bab i pendahuluan a. latar...

23
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan keberagaman flora dan fauna. Masyarakat Indonesia memanfaatkan kekayaan flora yang ada disekitarnya menjadi obat yaitu dengan mengolahnya menjadi Jamu. Hingga saat ini banyak masyarakat yang masih mengkonsumsi Jamu sebagai suplemen tubuh maupun untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Salah satu contoh jamu yang terkenal adalah kunyit asam. Khasiat utama dari kunyit berasal dari kandungan zat aktif kurkuminoid di dalamnya yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan bagian pigmen kuning yang terdapat dalam rimpang. Sebuah studi mengenai senyawa kurkumin menunjukkan bahwa senyawa ini memiliki sejumlah aktivitas biologis seperti antibakteri, antiprotozoa, antivirus, antiinflamasi (Chattopadhyay dkk., 2004), antioksidan (Rao, 1997), antitumor dan antikarsinogenik (Huang dkk., 1997). Kurkumin terdapat pada berbagai genus Curcuma dalam jumlah yang relatif kecil dan variasi struktur yang terbatas. Hal ini merupakan kendala bagi penggunaan kurkumin dalam bidang pengobatan mengingat aktivitas biologis kurkumin yang poten dan beragam. Selain jumlah yang cukup juga dibutuhkan variasi struktur yang beragam. Kondisi ini sulit diperoleh melalui isolasi bahan alam sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan metode sintesis kurkumin (Pedersen dkk., 1985).

Upload: hoangdang

Post on 01-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan keberagaman flora

dan fauna. Masyarakat Indonesia memanfaatkan kekayaan flora yang ada

disekitarnya menjadi obat yaitu dengan mengolahnya menjadi Jamu. Hingga saat

ini banyak masyarakat yang masih mengkonsumsi Jamu sebagai suplemen tubuh

maupun untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Salah satu contoh jamu yang

terkenal adalah kunyit asam. Khasiat utama dari kunyit berasal dari kandungan zat

aktif kurkuminoid di dalamnya yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan bagian

pigmen kuning yang terdapat dalam rimpang. Sebuah studi mengenai senyawa

kurkumin menunjukkan bahwa senyawa ini memiliki sejumlah aktivitas biologis

seperti antibakteri, antiprotozoa, antivirus, antiinflamasi (Chattopadhyay dkk.,

2004), antioksidan (Rao, 1997), antitumor dan antikarsinogenik (Huang dkk.,

1997).

Kurkumin terdapat pada berbagai genus Curcuma dalam jumlah yang

relatif kecil dan variasi struktur yang terbatas. Hal ini merupakan kendala bagi

penggunaan kurkumin dalam bidang pengobatan mengingat aktivitas biologis

kurkumin yang poten dan beragam. Selain jumlah yang cukup juga dibutuhkan

variasi struktur yang beragam. Kondisi ini sulit diperoleh melalui isolasi bahan

alam sehingga dilakukan penelitian untuk mengembangkan metode sintesis

kurkumin (Pedersen dkk., 1985).

2

Penelitian untuk mensintesis senyawa-senyawa analog kurkumin telah

berhasil dilakukan dan dihasilkan 47 molekul berbeda. Berdasarkan struktur

cincin tengahnya, senyawa-senyawa ini dibagi menjadi tiga seri

(Heksagamavunon, Pentagamavunon, dan Gamavuton). Salah satu dari 47

senyawa analog kurkumin hasil sintesis Sardjiman (2000) adalah 1,5-bis-(4'-

triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on atau senyawa dengan kode C7 (seri

Gamavuton, struktur tengah tanpa cincin yang terikat pada karbonil). Senyawa ini

memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Aktivitas antibakteri dari senyawa ini

masih kurang baik sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk

mendapatkan senyawa turunan C7 dengan aktivitas yang lebih baik (Sardjiman,

2000).

PGV-0 (Pentagamavunon-0) merupakan satu dari 47 senyawa analog

kurkumin hasil sintesis Sardjiman (2000) yang telah dipatenkan (Sardjiman dkk.,

2004). PGV-0 memiliki aktivitas antioksidan (Sardjiman, 1997), antiinflamasi,

dan antikanker yang lebih baik dibandingkan dengan kurkumin (Da’i, 1998).

PGV-0 memiliki kesamaan stuktur dengan kurkumin, keduanya memiliki profil

farmakokinetika yang kurang baik. Kadar PGV-0 dan kurkumin dalam darah

cepat hilang sehingga profil kadar dalam darahnya mengalami fluktuasi terutama

dengan pemberian oral (Hakim dkk., 2004). Mengacu pada senyawa metabolit

dari kurkumin yaitu tetrahidrokurkumin (THC), maka Ritmaleni dan Simbara

(2010) melakukan sintesis terhadap senyawa Tetrahidropentagamavunon-0

(THPGV-0). Senyawa ini merupakan senyawa metabolit dari PGV-0. Sintesis

dilakukan dengan starting material PGV-0 melalui reaksi hidrogenasi (reduksi

dengan gas hidrogen) menggunakan pelarut metanol. Katalis yang digunakan

3

adalah paladium karbon 10% (Pd/C). Senyawa THPGV-0 hasil hidrogenasi

memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan PGV-0 maupun

kurkumin (Ritmaleni dan Simbara, 2010). Widyastani (2012) menjelaskan bahwa

bentuk tereduksi (terhidrogenasi) memiliki aktivitas biologis yang relatif lebih

baik. Senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7, Tetrahidro-C7)

merupakan bentuk modifikasi (terhidrogenasi) dari 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-

penta-1,4-dien-3-on (C7). Senyawa tersebut (THC7) diprediksi memiliki aktivitas

biologis yang lebih baik dibandingkan bentuk tidak terhidrogenasinya (C7).

