bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73833/potongan/s1-2014...di...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan tanahnya yang subur sehingga banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh. Beberapa jenis tumbuhan memiliki khasiat sebagai obat, namun belum banyak masyarakat yang mengetahui khasiat tumbuhan obat tersebut. Kekurangpahaman masyarakat akan hal tersebut menyebabkan tumbuhan obat terkesan sebagai tanaman liar (Hariana, 2004). Akhir-akhir ini tumbuhan obat banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Berdasarkan dari pengalaman secara turun-temurun, obat tradisional adalah obat yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya yang digunakan untuk pengobatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989 a ). Salah satu tanaman obat yang memiliki berbagai khasiat adalah asam jawa atau yang dikenal dengan nama ilmiah Tamarindus indica L. Asam jawa termasuk dalam suku Caesalpiniaceae, yang merupakan tumbuhan tropis dan mempunyai tipe buah polong (Supriadi dkk., 2001). Di Indonesia, asam jawa banyak ditemui di pinggir jalan sebagai pohon peneduh (Heyne, 1987). Daun asam jawa dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit (analgetik), antiradang dan membantu pengeluaran keringat (diaforetik), laksansia, dan sebagai obat luka maupun sariawan (Mursito, 2000). Sementara masih banyak kegunaan medis dalam pemanfaatan bagian tanaman asam jawa.

Upload: hadiep

Post on 10-May-2018

216 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara beriklim tropis dengan tanahnya yang subur sehingga

banyak jenis tumbuhan yang dapat tumbuh. Beberapa jenis tumbuhan memiliki

khasiat sebagai obat, namun belum banyak masyarakat yang mengetahui khasiat

tumbuhan obat tersebut. Kekurangpahaman masyarakat akan hal tersebut

menyebabkan tumbuhan obat terkesan sebagai tanaman liar (Hariana, 2004).

Akhir-akhir ini tumbuhan obat banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional.

Berdasarkan dari pengalaman secara turun-temurun, obat tradisional adalah obat

yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan

galeniknya yang digunakan untuk pengobatan (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1989a).

Salah satu tanaman obat yang memiliki berbagai khasiat adalah asam jawa

atau yang dikenal dengan nama ilmiah Tamarindus indica L. Asam jawa termasuk

dalam suku Caesalpiniaceae, yang merupakan tumbuhan tropis dan mempunyai

tipe buah polong (Supriadi dkk., 2001). Di Indonesia, asam jawa banyak ditemui

di pinggir jalan sebagai pohon peneduh (Heyne, 1987). Daun asam jawa dapat

digunakan untuk menghilangkan rasa sakit (analgetik), antiradang dan membantu

pengeluaran keringat (diaforetik), laksansia, dan sebagai obat luka maupun

sariawan (Mursito, 2000). Sementara masih banyak kegunaan medis dalam

pemanfaatan bagian tanaman asam jawa.

2

Efek laksantif pada buah dan efek diuretik pada getah daun telah dikonfirmasi

oleh ilmu kedokteran modern (Bueso, 1980). Buah asam jawa dapat digunakan

untuk masalah pencernaan dan sebagai karminatif (El-Siddig dkk., 2006). Selain

itu buah asam jawa dilaporkan memiliki efek antifungi dan antibakteria (Bibitha

dkk., 2002; Metwali, 2003; John dkk., 2004). Aktivitas antioksidan dari biji asam

jawa diteliti oleh Osawa dkk. (1994), bahwa ekstrak etanol kulit biji menunjukkan

aktivitas antioksidan yang diukur dengan metode tiosianat dan thiobarbiturat

(TBA). Sedangkan ekstrak daun juga menunjukkan aktivitas antioksidan dalam

liver. Selain itu biasa digunakan dalam mengobati penyakit jantung dan

mengurangi gula darah (El-Siddig dkk., 2006).

Salah satu golongan kandungan aktif daun asam jawa adalah flavonoid yang

memiliki efek antioksidan. Menurut Keller (2009), flavonoid dalam tubuh

memiliki efek yang lemah karena lambatnya penyerapan oleh tubuh, namun ada

indikasi bahwa secara biologis flavonoid memicu produksi enzim yang melawan

penyakit. Pemanfaatan kandungan flavonoid tumbuhan yang digunakan untuk

pengobatan, dapat disiapkan dalam bentuk ekstrak.

