bab i pendahuluan a. latar...

56
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penjara atau yang saat ini kita sebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas adalah merupakan tempat penghukuman yang telah berlangsung kurang lebih 200 tahun yang lalu dan hingga saat ini masih berguna menampung berbagai pelaku kriminal. Penjara merupakan tempat untuk menghukum seseorang yang telah melanggar hukum dengan cara membatasi kebebasannya dengan cara dikurung, sehingga si terhukum merasa sangat menderita karena kebebasannya telah diambil oleh yang berwenang atau aparat penegak hukum. Menurut Dwidja Priyatno (2006:87-88), bahwa “Di sekitar abad ke-16 di Inggris terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang terkenal dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun 1522. Bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana”. Menurut A. Josias Simon R., dan Thomas Sunaryo (2011:1), Penjara masa dulu menjadi tempat dimana orang-orang mendapat hukuman sadis berupa penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau dibakar. Namun saat ini, penjara di Indonesia yang sudah berubah namanya dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan merupakan bangunan tempat isolasi yang secara filosofis ditujukan untuk

Upload: hoangtuyen

Post on 12-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penjara atau yang saat ini kita sebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan atau

Lapas adalah merupakan tempat penghukuman yang telah berlangsung kurang lebih

200 tahun yang lalu dan hingga saat ini masih berguna menampung berbagai pelaku

kriminal. Penjara merupakan tempat untuk menghukum seseorang yang telah

melanggar hukum dengan cara membatasi kebebasannya dengan cara dikurung,

sehingga si terhukum merasa sangat menderita karena kebebasannya telah diambil

oleh yang berwenang atau aparat penegak hukum.

Menurut Dwidja Priyatno (2006:87-88), bahwa “Di sekitar abad ke-16 di Inggris

terdapat pidana penjara dalam arti tindakan untuk melatih bekerja di Bridewell yang

terkenal dengan nama Thriftless Poor bertempat di bekas istana Raja Edward VI tahun

1522. Bahwa pidana penjara diperkirakan dalam tahun-tahun permulaan abad ke-18

mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak,

merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai

derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana”.

Menurut A. Josias Simon R., dan Thomas Sunaryo (2011:1), Penjara masa

dulu menjadi tempat dimana orang-orang mendapat hukuman sadis berupa

penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau dibakar. Namun saat ini, penjara di

Indonesia yang sudah berubah namanya dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan

merupakan bangunan tempat isolasi yang secara filosofis ditujukan untuk

2

menghilangkan kemerdekaan narapidana atau mengalami pencabutan kemerdekaan

serta membina atau mendidik para narapidana agar menjadi baik selama di dalam

Lapas.

Menurut Ahli Sosial Erving Goffman, dalam bukunya Asylum (1961)

menguraikan bahwa karakteristik lingkungan penjara adalah sama dengan rumah sakit

jiwa dan organisasi militer sebagai satu institusi total (total institution) yang menampung

dan mengatur hidup orang banyak secara seragam. Struktur totaliter ini berisi

peraturan-peraturan detil, pengawasan ketat, jurang lebar antara yang berkuasa dan

yang dikuasai, konsentrasi kekuasaan di tangan sekelompok yang berkuasa (rulling

few).

Segala peristiwa yang terjadi di dalam penjara, seperti pemukulan, penyiksaan,

pembunuhan, tindakan sodomi antar sesesama lak-laki, mabuk-mabukan, melakukan

bisnis narkoba di dalam Lapas dan di luar Lapas dengan menggunakan Handphone,

tidur di lantai, kedinginan dan digigit nyamuk, tidak diberikan makanan, serta segala hal

yang menyeramkan, yang terjadi di dalam Lapas, sulit diketahui dan dikontrol oleh

masyarakat publik. Segala peristiwa yang tidak semestinya terjadi di dalam Lapas dapat

terjadi, karena tertutupnya sistem birokrasi yang dibangun pada Lapas serta bentuk

bangunan yang dibatasi dengan tembok yang tinggi dan tidak mudah diakses oleh

masyarakat. Masyarakat yang akan memasuki Lapas pun harus mendapat ijin resmi

dari pejabat yang berwenang, misalnya dari pengadilan, serta sebelum memasuki

gedung Lapas tersebut para pengunjung diperiksa dan diawasi atau mendapat

pengawasan yang ketat dari petugas Lapas. Tidak sedikit dari pengunjung yang tidak

diperbolehkan masuk untuk membesuk keluarganya atau hanya melihat-lihat di dalam

3

Lapas, dengan alasan peraturan atau kebijakan. Hal ini menunjukkan sistem birokrasi

pemerintah di dalam Lapas menjadi sesuatu yang sakral.

Menurut R. Abdoel Djamali (2009 : 188-189), Penjara adalah suatu tempat

yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya

sesuai putusan hakim. Fungsi kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat

berkomunikasi dengan terhukum lainnya, seperti dikucilkan dari pergaulan sosial.

Dengan jalan demikian, diharapkan setelah menjalankan hukumannya ia akan menjadi

insaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana kejahatan. Dengan demikian secara

logika, seorang yang dimasukkan ke dalam penjara atau Lapas tidak bisa secara bebas

berkomunikasi dengan orang luar, karena telah diisolasikan dan tidak bisa keluar atau

bebas dari Lapas tanpa seijin dari pimpinan Lapas atau telah selesai masa tahanannya.

Penjara atau Lapas merupakan tempat untuk menampung berbagai pelaku

kriminal, tempat yang bersifat isolasi, yang membatasi gerak-gerik para pelaku kriminal

dengan tembok yang kokoh dan tinggi serta pintu dan jendela yang terbuat dari trali

besi, terkungkung dalam kamar yang gelap dan pengab. Selain itu, pengawasan dan

penjagaan di dalam penjara oleh para petugas Lapas sangat ketat serta karakter dari

Petugas Lapas sering dikenal sangat beringas dan kejam serta menyeramkan.

Bahwa gambaran dari penjara atau Lapas adalah tempat yang sangat

menyeramkan, tidak mendapatkan makanan yang enak, tidur di lantai dan digigit

nyamuk, terdapat penyiksaan dan sangat tidak nyaman, sulit berkomunikasi dengan

dunia luar dan keluarga, tidak ada hiburan serta menderita dan terbatas dalam segala

hal. Penjara juga dapat memberikan gambaran kepada masyarakat umum, bahwa

tempat tersebut merupakan tempat dimana para pelaku kejahatan dirampas

4

kebebasannya dan disiksa serta dipekerjakan atau dilatih agar dapat membentuk

perilaku dan karakter yang baik setelah keluar dari penjara. Pidana penjara adalah

salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan (Prasetyo, 2010:78).

Gambaran penjara yang memberikan image menakutkan bagi masyarakat

umum, bertujuan memberikan unsur jera bagi para pelaku kejahatan (kriminal), agar

menjadi sadar dan merubah sikap dan perilakunya yang jahat. Pidana penjara yang

dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk menghukum seseorang yang secara sadar

dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar orang tersebut tidak

akan mengulangi perbuatannya yang salah.

Lapas sebagai institusi tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan

organisatoris. Lapas tidak saja dibatasi oleh batas-batas fisik tapi juga batas-batas

sosial. Batas fisik seperti pagar, tembok, jeruji, diberlakukan bagi terhukum agar tidak

berinteraksi secara bebas layaknya masyarakat di luar Lapas. Batas sosial seperti tidak

dapat berinteraksi dengan masyarakat secara bebas layaknya masyarakat di luar

Lapas. Batas-batas fisik dan sosial mendasari timbulnya kesepakatan-kesepakatan

tertentu diantara petugas dan narapidana untuk saling bekerja sama menafsirkan

penggunaan dan pemanfaatan batas-batas tersebut sesuai kebutuhan dan kepentingan

masing-masing. Batas-batas ini mencerminkan struktur masyarakat di balik tembok

Lapas tak jauh berbeda dengan struktur masyarakat di Luar Lapas (Josias Simon R,

2012:4).

Munculnya sistem pemidanaan dengan penggunaan penjara dapat diketahui

dari Kodifikasi hukum Perancis yang dibuat tahun 1670, belum dikenal pidana penjara,

terkecuali dalam arti tindakan penyanderaan dengan penebusan uang atau

5

penggantian hukuman mati sebelum ditentukan keringanan hukuman dengan cara lain.

Pada permulaan abad ke-18 mulai tumbuh sebagai pidana baru yang berbentuk

membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan

kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara

bagi narapidana.

Dengan berjalannya waktu, pandangan masyarakat umum tentang penjara

yang begitu menyeramkan dan menakutkan seperti yang diuraikan di atas mulai

berubah pandangannya menjadi tempat pembinaan dan pembimbingan bagi para

pelaku kriminal, yaitu dengan “Bertolak dari pandangan Dr.Saharjo,SH., tentang hukum

sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan

cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara. Konsep pemasyarakatan tersebut

kemudian disempurnakan oleh Keputusan Konfrensi Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan

pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan bahwa pelaksanaan pidana penjara di

Indonesia dilakukan dengan sistem pemasyarakatan, suatu pernyataan di samping

sebagai arah tujuan, pidana penjara dapat juga menjadi cara untuk membimbing dan

membina” (Dwidja Priyatno, 2006:97).

Bahwa sejak saat itulah terjadi pembaharuan pidana penjara di Indonesia, yaitu

merubah nama kepenjaraan menjadi pemasyarakatan. Perubahan nama dari penjara

menjadi Pemasyarakatan merupakan suatu proses yang panjang, sehingga dengan

suatu kebijakan yang tegas perubahan itu dapat terjadi. Hal ini menjadi lebih jelas sejak

diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

sehingga kata penjara sudah jarang disebut atau jarang terdengar oleh masyarakat

6

umum, karena telah berubah penyebutannya dari penjara menjadi Lembaga

Pemasyarakatan atau disingkat Lapas.

Dengan adanya perubahan penyebutan nama dari penjara menjadi Lapas

memberikan paradigma yang baru bagi masyarakat umum bahwa perlakuan terhadap

para narapidana di dalam penjara tidak seperti dulu kala, karena mengingat dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

maka bagi narapidana yang berada di dalam Lapas diberikan kesempatan untuk

direhabilitasi, memperbaiki diri serta dibimbing agar tidak akan mengulangi perbuatan

kriminal. Hal ini telah dijelaskan oleh Syaiful Bakhri (2009:65), bahwa “pidana penjara

sebagai pidana yang ditakuti setelah pidana mati mengalami banyak perubahan dari

model yang semula paling keras dan kejam tanpa perikemanusiaan sampai model yang

paling ringan, longgar sesuai dengan tuntutan zaman, seperti pada abad ke 20.”

Dengan adanya perubahan paradigma dari masyarakat tersebut tidak berarti

akan menghapus pidana penjara tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Barda

Nawawi Arief (1985:349-354), bahwa dilihat dari pemidanaan dalam masyarakat

modern, pidana sebagai proses untuk merobah tingkah laku, maka pidana penjara

masih dapat dipertahankan, dan dilihat dari perlunya upaya pengamanan masyarakat,

pidana penjara, merupakan salah satu dari pemidanaan yang lebih manusia dibanding

dengan tindakan yang sewenang-wenang di luar hukum. Tujuan dari Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, adalah agar Warga Binaan

Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi

tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

7

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik

dan bertanggungjawab.