Metode hidrogenasi yang digunakan oleh Ritmaleni dan Simbara (2010)

telah berhasil diaplikasikan pada beberapa penelitian terhadap sintesis senyawa

analog tetrahidrokurkumin yang lain seperti Tetrahidro-pentagamavunon-1

(THPGV-1) dari starting material Pentagamavunon-1 (PGV-1) (Andhini, 2012),

Tetrahidro-heksagamavunon-5 (THHGV-5) dari starting material

Heksagamavunon-5 (HGV-5) (Wibowo, 2013) dan Tetrahidro-heksagamavunon-7

(THHGV-7) dari starting material Heksagamavunon-7 (HGV-7) (Praditya, 2014).

Metode hidrogenasi tersebut diharapkan dapat diterapkan pada senyawa 1,5-bis-

(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) sebagai starting material untuk

mensintesis bentuk terhidrogenasinya yaitu 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-

3-on (THC7).

Sintesis 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) dengan

starting material 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) melalui

reaksi hidrogenasi (reduksi dengan gas hidrogen) belum pernah dilakukan

sebelumnya. Hasil dari sintesis tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk

pengembangan senyawa analog kurkumin yang aman, stabil, memiliki aktivitas

4

biologis yang lebih baik dan spesifik dibandingkan kurkumin itu sendiri sehingga

dapat membantu dalam penemuan obat baru.

B. Rumusan Masalah

Apakah senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7)

dapat disintesis dari starting material 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-

dien-3-on (C7) melalui reaksi hidrogenasi (reduksi) dengan menggunakan katalis

paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut etanol?

C. Pentingnya Penelitian Diusulkan

Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan senyawa analog

kurkumin yang aman, stabil, memiliki aktivitas biologis yang lebih baik dan

spesifik dibandingkan kurkumin itu sendiri sehingga dapat membantu dalam

penemuan obat baru.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah senyawa 1,5-bis-(4'-

triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) dapat disintesis dari starting material 1,5-

bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7) melalui reaksi hidrogenasi

(reduksi) dengan menggunakan katalis paladium karbon (Pd/C) dalam pelarut

etanol.

5

E. Studi Pustaka

1. Kurkumin

Kurkumin 1 atau 1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-1,6-heptadiena-

3,5-dion adalah senyawa yang didapat dari tanaman kunyit (Curcuma Longa L.)

dan telah berhasil dikembangkan sintesisnya (Pabon, 1964). Kurkumin telah

diketahui memiliki aktivitas biologis sebagai antiinflamasi, antitrombosis,

antioksidan, antimutagen, antiviral, antiparasitik, dan antimikrobial (Majeed dkk.,

1995).

HO

O O

OCH3H3CO

OH

HO

O O

OCH3H3CO

OH

Gambar 1. Struktur Kurkumin (1) dan Tetrahidrokurkumin (2) (Huang dkk, 1995)

Aktivitas antioksidan kurkumin dipengaruhi oleh gugus hidroksi

aromatik terminal dan gugus β-diketon. Kurkumin telah terbukti memiliki

aktivitas antimutagenik dan antikanker pada senyawa kurkumin (Kuttan dkk.,

1985). Berbagai penelitian lain juga mendukung efek antikanker dan antiinflamasi

pada senyawa kurkumin (Nagabushan dan Bhide, 1992; Huang dkk., 1994).

Kurkumin memiliki aktivitas penghambat siklooksigenase (COX) sebesar 79%

(van der Goot, 1997) dan diduga bersifat COX-2 selektif. Kurkumin tidak toksik

pada gastrointestinal meskipun pada dosis tinggi (Kawamori dkk., 1999).

Kurkumin tidak larut dalam air namun larut dalam pelarut organik

seperti kloroform. Secara umum, pada pH di bawah 6,5 kurkumin stabil dan

1

2

6

terdekomposisi dalam pH netral hingga pH basa. Terjadi perbedaan kinetika

degradasi yang signifikan pada kurkumin antara rentang suasana pH 6,5 hingga

pH 6,8. Kurkumin terdekomposisi 90% dalam waktu 30 menit dalam sistem

inkubasi dengan buffer fosfat 0,1 M dan suhu 37 °C. Senyawa trans-6-(4'-

hidroksi-3'-metoksifenil)-2,4-diokso-5-heksenal diketahui sebagai produk utama

degradasi kurkumin dan produk samping berupa vanilin dan asam ferulat. Jumlah

vanilin akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu inkubasi (Wang dkk.,

1997).