Penyiapan ekstrak dilakukan melalui proses ekstraksi. Metode pemisahan

suatu zat atau senyawa dengan menggunakan cairan penyari yang sesuai disebut

ekstraksi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Metode ekstraksi

yang dapat dilakukan oleh usaha kecil obat tradisional (UKOT) adalah maserasi,

perkolasi, namun tidak menutup kemungkinan dilakukan secara infundasi. Pelarut

yang dapat digunakan adalah etanol, air dan campurannya (Departemen

3

Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Tingginya kadar flavonoid dalam ekstrak

daun asam jawa dapat dipengaruhi oleh kedua metode ekstraksi tersebut.

Penelitian mengenai pengaruh metode ekstraksi secara infundasi dengan

membuat dekokta dan maserasi terhadap kadar flavonoid total ekstrak daun asam

jawa belum pernah dilakukan. Penelitian ini dapat membantu UKOT untuk

memilih metode ekstraksi yang tepat dan mendapatkan kandungan flavonoid total

yang tinggi.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Metode manakah yang lebih efektif untuk memperoleh ekstrak dengan kadar

flavonoid total paling tinggi pada ekstraksi daun asam jawa secara infundasi

dan maserasi?

2. Bagaimana pengaruh fraksinasi terhadap kadar flavonoid total dalam ekstrak

daun asam jawa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Pengaruh dua metode ekstraksi secara infundasi dan maserasi terhadap kadar

flavonoid total ekstrak daun asam jawa.

2. Pengaruh fraksinasi terhadap kadar flavonoid total dalam ekstrak daun asam

jawa.

4

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

pengaruh dua metode ekstraksi yaitu infundasi dan maserasi terhadap kadar

flavonoid total yang diperoleh. Hasil penelitian dapat bermanfaat untuk

diaplikasikan dalam bidang industri yang membuat obat tradisional dengan daun

asam jawa sebagai bahan utamanya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Asam jawa

Asam jawa merupakan tanaman tropis yang berasal dari Afrika namun

dapat tumbuh dengan subur di Indonesia, kebanyakan digunakan sebagai

pohon peneduh jalan (Heyne, 1987).

a. Klasifikasi

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Anak kelas : Rosidae

Bangsa : Rosales

Suku : Caesalpiniaceae

Marga : Tamarindus

Jenis : Tamarindus indica L.

(Heyne, 1987; Van Steenis, 2008)

b. Nama daerah

Sumatera: bak méĕ (Aceh), acamlagi (Gayo), asam jawa, cumalagi

(Minang); Jawa: asem, tangkal asem (Jawa Barat), asem, wit asem (Jawa

5

Tengah dan Jawa Timur), Acĕm (Madura); Bali: cĕlagi, clagi; Kalimantan:

asang jawa (Dayak), asang jawi (Gorontalo), tamalagi (Buol), sambalagi

(Barèe), camba (Makassar), cempa (Bugis); Nusa Tenggara: manggé

(Bima), kamaru (Sumbawa Timur), kaza (Sumbawa Barat), hélagi (Sawu),

maké, magé, naangé (Flores), tobi (Solor, Alor), ninilu nau (Roti); Maluku:

sablaki (Tanimbar), tobĕlakè (Seram Timur), asang jawa (Seram Selatan),

asan jawa (Ulias), asan jawaka (Buru), asam jawa (Ternate) (Heyne, 1987).

c. Deskripsi

Asam jawa merupakan tanaman tahunan, besar, berupa pohon tinggi

yang indah, tinggi mencapai 25 m (Heyne, 1987; Sastroamidjojo, 1967).

Asam jawa merupakan tumbuhan yang mempunyai tipe buah polong.

Batang pohonnya cukup keras, dapat tumbuh menjadi besar dan daunnya

rindang. Daun asam jawa bertangkai panjang, sekitar 17 cm dan bersirip

genap. Bunganya kuning kemerah-merahan dan buah dengan tipe polong

berwarna cokelat dengan rasa khas asam. Di dalam buahnya selain terdapat

kulit yang membungkus daging buah juga terdapat biji berjumlah 2-5 yang

berbentuk pipih dengan warna cokelat agak kehitaman (Yuniarti, 2008).

