin, 1993). Proses hidrogenasi biasanya
menggunakan gas hidrogen dengan menambahkan suatu katalis tertentu untuk
mempercepat kecepatan laju reaksi agar reaksi tersebut dapat berjalan dengan
lebih sempurna. Hidrogenasi non-katalitik hanya dapat berjalan dengan kondisi
suhu dan tekanan yang tinggi. Jarang ditemukan reaksi di bawah 480° C (750 K
atau 900° F) terjadi antara hidrogen (H2) dan suatu senyawa tanpa menggunakan
katalis. Katalis paladium karbon (Pd/C) dinilai sesuai untuk digunakan pada
proses yang melibatkan hidrogenasi dan hidrogenolisis benzil keton dan aldehid.
Hidrogenasi benzil keton menjadi alkohol adalah proses yang sangat cepat dengan
menggunakan katalis paladium karbon (Wipf, 2005).
Terdapat tiga tahap reaksi pada mekanisme hidrogenasi heterogen reaksi.
Pertama, paladium akan beraksi dengan gas hidrogen dan mengalami oksidasi.
Kemudian ikatan antara paladium dengan gas hidrogen mengalami hidrometalasi
dengan substrat sehingga terbentuk intermediet organometalik (proses non-
redoks). Selanjutnya reduksi eliminasi dari produk intermediet organometalik
yang terbentuk sehingga dihasilkan produk hasil reduksi, pada saat yang
bersamaan juga terjadi regenerasi katalis (Negishi, 2002b).
F. Landasan Teori
Metode hidrogenasi dengan paladium karbon (Pd/C) 10% dalam pelarut
etanol telah berhasil dilakukan pada hidrogenasi beberapa senyawa turunan
kurkumin seperti: THPGV-0 dari PGV-0 (Ritmaleni dan Simbara, 2010),
22
THPGV-1 dari PGV-1 (Andhini, 2012), THHGV-5 dari HGV-5 (Wibowo, 2013),
dan THHGV-7 dari HGV-7 (Praditya, 2014). Adanya katalis paladium karbon
akan meningkatkan kemungkinan bahwa reduksi hanya akan terjadi pada ikatan
rangkap karbon-α,β dan tidak mereduksi karbonil menjadi alkohol sekunder
(Solomons, 1990; Negishi, 2002b; Nishimura, 2001; Anonim, 2001; Hudlicky,
1996). Pelarut etanol dapat mempercepat jalannya reaksi hidrogenasi ikatan
rangkap (tak jenuh) karbon-α,β menjadi ikatan tunggal karbon-α,β (ikatan jenuh)
(Isaacs, 1987).
Pada keempat sintesis yang telah disebutkan, dihasilkan lebih dari satu
senyawa produk samping (byproduct) yang memiliki kepolaran yang berbeda dari
senyawa target. Hasil elusi KLT dapat digunakan untuk menganalisis senyawa
target yang dicari dalam campuran hasil sintesis. Analisis ini didasarkan oleh
perbedaan kepolaran senyawa. Pada ketiga sintesis senyawa yang telah disebutkan
sebelumnya, dapat diamati perubahan struktur (struktur ikatan rangkap menjadi
ikatan tunggal) secara langsung berdasarkan perubahan warna dari senyawa awal
(serbuk berwarna kuning) menjadi senyawa tidak berwarna. Jika reaksi berjalan
sesuai prediksi maka senyawa THC7 hasil sintesis juga diprediksi akan berubah
warna dari starting material. Isolasi pada senyawa hasil sintesis dilakukan untuk
memisahkan senyawa target dari produk samping. Hasil elusidasi struktur (IR,
GC-MS, 1H-NMR, dan
13C-NMR) yang dibandingkan dengan literatur dapat
digunakan untuk menganalisis kesesuaian struktur senyawa hasil sintesis dengan
senyawa target (THC7).
23
G. Hipotesis
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan prediksi mekanisme
reaksi, senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) 8 dapat
disintesis dari starting material 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on
melalui reaksi hidrogenasi dengan menggunakan katalis paladium karbon (Pd/C)
dalam pelarut etanol. Persamaan reaksi hidrogenasi pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
F3C
O
CF3
F3C
O
CF3
H2, EtOH
Pd/C
Gambar 5. Prediksi Reaksi Hidrogenasi C7 Menjadi THC7 (8)
8
7