2. Tetrahidrokurkumin (THC)

Senyawa tetrahidrokurkumin 2 atau 1,7-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-

heptana-3,5-dion adalah metabolit utama kurkumin. Senyawa ini memiliki

aktivitas biologi sebagai antioksidan dan antikanker (Pan dkk., 1999). Struktur

senyawa ini analog dengan kurkumin. Perbedaan struktur kedua senyawa ini

terletak pada ikatan karbon-α,β. Gambar 1 memperlihatkan bahwa pada kurkumin

ikatan tersebut merupakan ikatan rangkap (tak jenuh) sedangkan pada

tetrahidrokurkumin ikatannya adalah ikatan tunggal (jenuh). Perbedaan tersebut

menyebabkan terjadinya perbedaan warna pada kedua senyawa, kurkumin

memiliki warna kuning sedangkan tetrahidrokurkumin berwarna putih.

Tetrahidrokurkumin yang merupakan bentuk tereduksi dari kurkumin bersifat

lebih hidrofil dibanding kurkumin sehingga tetrahidrokurkumin memiliki

kestabilan yang lebih baik dalam media berair (Sneharani dkk., 2001).

Tetrahidrokurkumin dapat disintesis melalui proses hidrogenasi dari

kurkumin menggunakan katalis PtO2. Senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan

7

yang lebih baik dibanding kurkumin. Sugiyama dkk, melaporkan bahwa

mekanisme antioksidan tersebut dipengaruhi oleh bagian gugus β-diketon dari

tetrahidrokurkumin (Sugiyama, 1996). Tetrahidrokurkumin terbukti memiliki

potensi besar sebagai agen kemopreventif baru yang lebih poten dari kurkumin

dan telah diuji secara in-vivo (Lai dkk., 2011).

3. Senyawa-senyawa analog kurkumin hasil sintesis

Sejak beberapa dekade terakhir, kurkumin telah banyak diteliti dan

dikembangkan dengan harapan dapat ditemukan senyawa analog kurkumin

dengan aktivitas yang lebih baik dibandingkan kurkumin itu sendiri. Berbagai

peneliti dari seluruh dunia telah mencoba melakukan sintesis terhadap senyawa

analog kurkumin dan meneliti berbagai aspek farmakologi dan farmakokinetik

dari masing-masing senyawa mereka. Sardjiman (2000), telah berhasil

mensintesis 47 senyawa analog kurkumin dengan harapan dapat menemukan

senyawa yang memiliki aktivitas lebih baik dibanding kurkumin. Beberapa dari

senyawa-senyawa tersebut memiliki aktivitas biologis yang cukup poten

dibandingkan kurkumin itu sendiri dan telah dipatenkan (Sardjiman dkk., 2004).

Senyawa-senyawa ini dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan struktur cincin

tengahnya yaitu Heksagamavunon 3 (kode A), Pentagamavunon 4 (kode B), dan

Gamavuton 5 (kode C).

8

O

R1

R2

R3

R1

R2

R3O

R1

R2

R3

R1

R2

R3O

R1

R2

R3

R1

R2

R3

Gambar 2. Struktur Heksagamavunon (3), Pentagamavunon (4), dan Gamavuton (5)

(Sardjiman, 2000)

4. Pentagamavunon-0 dan Tetrahidropentagamavunon-0

Senyawa 2,5-bis-(4'-hidroksi-3-metoksibenzilidin)-siklopentanon adalah

salah satu senyawa analog kurkumin hasil sintesis oleh Sardjiman (2000).

Senyawa ini bersama aktivitas biologisnya telah dipatenkan dengan nama PGV-0

(Pentagamavunon-0) (Sardjiman dkk., 2004). Sardjiman melaporkan bahwa

aktivitas antioksidan PGV-0 lebih baik daripada kurkumin (Sardjiman, 1997).

Senyawa PGV-0 diketahui memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik

dibandingkan dengan kurkumin. Aksi farmakologis PGV-0 sebagai antiinflamasi

yaitu dengan menghambat biosintesis prostaglandin melalui jalur siklooksigenase

(Nurrochmad, 1997). Meiyanto (2007) meneliti bahwa PGV-0 juga dapat

menginduksi apoptosis pada sel kanker payudara T47D melalui uji

immunositokimia dan western blot. Hasil penelitian tentang farmakokinetika yang

5

4

3

9

telah dilakukan menunjukkan bahwa profil kadar PGV-0 dalam darah mengalami

fluktuasi terutama dengan pemberian oral (Hakim dkk., 2004).

Ritmaleni dan Simbara (2010) telah berhasil mereduksi

Pentagamavunon-0 (PGV-0) 6a menjadi Tetrahidropentagamavunon-0 6b

(THPGV-0). Tetrahidropentagamavunon-0 dipercaya merupakan senyawa hasil

metabolit PGV-0 didalam tubuh. Reaksi dilakukan melalui reaksi hidrogenasi

menggunakan gas hidrogen (H2) dengan katalis paladium karbon (Pd/C). Hasil

sintesis berupa padatan serbuk putih dengan jumlah rendemen sebesar 24% dan

jarak lebur senyawa 122,2-123,4 °C. Mintariyanti (2010) mengemukakan bahwa

pelarut protik terbaik yang dapat digunakan untuk hasil optimum dari reaksi

hidrogenasi tersebut adalah etanol dengan hasil rendemen hingga 44%.