Daun muda yang rasanya asam dalam bahasa Jawa dinamakan sinom

untuk membedakannya dengan daun yang tua. Daun muda ini digunakan

sebagai pengganti daging buah (Heyne, 1987). Helaian anak daun berwarna

hijau kecokelatan atau hijau muda, berbentuk bundar panjang, panjang 1-2,5

cm, lebar 4-8 mm, ujung daun membundar kadang-kadang berlekuk,

pangkal daun membundar, pinggir daun rata dan hampir sejajar satu sama

6

lain. Tangkai daun sangat pendek sehingga mirip duduk daun. Tulang daun

terlihat jelas. Kedua permukaan daun halus dan licin, permukaan bawah

berwarna lebih muda (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989b).

Di Jawa dan Madura sering ditanam sebagai tanaman hias atau tanaman

buah yang dapat dimakan (Backer & Van Den Brink, 1963).

d. Kandungan kimia

Daun asam jawa mengandung flavonoid, saponin, senyawa fenol,

pektin dan asam organik (Rosmanadewi, 1993). Buah polong asam jawa

mengandung senyawa kimia antara lain asam apel, asam sitrat, asam anggur,

asam tartrat, asam suksinat, pektin dan gula invert (Yuniarti, 2008).

Berdasarkan penelitian Escalona-Arranz dkk., (2010), ekstrak daun

asam jawa dengan pelarut etanol 70% yang dianalisis dengan HPTLC-UV

mengandung luteolin 7-O-glukosida, luteolin, apigenin, isoorientin, orientin,

vitexin dan asam kafeat.

e. Manfaat

Asam jawa merupakan pohon yang hampir seluruh bagian tanamannya

memiliki manfaat, bisa sebagai penambah nutrisi maupun untuk obat

(Kumar & Bhattacharya, 2008). Kayunya dapat digunakan untuk bahan

bangunan, buahnya yang sudah masak digunakan sebagai bumbu masak,

daunnya yang disebut “sinom” dalam bahasa jawa digunakan sebagai sayur

maupun obat yang memiliki khasiat kholagogik dan laksatif, selain itu getah

daunnya dapat digunakan sebagai diuretik (Mun’im dkk., 2009; Sundari

dkk., 2010). Secara empiris, seduhan daun muda asam jawa dan rimpang

7

kunyit yang sudah digiling dapat menyembuhkan rematik dan bengkak

karena terpukul (lebam) dengan dibalurkan pada bagian yang sakit (Hariana,

2004).

Berdasarkan penelitian Susanti (2009), daun asam jawa bersama

rimpang kunci pepet merupakan tanaman obat tradisional yang berpotensi

sebagai antiobesitas, namun mekanismenya belum diketahui dengan pasti.

Diperkuat dengan penelitian Rosmanadewi (1993), infusa daun asam jawa

dapat digunakan sebagai penurun kolesterol.

2. Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian adalah suatu proses penarikan zat yang dapat

larut dalam pelarut cair sehingga terpisah dengan bahan yang tidak dapat

larut dengan pelarut cair. Faktor kecepatan difusi sangat mempengaruhi

kecepatan penyarian, karena dalam penyarian, larutan harus melewati

lapisan batas antara butir serbuk dengan cairan penyari. Kecepatan melintasi

lapisan batas dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan

batas, serta koefisien difusi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

1986).

Metode ekstraksi akan memisahkan metabolit tanaman yang larut dan

menyisakan yang tidak terlarut. Produk hasil ekstraksi tanaman

mengandung campuran metabolit yang sangat kompleks (Handa dkk.,

2008). Senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia dapat digolongkan

ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Bila

8

sudah diketahui senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia tersebut, akan

mempermudah dalam pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Faktor penting dalam proses ekstraksi adalah simplisia, pelarut, dan

metode ekstraksi. Masing-masing faktor diuraikan sebagai berikut:

a. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun dan kecuali dinyatakan lain, berupa

bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat dibagi menjadi simplisia

nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 1989a).