Pidana penjara dengan pendekatan secara sistem pemasyarakatan diharapkan

dapat merubah paradigma masyarakat pada umumnya, bahwa kebijakan dan tindakan

Pimpinan Lapas dan Petugas Lapas tidak seperti pada jaman dahulu, yaitu penjara

merupakan tempat pemukulan dan penyiksaan bagi para pelaku tindak kriminal.

Lembaga Pemasyarakatan juga bukan berarti tempat untuk menampung orang-orang

yang telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan lalu setelah dimasukan ke dalam

Lapas, para tahanan atau narapidana tersebut bisa santai-santai dan bisa hidup enak di

dalam penjara dengan fasilitas yang tidak bedanya seperti di luar penjara.

Dengan berubahnya paradigma masyarakat tentang penjara yang

menyeramkan dan tempat penyiksaan, menjadi sebuah Lapas, yang bertujuan

membina dan membimbing para tahanan dan narapidana, bukan berarti peraturan di

dalam Lapas tersebut menjadi lebih longgar dan dapat dilanggar. Dengan adanya

perubahan paradigma tersebut seharusnya lebih membantu para tahanan dan

narapidana untuk lebih mudah dibina dan dibimbing menjadi baik dan berguna bagi

bangsa.

Banyak peraturan atau kebijakan dan pembinaan bertujuan agar para

narapinda wajib mentaati semua peraturan yang berlaku di dalam Lapas. Hal ini sesuai

dengan pendapat P.A.F.Lumintang (1988:69), yaitu bahwa pidana penjara adalah suatu

pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang

dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan,

dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku

8

di dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib

bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

Peraturan-peraturan yang berlaku di dalam Lapas merupakan kebijakan yang

telah dibuat untuk dipatuhi dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku di

dalam Lapas, baik oleh para tahanan, narapidana maupun Petugas Lapas. Dan

peraturan-peraturan atau kebijakan yang dibuat untuk mengatur agar dapat mencapai

tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Seperti yang didefinisikan oleh Titmuss

(1974), yaitu kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan

kepada tujuan-tujuan. Demikian juga menurut Edi Suharto (2010:2), bahwa fungsi

kebijakan adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan

prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan sosial yang efektif untuk

mencapai tujuan pembangunan.

Menurut Dwidja Priyatno (2006:103), bahwa “Lembaga Pemasyarakatan

sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk

mencapai tujuan, yaitu melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi sesuai dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sejalan dengan peran Lembaga

Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang

melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan

dalam undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum”.

Untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan nilai-nilai dari Pancasila, diperlukan

implementasi kebijakan yang baik dan benar serta tidak menyimpang dari peraturan

atau kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut Edi Suharto (2010:18), bahwa

9

Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus

menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan.

Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu

program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

Dari penjelasan tentang penjara di atas dapat memberikan gambaran bahwa

sistem birokrasi yang dibangun di dalam Lapas ini cukup ketat dan bersifat tertutup

serta didukung dengan berbagai aturan yang menutupi kebijakan yang diterapkan di

dalam Lapas. Selain dari itu, birokrasi yang tertutup di dalam Lapas tersebut didukung

oleh bentuk bangunan dengan tembok yang tinggi dan diberi kawat berduri, sehingga

tidak mudah diakses oleh masyarakat umum, kecuali mendapat ijin dari pengadilan

atau lembaga yang berwenang.

Alasan logis dari dibangunnya sistem birokrasi yang ketat dan tertutup ini,

karena Lapas merupakan tempat isolasi yang menampung berbagai pelaku kriminal

yang secara sadar dan dengan sengaja melakukan suatu tindakan kejahatan agar

orang tersebut tidak akan mengulangi perbuatannya yang salah atau memberikan

unsur jera baginya serta untuk menghilangkan atau pencabutan kemerdekaan

narapidana. Sistem birokrasi yang bersifat tertutup membuat banyak masyarakat tidak

mengetahui aktifitas dan kebijakan yang diterapkan di dalam Lapas.

Sistem birokrasi yang tertutup yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

sistem birokrasi yang tertutup karena sistem yang terbentuk di dalam Lapas atau sistem

di dalam Lapas yang menggariskan demikian, seperti sistem yang digariskan pada

lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang mana tidak bisa semua orang

keluar masuk lingkungan TNI tanpa ijin, sehingga lingkungan tersebut menjadi tampak

10

sakral atau menakutkan. Selain daripada itu karena pandangan masyarakat, yang

mana Lapas merupakan tempat dimana orang umum sulit untuk memasukinya apabila

tidak mempunyai tujuan selain daripada membesuk para narapidana yang ada di dalam

Lapas. Bahwa dengan sistem birokrasi yang terbangun secara tertutup seperti di dalam

Lapas tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai

penyimpangan di dalam Lapas sebagaimana telah disebutkan, yaitu terjadinya sodomi,

bisnis narkotik dari dalam Lapas, transaksi illegal di dalam Lapas, pemalakan terhadap

setiap para tahanan yang masuk untuk membayar kamar, pemukulan, menggunakan

handphone untuk tujuan melakukan tindak kriminal yang baru dan lain sebagainya yang

merupakan suatu bentuk penyimpangan dalam implelemtasi kebijakan di dalam Lapas.

Sistem birokrasi yang tertutup sebagaimana yang dimaksudkan dalam

penelitian ini adalah sistem yang terbangun pada Lapas adalah tertutup, baik dalam

segi fisik maupun informasi atau aturan main yang sebenarnya di dalam Lapas. Dengan

sistem yang terbangun pada Lapas yang secara fisik tertutup, maka informasi maupun

aturan main atau soft file-nya juga menjadi tertutup, mengingat yang secara fisik sulit

untuk ditembusi terlebih lagi mengenai aturan main atau soft file di dalam Lapas yang

bersifat rahasia di dalam Lapas, sudah pasti akan sulit ditembusi atau dipublikasikan

kepada masyarakat umum. Dengan adanya sistem birokrasi di dalam Lapas yang

terbangun secara tertutup tersebut, maka hampir dapat dipastikan bahwa segala bentuk

penyimpangan yang terjadi di dalam Lapas tidak akan diketahui oleh masyarakat

umum, kecuali apabila diceritakan secara langsung oleh petugas Lapas dan/atau warga

binaan di dalam Lapas.

11

Dengan sistem birokrasi yang terbangun secara tertutup tersebut, sehingga

tidak semua orang umum mengetahui sistem yang terbangun di dalam Lapas dan apa

saja yang dilakukan di dalam Lapas. Berbeda dengan sistem birokrasi yang terbangun

di kantor kelurahan tentang bagaimana orang mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP),

bagaimana prosedurnya, berapa biayanya, dan apa saja yang harus disiapkan untuk

pengurusan dan berapa lama pengurusan KTP.

Dalam sistem birokrasi tertutup di dalam Lapas, masyarakat umum tidak

mengetahui apakah ada biaya untuk membayar kamar tahanan (sel) atau tidak?

Apakah ada transaksi illegal di dalam Lapas? Apakah adanya tindakan kekerasan di

dalam Lapas oleh Petugas Lapas terhadap para tahanan dan narapidana? Sedangkan

dalam peraturan perundang-undangan tentang Lapas tidak ada biaya untuk

pembayaran kamar tahanan (sel), tidak diperbolehkan adanya transaksi illegal, tidak

diperkenankan adanya tindakan kekerasan di dalam Lapas serta perbuatan tercela di

dalam Lapas, karena peraturan perundang-undangan yang diterapkan di dalam Lapas

bertujuan untuk mendidik dan membina para tahanan dan narapidana agar menjadi

baik.

Tidak menutup mata, kehidupan Lapas berulang kali menjadi sorotan atau

fokus tayangan media visual atau ulasan media cetak. Opini negatif bermunculan

tentang keberadaan Lapas. Berbagai ulasan media massa menegaskan lebih intens

cara pandang yang menekankan aktor atau elit dan konteks, sebagai alternatif atas

ketidakpuasan sudut pandang institusional.

Yang menjadi pertanyaan menarik dari penelitian ini adalah Penjara atau Lapas

yang merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal dengan sistem birokrasi yang

12

tertutup dan tidak bisa secara bebas berkomunikasi dengan orang luar, serta dirampas

kebebasannya karena memang demikian kebijakan yang diterapkan dengan tujuan

untuk memberikan unsur jera dan memperbaiki kelakuan agar menjadi baik, namun

mengapa dalam praktek implementasi kebijakan tidak mencapai tujuan yang

diharapkan? Banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi

kebijakan di dalam Lapas, sehingga tujuan yang diharapkan tidaklah tercapai.

Penyimpangan yang dimaksud adalah narapidana yang berada di dalam Lapas

yang seharusnya telah dirampas kemerdekaannya, namun narapidana tersebut dapat

keluar masuk dengan bebas dari Lapas dan bisa berkomunikasi dengan orang di luar

Lapas secara bebas dan bahkan bisa mengendalikan kejahatan dari dalam Lapas, baik

kejahatan dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Narapidana yang

seharusnya hak kemerdekaan dicabut sehingga harus tetap berada di dalam Lapas,

namun narapidana dapat jalan-jalan bebas di luar Lapas. Narapidana di dalam Lapas

yang seharusnya dibina agar berubah perilakunya dari yang jahat menjadi baik, namun

sebaliknya narapidana tersebut menjadi semakin profesional dalam melakukan

kejahatan, bahkan mempengaruhi petugas Lapas dan Kepala Lapas untuk melakukan

tindakan kriminal atau kejahatan.

Kita dapat melihat contoh adanya kejahatan yang dikendalikan dari dalam

Lapas (sel) yang berskala nasional dan internasional, yaitu bisnis jaringan narkotik

skala nasional dan internasional yang dikendalikan dari dalam Lapas Nusakambangan

oleh narapidana Hartoni bekerja sama dengan anggota staf Lapas, Budhiyono dan Iwan

Syaefuddin serta dibantu oleh Kepala Lapas Narkotika, Marwan Adli 1. Memang sulit

diterima dengan akal sehat, di Lapas yang super ketat itu narapidana dapat

1 Kompas, Kamis, 10 Maret 2011, Ada Jaringan Narkotik di LP dan Mengatur dari Nusakambangan, hal.3-7, 15.

13

menggunakan telepon seluler dan penguat jaringan yang dipasang di luar sel. Selain

daripada itu, narapidana mampu membeli dan memasang antena tanpa sepengetahuan

petugas Lapas.

Dengan modal komunikasi itulah narapidana di sebuah pulau yang terpencil di

Nusakambangan dapat mengendalikan bisnis narkotika di luar Lapas, bahkan

komunikasi yang dilakukan dapat mencapai mancanegara. Manajemen bisnis narkotika

di Lapas Nusakambangan sudah sangat rapi. Narapidana, khususnya bandar narkotika

dapat berkomunikasi untuk memesan barang kepada pemasok dengan telepon seluler.

Bahkan di Lapas Narkotika, narapidana dapat menggunakan antena penguat jaringan 2.