O

OCH3

OH

H3CO

HO

O

OCH3

OH

H3CO

HO

Pd/CMetanol24%

H2 ,r.t

Gambar 3. Reaksi Hidrogenasi PGV-0 (5) Menjadi THPGV-0 (6)

(Ritmaleni dan Simbara, 2000)

6a

6b

10

5. Senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (C7)

Salah satu senyawa analog kurkumin hasil sintesis Sardjiman (2000)

adalah 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on 7. Senyawa ini berada

dalam kelompok Gamavuton 5 dengan seri kode C7. Senyawa C7 memiliki bobot

molekul 370,0 gram/mol dengan titik lebur 153,7-155,3 °C. Tidak seperti senyawa

yang lain (kode A 3 dan B 4), senyawa ini memiliki gugus karbonil yang tidak

terikat pada suatu cincin sikloheksana ataupun siklopentana. Senyawa C7

memiliki gugus karbonil yang terikat pada rantai pentana. Senyawa ini sukar larut

dalam air tetapi larut dalam beberapa pelarut organik seperti kloroform dan

metanol. Senyawa ini menunjukkan aktivitas yang kurang poten sebagai

antibakteri (Sardjiman, 2000).

O

CF3 CF3

Gambar 4. Struktur 1,5-Bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on (7) (Sardjiman, 2000)

6. Pelarut organik

Keberadaan suatu pelarut tidak termasuk dalam stokiometri reaksi yang

terjadi dalam reaksi kimia, akan tetapi pelarut merupakan komponen penting.

Interaksi antara pelarut dan molekul terlarut dapat memodifikasi aktivitas dan

energi bebas dari molekul atau secara langsung dapat mempengaruhi reaktivitas

dari suatu molekul (Isaacs, 1987).

Molekul dari pelarut dengan momen dipol yang besar dan konsanta

dielektrik yang tinggi termasuk bersifat polar. Sedangkan molekul dari pelarut

7

11

yang memiliki momen dipol yang kecil dan konstanta dielektrik rendah

diklasifikasikan sebagai nonpolar. Sedangkan secara operasional, pelarut yang

larut dengan air termasuk polar, sedangkan pelarut yang tidak larut dalam air

termasuk nonpolar. Berdasarkan kepolaran pelarut, maka pelarut diklasifikasikan

ke dalam tiga kategori sebagai berikut:

a. Pelarut protik polar

Pelarut protik polar merupakan jenis pelarut yang memiliki banyak

muatan proton yang dapat bereaksi dengan atom elektronegatif. Dengan kata lain

pelarut protik polar adalah senyawa yang memiliki momen dipol yang besar dan

mampu untuk mengadakan ikatan hidrogen. Contoh dari pelarut protik polar ini

adalah alkohol, amina, asam karboksilat, dan air

b. Pelarut aprotik polar

Pelarut aprotik polar merupakan jenis pelarut yang memiliki proton

namun tidak memiliki gugus hidroksida atau tidak memiliki proton asam. Proton

biasanya terikat pada karbon sehingga memiliki ikatan dengan momen dipol

besar. Biasanya ikatannya merupakan ikatan ganda antara karbon dengan oksigen

atau nitrogen. Contoh dari pelarut yang termasuk kategori ini adalah

dimetilsulfoksida, alkil sianida, amina sekunder dan keton.

c. Pelarut aprotik non-polar

Pelarut aprotik non-polar merupakan pelarut yang memilki konstanta

dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air. Pelarut dengan kategori ini

memiliki momen dipol yang rendah dan tidak memiliki kemampuan untuk

mendonorkan proton asam. Contoh pelarut dari kategori ini adalah hidrokarbon,

halokarbon, dan eter (Reichardt dan Welton, 2011).

12

7. Titik lebur

Titik lebur adalah suhu dimana terjadi perubahan bentuk dari padatan

menjadi cairan pada tekanan 1 atm. Kenaikan suhu suatu zat dapat menyebabkan

meningkatnya kinetika partikel suatu zat. Ketika suhu suatu zat dinaikkan, maka

partikel-partikel zat tersebut akan menyerap energi panas dari suhu yang

dinaikkan tersebut. Energi panas ini akan menyebabkan partikel-partikel zat padat

bergerak dengan cepat dan saling menjauh sehingga wujud suatu zat akan

mengalami perubahan (Martin, 1990).

Titik lebur adalah suatu karakteristik penting pada senyawa organik yang

berwujud padat karena dapat digunakan sebagai parameter kemurnian dan juga

sebagai parameter identifikasi suatu senyawa. Senyawa murni akan memiliki

jarak lebur yang sempit yaitu 1-2 °C (Sharp dkk., 1989). Senyawa yang tidak

murni atau mengandung pengotor didalamnya memiliki titik lebur lebih rendah

atau lebih tinggi dari senyawa dalam bentuk murninya, dan memiliki jarak lebur

yang lebih besar.