Tahapan pembuatan simplisia dimulai dengan pengumpulan bahan

baku. Tahap selanjutnya adalah sortasi basah, pencucian, perajangan, dan

pengeringan. Tahapan terakhir adalah pengepakan dan penyimpanan

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985).

b. Pelarut

Pelarut atau cairan penyari yang akan digunakan untuk ekstraksi adalah

pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa berkhasiat yang diinginkan,

sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan antara bahan dan kandungan

lain yang tidak diinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2000). Selain itu, pelarut harus mempertimbangkan banyak faktor,

diantaranya adalah: murah dan mudah diperoleh; stabil secara fisika dan

kimia; bereaksi netral atau inert; tidak mudah menguap dan tidak mudah

9

terbakar; selektif, yang berarti hanya menarik zat berkhasiat yang

diinginkan; tidak mempengaruhi senyawa aktif; diperbolehkan oleh

peraturan atau mendapat ijin Departemen Kesehatan. Penggunaan pelarut

pada perusahaan obat tradisional adalah akuades (air), etanol atau etanol-air.

Pelarut akuades digunakan karena murah dan mudah diperoleh; stabil;

tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar; tidak beracun; dan alami,

namun kekurangan akuades sebagai cairan penyari yaitu tidak selektif; sari

dapat ditumbuhi kapang atau kuman sehingga cepat rusak; dan

penguapannya diperlukan waktu yang lama (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1986).

Pelarut etanol digunakan sebagai cairan penyari dengan pertimbangan

dapat melarutkan berbagai senyawa, merupakan pelarut universal; kapang

dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas; tidak beracun; netral;

etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan; untuk

menguapkan pelarut dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat, sedangkan

kerugiannya adalah pelarut etanol lebih mahal harganya dibandingkan

dengan air atau akuades (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).

c. Metode ekstraksi

1) Infundasi

Infundasi merupakan cara untuk memperoleh infusa dan

dekokta. Sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia

dengan air pada suhu 90°C selama 15 menit disebut infusa,

sedangkan dekokta adalah penyarian dengan metode yang mirip

10

dengan cara pembuatan infusa namun dalam waktu yang lebih lama

yaitu selama 30 menit.

Infundasi adalah proses penyarian yang umum digunakan

untuk menyari zat-zat yang larut dalam air. Penyarian dengan

metode ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan sangat mudah

tercemar oleh kapang dan kuman, sehingga sari yang diperoleh

tidak boleh disimpan melebihi 24 jam atau segera dibuat menjadi

ekstrak kental. Namun demikian, metode ini sangat ekonomis bila

dibandingkan metode lainnya (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1986).

Panci infusa dan dekokta terdiri atas dua bagian, yaitu panci A

yang berisi simplisia dan air; panci B yang berisi air berfungsi

sebagai penangas air. Alat bisa dilihat seperti pada Gambar 1

berikut.

Gambar 1. Panci infusa dan dekokta (Gambar diadopsi pada buku Sediaan

Galenik (1986)).

2) Maserasi

Maserasi adalah suatu proses pengekstraksian simplisia dalam

suatu wadah yang diberi pelarut dengan beberapa kali pengocokan

11

atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Campuran

simplisia dan pelarut kemudian dipisahkan, ampasnya akan

mengendap dan maserat didapatkan dengan penyaringan sehingga

tidak ada sisa simplisia yang terbawa. Maserasi kinetik berarti

adanya pengadukan yang berulang (terus-menerus). Remaserasi

berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah

dilakukan penyaringan pertama dan seterusnya (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2000; Handa dkk., 2008).

Keuntungan ekstraksi secara maserasi adalah cara pengerjaan

dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan.

Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang

sempurna. Ekstraksi secara maserasi diperlukan pengadukan untuk

meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia,

sehingga derajat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel

dengan pelarut akan tetap terjaga. Hasil penyarian atau maserat

perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang tidak

diperlukan mengendap (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 1986).