Demikian pula dengan seorang warga negara asing bernama SBT alias Kiran

dari negara Nepal dapat melakukan transaksi Narkotika secara internasional dari dalam

Penjara di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.3 SBT merasa lebih nyaman

melakukan transaksi Narkotika dari dalam Penjara (Lapas) Nusakambangan, karena

berpikir melakukan transaksi Narkotika dari dalam Lapas Nusakambangan lebih aman

dibanding melakukan transaksi Narkotika di luar Lapas. Menurutnya, kalau melakukan

transaksi di luar Lapas akan menjadi kejaran aparat penegak hukum, sedangkan jika

dilakukan dari dalam Lapas tidak mungkin dikejar-kejar, tetapi malah dilindungi atau

mendapat perlindungan dari Petugas Lapas (Polisi Khusus Lapas atau disingkat

Polsuspas).

Transaksi Narkotika dari dalam Lapas Nusakambangan dilakukan juga oleh

SBT alias Kiran dengan menggunakan Handphone yang disewakan atau disediakan

2 Ibid.

3 Kompas, Rabu, 9 Maret 2011, Jaringan Narkoba, Kepala LP Ditangkap Aparat BNN, Bisnis Narkoba dari Penjara,

hal.1.

14

oleh para petugas Lapas Nusakambangan. Dengan komunikasi melalui Handphone

dari dalam Lapas Nusakambangan tersebut, sehingga memudahkan SBT alias Kiran

melakukan transaksi bisnis Narkotik tingkat Internasional. Lapas Nusakambangan

adalah Penjara yang sangat terisolir dari masyarakat luar, karena lokasi penjaranya

terletak di suatu pulau tersendiri serta mendapat pengawasan yang sangat ketat.

Bahwa modus kejahatan bisnis narkotika dari dalam Lapas sudah merupakan

hal yang biasa ditemukan pada Lapas di Indonesia, yaitu bisnis narkoba dari Sel

Tahanan sebanyak 80.000 pil Ekstasi dengan nilai Rp. 16 Milyar yang diatur dari Lapas

Merahmata, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan untuk bisnis lintas negara.

Seorang tersangka dalam kasus tersebut adalah WH alias Sucai yang berada di dalam

tahanan narkotika Lapas Merahmata, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, yang

diduga mengendalikan peredaran narkotika dengan telepon genggam dan kurir dari

Lapas.4

Contoh lain, yaitu Gayus Tambunan, kasus korupsi pajak, yang mendapat

perlakukan khusus agar bisa keluar masuk Rumah Tahanan (Rutan) dengan bebasnya

dari Mantan Kepala Rutan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok, Komisaris

Iwan Siswanto, setelah Gayus mengancam agar diberikan perlakukan yang sama

dengan tahanan Wiliardi Wizar dan Susno Duadji, Aulia Pohan dan memberikan uang

bulanan kepada Iwan Siswanto sebesar Rp. 50 Juta 5. Nenek berumur 60 (enam puluh)

tahun bernama Laila berhasil menyelundupkan 100 butir obat daftar G jenis Lexotan ke

dalam Lapas Banjarmasin Barat, Jalan Sutoyo S. Penyelundupan obat-obatan tersebut

4 Kompas, Sabtu, 24 Maret 2012, Bisnis Narkoba dari Sel Tahanan, hal. 23.

5 Kompas, Sabtu, 2 April 2011, Penyuapan, Kepala Rutan Terima Rp. 264 Juta, hal. 4 dan Selasa, 7 Juni 2011,

Suap Gayus, Iwan Akui Langgar Prosedur, hal. 3.

15

diduga sudah sering dilakukan oleh nenek tersebut untuk diberikan kepada menantu

dan cucunya yang sedang menjalani hukuman di Lapas tersebut.6

Kasus bisnis Sabu senilai hampir Rp.100 Milyar yang dikendalikan dari Lapas

Salemba, Jakarta Pusat dengan tersangka Jl yang merupakan narapidana narkoba

yang baru saja keluar/bebas dari penjara. Seperti yang dikatakan oleh Kepala Unit

Direktorat Narkoba Mabes Polri Ajun Komisaris Besar, Reza Kelvian Gumay, bahwa

awalnya Jl dianggap sudah kapok, namun ternyata cara beroperasinya yang berubah.7

Bahwa dari berbagai kasus yang telah dijelaskan di atas, yang terjadi dan

dilakukan atau dikendalilan dari dalam Lapas, seringkali terungkap setelah pelaku atau

kurir yang berada di luar Lapas tertangkap oleh aparat penegak hukum. Namun apabila

pelaku atau kurir di luar Lapas tidak tertangkap, maka hampir pasti segala praktek

penyimpangan implementasi kebijakan yang dilakukan di dalam Lapas tidak akan

terungkap kepada masyarakat banyak. Sedangkan tujuan dari dibangunnya Lapas agar

memberikan unsur jera kepada para pelaku kriminal agar tidak mengulangi

perbuatannya, merampas kebebasan atau kemerdekaan, dan membina para pelaku

kriminal menjadi baik. Namun sebaliknya para pelaku kriminal merasa aman dan

terlindung melakukan praktek kriminalnya bila berada di dalam Lapas, bahkan

dilindungi serta dibantu oleh birokrat dalam melakukan praktek kriminal tersebut, yaitu

dengan cara misalnya memfasilitasi penggunaan handphone di dalam Lapas. Perilaku

para narapidana di dalam Lapas bukannya menjadi baik, karena memberikan unsur jera

dan dapat dibina menjadi baik, namun sebaliknya justru di dalam Lapas para

narapidana mendapat pengetahuan untuk melakukan pola kriminalnya dengan cara-

6 Jawa Pos, Minggu, 15 April 2007, Banjarmasin, Nenek Selundupkan Lexotan ke Lapas, hal.4.

7 Kompas, Senin, 21 Maret 2011, Disita, Sabu Rp. 100 Milyar, Sindikat Sabu Malaysia-Indonesia Gunakan Pola

Baru Melalui Jalur Darat, hal, 26.

16

cara yang professional serta dengan bentuk kejahatan yang baru, yang dapat

dilakukannya setelah bebas dari Lapas.

Bahwa implementasi kebijakan yang menyimpang yang dilakukan oleh birokrat

dalam birokrasi yang bersifat tertutup atau bersifat tidak transparan terhadap

masyarakat publik, akan sulit mendapatkan pengawasan atau kontrol dari publik.

Demikian pula segala informasi tentang praktek-praktek implementasi yang

menyimpang tidak akan mudah diakses oleh masyarakat publik.

Dari contoh-contoh di atas dan fakta-fakta yang terjadi dapat memberikan

petunjuk, bahwa dalam Lapas yang merupakan tempat isolasi bagi para pelaku kriminal

atau kejahatan, yang dibangun dengan sistem birokrasi tertutup dan mendapat

penjagaan yang super ketat, serta bertujuan untuk memberikan unsur jera dan dibina

agar perilakunya menjadi baik, namun ternyata sebaliknya bahwa narapidana yang

berada di dalam Lapas bisa bebas keluar dari Lapas untuk bersenang-senang dan bisa

melakukan berbagai tindakan kriminal dari dalam Lapas. Selain itu, narapidana yang

telah keluar/bebas dari Lapas bisa menjadi lebih profesional dalam melakukan

kejahatan yang baru dan bahkan bisa mempengaruhi Petugas Lapas dan Kepala Lapas

untuk melakukan kejahatan secara bersama-sama, saling melindungi, sistematis dan

saling menutupi kejahatan yang dilakukan di dalam Lapas serta memberikan

kesempatan kepada petugas Lapas untuk melakukan korupsi secara terselubung.

Bahwa praktek implementasi kebijakan yang menyimpang dapat terjadi karena

adanya interaksi antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lain serta

interaksi antara narapidana dengan petugas Lapas dan Kepala Lapas, sehingga terjadi

penyimpangan dalam Implementasi kebijakan di dalam Lapas. Bahwa mengenai

17

interaksi yang mengakibatkan timbulnya kejahatan ini dikemukakan pula oleh Harry

A.Allen dan Clifford E.Simonsen (1989 : 17), seorang kriminal atau narapidana ada,

bukan karena dibentuk secara lahiriah tapi karena dibentuk secara sosial budaya

dimana ia berada, demikian pula penghukuman yang dijalani bukanlah konstruksi

sosial-budaya seperti hasil interaksi, komunikasi, bentukan solidaritas dan konflik yang

terjadi.

Pejabat dan Petugas Lapas yang melakukan praktek birokrasi dan

implementasi kebijakan di dalam Lapas serta narapidana yang melakukan aktifitas di

dalam Lapas, terlihat menutup informasi tentang kebijakan-kebijakan dan berbagai

aktifitas yang dilakukan di dalam Lapas. Menurut Fardiansah Noor, saat sebuah

informasi ditutup-tutupi dari masyarakat, itulah indikasi adanya penyelewengan-

penyelenggara negara.8 Selain dari tanggapan tersebut oleh Wakil Koordinator

Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, terjadi ruang yang abu-abu

ketika informasi publik ditutup-tutupi, salah satunya adalah karena korupsi.9

Kebijakan yang telah dibuat oleh Eksekutif dan Legislatif berupa Undang-

Undang Nomor: 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan serta Peraturan Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang kebijakan-kebijakan yang

berlaku di dalam Lapas guna mencapai tujuan yang diharapkan, Namun kenyataannya

terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi kebijakan pada tingkat (level)

paling bawah terhadap para tahanan dan narapidana. Lapas yang telah didirikan dan

dimplementasikan berdasarkan kebijakan (peraturan-peraturan) sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan, dengan tujuan agar

8 Media Indonesia, Pejabat Publik Takut Diawasi Masyarakat, hal. 6.

9 Ibid.

18

Warga Binaan Pemasyarakatan (para tahanan dan narapidana) menyadari

kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana serta mewajibkan

para tahanan dan narapidana untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku

di dalam Lapas.

Lapas menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan tindakan

kejahatan (kriminal) yang baru, bahkan bukan hanya dalam skala nasional saja, tetapi

juga dalam skala internasional. Tujuan kebijakan di dalam Lapas, agar seorang

Narapidana yang dimasukan ke dalam Lapas dapat dididik dan dibina supaya menjadi

baik, namun dalam kenyataannya, seorang narapidana yang dimasukan ke dalam

Lapas lebih professional dalam melakukan tindakan kriminal dibanding dengan

perilakunya sebelum dimasukan ke dalam Lapas. Hal ini telah membuktikan adanya

penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas, sehingga tujuan

kebijakan dalam implementasi kebijakan tidak tercapai seratus persen.

Lapas dibangun atas dasar aturan (fair play) dan sistem birokrasi yang telah

dibentuk, yaitu para birokrat dan birokrasi, guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Menurut Martin Albrow (1996), birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi

dipandang sebagai suatu alat yang dapat membuat suatu organisasi berjalan secara

efisien dalam mencapai tujuan. Birokrasi diartikan sebagai suatu bentuk organisasi

yang muncul sebagai upaya birokrat untuk bekerja sama mencapai tujuan-tujuan.