8. Kromatografi

Kromatografi merupakan teknik yang digunakan untuk tujuan isolasi,

identifikasi, dan kualifikasi komponen di dalam campuran. Prinsip kromatografi

secara umum adalah memisahkan substansi campuran menjadi komponen-

komponennya. Komponen-komponen tersebut akan dipisahkan pada dua fase

yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam berfungsi untuk menahan komponen

campuran sedangkan fase gerak berfungsi untuk melarutkan zat komponen

campuran. Komponen yang mudah tertahan pada fase diam akan tertinggal,

13

sedangkan komponen yang mudah larut dalam fase gerak akan bergerak lebih

cepat. Kinerja (efisiensi dan resolusi) suatu sistem kromatografi akan semakin

baik seiring dengan semakin kecil ukuran rata-rata fase diam dan semakin sempit

ukuran kisaran fase diam (Gandjar dan Rohman, 2007).

a. Kromatografi lapis tipis (KLT)

Jenis kromatografi yang paling sederhana adalah kromatografi lapis tipis

(KLT). Kromatografi tipe ini memiliki bentuk planar. Fase diamnya berupa

lapisan homogen yang melekat pada permukaan suatu bidang datar. Lapisan

tersebut didukung oleh suatu lempeng, dimana lempeng tersebut dapat terbuat dari

kaca, alumunium atau plastik. Fase diam ini berperan sebagai penjerap dengan

ukuran partikel kecil. Beberapa contoh fase diam yang biasa digunakan adalah

silika gel, selulosa, alumina, poliamida, penukar ion, dan silika gel yang berikatan

kimia. Fase gerak adalah medium pembawa dari senyawa yang akan diteliti. Fase

gerak dapat berupa larutan tunggal atau campuran dari pelarut organik. Metode

pemisahan komponen pada kromatografi lapis tipis didasarkan pada perbedaan

adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut fase gerak.

Perbedaan tersebut menyebabkan tiap komponen yang terdapat dalam totolan

sampel memiliki kecepatan dan jarak migrasi yang berbeda sesuai dengan sifat

kimianya (Fried dan Sherman, 1994).

Kromatografi lapis tipis sering digunakan untuk tujuan kualitatif,

kuantitatif, maupun tujuan preparatif. Parameter yang digunakan dapat berupa

perhitungan harga Rf (Retardation factor). Nilai Rf merupakan perbandingan

migrasi komponen dibanding jarak migrasi fase gerak. Visualisasi bercak pada

KLT dapat menggunakan sinar ultraviolet (UV) baik pada panjang gelombang

14

254 nm maupun 366 nm. Cara lain yang juga sering digunakan adalah

penyemprotan dengan pereaksi penampak bercak, yang juga berfungsi kualitatif

karena penampak bercak bersifat spesifik terhadap gugus-gugus tertentu. Untuk

keperluan kuantitatif digunakan densitometer yang dapat mengukur kerapatan

suatu bercak, baik kerapatan absorpsi cahaya oleh molekul, ataupun fluoresensi

dari molekul itu (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Kromatografi kolom

Kromatografi kolom merupakan salah satu metode kromatografi dengan

fase gerak cair dan fase diam padat. Prinsip pemisahan dalam kromatografi kolom

sama dengan prinsip pada KLT. Pemisahan dalam sistem kromatografi kolom

dibantu dengan adanya dorongan gravitasi sehingga eluen akan mengalir keluar

kolom melewati fase diam. Penggunaan fase gerak (eluen) disesuaikan dengan

kepolaran senyawa yang akan dipisahkan. Fase diam ditempatkan dalam tabung

kaca berbentuk silinder, pada bagian bawah tertutup dengan katup atau kran dan

fase gerak dibiarkan mengalir ke bawah karena gaya gravitasi. Fase gerak atau

eluen yang merupakan komponen campuran biasanya dipisahkan dengan cara

membiarkannya mengalir keluar dari kolom dan mengumpulkannya sebagai

fraksi. Jenis adsorben yang paling banyak digunakan dan mudah didapat adalah

alumina dan silika gel (Gritter dkk.,1991).

9. Spektroskopi

Spektroskopi adalah ilmu yang mempelajari atribut suatu materi dan

yang didasarkan pada suara, cahaya, atau partikel yang diserap, dipancarkan atau

dipantulkan oleh materi tersebut. Spektroskopi juga dapat didefinisikan sebagai

15

ilmu yang mendalami tentang fenomena antaraksi energi dan materi. Saat ini

definisi spektroskopi berkembang seiring teknik-teknik baru yang dikembangkan

untuk memanfaatkan tidak hanya cahaya tampak, tetapi juga bentuk lain dari

radiasi elektromagnetik dan non-elektromagnetik seperti gelombang mikro,

gelombang radio, elektron, gelombang suara, sinar dan lain sebagainya (Gandjar

dan Rohman, 2007).