Alat maserasi sangat sederhana, hanya terdiri atas bejana berisi

bahan dan cairan penyari (A) dan penutupnya (B). Pengadukan

dapat dilakukan secara manual dengan beberapa kali pengadukan

tiap waktu yang ditentukan, namun ada juga alat maserasi yang

12

sudah dilengkapi dengan pengaduk mekanik (C), seperti yang

terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Alat maserasi dengan pengaduk mekanik (Gambar diadopsi pada

buku Sediaan Galenik (1986)).

3) Perkolasi

Perkolasi merupakan metode penyarian yang dilakukan dengan

mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah

dibasahi. Faktor yang berperan pada metode ini adalah gaya berat,

kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi,

daya kapiler dan daya geseran (friksi).

Keuntungan perkolasi dibandingkan maserasi adalah adanya

derajat perbedaan konsentrasi yang tinggi karena aliran cairan

penyari mengalir ke konsentrasi lebih rendah dan ruangan diantara

butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran sehingga cairan

penyari dapat mengalir, kecilnya saluran tersebut menyebabkan

kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, dan

meningkatkan perbedaan konsentrasi (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1986).

13

3. Fraksinasi

Fraksinasi adalah proses pemisahan dan pemurnian untuk mendapatkan

kandungan senyawa tertentu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

2000). Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda-

beda tergantung pada kandungan senyawa di tiap jenis tumbuhan. Pelarut

yang digunakan untuk fraksinasi dapat disesuaikan dengan kandungan

senyawa yang diinginkan, seperti pada Tabel I.

Tabel I. Pelarut dan golongan kandungan kimia yang terlarut.

Pelarut Golongan kandungan kimia yang terlarut

n-Heksan, petroleum eter,

benzen, toluen

Terpenoid (minyak atsiri), triterpen, steroid, kumarin,

polimetoksi flavon, lipida, resin, klorofil, xantofil

Kloroform, diklorometan Semua yang disebut di atas, antrakuinon, alkaloid

bebas, kurkuminoid, fenol

Dietil eter Semua yang disebut di atas, flavonoid aglikon, asam

fenolat

Etil asetat, aseton Semua yang disebut di atas, flavonoid monoglikosida,

quasinoid, glikosida lain

Etanol dan alkohol lain Semua yang disebut di atas, flavonoid diglikosida, tanin

Air panas

Semua yang disebut di atas, mulai dari yang larut dalam

dietil eter, garam alkaloid, flavonoid poliglikosida,

mono- dan disakarida, asam amino, protein dan

mineral. Polisakarida dan protein akan menggumpal

(Pramono, 2013a)

4. Kromatografi lapis tipis (KLT)

Kromatografi adalah metode pemisahan zat terlarut oleh suatu proses

migrasi dalam sistem yang terdiri atas dua fase, yaitu fase diam dan fase

gerak. Zat-zat terlarut akan menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan

adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran

14

molekul atau kerapatan muatan ion, sehingga masing-masing zat dapat

diidentifikasi dengan metode analitik (Anonim, 2008).

Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar, selain

kromatografi kertas dan elektroforesis. KLT lebih mudah dan lebih murah

dibandingkan metode kromatografi lainnya. Peralatannya lebih sederhana

dan hampir dapat dilakukan setiap saat. Keuntungan lain KLT adalah

banyak digunakan untuk tujuan analisis, identifikasi pemisahan komponen

yang dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi warna, fluoresensi,

atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet, pemisahan komponen

dapat dilakukan secara menaik (ascending), menurun (discending) atau

dengan cara elusi 2 dimensi, dan ketepatan penentuan kadar lebih baik

karena komponen yang ditentukan adalah bercak yang tidak bergerak

(Gandjar & Rohman, 2007).

Sistem KLT berupa fase diam, fase gerak, dan metode deteksi. Uraian

ketiganya sebagai berikut:

a. Fase diam

Fase diam atau penjerap yang biasa digunakan pada kromatografi lapis

tipis adalah:

1) Silika gel

Silika gel atau silika adalah penjerap yang paling sering

digunakan untuk analisis fitokimia secara kromatografi lapis tipis,

misalnya untuk determinasi komponen racun seperti asam

aristolokik pada pengobatan tradisional China.