Selaku individu (birokrat) dalam organisasi (birokrasi), keduanya mempunyai

karakteristik tersendiri dan jika kedua karakteristik tersebut berinteraksi, maka akan

menimbulkan perilaku birokrat dan birokrasi, seperti yang dikemukakan oleh David

A.Nadler, dkk (dalam Miftah Thoha (2002: 30-31), dapat dikemukakan bahwa perilaku

19

birokrat adalah suatu fungsi dari interaksi antara birokrat tersebut dengan lingkungan

organisasinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana yang dijelaskan

sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan pertanyaan mendasar

yang akan dijadikan fokus penelitian sebagai berikut: “Mengapa terjadi

penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B di

Cebongan, Sleman ?”.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut:

a. Mengetahui implementasi kebijakan pada sistem birokrasi tertutup oleh

Pimpinan dan para Petugas Lapas terhadap para tahanan dan narapidana di

dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

b. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan implementasi

kebijakan di Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman.

c. Mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan implementasi kebijakan dalam

sistem birokrasi yang tertutup.

d. Mengetahui solusi terhadap penyimpangan implementasi kebijakan dalam

sistem birokrasi yang tertutup.

20

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kepentingan

teoritis dan praktis, antara lain:

a. Menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan untuk lebih tegas, konsisten dan

konsekuen dalam implementasi kebijakan sesuai dengan aturan main (fair

play).

b. Dapat memberikan gambaran bagaimana bentuk-bentuk penyimpangan

implementasi kebijakan dapat terjadi dalam sistem birokrasi tertutup di Lapas

dan bagaimana solusi untuk mengatasi penyimpangan implementasi tersebut.

c. Dapat menunjukkan faktor-faktor yang memberikan peluang (penyebab) terjadi

penyimpangan dalam Implementasi kebijakan di dalam sistem birokrasi

tertutup di Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

D. Kerangka Pikir

1. Sistem Birokrasi Pemerintah

Sistem birokrasi di dalam Lapas sebenarnya terdapat beberapa perbedaan

dengan sistem birokrasi pemerintah yang ada pada institusi atau lembaga

pemerintah yang ada di Indonesia. Beberapa perbedaan tersebut dapat terlihat pada

aturan, kebijakan dan bangunan fisik, implementasi kebijakan serta pada sistem

birokrasi. Misalnya pada sistem birokrasi di dalam Lapas yang turut melibatkan pada

narapidana dalam sistem birokrasi di dalam Lapas, yaitu dengan menempatkan

narapidana, yang bukan sebagai Petugas Lapas, sebagai Tamping guna membantu

tugas-tugas Petugas Lapas. Berbeda dengan sistem birokrasi pada institusi atau

21

lembaga pemerintah lainnya yang tidak melibatkan pihak luar, yang bukan pegawai

institusi pemerintah tersebut sebagai bagian dari pegawai institusi.

Namun sebagai pendekatan guna mempermudah memahami sistem

birokrasi di dalam Lapas, maka dilakukan pendekatan dengan teori-teori pada

sistem birokrasi pemerintah pada umumnya dan setelah itu baru akan dibahas

tentang sistem birokrasi yang terbangun di dalam Lapas. Demikian pula dengan

kebijakan-kebijakan dan implementasi kebijakan serta penyimpangan dalam

implementasi kebijakan di dalam Lapas, akan dilakukan pendekatan secara teoritis

tentang kebijakan publik dan implementasi kebijakan publik serta penyimpangan

dalam implementasi kebijakan publik, yang mana semuanya itu guna memudahkan

pemahaman terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan serta penyimpangan

dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas.

Sebelum membahas tentang birokrasi, kita terlebih dahulu melihat apa yang

dimaksudkan dengan biro dan siapa birokrat itu. Biro (bureau) merupakan suatu

bentuk organisasi. Organisasi adalah suatu sistem koordinasi kegiatan-kegiatan

atau kekuatan-kekuatan dua orang atau lebih yang secara sadar dibentuk untuk

mencapai tujuan tertentu (Joko Widodo, 2005:9). Implementasi kebijakan tidak

dapat dilakukan apabila tidak terdapat birokrat (individu) dan birokrasi (organisasi).

Suatu kebijakan dapat diimplementasikan apabila terdapat dua unsur tersebut.

Birokrasi dalam arti harfiahnya adalah “kekuasaan kantor”, umumnya

berupa “organisasi” formal yang mempunyai skala luas/besar, mempunyai

pemisahan yang jelas, dan diorganisasi secara efisien oleh jaringan perintah yang

hierarkis. Birokrasi yang berkembang di Indonesia, sebagaimana birokrasi di bekas

22

negara jajahan di berbagai negara di dunia ketiga, adalah birokrasi warisan

penjajah. Birokrasi dalam bentuk yang demikian adalah birokrasi yang

mengupayakan ketaatan bangsa terjajah terhadap penjajahnya, serta birokrasi yang

melayani berbagai kepentingan baik ekonomi, politik, maupun kebudayaan

penjajahnya (Rukmadi Warsito, 1995:106).

Birokrasi juga sering didefinisikan sebagai organisasi yang dirancang untuk

menangani tugas-tugas administrasi dalam skala besar serta mengkoordinasikan

pekerjaan orang banyak secara sistematis (Peter M. Blau & Meyer, 1987:4).

Birokrasi diartikan sebagai suatu bentuk organisasi yang muncul sebagai upaya

birokrat untuk bekerja sama mencapai tujuan-tujuannya.

Selaku individu (birokrat) dalam organisasi (birokrasi), keduanya

mempunyai karakteristik tersendiri dan jika kedua karakteristik tersebut berinteraksi,

maka akan menimbulkan perilaku birokrat dan birokrasi. Perilaku birokrat adalah

suatu fungsi dari interaksi antara birokrat tersebut dengan lingkungan organisasinya.

Menurut Miftah Thoha (2010:2), Birokrasi pemerintah seringkali diartikan

sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah

para pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan moderen. Dalam

kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis

(the files). Itulah kerajaan birokrasi yang rajanya para pejabat. Menurut Mohtar

Mas’oed (2003:68), bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi

pemerintahan, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Down dalam Joko Widodo (2005 : 11-12), pengertian birokrasi

dapat dibedakan dalam tiga pengertian berikut: Pertama, birokrasi biasanya

23

menujukkan suatu lembaga atau tingkatan lembaga khusus. Dalam pengertian ini,

birokrasi dinyatakan sebagai suatu konsep yang sama dengan biro (walaupun tidak

semua pengarang setuju dengan konsep tersebut). Kedua, birokrasi juga dapat

berarti suatu metode tertentu untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu

organisasi yang berskala besar. Pergertian ini sama dengan pembuatan keputusan

birokratis (bureaucratic decision making). Ketiga, birokrasi diartikan sebagai

“bureauness” or “quality that distinguishes bureaus from other types of organization”.

Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (2004 :20), birokrasi dituntun oleh aturan:

“yaitu, oleh hukum atau peraturan-peraturan administrasi” yang stabil, yang

mencakup semua hal dan birokrasi terstandarisasi dan impersonal, memberikan

perlakuan atau pelayanan yang sama kepada setiap orang”.

Birokrasi sebagai organisasi didefinisikan oleh Eva Etsioni-Halevy (dalam

Amalinda Savirani & Haryanto : 2006), sebagai “organisasi hirarkis pemerintah yang

ditunjuk untuk melayani kepentingan umum”. Pengertian birokrasi yang lebih luas

dalam perkembangannnya hingga saat ini, telah didefinisikan oleh Martin Albrow

(1996) dalam tujuh (7) konsep modern birokrasi sebagai berikut:

1. Birokrasi sebagai organisasi rasional; birokrasi dipandang sebagai suatu alat

yang dapat membuat suatu organisasi berjalan secara efisien dalam mencapai

tujuan.

2. Birokrasi sebagai enefisiensi organisasional; dalam konsep ini birokrasi

dipandang sebagai salah satu penyebab tidak efisiennya organisasi dalam

mencapai tujuannya.

3. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.

24

4. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik); J.T.Dorsey secara khusus

mendefinisikan birokrasi sebagai komponen sistem politik administrasi

pemerintahan sipil publik.

5. Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat; konsep ini

berhubungan dengan suatu kerangka yang eksplesit bagi analisis organisasi

yang dengannya organisasi dilihat sebagai struktur-struktur tiga pihak, dimana

staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian merupakan bagian

penting. Staf-staf terdiri dari orang-orang yang diangkat dan mereka dapat

disebut birokrasi-birokrasi.

6. Birokrasi sebagai organisasi.

7. Birokrasi sebagai masyarakat modern.

Birokrasi negara muncul untuk menanggapi perluasan dan kompleksitas

tugas-tugas administratif pemerintahan. Birokrasi umumnya dipandang sebagai

aktor yang sekedar menerapkan kebijaksanaan yang telah diputuskan pejabat atau

lembaga negara yang berwenang. Birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan

administrasi pemerintah, tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara

keseluruhan.

Birokrasi sebenarnya diciptakan untuk menjalankan fungsi pendisiplinan

dan pengendalian. Dan kebutuhan akan fungsi pendisiplinan dan pengendalian ini

berkaitan dengan perkembangan kapitalisme. Birokrasi mengusahakan agar

masyarakatnya bekerja lebih giat dan menghasilkan output yang lebih dari sekedar

cukup untuk hidup. Pembahasan mengenai birokrasi tidak bisa dilepaskan dari

pembicaraan mengenai kapitalisme. Bahwa tidak dapat dipungkiri seringkali terjadi

25

birokrasi bekerja demi kepentingan atau golongan borjuasi atau kapitalis. Pada

negara metropolit ada kelompok borjuasi sebagai motor penggerak kehidupan politik

yang bisa mengendalikan birokrasi. Birokrasi itu dirancang untuk bekerja demi

kepentingan borjuasi di negara metropolit itu (Mohtar Mas’oed, 2003:70-78)

Dalam sistem birokrasi pemerintahan, implementasi kebijakan dilakukan

oleh pejabat-pejabat karier dan/atau pegawai-pegawai birokrasi (implementor).

Pejabat adalah orang-orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi

pemerintah. Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan

masyarakat (Miftah Thoha, 2010:2-3).

Birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekedar menerapkan

kebijaksanaan yang telah diputuskan di pejabat pemerintah yang berwenang

membuat kebijakan. Posisi birokrasi didukung oleh unsur-unsur yang merupakan

sumber-sumber kekuasaannya, yaitu: kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian

teknis dan status sosial yang tinggi (Mohtar, 2003:71).

Menurut Joko Widodo (2005 : 14), dalam setiap birokrasi, perlu ada struktur

organisasi (hierarchy). Artinya, harus ada perjenjangan dan tanggung jawab di

antara mereka yang berada dalam suatu birokrasi. Ada yang bertindak sebagai

pemimpin dan ada pula yang bertindak sebagai staf, pelaksana, atau bawahan. Hal

ini menjadi penting, karena dengan adanya hierarki tersebut, setiap orang dalam

suatu birokrasi menjadi tahu ia harus bertanggung jawab dan melapor kepada siapa.

Demikian pula sebaliknya, tahu kepada siapa-siapa harus meminta laporan dan

tanggungjawab dan melapor kepadanya. Hierarki tersebut akan mempermudah

berlangsungnya proses koordinasi, pelaporan, dan pengendalian.