Spektroskopi umumnya digunakan dalam kimia fisik dan kimia

analisis untuk mengidentifikasi suatu substansi melalui spektra yang dipancarkan,

diteruskan ataupun yang diserap. Alat untuk merekam spektra

disebut spektrometer. Panjang gelombang pada suatu senyawa organik mampu

menyerap energi cahaya, intensitas penyerapan tersebut bergantung pada struktur

senyawa tersebut. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan

untuk menentukan struktur senyawa yang tak diketahui dan untuk mempelajari

karakteristik ikatan dari senyawa yang telah diketahui sebelumnya (Hollas, 2004).

a. Spektroskopi infra merah

Suatu molekul yang menyerap energi (dalam hal ini, energi berasal dari

radiasi infra merah) akan mengalami eksitasi. Spektroskopi infra merah

merupakan metode spektroskopi yang memanfaatkan vibrasi dari suatu molekul

yang tereksitasi tersebut dan menghasilkan suatu spektra infra merah. Spektra

infra merah dapat menyediakan informasi spesifik dari gugus fungsional yang

mengalami vibrasi. Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan adalah

spektrometer infra merah. Radiasi infra merah yang digunakan untuk analisis

instrumental adalah radiasi pada rentang bilangan gelombang 4000-650 cm-1

.

Sinyal yang terukur dapat diukur pada berbagai panjang gelombang. Absorpsi

16

energi radiasi infra merah merupakan proses terkuantifikasi seperti proses

absorpsi energi lainnya, hanya frekuensi tertentu yang akan diserap suatu molekul

(Pavia dkk., 2001).

Radiasi infra merah tidak dapat diserap secara sempurna oleh semua

senyawa. Hanya senyawa dengan ikatan kimia tertentu yang mampu menyerap

radiasi infra merah, yaitu ikatan yang cukup memiliki momen dipol. Masing-

masing ikatan kimia memiliki frekuensi vibrasi alamiah yang spesifik sesuai

dengan ikatan tersebut. Jika suatu ikatan kimia dipaparkan terhadap radiasi infra

merah yang frekuensinya sesuai dengan frekuensi alaminya maka akan terjadi

interaksi medan listrik. Hal tersebut menyebabkan perubahan vibrasi yang

menandakan absorpsi radiasi infra merah oleh molekul bersangkutan. Energi yang

diserap akan digunakan untuk meningkatkan amplitudo vibrasi ikatan-ikatan

dalam molekul (Pavia dkk., 2001).

Ada atau tidaknya absorpsi pada frekuensi tertentu dalam suatu spektra

infra merah dapat dijadikan indikator ada tidaknya gugus fungsional tertentu. Hal

ini sangat penting dalam mengidentifikasi senyawa yang diteliti. Senyawa organik

akan memberikan spektra infra merah yang khas, baik pada daerah gugus fungsi

maupun daerah sidik jari. Sedikit perbedaan pada atom-atom yang mengelilingi

gugus fungsional akan mempengaruhi pola spektra infra merah yang ada. Atas

dasar tersebut spektra infra merah dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif

senyawa organik (Pavia dkk., 2001).

17

b. Spektroskopi massa

Spektrometer massa bekerja dengan cara menembaki suatu molekul

dengan elektron berenergi tinggi. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan

salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari

molekul tersebut dan berubah menjadi ion radikal positif. Ion yang dihasilkan oleh

pembombardiran elektron berenergi tinggi ini tidak stabil dan pecah menjadi

fragmen yang kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Ion-ion

tersebut kemudian dipercepat dalam medan listrik dan dipisahkan sesuai rasio

massa-muatan dalam medan magnet atau medan listrik. Ion dengan rasio massa-

muatan (m/z) tertentu dideteksi dengan alat yang dapat menghitung jumlah ion

yang menumbuknya (Pavia dkk., 2001).

Ada beberapa cara ionisasi untuk menjadikan suatu molekul ion agar

dapat dideteksi oleh spektrometer massa, yaitu: Electron Impact (EI), Chemical

Ionization (CI), Field-Desorption Ionization (FDI), Fast Atom Bombardement

(FAB), Matrix Assisted Laser Desorption Ionization (MALDI), Electrospray-

Ionization (ESI). Masing-masing metode tersebut digunakan sesuai dengan sifat

dari sampel dan informasi yang ingin kita dapat dari spektroskopi massa. Metode

Electron Impact adalah cara yang paling sering digunakan dalam analisis

spektroskopi massa (Williams dan Fleming, 1995).