15

Silika gel memiliki struktur ikatan silika dan oksigen (siloksan)

dan pemisahan terjadi karena migrasi diferensial molekul sampel

yang disebabkan oleh ikatan hidrogen, interaksi dipol-dipol dan

interaksi elektrostatik dengan silanol (Si-OH). Fase gerak pada

silika gel biasanya lebih nonpolar dibandingkan silika gel sendiri

yang bersifat polar, fase ini disebut fase normal (normal phase).

2) Selulosa

Selulosa terdiri atas rantai panjang polimerisasi beta-

glukopiranosa yang terhubung pada posisi 1-4. Mekanisme

pemisahannya adalah partisi fase normal (normal phase) dengan

menyerap air sebagai fase diam. Pemisahan fitokimia yang dapat

dilakukan dengan menggunakan selulosa adalah untuk senyawa

asam hidrosinamat ester, flavonol glikosida, antosianin, aglikon

flavon dan flavanon, saponin triterpenoid, dan glukosida iridoid.

3) Alumina

Alumina adalah penjerap yang bersifat polar yang mirip dengan

silika gel, namun memiliki afinitas adsorpsi yang tinggi untuk

karbon-karbon dengan ikatan rangkap dan lebih selektif terhadap

hidrokarbon aromatik dan turunannya (Waksmundzka-Hajnos

dkk., 2008).

b. Fase gerak

Fase gerak yang digunakan untuk kromatografi lapis tipis harus

memenuhi beberapa persyaratan. Fase gerak tidak boleh mempengaruhi

16

secara kimiawi atau melarutkan fase diam karena akan merusak sistem

kromatografi. Selain itu fase gerak juga tidak boleh menghasilkan

transformasi kimia dari komponen senyawa yang dipisahkan. Fase gerak

harus mudah dihilangkan dari fase diam atau penjerap dan harus sesuai

dengan metode deteksinya.

Umumnya, jika fase diam yang digunakan polar maka fase gerak yang

digunakan sebaiknya nonpolar atau sedikit polar, sistem ini dinamakan

sistem fase normal atau normal-phase (NP). Sebaliknya, bila fase diam

bersifat nonpolar dan fase gerak polar, maka sistem ini disebut sistem fase

terbalik atau reversed-phase (RP) (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008).

c. Deteksi

Metode deteksi pada kromatografi lapis tipis bertujuan untuk

meningkatkan sensitivitas dan selektivitas, disamping memberikan bukti

mengenai kualitas pemisahan (Jork dkk., 1990). Deteksi secara visualisasi

digunakan untuk senyawa yang tidak berwarna. Banyak senyawa akan

mengabsorbsi cahaya UV atau berfluoresens saat tereksitasi oleh UV atau

cahaya tampak, namun kebanyakan memerlukan penyemprotan dengan

reagen tertentu (Wall, 2005).

Beberapa reagen untuk mendeteksi flavonoid tertera pada Tabel II

berikut.

17

Tabel II. Pereaksi untuk deteksi flavonoid.

Reagen Preparasi

AlCl3

- Melarutkan 0,2-1 g alumunium klorida dalam 100 mL

etanol

- Melarutkan 20 g alumunium klorida dalam 100 mL

etanol

Uap amonia Larutan amonia (25%)

Anilin-difenilamin-

asam fosfat

Asam fosfat 85% - asam asetat – anilin – difenilamin (20

mL + 100 mL + 5 mL + 5 g)

Antimon(III) klorida

(reagen Carr-Price)

Melarutkan 10 g antimon(III) klorida dalam kloroform atau

kerbon tetraklorida hingga 50 mL

2,4-dinitrofenilhidrazin Melarutkan 100 mg 2,4-dinitrofenilhidrazin dalam

campuran 90 mL etanol dan 10 mL asam hidroklorid

Asam difenilborat-2-

aminoetil ester

Melarutkan 1 g asam difenilborat-2-aminoetil ester dalam

etanol hingga 100 mL

Sitroborat Melarutkan 5 g asam sitrat dan 5 g asam borat dalam etanol

hingga 100 mL

(Jork dkk., 1990; Anonim, 2008)

5. Spektrofotometri

Spektrofometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara

radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom pada suatu zat kimia. Teknik

yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan

ultraviolet, cahaya tampak, inframerah dan serapan atom (Anonim, 2008).