26

Di dalam yurisdiksi birokrasi seseorang mempunyai tugas dan tanggung

jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangan

pekerjaannya. Semua birokrat bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai

perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Pejabat adalah orang yang

menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Pejabat birokrasi adalah

sentra dari penyelesaian urusan birokrasi.

Semakin tinggi hierarki jabatan tersebut semakin besar kekuasaannya, dan

semakin rendah hierarkinya semakin tidak berdaya (powerless). Hierarki yang paling

bawah (beyond the hierarchy) adalah masyarakat atau rakyat. Pada posisi ini

mereka sama sekali tidak mempunyai kekuasaan (Miftah Thoha, 2010:7). Demikian

pula dengan hierarki birokrasi di dalam Lapas, dimana posisi para narapidana dan

tahanan di dalam Lapas sama sekali tidak mempunyai kekuasaan, kecuali terhadap

para Tamping yang terdiri dari para narapidana yang tugasnya membantu para

Petugas Lapas di dalam Lapas. Posisi hierarki para Tamping di dalam Lapas masih

lebih tinggi dari para tahanan dan narapidana lainnya di dalam Lapas, karena para

Tamping dipercayakan tugas dan tanggungjawab di dalam Lapas oleh Petugas

Lapas yang tidak diberikan kepada narapidana dan tahanan lainnya.

Kekuasaan itu ada dalam suatu birokrasi karena adanya interaksi. Pada

saat interaksi antar kelompok berlangsung dalam suatu lingkungan, tidak jarang

mengandung aspek kekuasaan di dalamnya. Menurut Haryanto (2005:1,22),

interaksi memungkinkan adanya satu fihak, dengan kekuasaan yang dimilikinya,

yang dapat memaksakan kepentingannya kepada fihak yang lainnya. Sementara

fihak yang lain, dengan keterbatasan kekuasaan yang dimilikinya, bersedia tunduk

27

dan mematuhinya. Kekuasaan antara lain dapat bersumber pada kedudukan,

kekayaan dan dapat pula pada kepercayaan. Kekuasaan karena kedudukan

didasarkan pada menduduki posisi yang tinggi atau memegang kedudukan tertentu.

Kekuasaan karena kekayaan didasarkan pada kekayaan atau sumber ekonomi yang

dimilikinya. Kekuasaan karena kepercayaan didasarkan pada memang orang

tersebut dapat dipercaya.

Kinerja birokrasi pemerintahan dalam tata pemerintahan yang baik (Good

Governance), seharusnya diperlihatkan oleh birokrasi pemerintah dalam wujud

akuntabilitas, yaitu transparansi, keterbukaan, dan kejujuran dari kinerja birokrasi

pemerintah. Apabila kinerja birokrasi dapat mewujudkan akuntabilitas dalam

kinerjanya, maka dengan demikian implementasi kebijakan publik yang

diimplementasikan oleh implementor (kinerja birokrasi) dapat mencapai tujuan yang

diharapkan dari kebijakan tersebut. Namun sebaliknya, menurut Miftah Thoha

(2010:5), birokrasi yang tertutup dan centralized cenderung menghasilkan

kelangkaan open people di dalamnya. Itulah sebabnya upaya untuk mereformasi

birokrasi pemerintah yang paling mendasar ialah bagaimana bisa mengubah

mindset dan perilaku dari para pelaku birokrasi publik.

Menurut Bentham, seperti yang dikutip oleh Saldi Isra (2009:159), bahwa

lembaga yang tidak terbuka menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam

bentuk penyimpangan. Pengadilan meski hampir setiap proses persidangan dimulai

dengan kalimat, “sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum”, tidak berarti

pengadilan lebih terbuka dibanding lembaga-lembaga negara yang lain.

28

Sistem birokrasi yang tertutup, kekuasaan (power) cenderung menjadikan

birokrasi sebagai kekuatan yang sakral. Kekuasaan pada birokrasi yang diwujudkan

dalam jabatan pejabat bisa sangat menakutkan, dan hampir tidak mungkin bisa

ditembus oleh lapisan masyarakat yang sangat lemah di hadapan kekuasaan

birokrasi tersebut. kekuasaan seperti ini yang membuat birokrasi menjadi sakral

(Miftah Thoha, 2010:5).

Bahwa untuk memahami masalah birokrasi, menurut Agus Dwiyanto, dkk

(2002: vii–viii) melalui hasil studi pada beberapa daerah di Indonesia, telah

memetakan berbagai masalah yang dihadapi birokrasi publik dalam dua kelompok

besar yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Hasil studi tersebut

menunjukkan terdapat beberapa variable yang berkaitan dengan lingkungan

eksternal antara lain lingkungan sejarah, budaya, ekonomi, dan politik yang menjadi

variable pengaruh yang amat penting dalam menjelaskan buruknya kinerja birokrasi.

Selanjutnya lingkungan eksternal birokrasi tersebut berinteraksi dengan karakteristik

internal birokrasi yang akhirnya membentuk praktik dan perilaku para pejabat

birokrasi yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, mengabaikan kepentingan

para pengguna jasa dan sangat kaku dalam menjalankan prosedur dan peraturan

sehingga membuat kinerja pelayanan publik menjadi sangat buruk.

Menurut Joko Widodo (2005:1-2), masalah strategis yang dihadapi oleh

birokrasi publik, baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal,

muaranya lebih banyak diarahkan pada kinerja birokrasi dalam melaksanakan

tupoksi yang diamanatkan kepadanya. Lingkungan internal birokrasi bisa berupa

situasi dan kondisi, baik berupa organisasi (struktur, penempatan personel,

29

efektivitas, kegiatan), efektivitas komunikasi antarunit, sumber daya dan

pemberdayaannya, maupun faktor-faktor lain yang mendukung kelangsungan hidup

organisasi. Lingkungan eksternal bisa berupa situasi dan kondisi di sekeliling

organisasi yang berpengaruh terhadap kehidupan organisasi, seperti faktor

ekonomi, teknologi, sosial budaya, ekologi, geografi, politik, keamanan, dan

kompetitif.

Selain daripada itu, menurut Joko Widodo (2005:1-33), tuntutan pelayanan

publik oleh organisasi publik (birokrasi) lebih mengarah pada pemberian layanan

publik sebagai berikut:

1. Professional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah).

2. Efektifitas lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.

3. Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan yang diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

4. Kejelasan dan kepastian (transparan) mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Prosedur/tata cara pelayanan.

b. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif.

c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan.

d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.

e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

5. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan. Semua itu, wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.

6. Efisiensi mengandung arti berikut:

30

a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan.

b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

7. Ketepatan waktu criteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

8. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat dalam menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan, dan aspirasi yang dilayani.

9. Adaptif cepat menyesuaikan tuntutan yang tumbuh dan berkembang di lingkungan sekitarnya.

Dengan demikian agar suatu birokrasi dapat dikatakan berdaya guna dan

berhasil, maka birokrasi tersebut harus transparan, akuntabilitas dan jujur serta

senantiasa melakukan pengembangan organisasi sesuai dengan beberapa hal yang

telah dijelaskan di atas.

2. Kebijakan dan Tujuan Kebijakan Publik

2.a. Kebijakan Publik

Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai

sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah

konteks dimana kebijakan beroperasi. Kebijakan yang menunjuk pada kerangka

kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-

tujuan pembangunan ke dalam beragam program dan proyek. Pembangunan

pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup

manusia. Menurut Conyers dan Hills, 1989, dalam buku Edi Suharto (2010:3),

31

pembangunan bisa diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki

suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan berkesinambungan.

Menurut Edi Suharto (2010:2,12), suatu perangkat pedoman yang

memberikan arah terhadap pelaksanaan strategi-strategi pembangunan dapat

kita sebut sebagai kebijakan atau kebijakan adalah suatu ketetapan yang

memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat

secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Fungsi

kebijakan di sini adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan

tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan

sosial yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan.

Umumnya kebijakan publik dimanfaatkan atau dipergunakan untuk

mencapai suatu tujuan. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh

organisasi publik. Kebijakan publik sebagai upaya untuk membantu atau

memperlancar penerapan hukum (rechtstoepassing) yang telah ditetapkan.

Kebijakan publik merupakan penyederhanaan pelaksanaan dari suatu produk

hukum yang mungkin tidak mudah untuk dipahami dalam pelaksanaannya.

Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau

kehidupan publik, dan bukan mengatur kehidupan orang seorang atau golongan

(Riant Nugroho, 2003:58).

Menurut Harold Laswell, seorang pakar pertama yang mencanangkan

studi kebijakan publik sebagai bagian dari ilmu sosial, kebijakan publik adalah

serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah

dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan

32

kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut

dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Saiful Bahri dkk, 2004:20). Definisi

kebijakan menurut Titmuss (1974), adalah sebagai prinsip-prinsip yang mengatur

tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu.

Menurut Riant Nugroho (2008:11), kebijakan publik dapat berupa

hukum, dapat juga berupa konvensi atau kesepakatan, bahkan pada tingkat

tertentu berupa keputusan lisan atau perilaku dari pejabat publik. Dengan alasan

yang dinyatakan oleh Nugroho tersebut, sehingga sebuah kebijakan tidak hanya

sebatas pada suatu aturan yang tertulis, tetapi juga pada aturan yang tidak

tertulis yang merupakan suatu perintah atasan kepada bawahan, dimana

bawahan harus tunduk dan patuh pada perintah tersebut.

Menurut Suharto (2010:12), bahwa peraturan atau perundang-undangan

adalah sebuah kebijakan, namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau

perundang-undangan. Kebijakan dapat pula berbentuk naskah kebijakan atau

policy paper.

Peraturan dan pengaturan (rule and regulation) merupakan “rule of

game’ dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang telah ditetapkan

dalam suatu birokrasi. Peraturan dan pengaturan ini menjadi penting karena

dapat digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam melaksanakan tugas dan

tanggung jawab masing-masing, sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, karena telah ada “rule and

regulation” dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut.

33

2.b. Tujuan Kebijakan Publik

Implikasi dari semua proses kebijakan publik akan mengkonsentrasikan

dirinya pada proses internal pencapaian hasil yang dicita-citakan. Keberhasilan

sebuah proses kebijakan publik yang dijalani ketika hasil (output) yang

ditetapkan sudah dapat dicapai dengan baik. Bahwa yang menjadi persoalan di

sini adalah apakah hasil yang telah dicapai melalui proses internal tersebut

sudah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat atau belum?

Karena kebijakan publik sebagai sarana pemenuhan kebutuhan atau

kepentingan masyarakat, itu berarti ukuran sukses tidaknya sebuah kebijakan

publik tergantung bagaimana masyarakat menilainya.

Pada dasarnya implementasi kebijakan publik adalah bertujuan untuk

bagaimana agar cita-cita yang ada dalam sebuah produk hukum itu dapat

terealisasikan dengan baik. Namun keberhasilan sebuah implementasi kebijakan

publik itu juga sangat tergantung dari kualitas dan substansi produk hukum atau

undang-undang yang ada, dan tergantung pada pejabat birokrasi (implementor)

serta implementasi kebijakan sampai level (tingkat) paling bawah.