Data yang diperoleh dari spektra massa dapat memberikan informasi

antara lain puncak ion molekul dan m/z fragmen yang terjadi beserta

kelimpahannya. Puncak ion molekul menunjukkan berat molekul senyawa yang

dianalisis, sedangkan fragmen (m/z) beserta kelimpahannya dapat digunakan

untuk menyusun kemungkinan reaksi fragmentasi yang terjadi. Analisis

18

mekanisme reaksi fragmentasi digunakan untuk mendukung struktur molekul asal

serta bagaimana fragmen-fragmen terbentuk (Silverstein dan Webster, 1998).

c. Spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance)

Spektroskopi NMR merupakan metode spektroskopi yang digunakan

untuk mengidentifikasi struktur kimia dari suatu senyawa organik terutama

senyawa organik yang mengandung atom karbon dan hidrogen. Secara esensial,

spektroskopi NMR merupakan spektroskopi absorpsi seperti spektroskopi infra

merah dan ultraviolet. Suatu sampel dapat menyerap radiasi elektromagnetik pada

rentang frekuensi tertentu yang tergantung dari sifat-sifat sampel. Berbeda dari

spektroskopi infra merah yang berfungsi untuk mengidentifikasi gugus fungsional

dari suatu senyawa organik, spektroskopi NMR dapat memberikan informasi dari

suatu senyawa organik mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda maupun

memperoleh informasi mengenai sifat lingkungan langsung dari masing-masing

inti atom tersebut. Informasi tersebut dapat membantu dalam identifikasi struktur

suatu senyawa organik yang dipelajari (Pavia dkk., 2001).

Setiap inti atom memiliki muatan yang berputar pada sumbu inti

tersebut. Perputaran muatan inti ini kemudian menimbulkan suatu dipol magnetik

selaras dengan sumbu inti, dipol atau momen magnetik ini dinyatakan dengan μ.

Tidak semua inti bersifat sebagai magnet, hanya inti atom yang memiliki nomor

atom gasal, nomor massa gasal, dan atom yang memiliki nomor atom juga nomor

massa gasal yang dapat berlaku sebagai magnet. Semua orientasi dari suatu inti

memiliki tingkat energi terdegenerasi dalam keadaan normal, inti tersebut tidak

dikenai medan magnet eksternal. Bila suatu inti dikenai medan magnet maka

orientasi/tingkat spin inti tidak lagi berenergi sama. Hal ini disebabkan karena inti

19

mempunyai momen magnetik (μ) yang ditimbulkan oleh berpusingnya muatan.

Fenomena NMR terjadi apabila inti yang searah dengan medan magnet eksternal

dibuat mengabsorpsi energi atau suatu radiasi elektromagnetik sehingga orientasi

spin dari inti tersebut berubah, yaitu dari searah menjadi berlawanan arah dengan

medan magnet eksternal. Peristiwa ini disebut resonansi dan resonansi yang

terjadi akan dibaca oleh instrumen sebagai suatu sinyal (Pavia dkk., 2001).

Spektroskopi 1H-NMR dan

13C-NMR paling penting dan sering

digunakan dalam penggunaan spektroskopi NMR. Atom 1H dan

13C memiliki

spin dengan nilai setengah sehingga inti-inti tersebut hanya dapat mengambil

salah satu dari dua orientasi, yaitu orientasi energi yang rendah sejalan dengan

bidang yang diterapkan dan orientasi energi tinggi yang bertentangan dengan

medan listrik (Williams dan Fleming, 1995).

Isotop 13

C magnetik memiliki momen magnetik serta resonansinya lebih

rendah dibandingkan isotop 12

C. Parameter yang digunakan pada spektra 13

C

adalah geseran kimia atau chemical shift. Interaksi spin-spin yang sangat jarang

antara karbon-karbon yang berdekatan dikarenakan kelimpahan isotop 13

C yang

sangat rendah, kemungkinan untuk mendapatkan dua atom 13

C yang bersebelahan

sangat kecil. Isotop atom 13

C akan mengalami interaksi spin-spin dengan atom 1H

yang saling berikatan (Pavia dkk., 2001).

10. Hidrogenasi dengan katalis paladium karbon

a. Hidrogenasi

Reduksi merupakan reaksi kimia yang menyebabkan substansi target

menerima elektron (Anonim, 2011). Reaksi hidrogenasi merupakan reaksi

20

hidrogen dengan senyawa organik dan tergolong dalam reaksi reduksi. Reaksi ini

terjadi melalui penambahan (adisi) hidrogen secara langsung pada ikatan rangkap

dari molekul yang tidak jenuh sehingga dihasilkan suatu produk yang jenuh.

Proses hidrogenasi merupakan salah satu proses yang penting dan banyak

digunakan dalam pembuatan bermacam-macam senyawa organik. Proses ini

umumnya terdiri dari adisi sepasang atom hidrogen ke sebuah molekul. Reaksi

membutuhkan suhu dan tekanan yang berbeda tergantung pada substrat dan

aktivitas katalis (Hudlicky, 1996).

b. Katalis paladium karbon

Paladium adalah logam berwarna putih baja yang termasuk dalam

golongan logam Platinum Group Metals (PGMs), yang terdiri dari enam logam

yang saling berhubungan, yaitu platina (Pt), paladium (Pd), rhodium (Rh),

ruthenium (Ru), iridium (Ir) dan osmium (Os). Paladium tidak mengkilap di udara

dan memiliki bobot jenis yang paling ringan dan titik lebur paling rendah diantara

golongan PGMs yang lain (Aldrich, 1996).