Pengukuran kuantitatif secara spektrofotometri ditetapkan dengan

persamaan Lambert-Beer:

Dengan keterangan, A adalah absorban, a adalah absortivitas, b adalah tebal

kuvet (cm), dan c adalah konsentrasi. Kuantitas spektroskopi yang diukur

biasanya adalah transmitans (T) = I/Io dan absorbansi (A), yang mana

18

A=log 1/T. Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang

diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan

konsentrasi larutan (Gandjar & Rohman, 2007).

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), metode spektrofotometri UV-

Vis digunakan untuk menetapkan kadar senyawa obat, yang mendasarkan

pada penggunaan nilai suatu obat. Nilai

merupakan absorbansi

suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 g/100 mL) dengan

kuvet yang mempunyai ketebalan 1 cm pada panjang gelombang dan pelarut

tertentu.

Cara lain untuk menetapkan kadar sampel adalah dengan menggunakan

perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan

menggunakan persamaan regresi linier yang menyatakan hubungan antara

konsentrasi baku dengan absorbansinya. Persamaan kurva baku selanjutnya

digunakan untuk menghitung kadar dalam sampel (Gandjar & Rohman,

2007).

6. Flavonoid yang terkandung dalam daun asam jawa

Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang disimpan pada vakuola

tumbuhan (Andersen & Markham, 2006). Flavonoid tersusun atas kerangka

karbon C6-C3-C6, atau termasuk golongan fenilbenzopiran. Dilihat pada

posisi ikatan cincin aromatik benzopirano (kromano), produk alami ini

dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:

19

Gambar 3. Struktur flavonoid, isoflavonoid, dan neoflavonoid (Gambar diadopsi

dari Grotewold, 2006).

1. Flavonoid (2-fenilbenzopiran)

2. Isoflavonoid (3-fenilbenzopiran)

3. Neoflavonoid (4-fenilbenzopiran)

Tiga grup ini biasanya berbagi prekursor umum khalkon dan berhubungan

secara biogenetik dan struktural (Grotewold, 2006).

Berdasarkan derajat oksidasi dan saturasi pada cincin C heterosiklik,

flavonoid dibagi menjadi beberapa grup:

1 2 3

20

Gambar 4. Struktur kimia grup flavonoid (2-fenilbenzopiran) (Gambar diadopsi

dari Grotewold, 2006).

Grup lain yaitu isoflavonoid yang memiliki kerangka 3-fenilkroman

didapat secara biogenetik akibat migrasi 1,2-aril pada prekursor 2-

fenilkroman. Isoflavonoid dibagi menjadi beberapa kelompok berikut:

21

Gambar 5. Struktur kimia grup isoflavonoid (3-fenilbenzopiran) (Gambar

diadopsi dari Grotewold, 2006).

Berdasarkan penelitian Escalona-Arranz dkk. (2010), mengenai

kandungan kimia daun asam jawa dalam ekstrak etanol 70% dengan fraksi

etil asetat dan n-butanol menggunakan HPTLC-UV, dapat dilihat pada

Tabel III.

Tabel III. Kandungan kimia daun asam jawa dalam ekstrak etanol 70% fraksi

etil asetat dan n-butanol dengan HPTLC-UV.

Etil asetat n-Butanol

Rf Senyawa Rf Senyawa

0,31 Luteolin 7-O-glukosida 0,26 Isoorientin

0,45 Luteolin 0,44 Orientin

0,62 Apigenin 0,62 Vitexin

Dilihat pada struktur kimia berikut, senyawa tersebut termasuk dalam

kelompok flavonoid-C glukosida.

Gambar 6. Struktur kimia isoorientin, isovitexin, orientin dan vitexin (Gambar

diadopsi dari Andersen & Markham, 2006).

22

7. Rutin sebagai pembanding untuk penetapan kadar flavonoid total

Rutin dengan nama lain rutoside dan quersetin-3-rutinoside, merupakan

bentuk glikosida flavonoid kuersetin dengan ikatan gula rutinosida

(Anonim, 1997). Rutin memiliki bobot molekul 610,5 dengan rumus

formula C27H30O16. Berikut adalah struktur kimia rutin:

Gambar 7. Struktur kimia rutin (Gambar diadopsi dari Nguyen dkk., 2013).