Bila kualitas dari undang-undang atau produk hukum (policy content)

yang ada itu rendah, maka tingkat kesuksesan proses implementasi kebijakan

publiknya pun menjadi rendah. Sebaliknya, bila undang-undang yang ada

substansinya berkualitas tinggi, maka kualitas proses implementasi kebijakan

publik yang ada pun akan tinggi pula. Sesungguhnya implementasi kebijakan

publik itu sangat tergantung dan saling terkait dengan undang-undang sebagai

sebuah produk hukum. Sukses tidaknya sebuah implementasi kebijakan publik

34

sedikit banyak ditentukan oleh kualitas dari produk hukum yang hendak

diterapkan (Saiful Bahri, 2004:88-89). Gagalnya sebuah kebijakan juga

disebabkan oleh karena desain kebijakan aslinya kurang, atau mungkin karena

disain tidak pernah diimplementasikan (George Edwards, 2003:10).

Kegagalan implementasi kebijakan yang disebabkan oleh karena

birokrasi, Purwo Santoso memberikan pendapat sebagai berikut, yaitu, “Kalau

birokrasi gagal, masyarakat harus berani memojokkan birokrasi. Di level

masyarakat, reformasi birokrasi harus dijadikan gerakan sosial. Di level

pemerintah, harus dikawal orang-orang yang kuat. Komitmen harus datang dari

pucuk pemerintah. Repotnya, banyak orang yang justru diuntungkan dari

birokrasi yang bobrok. Kalaupun gagal, mereka happy-happy saja”.10

Menurut Riant Nugroho (2003:158) tentang implementasi kebijakan yang

gagal, yaitu Perencanaan atau sebuah kebijakan yang baik akan berperan

menentukan hasil yang baik. Bahkan kontribusi konsep mencapai 60% dari

keberhasilan. Jika sudah mempunyai konsep yang baik, maka 60% keberhasilan

sudah di tangan. Namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40%

implementasinya tidak konsisten dengan konsep.

Menurut Rondinelli (1983:3), menjelaskan bahwa program-program aksi

itu sendiri boleh jadi juga diperinci lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk proyek-

proyek ke dalam bentuk proyek-proyek ini dapat dimaklumi mengingat proyek-

proyek itu merupakan instrumen yang lazim digunakan untuk

mengimplementasikan kebijakan. Maksud utama dari program-program aksi

tersebut dan masing-masing proyek yang tercakup di dalamnya tidak lain ialah

10

Jawa Pos, Senin, 12 November 2007, Publik Turut Bersalah, hal. 14.

35

menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam lingkungan kebijakan, yakni

suatu perubahan yang diklaim dan diperhitungkan sebagai hasil akhir dari

program/proyek tersebut.

Jenis-Jenis hasil kebijakan, yaitu keluaran (outputs) dan dampak

(impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan atau sumber daya yang

diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima. Dampak kebijakan

merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh

keluaran kebijakan tersebut (Alisjahbana : 2004).

3. Implementasi Kebijakan Publik

Tahap implementasi tidak akan bermula sebelum suatu kebijakan ditetapkan

oleh birokrat (pejabat) atau organisasi yang berwenang menetapkannya menjadi

suatu ketetapan untuk dilaksanakan. Implementasi hanya dapat dilakukan setelah

tujuan-tujuan dan saran-saran telah ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-

keputusan kebijaksanaan atau peraturan tertulis atau lisan dari birokrat atau pejabat.

Implementasi kebijakan mencakup usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah

keputusan-keputusan menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha untuk

mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-

keputusan kebijaksanaan (Budi Winarno, 1989:65).

Menurut Jenkins (1978:203), studi implementasi adalah studi perubahan;

bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa

dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik;

bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka

36

dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu,

dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda.

Berbicara tentang kinerja dari kebijakan publik, pada dasarnya kita sedang

berbicara tentang bagaimana proses implementasi kebijakan itu dapat dilaksanakan

dengan baik sampai pada tingkat yang paling bawah. Sebuah kebijakan publik itu

akhirnya akan bermuara pada hasil (output) dari sebuah proses kebijakan. Apabila

kebijakan dan proses implementasi kebijakan itu dapat diimplementasikan dengan

baik oleh implementornya, maka pencapaian hasilnya akan baik pula. Demikian pula

sebaliknya, apabila proses implementasi kebijakan itu menyimpang, maka

pencapaian hasil yang diharapkan akan gagal pula.

Kebijakan yang dibuat tidak akan mempunyai arti apa-apa atau hanya akan

merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan baku yang tersimpan rapi dalam

sebuah dokumen kalau tidak diimplementasikan. Implementasi kebijakan adalah

proses dimana formula kebijakan ditransformasikan menjadi produk konkrit

kebijakan. Implementasi kebijakan publik adalah sebagai proses pelaksanaan dari

undang-undang atau produk hukum yang ada. Implementasi kebijakan meliputi

semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan

dampak aktualnya (Saiful Bahri dkk, 2004:90-91).

Konsep implementasi kebijakan publik adalah bahwa implementasi kebijakan

pada dasarnya merupakan tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-

individu, dan kelompok-kelompok pemerintah dan swasta, yang diarahkan pada

pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan

(Saiful Bahri dkk, 2004:91). Secara ideal menurut Grindle (1980:6), implementasi

37

kebijakan adalah upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam

formula kebijakan, sebagai policy statement, ke dalam policy outcome, yang muncul

sebagai akibat dari aktivitas pemerintah. Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan

yang mampu diimplementasi dengan baik, dan sekaligus kebijakan publik itu dalam

proses implementasi dapat mencapai hasil yang diinginkan (Saiful Bahri dkk,

2004:86). Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya (Riant Nugroho, 2003:158).

Implementasi kebijakan juga menekankan pada suatu tindakan yang

difokuskan untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Tindakan-

tindakan tersebut, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan keputusan-

keputusan menjadi pola operasional, dan melanjutkan upaya tersebut untuk

mencapai perubahan seperti yang digariskan dalam peraturan atau keputusan-

keputusan tertentu, yang merupakan suatu kebijakan yang telah ditetapkan.

Mazmanaian dan Sabatier (Hartono, 2002:99) menjelaskan bahwa mempelajari

masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa” yang

senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni

peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan

kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu

pada masyarakat (Bambang Dwi Hartono: 2002).

Implementasi menurut Edi Suharto (2010:18), Implementasi merupakan suatu

proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk

mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Implementasi mengatur kegiatan-

kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan

38

kebijakan yang diinginkan. Menurut Patton dan Sawicki (1993), bahwa implementasi

berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasi program,

dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir,

menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.

Makna implementasi seperti yang dikatakan oleh Purwo Santoso (2002),

Implementasi akan lebih baik jika dimaknai sebagai: proses administrasif untuk

mengeksekusi keputusan-keputusan politis dengan mendayagunakan serangkaian

instrumen kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang

dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian proses negosiasi antara implementor

dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan.

Implementasi menurut Winarno (1989:65), bahwa implementasi kebijakan mencakup

usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi

operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-

perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan

kebijaksanaan.

Menurut Bahri dkk (2004:26), bahwa dalam melihat kinerja dari kebijakan

publik, pada dasarnya kita sedang berbicara tentang bagaimana proses yang ada di

dalam keseluruhan dimensi kebijakan publik itu, yaitu baik pada saat formulasi,

implementasi maupun evaluasinya. Dinamika proses implementasi kebijakan,

menurut Grindle, melibatkan paling tidak ada dua variabel utama, yaitu policy content

dan policy context. Policy content mempengaruhi proses implementasi karena policy

content yang dihasilkan melalui proses policy making menentukan apa yang harus di-

deliver melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat

39

dari kebijakan yang diimplementasikan, di mana kebijakan tersebut

diimplementasikan, dan siapa yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Policy

context merepresentasikan lingkungan di mana suatu proses kebijakan, termasuk

implementasi berlangsung. Policy context meliputi: kekuatan, kepentingan, dan

strategi aktor yang terlibat; karakteristik rezim dan institusi; dan kepatuhan dan

responsivitas (Santoso, 2010:127).

Bahwa berdasarkan pemikiran Grindle tersebut, maka implementasi kebijakan

dalam sistem birokrasi pemerintahan yang tertutup dapat terjadi penyimpangan pada

Policy context. Hal ini disebabkan, karena dengan sistem birokrasi yang tertutup

akan sulit dikontrol atau diawasi oleh publik tentang kinerja atau praktik-praktik

kebijakan dari implementor atau pejabat birokrasi dalam mengimplementasikan

kebijakan publik.

Akibat adanya unsur kepentingan dalam policy context yang dimiliki oleh

implementor kebijakan, sehingga implementor tidak lagi patuh pada kebijakan publik

yang telah dibuat. Sebagai contoh dapat kita lihat pada dugaan praktik korupsi dan

permainan proyek di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, yang terkadang

disebut anggaran, melibatkan banyak pihak dan tertutup. Sulit untuk membuktikan

dugaan permainan itu karena praktiknya seperti orang buang gas. Ada bau, tetapi

sulit diketahui siapa yang membuang gas. 11

Keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dievaluasi dari sudut

kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan program-

program yang dirancang sebelumnya. Sebaliknya keseluruhan proses implementasi

11

Kompas, Kamis, 29 September 2011, Permainan di Badan Anggaran Tertutup, hal.1.

40

kebijakan dapat dievaluasi dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil

akhir dari program-program tersebut dengan tujuan-tujuan kebijakan.

Grindle (1980:7) menjelaskan proses implementasi kebijakan negara beserta

cara mengevaluasinya dengan diagram berikut:

Tujuan-tujuan Kebijakan

Kegiatan-kegiatan Implementasi Dipengaruhi oleh:

a. Isi Kebijakan 1. Pihak yang kepentingannya

Tujuan dipengaruhi Hasil Akhir: Tercapai 2. Jenis manfaat yang bisa diperoleh a.Dampaknya terhadap 3. Jangkauan perubahan yang diha- masyarakat, perseorang-

rapkan an dan kelompok. 4. Letak pengambilan keputusan b.Tingkat Perubahan dan 5. Pelaksanaan-pelaksanaan program penerimaannya 6. Sumber -sumber yg dpt disediakan

Program-program b. Konteks Implementasi Aksi dan proyek- 1. Kekuasaan, Kepentingan, dan proyek tertentu di- Strategi-strategi dari para aktor yang rancang & dibiayai terlibat.

2. Ciri-ciri kelembagaan dan regim. 3. Konsistensi dan daya tanggap

Program-program disampaikan sesuai dengan rancangan

PENGUKURAN KEBERHASILAN

Gambar 1.7. Implementasi sebagai Proses Politik dan Administrasi.

Sumber: Grindle, 1980:7

Dalam pelaksanaan implementasi kebijakan, ada dua hal penting yang

harus diperhatikan menurut Budi Winarno (1989:75), yaitu pertama, nasihat dan

bantuan teknis dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat

melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi dengan membantu

41

pejabat-pejabat bawahan dalam menginterpretasikan peraturan-peraturan dan

garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan

terhadap inisiatif-inisiatif, dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang

diperlukan untuk melaksanakan kebijakan. Kedua, pejabat-pejabat atasan dapat

menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif.

Jika suatu sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan

kegagalan dalam implementasi pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi

tidak tepat. Namun bahkan sebuah kebijakan yang brilliant dan sempurna

sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan para

perancang kebijakan tersebut.