Paladium dalam karbon (Pd/C) merupakan suatu katalis heterogen

(organopaladium). Senyawa ini sering digunakan sebagai katalisator dalam

berbagai reaksi hidrogenasi gugus keton, imina, alkena, alkuna, golongan nitro,

benzenoid dan heterosiklik aromatik. Katalis ini juga dapat digunakan untuk

dehidrogenasi aromatik dan deformilasi aldehid (Wipf, 2005). Paladium karbon

memiliki chemoselectivity untuk mereduksi ikatan rangkap karbon-α,β tanpa

mereduksi gugus karbonilnya dibandingkan dengan katalis organologam lain

(Solomons, 1990).

21

c. Hidrogenasi dengan katalis paladium karbon

Penggunaan katalis diperlukan agar reaksi dapat berjalan secara efisien

dengan cara meningkatkan laju reaksi (Martin, 1993). Proses hidrogenasi biasanya

menggunakan gas hidrogen dengan menambahkan suatu katalis tertentu untuk

mempercepat kecepatan laju reaksi agar reaksi tersebut dapat berjalan dengan

lebih sempurna. Hidrogenasi non-katalitik hanya dapat berjalan dengan kondisi

suhu dan tekanan yang tinggi. Jarang ditemukan reaksi di bawah 480° C (750 K

atau 900° F) terjadi antara hidrogen (H2) dan suatu senyawa tanpa menggunakan

katalis. Katalis paladium karbon (Pd/C) dinilai sesuai untuk digunakan pada

proses yang melibatkan hidrogenasi dan hidrogenolisis benzil keton dan aldehid.

Hidrogenasi benzil keton menjadi alkohol adalah proses yang sangat cepat dengan

menggunakan katalis paladium karbon (Wipf, 2005).

Terdapat tiga tahap reaksi pada mekanisme hidrogenasi heterogen reaksi.

Pertama, paladium akan beraksi dengan gas hidrogen dan mengalami oksidasi.

Kemudian ikatan antara paladium dengan gas hidrogen mengalami hidrometalasi

dengan substrat sehingga terbentuk intermediet organometalik (proses non-

redoks). Selanjutnya reduksi eliminasi dari produk intermediet organometalik

yang terbentuk sehingga dihasilkan produk hasil reduksi, pada saat yang

bersamaan juga terjadi regenerasi katalis (Negishi, 2002b).

F. Landasan Teori

Metode hidrogenasi dengan paladium karbon (Pd/C) 10% dalam pelarut

etanol telah berhasil dilakukan pada hidrogenasi beberapa senyawa turunan

kurkumin seperti: THPGV-0 dari PGV-0 (Ritmaleni dan Simbara, 2010),

22

THPGV-1 dari PGV-1 (Andhini, 2012), THHGV-5 dari HGV-5 (Wibowo, 2013),

dan THHGV-7 dari HGV-7 (Praditya, 2014). Adanya katalis paladium karbon

akan meningkatkan kemungkinan bahwa reduksi hanya akan terjadi pada ikatan

rangkap karbon-α,β dan tidak mereduksi karbonil menjadi alkohol sekunder

(Solomons, 1990; Negishi, 2002b; Nishimura, 2001; Anonim, 2001; Hudlicky,

1996). Pelarut etanol dapat mempercepat jalannya reaksi hidrogenasi ikatan

rangkap (tak jenuh) karbon-α,β menjadi ikatan tunggal karbon-α,β (ikatan jenuh)

(Isaacs, 1987).

Pada keempat sintesis yang telah disebutkan, dihasilkan lebih dari satu

senyawa produk samping (byproduct) yang memiliki kepolaran yang berbeda dari

senyawa target. Hasil elusi KLT dapat digunakan untuk menganalisis senyawa

target yang dicari dalam campuran hasil sintesis. Analisis ini didasarkan oleh

perbedaan kepolaran senyawa. Pada ketiga sintesis senyawa yang telah disebutkan

sebelumnya, dapat diamati perubahan struktur (struktur ikatan rangkap menjadi

ikatan tunggal) secara langsung berdasarkan perubahan warna dari senyawa awal

(serbuk berwarna kuning) menjadi senyawa tidak berwarna. Jika reaksi berjalan

sesuai prediksi maka senyawa THC7 hasil sintesis juga diprediksi akan berubah

warna dari starting material. Isolasi pada senyawa hasil sintesis dilakukan untuk

memisahkan senyawa target dari produk samping. Hasil elusidasi struktur (IR,

GC-MS, 1H-NMR, dan

13C-NMR) yang dibandingkan dengan literatur dapat

digunakan untuk menganalisis kesesuaian struktur senyawa hasil sintesis dengan

senyawa target (THC7).

23

G. Hipotesis

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan prediksi mekanisme

reaksi, senyawa 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-pentan-3-on (THC7) 8 dapat

disintesis dari starting material 1,5-bis-(4'-triflorometilfenil)-penta-1,4-dien-3-on

melalui reaksi hidrogenasi dengan menggunakan katalis paladium karbon (Pd/C)

dalam pelarut etanol. Persamaan reaksi hidrogenasi pada penelitian ini adalah

sebagai berikut:

F3C

O

CF3

F3C

O

CF3

H2, EtOH

Pd/C

Gambar 5. Prediksi Reaksi Hidrogenasi C7 Menjadi THC7 (8)

8

7