Sesuai dengan Ekstra Farmakope Indonesia (1974) menyatakan bahwa,

rutin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5%

C27H30O16, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian rutin yaitu berbentuk

serbuk hablur halus, berwarna kuning pucat sampai hijau kekuningan pucat,

tidak berbau atau berbau lemah khas dan tidak berasa. Senyawa ini

mendamar pada suhu antara 185oC dan 192

oC dan mengurai pada suhu

antara 211oC

dan 215

oC. Rutin larut dalam 10.000 bagian air, 200 bagian air

panas, 650 bagian etanol (95%), 60 bagian etanol (95%) panas. Kelarutan

rutin yakni larut dalam metanol, isopropanol, gliserol, dan praktis tidak larut

dalam kloroform, eter, eter minyak tanah, aseton, benzen, karbondisulfida.

23

Rutin mudah larut dalam piridin dan natrium hidroksida 1 N. Penyimpanan

wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.

F. Landasan Teori

Flavonoid yang terkandung dalam daun asam jawa berupa luteolin 7-O-

glukosida, luteolin, apegenin, isoorientin, orientin dan vitexin. Flavonoid tersebut

merupakan golongan flavon, karena dua pita yang memiliki karakteristik absorpsi

pada panjang gelombang 260-270 nm (pita II) dan 330-365 nm (pita I) (Escalona-

Arranz dkk., 2010). Berdasarkan strukturnya, flavonoid daun asam jawa dapat

larut dalam pelarut polar, semi-polar dan non-polar.

Berdasarkan metode ekstraksi secara infundasi dengan pelarut akuades

(polar), dapat melarutkan senyawa garam alkaloid, flavonoid poliglikosida, mono-

dan disakarida, asam amino, protein dan mineral. Selain itu juga dapat melarutkan

beberapa senyawa seperti flavonoid aglikon, flavonoid monoglikosida, glikosida

lain, flavonoid diglikosida, dan tanin yang lebih larut dalam dietil eter, etil asetat

dan etanol. Pelarut etanol (semi-polar) yang digunakan untuk ekstraksi secara

maserasi dapat melarutkan flavonoid diglikosida dan tanin. Selain itu juga

melarutkan senyawa polimetoksi flavon, lipida, resin, klorofil, flavonoid aglikon,

fenol, alkaloid bebas, asam fenolat, flavonoid monoglikosida dan glikosida lain

(Pramono, 2013a).

Luteolin 7-O-glukosida, luteolin dan apigenin berdasarkan strukturnya dapat

larut dalam pelarut polar dan semi-polar, seperti air, etanol, dan etil asetat,

sedangkan isoorientin, orientin, dan vitexin dapat larut dalam pelarut semi-polar

dan non-polar seperti etanol dan n-butanol. Dalam hal ini, etanol lebih banyak

24

melarutkan senyawa flavonoid dalam daun asam jawa, namun tidak menutup

kemungkinan masih adanya pengotor seperti klorofil, resin, dan lipida. Pada

akuades atau air, pengotor yang ikut terlarut adalah protein, asam amino dan

mineral, sehingga perlu dilakukan eliminasi pengotor dengan fraksinasi.

Ekstrak maserat difraksinasi dengan n-heksan untuk mengeliminasi klorofil,

resin dan lipida, sehingga pada fraksi tak larut n-heksan hanya tertinggal senyawa

flavonoid dengan kadar yang tinggi. Untuk ekstrak dekokta perlu difraksinasi

dengan etanol 96% untuk menarik senyawa-senyawa flavonoid dan meninggalkan

protein, asam amino, dan mineral dalam fraksi tak larut etanol.

G. Hipotesis

1. Metode ekstraksi yang lebih efektif untuk memperoleh kadar flavonoid total

paling tinggi dalam ekstrak daun asam jawa adalah secara maserasi.

2. Ekstrak yang dilakukan fraksinasi memiliki kadar flavonoid total dalam

ekstrak daun asam jawa lebih tinggi dibandingkan tanpa fraksinasi.