Terjadinya penyimpangan atau kegagalan dalam implementasi

kebijakan dapat terjadi karena tidak sejalannya perencanaan dan implementasi

kebijakan. Kebijakan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan perencanaan yang

telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini disebabkan karena lemahnya sistem

pengawasan atau kontrol dari masyarakat (Suharto, 2010:136).

Dalam implementasi kebijakan kurang mendapat pengawasan dari

birokrasi serta sering kekurangan keahlian dalam administrasi untuk melakukan

pengawasan. Selain dari pada itu, para pejabat birokrasi sedikit memberikan

penghargaan atau insentif jika kebijakan tersebut dikelola dengan baik karena

adalah amat sulit untuk mengatribusikan implementasi efektif kepadanya secara

pribadi (Hessel Nogi S.,dkk, 2003:7).

Selain daripada itu, adalah tidak adanya sanksi yang tegas terhadap

para pelaku yang melanggar aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan dalam

42

suatu organisasi pemerintah. Hukum harus dapat memberikan sebuah kepastian

akan tercapainya sasaran dan tujuan dari sebuah proyek pembangunan. Dan

segala bentuk penyimpangan atas sumber-sumber ini (korupsi) haruslah dapat

ditindak dengan tegas dan pasti. Dengan adanya penindakan yang tegas

terhadap implementor yang menyimpang dalam proses implementasi kebijakan,

menunjukkan adanya kepastian hukum dalam implementasi kebijakan.

Para pejabat birokrasi harus berani memberikan sanksi yang tegas

kepada para pelaksana (pejabat-pejabat bawahan) apabila tidak melaksanakan

kebijakan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan. Bila sanksi-sanksi

digunakan atau ancaman sanksi-sanksi itu dapat dipercaya, maka sanksi-sanksi

mungkin efektif dalam memperbaiki implementasi (Budi Winarno, 1989:104).

Bahwa akibat dari tidak adanya sanksi yang tegas kepada implementor yang

melakukan penyimpangan dalam implementasi kebijakan, sehingga tumbuh

karakter tidak patuhnya para pelaksana kebijakan (implementing agent) dalam

proses pelaksanaan kebijakan publik. Aspek yang penting dalam implementasi

kebijakan adalah kepatuhan. Yang dimaksud dengan kepatuhan di sini, yaitu

perilaku yang taat hukum (Bahri, 2004:95).

Menurut Saiful Bahri dkk (2004: 26-95), Penyebab terjadinya bentuk-

bentuk penyimpangan dalam implementasi kebijakan juga dijelaskan sebagai

berikut:

a. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap para pelaku yang melanggar

aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi

pemerintah. Hukum harus dapat memberikan sebuah kepastian akan

tercapainya sasaran dan tujuan dari sebuah proyek pembangunan. Dan

43

segala bentuk penyimpangan atas sumber-sumber ini (korupsi) haruslah

dapat ditindak dengan tegas dan pasti.

b. Tidak patuhnya para pelaksana kebijakan (implementing agent) dalam proses

pelaksanaan kebijakan publik. Menurut Anderson, bahwa aspek yang penting

dalam implementasi kebijakan adalah kepatuhan. Yang dimaksud dengan

kepatuhan di sini, yaitu perilaku yang taat hukum.

c. Sikap mental para pejabat publik yang cenderung yang acuh tak acuh

terhadap dinamika kepentingan masyarakat.

d. Tidak adanya sistem kontrol (pengawasan) dan komunikasi yang terbuka.

e. Tidak tersedianya sumberdaya untuk melakukan pekerjaan.

f. Tidak dilandasinya dasar-dasar hukum yang kuat dan lemahnya penerapan

hukum (rechtstoepassing).

g. Adanya kepentingan.

h. Tidak adanya evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik yang

dilakukan.

Implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-

mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga, sehingga pejabat-pejabat tinggi

(atasan) dapat meningkatkan kemungkinan bahwa para pelaksana (pejabat-

pejabat bawahan) akan bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Implementasi yang berhasil

mungkin mengalami hambatan bila pejabat-pejabat tidak menyadari bahwa

mereka tidak mentaati kebijakan sepenuhnya (Budi Winarno, 1989:79).

Tolok-ukur lainnya, yaitu keberhasilan suatu kebijakan terletak pada

proses implementasinya. Implementasi kebijakan merupakan aspek yang

penting dari keseluruhan proses kebijakan. Menurut Nugroho (2008:6), dalam

teori Pareto, kebijakan publik adalah faktor 20% yang menyebabkan terjadinya

yang 80%. Kebijakan yang telah dibuat dengan baik untuk mencapai tujuan yang

44

mulia, belum tentu dapat tercapai dengan baik sesuai yang diharapkan, apabila

tidak diimplementasi dengan baik oleh pelaksana kebijakan pada tingkat (level)

yang paling bawah.

Menurut Riant Nugroho (2003:158) tentang implementasi kebijakan

yang gagal, yaitu Perencanaan atau sebuah kebijakan yang baik akan berperan

menentukan hasil yang baik. Bahkan kontribusi konsep mencapai 60% dari

keberhasilan. Jika sudah mempunyai konsep yang baik, maka 60% keberhasilan

sudah di tangan. Namun yang 60% itu pun akan hangus, jika 40%

implementasinya tidak konsisten dengan konsep.

Implikasi dari semua proses kebijakan publik akan mengkonsentrasikan

dirinya pada proses internal pencapaian hasil yang dicita-citakan. Keberhasilan

sebuah proses kebijakan publik yang dijalani ketika hasil (output) yang

ditetapkan sudah dapat dicapai dengan baik. Bahwa yang menjadi persoalan di

sini adalah apakah hasil yang telah dicapai melalui proses internal tersebut

sudah sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat atau belum?

Karena kebijakan publik sebagai sarana pemenuhan kebutuhan atau

kepentingan masyarakat, itu berarti ukuran sukses tidaknya sebuah kebijakan

publik tergantung bagaimana masyarakat menilainya.

E. Kerangka Konseptual

Konsep merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena abstrak yang

secara empirik dapat memberikan arah pada variabel penelitian. Kepastian arah

dalam ruang lingkup penelitian akan mudah dipahami melalui pembatasan dan

penegasan definisi konsep. Definisi konsep disesuaikan dengan permasalahan

45

sekaligus mampu memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan penelitian.

Oleh karena itu definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Birokrasi

Adalah organisasi hierarkis pemerintah yang dijalankan oleh pejabat (birokrat),

yang berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi, menjalankan

fungsi pendisiplinan dan pengendalian serta dapat melayani kepentingan

umum.

2. Kebijakan

Adalah suatu perangkat pedoman yang dibuat oleh suatu organisasi formal

guna memberikan arah dan cara serta penyederhanaan dalam pelaksanaan

suatu produk hukum dan/atau keputusan lisan, agar mudah dipahami, yang

umumnya dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan dapat berupa

produk hukum tertulis dan juga dapat berupa keputusan lisan, atau perilaku

pejabat publik, atau dapat berupa kesepakatan.

3. Implementasi Kebijakan

Adalah usaha-usaha pada suatu waktu untuk mengubah keputusan-keputusan

menjadi operasional, maupun melanjutkan usaha-usaha atau pelaksanaan

kebijakan dengan baik sampai pada tingkat yang paling bawah untuk mencapai

perubahan-perubahan yang lebih baik atau mencapai tujuan atau pencapaian

hasil yang telah ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Implementasi

sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hukum

(rechtstoepassing) yang telah ditetapkan.

46

4. Diskresi Pada Street Level Birokrasi

Diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri di setiap situasi yang

dihadapi. Implementasi memiliki diskresi yang hebat di dalam

mengimplementasikan kebijakan. Komunikasi dari atasan seringkali tidak jelas

atau tidak konsisten, dan kebanyakan implementor menikmati ketergantungan

substansial dari atasannya. Peraturan yang terbatas, kepentingan, tekanan dan

hambatan, baik dalam birokrasi maupun dari luar birokrasi, dalam implementasi

kebijakan serta ketatnya peraturan di dalam sistem birokrasi, sehingga birokrat

atau para implementor mungkin kurang cenderung menghargai terhadap

kebijakan yang telah diatur dan mungkin akan bereaksi terhadap kebijakan yang

telah diatur dan dapat mengambil keputusan sendiri. Menurut Hessel Nogi S.

Tangkilisan (2003: 127), bahwa dua karakteristik utama dari birokrasi adalah

prosedur pengoperasian standar (Standard Operating Procedure/SOP) dan

fragmentasi. Yang pertama berkembang sebagai respon-respon internal pada

waktu dan sumber implementasi terbatas dan keinginan atas keseragaman di

dalam operasi organisasi kompleks dan organisasi yang tersebar secara luas.

Yang kedua, pada dasarnya terjadi dari tekanan di luar unit birokrasi sebagai

komite legislatif, kelompok kepentingan, pejabat eksekutif, konstitusi negara

bagian dan sifat dari kebijakan luas mempengaruhi organisasi birokrasi publik.

F. Definisi Operasional

Bahwa untuk menghindari terjadinya kekaburan/kesalahan dalam

penginterprestasikan variabel penelitian, sebagaimana dimaksud peneliti, maka

47

terjadinya penyimpangan dalam implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi di

dalam Lapas dapat dilihat dari:

1. Sistem Birokrasi

a. Birokrasi Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok ukur dalam

menilai sistem birokrasi yang tertutup di dalam Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II B Cebongan Sleman.

b. Birokrasi dan Struktur Organisasi di Lapas

b.1. Birokrasi di Lapas, untuk melihat dan menilai bagaimana sistem

birokrasi yang terbangun di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman

sesuai dengan Prosedur Tetap (Protap) Pelaksanaan Tugas

Pemasyarakatan.

b.2. Struktur Organisasi di Lapas, untuk melihat dan menilai bagaimana

struktur organisasi telah ditetapkan oleh Pejabat Birokrasi di dalam

Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

2. Kebijakan dan Tujuan Kebijakan

a. Kebijakan Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok ukur dalam

menilai kebijakan yang telah ditetapkan di dalam Lapas sebagai suatu

keputusan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Birokrasi, agar dapat

diterapkan, dilaksanakan atau diimplementasikan di dalam Lapas.

b. Tujuan Kebijakan Publik, dapat sebagai tolok ukur untuk menilai apakah

tujuan kebijakan di dalam Lapas telah sesuai dengan standar pemerintah

dalam mencapai tujuan kebijakan di dalam Lapas.

48

c. Kebijakan di Lapas

c.1. Kebijakan Terhadap Tahanan Baru, untuk melihat dan menilai

bagaimana kebijakan di dalam Lapas terhadap Para Tahanan yang baru

dimasukan ke dalam Lapas membandingkannya dengan fakta atau

kenyataan yang terjadi di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

c.2. Kebijakan Penyimpanan dan Penggunaan Uang Tahanan, untuk melihat

dan menilai bagaimana kebijakan di dalam Lapas terhadap uang dari

Para Tahanan dan/atau Narapidana yang disimpan di dalam Lapas serta

membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam

Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

c.3. Kebijakan Terhadap Narapidana, untuk melihat dan menilai bagaimana

kebijakan yang diterapkan kepada para narapidana di dalam Lapas,

setelah narapidana tersebut ditetapkan bersalah oleh pengadilan, serta

membandingkannya dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di dalam

Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

d. Tujuan Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai tentang tujuan

kebijakan di dalam Lapas dengan fakta atau kenyataan yang terjadi di

dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

3. Implementasi Kebijakan dan Tujuannya

a. Implementasi Kebijakan Publik, sebagai pedoman, standart dan/atau tolok

ukur dalam penerapan atau pelaksanaan terhadap kebijakan yang telah

ditetapkan di dalam Lapas, sebagai suatu keputusan yang telah ditetapkan

49

oleh Pejabat Birokrasi, agar dapat diterapkan, dilaksanakan atau

diimplementasikan di dalam Lapas.

b. Implementasi Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai fakta atau

kenyataan sebenarnya tentang bagaimana implementasi kebijakan

dilakukan/dilaksanakan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Apakah

dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas tidak terjadi penyimpangan

dalam praktek implementasi kebijakan terhadap para tahanan dan

narapidana?

c. Tujuan Implementasi Kebijakan di Lapas, untuk melihat dan menilai apakah

tujuan dari implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas IIB Cebongan

Sleman tercapai atau tidak.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan dalam Sistem Birokrasi

Tertutup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan, Kabupaten

Sleman”, merupakan penelitian yang menggunakan metode kualitatif.

Penggunaan metode kualitatif pada penelitian ini dimaksudkan untuk

memperoleh gambaran mendalam tentang bagaimana implementasi kebijakan di

dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman, apakah tidak

terdapat penyimpangan dalam Implementasi kebijakan dan apa penyebab

penyimpangan dalam implementasi kebijakan di dalam Lapas Kelas II B

Cebongan Sleman? Secara teoritis, metode kualitatif digunakan dengan

beberapa pertimbangan. Pertama, penyesuaiannya lebih mudah apabila

50

berhadapan dengan kenyataan yang ada. Kedua, metode ini lebih peka dan

lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama

dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2001:5). Ketiga peneliti

bisa bertemu dan mendengar secara langsung dari pembuat kebijakan (pimpinan

Lapas atau pejabat di atasnya), pelaksana kebijakan (petugas Lapas) serta

melihat dan mengalami secara langsung dari implementasi kebijakan yang

diterapkan atau dilaksanakan di dalam Lapas terhadap para tahanan dan/atau

narapidana.

Selain daripada itu, dengan jenis penelitian kualitatif ini bisa lebih

memberikan kesempatan ruang dan waktu bagi peneliti untuk melakukan

penelitian, observasi pada lokasi penelitian dan memilih objek penelitian yang

akan diteliti. Kelebihan lainnya, yaitu dari hasil penelitian ini dapat memberikan

informasi secara deskriptif bagi masyarakat umum dan pembuat kebijakan serta

hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Fokus dalam penelitian mengenai “Implementasi Kebijakan dalam Sistem

Birokrasi Tertutup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan,

Kabupaten Sleman”, yaitu pada kebijakan di dalam Lapas terhadap para tahanan

yang baru dimasukkan ke dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, kebijakan

terhadap para tahanan dan narapidana selama berada di dalam serta kebijakan

sesaat sebelum bebas dari Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Fokus dalam

penelitian tersebut bertujuan agar penelitian ini menjadi lebih rinci dan jelas

tentang bagaimana implementasi kebijakan di dalam Lapas guna dapat

memberikan gambaran bagi masyarakat umum.

51

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat peneliti dapat menangkap keadaan yang

sebenarnya terjadi dari obyek yang akan diteliti, mengingat kondisi yang dilihat

adalah proses implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi pemerintahan

yang tertutup, maka lokasi penelitiannya adalah Lembaga Pemasyarakatan

Kelas IIB Cebongan Sleman. Adapun pertimbangan lokasi penelitian adalah

sesuai dengan substansi penelitian yang merupakan masalah birokrasi

pemerintahan yang tertutup dan merupakan pembicaraan masyarakat publik

yang menjadi berita yang sedang up to date (hangat) dibicarakan baik di media

cetak maupun media elektronik. Sedangkan dipilihnya lokasi penelitian di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman, karena lokasi tersebut

merupakan salah satu contoh implementasi kebijakan dalam sistem birokrasi

pemerintahan yang tertutup serta dekat dengan lembaga pendidikan yang

sedang dijalani oleh peneliti. Bahwa selain daripada itu, peneliti juga telah

meneliti di dalam Lapas Kelas II B di Cebongan Sleman selama lebih dari 6

(enam) bulan, yaitu dengan cara tinggal bersama-sama tahanan dan narapidana

di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman serta melihat, mengamati serta

berkomunikasi dengan para tahanan dan narapidana di dalam Lapas.

3. Teknik Pengumpulan Data

Obyek kajian adalah suatu peristiwa yang sudah berlangsung sekitar lebih

dari 1 (satu) tahun yang lalu dan masih terus dilakukan penelitian oleh peneliti

sampai saat ini untuk melengkapi data-data formalitas yang masih kurang. Oleh

52

karena itu penelitian ini lebih banyak bergantung pada data-data primer di dalam

pengumpulan data dan juga data sekunder. Dalam rangka memperoleh data dan

informasi yang dapat melengkapi dalam penelitian ini, maka peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1). Observasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung di dalam Lapas

Kelas II B Cebongan Sleman dan membuat catatan yang sistematis terhadap

kegiatan di dalam Lapas Kelas II B Cebongan Sleman. Kemudian melihat

juga bagaimana kegiatan para tahanan dan narapidana serta petugas Lapas

di dalam Lapas selama 6 (enam) bulan lebih. Hal ini dimaksudkan agar

observasi ini mencapai hasil yang maksimal, digunakan penelitian berupa

catatan-catatan (check list), menyiapkan alat elektronik, seperti camera

digital, alat recorder, dengan memusatkan pada data-data yang relevan.

2). Wawancara, yaitu mengadakan wawancara dengan berbagai pihak terkait

dengan kegiatan di dalam Lapas. Tujuan wawancara adalah agar pertanyaan

yang diajukan dapat difokuskan pada study kasus yang ingin dicapai,

sehingga mudah diolah, dianalisis secara kualitatif dan kesimpulan yang

diperoleh lebih reliable, dalam arti observasinya dilakukan secara cermat dan

dapat diandalkan.

3). Dokumentasi, yaitu upaya-upaya untuk mendapatkan data sekunder dari

dokumen-dokumen yang relevan yang memuat data dan informasi yang

berkaitan dengan penelitian di dalam Lapas. Dokumen-dokumen yang

dimaksudkan adalah sebagai berikut:

3.1). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

53

3.2). Himpunan Peraturan tentang Pemasyarakat.

3.3). Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M.HH-

OT.02.02 Tahun 2009 Tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan

Sistem Pemasyarakatan.

3.4). Prosedur Tetap (PROTAP) Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan oleh

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2009.

3.5). Buku Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP).

3.6). Buku Pegangan untuk Kalapas, Kepala Sub.Bagian Tata Usaha,

KAURS Kepegawaian dan Keuangan, KAURS Umum, Kepala Seksi

Binadik dan Giatja, Kepala Sub.Seksi Registrasi dan Bimpas, Kepala

Sub.Seksi Perawatan, Kepala Seksi Administrasi Kamtib, Kepala

Sub.Seksi Keamanan, Kepala Sub.Seksi Pelatib, Kepala KPLP.

3.7). Buku catatan tentang sewa-menyewa Handphone di dalam Lapas Kelas

II B Cebongan Sleman oleh Para Tahanan dan Narapidana dari para

Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

4). Kuesioner, yaitu sebagai fungsi untuk cross check, sehingga dapat

memperkuat keakuratan dan validitas data yang diperoleh dalam penelitian.

4. Sumber Data

Sesuai masalah dan fokus penelitian, sumber data penelitian adalah:

a. Narasumber

Narasumber dipilih secara sengaja (purposive sampling), pemilihan informan

ini didasarkan atas subyek penelitian yang menguasai masalah, memiliki

54

data, dan bersedia memberikan data-data kepada peneliti. Dalam penelitian

ini yang menjadi narasumber adalah sebagai berikut:

a.1. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Kantor

Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

a.2. Pimpinan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman.

a.3. Petugas atau Sipir atau Polisi Khusus Lembaga Pemasyarakatan Kelas

II B Cebongan Sleman (Polsuspas).

a.4. Para Tahanan pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Cebongan Sleman.

a.5. Para Narapidana pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

B Cebongan Sleman.

a.6. Para Mantan Narapidana yang telah bebas dari Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Cebongan Sleman.

b. Kuesioner

Kuesioner dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada:

b.1. Para Tahanan pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Cebongan Sleman.

b.2. Para Narapidana pria dan wanita di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II

B Cebongan Sleman.

c. Dokumen

Dokumen yang relevan dengan masalah dan fokus penelitian adalah sebagai

berikut:

55

c.1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan.

c.2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,

Nomor: M.HH-OT.02.02 Tahun 2009 Tentang Cetak Biru Pembaharuan

Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Departemen Kehakiman & Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Tahun 2009.

c.3. Himpunan Peraturan tentang Pemasyarakat, Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan 2009.

c.4. Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan, Departemen

Kehakiman & Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2003.

c.5. Buku Pegangan untuk Kalapas, Kepala Sub.Bagian Tata Usaha,

KAURS Kepegawaian dan Keuangan, KAURS Umum, Kepala Seksi

Binadik dan Giatja, Kepala Sub.Seksi Registrasi dan Bimpas, Kepala

Sub.Seksi Perawatan, Kepala Seksi Administrasi Kamtib, Kepala

Sub.Seksi Keamanan, Kepala Sub.Seksi Pelatib, Kepala KPLP.

c.6. Buku Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan (PPLP), Kepala

Divisi Pemasyarakatan Kanwil Depatemen Hukum dan HAM DIY Tahun

2008.

c.7. Buku catatan tentang sewa-menyewa Handphone di dalam Lapas Kelas

II B Cebongan Sleman oleh Para Tahanan dan Narapidana dari para

Petugas Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

56

c.8. Surat jual-beli fasilitas negara untuk para tahanan dan narapidana di

dalam Lapas oleh KAUR Umum kepada para tahanan dan narapidana.

c.9. Liflet Lapas Kelas II B Cebongan Sleman.

d. Dokumen Bank yang sebagai bukti adanya transaksi mencurigakan yang

dilakukan oleh seorang narapidana (kasus penipuan) dari dalam Lapas

Kelasa II B Cebongan Sleman.

H. Metode Analisis Data

Analisis data menurut Nasution (1998:126) adalah proses menyusun data

agar dapat ditafsir. Analisis data dilakukan secara terus menerus selama proses

pengamatan dilakukan verifikasi. Jadi selama proses penelitian berlangsung data

yang diperoleh langsung dianalisis dan data yang sudah diperoleh terus dicek

kebenarannya pada pihak-pihak lain (cross check) yang memahami informasi

tersebut. Berdasarkan metode penelitian dan teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah analisis diskripsi. Melalui teknik ini diharapkan akan memberikan

gambaran dan makna dari seluruh data atau fakta yang diperoleh dengan jelas.